Top Banner
10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work-Life Balance 1. Pengertian Work-Life Balance Work-life balance adalah sebuah tantangan untuk mengombinasikan pekerjaan dengan bagian-bagian lain dalam kehidupan (Gambles, 2006). Gambles berpendapat bahwa aktivitas yang berkaitan dengan pekerjaan, hubungan sosial, dan kesenangan pribadi perlu untuk diseimbangkan. Lazar, dkk. (2010) mengasosiasikan work-life balance dengan keseimbangan yang terjadi antara waktu dan usaha yang diberikan seseorang untuk kehidupan pribadi dan pekerjaannya. Work-life balance didefinisikan sebagai suatu keadaan ketika seseorang mengalami keterikatan dan kepuasan yang seimbang dalam perannya sebagai pekerja dan di dalam keluarga (Greenhaus, 2003). Sejalan dengan Greenhaus, Clark (2000) mendefinisikan work-life balance sebagai terjadinya kepuasan dan fungsi-fungsi yang berjalan dengan baik dalam pekerjaan serta keluarga, dengan konflik peran yang minimal. Sama seperti Clark, Frone (2003) juga mengaitkan work-life balance dengan konflik peran. Frone menyatakan bahwa work-life balance adalah tidak adanya konflik antara peran seseorang dalam keluarga dan dalam pekerjaannya. Lockwood (2003) mendefinisikan work-life balance sebagai suatu keadaan di mana terjadi keseimbangan tuntutan pekerjaan dan kehidupan pribadi.
32

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work-Life Balanceabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/G0111059_bab2.pdf · 11 Work-life balance terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan perspektif karyawan

Apr 10, 2018

Download

Documents

truongthien
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work-Life Balanceabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/G0111059_bab2.pdf · 11 Work-life balance terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan perspektif karyawan

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Work-Life Balance

1. Pengertian Work-Life Balance

Work-life balance adalah sebuah tantangan untuk mengombinasikan

pekerjaan dengan bagian-bagian lain dalam kehidupan (Gambles, 2006). Gambles

berpendapat bahwa aktivitas yang berkaitan dengan pekerjaan, hubungan sosial,

dan kesenangan pribadi perlu untuk diseimbangkan. Lazar, dkk. (2010)

mengasosiasikan work-life balance dengan keseimbangan yang terjadi antara

waktu dan usaha yang diberikan seseorang untuk kehidupan pribadi dan

pekerjaannya.

Work-life balance didefinisikan sebagai suatu keadaan ketika seseorang

mengalami keterikatan dan kepuasan yang seimbang dalam perannya sebagai

pekerja dan di dalam keluarga (Greenhaus, 2003). Sejalan dengan Greenhaus,

Clark (2000) mendefinisikan work-life balance sebagai terjadinya kepuasan dan

fungsi-fungsi yang berjalan dengan baik dalam pekerjaan serta keluarga, dengan

konflik peran yang minimal. Sama seperti Clark, Frone (2003) juga mengaitkan

work-life balance dengan konflik peran. Frone menyatakan bahwa work-life

balance adalah tidak adanya konflik antara peran seseorang dalam keluarga dan

dalam pekerjaannya.

Lockwood (2003) mendefinisikan work-life balance sebagai suatu

keadaan di mana terjadi keseimbangan tuntutan pekerjaan dan kehidupan pribadi.

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work-Life Balanceabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/G0111059_bab2.pdf · 11 Work-life balance terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan perspektif karyawan

11

Work-life balance terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan perspektif karyawan dan

organisasi. Berdasarkan sudut pandang karyawan, work-life balance adalah suatu

tantangan untuk mengelola tuntutan-tuntutan pekerjaan dan tanggung jawab

dalam keluarga. Work-life balance berdasarkan sudut pandang organisasi adalah

tantangan untuk menciptakan sebuah lingkungan yang suportif sehingga karyawan

fokus kepada pekerjaan mereka ketika di tempat kerja.

Work-life balance merupakan hal yang esensial karena tidak tercapainya

work-life balance berakibat pada rendahnya kepuasan kerja, rendahnya

kebahagiaan, work-life conflict, dan burnout pada karyawan.

Karir dan keluarga adalah dua hal yang memiliki nilai sangat penting

bagi manusia. Ada beberapa motivasi dasar yang membuat manusia harus

menjalankan kedua hal tersebut secara seimbang (Laird, 1961). Manusia memiliki

kebutuhan fisiologis seperti bernafas, makan, tidur, dan kebutuhan akan hubungan

seksual yang secara moral harus diwadahi dengan perkawinan. Manusia juga

memiliki kebutuhan akan rasa aman yang berkaitan dengan asuransi dan jaminan

akan perlindungan dari kriminalitas. Kebutuhan manusia yang ketiga adalah

bersosialisasi. Keluarga dan teman memiliki peran yang sangat penting dalam

memenuhi kebutuhan ini. Selanjutnya, manusia membutuhkan perasaan bahwa ia

dihormati, dan yang terakhir kebutuhan akan pekerjaan yang disenangi.

Berdasarkan pendapat-pendapat yang dikemukakan para ahli, dapat

disimpulkan bahwa work-life balance adalah suatu keadaan ekuilibrium atau

seimbang antara tuntutan dan kepuasan seseorang terhadap karir dan kehidupan

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work-Life Balanceabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/G0111059_bab2.pdf · 11 Work-life balance terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan perspektif karyawan

12

rumah tangganya sehingga konflik yang terjadi antara karir dan kehidupan rumah

tangga dapat diminimalisir.

2. Aspek-aspek Work-Life Balance

Work-life balance terdiri dari beberapa aspek yang diungkap oleh

beberapa ahli. Aspek-aspek yang dikemukan oleh satu ahli dengan ahli lainnya

tidak berbeda jauh. Greenhaus (2003) menyatakan bahwa work-life balance terdiri

dari aspek-aspek berikut:

a. Keseimbangan waktu

Keseimbangan waktu mengacu pada kesetaraan antara waktu yang diberikan

seseorang untuk karirnya dengan waktu yang diberikan untuk keluarga atau

aspek kehidupan selain karir.

b. Keseimbangan peran

Keseimbangan peran mengacu pada keterlibatan psikologis yang seimbang

dalam karir seseorang dan keluarganya. Seseorang yang memiliki

keseimbangan peran tidak akan mengalami konflik dan kebingungan dalam

kedua ranah tersebut.

c. Keseimbangan kepuasan

Hal ini mengacu pada tingkat kepuasan yang seimbang seseorang terhadap

karir dan keluarganya.

