Top Banner
10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini terbagi atas tujuh sub bab. Sub bab pertama membahas mengenai pernikahan sebagai suatu fase kehidupan individu. Pada sub bab kedua dijabarkan pengertian penyesuaian pernikahan, dimensi penyesuaian pernikahan dan faktor yang mempengaruhi penyesuaian pernikahan. Pada sub bab selanjutnya, dijabarkan pengertian kecerdasan emosional, dimensi kecerdasan emosional dan faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional. Dibahas pula kaitan antara wanita dan kecerdasan emosional serta budaya pernikahan ngerob di Bali. Bab ini diakhiri dengan bahasan dinamika hubungan antar variabel serta hipotesis pada penelitian ini. A. Pernikahan Pernikahan adalah komitmen emosional yang legal dari dua individu yang berjanji untuk berbagi secara emosional, berbagi intimasi, tugas-tugas dan sumber finansial (Olson & Defrain, 2003). Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menjelaskan bahwa pernikahan merupakan ikatan suami istri lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Terdapat beberapa alasan positif individu memilih untuk menikah. Pernikahan yang berlandaskan alasan positif memiliki kemungkinan lebih besar untuk mencapai kesuksesan. Olson dan Defrain (2003) menjabarkan alasan utama individu menikah adalah untuk teman berbagi sepanjang hidup (companionship). Lebih lanjut dalam Atwater (1983) dinyatakan bahwa companionship mengacu pada perkawinan yang menyediakan dasar emosional bagi
22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id filemampu menerima kenyataan dan sukses mengatasi masalah keluarga dengan beradaptasi, membuat aturan serta kesepakatan dalam rumah tangga,

Jul 23, 2019

Download

Documents

truongduong
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id filemampu menerima kenyataan dan sukses mengatasi masalah keluarga dengan beradaptasi, membuat aturan serta kesepakatan dalam rumah tangga,

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini terbagi atas tujuh sub bab. Sub bab pertama membahas mengenai pernikahan

sebagai suatu fase kehidupan individu. Pada sub bab kedua dijabarkan pengertian

penyesuaian pernikahan, dimensi penyesuaian pernikahan dan faktor yang mempengaruhi

penyesuaian pernikahan. Pada sub bab selanjutnya, dijabarkan pengertian kecerdasan

emosional, dimensi kecerdasan emosional dan faktor yang mempengaruhi kecerdasan

emosional. Dibahas pula kaitan antara wanita dan kecerdasan emosional serta budaya

pernikahan ngerob di Bali. Bab ini diakhiri dengan bahasan dinamika hubungan antar

variabel serta hipotesis pada penelitian ini.

A. Pernikahan

Pernikahan adalah komitmen emosional yang legal dari dua individu yang berjanji

untuk berbagi secara emosional, berbagi intimasi, tugas-tugas dan sumber finansial (Olson

& Defrain, 2003). Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menjelaskan

bahwa pernikahan merupakan ikatan suami istri lahir batin antara pria dan wanita sebagai

suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Terdapat beberapa alasan positif individu memilih untuk menikah. Pernikahan yang

berlandaskan alasan positif memiliki kemungkinan lebih besar untuk mencapai kesuksesan.

Olson dan Defrain (2003) menjabarkan alasan utama individu menikah adalah untuk teman

berbagi sepanjang hidup (companionship). Lebih lanjut dalam Atwater (1983) dinyatakan

bahwa companionship mengacu pada perkawinan yang menyediakan dasar emosional bagi

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id filemampu menerima kenyataan dan sukses mengatasi masalah keluarga dengan beradaptasi, membuat aturan serta kesepakatan dalam rumah tangga,

11

pasangan dalam menjalani naik-turunnya suatu kehidupan. Memenuhi kebutuhan psikologis

akan cinta dan intimasi juga dapat menjadi faktor yang mendorong individu melangkah ke

jenjang pernikahan. Pernikahan juga dijadikan alasan untuk mendapatkan sumber dukungan

dalam proses perkembangan individu. Selain itu pernikahan juga dapat memfasilitasi

pemenuhan kebutuhan seksual serta belajar menjadi orang tua. Individu yang menikah

cenderung memiliki gaya hidup yang lebih sehat, hidup lebih panjang, memiliki hubungan

seksual yang memuaskan, serta lebih terjamin secara ekonomi (Olson & Defrain, 2003).

Berdasarkan uraian diatas, peneliti menyimpulkan bahwa pernikahan adalah suatu

komitmen emosional yang legal dari dua individu. Pernikahan merupakan suatu fase

kehidupan yang secara umum dilalui oleh sebagian besar individu dengan tujuan utama

meraih kebahagiaan dan kehidupan yang lebih bermakna. Definisi ini yang kemudian

menjadi acuan bagi peneliti.

B. Penyesuaian Pernikahan

Penyesuaian pernikahan merupakan proses penting pada setiap pernikahan. Pada sub

bab ini pembahasan akan dimulai dengan pengertian penyesuaian pernikahan, dilanjutkan

dengan dimensi dari penyesuaian pernikahan dan faktor-faktor yang mempengaruhi

penyesuaian pernikahan.

1. Pengertian Penyesuaian Pernikahan

Penyesuaian pernikahan adalah konsep yang bervariasi yang secara umum

merupakan konsep yang mencakup perjanjian atau kesepakatan relatif antara suami dan

istri pada isu-isu yang dianggap penting, berbagi tugas dan kegiatan serta menunjukkan

kasih sayang satu sama lain dalam tujuan mencapai suatu kebahagiaan pernikahan

(Chaudhari & Patel, 2009).

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id filemampu menerima kenyataan dan sukses mengatasi masalah keluarga dengan beradaptasi, membuat aturan serta kesepakatan dalam rumah tangga,

12

Penyesuaian pernikahan merupakan proses yang berlanjut. Landis dan Judson

(1970) menjabarkan bahwa penyesuaian pernikahan merupakan proses yang berlangsung

sepanjang usia pernikahan. Lima tahun pertama sebuah pernikahan merupakan masa

paling dibutuhkannya penyesuaian. Lebih baik apabila seseorang yang telah menikah

dapat mengenali perbedaan-perbedaan dengan pasangannya dan berusaha untuk

menyelesaikannya saat awal sebuah pernikahan. Saat penyesuaian pernikahan pada awal

pernikahan telah dilaksanakan dengan baik, maka keadaan ini akan membantu pasangan

untuk melakukan penyesuaian pada masa-masa yang lebih sulit terkait adanya

pertumbuhan keluarga.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Anjani dan Suryanto (2006), dijabarkan

bahwa pola penyesuaian pernikahan yang dilakukan pasangan pada awal pernikahan

meliputi fase bulan madu, pengenalan kenyataan, krisis pernikahan dan kebahagiaan.

