Top Banner
1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement Pada Karyawan IT 1. Pengertian Work Engagement Menurut Kahn (1990) keterikatan kerja dalam pekerjaan dikonsepsikan sebagai anggota organisasi yang melaksanakan peran kerjanya, bekerja dan mengekspresikan dirinya secara fisik, kognitif dan emosional selama bekerja. Perrin (2003) memberikan pengertian mengenai work engagement sebagai pusat kerja afektif diri yang merefleksikan kepuasan pribadi karyawan dan afirmasi yang mereka dapat dari bekerja dan menjadi bagian dari suatu organisasi. Schmidt (2004) mengartikan work engagement sebagai gabungan antara kepuasan dan komitmen, kepuasan tersebut mengacu lebih kepada elemen emosional atau sikap, sedangkan komitmen lebih melibatkan pada elemen motivasi dan fisik. Menurut Wellins dan Concelman (2004) work engagement adalah kekuatan ilusif yang memotivasi karyawan meningkatkan kinerja pada level yang lebih tinggi, energi ini berupa komitmen terhadap organisasi, rasa memiliki pekerjaan dan kebanggaan, usaha yang lebih (waktu dan energi), semangat dan ketertarikan, komitmen dalam melaksanakan pekerjaan. Keterikatan kerja adalah sebuah kondisi dimana seseorang memiliki pikiran yang positif sehingga mampu mengekspresikan dirinya baik secara fisik, kognitif dan afektif dalam melakukan pekerjaannya (Schaufeli dan Bakker, 2004). Lockwood (2007) memberi pengertian mengenai work engagement sebagai keadaan dimana seseorang mampu berkomitmen dengan organisasi baik secara emosional maupun secara intelektual. Saks (2006) menjelaskan bahwa keterikatan sebagai konstruk yang menggunakan komponen kognitif, emosi dan perilaku yang diasosiasikan dengan tanggung jawab pekerjaannya. Sedangkan Benthal (dalam Mujiasih 2006) berpendapat bahwa work engagement adalah suatu keadaan ketika manusia merasa
19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement Pada Karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3001/3/BAB II.pdf · ... keterlibatan dan keterikatan) terhadap nilai-nilai budaya ... oleh

Jul 06, 2019

Download

Documents

vannhi
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement Pada Karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3001/3/BAB II.pdf · ... keterlibatan dan keterikatan) terhadap nilai-nilai budaya ... oleh

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Work Engagement Pada Karyawan IT

1. Pengertian Work Engagement

Menurut Kahn (1990) keterikatan kerja dalam pekerjaan dikonsepsikan sebagai anggota

organisasi yang melaksanakan peran kerjanya, bekerja dan mengekspresikan dirinya secara

fisik, kognitif dan emosional selama bekerja. Perrin (2003) memberikan pengertian mengenai

work engagement sebagai pusat kerja afektif diri yang merefleksikan kepuasan pribadi

karyawan dan afirmasi yang mereka dapat dari bekerja dan menjadi bagian dari suatu

organisasi. Schmidt (2004) mengartikan work engagement sebagai gabungan antara kepuasan

dan komitmen, kepuasan tersebut mengacu lebih kepada elemen emosional atau sikap,

sedangkan komitmen lebih melibatkan pada elemen motivasi dan fisik.

Menurut Wellins dan Concelman (2004) work engagement adalah kekuatan ilusif yang

memotivasi karyawan meningkatkan kinerja pada level yang lebih tinggi, energi ini berupa

komitmen terhadap organisasi, rasa memiliki pekerjaan dan kebanggaan, usaha yang lebih

(waktu dan energi), semangat dan ketertarikan, komitmen dalam melaksanakan pekerjaan.

Keterikatan kerja adalah sebuah kondisi dimana seseorang memiliki pikiran yang positif

sehingga mampu mengekspresikan dirinya baik secara fisik, kognitif dan afektif dalam

melakukan pekerjaannya (Schaufeli dan Bakker, 2004). Lockwood (2007) memberi pengertian

mengenai work engagement sebagai keadaan dimana seseorang mampu berkomitmen dengan

organisasi baik secara emosional maupun secara intelektual. Saks (2006) menjelaskan bahwa

keterikatan sebagai konstruk yang menggunakan komponen kognitif, emosi dan perilaku yang

diasosiasikan dengan tanggung jawab pekerjaannya. Sedangkan Benthal (dalam Mujiasih

2006) berpendapat bahwa work engagement adalah suatu keadaan ketika manusia merasa

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement Pada Karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3001/3/BAB II.pdf · ... keterlibatan dan keterikatan) terhadap nilai-nilai budaya ... oleh

2

dirinya menemukan arti diri secara utuh, memiliki motivasi dalam bekerja, maupun menerima

dukungan orang lain secara positif dan mampu bekerja secara efektif dan efisien di lingkungan

kerjanya. Hewitt (2008) mendefinisikan work engagement sebagai sikap positif pegawai dan

perusahaan (komitmen, keterlibatan dan keterikatan) terhadap nilai-nilai budaya dan

pencapaian keberhasilan perusahaan. Work engagement bergerak melampaui kepuasan yang

menggabungkan berbagai persepsi karyawan yang secara kolektif menunjukkan kinerja yang

tinggi, komitmen, serta loyalitas (Kingsley dan Associates, 2008).