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work-Life Balanceabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/G0111059_bab2.pdf · 11 Work-life balance terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan perspektif karyawan

13

Tidak jauh berbeda dengan Greenhaus, Fisher (dalam Poulose, 2014)

menyatakan bahwa work-life balance terdiri dari aspek-aspek berikut:

a. Waktu

Perbandingan antara waktu yang dihabiskan untuk bekerja dan waktu yang

digunakan untuk aktivitas lain.

b. Perilaku

Perbandingan antara perilaku individu dalam bekerja dan dalam aspek

kehidupan yang lain.

c. Ketegangan

Ketegangan yang dialami baik dalam pekerjaan maupun aspek kehidupan yang

lain dapat menimbulkan konflik peran dalam diri individu

d. Energi

Perbandingan antara energi yang digunakan individu untuk menyelesaikan

pekerjaannya dan energi yang digunakan dalam aspek kehidupan selain karir.

Hayman (2005) mengadaptasi aspek-aspek yang dikemukakan oleh

Fisher dan menyatakan bahwa work-life balance dapat diukur melalui aspek-

aspek berikut:

a. Work interference personal life (WIPL)

Aspek ini mengungkapkan adanya interferensi dari pekerjaan terhadap

kehidupan pribadi. Artinya, pekerjaan mempengaruhi kehidupan pribadi

seseorang. Interferensi ini memberikan efek negatif pada kehidupan pribadi.

Adanya interferensi ini mengindikasikan rendahnya work-life balance

seseorang.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work-Life Balanceabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/G0111059_bab2.pdf · 11 Work-life balance terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan perspektif karyawan

14

b. Personal life interference work (PLIW)

Berkebalikan dengan aspek WIPL, aspek ini mengungkapkan adanya

interferensi dari kehidupan pribadi pada pekerjaan. Artinya, kehidupan pribadi

seseorang mempengaruhi pekerjaan individu tersebut. Interferensi ini

menyebabkan adanya ketidakefektifan performa seseorang dalam

pekerjaannya. Munculnya interferensi ini mengindikasikan rendahnya work-life

balance seseorang.

c. Work-personal life enhancement (WPLE)

Aspek ini menunjukkan bahwa kehidupan pribadi dan pekerjaan saling

mempengaruhi dan memberi efek positif pada kedua ranah tersebut.

Terpenuhinya aspek ini menjadi salah satu indikasi tercapainya work-life

balance seseorang.

Penelitian ini akan menggunakan aspek-aspek yang dikemukakan oleh

Hayman, yaitu WIPL, PLIW, dan WLPE. Aspek-aspek tersebut dipilih karena

merupakan aspek yang paling sesuai dengan subjek penelitian ini, yaitu karyawan

yang menjalani commuter marriage.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Work-Life Balance

Tercapainya work-life balance dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik

dari dalam diri individu maupun dari lingkungan. Menurut Poulose (2014), ada

faktor yang mempengaruhi work-life balance terbagi menjadi empat, yaitu faktor

individu, faktor organisasi, faktor lingkungan sosial, dan faktor-faktor lainnya.

Keempat faktor tesebut terdiri dari faktor-faktor berikut:

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work-Life Balanceabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/G0111059_bab2.pdf · 11 Work-life balance terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan perspektif karyawan

15

1. Individu

a. Kepribadian

Kepribadian adalah kumulasi dari berbagai cara seorang individu bereaksi

terhadap lingkungan dan berinteraksi dengan orang lain. Kepribadian

manusia terdiri dari beberapa faktor utama yaitu ekstraversi (tingkat

kesenangan terhadap hubungan), agreeableness/keramahan (tingkat

kepatuhan terhadap orang lain), kesadaran/sifat berhati-hati (ketekunan dan

motivasi dalam mencapai tujuan), neurotisme (ketahanan terhadap stres),

dan keterbukaan terhadap pengalaman. Ekstraversi, kesadaran, keramahan,

dan keterbukaan terhadap pengalaman berkorelasi negatif dengan work-

family conflict, sedangkan neurotisme berkorelasi positif dengan work-

family conflict.

b. Psychological well-being

Psychological well-being mengacu pada sifat-sifat psikologis yang positif

seperti penerimaan diri, kepuasan, harapan, dan optimisme. Psychological

well-being berkorelasi positif dengan work-life balance. Pekerja dengan

psychological well-being yang tinggi memiliki tingkat work-life balance

yang tinggi pula.

c. Kecerdasan emosi

Kecerdasan emosi adalah kemampuan adaptif seseorang dalam mengenali

emosi, mengekspresikan emosi, meregulasi emosi, dan mengelola emosi diri

sendiri maupun orang lain. Kecerdasan emosi berkorelasi positif dengan

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work-Life Balanceabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/G0111059_bab2.pdf · 11 Work-life balance terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan perspektif karyawan

16

work-life balance. Individu dengan kecerdasan emosi yang tinggi memiliki

work-life balance yang tinggi pula.

2. Organisasi

a. Pekerjaan

Susunan pekerjaan yang fleksibel dapat membantu karyawan untuk

mencapai kehidupan kerja dan non-kerja yang berjalan beriringan. Dengan

kata lain, susunan pekerjaan yang fleksibel dapat meminimalisir konflik

antara kehidupan kerja dan non-kerja serta meningkatkan work-life balance

karyawan.

b. Work-life balance policies

Kebijakan-kebijakan dan program-program perusahaan dapat membantu

karyawan untuk mencapai work-life balance. Kebijakan-kebijakan yang

dimaksud adalah fleksibilitas pekerjaan karyawan, cuti, jam kerja, dan

fasilitas pengasuhan anak.

c. Dukungan

Dukungan dari atasan, organisasi, dan rekan kerja berhubungan positif

dengan work-life balance. Semakin tinggi dukungan yang diterima oleh

karyawan, semakin tinggi pula work-life balance karyawan tersebut.

d. Stres kerja

Stres kerja dapat didefinisikan sebagai persepsi individu terhadap pekerjaan

yang dianggapnya sebagai ancaman serta ketidaknyamanan individu di

lingkungan kerjanya. Stres kerja berhubungan dengan kesehatan, work-life

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work-Life Balanceabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/G0111059_bab2.pdf · 11 Work-life balance terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan perspektif karyawan

17

conflict, serta work-life balance seseorang. Stres kerja dapat menyebabkan

tidak tercapainya work-life balance.

e. Teknologi

Teknologi dapat menyebabkan tercapainya work-life balance maupun tidak

tercapainya work-life balance. Teknologi memfasilitasi kemudahan akses

terhadap pekerjaan, sehingga karyawan dapat bekerja kapan saja dan di

mana saja. Hal ini dapat berdampak positif maupun negatif terhadap

tercapainya work-life balance.

f. Peran

Konflik peran, ambiguitas peran, serta jam kerja yang berlebihan memiliki

andil yang besar dalam munculnya work-life conflict. Semakin tinggi

kekacauan peran yang terjadi, semakin sulit pula tercapainya work-life

balance.