Pola penyesuaian pernikahan ini dilakukan secara bertahap. Pada fase bulan madu,

pasangan masih menjalani hidup dengan penuh kebahagian, menutupi kekurangan

masing-masing serta mengabaikan kekurangan pasangan atas dasar rasa cinta diawal

pernikahan. Saat memasuki fase pengenalan kenyataan, individu mulai mengetahui

karakteristik dan kebiasaan yang sebenarnya dari pasangannya. Pada fase krisis

pernikahan terjadi proses penyesuaian terhadap perbedaan yang ada. Apabila pasangan

mampu menerima kenyataan dan sukses mengatasi masalah keluarga dengan beradaptasi,

membuat aturan serta kesepakatan dalam rumah tangga, maka akan tercapai fase

kebahagiaan sejati.

Menurut Clinebell (dalam Anjani & Suryanto, 2006), periode awal pernikahan

merupakan masa penyesuaian diri, dan krisis muncul saat pertama kali memasuki jenjang

pernikahan. Pasangan suami istri harus banyak belajar tentang pasangan masing-masing

dan diri sendiri mulai dihadapkan dengan berbagai masalah. Dua kepribadian (suami

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id filemampu menerima kenyataan dan sukses mengatasi masalah keluarga dengan beradaptasi, membuat aturan serta kesepakatan dalam rumah tangga,

13

maupun istri) saling menempa untuk dapat sesuai satu sama lain, dapat memberi dan

menerima.

Terkait dengan memahami kepribadian, pasangan diharapkan untuk paham bahwa,

ciri-ciri kepribadian individu tidak dapat berubah dengan sebuah pernikahan, namun

individu mampu menyesuaikan diri satu sama lain dalam beberapa cara. Penyesuaian

pernikahan yang baik dapat ditemukan dalam pernikahan yang masing-masing pasangan

telah mampu memahami dan bersimpati dengan sudut pandang satu sama lain. Tipe

penyesuaian ini disebut dengan kesepahaman (agreement). Selain itu terdapat tipe

penyesuaian kompromi (compromise). Pada sebagian besar pernikahan, setidaknya

terdapat satu bagian penting dari hidup yang membutuhkan penyesuaian yang serius yang

hanya bisa diatasi dengan kompromi. Pasangan mungkin saja menemukan fase hidup

pernikahan yang dapat mereka setujui atau pahami dengan mudah, namun di sisi lain,

salah seorang atau sepasang harus membuat suatu konsesi yang serius. Adapun beberapa

area dimana pasangan harus mencapai suatu kesepahaman adalah hubungan dengan

mertua, hubungan seksual, aktivitas sosial dan rekreasi, hubungan dengan teman,

kehidupan religi, dan kesepahaman dalam mendidik anak (Landis & Judson, 1970).

Berdasarkan uraian diatas, peneliti melihat pengertian penyesuaian pernikahan oleh

Chaudhari dan Patel (2009) merupakan penjelasan yang menyeluruh apabila

dibandingkan dengan pengertian oleh Landis dan Judson (1970) dan Clinebell (dalam

Anjani & Suryanto, 2006). Maka disimpulkan bahwa penyesuaian pernikahan merupakan

suatu proses yang berlanjut yang berisi kesepakatan relatif antara suami dan istri pada

isu-isu yang dianggap penting, berbagi tugas dan kegiatan serta menunjukkan kasih

sayang satu sama lain dalam tujuan mencapai suatu kebahagiaan pernikahan (Chaudhari

& Patel, 2009). Definisi ini yang kemudian menjadi acuan bagi peneliti.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id filemampu menerima kenyataan dan sukses mengatasi masalah keluarga dengan beradaptasi, membuat aturan serta kesepakatan dalam rumah tangga,

14

2. Dimensi Penyesuaian Pernikahan

Menurut Spanier (1976), penyesuaian hubungan suami istri merupakan suatu proses

dengan berbagai tahap seperti komunikasi yang efektif, proses menangani konflik-konflik

yang terjadi dan kepuasan dalam berbagai hubungan sesama pasangan. Beliau

menggunakan pengukuran Dyadic Adjustment Scale (DAS) terhadap 281 responden dan

32 aitem yang dikelompokkan ke dalam empat instrumen hubungan antara suami istri

(dyads), yakni diadiks kesepakatan (dyadics concensus), diadiks kepuasan (dyadics

satisfaction), diadiks kesepaduaan (dyadics cohesion), dan bentuk-bentuk yang

menunjukkan kasih sayang antara kedua-duanya (affectional expression).

1. Dyadic Concensus

Masa awal pernikahan merupakan fase transisi yang sulit karena pasangan harus

meninggalkan keluarga asalnya, melepas kemandirian mengatur hidup, dan mulai

berfungsi sebagai pasangan (Olson & Defrain, 2003). Arnold dan Parker (dalam

Donna, 2009) menyatakan bahwa dalam hubungan pernikahan, pasangan akan

menemukan berbagai permasalahan-permasalahan yang harus disepakati, seperti

mengatur anggaran belanja dan bagaimana membagi tugas-tugas rumah tangga, dan

pasangan akan menyadari bahwa mereka mempunyai perbedaan perspektif terhadap

berbagai hal. Sejalan dengan penjabaran diatas, kesepahaman pasangan pada dimensi

ini terkait permasalahan yang ada pada pernikahan. Kesepahaman ini mencakup

masalah finansial, rekreasi, kepercayaan (agama), kesepahaman mengenai hubungan

dengan teman, kesepahaman terkait hubungan seksual, kesepahaman mengenai

hubungan dengan mertua, kesepahaman tujuan hidup, kesepahaman pengambilan

keputusan, kesepahaman pembagian tugas-tugas rumah tangga, kesepahaman dalam

menghabiskan waktu luang, dan karir pasangan (Spanier, 1976).

