10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini terbagi atas tujuh sub bab. Sub bab pertama membahas mengenai pernikahan sebagai suatu fase kehidupan individu. Pada sub bab kedua dijabarkan pengertian penyesuaian pernikahan, dimensi penyesuaian pernikahan dan faktor yang mempengaruhi penyesuaian pernikahan. Pada sub bab selanjutnya, dijabarkan pengertian kecerdasan emosional, dimensi kecerdasan emosional dan faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional. Dibahas pula kaitan antara wanita dan kecerdasan emosional serta budaya pernikahan ngerob di Bali. Bab ini diakhiri dengan bahasan dinamika hubungan antar variabel serta hipotesis pada penelitian ini. A. Pernikahan Pernikahan adalah komitmen emosional yang legal dari dua individu yang berjanji untuk berbagi secara emosional, berbagi intimasi, tugas-tugas dan sumber finansial (Olson & Defrain, 2003). Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menjelaskan bahwa pernikahan merupakan ikatan suami istri lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Terdapat beberapa alasan positif individu memilih untuk menikah. Pernikahan yang berlandaskan alasan positif memiliki kemungkinan lebih besar untuk mencapai kesuksesan. Olson dan Defrain (2003) menjabarkan alasan utama individu menikah adalah untuk teman berbagi sepanjang hidup (companionship). Lebih lanjut dalam Atwater (1983) dinyatakan bahwa companionship mengacu pada perkawinan yang menyediakan dasar emosional bagi
22
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id filemampu menerima kenyataan dan sukses mengatasi masalah keluarga dengan beradaptasi, membuat aturan serta kesepakatan dalam rumah tangga,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini terbagi atas tujuh sub bab. Sub bab pertama membahas mengenai pernikahan
sebagai suatu fase kehidupan individu. Pada sub bab kedua dijabarkan pengertian
penyesuaian pernikahan, dimensi penyesuaian pernikahan dan faktor yang mempengaruhi
penyesuaian pernikahan. Pada sub bab selanjutnya, dijabarkan pengertian kecerdasan
emosional, dimensi kecerdasan emosional dan faktor yang mempengaruhi kecerdasan
emosional. Dibahas pula kaitan antara wanita dan kecerdasan emosional serta budaya
pernikahan ngerob di Bali. Bab ini diakhiri dengan bahasan dinamika hubungan antar
variabel serta hipotesis pada penelitian ini.
A. Pernikahan
Pernikahan adalah komitmen emosional yang legal dari dua individu yang berjanji
untuk berbagi secara emosional, berbagi intimasi, tugas-tugas dan sumber finansial (Olson
& Defrain, 2003). Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menjelaskan
bahwa pernikahan merupakan ikatan suami istri lahir batin antara pria dan wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Terdapat beberapa alasan positif individu memilih untuk menikah. Pernikahan yang
berlandaskan alasan positif memiliki kemungkinan lebih besar untuk mencapai kesuksesan.
Olson dan Defrain (2003) menjabarkan alasan utama individu menikah adalah untuk teman
berbagi sepanjang hidup (companionship). Lebih lanjut dalam Atwater (1983) dinyatakan
bahwa companionship mengacu pada perkawinan yang menyediakan dasar emosional bagi
11
pasangan dalam menjalani naik-turunnya suatu kehidupan. Memenuhi kebutuhan psikologis
akan cinta dan intimasi juga dapat menjadi faktor yang mendorong individu melangkah ke
jenjang pernikahan. Pernikahan juga dijadikan alasan untuk mendapatkan sumber dukungan
dalam proses perkembangan individu. Selain itu pernikahan juga dapat memfasilitasi
pemenuhan kebutuhan seksual serta belajar menjadi orang tua. Individu yang menikah
cenderung memiliki gaya hidup yang lebih sehat, hidup lebih panjang, memiliki hubungan
seksual yang memuaskan, serta lebih terjamin secara ekonomi (Olson & Defrain, 2003).
Berdasarkan uraian diatas, peneliti menyimpulkan bahwa pernikahan adalah suatu
komitmen emosional yang legal dari dua individu. Pernikahan merupakan suatu fase
kehidupan yang secara umum dilalui oleh sebagian besar individu dengan tujuan utama
meraih kebahagiaan dan kehidupan yang lebih bermakna. Definisi ini yang kemudian
menjadi acuan bagi peneliti.
B. Penyesuaian Pernikahan
Penyesuaian pernikahan merupakan proses penting pada setiap pernikahan. Pada sub
bab ini pembahasan akan dimulai dengan pengertian penyesuaian pernikahan, dilanjutkan
dengan dimensi dari penyesuaian pernikahan dan faktor-faktor yang mempengaruhi
penyesuaian pernikahan.
1. Pengertian Penyesuaian Pernikahan
Penyesuaian pernikahan adalah konsep yang bervariasi yang secara umum
merupakan konsep yang mencakup perjanjian atau kesepakatan relatif antara suami dan
istri pada isu-isu yang dianggap penting, berbagi tugas dan kegiatan serta menunjukkan
kasih sayang satu sama lain dalam tujuan mencapai suatu kebahagiaan pernikahan
(Chaudhari & Patel, 2009).
12
Penyesuaian pernikahan merupakan proses yang berlanjut. Landis dan Judson
(1970) menjabarkan bahwa penyesuaian pernikahan merupakan proses yang berlangsung
sepanjang usia pernikahan. Lima tahun pertama sebuah pernikahan merupakan masa
paling dibutuhkannya penyesuaian. Lebih baik apabila seseorang yang telah menikah
dapat mengenali perbedaan-perbedaan dengan pasangannya dan berusaha untuk
menyelesaikannya saat awal sebuah pernikahan. Saat penyesuaian pernikahan pada awal
pernikahan telah dilaksanakan dengan baik, maka keadaan ini akan membantu pasangan
untuk melakukan penyesuaian pada masa-masa yang lebih sulit terkait adanya
pertumbuhan keluarga.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Anjani dan Suryanto (2006), dijabarkan
bahwa pola penyesuaian pernikahan yang dilakukan pasangan pada awal pernikahan
meliputi fase bulan madu, pengenalan kenyataan, krisis pernikahan dan kebahagiaan.