3. Lingkungan sosial

a. Anak

Jumlah anak dan tanggung jawab akan pengasuhan anak berhubungan

dengan work-life balance. Jumlah anak yang lebih banyak memicu

timbulnya stres dan terjadinya konflik antara kehidupan rumah tangga dan

karir.

b. Dukungan keluarga

Dukungan keluarga berhubungan work-life balance. Dukungan emosional

dan instrumental yang diterima seseorang dari keluarga dapat membantu

tercapainya work-life balance. Pekerjaan pasangan, pertengkaran dalam

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work-Life Balanceabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/G0111059_bab2.pdf · 11 Work-life balance terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan perspektif karyawan

18

rumah tangga, serta ekspektasi akan perhatian dan penerimaan juga

berhubungan dengan work-life balance.

4. Lainnya

Faktor-faktor lain seperti usia, jenis kelamin, status perkawinan, status

parental, pengalaman, employee level, tipe pekerjaan, pendapatan, serta tipe

keluarga juga mempengaruhi work-life balance.

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa tercapanya work-

life balance dipengaruhi oleh berbagai hal, seperti kepribadian, pychological well-

being, kecerdasan emosi, jabatan, teknologi, dukungan sosial, serta keluarga.

4. Fungsi Work-Life Balance

Menurut Poulose (2014), tercapainya work-life balance menghasilkan

beberapa keluaran yang terbagi menjadi dua kategori, yaitu keluaran yang

berkaitan dengan pekerjaan/karir dan keluaran yang tidak terkait dengan karir.

Fungsi work-life balance pada bidang pekerjaan/karir adalah:

a. Kepuasan kerja

Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa work-life balance berhubungan

signifikan dengan kepuasan kerja. Karyawan yang memiliki work-life balance

tinggi memiliki kepuasan kerja yang tinggi pula.

b. Komitmen terhadap organisasi

Selain berhubungan dengan kepuasan kerja, work-life balance juga

berhubungan positif dengan komitmen karyawan terhadap organisasi. Semakin

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work-Life Balanceabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/G0111059_bab2.pdf · 11 Work-life balance terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan perspektif karyawan

19

tinggi work-life balance seorang karyawan, semakin tinggi pula komitmen

karyawan terhadap organisasi.

c. Minimnya turnover

Work-life balance telah dibuktikan berhubungan signifikan dengan turnover.

Hubungan yang dimiliki antara work-life balance dan turnover adalah

hubungan negatif. Semakin tinggi work-life balance yang dimiliki oleh seorang

karyawan maka semakin rendah tingkat turnover karyawan tersebut.

d. Minimnya burnout

Sejalan dengan minimnya turnover, work-life balance juga berperan dalam

mengurangi burnout yang terjadi pada karyawan. Semakin tinggi work-life

balance seseorang, semakin rendah potensi burnout yang dimilikinya.

e. Minimnya ketidakhadiran dalam pekerjaan

Work-life balance memiliki peran dalam mengurangi ketidakhadiran karyawan

dalam pekerjaannya. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa work-life

balance berhubungan signifikan dengan tingkat ketidakhadiran atau absen

karyawan. Hubungan yang dimiliki adalah hubungan negatif, sehingga semakin

tinggi work-life balance seorang karyawan maka semakin rendah tingkat

ketidakhadiran karyawan tersebut.

f. Performa kerja

Work-life balance memiliki hubungan yang signifikan dengan performa kerja

seorang karyawan. Seorang karyawan yang memiliki work-life balance tinggi

memiliki performa kerja yang baik pula. Performa kerja yang baik dapat dilihat

melalui tingginya produktivitas seorang karyawan.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work-Life Balanceabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/G0111059_bab2.pdf · 11 Work-life balance terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan perspektif karyawan

20

Sedangkan dalam bidang di luar karir, work-life balance memiliki

pengaruh terhadap hal-hal berikut:

a. Kepuasan hidup

Work-life balance memiliki hubungan yang signifikan dengan kepuasan hidup.

Semakin tinggi work-life balance seseorang maka semakin tinggi pula

kepuasan hidup orang tersebut. Kepuasan hidup ini mencakup berbagai aspek,

yaitu kepuasan terhadap perkawinan, kepuasan terhadap keluarga, dan

kepuasan terhadap aktivitas kesenangan (leisure activity atau aktivitas yang

tidak berhubungan dengan pekerjaan).

b. Kesehatan

Konflik atau interferensi yang terjadi antara kehidupan rumah tangga dan karir

dapat meningkatkan stres yang berkaitan dengan kesehatan. Berbagai

penelitian menunjukkan bahwa work-life conflict berhubungan signifikan

dengan kesehatan dan dimoderasi oleh stres. Semakin tinggi work-life conflict

yang dialami oleh seseorang semakin rendah tingkat kesehatan orang tersebut.

Hal ini menunjukkan bahwa work-life balance berdampak positif terhadap

kesehatan.

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa work-life balance

memiliki banyak dampak positif terhadap kehidupan manusia, baik dalam

pekerjaan maupun kehidupan pribadi. Banyaknya fungsi work-life balance ini

menjadikan work-life balance penting untuk dimiliki setiap orang.

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work-Life Balanceabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/G0111059_bab2.pdf · 11 Work-life balance terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan perspektif karyawan

21

B. Dukungan Sosial

1. Pengertian Dukungan Sosial

Dukungan sosial adalah tersedianya bantuan untuk melakukan

penyesuaian adaptif dalam suatu hubungan personal yang mencakup proses sosial,

emosional, kognitif, dan perilaku. Dukungan sosial dapat diberikan oleh keluarga,

teman, atau individu yang memiliki persamaan masalah (Dalton, 2001).

Menurut Taylor (2011) dukungan sosial adalah informasi dari seorang

terhadap individu lain bahwa individu tersebut dicintai, diperhatikan, dipandang,

dan dihargai. Sejalan dengan Dalton, dkk., Taylor mengatakan bahwa dukungan

sosial dapat diperoleh dari orang tua, pasangan hidup, teman, komunitas sosial,

bahkan melalui binatang peliharaan. Dukungan sosial dapat mengurangi respon

psikologis dan neuroendokrin terhadap stres. Broadwell & Light menyatakan

bahwa dukungan sosial dari pasangan hidup adalah yang paling efektif bagi pria

(dalam Taylor, 2011).

Dukungan sosial merupakan pemberian informasi, pemberian bantuan

tingkah laku atau materi yang didapat dari hubungan sosial yang akrab atau hanya

disimpulkan darikeberadaan kelompok yang membuat individu merasa

diperhatikan dan dicintai (Sarason, 1990). Sejalan dengan hal tersebut, Pender

(dalam Ruikar, 2015) menyatakan bahwa dukungan sosial adalah perasaaan

subjektif seseorang bahwa ia dicintai, dihargai, dihormati, dan dibutuhkan.