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id filemampu menerima kenyataan dan sukses mengatasi masalah keluarga dengan beradaptasi, membuat aturan serta kesepakatan dalam rumah tangga,

15

2. Dyadic Satisfaction

Dyadic Satisfaction mengacu pada derajat kepuasan pasangan dalam hubungan

yang mencakup rendahnya tingkat pemikiran yang mengarah pada perpisahan atau

perceraian dan penyesalan, penyelesaian konflik dengan baik dan harapan mengenai

masa depan hubungan yang dijalani (Spanier, 1976). Kepuasan pernikahan merujuk

pada perasaan positif yang dimiliki pasangan dalam pernikahan yang maknanya lebih

luas daripada kenikmatan, kesenangan dan kesukaan (Lestari, 2012).

3. Dyadic Cohesion

Cohesion merupakan perasaan akan kedekatan emosional dengan orang lain

(Olson & Defrain, 2003). Kedekatan pasangan menggambarkan tingkat kedekatan

emosi yang dirasakan pasangan dan kemampuan menyeimbangkan antara

keterpisahan dan kebersamaan. Hal ini mencakup kesediaan untuk saling membantu,

memanfaatkan waktu luang bersama dan pengungkapan perasaan dekat secara emosi

(Gunarsa, 2012). Dyadic cohesion merupakan dimensi untuk melihat kedekatan

hubungan serta melihat seberapa banyak pasangan menghabiskan waktu bersama dan

menikmati kebersamaan. Kedekatan ini mencakup kebersamaan mengerjakan suatu

tugas/pekerjaan, terlibat dalam diskusi bersama dan bertukar ide (pemikiran), dan

tertawa bersama (Spanier, 1976).

4. Affectional Expression

Kesepakatan dalam menyatakan perasaan dan hubungan seksual serta masalah-

masalah yang terkait hal tersebut. Kesepakatan ekspresi perasaan dan hubungan

seksual disini mencakup bagaimana cara pasangan menyatakan perasaan, penilaian

pasangan mengenai relasi seksual (Spanier, 1976). Komunikasi seksualitas akan

membantu pasangan untuk saling memahami perspektif masing-masing terhadap

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id filemampu menerima kenyataan dan sukses mengatasi masalah keluarga dengan beradaptasi, membuat aturan serta kesepakatan dalam rumah tangga,

16

kebutuhan dan ketertarikan seksual. Dalam komunikasi seksual, komunikasi non

verbal dapat membantu menunjukkan afeksi terhadap pasangan (Lestari, 2012).

Peneliti akan menggunakan empat area penyesuaian diadik (empat instrumen)

dalam Dyadic Adjustment Scale (DAS) oleh Spanier (1976) diatas, karena keempat diadik

yang dijabarkan oleh Spanier sesuai dengan kebutuhan penelitian ini. Keempat instrumen

tersebut selanjutnya akan dijadikan dasar untuk menyusun skala penyesuaian pernikahan

yang sesuai dengan keadaan ngerob pada Wanita Bali.

3. Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Pernikahan

Hurlock (1993) menyatakan bahwa kesamaan latar belakang suami dan istri,

kesamaan minat dan kepentingan serta kesamaan nilai akan membuat pasangan

cenderung lebih mudah untuk menyesuaikan diri.

Pada sisi yang berlawanan, Hurlock kembali menjabarkan bahwa penyesuaian

pernikahan tetaplah merupakan suatu proses yang sulit. Kurangnya persiapan dalam

menghadapi pernikahan merupakan faktor pertama yang membuat sebuah proses

penyesuaian pernikahan pada tahun awal pernikahan menjadi sulit. Pada proses,

ketidaksesuaian peran yang diemban masing-masing pasangan mempengaruhi

penyesuaian pernikahan. Hal yang menjadi masalah adalah salah satu pihak merasa tidak

puas terhadap peran yang telah dijalankan pasangannya, menganggap pasangannya tidak

berperan dengan baik dan tidak sesuai dengan harapan. Pernikahan dini, terkait dengan

kemampuan suami untuk menafkahi istri juga kerap kali menjadi kendala. Faktor

selanjutnya adalah pernikahan campuran, yang menimbulkan masalah pada status hukum

yang selanjutnya mempengaruhi penyesuaian dan kebahagiaan keluarga. Hubungan

pacaran sebelum menikah terkait dengan kurangnya pengenalan pada pasangan juga

mempersulit penyesuaian. Faktor terakhir adalah harapan yang tidak realistis akan

kehidupan setelah pernikahan yang indah tanpa mengacu pada keadaan sebenarnya.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id filemampu menerima kenyataan dan sukses mengatasi masalah keluarga dengan beradaptasi, membuat aturan serta kesepakatan dalam rumah tangga,

17

Ketika kehidupan pernikahan yang dijalankan tidak sesuai dengan harapan, pasangan

akan mengalami kesulitan dalam melakukan penyesuaian terhadap tugas, tanggung jawab

dan peran (Hurlock, 1993).

Penyesuaian pernikahan membutuhkan kemampuan berhubungan interpersonal

yang baik, kemampuan berkomunikasi dan kemampuan mengendalikan emosi.

Kemampuan seseorang untuk mengatur diri dalam mengekspresikan perasaan serta emosi

merupakan kunci utama untuk dapat membina hubungan dengan orang lain. Keberhasilan

sebuah proses penyesuaian pernikahan dapat dilihat dari kualitas hubungan interpersonal

dan perilaku yang tampak. Keberhasilan ini dapat dilihat dari tercapainya kebahagiaan

antara pasangan suami-sitri yang berdasarkan atas kepuasan peran dan hubungan seksual,

tercapainya hubungan yang baik antara orang tua dan anak, terselesaikannya perbedaan

pendapat, kebersamaan dengan pasangan, penyesuaian yang baik pada keuangan dan

penyesuaian yang baik pada keluarga pasangan (Hurlock, 1993).

Sebagian pasangan akan berusaha keras untuk menjalani penyesuaian pernikahan

dan mendapatkan hubungan pernikahan yang bahagia dalam waktu relatif singkat.

