Top Banner
9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata “strafbaar feituntuk menyebutkan kata tindak pidana di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Selain itu terdapat beberapa tindak pidana sebagai berikut: a. Delik. b. Peristiwa pidana. c. Perbuatan pidana. d. Hal yang diancam dengan hukum. e. Perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukum. f. Tindak pidana (Tri Andrisman, 2009:69). Menurut Pompe dalam Bambang Purnomo (1981:86), tindak pidana secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, di mana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”. Selanjutnya dikatakan oleh Pompe bahwa menurut hukum positif kita, suatu tindak pidana itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu tindakan yang menurut suatu rumusan Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
64

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

Mar 16, 2019

Download

Documents

vandang
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata “strafbaar feit”

untuk menyebutkan kata tindak pidana di dalam Kitab Undang-undang

Hukum Pidana (KUHP). Selain itu terdapat beberapa tindak pidana

sebagai berikut:

a. Delik.

b. Peristiwa pidana.

c. Perbuatan pidana.

d. Hal yang diancam dengan hukum.

e. Perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukum.

f. Tindak pidana (Tri Andrisman, 2009:69).

Menurut Pompe dalam Bambang Purnomo (1981:86), tindak pidana

secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma

(gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja atau tidak sengaja

telah dilakukan oleh seorang pelaku, di mana penjatuhan hukuman

terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum

dan terjaminnya kepentingan umum”. Selanjutnya dikatakan oleh Pompe

bahwa menurut hukum positif kita, suatu tindak pidana itu sebenarnya

adalah tidak lain daripada suatu tindakan yang menurut suatu rumusan

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

10

Undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat

dihukum.

Tindak pidana ialah perbuatan yang melanggar larangan yang diatur

oleh aturan hukum yang diancam dengan sanksi pidana. Dalam rumusan

tersebut bahwa yang tidak boleh dilakukan adalah perbuatan yang

menimbulkan akibat yang dilarang dan yang diancam sanksi pidana bagi

orang yang melakukan perbuatan tersebut (Suharto RM, 2002:28).

Istilah ini (tindak pidana), tumbuhnya dari pihak Kementerian

Kehakiman, sering dipakai dalam perundang-undangan. Meskipun kata

“tindak” lebih pendek dari pada “perbuatan” tapi “tindak” tidak menunjuk

kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tapi hanya menyatakan keadaan

konkrit, sebagaimana halnya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa

tindak adalah kelakukan, tingkah laku, gerak-gerik atau sikap jasmani

seorang, hal mana lebih dikenal dalam tindak-tanduk, tindakan, dan

bertindak dan belakangan juga sering dipakai “ditindak”. Oleh karena

tindak sebagai kata tidak begitu dikenal, maka dalam perundang-undangan

yang menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-pasalnya

sendiri, maupun dalam penjelasannya hampir selalu dipakai pula

perbuatan.

Moeljatno (2002:55), tidak menggunakan istilah tindak pidana

rumusan di atas, tetapi menggunakan kata “perbuatan pidana”. Kata

perbuatan dalam perbuatan pidana mempunyai arti yang abstrak yaitu

suatu pengertian yang menunjuk pada 2 kejadian yang konkret yaitu:

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

11

a. Adanya kejadian yang tertentu yang menimbulkan akibat yang dilarang.

b. Adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu.

Rumusan tindak pidana tersebut dalam bahasa Inggris dikenal

dengan istilah “Criminal act”. Dalam hal ini meskipun orang telah

melakukan suatu perbuatan yang dilarang di situ belum berarti bahwa ia

mesti dipidana, ia harus mempertanggungjawabkan atas perbuatannya

yang telah ia lakukan untuk menentukan kesalahannya, yang dikenal

dengan istilah “Criminal responsibility.” Bahwa orang dapat dipidana

selain telah melakukan tindak pidana masih diperlukan kesalahan. Akan

dirasakan sebagai hal yang bertentangan dengan rasa keadilan, jika orang

yang tidak bersalah dijatuhi pidana. Dalam hal ini dapat ditarik

kesimpulan bahwa antara kesalahan dan tindak pidana ada hubungan erat,

di mana kesalahan tidak dapat dimengerti tanpa adanya perbuatan yang

bersifat melawan hukum. Dengan kata lain, orang dapat melakukan tindak

pidana tanpa mempunyai kesalahan, tetapi sebaliknya orang tidak mungkin

mempunyai kesalahan jika tidak melakukan perbuatan yang bersifat

melawan hukum. Oleh karena itu setelah melihat berbagai definisi di atas,

maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang disebut dengan tindak pidana

adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan

pidana, di mana pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang bersifat

aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga

perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya

diharuskan oleh hukum) (Teguh Prasetyo, 2011:50).

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

12

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Membicarakan mengenai unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan

setidaknya dari dua sudut pandang, yakni (1) dari sudut pandang teoritis

dan (2) sudut pandang Undang-undang. Maksud teoritis ialah berdasarkan

pendapat para ahli hukum, yang tercermin pada bunyi rumusannya.

Sedangkan sudut Undang-undang adalah bagaimana kenyataan tindak

pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal

peraturan perundang-undangan yang ada.

1) Unsur Tindak Pidana Menurut Beberapa Teoritis.

Menurut Moeljatno (2008:54), unsur tindak pidana adalah:

a. Perbuatan.

b. Yang dilanggar (oleh aturan hukum).

c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).

Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, yang melarang

adalah aturan hukum. Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana,

maka pokok pengertian ada pada perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan

dengan orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana

menggambarkan bahwa tidak mesti perbutan itu dalam kenyataannya

benar-benar dipidana. Pengertian diancam pidana adalah pengertian

umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana. Apakah

inkongkrito orang yang melakukan perbuatan itu dijatuhi pidana

ataukah tidak, adalah hal yang lain dari pengertian perbuatan pidana.

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

13

Menurut R. Tresna (1959:27), tindak pidana terdiri dari unsur-

unsur, yakni:

a. Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia).

b. Yang bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan.

c. Diadakan tindakan penghukuman.

Dari unsur yang ketiga, kalimat diadakan tindakan

penghukuman, terdapat pengertian bahwa seolah-olah setiap

perbuatan yang dilarang itu selalu diikuti dengan penghukuman

(pemidanaan). Berbeda dengan Moeljatno, karena kalimat diancam

pidana berarti perbuatan itu tidak selalu dan tidak dengan demikian

dijauti pidana.

Walaupun mempunyai kesan bahwa setiap perbuatan yang

bertentangan dengan Undang-undang selalu diikuti dengan pidana,

namun dalam unsur-unsur itu tidak terdapat kesan perihal syarat-

syarat (subyektif) yang melekat pada orangnya untuk dapat dijatuhkan

pidana. Menurut bunyi batasan yang dibuat Vos dalam Martiman

Prodjohamidjojo (1996:16), dapat ditarik unsur-unsur tindak pidana

adalah:

a. Kelakuan manusia.

b. Diancam dengan pidana.

c. Dalam peraturan perundang-undangan.

Dapat dilihat bahwa unsur-unsur dari 3 batasan penganut paham

dualisme tersebut tidak ada perbedaan, ialah bahwa tindak pidana itu

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

14

adalah perbuatan manusia yang dilarang, dimuat dalam Undang-

undang, dan diancam dipidana bagi yang melakukannya. Dari unsur-

unsur yang ada jelas terlihat bahwa unsur-unsur tersebut tidak

menyangkut diri si pembuat atau dipidanya pembuat, semata-mata

mengenai perbuatannya. Akan tetapi jika dibandingkan dengan

pendapat penganut paham monisme, memang tampak berbeda.

Dari batasan yang dibuat Jonkers (penganut paham monisme)

dapat dirinci unsur-unsur tindak pidana adalah:

a. Perbuatan (yang).

b. Melawan hukum (yang berhubungan dengan).

c. Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang apat).

d. Dipertanggungjawabkan.