Menurut Etzion (dalam Ruikar, 2015), dukungan sosial adalah tersedianya sebuah

jaringan sosial nonformal yang memberikan ekspresi-ekspresi kepedulian

emosional atau empati, bantuan praktis, dukungan informasi, dan penilaian.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work-Life Balanceabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/G0111059_bab2.pdf · 11 Work-life balance terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan perspektif karyawan

22

Dukungan sosial memiliki berbagai fungsi bagi kehidupan seorang

individu. Sarason (1990) menyatakan bahwa dukungan sosial dapat membantu

seseorang untuk memiliki pengalaman hidup yang lebih baik, harga diri yang

lebih tinggi, serta pandangan yang lebih positif terhadap kehidupan. Rendahnya

dukungan sosial dapat menyebabkan ketidakpuasan hidup dan munculnya

hambatan-hambatan dalam melakukan tugas-tugas dan pekerjaan sehari-hari.

Berdasarkan pendapat-pendapat berbagai ahli seperti di atas, dukungan

sosial adalah tersedianya sebuah bantuan secara sosial, emosional, kognitif, dan

tindakan yang diberikan oleh keluarga, rekan kerja, atasan, maupun organisasi

kepada seseorang.

2. Aspek-aspek Dukungan Sosial

Dukungan sosial dapat dilihat melalui beberapa aspek yang dimilikinya.

Sebagian besar ahli menyatakan pendapat yang nyaris sama terhadap aspek-aspek

pembentuk dukungan keluarga. Schaefer (1981) mengatakan bahwa dukungan

sosial dapat memiliki beberapa aspek, yaitu:

a. Tangible/instrumental support, yaitu dukungan yang berbentuk konkrit dan

sesuatu yang dapat dilihat seperti benda, uang, dan pelayanan.

b. Informational support, yaitu dukungan yang muncul dalam bentuk nasihat,

arahan, saran dan informasi yang berguna bagi seseorang.

c. Emotional support, yaitu dukungan yang muncul dalam bentuk kehangatan,

empati, cinta, penerimaan, dan perhatian.

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work-Life Balanceabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/G0111059_bab2.pdf · 11 Work-life balance terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan perspektif karyawan

23

d. Esteem support, yaitu dukungan yang memunculkan keyakinan seseorang

bahwa ia dapat mengatasi suatu permasalahan atau melakukan sesuatu.

e. Network support, yaitu dukungan yang berupa informasi kepada seseorang

bahwa ia merupakan bagian dari suatu kelompok yang bersedia memberikan

bantuan kepada individu tersebut.

Tidak jauh berbeda dengan Schaefer, House (1987) menyatakan bahwa

dukungan sosial memiliki empat aspek, yaitu:

a. Dukungan emosional

Dukungan emosional dapat berupa tersedianya simpati, perhatian, rasa percaya

dan kasih sayang bagi seseorang. Dukungan secara emosional dapat

memberikan rasa nyaman bagi individu, sehingga memberikan dampak positif

dalam mengurangi stres maupun kecemasan.

b. Dukungan instrumental

Dukungan instrumental adalah tersedianya bantuan berupa benda maupun jasa

bagi seseorang. Dukungan instrumental umumnya dapat dilihat secara nyata.

c. Dukungan informatif

Dukungan informatif mencakup pemberian nasehat, petunjuk, saran-saran, dan

informasi yang diberikan kepada seseorang. Dukungan ini membantu individu

dalam menghadapi masalah dengan cara memperluas wawasan dan

pemahaman individu mengenai masalah yang dihadapi.

d. Dukungan evaluatitif/appraisal

Dukungan ini berupa evaluasi, penialaian, afirmasi, atau umpan balik yang

diberikan kepada seseorang.

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work-Life Balanceabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/G0111059_bab2.pdf · 11 Work-life balance terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan perspektif karyawan

24

Menurut Dalton, dkk. (2001), dukungan sosial memiliki dua aspek atau

bentuk, yaitu general dan spesifik.

a. Dukungan secara general merujuk pada sebuah dukungan yang diberikan

terhadap seseorang baik ketika ia sedang menghadapi stressor maupun tidak.

Dukungan ini dapat muncul dalam bentuk rasa memiliki (sense of

belongingness) dan dukungan emosional.

b. Dukungan spesifik diberikan pada saat sebuah stressor tertentu muncul. Ada

tiga bentuk dukungan yang dapat dikategorikan sebagai dukungan spesifik,

yaitu encouragement (dorongan atau semangat), informasi (termasuk saran

atau nasehat), dan tangible (sesuatu yang berwujud nyata).

Aspek-aspek dukungan sosial yang digunakan dalam penelitian ini

adalah aspek-aspek yang dikemukakan oleh House (1987), yaitu dukungan

emosional, dukungan instrumental, dukungan informatif, dan dukungan evaluatif.

C. Kecerdasan Emosi

1. Pengertian Kecerdasan Emosi

Kecerdasan emosi adalah kemampuan mengelola emosi secara efektif

untuk mencapai sebuah tujuan, mencapai produktivitas, menjalin hubungan

dengan orang lain, dan mencapai kesuksesan (Patton, 1998). Meyer (dalam

Martin, 2003) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk

memahami perasaan diri sendiri, untuk berempati terhadap perasaan orang lain,

dan untuk mengatur emosi. Kecerdasan emosi ini berperan penting dalam

peningkatan taraf hidup seseorang. Meyer juga menyatakan bahwa dalam dunia

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work-Life Balanceabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/G0111059_bab2.pdf · 11 Work-life balance terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan perspektif karyawan

25

kerja kecerdasan intelektual (IQ) hanya akan membawa individu melewati

gerbang perusahaan, namun kecerdasan emosi yang akan membawa individu

tersebut ke jenjang karir yang lebih tinggi. Tidak jauh berbeda dengan pendapat-

pendapat sebelumnya, Kalat (2007) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai

kemampuan untuk menyadari makna dari emosi dan menggunakannya dengan

efektif dalam pemecahan masalah.

Goleman (2007) berpendapat bahwa kecerdasan emosi berperan lebih

dibandingkan dengan kecerdasan intelektual. Goleman berpendapat bahwa aspek

perasaan harus selalu mendahului aspek sosial. Sebuah penelitian bahkan

membuktikan bahwa karyawan yang mampu mengelola emosi dengan baik

bekerja 300% lebih produktif dibandingkan dengan karyawan yang tidak memiliki

kempampuan tersebut.

Patton (1998) mengatakan bahwa kecerdasan emosi memiliki beberapa

manfaat, seorang individu dengan kecerdasan emosi yang baik akan mampu

bekerja sama dengan orang lain dan menjadi anggota kelompok yang lebih baik.