Pasangan lain, berusaha bertahan sekuat tenaga, bahkan merasa terjebak cinta yang

menjerumuskan ke dalam sebuah pernikahan yang tidak dapat ditoleransi dan akan

bercerai. Seluruh pasangan akan saling mencintai saat mereka menikah, tetapi tidak

keseluruhan dari mereka menyadari bahwa pernikahan merupakan hasil dari kerjasama

dan penerimaan yang realistis terhadap tanggung jawab untuk membangun sebuah

hubungan yang membahagiakan. Maka semakin individu mampu beradaptasi dalam

kehidupan pernikahannya, semakin dekat kebahagiaan sebuah pernikahan. Untuk

mencapai kepuasan dalam pernikahan, kedua pasangan harus terus melakukan

penyesuaian kembali mengenai pemahaman mereka tentang apa yang mereka harapkan

satu sama lain, terkait dengan peran sebagai suami-istri (Atwater, 1983).

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id filemampu menerima kenyataan dan sukses mengatasi masalah keluarga dengan beradaptasi, membuat aturan serta kesepakatan dalam rumah tangga,

18

C. Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional sangat penting perannya untuk kemampuan bekerja secara tim,

menyadari dan merespon perasaan sendiri dan perasaan orang lain secara tepat, dan untuk

memotivasi diri sendiri dan orang lain. Dalam konteks penyesuaian pernikahan, kecerdasan

emosional turut diperlukan. Penyesuaian pernikahan membutuhkan kemampuan

berhubungan interpersonal yang baik, kemampuan berkomunikasi dan kemampuan

mengendalikan emosi. Kemampuan seseorang untuk mengatur diri dalam mengekspresikan

perasaan serta emosi merupakan kunci utama untuk dapat membina hubungan dengan orang

lain. Pada sub bab ini pembahasan akan dimulai dengan pengertian kecerdasan emosional,

dilanjutkan dengan dimensi dari kecerdasan emosional dan faktor-faktor yang

mempengaruhi kecerdasan emosional.

1. Pengertian Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional dapat mempengaruhi seberapa baik individu mengelola

relasi intimnya dan seberapa sehat mereka ketika berada di bawah tekanan (Papalia, dkk,

2008). Individu yang cerdas secara emosi dapat menentukan dengan tepat, kapan dan

sejauhmana perlu terlibat dalam masalah sosial, serta dapat turut serta memberikan jalan

keluar atau solusi yang diperlukan. Kecerdasan emosional dapat mengkondisikan

individu merasa bebas mengekpresikan emosi secara tepat, bertindak lugas, spontan

memiliki rasa humor dan mampu mengatasi tekanan (Yapono & Suharnan, 2013).

Kecerdasan emosional merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran khas, suatu

keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak.

Kecerdasan emosional adalah kemampuan individu untuk mempersepsi, membangkitkan

dan memasuki perasaan emosional. Kemampuan ini dapat membantu individu menyadari

dan mengatur emosi diri sendiri maupun orang lain, sehingga dapat mengembangkan

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id filemampu menerima kenyataan dan sukses mengatasi masalah keluarga dengan beradaptasi, membuat aturan serta kesepakatan dalam rumah tangga,

19

pertumbuhan emosi dan intelektual. Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk

memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, mengendalikan dorongan hati

dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban

stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati, dan berdoa (Goleman,1995).

Berdasarkan penjabaran diatas, peneliti menggunakan pengetian kecerdasan

emosional oleh Goleman (1995) karena lebih komperehensif dibandingkan dengan

pengertian oleh Yapono dan Suharman (2013). Goleman (1995) menjelaskan kecerdasan

emosional secara menyeluruh lengkap dengan aspek-aspek kecerdasan emosional yang

sesuai dengan kebutuhan penelitian ini. Maka dari itu, kecerdasan emosional merupakan

suatu perasaan dan pikiran-pikiran khas, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan

serangkaian kecenderungan untuk bertindak yang mencakup kemampuan menyadari

emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain dan membina

hubungan dengan orang lain (Goleman, 1995). Definisi ini yang kemudian menjadi acuan

bagi peneliti.

2. Dimensi Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional menurut Goleman (1995), dibagi dalam lima dimensi utama

yang mencakup:

1. Mengetahui emosi diri (knowing one’s emotions)

Self awareness (kesadaran diri) yang merupakan kemampuan untuk mengenali

perasaan sesuai dengan kenyataan. Kesadaran diri adalah kunci utama dari kecerdasan

emosional. Kemampuan untuk memonitor serta menyadari perubahan perasaan dari

waktu ke waktu merupakan hal yang krusial dalam pemahaman diri dan insight secara

psikologis. Kemampuan memahami emosi dengan jelas, dapat memandu individu

untuk yakin atas kemampuan serta batas-batas diri mereka sendiri, memiliki kesehatan

psikologis yang baik dan memiliki pandangan positif terhadap kehidupan. Ketika

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id filemampu menerima kenyataan dan sukses mengatasi masalah keluarga dengan beradaptasi, membuat aturan serta kesepakatan dalam rumah tangga,

20

individu ini masuk ke dalam suasana hati yang buruk, mereka tidak memikirkan dan

terobsesi dengan keadaan tersebut, dan bisa keluar lebih cepat dari keadaan tersebut.

Individu yang memiliki pemahaman yang lebih baik terhadap perasaan mereka akan

menjadi “pilot” pengarah kehidupan mereka sendiri ke arah yang lebih baik.

Singkatnya, perhatian individu terhadap perasaannya sendiri, dapat membantu

individu tersebut untuk mengelola emosi (Goleman, 1995).

2. Mengelola emosi (managing emotions)

Mengelola emosi dapat dijelaskan dengan menangani perasaan agar perasaan

dapat terungkap dengan tepat. Kemampuan ini mencakup kapasitas untuk

menenangkan diri, melepaskan diri dari kecemasan, kemurungan dan iritabilitas serta

luwes atas perubahan yang terjadi. Individu yang memiliki kemampuan unggul dalam

mengelola emosi dapat jauh lebih cepat bangkit kembali dari kemunduran kehidupan

dan gangguan dalam hidup (Goleman, 1995).