Pola penyesuaian pernikahan ini dilakukan secara bertahap. Pada fase bulan madu,
pasangan masih menjalani hidup dengan penuh kebahagian, menutupi kekurangan
masing-masing serta mengabaikan kekurangan pasangan atas dasar rasa cinta diawal
pernikahan. Saat memasuki fase pengenalan kenyataan, individu mulai mengetahui
karakteristik dan kebiasaan yang sebenarnya dari pasangannya. Pada fase krisis
pernikahan terjadi proses penyesuaian terhadap perbedaan yang ada. Apabila pasangan
mampu menerima kenyataan dan sukses mengatasi masalah keluarga dengan beradaptasi,
membuat aturan serta kesepakatan dalam rumah tangga, maka akan tercapai fase
kebahagiaan sejati.
Menurut Clinebell (dalam Anjani & Suryanto, 2006), periode awal pernikahan
merupakan masa penyesuaian diri, dan krisis muncul saat pertama kali memasuki jenjang
pernikahan. Pasangan suami istri harus banyak belajar tentang pasangan masing-masing
dan diri sendiri mulai dihadapkan dengan berbagai masalah. Dua kepribadian (suami
13
maupun istri) saling menempa untuk dapat sesuai satu sama lain, dapat memberi dan
menerima.
Terkait dengan memahami kepribadian, pasangan diharapkan untuk paham bahwa,
ciri-ciri kepribadian individu tidak dapat berubah dengan sebuah pernikahan, namun
individu mampu menyesuaikan diri satu sama lain dalam beberapa cara. Penyesuaian
pernikahan yang baik dapat ditemukan dalam pernikahan yang masing-masing pasangan
telah mampu memahami dan bersimpati dengan sudut pandang satu sama lain. Tipe
penyesuaian ini disebut dengan kesepahaman (agreement). Selain itu terdapat tipe
penyesuaian kompromi (compromise). Pada sebagian besar pernikahan, setidaknya
terdapat satu bagian penting dari hidup yang membutuhkan penyesuaian yang serius yang
hanya bisa diatasi dengan kompromi. Pasangan mungkin saja menemukan fase hidup
pernikahan yang dapat mereka setujui atau pahami dengan mudah, namun di sisi lain,
salah seorang atau sepasang harus membuat suatu konsesi yang serius. Adapun beberapa
area dimana pasangan harus mencapai suatu kesepahaman adalah hubungan dengan
mertua, hubungan seksual, aktivitas sosial dan rekreasi, hubungan dengan teman,
kehidupan religi, dan kesepahaman dalam mendidik anak (Landis & Judson, 1970).
Berdasarkan uraian diatas, peneliti melihat pengertian penyesuaian pernikahan oleh
Chaudhari dan Patel (2009) merupakan penjelasan yang menyeluruh apabila
dibandingkan dengan pengertian oleh Landis dan Judson (1970) dan Clinebell (dalam
Anjani & Suryanto, 2006). Maka disimpulkan bahwa penyesuaian pernikahan merupakan
suatu proses yang berlanjut yang berisi kesepakatan relatif antara suami dan istri pada
isu-isu yang dianggap penting, berbagi tugas dan kegiatan serta menunjukkan kasih
sayang satu sama lain dalam tujuan mencapai suatu kebahagiaan pernikahan (Chaudhari
& Patel, 2009). Definisi ini yang kemudian menjadi acuan bagi peneliti.
14
2. Dimensi Penyesuaian Pernikahan
Menurut Spanier (1976), penyesuaian hubungan suami istri merupakan suatu proses
dengan berbagai tahap seperti komunikasi yang efektif, proses menangani konflik-konflik
yang terjadi dan kepuasan dalam berbagai hubungan sesama pasangan. Beliau
menggunakan pengukuran Dyadic Adjustment Scale (DAS) terhadap 281 responden dan
32 aitem yang dikelompokkan ke dalam empat instrumen hubungan antara suami istri
(dyads), yakni diadiks kesepakatan (dyadics concensus), diadiks kepuasan (dyadics
satisfaction), diadiks kesepaduaan (dyadics cohesion), dan bentuk-bentuk yang
menunjukkan kasih sayang antara kedua-duanya (affectional expression).
1. Dyadic Concensus
Masa awal pernikahan merupakan fase transisi yang sulit karena pasangan harus
meninggalkan keluarga asalnya, melepas kemandirian mengatur hidup, dan mulai
berfungsi sebagai pasangan (Olson & Defrain, 2003). Arnold dan Parker (dalam
Donna, 2009) menyatakan bahwa dalam hubungan pernikahan, pasangan akan
menemukan berbagai permasalahan-permasalahan yang harus disepakati, seperti
mengatur anggaran belanja dan bagaimana membagi tugas-tugas rumah tangga, dan
pasangan akan menyadari bahwa mereka mempunyai perbedaan perspektif terhadap
berbagai hal. Sejalan dengan penjabaran diatas, kesepahaman pasangan pada dimensi
ini terkait permasalahan yang ada pada pernikahan. Kesepahaman ini mencakup
masalah finansial, rekreasi, kepercayaan (agama), kesepahaman mengenai hubungan
dengan teman, kesepahaman terkait hubungan seksual, kesepahaman mengenai
hubungan dengan mertua, kesepahaman tujuan hidup, kesepahaman pengambilan
keputusan, kesepahaman pembagian tugas-tugas rumah tangga, kesepahaman dalam
menghabiskan waktu luang, dan karir pasangan (Spanier, 1976).