Seseorang dengan kecerdasan emosi yang baik juga akan memiliki kepercayaan

terhadap diri sendiri dan merasa mampu untuk mencapai tujuan yang ditentukan.

Seseorang yang memiliki kecerdasan emosi tinggi dapat mengelola konflik serta

berkomunikasi dengan efektif, memimpin dan mengelola orang lain dengan tepat,

serta menciptakan organisasi yang memiliki integritas, nilai-nilai, dan standar

perilaku yang tinggi.

Berdasarkan pendapat-pendapat para ahli yang tersebut di atas, dapat

disimpulkan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk menanggapi

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work-Life Balanceabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/G0111059_bab2.pdf · 11 Work-life balance terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan perspektif karyawan

26

dengan tepat suasana hati, mengelola emosi, memotivasi diri, dan memiliki

hubungan yang baik dengan orang lain.

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work-Life Balanceabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/G0111059_bab2.pdf · 11 Work-life balance terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan perspektif karyawan

27

2. Aspek-aspek Kecerdasan Emosi

Kecerdasan emosi memiliki beberapa apek di dalamnya. Aspek-aspek

kecerdasan emosi menurut Goleman (2007) adalah:

a. Mengenali emosi diri/kesadaran diri

Kemampuan mengenali emosi diri termasuk dalam ranah self-awareness atau

kesadaran diri. Kemampuan ini membuat seseorang dapat menilai keadaan

emosi dirinya dengan tepat. Individu harus memiliki kepekaan yang tinggi atas

dirinya sendiri supaya dapat mengenal emosinya sendiri.

b. Mengelola emosi diri/pengelolaan diri

Mengelola emosi diri adalah kemampuan untuk mengendalikan emosi yang

sudah ia kenali pada tahap sebelumnya agar bisa diungkapkan dengan tepat.

Kemampuan mengelola emosi diri membuat seseorang dapat tetap tenang

dalam menghadapi masalah, sehingga orang tersebut tidak dikendalikan oleh

emosinya.

c. Memotivasi diri

Memotivasi diri meliputi kepercayaan seorang individu terhadap dirinya

sendiri dan kemampuan untuk menahan diri terhadap kepuasan sesaat untuk

tujuan yang lebih besar. Kemampuan untuk memotivasi diri membuat

seseorang bersikap optimis serta berkomitmen dalam mencapai sebuah tujuan.

d. Mengenali emosi orang lain/empati

Mengenali emosi orang lain berarti memperluas kesadaran terhadap lingkungan

sekitar. Kemampuan ini membuat seseorang mampu menangkap isyarat-isyarat

emosi yang ditampilkan oleh orang-orang di sekitarnya. Kemampuan

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work-Life Balanceabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/G0111059_bab2.pdf · 11 Work-life balance terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan perspektif karyawan

28

mengenali emosi orang lain mencakup empati dan kesadaran individu bahwa

hal-hal yang dilakukannya dapat mempengaruhi orang lain di sekitar.

e. Mengelola hubungan dengan orang lain/keterampilan sosial

Kemampuan untuk mengelola hubungan dengan orang lain berarti

menggunakan kesadaran akan emosi diri dan emosi orang lain untuk membina

hubungan yang kuat dan berkualitas. Kemampuan ini mencakup kemampuan

berkomunikasi, mempengaruhi dan memimpin orang lain, serta bersikap jujur

tanpa menyakiti orang lain.

Salovey, dkk. (1990) mengemukakan bahwa kecerdasan emosi memiliki

tiga aspek, yaitu:

a. Kemampuan menilai dan mengekspresikan emosi

Seseorang yang memiliki kecerdasan emosi tinggi akan memiliki kemampuan

untuk mengetahui apa yang dirinya rasakan dan mengeluarkannya dalam

bentuk ekspresi dengan baik.

b. Kemampuan mengatur emosi

Kemampuan mengatur emosi dapat pula diartikan sebagai kemampuan untuk

mengelola apa yang ia rasakan dengan baik.

c. Kemampuan menggunakan informasi yang berkaitan dengan emosi untuk

berpikir dan bertindak

Kemampuan ini memampukan seseorang untuk tidak bertindak di luar kendali

hanya berdasarkan apa yang dirasakan saat itu. Seseorang dengan kecerdasan

emosi yang baik mampu berpikir dengan jernih sehingga emosi yang dirasakan

tidak termanifestasi dalam tindakan yang buruk.

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work-Life Balanceabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/G0111059_bab2.pdf · 11 Work-life balance terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan perspektif karyawan

29

Menurut Dulewicz (1999), kecerdasan emosi memiliki tujuh komponen

yaitu:

a. Kesadaran diri (self awareness)

b. Manajemen emosi (emotional management)

c. Motivasi diri (self motivation)

d. Empati (emphaty)

e. Mengelola hubungan (handling relationship)

f. Komunikasi interpersonal (interpersonal communication)

g. Gaya pribadi (personal style)

Patton (1998), mengemukakan bahwa kecerdasan emosui memiliki

aspek-aspek sebagai berikut:

a. Mengelola emosi diri sendiri dan orang lain

b. Mengenali sebuah masalah berkaitan dengan emosi atau rasional

c. Memaksimalkan fungsi positif dari emosi seperti optimisme, persisten, dan

harapan untuk mencapai sebuah tujuan

d. Memotivasi dan mendisiplinkan diri sendiri untuk mencapai produktivitas

e. Memiliki empati dan perhatian terhadap orang lan

f. Memiliki integritas dan kesetiaan

Aspek-aspek yang digunakan dalam penelitian ini adalah aspek-aspek

yang dikemukakan oleh Goleman, yaitu kesadaran diri, pengelolaan diri, motivasi,

empati, dan kemampuan sosial. Aspek ini digunakan karena sesuai dengan subjek

yang akan diambil dalam penelitian ini.

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work-Life Balanceabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/G0111059_bab2.pdf · 11 Work-life balance terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan perspektif karyawan

30

D. Commuter Marriage

Commuter marriage adalah sebuah keadaan perkawinan yang terbentuk

secara sukarela yang mana pasangan sama-sama bekerja mempertahankan dua

tempat tinggal yang berbeda lokasi geografisnya (Gerstel dan Gross, dalam Van

der Klis, 2009). Gerstel dan Gross menyatakan bahwa pasangan yang termasuk

dalam commuter marriage adalah pasangan yang terpisah paling tidak tiga malam

dalam satu minggu dan keadaan tersebut sudah berlangsung selama minimal tiga

bulan. Gerstel dan Gross menyatakan bahwa commuter marriage terbagi menjadi

dua jenis yaitu, adjusting couple dengan usia pernikahan 0-5 tahun dan

established couple dengan usia pernikahan lebih dari 5 tahun.