3. Memotivasi diri (motivating one self)

Kemampuan individu dalam memotivasi diri dapat dilihat dari aspek berikut: (a)

kemampuan mengendalikan impuls atau dorongan emosi, (b) kekuatan mengendalikan

pemikiran buruk, (c) berpikir positif, (d) optimis, (e) flow yang merupakan keadaan

saat perhatian individu sepenuhnya tercurahkan pada apa yang sedang terjadi dan

fokus pada satu objek. Individu cenderung ingin menjadi lebih baik dan lebih baik lagi,

individu akan senang memanfaatkan kesempatan-kesempatan baru serta gigih dalam

berjuang demi sebuah tujuan. Individu dengan kemampuan-kemampuan diatas,

cenderung dapat lebih efektif dan produktif pada apapun yang dikerjakannya

(Goleman, 1995).

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id filemampu menerima kenyataan dan sukses mengatasi masalah keluarga dengan beradaptasi, membuat aturan serta kesepakatan dalam rumah tangga,

21

4. Mengenali emosi orang lain (recognizing emotions in others)

Empati merupakan dasar untuk individu mengenali emosi atau perasaan individu

lainnya. Individu yang dapat menerapkan empati cenderung lebih memahami sinyal

sosial yang mengindikasi kebutuhan serta keinginan individu lainnya. Individu yang

menerapkan empati cenderung berusaha memenuhi kebutuhan orang lain. Emosi

individu jarang diperlihatkan dalam bentuk kata, kerap kali diekspresikan melalui

isyarat lain. Kemampuan untuk membaca isyarat non verbal merupakan kunci untuk

dapat mengenali dan berintuisi mengenai perasaan dan emosi orang lain. Isyarat non

verbal yang harus dipahami adalah berupa nada suara, gesture, ekspresi wajah dan

sejenisnya (Goleman, 1995).

5. Membina hubungan dengan orang lain (handling relationship)

Kemampuan seseorang untuk mengatur diri dalam mengekspresikan perasaan

serta emosi merupakan kunci utama untuk dapat membina hubungan dengan orang

lain. Tanpa memiliki keterampilan sosial, seseorang akan mengalami kesulitan dalam

pergaulan sosial. Keterampilan ini mencakup bagaimana seseorang dapat

mempengaruhi orang lain atau kelompok, memimpin kelompok, kemampuan untuk

memediasi dan bernegosiasi, kemampuan ber-empati, dan kemampuan untuk

mendeteksi perasaan orang lain. Dengan keterampilan ini individu akan tampak

charming, berkarisma dan diterima secara sosial (Goleman, 1995).

Tidak jauh berbeda dengan Goleman, McShanc dan Glinow (dalam Wibowo, 2013)

menyatakan bahwa kecerdasan emosional merupakan sekumpulan kemampuan untuk

merasakan emosi, mengasimilasi emosi dalam berpikir, memahami dan menghubungkan

emosi diri sendiri dan orang lain. Kecerdasan emosi diorganisir dalam empat dimensi

yang mencerminkan recognition of emotion dalam diri kita sendiri dan orang lain.

Adapun keempat dimensi tersebut meliputi self awareness yang berupa kemampuan

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id filemampu menerima kenyataan dan sukses mengatasi masalah keluarga dengan beradaptasi, membuat aturan serta kesepakatan dalam rumah tangga,

22

memahami emosi diri kita sendiri, self management yang merupakan kemampuan

mengelola emosi kita sendiri, social awareness yang berupa kemampuan merasakan dan

memahami emosi orang lain dan relationship management yang merupakan kemampuan

mengelola hubungan dengan orang lain sehingga terjalin hubungan interpersonal yang

baik.

Robbins (2008) menjelaskan kecerdasan emosional sebagai kemampuan seseorang

untuk mendeteksi serta mengelola petunjuk-petunjuk dan informasi emosional. Orang-

orang yang mampu mengenal emosi mereka sendiri dan mampu dengan baik membaca

emosi orang lain, dapat bekerja lebih efektif dalam pekerjaan mereka. Dalam

penjelasannya, Robbins membagi kecerdasan emosional ke dalam lima dimensi, yang

terdiri atas kesadaran diri, manajemen diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.

Berdasarkan paparan diatas, peneliti menggunakan lima dimensi kecerdasan

emosional dari Goleman (1995) dalam menyusun skala, karena penjabaran mengenai

pengendalian emosi diri sendiri (kemampuan memotivasi diri), pemahaman emosi orang

lain dan pengelolaan hubungan interpersonal membuat teori kecerdasan emosional

Goleman lebih kompherensif dan lebih sesuai dengan kebutuhan penelitian ini. Skala

kecerdasan emosional yang disusun merupakan skala hasil modifikasi dari skala

kecerdasan emosional yang dibangun menggunakan lima dimensi dari Goleman oleh

Rustika (2014).

3. Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional

Menurut Goleman (2001) ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan

emosional, yaitu :

a. Pengalaman

Kecerdasan emosional dapat meningkat sepanjang hidup manusia. Sepanjang

perjalanan hidup yang normal, kecerdasan emosional cenderung bertambah. Selama

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id filemampu menerima kenyataan dan sukses mengatasi masalah keluarga dengan beradaptasi, membuat aturan serta kesepakatan dalam rumah tangga,

23

individu terus belajar untuk menangani suasana hati, menangani emosi-emosi yang

menyulitkan, maka individu akan semakin cerdas dalam hal emosi dan berhubungan

dengan orang lain. Mayer (dalam Goleman, 2001) menyatakan pendapat yang sama

bahwa kecerdasan emosional berkembang sejalan dengan usia dan pengalaman dari

kanak-kanak hingga dewasa.

b. Usia

Individu yang lebih tua dapat sama baiknya atau lebih baik dibandingkan

individu yang lebih muda dalam penguasaan kecakapan emosi baru.

c. Jenis kelamin

Pria dan wanita mempunyai kemampuan yang sama dalam hal meningkatkan

kecerdasan emosional. Tetapi, nilai rata-rata wanita seringkali dianggap dapat lebih

tinggi dibanding kaum pria dalam beberapa keterampilan emosi.

d. Jabatan

Semakin tinggi jabatan seseorang, semakin dibutuhkannya keterampilan

membina hubungan dengan orang lain. Maka, semakin tinggi jabatan yang ingin

diraih, individu dituntut untuk memiliki kecerdasan emosional yang lebih baik lagi.

