1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement Pada Karyawan IT 1. Pengertian Work Engagement Menurut Kahn (1990) keterikatan kerja dalam pekerjaan dikonsepsikan sebagai anggota organisasi yang melaksanakan peran kerjanya, bekerja dan mengekspresikan dirinya secara fisik, kognitif dan emosional selama bekerja. Perrin (2003) memberikan pengertian mengenai work engagement sebagai pusat kerja afektif diri yang merefleksikan kepuasan pribadi karyawan dan afirmasi yang mereka dapat dari bekerja dan menjadi bagian dari suatu organisasi. Schmidt (2004) mengartikan work engagement sebagai gabungan antara kepuasan dan komitmen, kepuasan tersebut mengacu lebih kepada elemen emosional atau sikap, sedangkan komitmen lebih melibatkan pada elemen motivasi dan fisik. Menurut Wellins dan Concelman (2004) work engagement adalah kekuatan ilusif yang memotivasi karyawan meningkatkan kinerja pada level yang lebih tinggi, energi ini berupa komitmen terhadap organisasi, rasa memiliki pekerjaan dan kebanggaan, usaha yang lebih (waktu dan energi), semangat dan ketertarikan, komitmen dalam melaksanakan pekerjaan. Keterikatan kerja adalah sebuah kondisi dimana seseorang memiliki pikiran yang positif sehingga mampu mengekspresikan dirinya baik secara fisik, kognitif dan afektif dalam melakukan pekerjaannya (Schaufeli dan Bakker, 2004). Lockwood (2007) memberi pengertian mengenai work engagement sebagai keadaan dimana seseorang mampu berkomitmen dengan organisasi baik secara emosional maupun secara intelektual. Saks (2006) menjelaskan bahwa keterikatan sebagai konstruk yang menggunakan komponen kognitif, emosi dan perilaku yang diasosiasikan dengan tanggung jawab pekerjaannya. Sedangkan Benthal (dalam Mujiasih 2006) berpendapat bahwa work engagement adalah suatu keadaan ketika manusia merasa
19
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement Pada Karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3001/3/BAB II.pdf · ... keterlibatan dan keterikatan) terhadap nilai-nilai budaya ... oleh
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Work Engagement Pada Karyawan IT
1. Pengertian Work Engagement
Menurut Kahn (1990) keterikatan kerja dalam pekerjaan dikonsepsikan sebagai anggota
organisasi yang melaksanakan peran kerjanya, bekerja dan mengekspresikan dirinya secara
fisik, kognitif dan emosional selama bekerja. Perrin (2003) memberikan pengertian mengenai
work engagement sebagai pusat kerja afektif diri yang merefleksikan kepuasan pribadi
karyawan dan afirmasi yang mereka dapat dari bekerja dan menjadi bagian dari suatu
organisasi. Schmidt (2004) mengartikan work engagement sebagai gabungan antara kepuasan
dan komitmen, kepuasan tersebut mengacu lebih kepada elemen emosional atau sikap,
sedangkan komitmen lebih melibatkan pada elemen motivasi dan fisik.
Menurut Wellins dan Concelman (2004) work engagement adalah kekuatan ilusif yang
memotivasi karyawan meningkatkan kinerja pada level yang lebih tinggi, energi ini berupa
komitmen terhadap organisasi, rasa memiliki pekerjaan dan kebanggaan, usaha yang lebih
(waktu dan energi), semangat dan ketertarikan, komitmen dalam melaksanakan pekerjaan.
Keterikatan kerja adalah sebuah kondisi dimana seseorang memiliki pikiran yang positif
sehingga mampu mengekspresikan dirinya baik secara fisik, kognitif dan afektif dalam
melakukan pekerjaannya (Schaufeli dan Bakker, 2004). Lockwood (2007) memberi pengertian
mengenai work engagement sebagai keadaan dimana seseorang mampu berkomitmen dengan
organisasi baik secara emosional maupun secara intelektual. Saks (2006) menjelaskan bahwa
keterikatan sebagai konstruk yang menggunakan komponen kognitif, emosi dan perilaku yang
diasosiasikan dengan tanggung jawab pekerjaannya. Sedangkan Benthal (dalam Mujiasih
2006) berpendapat bahwa work engagement adalah suatu keadaan ketika manusia merasa
2
dirinya menemukan arti diri secara utuh, memiliki motivasi dalam bekerja, maupun menerima
dukungan orang lain secara positif dan mampu bekerja secara efektif dan efisien di lingkungan
kerjanya. Hewitt (2008) mendefinisikan work engagement sebagai sikap positif pegawai dan
perusahaan (komitmen, keterlibatan dan keterikatan) terhadap nilai-nilai budaya dan
pencapaian keberhasilan perusahaan. Work engagement bergerak melampaui kepuasan yang
menggabungkan berbagai persepsi karyawan yang secara kolektif menunjukkan kinerja yang
tinggi, komitmen, serta loyalitas (Kingsley dan Associates, 2008).