15
2. Dyadic Satisfaction
Dyadic Satisfaction mengacu pada derajat kepuasan pasangan dalam hubungan
yang mencakup rendahnya tingkat pemikiran yang mengarah pada perpisahan atau
perceraian dan penyesalan, penyelesaian konflik dengan baik dan harapan mengenai
masa depan hubungan yang dijalani (Spanier, 1976). Kepuasan pernikahan merujuk
pada perasaan positif yang dimiliki pasangan dalam pernikahan yang maknanya lebih
luas daripada kenikmatan, kesenangan dan kesukaan (Lestari, 2012).
3. Dyadic Cohesion
Cohesion merupakan perasaan akan kedekatan emosional dengan orang lain
(Olson & Defrain, 2003). Kedekatan pasangan menggambarkan tingkat kedekatan
emosi yang dirasakan pasangan dan kemampuan menyeimbangkan antara
keterpisahan dan kebersamaan. Hal ini mencakup kesediaan untuk saling membantu,
memanfaatkan waktu luang bersama dan pengungkapan perasaan dekat secara emosi
(Gunarsa, 2012). Dyadic cohesion merupakan dimensi untuk melihat kedekatan
hubungan serta melihat seberapa banyak pasangan menghabiskan waktu bersama dan
menikmati kebersamaan. Kedekatan ini mencakup kebersamaan mengerjakan suatu
tugas/pekerjaan, terlibat dalam diskusi bersama dan bertukar ide (pemikiran), dan
tertawa bersama (Spanier, 1976).
4. Affectional Expression
Kesepakatan dalam menyatakan perasaan dan hubungan seksual serta masalah-
masalah yang terkait hal tersebut. Kesepakatan ekspresi perasaan dan hubungan
seksual disini mencakup bagaimana cara pasangan menyatakan perasaan, penilaian
pasangan mengenai relasi seksual (Spanier, 1976). Komunikasi seksualitas akan
membantu pasangan untuk saling memahami perspektif masing-masing terhadap
16
kebutuhan dan ketertarikan seksual. Dalam komunikasi seksual, komunikasi non
verbal dapat membantu menunjukkan afeksi terhadap pasangan (Lestari, 2012).
Peneliti akan menggunakan empat area penyesuaian diadik (empat instrumen)
dalam Dyadic Adjustment Scale (DAS) oleh Spanier (1976) diatas, karena keempat diadik
yang dijabarkan oleh Spanier sesuai dengan kebutuhan penelitian ini. Keempat instrumen
tersebut selanjutnya akan dijadikan dasar untuk menyusun skala penyesuaian pernikahan
yang sesuai dengan keadaan ngerob pada Wanita Bali.
3. Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Pernikahan
Hurlock (1993) menyatakan bahwa kesamaan latar belakang suami dan istri,
kesamaan minat dan kepentingan serta kesamaan nilai akan membuat pasangan
cenderung lebih mudah untuk menyesuaikan diri.
Pada sisi yang berlawanan, Hurlock kembali menjabarkan bahwa penyesuaian
pernikahan tetaplah merupakan suatu proses yang sulit. Kurangnya persiapan dalam
menghadapi pernikahan merupakan faktor pertama yang membuat sebuah proses
penyesuaian pernikahan pada tahun awal pernikahan menjadi sulit. Pada proses,
ketidaksesuaian peran yang diemban masing-masing pasangan mempengaruhi
penyesuaian pernikahan. Hal yang menjadi masalah adalah salah satu pihak merasa tidak
puas terhadap peran yang telah dijalankan pasangannya, menganggap pasangannya tidak
berperan dengan baik dan tidak sesuai dengan harapan. Pernikahan dini, terkait dengan
kemampuan suami untuk menafkahi istri juga kerap kali menjadi kendala. Faktor
selanjutnya adalah pernikahan campuran, yang menimbulkan masalah pada status hukum
yang selanjutnya mempengaruhi penyesuaian dan kebahagiaan keluarga. Hubungan
pacaran sebelum menikah terkait dengan kurangnya pengenalan pada pasangan juga
mempersulit penyesuaian. Faktor terakhir adalah harapan yang tidak realistis akan
kehidupan setelah pernikahan yang indah tanpa mengacu pada keadaan sebenarnya.
17
Ketika kehidupan pernikahan yang dijalankan tidak sesuai dengan harapan, pasangan
akan mengalami kesulitan dalam melakukan penyesuaian terhadap tugas, tanggung jawab
dan peran (Hurlock, 1993).
Penyesuaian pernikahan membutuhkan kemampuan berhubungan interpersonal
yang baik, kemampuan berkomunikasi dan kemampuan mengendalikan emosi.
Kemampuan seseorang untuk mengatur diri dalam mengekspresikan perasaan serta emosi
merupakan kunci utama untuk dapat membina hubungan dengan orang lain. Keberhasilan
sebuah proses penyesuaian pernikahan dapat dilihat dari kualitas hubungan interpersonal
dan perilaku yang tampak. Keberhasilan ini dapat dilihat dari tercapainya kebahagiaan
antara pasangan suami-sitri yang berdasarkan atas kepuasan peran dan hubungan seksual,
tercapainya hubungan yang baik antara orang tua dan anak, terselesaikannya perbedaan
pendapat, kebersamaan dengan pasangan, penyesuaian yang baik pada keuangan dan
penyesuaian yang baik pada keluarga pasangan (Hurlock, 1993).