Sedangkan Scbravendijk merinci terdapat unsur-unsur sebagai berikut:

a. Kelakuan (orang yang).

b. Bertentangan dengan keinsyafan hukum.

c. Diancam dengan hukuman.

d. Dilakukan oleh orang (yang dapat).

e. Dipersalahkan/kesalahan.

Walaupun rincian dari beberapa rumusan di atas tampak

berbeda-beda, namun pada hakekatnya ada persamaannya, ialah tidak

memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatannya dengan unsur

yang mengenai diri orangnya.

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

15

2) Unsur Rumusan Tindak Pidana Dalam Undang-undang.

Buku II KUHP memuat rumusan-rumusan perihal tindak pidana

tertentu yang masuk dalam kelompok kejahatan, dalam Buku III

adalah pelanggaran. Ternayata ada unsur yang selalu disebutkan

dalam setiap rumusan, ialah mengenai tingkah laku/perbuatan,

walaupun ada pengecualian seperti Pasal 351 KUHP (penganiayaan).

Unsur kesalahan dan melawan hukum kadang-kadang dicantumkan,

dan seringkali juga tidak dicantumkan. Sama sekali tidak dicantumkan

adalah mengenai unsur kemampuan bertanggungjawab. Disamping itu

banyak mencantumkan unsur-unsur lain baik sekitar/mengenai obyek

kejahatan maupun perbuatan secara khusus untuk rumusan tertentu.

Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP itu,

maka dapat diketahui adanya 8 unsur tindak pidana, yaitu:

a) Unsur tingkah laku.

Tingkah laku adalah unsur mutlak tindak pidana. Jika ada

rumusan tindak pidana tanpa mencantumkan unsur tingkah laku,

misalnya Pasal 351 KUHP (penganiayaan). Cara perumusan seperti

itu adalah suatu pengecualian belaka dengan alasan tertentu, dan

tidak berarti tindak pidana itu tidak terdapat unsur perbuatan, unsur

itu telah ada dengan sendirinya di dalamnya, dan wujudnya tetap

harus dibuktikan di persidangan untuk menetapkan telah terjadinya

penganiayaan.

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

16

Tingkah laku dalam tindak pidana terdiri dari tingkah laku

aktif atau positif (handelen), juga dapat disebut perbuatan materiil

(materieel feit) dan tingkah laku pasif atau negatif (nalaten).

Tingkah laku aktif adalah suatu bentuk tingkah laku yang untuk

mewujudkannya atau melakukannya diperlukan wujud gerakan

atau gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh, misalnya

mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

palsu (Pasal 268 KUHP). Sebagian besar (hampir semua) tindak

pidana tentang unsur tingkah lakunya dirumuskan dengan

perbuatan aktif, dan sedikit sekali dengan perbuatan pasif.

Sedangkan tingkah laku pasif adalah berupa tingkah laku

membiarkan (nalaten), suatu bentuk tingkah laku yang tidak

melakukan aktivitas tertentu tubuh atau bagian tubuh, yang

seharusnya seseorang itu dalam keadaan-keadaan tertentu harus

melakukan perbuatan aktif, dan dengan tidak berbuat demikian

seseorang itu disalahkan karena tidak melaksanakan kewajiban.

b) Unsur Sifat Melawan Hukum.

Melawan hukum adalah suatu sifat tercelanya atau

terlarangnya dari suatu perbuatan, yang sifat tercela mana dapat

bersumber pada Undang-undang (melawan hukum formil/formelle

wederrechtelijk) dan dapat bersumber pada masyarakat (melawan

hukum materiil/materieel wederrechlijk). Karena bersumber pada

masyarakat, sering disebut dengan bertentangan dengan asas-asas

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

17

hukum masyarakat, maka sifat tercela tersebut tidak tertulis.

Seringkali sifat tercela dari suatu perbuatan terletak pada kedua-

duanya seperti perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) pada

pembunuhan (Pasal 338 KUHP), adalah dilarang baik dalam

Undang-undang maupun menurut masyarakat. Adalah wajar setiap

perbuatan yang tercela menurut masyarakat adalah tercela pula

menurut Undang-undang, walaupun kadangkala ada perbuatan

yang tidak tercela menurut masyarakat tetapi tercela menurut

Undang-undang, misalnya perbuatan mengemis (Pasal 504 KUHP),

bergelandang (Pasal 505 KUHP). Sebaliknya ada perbuatan tercela

menurut masyarakat tetapi tidak menurut Undang-undang,

contohnya perbuatan bersetubuh suka sama suka antara bujang dan

gadis yang berpacaran.