Menurut Federman (2009), work engagement karyawan adalah derajat dimana seorang
karyawan mampu berkomitmen pada suatu organisasi dan hasil dari komitmen tersebut
ditentukan pada bagaimana mereka bekerja dan lama masa bekerja. Taylor (2004) menyatakan
bahwa keterikatan kerja adalah perasaan keikutsertaan aspek kognitif, emosional, dan fisik
karyawan dalam aktivitas pekerjaan, kinerja dan output organisasional. Sementara itu, Bakker
dan Xanthopoulou (2013) menyatakan bahwa keterikatan kerja merupakan suatu hal yang
positif, terpenuhi, pengalaman yang berhubungan dengan pekerjaan meliputi tiga dimensi yang
saling melengkapi yaitu vigor, dedication dan absorption.
Dari beberapa pendapat ahli di atas, peneliti menarik kesimpulan work engagement
adalah sikap dan perilaku individu dalam menjalankan peran kerjanya dengan
mengekspresikan dirinya secara total baik secara fisik, kognitif, afektif dan emosional. Indivdu
menemukan arti dalam bekerja, kebanggaan telah menjadi bagian dari organisasi tempat
individu tersebut bekerja, bekerja untuk mencapai visi dan misi keseluruhan sebuah organisasi.
Karyawan akan bekerja ekstra dan mengupayakan sesuatu untuk pekerjaan di atas apa yang
diharapkan baik dalam waktu dan energi, yang dikarakteristikan melalui vigor, dedication dan
absorption.
2. Aspek-aspek Work Engagement
Menurut Bakker dan Demerouti (2008) work engagement terdiri dari tiga aspek, yaitu:
3
a. Vigor
Merupakan curahan energi dan mental yang kuat selama bekerja, keberanian untuk berusaha
sekuat tenaga dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, dan tekun dalam menghadapi kesulitan
kerja, juga memiliki kemauan untuk menginvestasikan segala upaya dalam suatu pekerjaan,
dan tetap bertahan meskipun menghadapi kesulitan.
b. Dedication
Merasa terlibat sangat kuat dalam suatu pekerjaan dan mengalami rasa kebermaknaan,
antusiasme, kebanggaan, inspirasi dan tantangan
c. Absorption
Karyawan selalu penuh konsentrasi dan serius terhadap suatu pekerjaan. Pada saat bekerja,
waktu menjadi terasa berlalu begitu cepat dan menemukan kesulitan dalam memisahkan
diri dengan pekerjaan.
Macey dan Schneider (2009) menjelaskan dua aspek pembentuk work engagement, yaitu
sebagai berikut:
a. Work engagement sebagai energi psikis
Karyawan merasakan pengalaman puncak dengan berada di dalam pekerjaan dan arus yang
terdapat di dalamnya. Karyawan menerapkan energi psikis lebih pada tugas tertentu
berfokus secara intensif dan menghabiskan sedikit energi untuk fokus di tempat lain, benar-
benar fokus pada tugas yang ada.
b. Work Engagement sebagai energi tingkah laku, bagaimana work engagement terlihat oleh
orang lain. Work engagement terlihat oleh orang lain dalam bentuk tingkah laku yang berupa
hasil. Tingkah laku yang terlihat dalam pekerjaan berupa:
1) Karyawan akan berpikir dan bekerja secara proaktif, akan mengantisipasi kesempatan
untuk mengambil tindakan dan akan mengambil tindakan dengan cara yang sesuai
dengan tujuan organisasi.
2) Karyawan yang engaged tidak terikat dengan job description, karyawan fokus pada
tujuan dan mencoba untuk mencapai cara konsisten mengenai kesuksesan organisasi.
4
3) Karyawan secara aktif mencari jalan untuk dapat memperluas kemampuan yang dimiliki
dengan jalan yang sesuai dengan visi dan misi perusahaan.
4) Karyawan pantang menyerah walau dihadapkan dengan rintangan atau situasi yang
membingungkan.
Dari berbagai penjabaran aspek-aspek work engagement para ahli di atas, peneliti
menggunakan aspek work engagement menurut Schaufeli dan Bakker (2012), yang meliputi
tiga aspek yakni, vigor didefinisikan sebagai keterlibatan penuh dalam melakukan
pekerjaannya dan dikarakteristikkan dalam tiga dimensi utama yaitu level energi yang tinggi,
ketahanan atau resiliensi dalam bekerja, kemauan untuk sungguh-sungguh berusaha dalam
bekerja, dan tetap gigih meski menemui kesulitan, dedication didefinisikan sebagai
keterlibatan secara kuat di dalam satu pekerjaan ditandai oleh suatu perasaan yang penuh
makna, antusias, inspiratif, bangga terhadap tantangan dalam pekerjaan itu, absorption
didefinisikan sebagai berkonsentrasi secara penuh dan minat yang mendalam terhadap
pekerjaan, sehingga merasa waktu berlalu dengan cepat dan sulit untuk melepaskan diri dari
pekerjaan. Peneliti menggunakan aspek-aspek tersebut karena lebih rinci dan sesuai dengan
tujuan penelitian penulis sehingga diharapkan dapat mengungkap data tentang work
engagement lebih dalam, komprehensif dan mudah dipahami. Pemilihan aspek juga
dipertimbangkan peneliti berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Aprilia (2012),
Bakker (2006) dan Putri (2015).