Sebagian pasangan akan berusaha keras untuk menjalani penyesuaian pernikahan
dan mendapatkan hubungan pernikahan yang bahagia dalam waktu relatif singkat.
Pasangan lain, berusaha bertahan sekuat tenaga, bahkan merasa terjebak cinta yang
menjerumuskan ke dalam sebuah pernikahan yang tidak dapat ditoleransi dan akan
bercerai. Seluruh pasangan akan saling mencintai saat mereka menikah, tetapi tidak
keseluruhan dari mereka menyadari bahwa pernikahan merupakan hasil dari kerjasama
dan penerimaan yang realistis terhadap tanggung jawab untuk membangun sebuah
hubungan yang membahagiakan. Maka semakin individu mampu beradaptasi dalam
kehidupan pernikahannya, semakin dekat kebahagiaan sebuah pernikahan. Untuk
mencapai kepuasan dalam pernikahan, kedua pasangan harus terus melakukan
penyesuaian kembali mengenai pemahaman mereka tentang apa yang mereka harapkan
satu sama lain, terkait dengan peran sebagai suami-istri (Atwater, 1983).
18
C. Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional sangat penting perannya untuk kemampuan bekerja secara tim,
menyadari dan merespon perasaan sendiri dan perasaan orang lain secara tepat, dan untuk
memotivasi diri sendiri dan orang lain. Dalam konteks penyesuaian pernikahan, kecerdasan
emosional turut diperlukan. Penyesuaian pernikahan membutuhkan kemampuan
berhubungan interpersonal yang baik, kemampuan berkomunikasi dan kemampuan
mengendalikan emosi. Kemampuan seseorang untuk mengatur diri dalam mengekspresikan
perasaan serta emosi merupakan kunci utama untuk dapat membina hubungan dengan orang
lain. Pada sub bab ini pembahasan akan dimulai dengan pengertian kecerdasan emosional,
dilanjutkan dengan dimensi dari kecerdasan emosional dan faktor-faktor yang
mempengaruhi kecerdasan emosional.
1. Pengertian Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional dapat mempengaruhi seberapa baik individu mengelola
relasi intimnya dan seberapa sehat mereka ketika berada di bawah tekanan (Papalia, dkk,
2008). Individu yang cerdas secara emosi dapat menentukan dengan tepat, kapan dan
sejauhmana perlu terlibat dalam masalah sosial, serta dapat turut serta memberikan jalan
keluar atau solusi yang diperlukan. Kecerdasan emosional dapat mengkondisikan
individu merasa bebas mengekpresikan emosi secara tepat, bertindak lugas, spontan
memiliki rasa humor dan mampu mengatasi tekanan (Yapono & Suharnan, 2013).
Kecerdasan emosional merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran khas, suatu
keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak.
Kecerdasan emosional adalah kemampuan individu untuk mempersepsi, membangkitkan
dan memasuki perasaan emosional. Kemampuan ini dapat membantu individu menyadari
dan mengatur emosi diri sendiri maupun orang lain, sehingga dapat mengembangkan
19
pertumbuhan emosi dan intelektual. Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk
memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, mengendalikan dorongan hati
dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban
stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati, dan berdoa (Goleman,1995).
Berdasarkan penjabaran diatas, peneliti menggunakan pengetian kecerdasan
emosional oleh Goleman (1995) karena lebih komperehensif dibandingkan dengan
pengertian oleh Yapono dan Suharman (2013). Goleman (1995) menjelaskan kecerdasan
emosional secara menyeluruh lengkap dengan aspek-aspek kecerdasan emosional yang
sesuai dengan kebutuhan penelitian ini. Maka dari itu, kecerdasan emosional merupakan
suatu perasaan dan pikiran-pikiran khas, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan
serangkaian kecenderungan untuk bertindak yang mencakup kemampuan menyadari
emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain dan membina
hubungan dengan orang lain (Goleman, 1995). Definisi ini yang kemudian menjadi acuan
bagi peneliti.
2. Dimensi Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional menurut Goleman (1995), dibagi dalam lima dimensi utama
yang mencakup:
1. Mengetahui emosi diri (knowing one’s emotions)
Self awareness (kesadaran diri) yang merupakan kemampuan untuk mengenali
perasaan sesuai dengan kenyataan. Kesadaran diri adalah kunci utama dari kecerdasan
emosional. Kemampuan untuk memonitor serta menyadari perubahan perasaan dari
waktu ke waktu merupakan hal yang krusial dalam pemahaman diri dan insight secara
psikologis. Kemampuan memahami emosi dengan jelas, dapat memandu individu
untuk yakin atas kemampuan serta batas-batas diri mereka sendiri, memiliki kesehatan
psikologis yang baik dan memiliki pandangan positif terhadap kehidupan. Ketika
20
individu ini masuk ke dalam suasana hati yang buruk, mereka tidak memikirkan dan
terobsesi dengan keadaan tersebut, dan bisa keluar lebih cepat dari keadaan tersebut.
Individu yang memiliki pemahaman yang lebih baik terhadap perasaan mereka akan
menjadi “pilot” pengarah kehidupan mereka sendiri ke arah yang lebih baik.
Singkatnya, perhatian individu terhadap perasaannya sendiri, dapat membantu
individu tersebut untuk mengelola emosi (Goleman, 1995).
2. Mengelola emosi (managing emotions)
Mengelola emosi dapat dijelaskan dengan menangani perasaan agar perasaan
dapat terungkap dengan tepat. Kemampuan ini mencakup kapasitas untuk
menenangkan diri, melepaskan diri dari kecemasan, kemurungan dan iritabilitas serta
luwes atas perubahan yang terjadi. Individu yang memiliki kemampuan unggul dalam
mengelola emosi dapat jauh lebih cepat bangkit kembali dari kemunduran kehidupan
dan gangguan dalam hidup (Goleman, 1995).