Menurut Federman (2009), work engagement karyawan adalah derajat dimana seorang

karyawan mampu berkomitmen pada suatu organisasi dan hasil dari komitmen tersebut

ditentukan pada bagaimana mereka bekerja dan lama masa bekerja. Taylor (2004) menyatakan

bahwa keterikatan kerja adalah perasaan keikutsertaan aspek kognitif, emosional, dan fisik

karyawan dalam aktivitas pekerjaan, kinerja dan output organisasional. Sementara itu, Bakker

dan Xanthopoulou (2013) menyatakan bahwa keterikatan kerja merupakan suatu hal yang

positif, terpenuhi, pengalaman yang berhubungan dengan pekerjaan meliputi tiga dimensi yang

saling melengkapi yaitu vigor, dedication dan absorption.

Dari beberapa pendapat ahli di atas, peneliti menarik kesimpulan work engagement

adalah sikap dan perilaku individu dalam menjalankan peran kerjanya dengan

mengekspresikan dirinya secara total baik secara fisik, kognitif, afektif dan emosional. Indivdu

menemukan arti dalam bekerja, kebanggaan telah menjadi bagian dari organisasi tempat

individu tersebut bekerja, bekerja untuk mencapai visi dan misi keseluruhan sebuah organisasi.

Karyawan akan bekerja ekstra dan mengupayakan sesuatu untuk pekerjaan di atas apa yang

diharapkan baik dalam waktu dan energi, yang dikarakteristikan melalui vigor, dedication dan

absorption.

2. Aspek-aspek Work Engagement

Menurut Bakker dan Demerouti (2008) work engagement terdiri dari tiga aspek, yaitu:

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement Pada Karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3001/3/BAB II.pdf · ... keterlibatan dan keterikatan) terhadap nilai-nilai budaya ... oleh

3

a. Vigor

Merupakan curahan energi dan mental yang kuat selama bekerja, keberanian untuk berusaha

sekuat tenaga dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, dan tekun dalam menghadapi kesulitan

kerja, juga memiliki kemauan untuk menginvestasikan segala upaya dalam suatu pekerjaan,

dan tetap bertahan meskipun menghadapi kesulitan.

b. Dedication

Merasa terlibat sangat kuat dalam suatu pekerjaan dan mengalami rasa kebermaknaan,

antusiasme, kebanggaan, inspirasi dan tantangan

c. Absorption

Karyawan selalu penuh konsentrasi dan serius terhadap suatu pekerjaan. Pada saat bekerja,

waktu menjadi terasa berlalu begitu cepat dan menemukan kesulitan dalam memisahkan

diri dengan pekerjaan.

Macey dan Schneider (2009) menjelaskan dua aspek pembentuk work engagement, yaitu

sebagai berikut:

a. Work engagement sebagai energi psikis

Karyawan merasakan pengalaman puncak dengan berada di dalam pekerjaan dan arus yang

terdapat di dalamnya. Karyawan menerapkan energi psikis lebih pada tugas tertentu

berfokus secara intensif dan menghabiskan sedikit energi untuk fokus di tempat lain, benar-

benar fokus pada tugas yang ada.

b. Work Engagement sebagai energi tingkah laku, bagaimana work engagement terlihat oleh

orang lain. Work engagement terlihat oleh orang lain dalam bentuk tingkah laku yang berupa

hasil. Tingkah laku yang terlihat dalam pekerjaan berupa:

1) Karyawan akan berpikir dan bekerja secara proaktif, akan mengantisipasi kesempatan

untuk mengambil tindakan dan akan mengambil tindakan dengan cara yang sesuai

dengan tujuan organisasi.

2) Karyawan yang engaged tidak terikat dengan job description, karyawan fokus pada

tujuan dan mencoba untuk mencapai cara konsisten mengenai kesuksesan organisasi.

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement Pada Karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3001/3/BAB II.pdf · ... keterlibatan dan keterikatan) terhadap nilai-nilai budaya ... oleh

4

3) Karyawan secara aktif mencari jalan untuk dapat memperluas kemampuan yang dimiliki

dengan jalan yang sesuai dengan visi dan misi perusahaan.

4) Karyawan pantang menyerah walau dihadapkan dengan rintangan atau situasi yang

membingungkan.

Dari berbagai penjabaran aspek-aspek work engagement para ahli di atas, peneliti

menggunakan aspek work engagement menurut Schaufeli dan Bakker (2012), yang meliputi

tiga aspek yakni, vigor didefinisikan sebagai keterlibatan penuh dalam melakukan

pekerjaannya dan dikarakteristikkan dalam tiga dimensi utama yaitu level energi yang tinggi,

ketahanan atau resiliensi dalam bekerja, kemauan untuk sungguh-sungguh berusaha dalam

bekerja, dan tetap gigih meski menemui kesulitan, dedication didefinisikan sebagai

keterlibatan secara kuat di dalam satu pekerjaan ditandai oleh suatu perasaan yang penuh

makna, antusias, inspiratif, bangga terhadap tantangan dalam pekerjaan itu, absorption

didefinisikan sebagai berkonsentrasi secara penuh dan minat yang mendalam terhadap

pekerjaan, sehingga merasa waktu berlalu dengan cepat dan sulit untuk melepaskan diri dari

pekerjaan. Peneliti menggunakan aspek-aspek tersebut karena lebih rinci dan sesuai dengan

tujuan penelitian penulis sehingga diharapkan dapat mengungkap data tentang work

engagement lebih dalam, komprehensif dan mudah dipahami. Pemilihan aspek juga

dipertimbangkan peneliti berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Aprilia (2012),

Bakker (2006) dan Putri (2015).