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Work Engagement
Menurut Bakker (2011) terdapat dua faktor yang mempengaruhi work engagement,
yaitu:
a. Job Resources
Job resourches diartikan sebagai aspek fisik, psikologis, sosial, dan organisasi pada
pekerjaan yang mampu mengurangi tuntutan pekerjaan dalam kaitannya dengan
5
pengorbanan psikologis yang diberikan oleh karyawan dan memberikan pengaruh pada
pencapaian tujuan.
b. Personal Resources
Personal resources diartikan sebagai evaluasi diri positif yang terkait dengan ketahanan
mental individu serta mengacu pula pada perasaan individu terhadap kemampuan dirinya
untuk berhasil dalam mengontrol dan mempengaruhi lingkungannya. Karyawan memiliki
ketahanan diri serta memiliki kemampuan untuk mengendalikan dan memberikan dampak
baik pada lingkungan perusahaan (Damerouti dalam Ayu, 2013). Personal resources terdiri
self-efficacy, optimism, self esteem dan resiliensi.
1) Self-Efficacy
Bandura (1997) mendefinisikan self-efficacy adalah keyakinan individu mengenai
kemampuan dirinya dalam melakukan tugas atau tindakan yang diperlukan untuk
mencapai hasil tertentu.
2) Optimism
Menurut Segerestrom (1998) optimisme adalah cara berpikir yang positif dan realistis
dalam memandang suatu masalah. Lopez dan Snyder (2003) berpendapat bahwa
optimisme adalah suatu harapan yang ada pada individu bahwa segala sesuatu akan
berjalan menuju kearah kebaikan.
3) Self esteem
Menurut Lerner dan Spainer (1980) berpendapat bahwa self esteem merupakan evaluasi
seseorang terhadap dirinya sendiri secara positif dan juga sebaliknya dapat menghargai
secara negatif.
4) Resiliensi
Resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk bertahan, bangkit, dan menyesuaikan diri
dengan kondisi yang sulit (Reivich,dkk dalam Widuri, 2012).
Menurut McBrain (dalam Fajriah, 2016) work engagement dipengaruhi oleh working
life yang merupakan kondisi lingkungan kerja yang nyaman atau iklim organisasi yang
6
dipersepsikan baik oleh karyawan. Menurut Lockwood (dalam Titien, 2016) work engagement
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, budaya di dalam tempat bekerja, komunikasi
organisasional, gaya manajerial yang memicu kepercayaan dan penghargaan serta
kepemimpinan yang dianut oleh perusahaan itu sendiri. Menurut Hewitt (dalam Titien, 2016)
work engagement dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, penghargaan (total rewards),
kondisi perusahaan (company practise), kualitas kehidupan (quality of life), kesempatan
(opportunities), aktivitas pekerjaan yang dihadapi (work), dan orang lain disekitar pekerjaan
(people). Work engagement merupakan salah satu konstruk yang dimasukkan dalam konteks
psikologi positif karena konstruk tersebut menekankan pada kesejahteraan atau well-being
seorang karyawan (Bakker dalam Indrianti, 2012).
Psychological well-being diasumsikan sebagai salah satu pemicu work engagement pada
karyawan IT. Peneliti menjadikan psychological well-being sebagai variabel prediktor karena
apabila dihubungkan dengan pekerjaan, psychological well-being merupakan faktor yang dapat
mempengaruhi performa dan sikap karyawan, dimana karyawan yang mampu menyadari
potensi dirinya dan merealisasikan potensi tersebut, yang berdampak pada performa kerja yang
baik. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian Aggarwal-Gupta, dkk. (2010) yang menyebutkan
bahwa meningkatnya well-being individu dalam organisasi dapat mengarahkan pada terjadinya
peningkatan reaksi afektif terhadap pekerjaan dan juga mempengaruhi tingkat turnover serta
absensi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wright, dkk. (2007) yang juga menemukan
bahwa kepuasan kerja dapat menjadi prediktor dari performa kerja jika orang tersebut memiliki
psychological well-being yang tinggi.
B. Psychological Well-Being
1. Pengertian Psychological Well-Being
Ramos (2007) menjelaskan bahwa psychological well-being adalah kebaikan,
keharmonisan, menjalin hubungan baik dengan orang lain baik antar individu maupun
7
kelompok. Psychological well-being adalah pencapaian penuh dari potensi psikologis
seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan dirinya
apa adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain,
menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan dan terus bertumbuh secara
personal (Ryff, 1989). Psychological well-being berhubungan dengan kepuasan pribadi,
engagement, harapan, rasa syukur, stabilitas suasana hati, pemaknaan terhadap diri sendiri,
harga diri, kegembiraan, kepuasan dan optimisme, termasuk juga mengenali kekuatan dan
mengembangkan bakat dan minat yang dimiliki. Kesejahteraan psikologis memimpin individu
untuk menjadi kreatif dan memahami apa yang sedang dilaksanakannya (Batram & Boniwell,
2007). Berger (2010) menjelaskan psychological well-being di tempat kerja adalah suatu
keadaan di mana seseorang memiliki motivasi, dilibatkan dalam pekerjaannya, memiliki energi
positif, menikmati semua kegiatan pekerjaannya dan akan bertahan lama pada pekerjaannya.
Raz (2004) menambahkan bahwa menjalankan kegiatan sepenuh hati dan sukses dalam
menjalin hubungan dengan orang lain merupakan makna dari psychological well-being, dengan
kata lain sumber dari psychological well-being adalah menemukan makna dalam hidupnya.