3. Memotivasi diri (motivating one self)
Kemampuan individu dalam memotivasi diri dapat dilihat dari aspek berikut: (a)
kemampuan mengendalikan impuls atau dorongan emosi, (b) kekuatan mengendalikan
pemikiran buruk, (c) berpikir positif, (d) optimis, (e) flow yang merupakan keadaan
saat perhatian individu sepenuhnya tercurahkan pada apa yang sedang terjadi dan
fokus pada satu objek. Individu cenderung ingin menjadi lebih baik dan lebih baik lagi,
individu akan senang memanfaatkan kesempatan-kesempatan baru serta gigih dalam
berjuang demi sebuah tujuan. Individu dengan kemampuan-kemampuan diatas,
cenderung dapat lebih efektif dan produktif pada apapun yang dikerjakannya
(Goleman, 1995).
21
4. Mengenali emosi orang lain (recognizing emotions in others)
Empati merupakan dasar untuk individu mengenali emosi atau perasaan individu
lainnya. Individu yang dapat menerapkan empati cenderung lebih memahami sinyal
sosial yang mengindikasi kebutuhan serta keinginan individu lainnya. Individu yang
menerapkan empati cenderung berusaha memenuhi kebutuhan orang lain. Emosi
individu jarang diperlihatkan dalam bentuk kata, kerap kali diekspresikan melalui
isyarat lain. Kemampuan untuk membaca isyarat non verbal merupakan kunci untuk
dapat mengenali dan berintuisi mengenai perasaan dan emosi orang lain. Isyarat non
verbal yang harus dipahami adalah berupa nada suara, gesture, ekspresi wajah dan
sejenisnya (Goleman, 1995).
5. Membina hubungan dengan orang lain (handling relationship)
Kemampuan seseorang untuk mengatur diri dalam mengekspresikan perasaan
serta emosi merupakan kunci utama untuk dapat membina hubungan dengan orang
lain. Tanpa memiliki keterampilan sosial, seseorang akan mengalami kesulitan dalam
pergaulan sosial. Keterampilan ini mencakup bagaimana seseorang dapat
mempengaruhi orang lain atau kelompok, memimpin kelompok, kemampuan untuk
memediasi dan bernegosiasi, kemampuan ber-empati, dan kemampuan untuk
mendeteksi perasaan orang lain. Dengan keterampilan ini individu akan tampak
charming, berkarisma dan diterima secara sosial (Goleman, 1995).
Tidak jauh berbeda dengan Goleman, McShanc dan Glinow (dalam Wibowo, 2013)
menyatakan bahwa kecerdasan emosional merupakan sekumpulan kemampuan untuk
merasakan emosi, mengasimilasi emosi dalam berpikir, memahami dan menghubungkan
emosi diri sendiri dan orang lain. Kecerdasan emosi diorganisir dalam empat dimensi
yang mencerminkan recognition of emotion dalam diri kita sendiri dan orang lain.
Adapun keempat dimensi tersebut meliputi self awareness yang berupa kemampuan
22
memahami emosi diri kita sendiri, self management yang merupakan kemampuan
mengelola emosi kita sendiri, social awareness yang berupa kemampuan merasakan dan
memahami emosi orang lain dan relationship management yang merupakan kemampuan
mengelola hubungan dengan orang lain sehingga terjalin hubungan interpersonal yang
baik.
Robbins (2008) menjelaskan kecerdasan emosional sebagai kemampuan seseorang
untuk mendeteksi serta mengelola petunjuk-petunjuk dan informasi emosional. Orang-
orang yang mampu mengenal emosi mereka sendiri dan mampu dengan baik membaca
emosi orang lain, dapat bekerja lebih efektif dalam pekerjaan mereka. Dalam
penjelasannya, Robbins membagi kecerdasan emosional ke dalam lima dimensi, yang
terdiri atas kesadaran diri, manajemen diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
Berdasarkan paparan diatas, peneliti menggunakan lima dimensi kecerdasan
emosional dari Goleman (1995) dalam menyusun skala, karena penjabaran mengenai
pengendalian emosi diri sendiri (kemampuan memotivasi diri), pemahaman emosi orang
lain dan pengelolaan hubungan interpersonal membuat teori kecerdasan emosional
Goleman lebih kompherensif dan lebih sesuai dengan kebutuhan penelitian ini. Skala
kecerdasan emosional yang disusun merupakan skala hasil modifikasi dari skala
kecerdasan emosional yang dibangun menggunakan lima dimensi dari Goleman oleh
Rustika (2014).
3. Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional
Menurut Goleman (2001) ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan
emosional, yaitu :
a. Pengalaman
Kecerdasan emosional dapat meningkat sepanjang hidup manusia. Sepanjang
perjalanan hidup yang normal, kecerdasan emosional cenderung bertambah. Selama
23
individu terus belajar untuk menangani suasana hati, menangani emosi-emosi yang
menyulitkan, maka individu akan semakin cerdas dalam hal emosi dan berhubungan
dengan orang lain. Mayer (dalam Goleman, 2001) menyatakan pendapat yang sama
bahwa kecerdasan emosional berkembang sejalan dengan usia dan pengalaman dari
kanak-kanak hingga dewasa.
b. Usia
Individu yang lebih tua dapat sama baiknya atau lebih baik dibandingkan
individu yang lebih muda dalam penguasaan kecakapan emosi baru.
c. Jenis kelamin
Pria dan wanita mempunyai kemampuan yang sama dalam hal meningkatkan
kecerdasan emosional. Tetapi, nilai rata-rata wanita seringkali dianggap dapat lebih
tinggi dibanding kaum pria dalam beberapa keterampilan emosi.
d. Jabatan
Semakin tinggi jabatan seseorang, semakin dibutuhkannya keterampilan
membina hubungan dengan orang lain. Maka, semakin tinggi jabatan yang ingin
diraih, individu dituntut untuk memiliki kecerdasan emosional yang lebih baik lagi.