Sejalan dengan Gerstel dan Gross, McBride (2014) mendefinisikan

commuter marriage sebagai suatu keadaan pernikahan ketika pasangan suami istri

tinggal terpisah pada hari kerja atau lebih dari itu. Bergen (dalam McBride, 2014)

mendefinisikan commuter marriage sebagai sebuah tipe perkawinan yang ditandai

dengan terpisahnya tempat tinggal pasangan suami istri selama hari kerja maupun

periode yang lebih lama. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa situasi ini

sangat banyak terjadi dalam tiga dekade terkahir. Umumnya commuter marriage

dilakukan untuk mengakomodasi karir dari pasangan suami istri, sehingga kedua

belah pihak dapat tetap berkarir. McBride (2014) menyatakan bahwa jumlah

pasangan yang menjalani commuter marriage di Amerika Serikat terus

meningkat. Terdapat 3,5 juta pasangan yang mengalami pernikahan jarak jauh

pada tahun 2009 dan jumlah ini diprediksi akan terus bertambah.

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work-Life Balanceabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/G0111059_bab2.pdf · 11 Work-life balance terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan perspektif karyawan

31

Pasangan suami istri yang tinggal terpisah baik karena perang, wajib

militer, imigrasi, maupun pekerjaan telah banyak ditemui. Meskipun jarak

geografis antara suami dan istri bukan merupakan konsep baru, pada akhir tahun

1970-an kesempatan pria dan wanita untuk bekerja mulai setara sehingga

pasangan seperti berikut semakin banyak ditemui (Rhodes, 2002).

Penelitian yang dilakukan oleh Anderson dan Spruill (dalam Rhodes,

2002) menunjukkan bahwa sebagian besar pasangan yang menjalani commuter

marriage memiliki pendidikan tinggi dengan usia rata-rata 25 hingga 65 tahun.

Anderson dan Spruill juga menyatakan bahwa 40-50% pasangan yang menjalani

commuter marriage telah menikah selama 9 tahun atau lebih dan memiliki anak.

Commuter marriage memiliki beberapa manfaat sekaligus dapat

memberikan akibat yang tidak baik (Rhodes, 2002). Pasangan yang menjalani

commuter marriage memiliki kesempatan yang lebih besar untuk

mengembangkan karir. Pasangan yang menjalani commuter marriage juga

memiliki kebebasan yang lebih besar dibandingkan dengan pasangan pada

umumnya, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam karirnya. Rhodes

juga menyatakan bahwa pasangan commuter marriage lebih menghargai waktu

yang dihabiskan bersama dan memiliki frekuensi argumen serta perbedaan

pendapat yang lebih rendah dibandingkan dengan pasangan pada umumnya.

Rhodes (2002) berpendapat bahwa di samping beberapa manfaat seperti

paparan di atas commutter marriage juga dapat menimbulkan beberapa masalah

dalam perkawinan. Pasangan yang menjalani commuter marriage umumnya

mengalami kesepian dan rendahnya dukungan sosial yang diterima karena

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work-Life Balanceabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/G0111059_bab2.pdf · 11 Work-life balance terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan perspektif karyawan

32

minimnya waktu yang dimiliki bersama. Lingkungan dari pasangan commutter

marriage seperti teman, keluarga, dan rekan kerja juga berpotensi memiliki

pandangan yang buruk terhadap keadaan perkawinan jarak jauh tersebut.

Pasangan yang menjalani commuter marriage lebih berpotensi untuk memiliki

stres yang lebih besar mengenai pernikahan dan keluarga dibandingkan dengan

pasangan pada umumnya. Selain hal-hal yang dipaparkan sebelumnya, pasangan

commuter marriage memiliki kepuasan akan kehidupan seksual yang rendah serta

kehilangan momen-momen berharga bersama keluarga.

E. Hubungan antar Variabel

1. Hubungan antara Dukungan Sosial dan Kecerdasan Emosi dengan Work-

Life Balance pada Karyawan yang Menjalani Commuter Marriage

Work-life balance adalah suatu keadaan ketika seseorang mengalami

keterikatan dan kepuasan yang seimbang dalam perannya sebagai pekerja dan di

dalam keluarga. Tercapainya work-life balance dipengaruhi berbagai faktor, baik

dari individu maupun dari lingkungan (Polouse, 2014). Faktor internal yang

mempengaruhi work-life balance adalah kepribadian, well-being, dan kecerdasan

emosi. Faktor eksternal yang mempengaruhi work-life balance seseorang terbagi

menjadi dua yaitu faktor yang berasal dari organisasi dan lingkungan sosial.

Faktor eksternal yang berasal dari organisasi adalah dukungan atasan, dukungan

rekan kerja, kebijakan-kebijakan organisasi, jenis pekerjaan, dan stres kerja.

Faktor eksternal yang berasal dari lingkungan sosial adalah dukungan keluarga,

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work-Life Balanceabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/G0111059_bab2.pdf · 11 Work-life balance terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan perspektif karyawan

33

pekerjaan pasangan, konflik dalam rumah tangga, dan tanggung jawab akan

pengasuhan anak.

Rhodes (2002) mengatakan bahwa bertambahnya kesempatan bagi

wanita untuk bekerja berdampak pada konflik internal seseorang yang harus

memilih antara karir atau pernikahannya. Solusi yang konvensional adalah

mengorbankan salah satu dari kedua hal tersebut, namun dewasa ini pernikahan

jarak jauh lebih banyak dipilih sebagai solusi agar seseorang tetap bisa berkarir

meski sudah menikah.

Seiring dengan terjadinya pernikahan jarak jauh masalah lain terkadang

muncul, yaitu pembagian waktu dan peran yang harus dilakukan antara karir dan

pernikahan (Shen dan Jiang, 2013). Pembagian waktu dan peran seperti

disebutkan sebelumnya mempengaruhi work-life balance seseorang. Shen dan

Jiang (2013) menyebutkan bahwa work-life balance memang dapat dipengaruhi

oleh pembagian waktu dan peran dalam keluarga, namun dapat dipengaruhi

beberapa hal lain juga seperti usia dan jenis kelamin.

Pembagian tugas rumah tangga antara suami dan istri, kebijakan

perusahaan, dan kualitas dari infrastruktur sosial yang baik dapat membantu

pasangan yang sama-sama bekerja untuk mencapai work-life balance (Fagan,

dkk., 2012). Sejalan dengan pernyataan Fagan, Higgins, dkk. (2007) menyatakan

bahwa pembagian tugas rumah tangga, termasuk melibatkan anak dalam tugas-

tugas tersebut, serta dukungan dari keluarga dapat membantu pencapaian work-

life balance.