Ryff (1989) menambahkan bahwa psychological well-being merupakan suatu konsep
yang berkaitan dengan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas dalam kehidupan
sehari-hari serta mengarah pada pengungkapan perasaan pribadi atas apa yang dirasakan oleh
individu sebagai hasil dari pengalaman hidupnya. Psychological well-being dapat ditandai
dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup dan tidak adanya tanda-tanda depresi (Ryff,
1995). Bradburn menyatakan bahwa happiness merupakan hasil dari psychological well-being
dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap individu (Ryff dan Singer, 1998).
Psychological well-being bukan hanya kepuasan hidup dan keseimbangan antara afek
positif dan afek negatif, namun juga melibatkan persepsi terhadap keterlibatan dengan
tantangan-tantangan selama hidup (Keyes, Shomotkin & Ryff, 2002). Pada intinya
8
psychological well-being merujuk pada perasaan seseorang mengenai aktifitas hidup sehari-
hari. Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif, misalnya ketidakpuasan hidup,
kecemasan, merasan tertekan, rasa percaya diri yang rendah, sering berperilaku agresif, sampai
pada kondisi mental positif, seperti realisasi potensi dan aktualisasi diri (Bradbrun dalam
Liwarti, 2013)
Berdasarkan beberapa teori yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa
psychological well-being merupakan suatu keadaan di mana seseorang berusaha untuk berpikir
positif tentang dirinya sendiri, meskipun individu tersebut sadar akan segala keterbatasannya,
sehingga individu tetap berusaha untuk mengembangkan dan mempererat hubungan positif
dengan orang lain, serta mampu membentuk sebuah lingkungan yang dapat memenuhi
kebutuhan dan keinginan pribadi.
2. Dimensi Psychological Well-Being
Menurut Ryff dan Keyes (1995) pondasi psychological well-being adalah individu yang
secara psikologis mampu berfungsi secara positif (Possitive psychological functioning).
Dimensi individu yang mempunyai fungsi psikologis positif yaitu:
a. Dimensi penerimaan diri (self acceptance)
Penerimaan diri dalam psychological well-being ini berkaitan dengan
penerimaan individu pada masa kini dan masa lalunya. Selain itu juga berkaitan dengan
adanya penilaian positif atas kondisi dirinya sendiri. Seseorang mempunyai nilai yang tinggi
dalam dimensi penerimaan diri adalah seseorang yang memahami dan menerima berbagai
dimensi diri termasuk di dalamnya kualitas baik maupun buruk, dan bersikap positif
terhadap kehidupan yang dijalaninya.
b. Dimensi hubungan positif dengan orang lain (positive relation with others)
Individu yang matang digambarkan sebagai individu yang mampu untuk
mencintai dan membina hubungan interpersonal yang dibangun atas dasar saling percaya.
9
Individu yang memiliki perasaan yang kuat dalam melakukan empati dan afeksi terhadap
sesama manusia, memiliki persahabatan yang mendalam, dan mempunyai kemampuan
identifikasi yang baik dengan orang lain. Individu yang memiliki hubungan positif dengan
orang lain mampu membina hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan dengan orang
lain, dapat menunjukkan empati, afeksi, dan mempunyai hubungan yang intim, serta
memahami prinsip memberi dan menerima dalam hubungan antar pribadi.
c. Dimensi otonomi/kemandirian (autonomy)
Ciri utama seseorang yang memiliki otonomi yang baik antara lain seperti
kemampuan untuk menentukan nasib sendiri, kemampuan untuk mengatur
tingkah laku, kemampuan untuk mandiri, dan mampu mengambil keputusan tanpa adanya
campur tangan orang lain. Selain itu, orang tersebut memiliki ketahanan dalam menghadapi
tekanan sosial, dapat mengatur tingkah laku dalam diri, serta mengevaluasi diri dengan
standar personal, bukan tergantung pada penilaian orang lain terhadap dirinya
d. Dimensi penguasaan lingkungan (environmental mastery)
Kemampuan untuk menguasai lingkungan didefinisikan sebagai kemampuan
individu untuk memilih, menciptakan atau mengelola lingkungan agar berjalan seiring
dengan kondisi psikologis dirinya dalam rangka pengembangan diri. Individu yang baik
dalam dimensi penguasaan lingkungan memiliki keyakinan dan kompetensi dalam mengatur
lingkungan. Individu dapat mengendalikan situasi kehidupan sehari-hari, memanfaatkan
kesempatan yang ada di lingkungannya. Serta mampu memilah dan menciptakan
lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan pribadi.
e. Dimensi tujuan hidup (purpose in life)
Kondisi mental yang sehat memungkinkan individu untuk menyadari bahwa
ia memiliki tujuan tertentu dalam hidup yang ia jalani serta mampu memberikan makna pada
hidup yang dijalani. Individu yang memiliki nilai tinggi dalam dimensi tujuan hidup adalah
10
individu yang memiliki tujuan dan arah dalam hidup, merasakan arti dalam hidup masa kini
maupun yang telah dijalaninya, memiliki keyakinan yang memberikan tujuan hidup.
f. Dimensi pengembangan pribadi (personal growth)
Individu yang tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi ditandai dengan adanya perasaan
mengenai pertumbuhan yang berkesinambungan dalam dirinya, memandang diri sebagai,
individu yang selalu tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman-pengalaman
baru, memiliki kemampuan dalam menyadari potensi diri yang dimiliki, dapat merasakan
peningkatan yang terjadi pada diri dan tingkah lakunya setiap waktu serta dapat berubah
menjadi pribadi yang lebih efektif dan memiliki kemampuan yang bertambah.