Berdasarkan atas penjabaran mengenai kecerdasan emosional diatas, dapat
dinyatakan bahwa kecerdasan emosional, merujuk pada keterampilan daripada potensi.
Dengan demikian, berarti kecerdasan emosional dapat dipelajari atau diajarkan. Maka
dari itu, faktor lingkungan lebih berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan
kecerdasan emosional seseorang. Seseorang yang memperolah dukungan sosial yang
cukup dari orang tua atau lingkungan sekitarnya akan lebih mampu menyesuaikan diri
dengan kehidupan sosial. Sebaliknya seseorang yang kurang memperoleh dukungan
sosial yang cukup dari orang tua maupun lingkungan sekitarnya, cenderung mengalami
24
kesulitan dalam mengelola emosinya dan akibatnya akan mengalami banyak kesulitan
dalam mengembangkan interaksi sosialnya (Hadziq, 2013).
D. Kecerdasan Emosional dan Wanita
Beberapa tinjauan literatur mengenai emosi dan EI (Emotional Intellegence)
menjelaskan tentang perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan wanita dalam aspek yang
berhubungan dengan dunia emosional. Beberapa penelitian menemukan bahwa wanita
cenderung lebih menyadari emosi mereka, menunjukkan empati dan lebih baik dalam
hubungan interpersonal dibandingkan dengan pria. Grossman dan Wood (dalam Fernandez,
2012) menyatakan bahwa secara tradisional, dimensi emosional pada manusia cenderung
diidentikkan dengan kemampuan yang lebih baik pada wanita. Data ini telah menjadi
stereotip yang banyak dipercaya, bahwa jenis kelamin perempuan lebih emosional. Nolen-
Hoeksema dan Jackson (dalam Fernandez 2012) turut menjelaskan bahwa pandangan
feminis mengenai emosi turut melibatkan faktor biologis serta sosial dalam teori-teorinya.
Faktor biologis menjelaskan dengan hasil riset yang menemukan bahwa biokimia wanita
lebih siap untuk mengenali emosi diri sendiri dan orang lain. Ide ini didukung oleh Baron-
Cohen (dalam Fernandez 2012) dengan adanya temuan otak laki-laki dan wanita yang
memiliki struktur yang berbeda. Daerah-daerah tertentu dari otak yang didedikasikan untuk
pengolahan emosional, cenderung lebih besar pada otak wanita. Ditemukan proses
pengolahan emosi yang berbeda pula antara laki-laki dan wanita. Otak feminin sebagian
besar terstruktur untuk merasakan empati, sedangkan otak maskulin didominasi untuk
berusaha memahami dan membangun sistem.
Penjelasan aspek sosial menurut Brody dan Hall (dalam Fernandez 2012)
menunjukkan bahwa perempuan mendapatkan pendidikan yang bias mengenai emosional.
25
Perempuan dianggap wajar saat mengekspresikan kesedihan dengan tangis, namun pria
diajarkan untuk meminimalkan emosi tertentu yang terkait dengan kesedihan, rasa bersalah,
kerentanan dan ketakutan. Goleman (1995) menyatakan bahwa wanita lebih beruntung pada
lingkungan sosial yang lebih menekankan kepada emosi daripada pria. Contohnya, orang tua
lebih menggunakan kata-kata yang mengandung emosi ketika bercerita tentang anak
perempuan mereka daripada anak laki-laki, dan ibu juga lebih banyak memperlihatkan emosi
yang bervariasi ketika berinteraksi dengan anak perempuan, sehingga anak perempuan
menerima lebih banyak pelatihan pada emosi. Selain itu Candela, Barbera, Ramos, dan
Sarrió (dalam Fernandez 2012) mendukung dengan pernyataan bahwa perempuan
menghabiskan lebih banyak waktu dalam lingkungan sosial. Keadaan tersebut membuat
perempuan atau wanita memiliki kontak dengan dunia emosional secara lebih intens. Para
wanita dituntut untuk mempertahankan nada positif emosi mereka demi membangun
hubungan sosial yang memuaskan dan mencegah kerusakan hubungan interpersonal.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Katyal dan Awasthi (2005) pada remaja di
India, ditemukan perbedaan antara nilai kecerdasan emosional rata-rata pada anak laki-laki
dan perempuan. Temuan ini menyatakan bahwa perempuan memiliki kecerdasan emosional
yang lebih tinggi daripada anak laki-laki. Namun, perbedaannya hanya menyentuh 0,10
tingkat.
Penjelasan biologis dan sosial turut didukung oleh berbagai studi empiris mengenai
emosi, yang menunjukkan kemampuan emosional yang lebih besar atau lebih baik pada
wanita. Maka dapat disimpulkan bahwa wanita memiliki pengetahuan emosional yang lebih
luas. Wanita mengekspresikan emosi positif dan negatif secara lebih lancar dan lebih intens,
mereka memiliki lebih banyak kompetensi interpersonal, dan mereka cenderung dianggap
lebih mahir dalam lingkungan sosial (Fernandez, 2012).
26
E. Ngerob
Pernikahan merupakan suatu peristiwa yang amat penting dalam kehidupan
masyarakat luas, termasuk di Bali. Pelaksanaan suatu pernikahan di Bali, tidak hanya
menjadi urusan kedua insan, tetapi melibatkan orang tua masing-masing, keluarga, bahkan
masyarakat (Arsana, 1990).