Berdasarkan atas penjabaran mengenai kecerdasan emosional diatas, dapat

dinyatakan bahwa kecerdasan emosional, merujuk pada keterampilan daripada potensi.

Dengan demikian, berarti kecerdasan emosional dapat dipelajari atau diajarkan. Maka

dari itu, faktor lingkungan lebih berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan

kecerdasan emosional seseorang. Seseorang yang memperolah dukungan sosial yang

cukup dari orang tua atau lingkungan sekitarnya akan lebih mampu menyesuaikan diri

dengan kehidupan sosial. Sebaliknya seseorang yang kurang memperoleh dukungan

sosial yang cukup dari orang tua maupun lingkungan sekitarnya, cenderung mengalami

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id filemampu menerima kenyataan dan sukses mengatasi masalah keluarga dengan beradaptasi, membuat aturan serta kesepakatan dalam rumah tangga,

24

kesulitan dalam mengelola emosinya dan akibatnya akan mengalami banyak kesulitan

dalam mengembangkan interaksi sosialnya (Hadziq, 2013).

D. Kecerdasan Emosional dan Wanita

Beberapa tinjauan literatur mengenai emosi dan EI (Emotional Intellegence)

menjelaskan tentang perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan wanita dalam aspek yang

berhubungan dengan dunia emosional. Beberapa penelitian menemukan bahwa wanita

cenderung lebih menyadari emosi mereka, menunjukkan empati dan lebih baik dalam

hubungan interpersonal dibandingkan dengan pria. Grossman dan Wood (dalam Fernandez,

2012) menyatakan bahwa secara tradisional, dimensi emosional pada manusia cenderung

diidentikkan dengan kemampuan yang lebih baik pada wanita. Data ini telah menjadi

stereotip yang banyak dipercaya, bahwa jenis kelamin perempuan lebih emosional. Nolen-

Hoeksema dan Jackson (dalam Fernandez 2012) turut menjelaskan bahwa pandangan

feminis mengenai emosi turut melibatkan faktor biologis serta sosial dalam teori-teorinya.

Faktor biologis menjelaskan dengan hasil riset yang menemukan bahwa biokimia wanita

lebih siap untuk mengenali emosi diri sendiri dan orang lain. Ide ini didukung oleh Baron-

Cohen (dalam Fernandez 2012) dengan adanya temuan otak laki-laki dan wanita yang

memiliki struktur yang berbeda. Daerah-daerah tertentu dari otak yang didedikasikan untuk

pengolahan emosional, cenderung lebih besar pada otak wanita. Ditemukan proses

pengolahan emosi yang berbeda pula antara laki-laki dan wanita. Otak feminin sebagian

besar terstruktur untuk merasakan empati, sedangkan otak maskulin didominasi untuk

berusaha memahami dan membangun sistem.

Penjelasan aspek sosial menurut Brody dan Hall (dalam Fernandez 2012)

menunjukkan bahwa perempuan mendapatkan pendidikan yang bias mengenai emosional.

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id filemampu menerima kenyataan dan sukses mengatasi masalah keluarga dengan beradaptasi, membuat aturan serta kesepakatan dalam rumah tangga,

25

Perempuan dianggap wajar saat mengekspresikan kesedihan dengan tangis, namun pria

diajarkan untuk meminimalkan emosi tertentu yang terkait dengan kesedihan, rasa bersalah,

kerentanan dan ketakutan. Goleman (1995) menyatakan bahwa wanita lebih beruntung pada

lingkungan sosial yang lebih menekankan kepada emosi daripada pria. Contohnya, orang tua

lebih menggunakan kata-kata yang mengandung emosi ketika bercerita tentang anak

perempuan mereka daripada anak laki-laki, dan ibu juga lebih banyak memperlihatkan emosi

yang bervariasi ketika berinteraksi dengan anak perempuan, sehingga anak perempuan

menerima lebih banyak pelatihan pada emosi. Selain itu Candela, Barbera, Ramos, dan

Sarrió (dalam Fernandez 2012) mendukung dengan pernyataan bahwa perempuan

menghabiskan lebih banyak waktu dalam lingkungan sosial. Keadaan tersebut membuat

perempuan atau wanita memiliki kontak dengan dunia emosional secara lebih intens. Para

wanita dituntut untuk mempertahankan nada positif emosi mereka demi membangun

hubungan sosial yang memuaskan dan mencegah kerusakan hubungan interpersonal.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Katyal dan Awasthi (2005) pada remaja di

India, ditemukan perbedaan antara nilai kecerdasan emosional rata-rata pada anak laki-laki

dan perempuan. Temuan ini menyatakan bahwa perempuan memiliki kecerdasan emosional

yang lebih tinggi daripada anak laki-laki. Namun, perbedaannya hanya menyentuh 0,10

tingkat.

Penjelasan biologis dan sosial turut didukung oleh berbagai studi empiris mengenai

emosi, yang menunjukkan kemampuan emosional yang lebih besar atau lebih baik pada

wanita. Maka dapat disimpulkan bahwa wanita memiliki pengetahuan emosional yang lebih

luas. Wanita mengekspresikan emosi positif dan negatif secara lebih lancar dan lebih intens,

mereka memiliki lebih banyak kompetensi interpersonal, dan mereka cenderung dianggap

lebih mahir dalam lingkungan sosial (Fernandez, 2012).

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id filemampu menerima kenyataan dan sukses mengatasi masalah keluarga dengan beradaptasi, membuat aturan serta kesepakatan dalam rumah tangga,

26

E. Ngerob

Pernikahan merupakan suatu peristiwa yang amat penting dalam kehidupan

masyarakat luas, termasuk di Bali. Pelaksanaan suatu pernikahan di Bali, tidak hanya

menjadi urusan kedua insan, tetapi melibatkan orang tua masing-masing, keluarga, bahkan

masyarakat (Arsana, 1990).