Hurlock (1994) menjelaskan, bahwa ada beberapa esensi mengenai
kebahagiaan, kesejahteraan atau well-being, antara lain:
a. Sikap menerima (Acceptance)
Sikap menerima orang lain dipengaruhi oleh sikap menerima diri yang timbul dari
penyesuaian pribadi maupun penyesuaian sosial yang baik (Shaver & Freedman, dalam
Hurlock, 1994). Lebih lanjut dijelaskan bahwa kebahagiaan banyak bergantung pada sikap
menerima dan menikmati keadaan orang lain dan apa yang dimilikinya.
b. Kasih sayang (Affection)
Kasih sayang merupakan hasil normal dari sikap diterima oleh orang lain. Semakin diterima
baik oleh orang lain, semakin banyak diharapkan yang dapat diperoleh dari orang lain.
Kurangnya cinta atau kasih yang memiliki pengaruh yang besar terhadap kebahagiaan
seseorang.
b. Prestasi (Achievement)
Prestasi berhubungan dengan tercapainya tujuan seseorang. Apabila tujuan ini secara tidak
realistis tinggi, maka akan timbul kegagalan dan yang bersangkutan akan merasa tidak puas
dan tidak bahagia.
11
Berdasarkan esensi yang telah disebutkan dapat disimpulkan bahwa secara teori hal
tersebut memiliki relasi dengan psychological well-being karena kebahagian (happiness)
merupakan hasil dari psychological well-being dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin
dicapai oleh setiap manusia (Ryff,1989). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dimensi
psychological well-being meliputi penerimaan diri, penguasaan lingkungan, hubungan positif,
tujuan dalam hidup, pertumbuhan pribadi dan otonomi.
C. Hubungan Antara Psychological Well-Being dan Work Engagement Pada
Karyawan IT
Pekerjaan yang mengutamakan pelayananan, adalah pekerjaan yang tidak mudah,
karyawan akan berinteraksi langsung dengan beragam kepribadian, beragam keunikan,
beragam permintaan dan beragam kesulitan (Fajriah dan Darokah, 2016), sedangkan di satu
sisi organisasi berharap karyawan memiliki energi dan mau berusaha untuk mencapai kualitas
dan kinerja yang bagus (Bakker dalam Titien, 2016). Selain itu organisasi membutuhkan
karyawan yang bisa terikat dengan pekerjannya (Bakker dalam Airila dkk, 2012). Ikatan kerja
melibatkan karyawan secara penuh atau keseluruhan, baik secara kognitif atau secara emosi
terlibat dengan kata lain setiap karyawan harus memiliki totalitas kerja atau sering disebut
dengan work engagement (Yadnyawati, 2012).
Keterikatan karyawan dengan pekerjaanya atau yang disebut dengan work engagement
adalah suatu kondisi yang menunjukan seberapa besar seseorang benar-benar menghayati
peran kerjannya (Saks, 2006). Schaufeli dan Bakker (2003) menjelaskan orang yang tidak
memiliki work engagement digambarkan hanya memiliki sedikit tenaga, kesenangan dan
stamina dalam hal berkaitan dengan pekerjaan, tidak merasa pekerjaannya bermakna atau
menantang, tidak menghayati pekerjaan, dan tidak mengalami kesulitan untuk lepas dari
pekerjaannya tersebut. Kurangnya work engagement juga berpengaruh terhadap proses bisnis
organisasi, yang mengakibatkan turunnya performa organisasi (Rooy dalam Noorpina, 2015).
12
Simon (2011) menyebutkan bahwa seorang karyawan dapat engaged jika karyawan
menemukan arti dan motivasi personal dalam bekerja, mendapat dukungan interpersonal yang
positif, bekerja dalam lingkungan kerja yang efisien, memiliki keterlibatan dalam pengambilan
keputusan, memiliki kesempatan untuk mengungkapkan ide, kesempatan untuk
mengembangkan diri dan jika organisasi menunjukan kepeduliannya pada kesehatan dan well-
being karyawan. Kesehatan dan well-being atau psychological well-being karyawan
merupakan salah satu faktor penting dalam mempengaruhi hidup seseorang, termasuk dalam
konteks kerja. Psychological well-being dapat didefinisikan sebagai pencapaian kesempurnaan
yang merepresentasikan realisasi potensi individu yang sesungguhnya (Ryff, 1995). Ryff dan
Keyes (1995) mengembangkan konsep psychological well-being dengan mengemukakan enam
dimensi di mana setiap dimensinya mencerminkan perbedaan setiap individu. Model
psychological well-being dalam bentuk multidimensi terdiri atas enam fungsi psikologis positif
yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, kemandirian, penguasaan
lingkungan, tujuan hidup serta pengembangan pribadi (Ryff & Singer, 2008).