Gunarsa (2012) menyatakan bahwa ikatan pernikahan pada umumnya akan menjadi
pondasi bagi keluarga, oleh karena itu ketika sepasang manusia menikah, akan lahir suatu
keluarga baru. Keluarga merupakan unit sosial yang penting dalam bangunan masyarakat.
Keluarga merupakan warisan umat manusia yang selalu dipertahankan keberadaannya dan
tidak lekang oleh perubahan jaman. Berdasarkan segi keberadaan anggota keluarga, keluarga
dibedakan menjadi dua kategori, yaitu keluarga inti (nuclear family) dan keluarga batih
(extended family). Keluarga inti terdiri atas ayah, ibu dan anak. Keluarga batih adalah
keluarga yang di dalamnya menyertakan posisi lain selain ketiga posisi pada keluarga inti.
Berdasarkan penjabaran Lee (dalam Gunarsa, 2012) terdapat tiga bentuk keluarga
batih. Bentuk pertama dari keluarga batih yang kerap kali ditemui di masyarakat adalah
keluarga bercabang (stem family). Keluarga bercabang terjadi saat seorang anak dan hanya
seorang yang sudah menikah masih tinggal dalam rumah orang tuanya. Bentuk kedua adalah
keluarga berumpun (lineal family) yang terjadi saat lebih dari satu anak yang sudah menikah
tetap tinggal bersama kedua orang tuanya. Selanjutnya, bentuk terakhir dari keluarga batih
adalah keluarga beranting (fully extended) yang terjadi apabila dalam suatu keluarga terdapat
generasi ketiga (cucu) yang sudah menikah dan tetap tinggal bersama. Adapun keluarga
batih dibangun berdasarkan hubungan antar generasi, bukan pasangan. Keluarga batih
biasanya terdapat dalam masyarakat yang yang memandang penting hubungan kekerabatan.
27
Sejalan dengan konsep keluarga batih yang dikemukakan Lee (dalam Gunarsa, 2012),
di Bali terdapat konsep yang serupa yakni ngerob. Konsep ngerob ini telah menjadi budaya
dalam pernikahan di Bali dan hingga saat ini tetap diturunkan dari generasi ke generasi.
Dalam pernikahan Bali, terdapat suatu budaya yang mengharuskan salah satu keluarga batih
junior (keluarga baru yang dibentuk seorang anak) masih tetap tinggal bersama dengan
keluarga batih senior (orang tua). Budaya inilah yang disebut dengan ngerob. Bila dijelaskan
lebih detail, ngerob didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana salah satu anak laki-laki
dari sebuah keluarga harus tetap tinggal di rumah orang tua untuk nanti dapat membantu
orang tua mereka kalau sudah tidak berdaya lagi dalam melaksanakan kewajiban dan
tanggung jawab orangtuanya dalam adat, yang berarti bahwa seorang laki-laki yang menikah
harus mengajak istrinya untuk tinggal di satu rumah dengan orang tuanya (Arsana, 1990).
Konsep keluarga batih dari Lee dan konsep budaya pernikahan ngerob di Bali, sejalan
pada penekanan bahwa anak yang telah terikat pernikahan dan membentuk keluarga baru
akan tetap tinggal bersama dengan orang tuanya. Bila dilihat lebih dalam, kedua konsep
diatas tidak mutlak sama. Pada konsep ngerob di Bali, dijelaskan bahwa anak yang tetap
tinggal bersama orang tua setelah terikat pernikahan adalah anak laki-laki, namun pada
konsep keluarga batih dari Lee, tidak dijelaskan lebih lanjut apakah anak laki-laki atau
perempuan yang tetap tinggal bersama orang tua setelah terikat pernikahan.
Perlu diingat bahwa pada ikatan keluarga besar, setiap orang tua masih merasa
mempunyai hak atas anaknya yang telah menikah. Anak yang dianggap sebagai bagian dari
dirinya harus mengingat jasa-jasa orang tua dalam membesarkannya sampai berhasil
mencapai kedudukan tertentu. Di sisi lain, sang mertua mengharapkan menantunya ingat
pula akan jasa-jasa mertuanya. Mertua merasa hak-hak atas anaknya direbut oleh
menantunya sehingga sering terjadi perebutan cinta kasih antara mertua dan menantu.
Persaingan ini, sewaktu-waktu dapat meruncing, sehingga perlu ditentukan dengan jelas
28
kedudukan dan tempat masing-masing. Permasalahan dalam keluarga besar ini juga dapat
berlarut hingga campur tangan kakek nenek dalam membesarkan cucu. Dalam hal ini harus
diusahakan terciptanya keseragaman pendapat antara suami istri terhadap semua anggota
keluarga (Gunarsa, 2012).
Berdasarkan uraian di atas peneliti menyimpulkan bahwa ngerob adalah keadaan saat
salah satu anak laki-laki yang telah menikah dari sebuah keluarga harus tetap tinggal di
rumah orang tua dan membantu menjalankan kewajiban-kewajiban orang tua dalam adat.
F. Hubungan Kecerdasan Emosional dengan Penyesuaian Pernikahan
Menikah merupakan salah satu tugas perkembangan fase dewasa awal. Transisi ke
dalam kehidupan rumah tangga membawa perubahan besar dalam fungsi seksual, rencana
hidup, hak dan tanggung jawab, keterikatan dan loyalitas. Pasangan yang menikah harus
meredefinisi koneksi dengan keluarga asal mereka, menyeimbangkan intimasi dengan
otonomi dan membangun hubungan seksual yang memuaskan (Papalia, dkk, 2008).