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Work Engagement

Menurut Bakker (2011) terdapat dua faktor yang mempengaruhi work engagement,

yaitu:

a. Job Resources

Job resourches diartikan sebagai aspek fisik, psikologis, sosial, dan organisasi pada

pekerjaan yang mampu mengurangi tuntutan pekerjaan dalam kaitannya dengan

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement Pada Karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3001/3/BAB II.pdf · ... keterlibatan dan keterikatan) terhadap nilai-nilai budaya ... oleh

5

pengorbanan psikologis yang diberikan oleh karyawan dan memberikan pengaruh pada

pencapaian tujuan.

b. Personal Resources

Personal resources diartikan sebagai evaluasi diri positif yang terkait dengan ketahanan

mental individu serta mengacu pula pada perasaan individu terhadap kemampuan dirinya

untuk berhasil dalam mengontrol dan mempengaruhi lingkungannya. Karyawan memiliki

ketahanan diri serta memiliki kemampuan untuk mengendalikan dan memberikan dampak

baik pada lingkungan perusahaan (Damerouti dalam Ayu, 2013). Personal resources terdiri

self-efficacy, optimism, self esteem dan resiliensi.

1) Self-Efficacy

Bandura (1997) mendefinisikan self-efficacy adalah keyakinan individu mengenai

kemampuan dirinya dalam melakukan tugas atau tindakan yang diperlukan untuk

mencapai hasil tertentu.

2) Optimism

Menurut Segerestrom (1998) optimisme adalah cara berpikir yang positif dan realistis

dalam memandang suatu masalah. Lopez dan Snyder (2003) berpendapat bahwa

optimisme adalah suatu harapan yang ada pada individu bahwa segala sesuatu akan

berjalan menuju kearah kebaikan.

3) Self esteem

Menurut Lerner dan Spainer (1980) berpendapat bahwa self esteem merupakan evaluasi

seseorang terhadap dirinya sendiri secara positif dan juga sebaliknya dapat menghargai

secara negatif.

4) Resiliensi

Resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk bertahan, bangkit, dan menyesuaikan diri

dengan kondisi yang sulit (Reivich,dkk dalam Widuri, 2012).

Menurut McBrain (dalam Fajriah, 2016) work engagement dipengaruhi oleh working

life yang merupakan kondisi lingkungan kerja yang nyaman atau iklim organisasi yang

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement Pada Karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3001/3/BAB II.pdf · ... keterlibatan dan keterikatan) terhadap nilai-nilai budaya ... oleh

6

dipersepsikan baik oleh karyawan. Menurut Lockwood (dalam Titien, 2016) work engagement

dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, budaya di dalam tempat bekerja, komunikasi

organisasional, gaya manajerial yang memicu kepercayaan dan penghargaan serta

kepemimpinan yang dianut oleh perusahaan itu sendiri. Menurut Hewitt (dalam Titien, 2016)

work engagement dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, penghargaan (total rewards),

kondisi perusahaan (company practise), kualitas kehidupan (quality of life), kesempatan

(opportunities), aktivitas pekerjaan yang dihadapi (work), dan orang lain disekitar pekerjaan

(people). Work engagement merupakan salah satu konstruk yang dimasukkan dalam konteks

psikologi positif karena konstruk tersebut menekankan pada kesejahteraan atau well-being

seorang karyawan (Bakker dalam Indrianti, 2012).

Psychological well-being diasumsikan sebagai salah satu pemicu work engagement pada

karyawan IT. Peneliti menjadikan psychological well-being sebagai variabel prediktor karena

apabila dihubungkan dengan pekerjaan, psychological well-being merupakan faktor yang dapat

mempengaruhi performa dan sikap karyawan, dimana karyawan yang mampu menyadari

potensi dirinya dan merealisasikan potensi tersebut, yang berdampak pada performa kerja yang

baik. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian Aggarwal-Gupta, dkk. (2010) yang menyebutkan

bahwa meningkatnya well-being individu dalam organisasi dapat mengarahkan pada terjadinya

peningkatan reaksi afektif terhadap pekerjaan dan juga mempengaruhi tingkat turnover serta

absensi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wright, dkk. (2007) yang juga menemukan

bahwa kepuasan kerja dapat menjadi prediktor dari performa kerja jika orang tersebut memiliki

psychological well-being yang tinggi.

B. Psychological Well-Being

1. Pengertian Psychological Well-Being

Ramos (2007) menjelaskan bahwa psychological well-being adalah kebaikan,

keharmonisan, menjalin hubungan baik dengan orang lain baik antar individu maupun

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement Pada Karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3001/3/BAB II.pdf · ... keterlibatan dan keterikatan) terhadap nilai-nilai budaya ... oleh

7

kelompok. Psychological well-being adalah pencapaian penuh dari potensi psikologis

seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan dirinya

apa adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain,

menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan dan terus bertumbuh secara

personal (Ryff, 1989). Psychological well-being berhubungan dengan kepuasan pribadi,

engagement, harapan, rasa syukur, stabilitas suasana hati, pemaknaan terhadap diri sendiri,

harga diri, kegembiraan, kepuasan dan optimisme, termasuk juga mengenali kekuatan dan

mengembangkan bakat dan minat yang dimiliki. Kesejahteraan psikologis memimpin individu

untuk menjadi kreatif dan memahami apa yang sedang dilaksanakannya (Batram & Boniwell,

2007). Berger (2010) menjelaskan psychological well-being di tempat kerja adalah suatu

keadaan di mana seseorang memiliki motivasi, dilibatkan dalam pekerjaannya, memiliki energi

positif, menikmati semua kegiatan pekerjaannya dan akan bertahan lama pada pekerjaannya.