Dari sudut Undang-undang, suatu perbuatan tidaklah

mempunyai sifat melawan hukum sebelum perbuatan itu diberi

sifat terlarang (wederrechtelijk) dengan memuatnya sebagai

dilarang dalam peraturan perundang-undangan, artinya sifat

terlarang itu disebabkan atau bersumber pada dimuatnya dalam

peraturan perundang-undangan.

c) Unsur Kesalahan.

Kesalahan (schuld) adalah unsur mengenai keadaan atau

gambaran batin orang sebelum atau pada saat memulai perbuatan,

karena itu unsur ini selalu melekat pada diri pelaku dan bersifat

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

18

subyektif. Dalam hal ini berbeda dengan unsur melawan hukum

yang dapat bersifat obyektif dan dapat bersifat subyektif,

bergantung pada redaksi rumusan dan sudut pandang terhadap

rumusan tindak pidana tersebut.

Unsur kesalahan yang mengenai keadaan batin pelaku adalah

berupa unsur yang menghubungkan antara perbuatan dan akibat

serta sifat melawan hukum perbuatan si pelaku. Hanya dengan

adanya hubungan antara ketiga unsur tadi dengan keadaan batin

pembuatnya inilah, pertanggungan jawab dapat dibebankan pada

orang itu. Dengan demikian maka terhadap pelaku tadi dijatuhi

pidana.

d) Unsur Akibat Kondusif.

Unsur akibat konstitutif ini terdapat pada:

1) Tindak pidana materiil (materieel delicten) atau tindak pidana

di mana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana.

2) Tindak pidana yang mengandung unsur akibat sebagai syarat

pemberat pidana.

3) Tindak pidana di mana akibat merupakan syarat dipidananya

pembuat.

Berbeda dengan yang dimaksud kedua, dalam tindak pidana

materiil (yang pertama), timbulnya akibat itu bukan untuk

memperberatkan pertanggungan jawab pidana, dalam arti berupa

alasan pemberat pidana, tetapi menjadi syarat selesainya tindak

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

19

pidana. Perbedaan lain, ialah unsur akibat konstitutif pada tindak

pidana materiil adalah berupa unsur pokok tindak pidana, artinya

jika unsur ini tidak timbul, maka tindak pidananya tidak terjadi,

yang terjadi hanyalah percobaannya.

Sedangkan unsur akibat sebagai syarat memperberat pidana

karena bukan merupakan unsur pokok tindak pidana, artinya jika

syarat ini tidak timbul, tidak terjadi percobaan, melainkan

terjadinya tindak pidana selesai. Misalnya pada Pasal 288 KUHP

jika luka berat (ayat 2) tidak timbul, maka yang terjadi adalah

berupa kejahatan yang selesai yakni bersetubuh dengan wanita

yang belum waktunya dikawini dan menimbulkan luka (bukan luka

berat, ayat 1), dan bukan percobaan bersetubuh dengan wanita yang

belum waktunya dikawini yang menimbulkan luka berat.

Persamaannya ialah, bahwa dalam kedua unsur itu, timbulnya

akibat ialah setelah perbatan dilakukan.

Sedangkan unsur akibat sebagai syarat dapat dipidananya

pembuat, ialah tanpa timbulnya akibat itu perbuatan yang

dirumuskan dalam Undang-undang itu tidak dipidana. Baru dapat

dipidana apabila akibat terlarang itu telah timbul. Contohnya Pasal

288 KUHP, perbuatan bersetubuh dengan istrinya itu tidak dapat

dipidana, dan baru dipidana jika dari persetubuhan itu

mendatangkan akibat luka dan atau kematian istrinya yang belum

waktunya dikawini itu telah timbul.

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

20

e) Unsur Keadaan yang Menyertai.