Masa awal pernikahan seringkali tidak sesuai dengan harapan pasangan yang baru
menikah, bahkan merupakan masa-masa penyesuaian yang sulit bagi pasangan. Oleh karena
itu, penyesuaian di masa ini penting bagi kualitas pernikahan di masa depan. Selama tahun
pertama dan kedua pernikahan, pasangan suami istri dituntut untuk melakukan penyesuaian
satu sama lain, penyesuaian dengan keluarga dan lingkungan pertemanan. Selama pasangan
melakukan penyesuaian, kerap kali timbul ketegangan emosional (Hurlock, 1993).
Dua individu yang berbeda, hidup bersama dalam pernikahan dengan membawa
pandangan dan kebiasaan sehari-hari, walaupun didasari dengan saling mengenal
sebelumnya, tetapi perbedaan-perbedaan kecil dalam bentuk kebiasaan masing-masing
dapat menjadi sumber kekesalan, pertengkaran dan menimbulkan masalah. Apabila segala
29
macam permasalahan dalam pernikahan dikumpulkan, masalah tersebut dapat
diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok yakni masalah pribadi suami istri yang
meliputi masa lampau mereka dan masa depan yang akan dijalani bersama, masalah yang
berhubungan dengan keluarga baru dan rencana-rencananya yang akan dibentuk, dan
masalah pribadi suami istri yang saling memasuki lingkungan keluarga yang mencakup
mertua ipar, kakek, nenek dan yang lainnya (Gunarsa, 2012).
Faktanya di Bali sendiri, terdapat suatu budaya yang mengharuskan salah satu keluarga
batih junior (keluarga baru yang dibentuk seorang anak) masih tetap tinggal bersama dengan
keluarga batih senior (orang tua). Budaya ini disebut dengan ngerob. Bila dijelaskan lebih
detail, ngerob didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana salah satu anak laki-laki dari
sebuah keluarga harus tetap tinggal di rumah orang tua untuk nanti dapat membantu orang
tua mereka kalau sudah tidak berdaya lagi dalam melaksanakan kewajiban dan tanggung
jawab orangtuanya dalam adat, yang berarti bahwa seorang laki-laki yang menikah harus
mengajak istrinya untuk tinggal di satu rumah dengan orang tuanya (Arsana, 1990).
Ketika pasangan harus tinggal bersama mertua, tidak hanya terjadi penyesuaian
pernikahan yang melibatkan pasangan, namun juga penyesuaian dengan mertua. Proses
penyesuaian pernikahan yang juga membutuhkan waktu akan menjadi lebih berat karena
keterlibatan mertua (Surya, 2013). Status tinggal dengan mertua membuat mertua terlibat
pada rumah tangga menantunya. Kerap kali keterlibatan mertua ini adalah mengenai
pengasuhan cucunya. Ketika istri tinggal dengan mertuanya, dan mertua banyak terlibat
dalam pengasuhan anak, tugas istri untuk membesarkan anak tidak dapat berjalan dengan
maksimal. Secara khusus, penyesuaian selama tinggal dengan mertua memiliki aspek-aspek
yang terdiri dari sikap empati dan menghargai mertua, mengatur perasaan terhadap mertua,
berkata jujur dan bertanggung jawab (Yuliyana, 2012).
30
Berdasarkaan penelitian yang dilakukan oleh Astasari (2014) pada Wanita Bali yang
menjalani pernikahan ngerob, ditemukan bahwa seiring dengan bertambahnya usia
pernikahan, pola penyesuaian pernikahan yang harus dilalui menjadi semakin kompleks.
Ditemukan bahwa terjadi kesulitan dalam pengambilan keputusan, saat subjek pada
penelitian tersebut harus tinggal dengan mertua. Selain itu, subjek pada penelitian tersebut
juga mengalami kesulitan untuk dapat menghabiskan waktu bersama dengan suami. Subjek
pada penelitian tersebut, mengaku bahwa ia harus mampu mengendalikan ekspresi emosi,
saat harus berhadapan dengan mertua. Pada akhir penelitian, ditemukan bahwa kepuasan
pernikahan subjek menurun saat dikaitkan dengan relasi dengan mertua atau keluarga suami.
Walgito (dalam Anissa, 2012) menyebutkan bahwa agar penyesuaian dalam
kehidupan pernikahan dapat berjalan dengan baik, maka pasangan suami istri harus telah
matang secara psikologis. Istri diharapkan memiliki emosi yang stabil, menyadari tanggung
jawab, terintegrasi, dan mempunyai tujuan hidup yang jelas.
Emosi yang stabil dapat dikaitkan dengan kecerdasan emosional. Kemampuan
seseorang untuk mengatur diri dalam mengekspresikan perasaan serta emosi merupakan
kunci utama untuk dapat membina hubungan dengan orang lain. Kecerdasan emosional
mendorong kemampuan individu dalam memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi
frustrasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur
suasan hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir,
berempati, dan berdoa (Goleman,1995).
Dinamika hubungan kecerdasan emosional dengan penyesuaian pernikahan dalam
penelitian ini dapat digambarkan seperti berikut ini:
31
Gambar 1. Diagram Hubungan Kecerdasan Emosional dengan Penyesuaian Pernikahan
Keterangan :
: hubungan variabel bebas dengan variabel terikat
: variabel yang diteliti
: dimensi variabel
G. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan pada perumusan masalah dan tinjauan pustaka diatas, maka hipotesis
penelitian ini adalah sebagai berikut:
Ha : Ada hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan
penyesuaian pernikahan pada Wanita Bali yang menjalani pernikahan
ngerob di Denpasar.
H0 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan
penyesuaian pernikahan pada Wanita Bali yang menjalani pernikahan