Raz (2004) menambahkan bahwa menjalankan kegiatan sepenuh hati dan sukses dalam

menjalin hubungan dengan orang lain merupakan makna dari psychological well-being, dengan

kata lain sumber dari psychological well-being adalah menemukan makna dalam hidupnya.

Ryff (1989) menambahkan bahwa psychological well-being merupakan suatu konsep

yang berkaitan dengan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas dalam kehidupan

sehari-hari serta mengarah pada pengungkapan perasaan pribadi atas apa yang dirasakan oleh

individu sebagai hasil dari pengalaman hidupnya. Psychological well-being dapat ditandai

dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup dan tidak adanya tanda-tanda depresi (Ryff,

1995). Bradburn menyatakan bahwa happiness merupakan hasil dari psychological well-being

dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap individu (Ryff dan Singer, 1998).

Psychological well-being bukan hanya kepuasan hidup dan keseimbangan antara afek

positif dan afek negatif, namun juga melibatkan persepsi terhadap keterlibatan dengan

tantangan-tantangan selama hidup (Keyes, Shomotkin & Ryff, 2002). Pada intinya

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement Pada Karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3001/3/BAB II.pdf · ... keterlibatan dan keterikatan) terhadap nilai-nilai budaya ... oleh

8

psychological well-being merujuk pada perasaan seseorang mengenai aktifitas hidup sehari-

hari. Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif, misalnya ketidakpuasan hidup,

kecemasan, merasan tertekan, rasa percaya diri yang rendah, sering berperilaku agresif, sampai

pada kondisi mental positif, seperti realisasi potensi dan aktualisasi diri (Bradbrun dalam

Liwarti, 2013)

Berdasarkan beberapa teori yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa

psychological well-being merupakan suatu keadaan di mana seseorang berusaha untuk berpikir

positif tentang dirinya sendiri, meskipun individu tersebut sadar akan segala keterbatasannya,

sehingga individu tetap berusaha untuk mengembangkan dan mempererat hubungan positif

dengan orang lain, serta mampu membentuk sebuah lingkungan yang dapat memenuhi

kebutuhan dan keinginan pribadi.

2. Dimensi Psychological Well-Being

Menurut Ryff dan Keyes (1995) pondasi psychological well-being adalah individu yang

secara psikologis mampu berfungsi secara positif (Possitive psychological functioning).

Dimensi individu yang mempunyai fungsi psikologis positif yaitu:

a. Dimensi penerimaan diri (self acceptance)

Penerimaan diri dalam psychological well-being ini berkaitan dengan

penerimaan individu pada masa kini dan masa lalunya. Selain itu juga berkaitan dengan

adanya penilaian positif atas kondisi dirinya sendiri. Seseorang mempunyai nilai yang tinggi

dalam dimensi penerimaan diri adalah seseorang yang memahami dan menerima berbagai

dimensi diri termasuk di dalamnya kualitas baik maupun buruk, dan bersikap positif

terhadap kehidupan yang dijalaninya.

b. Dimensi hubungan positif dengan orang lain (positive relation with others)

Individu yang matang digambarkan sebagai individu yang mampu untuk

mencintai dan membina hubungan interpersonal yang dibangun atas dasar saling percaya.

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement Pada Karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3001/3/BAB II.pdf · ... keterlibatan dan keterikatan) terhadap nilai-nilai budaya ... oleh

9

Individu yang memiliki perasaan yang kuat dalam melakukan empati dan afeksi terhadap

sesama manusia, memiliki persahabatan yang mendalam, dan mempunyai kemampuan

identifikasi yang baik dengan orang lain. Individu yang memiliki hubungan positif dengan

orang lain mampu membina hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan dengan orang

lain, dapat menunjukkan empati, afeksi, dan mempunyai hubungan yang intim, serta

memahami prinsip memberi dan menerima dalam hubungan antar pribadi.

c. Dimensi otonomi/kemandirian (autonomy)

Ciri utama seseorang yang memiliki otonomi yang baik antara lain seperti

kemampuan untuk menentukan nasib sendiri, kemampuan untuk mengatur

tingkah laku, kemampuan untuk mandiri, dan mampu mengambil keputusan tanpa adanya

campur tangan orang lain. Selain itu, orang tersebut memiliki ketahanan dalam menghadapi

tekanan sosial, dapat mengatur tingkah laku dalam diri, serta mengevaluasi diri dengan

standar personal, bukan tergantung pada penilaian orang lain terhadap dirinya

d. Dimensi penguasaan lingkungan (environmental mastery)

Kemampuan untuk menguasai lingkungan didefinisikan sebagai kemampuan

individu untuk memilih, menciptakan atau mengelola lingkungan agar berjalan seiring

dengan kondisi psikologis dirinya dalam rangka pengembangan diri. Individu yang baik

dalam dimensi penguasaan lingkungan memiliki keyakinan dan kompetensi dalam mengatur

lingkungan. Individu dapat mengendalikan situasi kehidupan sehari-hari, memanfaatkan

kesempatan yang ada di lingkungannya. Serta mampu memilah dan menciptakan

lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan pribadi.

e. Dimensi tujuan hidup (purpose in life)

Kondisi mental yang sehat memungkinkan individu untuk menyadari bahwa

ia memiliki tujuan tertentu dalam hidup yang ia jalani serta mampu memberikan makna pada

hidup yang dijalani. Individu yang memiliki nilai tinggi dalam dimensi tujuan hidup adalah

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement Pada Karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3001/3/BAB II.pdf · ... keterlibatan dan keterikatan) terhadap nilai-nilai budaya ... oleh

10

individu yang memiliki tujuan dan arah dalam hidup, merasakan arti dalam hidup masa kini

maupun yang telah dijalaninya, memiliki keyakinan yang memberikan tujuan hidup.

f. Dimensi pengembangan pribadi (personal growth)

Individu yang tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi ditandai dengan adanya perasaan

mengenai pertumbuhan yang berkesinambungan dalam dirinya, memandang diri sebagai,

individu yang selalu tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman-pengalaman

baru, memiliki kemampuan dalam menyadari potensi diri yang dimiliki, dapat merasakan

peningkatan yang terjadi pada diri dan tingkah lakunya setiap waktu serta dapat berubah

menjadi pribadi yang lebih efektif dan memiliki kemampuan yang bertambah.