Pada dimensi penerimaan diri, Ryff (1989) mengartikan penerimaan diri sebagai sikap
positif individu terhadap dirinya sendiri, baik terhadap pengalaman masa kini, maupun masa
lalunya. Calhoun dan Acocela (Handayani, dkk., 1998) menyatakan bahwa penerimaan diri
berkaitan dengan konsep diri yang positif. Individu dengan konsep diri yang positif dapat
memahami dan menerima fakta-fakta yang berbeda dengan dirinya sehingga dapat
menyesuaikan diri dengan seluruh pengalaman mentalnya dan evaluasi tentang dirinya menjadi
positif. Handayani, dkk. (1998) menyatakan bahwa penerimaan diri adalah sejauhmana
individu mampu menyadari dan mengakui karakteristik pribadi dan menggunakannya dalam
menjalani kelangsungan hidup. Penerimaan diri merupakan satu bagian dalam diri individu
yang sangat penting, terlebih pada karyawan. Individu yang memiliki penerimaan diri baik,
akan dapat melangsungkan kehidupannya sesuai dengan tahap perkembangan yang seharusnya
13
dipenuhi, seperti produktivitas, hubungan dengan rekan kerja, dan penguasan lingkungan kerja
(Horn, Taris, Schaufeli & Schreurs, 2004).
Individu yang memiliki skor tinggi pada aspek ini adalah individu yang menunjukan
sikap positif terhadap diri, mampu mengakui dan menerima berbagai aspek dalam dirinya
termasuk kualitas yang baik maupun buruk, serta memiliki perasaan positif tentang kehidupan
masa lalu, sedangkan individu yang rendah dalam aspek ini merasa tidak puas dengan diri,
kecewa atau tidak nyaman dengan apa yang sudah terjadi dalam kehidupan masa lalunya,
bermasalah dengan kualitas pribadi tertentu, berharap ingin berbeda dari diri yang sekarang
(Papalia, dkk., 2009). Individu yang memiliki penerimaan diri baik akan memiliki curahan
energi positif dan mental yang kuat selama bekerja, keberanian untuk berusaha sekuat tenaga
dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, dan tekun dalam menghadapi kesulitan kerja (Ryff &
Singer, 2008). Penerimaan diri dapat dicapai apabila aspek-aspek dari self yaitu komponen
afektif, kognitif, konatif dalam keadaan congruence yakni penerimaan diri individu sesuai
dengan keadaan yang sebenarnya (real self) dan keadaan yang diinginkan (ideal self) (Ryff
1989).
Pada dimensi hubungan positif dengan orang lain, Ryff (1989) menjelaskan hubungan
positif dengan orang lain sebagai kemampuan individu untuk menjalin hubungan antar pribadi
yang hangat, memuaskan, saling percaya serta terdapat hubungan saling memberi dan
menerima. Individu yang dapat menjalin hubungan hangat, saling mempedulikan dan
hubungan yang dipenuhi rasa percaya dengan orang lain termasuk dengan rekan kerja
merupakan hal yang sangat penting, adanya hubungan baik yang terjalin tersebut dapat
menciptakan suasana yang nyaman dan membuat individu merasa betah dan engaged untuk
tetap berada dalam organisasi, hal ini juga dapat mendorong individu untuk memaksimalkan
pekerjaan yang diberikan organisasi, disiplin dengan meminimalisir absensi kerja serta
turnover karyawan (Sisask, 2013).
14
Individu yang memiliki skor tinggi pada aspek ini adalah individu yang mampu untuk
membangun hubungan yang saling percaya dan puas dengan orang lain, hangat, peduli dengan
kesejahteraan orang lain, mampu menampilkan empati, afeksi, dan keintiman yang kuat,
sedangkan individu yang rendah dalam aspek ini memiliki sedikit hubungan yang dekat dan
saling percaya dengan orang lain, merasa sulit untuk hangat, terbuka dan peduli terhadap
kesejahteraan orang lain. Individu merasa terasing dan frustasi dalam hubungan sosialnya,
tidak bersedia membuat komitmen untuk memelihara ikatan yang penting dengan orang lain
(Papalia, dkk., 2009). Kemampuan yang baik dalam dimensi ini memiliki manfaat dan
pengaruh yang sangat positif bagi kondisi kejiwaan individu, yang dapat menghilangkan
kejenuhan, kepenatan, kesepian serta mampu mengurangi ketegangan jiwa dan emosi individu
(Amin, 2007). Dalam hal ini Ryff (1989) juga menyebutkan adanya kepedulian terhadap
kesejahteraan orang lain sebagai aspek penting dalam melihat psychogical well-being
seseorang, misalnya dalam bentuk kegiatan sosial ataupun pengembangan hobi dalam suatu
kelompok atau komunitas. Tujuannya adalah untuk mengembangkan hubungan sesama
manusia dan diri sendiri.