Unsur keadaan yang menyertai adalah unsur tindak pidana

yang berupa semua keadaan yang ada dan berlaku dalam mana

perbuatan dilakukan. Unsur keadaan yang menyertai ini dalam

kenyataan rumusan tindak pidana dapat:

1) Mengenai cara melakukan perbuatan.

2) Mengenai cara untuk dapatnya dilakukan perbuatan.

3) Mengenai obyek tindak pidana.

4) Mengenai subyek tindak pidana.

5) Mengenai tempat dilakukannya tindak pidana.

6) Mengenai waktu dilakukannya tindak pidana.

f) Unsur Syarat Tambahan untuk Dapatnya Dituntut Pidana.

Unsur ini hanya terdapat pada tindak pidana aduan. Tindak

pidana aduan adalah tindak pidana yang hanya dapat dituntut

pidana jika adanya pengaduan dari yang berhak mengadu.

Pengaduan substansinya adalah sama dengan laporan, ialah berupa

keterangan atau informasi mengenai telah terjadinya tindak pidana

yang disampaikan kepada pejabat penyelidik atau penyidik yaitu

Kepolisian, atau dalam hal tindak pidana khusus ke kantor

Kejaksaan Negeri setempat.

Perbedaan pengaduan dengan laporan, ialah pada pengaduan

hanya: (1) dapat dilakukan oleh yang berhak mengadu saja, yakni

korban kejahatan, atau wakilnya yang sah, dan (2) pengaduan

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

21

diperlukan hanya terhadap tindak pidana aduan saja. Pada laporan

kedua syarat itu tidak diperlukan.

g) Syarat Tambahan untuk Memperberat Pidana.

Unsur ini adalah berupa alasan untuk diperberatnya pidana,

dan bukan unsur syarat untuk terjadinya atau syarat selesainya

tindak pidana sebagaimana pada tindak pidana materiil. Unsur

syarat tambahan untuk memperberat pidana bukan merupakan

unsur pokok tindak pidana yang bersangkutan, artinya tindak

pidana tersebut dapat terjadi tanpa adanya unsur ini. Misalnya pada

penganiayaan berat (Pasal 354 KUHP), kejahatan ini dapat terjadi

(ayat 1), walaupun akibat luka berat tidak terjadi (ayat 2). Luka

berat hanyalah sekedar syarat saja untuk dapat diperberatnya

pidana.

h) Unsur Syarat Tambahan untuk Dapatnya Dipidana.

Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana adalah

berupa unsur keadaan-keadaan tertentu yang timbul setelah

perbuatan dilakukan, yang menentukan untuk dapat dipidananya

perbuatan. Artinya bila setelah perbuatan dilakukan keadaan ini

tidak timbul, maka terhadap perbuatan itu tidak bersifat melawan

hukum dan karenanya si pembuat tidak dapat dipidana. Sifat

melawan hukumnya dan patutnya dipidana perbuatan itu

sepenuhnya digantungkan pada timbulnya unsur ini. Nilai

bahayanya dari kepentingan hukum dari perbuatan itu adalah

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

22

terletak pada timbulnya unsur syarat tambahan, bukan semata-mata

pada perbuatan (Adami Chazawi, 2002: 78-110).

3. Klasifikasi Tindak Pidana

Tindak pidana dapat dibedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu:

a) Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan (Misdriven)

dimuat dalam buku II dan pelanggaran (Overtredingen) dimuatdalam

buku III.

Untuk membedakan bahwa kejahatan merupakan Rechtsdelict

atau delik hukum dan pelanggaran merupakan Wetsledict atau delik

Undang-undang. Delik hukum adalah pelanggaran hukum yang

dirasakan melanggar rasa keadilan, misalnya perbuatan seperti

pembunuhan, melukai orang lain, mencuri, dan sebagainya.

Sedangkan delik Undang-undang melanggar apa yang telah

ditentukan oleh Undang-undang, misalnya saja keharusan untuk

mempunyai SIM bagi yang mengendarai kendaraan bermotor di jalan

umum, atau mengenakan helm ketika mengendarai sepeda motor.

b) Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil

(Formeel delicten) dan tindak pidana materiil (Materiel delicten).

Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan

sedemikian rupa, sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang

dirumuskan itu adalah melakukan suatu perbuatan tertentu.

Perumusan tindak pidana formil tidak memperhatikan dan atau tidak

memerlukan timbulnya suatu akibat tertentu dari perbuatan dengan

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

23

syarat penyelesaian tindak pidana, melainkan semata-mata pada

perbuatannya. Misalnya pada pencurian (Pasal 362 KUHP) untuk

selesainya pencurian digantungkan pada selesainya perbuatan

mengambil. Sebaliknya dalam rumusan tindak pidana materril, inti

larangan adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu

siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang

dipertanggungjawabkan dan dipidana. Tentang bagaimana wujud

perbuatan yang menimbulkan akibat terlarang itu tidaklah penting.

Misalnya pada pembunuhan (Pasal 338 KUHP) inti larangan adalah

pada menimbulkan kematian orang, dan bukan pada wujud

menembak, membacok, atau memukul. Untuk selesainya tindak

pidana digantungkan pada timbulnya akibat dan bukan pada

selesainya perbuatan.

c) Berdasarkan bentuk kesalahan, dibedakan antara tindak pidana

sengaja (Doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan sengaja

(Culpose delicten).

Tindak pidana sengaja (Doleus delicten) adalah tindak pidana

yang dalam rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau

mengandung unsur kesegajaan. Tindak pidana yang secara tegas unsur

kesengajaan itu dicantumkan, misalnya: Pasal 362 KUHP (maksud),

Pasal 338 KUHP(sengaja), Pasal 380 KUHP (yang diketahui), juga

ada yang rumusan tindak pidana kesengajaan itu tidak dicantumkan,

akan tetapi berdasarkan bunyi/redaksi rumusannya, dapat disimpulkan

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

24

tidaklah mungkin tindak pidana itu dilakukan tanpa sengaja, misalnya:

Pasal 110 (1) KUHP, Pasal 116 KUHP, Pasal 127 KUHP,Pasal 154

KUHP, Pasal 154a KUHP, Pasal 170 (1) KUHP, Pasal 173 KUHP,

Pasal 217 KUHP, Pasal 238 KUHP. Sedangkan tindak pidana culpa

(Culpose Delicten) adalah tindak pidana yang unsur kesalahannya

adalah berupa kelalaian, karena kurang hati-hati, dan tidak karena

kesengajaan. Tindak pidana yang mengandung unsur culpa ini,

misalnya: Pasal 114 KUHP, Pasal 359 KUHP, Pasal 360 KUHP.

d) Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak

pidana aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi (Delicta

commissionis) dan tindak pidana pasif/negatif, disebut juga tindak

pidana omisi (Delica ommisionis).

Tindak pidana aktif (Delicta commisionis) adalah tindak pidana

yang perbuatannya berupa perbuatan aktif (positif). Perbuatan aktif

(disebut juga perbuatan materiil), adalah perbuatan yang untuk

mewujudkannya disyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang

yang berbuat. Dengan berbuat aktif orang melanggar larangan.

Perbuatan aktif ini terdapat baik dalam tindak pidana yang

dirumuskan secara formil maupun secara materiil. Bagian terbesar

tindak pidana yang dirumuskan dalam KUHP adalah berupa tindak

pidana aktif. Berbeda dengan tindak pidana pasif. Dalam tindak

pidana pasif, ada suatu kondisi dan atau keadaan tertentu yang

mewajibkan seseorang dibebani kewajiban untuk berbuat tertentu,

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

25

yang apabila ia tidak melakukan (aktif) perbuatan itu, maka ia telah

melanggar kewajiban hukumnya. Tindak pidana ini dapat disebut

juga tindak pidana pengabaian suatu kewajiban hukum. Tindak pidana

pasif ada 2 macam, yaitu tindak pidana pasif murni dan tindak pidana

pasif tidak murni (disebut dengan Delicta Commossionis per

Omissionem). Tindak pidana pasif murni ialah tindak pidana pasif

yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya

semata-mata unsur perbuatanya adalah berupa perbuatan pasif,

misalnya Pasal 224 KUHP, Pasal 304 KUHP, Pasal 522 KUHP.