Hurlock (1994) menjelaskan, bahwa ada beberapa esensi mengenai

kebahagiaan, kesejahteraan atau well-being, antara lain:

a. Sikap menerima (Acceptance)

Sikap menerima orang lain dipengaruhi oleh sikap menerima diri yang timbul dari

penyesuaian pribadi maupun penyesuaian sosial yang baik (Shaver & Freedman, dalam

Hurlock, 1994). Lebih lanjut dijelaskan bahwa kebahagiaan banyak bergantung pada sikap

menerima dan menikmati keadaan orang lain dan apa yang dimilikinya.

b. Kasih sayang (Affection)

Kasih sayang merupakan hasil normal dari sikap diterima oleh orang lain. Semakin diterima

baik oleh orang lain, semakin banyak diharapkan yang dapat diperoleh dari orang lain.

Kurangnya cinta atau kasih yang memiliki pengaruh yang besar terhadap kebahagiaan

seseorang.

b. Prestasi (Achievement)

Prestasi berhubungan dengan tercapainya tujuan seseorang. Apabila tujuan ini secara tidak

realistis tinggi, maka akan timbul kegagalan dan yang bersangkutan akan merasa tidak puas

dan tidak bahagia.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement Pada Karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3001/3/BAB II.pdf · ... keterlibatan dan keterikatan) terhadap nilai-nilai budaya ... oleh

11

Berdasarkan esensi yang telah disebutkan dapat disimpulkan bahwa secara teori hal

tersebut memiliki relasi dengan psychological well-being karena kebahagian (happiness)

merupakan hasil dari psychological well-being dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin

dicapai oleh setiap manusia (Ryff,1989). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dimensi

psychological well-being meliputi penerimaan diri, penguasaan lingkungan, hubungan positif,

tujuan dalam hidup, pertumbuhan pribadi dan otonomi.

C. Hubungan Antara Psychological Well-Being dan Work Engagement Pada

Karyawan IT

Pekerjaan yang mengutamakan pelayananan, adalah pekerjaan yang tidak mudah,

karyawan akan berinteraksi langsung dengan beragam kepribadian, beragam keunikan,

beragam permintaan dan beragam kesulitan (Fajriah dan Darokah, 2016), sedangkan di satu

sisi organisasi berharap karyawan memiliki energi dan mau berusaha untuk mencapai kualitas

dan kinerja yang bagus (Bakker dalam Titien, 2016). Selain itu organisasi membutuhkan

karyawan yang bisa terikat dengan pekerjannya (Bakker dalam Airila dkk, 2012). Ikatan kerja

melibatkan karyawan secara penuh atau keseluruhan, baik secara kognitif atau secara emosi

terlibat dengan kata lain setiap karyawan harus memiliki totalitas kerja atau sering disebut

dengan work engagement (Yadnyawati, 2012).

Keterikatan karyawan dengan pekerjaanya atau yang disebut dengan work engagement

adalah suatu kondisi yang menunjukan seberapa besar seseorang benar-benar menghayati

peran kerjannya (Saks, 2006). Schaufeli dan Bakker (2003) menjelaskan orang yang tidak

memiliki work engagement digambarkan hanya memiliki sedikit tenaga, kesenangan dan

stamina dalam hal berkaitan dengan pekerjaan, tidak merasa pekerjaannya bermakna atau

menantang, tidak menghayati pekerjaan, dan tidak mengalami kesulitan untuk lepas dari

pekerjaannya tersebut. Kurangnya work engagement juga berpengaruh terhadap proses bisnis

organisasi, yang mengakibatkan turunnya performa organisasi (Rooy dalam Noorpina, 2015).

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement Pada Karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3001/3/BAB II.pdf · ... keterlibatan dan keterikatan) terhadap nilai-nilai budaya ... oleh

12

Simon (2011) menyebutkan bahwa seorang karyawan dapat engaged jika karyawan

menemukan arti dan motivasi personal dalam bekerja, mendapat dukungan interpersonal yang

positif, bekerja dalam lingkungan kerja yang efisien, memiliki keterlibatan dalam pengambilan

keputusan, memiliki kesempatan untuk mengungkapkan ide, kesempatan untuk

mengembangkan diri dan jika organisasi menunjukan kepeduliannya pada kesehatan dan well-

being karyawan. Kesehatan dan well-being atau psychological well-being karyawan

merupakan salah satu faktor penting dalam mempengaruhi hidup seseorang, termasuk dalam

konteks kerja. Psychological well-being dapat didefinisikan sebagai pencapaian kesempurnaan

yang merepresentasikan realisasi potensi individu yang sesungguhnya (Ryff, 1995). Ryff dan

Keyes (1995) mengembangkan konsep psychological well-being dengan mengemukakan enam

dimensi di mana setiap dimensinya mencerminkan perbedaan setiap individu. Model

psychological well-being dalam bentuk multidimensi terdiri atas enam fungsi psikologis positif

yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, kemandirian, penguasaan

lingkungan, tujuan hidup serta pengembangan pribadi (Ryff & Singer, 2008).