Menurut Ryff (1995) individu yang kurang memiliki kemandirian adalah individu yang
sangat peduli dengan harapan dan evaluasi individu lain terhadap diri, menggantungkan diri
pada penilaian individu lain dalam mengambil keputusan, serta konformitas terhadap tekanan
sosial untuk bertingkah laku dan berfikir dengan cara tertentu. Individu yang memiliki
kemandirian tinggi adalah individu yang memiliki pengaturan diri dan mandiri, mampu
menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertindak dengan cara tertentu, dan mengatur
perilakunya dari dalam serta mampu mengevaluasi diri dengan standar pribadi. Individu yang
rendah dalam aspek ini cenderung merasa khawatir mengenai pengharapan dan evaluasi dari
orang lain, bergantung pada penilaian orang lain sebelum membuat suatu keputusan yang
15
penting, berpikir dan bertindak dengan cara-cara yang dipengaruhi oleh tekanan sosial (Papalia,
dkk., 2009).
Pada teori tentang aktualisasi diri, individu yang melakukan aktualisasi diri
digambarkan sebagai individu yang mampu mandiri dan tidak terpengaruh enkultrasi. Dalam
penelitian ke dalam konsep individu yang memiliki otonom tinggi, individu ini adalah
seseorang dengan tolak ukur diri, yang terutama tertarik pada apa yang orang lain pikirkan
terhadap dirinya, tetapi akan mengevaluasi dirinya sesuai dengan standar pribadinya sendiri
serta memiliki keterampilan yang baik dalam mengambil keputusan atas suatu permasalahan
(Ryff & Singer, 1996). Nuryoto (1993) menyatakan bahwa karyawan dengan kemandirian
tinggi memiliki kebebasan untuk bertindak, tidak tergantung pada orang lain, pengambilan
inisiatif, mengakui masalah, pantang menyerah walau dihadapkan dengan rintangan atau
situasi yang membingungkan, melakukan sesuatu dengan tepat dan gigih dalam usahanya serta
tidak terpengaruh lingkungan dan bebas mengatur kebutuhannya sendiri (self determined).
Pada dimensi penguasaan lingkungan, Menurut Ryff (1989), individu yang memiliki
penguasaan lingkungan adalah orang yang memiliki kemampuan dan kompetensi untuk
mengatur lingkungannya. Aspek ini adalah bagian penting dalam kesejahteraan dan merupakan
tantangan yang dihadapi oleh individu di lingkungan sekitarnya untuk meningkatkan
kematangan individu tersebut. Kemampuan ini membutuhkan keterampilan dalam
menciptakan dan mendukung lingkungan yang menguntungkan bagi individu. Kemampuan
dari individu untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang tepat untuk keadaan
mentalnya, dijelaskan sebagai karakteristik dari kesehatan mental.
Individu yang memiliki skor tinggi pada aspek ini mempunyai kemampuan dalam
menguasai dan berkompetensi dalam lingkungan, menggunakan kesempatan di lingkungan
sekitarnya dengan efektif, mampu memilih atau menciptakan konteks yang sesuai dengan
kebutuhan dan nilai pribadi. Individu yang rendah dalam aspek ini kesulitan mengelola urusan
16
sehari-hari, merasa tidak mampu mengubah atau memperbaiki konteks di lingkungan
sekitarnya, tidak sadar akan peluang di lingkungan sekitarnya, kurangnya kesadaran akan
kendali atas dunia eksternal (Papalia, dkk., 2009). Menurut teori life-span, kemampuan
menguasai lingkungan membutuhkan kemampuan dalam mengelola dan mengendalikan
lingkungan yang kompleks. Perspektif ini menekankan pada kebutuhan untuk bergerak maju
yang diwujudkan dengan kegiatan fisik dan mental (Ryff & Singer, dalam Singh, dkk., 2012).
Liwarti (2013) menambahkan bahwa individu dengan penguasaan lingkungan yang baik akan
memiliki kemampuan untuk memilih dan menciptakan lingkungan sesuai dengan kondisi
dirinya. Individu akan dimampukan untuk menghadapi kejadian-kejadian di luar dirinya.
Sehingga dalam prosesnya individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri sendiri
sebagaimana adanya, memiliki hubungan positif dengan orang lain dan mampu mengarahkan
perilakunya sendiri. Spector menambahkan bahwa individu dengan environmental mastery
yang tinggi cenderung menjadi lebih kooperatif, lebih mudah menolong rekan kerjanya, tepat
waktu dan efisien, jarang absen dan bertahan lebih lama di organisasi (dalam Harter, Schimdt
& Keyes, 2002).
Pada dimensi tujuan hidup, Ryff (1989) menyatakan tujuan hidup sebagai keyakinan
individu yang memberikan perasaan bahwa terdapat tujuan atau makna hidup di kehidupannya,
baik masa lalu, maupun masa yang sedang dijalani saat ini. Definisi dari kedewasaan
menekankan pada kemampuan seseorang untuk memahami tujuan hidup dan kesadaran akan
arah atau tujuan serta intensionalitas. Individu dengan skor tinggi adalah yang memiliki tujuan
hidup dan kesadaran akan arah (directedness); merasa ada makna dalam kehidupan sekarang
dan di masa lalu, memegang keyakinan yang memberikan tujuan hidup, serta memiliki tujuan
dan sasaran untuk hidup. Individu yang rendah dalam aspek ini menunjukkan kurangnya
perasaan kebermaknaan dalam hidup, memiliki sedikit tujuan atau sasaran, kurangnya
17
kesadaran akan arah, tidak memiliki tujuan dalam kehidupan masa lalu, dan tidak memiliki
sikap atau keyakinan yang memberikan makna hidup (Papalia, dkk., 2009).