Sedangkan tindak pidana pasif yang tidak murni adalah berupa tindak

pidana yang pada dasarnya berupa tindakan positif, tetapi dapat

dilakukan dengan cara tidak berbuat aktif, atau tindak pidana yang

mengandung suatu akibat terlarang, tetapi dilakukan dengan tidak

berbuat/atau mengabaikan sehingga akibat itu benar-benar timbul.

Misalnya pada pembunuhan Pasal 228 KUHP (sebenarnya tendak

pidana aktif), tetapi jika akibat matinya itu disebabkan karena

seseorang tidak berbuat sebagaimana kewajiban hukumnya harus ia

perbuat dan karenanya menimbulkan kematian, maka disini ada tindak

pidana pasif yang tidak murni. Misalnya si Ibu tidak menyusui

anaknya agar mati, ini melanggar Pasal 338 KUHP dengan secara

perbuatan pasif.

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

26

e) Berdasarkan saat dan jangkak waktu terjadinya, maka dapat dibedakan

antara tindakpidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam

waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus.

Tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga

untuk terwujudnya atau terjadinya dalam waktu seketika atau waktu

singkat saja, disebut juga dengan aflopende delicten. Misalnya

pencurian (Pasal 362 KUHP), jika perbuatan mengambilnya selesai,

maka tindak pidana itu menjadi selesai secara sempurna. Sebaliknya

ada tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga

terjadinya tindak pidana itu berlangsung lama, yakni setelah perbuatan

dilakukan, tindak pidana itu masih berlangsung terus, yang disebut

juga dengan voortdurende delicten. Tindak pidana ini dapat disebut

sebagai tindak pidana yang menciptakan suatu keadaan yang

terlarang. Misalnya pada Pasal 329 KUHP, Pasal 330 KUHP, Pasal

331 KUHP, Pasal 333 KUHP, Pasal 334 KUHP. Kejahatan ini

berlangsung lama, tidak selesai seketika. Seperti Pasal 333 KUHP

perampasan kemerdekaan itu berlangsung lama, bahkan sangat lama,

dan akan terhenti setelah korban dibebaskan/terbebaskan.

f) Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum

dan tindak pidana khusus.

Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat

dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materiil. (Buku II dan

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

27

Buku III KUHP). Sedangkan tindak pidana khusus adalah semua

tindak pidana yang terdapat di luar kodifikasi tersebut.

g) Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, maka

dibedakan antara tindak pidana biasa (Gewone delicten) dan tindak

pidana aduan (Klacht delicten).

Tindak pidana biasa yang dimaksudkan ini adalah tindak pidana

yang untuk dilakukannya penuntutan pidana terhadap perbuatannya

tidak diisyaratkan adanya pengaduan dari yang berhak. Sebagian

terbesar tindak pidana adalah berupa tindak pidana biasa yang

dimaksudkan ini. Sedangkan tindak pidana aduan adalah tindak

pidana yang untuk dapatnya dilakukan penuntutan pidana disyaratkan

untuk terlebih dulu adanya pengaduan oleh yang berhak mengajukan

pengaduan, yakni korban atau wakilnya dalam perkara perdata (Pasal

72 KUHP) atau keluarga tertentu dalam hal-hal tertentu (Pasal 73

KUHP) atau orang yang diberi kuasa khusus untuk pengaduan oleh

orang yang berhak.

h) Berdasarkan berat ringannya pidana yang diancam, maka dapat

dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten),

tindak pidana yang diperberat (Gepriviligeerde delicten) dan tindak

pidana yang diperingan (gepriviligieerde delicten).