Pada dimensi penerimaan diri, Ryff (1989) mengartikan penerimaan diri sebagai sikap

positif individu terhadap dirinya sendiri, baik terhadap pengalaman masa kini, maupun masa

lalunya. Calhoun dan Acocela (Handayani, dkk., 1998) menyatakan bahwa penerimaan diri

berkaitan dengan konsep diri yang positif. Individu dengan konsep diri yang positif dapat

memahami dan menerima fakta-fakta yang berbeda dengan dirinya sehingga dapat

menyesuaikan diri dengan seluruh pengalaman mentalnya dan evaluasi tentang dirinya menjadi

positif. Handayani, dkk. (1998) menyatakan bahwa penerimaan diri adalah sejauhmana

individu mampu menyadari dan mengakui karakteristik pribadi dan menggunakannya dalam

menjalani kelangsungan hidup. Penerimaan diri merupakan satu bagian dalam diri individu

yang sangat penting, terlebih pada karyawan. Individu yang memiliki penerimaan diri baik,

akan dapat melangsungkan kehidupannya sesuai dengan tahap perkembangan yang seharusnya

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement Pada Karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3001/3/BAB II.pdf · ... keterlibatan dan keterikatan) terhadap nilai-nilai budaya ... oleh

13

dipenuhi, seperti produktivitas, hubungan dengan rekan kerja, dan penguasan lingkungan kerja

(Horn, Taris, Schaufeli & Schreurs, 2004).

Individu yang memiliki skor tinggi pada aspek ini adalah individu yang menunjukan

sikap positif terhadap diri, mampu mengakui dan menerima berbagai aspek dalam dirinya

termasuk kualitas yang baik maupun buruk, serta memiliki perasaan positif tentang kehidupan

masa lalu, sedangkan individu yang rendah dalam aspek ini merasa tidak puas dengan diri,

kecewa atau tidak nyaman dengan apa yang sudah terjadi dalam kehidupan masa lalunya,

bermasalah dengan kualitas pribadi tertentu, berharap ingin berbeda dari diri yang sekarang

(Papalia, dkk., 2009). Individu yang memiliki penerimaan diri baik akan memiliki curahan

energi positif dan mental yang kuat selama bekerja, keberanian untuk berusaha sekuat tenaga

dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, dan tekun dalam menghadapi kesulitan kerja (Ryff &

Singer, 2008). Penerimaan diri dapat dicapai apabila aspek-aspek dari self yaitu komponen

afektif, kognitif, konatif dalam keadaan congruence yakni penerimaan diri individu sesuai

dengan keadaan yang sebenarnya (real self) dan keadaan yang diinginkan (ideal self) (Ryff

1989).

Pada dimensi hubungan positif dengan orang lain, Ryff (1989) menjelaskan hubungan

positif dengan orang lain sebagai kemampuan individu untuk menjalin hubungan antar pribadi

yang hangat, memuaskan, saling percaya serta terdapat hubungan saling memberi dan

menerima. Individu yang dapat menjalin hubungan hangat, saling mempedulikan dan

hubungan yang dipenuhi rasa percaya dengan orang lain termasuk dengan rekan kerja

merupakan hal yang sangat penting, adanya hubungan baik yang terjalin tersebut dapat

menciptakan suasana yang nyaman dan membuat individu merasa betah dan engaged untuk

tetap berada dalam organisasi, hal ini juga dapat mendorong individu untuk memaksimalkan

pekerjaan yang diberikan organisasi, disiplin dengan meminimalisir absensi kerja serta

turnover karyawan (Sisask, 2013).

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement Pada Karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3001/3/BAB II.pdf · ... keterlibatan dan keterikatan) terhadap nilai-nilai budaya ... oleh

14

Individu yang memiliki skor tinggi pada aspek ini adalah individu yang mampu untuk

membangun hubungan yang saling percaya dan puas dengan orang lain, hangat, peduli dengan

kesejahteraan orang lain, mampu menampilkan empati, afeksi, dan keintiman yang kuat,

sedangkan individu yang rendah dalam aspek ini memiliki sedikit hubungan yang dekat dan

saling percaya dengan orang lain, merasa sulit untuk hangat, terbuka dan peduli terhadap

kesejahteraan orang lain. Individu merasa terasing dan frustasi dalam hubungan sosialnya,

tidak bersedia membuat komitmen untuk memelihara ikatan yang penting dengan orang lain

(Papalia, dkk., 2009). Kemampuan yang baik dalam dimensi ini memiliki manfaat dan

pengaruh yang sangat positif bagi kondisi kejiwaan individu, yang dapat menghilangkan

kejenuhan, kepenatan, kesepian serta mampu mengurangi ketegangan jiwa dan emosi individu

(Amin, 2007). Dalam hal ini Ryff (1989) juga menyebutkan adanya kepedulian terhadap

kesejahteraan orang lain sebagai aspek penting dalam melihat psychogical well-being

seseorang, misalnya dalam bentuk kegiatan sosial ataupun pengembangan hobi dalam suatu

kelompok atau komunitas. Tujuannya adalah untuk mengembangkan hubungan sesama

manusia dan diri sendiri.