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work-Life Balanceabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/G0111059_bab2.pdf · 11 Work-life balance terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan perspektif karyawan

34

Penelitian yang dilakukan oleh Van der Klis (2009) menunjukkan bahwa

pasangan yang menjalani commutter marriage juga dapat mencapai work-family

balance. Van der Klis menyebutkan bahwa terdapat work-family balance

umumnya dicapai oleh pasangan commuter marriage dengan dua cara, yaitu

tradisional dan egalitarian. Pasangan yang menggunakan cara tradisional

menempatkan salah satu pihak (umumnya laki-laki) untuk bekerja sepenuhnya

sedangkan pihak yang lain hanya bekerja paruh waktu atau tidak bekerja sama

sekali. Pihak yang tidak bekerja bertanggung jawab sepenuhnya dalam mengelola

rumah tangga dan mengurus anak. Sebaliknya, pasangan yang menggunakan cara

egalitarian membagi tugas dalam berkarir dan mengelola rumah tangga secara

seimbang.

Berbagai penelitian mengenai hal-hal yang mempengaruhi tercapainya

work-life balance telah dilakukan. Maiya (2014) melakukan penelitian mengenai

hal-hal yang mempengaruhi work-life balance, yaitu faktor personal, kemampuan

untuk menyeimbangkan karir dan kehidupan pribadi, dukungan organisasi,

motivasi, potensi perkembangan karir, dan faktor psikologis. Penelitian ini

menunjukkan bahwa work-life balance subjek yang berusia 25 tahun sampai 30

tahun dipengaruhi oleh faktor motivasi, potensi perkembangan karir, dan

dukungan organisasi. Work-life balance subjek yang berusia 31 tahun sampai 35

tahun dipengaruhi oleh kemampuan untuk menyeimbangkan antara kehidupan

pribadi dan karir, faktor personal, dan faktor psikologis. Kesimpulan dari

penelitian ini adalah work-life balance dipengaruhi oleh hal-hal yang berbeda dan

tergantung pada usia subjek.

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work-Life Balanceabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/G0111059_bab2.pdf · 11 Work-life balance terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan perspektif karyawan

35

Holly (2012) melakukan penelitian yang menunjukkan bahwa sebenarnya

jam kerja tidak memiliki dampak negatif terhadap work-life balance, namun

keinginan untuk mengurangi jam kerja yang menimbulkan dampak negatif pada

work-life balance. Hal ini berkaitan dengan kepuasan atas jam kerja yang

diberikan oleh perusahaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jam kerja

tidak memiliki hubungan signifikan dengan work-life balance, namun keinginan

yang dimiliki karyawan untuk mengurangi jam kerja memiliki hubungan

signifikan dengan work-life balance. Semakin tinggi keinginan untuk mengurangi

jam kerja maka work-life balance karyawan tersebut akan rendah.

Penelitian yang dilakukan oleh Skinner (2013) menunjukkan bahwa

kebijakan perusahaan juga berhubungan dengan work-life balance. Kebijakan

perusahaan yang menguntungkan keluarga karyawan (family friendly policies)

meningkatkan work-life balance karyawan.

Selain kebijakan perusahaan, dukungan atasan juga mempengaruhi

tercapainya work-life balance. Penelitian yang dilakukan oleh Kopp (2013)

menunjukkan bahwa semakin tinggi dukungan yang diberikan atasan untuk

seorang karyawan, semakin tinggi pula work-life balance karyawan tersebut.

Adanya dukungan sosial yang diterima seseorang akan mengurangi konflik yang

terjadi antara kehidupan rumah tangga dan pekerjaannya (Lee, 2013). Dukungan

sosial membantu mengurangi konflik tersebut dengan adanya bantuan secara

emosional maupun instrumental. Minimnya work-life conflict inilah yang dapat

disebut sebagai work-life balance.

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work-Life Balanceabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/G0111059_bab2.pdf · 11 Work-life balance terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan perspektif karyawan

36

Selain dukungan sosial, kecerdasan emosi juga berperan penting dalam

tercapainya work-life balance. Kecerdasan emosi membantu seseorang untuk

mengatasi aktivitas sehari-hari secara diplomatis dan dewasa (Akhtarsha, 2014).

Mahanta (2015) menyatakan bahwa seseorang dengan kecerdasan emosi tinggi

akan memiliki konflik yang rendah antara kehidupan rumah tangga dan karir.

Berdasarkan berbagai penelitian yang dipaparkan di atas, dapat

disimpulkan bahwa dukungan sosial dan kecerdasan emosi memiliki hubungan

positif dengan work-life balance. Semakin tinggi dukungan sosial yang diterima

oleh seseorang, semakin tinggi pula work-life balance individu tersebut. Semakin

tinggi kecerdasan emosi seseorang, semakin tinggi pula work-life balance

seseorang.

2. Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Work-Life Balance pada

Karyawan yang Menjalani Commuter Marriage

Dukungan sosial adalah tersedianya sebuah bantuan secara sosial,

emosional, kognitif, dan tindakan yang diberikan oleh keluarga, rekan kerja,

atasan, dan organisasi. Dukungan sosial termasuk dalam salah satu faktor yang

mempengaruhi work-life balance. Friedman dan Greenhaus (dalam Lockwood,

2003) menyatakan bahwa dukungan sosial, baik dari keluarga maupun atasan,

sangat berpengaruh pada work-life balance seseorang. Konflik yang terjadi antara

pekerjaan dan keluarga sangat mempengaruhi pencapaian seseorang dalam kedua

hal tersebut.

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work-Life Balanceabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/G0111059_bab2.pdf · 11 Work-life balance terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan perspektif karyawan

37

Berbagai penelitian mengenai dukungan sosial dan hubungannya dengan

work-life balance telah dilakukan. Ismail (2013) melakukan penelitian mengenai

dukungan sosial dan work-family conflict. Hasil dari penelitian ini menunjukkan

bahwa dukungan sosial dari keluarga mampu mengurangi gangguan yang terjadi

dari kehidupan pribadi terhadap pekerjaan. Di samping dukungan keluarga,

dukungan sosial yang diberikan oleh atasan dan rekan kerja mampu mengurangi

gangguan yang terjadi dari pekerjaan terhadap kehidupan pribadi karyawan.

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa tingkat dukungan sosial

yang tinggi mampu membantu seseorang mengurangi konflik yang terjadi antara

kehidupan pribadi dan pekerjaan.

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ismail, Lee, dkk. (2013)

melakukan penelitian mengenai dukungan sosial, work-family conflict, dan

kelelahan emosional. Penelitian ini menunjukkan bahwa dukungan sosial

memiliki hubungan signifikan dengan work-family conflict. Lee menyatakan

bahwa rendahnya dukungan sosial yang diberikan oleh keluarga dapat

mengakibatkan munculnya konflik antara kehidupan rumah tangga dan karir.