Individu yang berfungsi positif, digambarkan dengan memiliki tujuan, niat dan
kesadaran akan arah yang akan membantu individu untuk dapat memberikan makna pada
hidupnya. Individu akan merasa tertantang dan terlibat sangat kuat dalam suatu pekerjaan
setelah mengalami rasa kebermaknaan yang kemudian akan memunculkan antusiasme,
kebanggaan serta inspirasi dalam performansi kinerjanya Singh, dkk., (2012). Selain itu Bassi,
Bacher, Negri, dan Fave (2012) mengungkapkan bahwa purpose of life yang direpresentasikan
dalam arti pekerjaan (job meaning) dapat secara baik dan stabil digunakan oleh organisasi
sebagai sumber untuk memotivasi karyawan serta mendukung mereka dalam menghadapi
stress dan tekanan yang berhubungan dengan pekerjaan.
Dimensi pengembangan pribadi menurut Ryff (1989) adalah pengembangan pribadi
sebagai kemampuan individu untuk selalu tumbuh dan mengembangkan potensi diri secara
berkesinambungan. Individu yang memiliki pertumbuhan pribadi yang baik ialah individu
yang memiliki perasaan berkembang secara berkesinambungan, melihat diri sebagai diri yang
berkembang dan meluas, terbuka akan pengalaman baru, menyadari potensi diri, melihat
perbaikan di dalam diri dan perilaku sepanjang waktu, dan mau berubah untuk meningkatkan
pengetahuan diri dan keefektifan. Individu yang rendah dalam aspek ini memiliki perasaan
kemandekan pribadi, kurang kesadaran akan perbaikan atau perluasan sepanjang waktu,
merasa bosan dan tidak tertarik dalam kehidupan, merasa tidak mampu dalam mengembangkan
berbagai sikap atau perilaku yang baru (Papalia, dkk., 2009).
Ryff (1995) mengatakan bahwa, individu yang memiliki pertumbuhan pribadi yang
berkesinambungan dalam dirinya, memandang diri sendiri sebagai individu yang selalu
tumbuh dan berkembang, selalu penuh konsentrasi dan serius terhadap apa yang dikerjakannya,
sehingga waktu menjadi terasa cepat berlalu, terbuka terhadap berbagai pengalaman baru,
18
memiliki kemampuan dalam menyadari potensi diri yang dimiliki, dapat merasakan
peningkatan yang terjadi pada diri dan tingkah lakunya setiap waktu, menemukan kesulitan
dalam memisahkan diri dengan pekerjaannya, serta dapat berubah menjadi pribadi yang lebih
efektif dan memiliki pengetahuan yang bertambah. Schaufeli (2013) menjelaskan pekerja yang
enganged memiliki motivasi intrinsik untuk selalu mengembangkan diri yang menjadi
pendorong baginya giat dalam bekerja, senang dan nyaman dengan pekerjaannya. Pekerja yang
mengalami emosi-emosi positif tersebut merasa puas dan lebih terlibat (enganged) dengan
pekerjaannya, sedangkan pekerja yang mengalami emosi-emosi negatif merasa dirinya
terbebani dan mungkin bisa mengalami kelelahan (burnout). Ada pula individu yang
menganggap bahwa memiliki pekerjaan membuat dirinya menjadi lebih berharga dan bernilai
di hadapan orang lain, sehingga dapat meningkatkan harga diri individu tersebut. Ryff (1989)
menambahkan bahwa fungsi psikologis yang optimal tidak hanya seseorang dapat mencapai
kelima hal yang disebutkan sebelumnya, tetapi juga harus terus mengembangkan potensi
dirinya untuk terus berkembang sebagai manusia. Kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri
dan menyadari potensi yang dimiliki merupakan perspektif utama dari pengembangan diri.
Kesimpulan dari penjabaran di atas adalah psychological well-being meliputi
penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, kemandirian, penguasaan lingkungan,
tujuan hidup serta pengembangan pribadi berpengaruh positif terhadap work engagement.
Semakin tinggi psychological well-being maka akan semakin tinggi work engagement,
sebaliknya semakin rendah psychological well-being maka semakin rendah pula work
engagement. Robertson dan Cooper (2010), yang mengungkapkan bahwa interaksi antara
psychological well-being dan engagement yang dimiliki karyawan dapat mengarah pada
terciptanya kondisi full engagement, dimana pada kondisi tersebut karyawan memiliki kondisi
psikologis yang sehat, sekaligus tingkat engagement tinggi yang akan berlangsung dalam
waktu lama. Lebih lanjut lagi, Robertson dan Cooper (2010) juga mengatakan bahwa
19
psychological well-being merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi engagement,
dimana tingginya well-being dapat membantu meningkatkan engagement dan rendahnya well-
being akan menyebabkan rendahnya engagement.
D. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini yaitu ada hubungan positif antara psychological well-
being dan work engagement pada karyawan IT. Semakin tinggi psychological well-being maka
akan diikuti dengan semakin tingginya work engagement, demikian juga sebaliknya semakin
rendah psychological well-being maka akan diikuti dengan semakin rendahnya work