Menurut Ryff (1995) individu yang kurang memiliki kemandirian adalah individu yang

sangat peduli dengan harapan dan evaluasi individu lain terhadap diri, menggantungkan diri

pada penilaian individu lain dalam mengambil keputusan, serta konformitas terhadap tekanan

sosial untuk bertingkah laku dan berfikir dengan cara tertentu. Individu yang memiliki

kemandirian tinggi adalah individu yang memiliki pengaturan diri dan mandiri, mampu

menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertindak dengan cara tertentu, dan mengatur

perilakunya dari dalam serta mampu mengevaluasi diri dengan standar pribadi. Individu yang

rendah dalam aspek ini cenderung merasa khawatir mengenai pengharapan dan evaluasi dari

orang lain, bergantung pada penilaian orang lain sebelum membuat suatu keputusan yang

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement Pada Karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3001/3/BAB II.pdf · ... keterlibatan dan keterikatan) terhadap nilai-nilai budaya ... oleh

15

penting, berpikir dan bertindak dengan cara-cara yang dipengaruhi oleh tekanan sosial (Papalia,

dkk., 2009).

Pada teori tentang aktualisasi diri, individu yang melakukan aktualisasi diri

digambarkan sebagai individu yang mampu mandiri dan tidak terpengaruh enkultrasi. Dalam

penelitian ke dalam konsep individu yang memiliki otonom tinggi, individu ini adalah

seseorang dengan tolak ukur diri, yang terutama tertarik pada apa yang orang lain pikirkan

terhadap dirinya, tetapi akan mengevaluasi dirinya sesuai dengan standar pribadinya sendiri

serta memiliki keterampilan yang baik dalam mengambil keputusan atas suatu permasalahan

(Ryff & Singer, 1996). Nuryoto (1993) menyatakan bahwa karyawan dengan kemandirian

tinggi memiliki kebebasan untuk bertindak, tidak tergantung pada orang lain, pengambilan

inisiatif, mengakui masalah, pantang menyerah walau dihadapkan dengan rintangan atau

situasi yang membingungkan, melakukan sesuatu dengan tepat dan gigih dalam usahanya serta

tidak terpengaruh lingkungan dan bebas mengatur kebutuhannya sendiri (self determined).

Pada dimensi penguasaan lingkungan, Menurut Ryff (1989), individu yang memiliki

penguasaan lingkungan adalah orang yang memiliki kemampuan dan kompetensi untuk

mengatur lingkungannya. Aspek ini adalah bagian penting dalam kesejahteraan dan merupakan

tantangan yang dihadapi oleh individu di lingkungan sekitarnya untuk meningkatkan

kematangan individu tersebut. Kemampuan ini membutuhkan keterampilan dalam

menciptakan dan mendukung lingkungan yang menguntungkan bagi individu. Kemampuan

dari individu untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang tepat untuk keadaan

mentalnya, dijelaskan sebagai karakteristik dari kesehatan mental.

Individu yang memiliki skor tinggi pada aspek ini mempunyai kemampuan dalam

menguasai dan berkompetensi dalam lingkungan, menggunakan kesempatan di lingkungan

sekitarnya dengan efektif, mampu memilih atau menciptakan konteks yang sesuai dengan

kebutuhan dan nilai pribadi. Individu yang rendah dalam aspek ini kesulitan mengelola urusan

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement Pada Karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3001/3/BAB II.pdf · ... keterlibatan dan keterikatan) terhadap nilai-nilai budaya ... oleh

16

sehari-hari, merasa tidak mampu mengubah atau memperbaiki konteks di lingkungan

sekitarnya, tidak sadar akan peluang di lingkungan sekitarnya, kurangnya kesadaran akan

kendali atas dunia eksternal (Papalia, dkk., 2009). Menurut teori life-span, kemampuan

menguasai lingkungan membutuhkan kemampuan dalam mengelola dan mengendalikan

lingkungan yang kompleks. Perspektif ini menekankan pada kebutuhan untuk bergerak maju

yang diwujudkan dengan kegiatan fisik dan mental (Ryff & Singer, dalam Singh, dkk., 2012).

Liwarti (2013) menambahkan bahwa individu dengan penguasaan lingkungan yang baik akan

memiliki kemampuan untuk memilih dan menciptakan lingkungan sesuai dengan kondisi

dirinya. Individu akan dimampukan untuk menghadapi kejadian-kejadian di luar dirinya.

Sehingga dalam prosesnya individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri sendiri

sebagaimana adanya, memiliki hubungan positif dengan orang lain dan mampu mengarahkan

perilakunya sendiri. Spector menambahkan bahwa individu dengan environmental mastery

yang tinggi cenderung menjadi lebih kooperatif, lebih mudah menolong rekan kerjanya, tepat

waktu dan efisien, jarang absen dan bertahan lebih lama di organisasi (dalam Harter, Schimdt

& Keyes, 2002).

Pada dimensi tujuan hidup, Ryff (1989) menyatakan tujuan hidup sebagai keyakinan

individu yang memberikan perasaan bahwa terdapat tujuan atau makna hidup di kehidupannya,

baik masa lalu, maupun masa yang sedang dijalani saat ini. Definisi dari kedewasaan

menekankan pada kemampuan seseorang untuk memahami tujuan hidup dan kesadaran akan

arah atau tujuan serta intensionalitas. Individu dengan skor tinggi adalah yang memiliki tujuan

hidup dan kesadaran akan arah (directedness); merasa ada makna dalam kehidupan sekarang

dan di masa lalu, memegang keyakinan yang memberikan tujuan hidup, serta memiliki tujuan

dan sasaran untuk hidup. Individu yang rendah dalam aspek ini menunjukkan kurangnya

perasaan kebermaknaan dalam hidup, memiliki sedikit tujuan atau sasaran, kurangnya

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement Pada Karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3001/3/BAB II.pdf · ... keterlibatan dan keterikatan) terhadap nilai-nilai budaya ... oleh

17

kesadaran akan arah, tidak memiliki tujuan dalam kehidupan masa lalu, dan tidak memiliki

sikap atau keyakinan yang memberikan makna hidup (Papalia, dkk., 2009).