Gunarsa (2012) menyatakan bahwa ikatan pernikahan pada umumnya akan menjadi

pondasi bagi keluarga, oleh karena itu ketika sepasang manusia menikah, akan lahir suatu

keluarga baru. Keluarga merupakan unit sosial yang penting dalam bangunan masyarakat.

Keluarga merupakan warisan umat manusia yang selalu dipertahankan keberadaannya dan

tidak lekang oleh perubahan jaman. Berdasarkan segi keberadaan anggota keluarga, keluarga

dibedakan menjadi dua kategori, yaitu keluarga inti (nuclear family) dan keluarga batih

(extended family). Keluarga inti terdiri atas ayah, ibu dan anak. Keluarga batih adalah

keluarga yang di dalamnya menyertakan posisi lain selain ketiga posisi pada keluarga inti.

Berdasarkan penjabaran Lee (dalam Gunarsa, 2012) terdapat tiga bentuk keluarga

batih. Bentuk pertama dari keluarga batih yang kerap kali ditemui di masyarakat adalah

keluarga bercabang (stem family). Keluarga bercabang terjadi saat seorang anak dan hanya

seorang yang sudah menikah masih tinggal dalam rumah orang tuanya. Bentuk kedua adalah

keluarga berumpun (lineal family) yang terjadi saat lebih dari satu anak yang sudah menikah

tetap tinggal bersama kedua orang tuanya. Selanjutnya, bentuk terakhir dari keluarga batih

adalah keluarga beranting (fully extended) yang terjadi apabila dalam suatu keluarga terdapat

generasi ketiga (cucu) yang sudah menikah dan tetap tinggal bersama. Adapun keluarga

batih dibangun berdasarkan hubungan antar generasi, bukan pasangan. Keluarga batih

biasanya terdapat dalam masyarakat yang yang memandang penting hubungan kekerabatan.

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id filemampu menerima kenyataan dan sukses mengatasi masalah keluarga dengan beradaptasi, membuat aturan serta kesepakatan dalam rumah tangga,

27

Sejalan dengan konsep keluarga batih yang dikemukakan Lee (dalam Gunarsa, 2012),

di Bali terdapat konsep yang serupa yakni ngerob. Konsep ngerob ini telah menjadi budaya

dalam pernikahan di Bali dan hingga saat ini tetap diturunkan dari generasi ke generasi.

Dalam pernikahan Bali, terdapat suatu budaya yang mengharuskan salah satu keluarga batih

junior (keluarga baru yang dibentuk seorang anak) masih tetap tinggal bersama dengan

keluarga batih senior (orang tua). Budaya inilah yang disebut dengan ngerob. Bila dijelaskan

lebih detail, ngerob didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana salah satu anak laki-laki

dari sebuah keluarga harus tetap tinggal di rumah orang tua untuk nanti dapat membantu

orang tua mereka kalau sudah tidak berdaya lagi dalam melaksanakan kewajiban dan

tanggung jawab orangtuanya dalam adat, yang berarti bahwa seorang laki-laki yang menikah

harus mengajak istrinya untuk tinggal di satu rumah dengan orang tuanya (Arsana, 1990).

Konsep keluarga batih dari Lee dan konsep budaya pernikahan ngerob di Bali, sejalan

pada penekanan bahwa anak yang telah terikat pernikahan dan membentuk keluarga baru

akan tetap tinggal bersama dengan orang tuanya. Bila dilihat lebih dalam, kedua konsep

diatas tidak mutlak sama. Pada konsep ngerob di Bali, dijelaskan bahwa anak yang tetap

tinggal bersama orang tua setelah terikat pernikahan adalah anak laki-laki, namun pada

konsep keluarga batih dari Lee, tidak dijelaskan lebih lanjut apakah anak laki-laki atau

perempuan yang tetap tinggal bersama orang tua setelah terikat pernikahan.

Perlu diingat bahwa pada ikatan keluarga besar, setiap orang tua masih merasa

mempunyai hak atas anaknya yang telah menikah. Anak yang dianggap sebagai bagian dari

dirinya harus mengingat jasa-jasa orang tua dalam membesarkannya sampai berhasil

mencapai kedudukan tertentu. Di sisi lain, sang mertua mengharapkan menantunya ingat

pula akan jasa-jasa mertuanya. Mertua merasa hak-hak atas anaknya direbut oleh

menantunya sehingga sering terjadi perebutan cinta kasih antara mertua dan menantu.

Persaingan ini, sewaktu-waktu dapat meruncing, sehingga perlu ditentukan dengan jelas

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id filemampu menerima kenyataan dan sukses mengatasi masalah keluarga dengan beradaptasi, membuat aturan serta kesepakatan dalam rumah tangga,

28

kedudukan dan tempat masing-masing. Permasalahan dalam keluarga besar ini juga dapat

berlarut hingga campur tangan kakek nenek dalam membesarkan cucu. Dalam hal ini harus

diusahakan terciptanya keseragaman pendapat antara suami istri terhadap semua anggota

keluarga (Gunarsa, 2012).

Berdasarkan uraian di atas peneliti menyimpulkan bahwa ngerob adalah keadaan saat

salah satu anak laki-laki yang telah menikah dari sebuah keluarga harus tetap tinggal di

rumah orang tua dan membantu menjalankan kewajiban-kewajiban orang tua dalam adat.

F. Hubungan Kecerdasan Emosional dengan Penyesuaian Pernikahan

Menikah merupakan salah satu tugas perkembangan fase dewasa awal. Transisi ke

dalam kehidupan rumah tangga membawa perubahan besar dalam fungsi seksual, rencana

hidup, hak dan tanggung jawab, keterikatan dan loyalitas. Pasangan yang menikah harus

meredefinisi koneksi dengan keluarga asal mereka, menyeimbangkan intimasi dengan

otonomi dan membangun hubungan seksual yang memuaskan (Papalia, dkk, 2008).

Masa awal pernikahan seringkali tidak sesuai dengan harapan pasangan yang baru

menikah, bahkan merupakan masa-masa penyesuaian yang sulit bagi pasangan. Oleh karena

itu, penyesuaian di masa ini penting bagi kualitas pernikahan di masa depan. Selama tahun

pertama dan kedua pernikahan, pasangan suami istri dituntut untuk melakukan penyesuaian

satu sama lain, penyesuaian dengan keluarga dan lingkungan pertemanan. Selama pasangan

melakukan penyesuaian, kerap kali timbul ketegangan emosional (Hurlock, 1993).