Munculnya work-family conflict merupakan sebuah indikasi bahwa seseorang

memiliki tingkat work-life balance yang rendah. Berdasarkan paparan di atas

dapat disimpulkan bahwa dukungan keluarga dapat meningkatkan work-life

balance seseorang.

Penelitian yang dilakukan oleh Malik, dkk. (2010) mengenai dukungan

sosial dan work-life balance pada wanita di Pakistan, menunjukkan adanya

hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dengan work-life balance.

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work-Life Balanceabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/G0111059_bab2.pdf · 11 Work-life balance terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan perspektif karyawan

38

Dukungan sosial memiliki hubungan dengan performa karyawan dan kepuasan

karyawan yang dimoderasi oleh work-life balance. Semakin tinggi dukungan

sosial, semakin tinggi pula kemampuan seseorang untuk mencapai work-life

balance. Penelitian ini menyebutkan bahwa dukungan sosial datang melalui

organisasi, atasan, rekan kerja, pasangan, anak, orang tua, maupun teman. Namun,

dukungan dari pasangan memiliki pengaruh yang paling besar.

Sesuai dengan pendapat Malik, Huffman (2014) melakukan penelitian

mengenai hubungan antara dukungan pasangan dengan turnover. Work-family

conflict menjadi mediator dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa karyawan yang mendapatkan dukungan sosial dari pasangannya memiliki

konflik yang rendah antara kehidupan pribadi dan pekerjaannya. Rendahnya

work-family conflict ini berdampak pada rendahnya turnover yang terjadi.

Berdasarkan berbagai penelitian yang dipaparkan di atas, dapat

disimpulkan bahwa dukungan keluarga memiliki hubungan positif dengan work-

life balance. Semakin tinggi dukungan keluarga yang diterima oleh seseorang,

semakin tinggi pula work-life balance individu tersebut.

3. Hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan Work-Life Balance pada

Karyawan yang Menjalani Commuter Marriage

Kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk menanggapi dengan tepat

suasana hati, mengelola emosi, memotivasi diri, dan memiliki hubungan yang

baik dengan orang lain. Kecerdasan emosi merupakan salah faktor dari dalam

individu yang dapat membantu tercapainya work-life balance (Poulose, 2014).

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work-Life Balanceabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/G0111059_bab2.pdf · 11 Work-life balance terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan perspektif karyawan

39

Kecerdasan emosi memiliki hubungan positif dengan penyesuaian

diri/life adjustment (Sjöberg, 2008). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sjöberg

menunjukkan bahwa semakin tinggi kecerdasan emosi seseorang maka akan

semakin baik pula kemampuan penyesuaian diri seseorang. Penyesuaian diri ini,

dikatakan oleh Sjöberg, dapat membantu seseorang untuk menyeimbangkan

antara kehidupan berkeluarga dan pekerjaan seseorang. Berdasarkan hal tersebut,

dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi kecerdasan emosi seseorang maka

semakin tinggi pula work-life balance indvidu tersebut.

Penelitian yang dilakukan oleh Gupta (2014) menunjukkan bahwa

kecerdasan emosi berhubungan dengan work-life balance seseorang. Gupta

melakukan penelitian mengenai hubungan antara kecerdasan emosi dengan work-

life conflict, quality of work-life, dan kebahagiaan. Hasil dari penelitian

menunjukkan bahwa kecerdasan emosi berhubungan negatif dengan konflik

antara kehidupan pribadi dan pekerjaan. Kecerdasan emosi membantu seseorang

untuk mengintegrasikan kehidupan pribadi dan pekerjaan tanpa menimbulkan

konflik antar kedua hal tersebut. Kecerdasan emosi juga memampukan seseorang

untuk memiliki kualitas yang baik dalam pekerjaan dan kehidupan pribadi.

Kesimpulan dari penelitian ini yaitu kecerdasan emosi dapat meningkatkan work-

life balance seseorang.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sharma (2014), terdapat

hubungan signifikan antara kecerdasan emosi dengan work-life balance. Individu

yang memiliki kecerdasan emosi tinggi memiliki work-life balance yang tinggi,

sedangkan individu dengan kecerdasan emosi yang rendah memiliki work-life

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work-Life Balanceabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/G0111059_bab2.pdf · 11 Work-life balance terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan perspektif karyawan

40

balance yang juga rendah. Kecerdasan emosi membantu karyawan dalam

meningkatkan daya tahannya terhadap masalah sehingga meminimalisir terjadinya

konflik antara kehidupan rumah tangga dan karir.

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sharma, Mahanta (2015)

juga menemukan bahwa kecerdasan emosi dapat membantu tercapainya work-life

balance. Kecerdasan emosi membuat seseorang mampu memisahkan antara

kehidupan pribadi dengan pekerjaan sehingga tidak terjadi interferensi antara

kehidupan pribadi terhadap pekerjaan dan sebaliknya. Ketika interferensi antar

keduanya tidak terjadi, work-family conflict pun tidak terjadi. Berdasarkan hal

tersebut, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi berhubungan positif dengan

work-life balance.

Kecerdasan emosi membantu seseorang untuk mengatasi aktivitas sehari-

hari secara diplomatis dan dewasa (Akhtarsha, 2014). Seorang karyawan dengan

kecerdasan emosi yang baik dapat memiliki kehidupan rumah tangga serta karir

yang baik secara beriringan. Jadi, kecerdasan emosi memiliki hubungan positif

dengan work-life balance.

Berdasarkan berbagai penelitian yang dipaparkan di atas, dapat

disimpulkan bahwa kecerdasan emosi memiliki hubungan positif dengan work-life

balance. Semakin tinggi kecerdasan emosi seseorang, semakin tinggi pula work-

life balance seseorang.

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work-Life Balanceabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/G0111059_bab2.pdf · 11 Work-life balance terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan perspektif karyawan

41

F. KERANGKA BERPIKIR

Bagan 1. Kerangka Berpikir “Hubungan antara Dukungan Sosial dan Kecerdasan

Emosi dengan Work-Life Balance pada Karyawan yang Menjalani Commuter

Marriage”

G. HIPOTESIS

1. Terdapat hubungan antara dukungan sosial dan kecerdasan emosi dengan

work-life balance pada karyawan yang menjalani commuter marriage.

2. Terdapat hubungan antara dukungan sosial dengan work-life balance pada

karyawan yang menjalani commuter marriage.

3. Terdapat hubungan antara kecerdasan emosi dengan work-life balance pada

karyawan yang menjalani commuter marriage.

Dukungan Sosial

Kecerdasan Emosi

Work-Life Balance Karyawan

yang Menjalani Commuter

Marriage

2

1

3