Individu yang berfungsi positif, digambarkan dengan memiliki tujuan, niat dan

kesadaran akan arah yang akan membantu individu untuk dapat memberikan makna pada

hidupnya. Individu akan merasa tertantang dan terlibat sangat kuat dalam suatu pekerjaan

setelah mengalami rasa kebermaknaan yang kemudian akan memunculkan antusiasme,

kebanggaan serta inspirasi dalam performansi kinerjanya Singh, dkk., (2012). Selain itu Bassi,

Bacher, Negri, dan Fave (2012) mengungkapkan bahwa purpose of life yang direpresentasikan

dalam arti pekerjaan (job meaning) dapat secara baik dan stabil digunakan oleh organisasi

sebagai sumber untuk memotivasi karyawan serta mendukung mereka dalam menghadapi

stress dan tekanan yang berhubungan dengan pekerjaan.

Dimensi pengembangan pribadi menurut Ryff (1989) adalah pengembangan pribadi

sebagai kemampuan individu untuk selalu tumbuh dan mengembangkan potensi diri secara

berkesinambungan. Individu yang memiliki pertumbuhan pribadi yang baik ialah individu

yang memiliki perasaan berkembang secara berkesinambungan, melihat diri sebagai diri yang

berkembang dan meluas, terbuka akan pengalaman baru, menyadari potensi diri, melihat

perbaikan di dalam diri dan perilaku sepanjang waktu, dan mau berubah untuk meningkatkan

pengetahuan diri dan keefektifan. Individu yang rendah dalam aspek ini memiliki perasaan

kemandekan pribadi, kurang kesadaran akan perbaikan atau perluasan sepanjang waktu,

merasa bosan dan tidak tertarik dalam kehidupan, merasa tidak mampu dalam mengembangkan

berbagai sikap atau perilaku yang baru (Papalia, dkk., 2009).

Ryff (1995) mengatakan bahwa, individu yang memiliki pertumbuhan pribadi yang

berkesinambungan dalam dirinya, memandang diri sendiri sebagai individu yang selalu

tumbuh dan berkembang, selalu penuh konsentrasi dan serius terhadap apa yang dikerjakannya,

sehingga waktu menjadi terasa cepat berlalu, terbuka terhadap berbagai pengalaman baru,

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement Pada Karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3001/3/BAB II.pdf · ... keterlibatan dan keterikatan) terhadap nilai-nilai budaya ... oleh

18

memiliki kemampuan dalam menyadari potensi diri yang dimiliki, dapat merasakan

peningkatan yang terjadi pada diri dan tingkah lakunya setiap waktu, menemukan kesulitan

dalam memisahkan diri dengan pekerjaannya, serta dapat berubah menjadi pribadi yang lebih

efektif dan memiliki pengetahuan yang bertambah. Schaufeli (2013) menjelaskan pekerja yang

enganged memiliki motivasi intrinsik untuk selalu mengembangkan diri yang menjadi

pendorong baginya giat dalam bekerja, senang dan nyaman dengan pekerjaannya. Pekerja yang

mengalami emosi-emosi positif tersebut merasa puas dan lebih terlibat (enganged) dengan

pekerjaannya, sedangkan pekerja yang mengalami emosi-emosi negatif merasa dirinya

terbebani dan mungkin bisa mengalami kelelahan (burnout). Ada pula individu yang

menganggap bahwa memiliki pekerjaan membuat dirinya menjadi lebih berharga dan bernilai

di hadapan orang lain, sehingga dapat meningkatkan harga diri individu tersebut. Ryff (1989)

menambahkan bahwa fungsi psikologis yang optimal tidak hanya seseorang dapat mencapai

kelima hal yang disebutkan sebelumnya, tetapi juga harus terus mengembangkan potensi

dirinya untuk terus berkembang sebagai manusia. Kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri

dan menyadari potensi yang dimiliki merupakan perspektif utama dari pengembangan diri.

Kesimpulan dari penjabaran di atas adalah psychological well-being meliputi

penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, kemandirian, penguasaan lingkungan,

tujuan hidup serta pengembangan pribadi berpengaruh positif terhadap work engagement.

Semakin tinggi psychological well-being maka akan semakin tinggi work engagement,

sebaliknya semakin rendah psychological well-being maka semakin rendah pula work

engagement. Robertson dan Cooper (2010), yang mengungkapkan bahwa interaksi antara

psychological well-being dan engagement yang dimiliki karyawan dapat mengarah pada

terciptanya kondisi full engagement, dimana pada kondisi tersebut karyawan memiliki kondisi

psikologis yang sehat, sekaligus tingkat engagement tinggi yang akan berlangsung dalam

waktu lama. Lebih lanjut lagi, Robertson dan Cooper (2010) juga mengatakan bahwa

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement Pada Karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3001/3/BAB II.pdf · ... keterlibatan dan keterikatan) terhadap nilai-nilai budaya ... oleh

19

psychological well-being merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi engagement,

dimana tingginya well-being dapat membantu meningkatkan engagement dan rendahnya well-

being akan menyebabkan rendahnya engagement.

D. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini yaitu ada hubungan positif antara psychological well-

being dan work engagement pada karyawan IT. Semakin tinggi psychological well-being maka

akan diikuti dengan semakin tingginya work engagement, demikian juga sebaliknya semakin

rendah psychological well-being maka akan diikuti dengan semakin rendahnya work

engagement.