Dua individu yang berbeda, hidup bersama dalam pernikahan dengan membawa

pandangan dan kebiasaan sehari-hari, walaupun didasari dengan saling mengenal

sebelumnya, tetapi perbedaan-perbedaan kecil dalam bentuk kebiasaan masing-masing

dapat menjadi sumber kekesalan, pertengkaran dan menimbulkan masalah. Apabila segala

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id filemampu menerima kenyataan dan sukses mengatasi masalah keluarga dengan beradaptasi, membuat aturan serta kesepakatan dalam rumah tangga,

29

macam permasalahan dalam pernikahan dikumpulkan, masalah tersebut dapat

diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok yakni masalah pribadi suami istri yang

meliputi masa lampau mereka dan masa depan yang akan dijalani bersama, masalah yang

berhubungan dengan keluarga baru dan rencana-rencananya yang akan dibentuk, dan

masalah pribadi suami istri yang saling memasuki lingkungan keluarga yang mencakup

mertua ipar, kakek, nenek dan yang lainnya (Gunarsa, 2012).

Faktanya di Bali sendiri, terdapat suatu budaya yang mengharuskan salah satu keluarga

batih junior (keluarga baru yang dibentuk seorang anak) masih tetap tinggal bersama dengan

keluarga batih senior (orang tua). Budaya ini disebut dengan ngerob. Bila dijelaskan lebih

detail, ngerob didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana salah satu anak laki-laki dari

sebuah keluarga harus tetap tinggal di rumah orang tua untuk nanti dapat membantu orang

tua mereka kalau sudah tidak berdaya lagi dalam melaksanakan kewajiban dan tanggung

jawab orangtuanya dalam adat, yang berarti bahwa seorang laki-laki yang menikah harus

mengajak istrinya untuk tinggal di satu rumah dengan orang tuanya (Arsana, 1990).

Ketika pasangan harus tinggal bersama mertua, tidak hanya terjadi penyesuaian

pernikahan yang melibatkan pasangan, namun juga penyesuaian dengan mertua. Proses

penyesuaian pernikahan yang juga membutuhkan waktu akan menjadi lebih berat karena

keterlibatan mertua (Surya, 2013). Status tinggal dengan mertua membuat mertua terlibat

pada rumah tangga menantunya. Kerap kali keterlibatan mertua ini adalah mengenai

pengasuhan cucunya. Ketika istri tinggal dengan mertuanya, dan mertua banyak terlibat

dalam pengasuhan anak, tugas istri untuk membesarkan anak tidak dapat berjalan dengan

maksimal. Secara khusus, penyesuaian selama tinggal dengan mertua memiliki aspek-aspek

yang terdiri dari sikap empati dan menghargai mertua, mengatur perasaan terhadap mertua,

berkata jujur dan bertanggung jawab (Yuliyana, 2012).

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id filemampu menerima kenyataan dan sukses mengatasi masalah keluarga dengan beradaptasi, membuat aturan serta kesepakatan dalam rumah tangga,

30

Berdasarkaan penelitian yang dilakukan oleh Astasari (2014) pada Wanita Bali yang

menjalani pernikahan ngerob, ditemukan bahwa seiring dengan bertambahnya usia

pernikahan, pola penyesuaian pernikahan yang harus dilalui menjadi semakin kompleks.

Ditemukan bahwa terjadi kesulitan dalam pengambilan keputusan, saat subjek pada

penelitian tersebut harus tinggal dengan mertua. Selain itu, subjek pada penelitian tersebut

juga mengalami kesulitan untuk dapat menghabiskan waktu bersama dengan suami. Subjek

pada penelitian tersebut, mengaku bahwa ia harus mampu mengendalikan ekspresi emosi,

saat harus berhadapan dengan mertua. Pada akhir penelitian, ditemukan bahwa kepuasan

pernikahan subjek menurun saat dikaitkan dengan relasi dengan mertua atau keluarga suami.

Walgito (dalam Anissa, 2012) menyebutkan bahwa agar penyesuaian dalam

kehidupan pernikahan dapat berjalan dengan baik, maka pasangan suami istri harus telah

matang secara psikologis. Istri diharapkan memiliki emosi yang stabil, menyadari tanggung

jawab, terintegrasi, dan mempunyai tujuan hidup yang jelas.

Emosi yang stabil dapat dikaitkan dengan kecerdasan emosional. Kemampuan

seseorang untuk mengatur diri dalam mengekspresikan perasaan serta emosi merupakan

kunci utama untuk dapat membina hubungan dengan orang lain. Kecerdasan emosional

mendorong kemampuan individu dalam memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi

frustrasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur

suasan hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir,

berempati, dan berdoa (Goleman,1995).

Dinamika hubungan kecerdasan emosional dengan penyesuaian pernikahan dalam

penelitian ini dapat digambarkan seperti berikut ini:

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id filemampu menerima kenyataan dan sukses mengatasi masalah keluarga dengan beradaptasi, membuat aturan serta kesepakatan dalam rumah tangga,

31

Gambar 1. Diagram Hubungan Kecerdasan Emosional dengan Penyesuaian Pernikahan

Keterangan :

: hubungan variabel bebas dengan variabel terikat

: variabel yang diteliti

: dimensi variabel

G. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan pada perumusan masalah dan tinjauan pustaka diatas, maka hipotesis

penelitian ini adalah sebagai berikut:

Ha : Ada hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan

penyesuaian pernikahan pada Wanita Bali yang menjalani pernikahan

ngerob di Denpasar.

H0 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan

penyesuaian pernikahan pada Wanita Bali yang menjalani pernikahan

ngerob di Denpasar.

Kecerdasan

Emosional

Penyesuaian

Pernikahan

Budaya ngerob di Bali a. Mengetahui emosi

diri

b. Mengelola emosi

c. Memotivasi diri

d. Mengenali emosi

orang lain

e. Membina hubungan

dengan orang lain

a. Dyadic Concensus

b. Dyadic Satisfaction

c. Dyadic Cohesion

d. Affectional Expression