Tindak pidana dalam bentuk pokok dirumuskan secara lengkap,

artinya semua unsur-unsurnya dicantumkan dalam rumusan, misalnya

pencurian (Pasal 362 KUHP), pembunuhan (Pasal 338 KUHP),

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

28

peggelapan (372), pemalsuan surat (Pasal 363 KUHP), pemerasan

(Pasal 368 KUHP). Karena disebutkan secara lengkap unsur-

unsurnya, maka pada rumusan bentuk pokok terkandung pengertian

yuridis dari tindak pidana tersebut. Sedangkan pada bentuk yang

diperberat dan tau yang diperingan, tidak mengulang kembali unsur-

unsur pokok itu, melainkan sekedar menyebutkan kualifikasi bentuk

pokoknya atau pasal bentuk pokoknya, kemudian disebutkan atau

ditambahkan unsur yang bersifat memberatkan atau meringankan

secara tegas dalam rumusan. Karena ada faktor pemberatnya atau

faktor peringannya, maka ancaman pidana terhadap tindak pidana

terhadap bentuk yang diperberat atau yang diperingan itu menjadi

lebih berat atau lebih ringan daripada bentuk pokoknya.

i) Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi.

Maka tindak pidana tidak terbatas macamnya bergantung dari

kepentingan hukum yang dilindungi, seperti tindak pidana terhadap

nyawa dan tubuh, terhadap harta benda, tindak pidana pemalsuan,

tindak pidana terhadap nama baik, terhadap kesusilaan dan lain

sebagainya.

j) Dari sudut beberapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan,

dibedakan antara tindak pidana tunggal (Enkelvoudige delicten) dan

tindak pidana berangkai (Samengestelde delicten).

Tindak pidana tunggal (Enkelvoudige delicten) adalah tindak

pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga untuk dipandang

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

29

selesainya tindak pidana dan dapat dipidananya pelaku cukup

dilakukan satu kali perbuatan saja. Bagian terbesar tindak pidana

dalam KUHP adalah berupa tindak pidana tunggal. Sedangkan yang

dimaksud tindak pidana berangkai (Samengestelde delicten) adalah

tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga untuk

dipandangsebagian selesai dan dapat dipidananya pembuat,

disyaratkan dilakukan secara berulang. Contohnya Pasal 481 ayat (1)

KUHP, di mana perbuatan membeli, menukar, menerima gadai,

menyimpan atau menyembunyikan barang yang diperoleh dari

kejahatan itu dilakukan sebagai kebiasaan. Kebiasaan ini disyaratkan

telah dilakukan berulang, setidaknya dua kali perbuatan. Contoh lain

ialah Pasal 296 KUHP, di mana juga disyaratkan perbuatan itu

dilakukan secara berulang (Adam Chazawi, 2002:117-132).

B. Kepolisian Negara Republik Indonesia

1. Pengertian Polisi

Ditinjau dari segi etimologis istilah polisi di beberapa negara

memiliki ketidaksamaan, seperti di Yunani istilah polisi dengan sebutan

“politeia”, di Inggris “police”, di Jerman “polizei”, di Amerika di kenal

dengan “sheriff”, di Belanda “politie”. Jauh sebelum istilah polisi lahir

sebagai organ, kata “Polisi” telah dikenal dalam bahasa Yunani, yakni

“politeia”. Kata “politeia” digunakan sebagai title buku pertama Plato

yakni “politeia” yang mengandung makna suatu negara yang ideal sekali

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

30

sesuai cita-citanya, suatu negara yang terbebas dari pemimpin negara yang

rakus dan jahat,tempat keadilan dijunjung tinggi (Azhari,1995:19).

Dilihat dari sisi historis, istilah “Polisi” di Indonesia tampaknya

mengikuti dan menggunakan istilah “politie” di Belanda. Hal ini sebagai

akibat dan pengaruh dari bangunan sistem hukum Belanda yang banyak

dianut di negara Indonesia.

Menurut Satjipto Rahardjo (2009:111) polisi merupakan alat negara

yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,

memberikan pengayoman, dan memberikan perlindungan kepada

masyarakat. Kepolisian juga sering dikenal sebagai Bhayangkara yang

berasal dari bahasa Sansekerta, yang berarti “menakutkan” (Karjadi M,

1978:69).

Dalam Kamus Bahasa Indonesia W.j.s Poerwodarminta (1952:549)

dikemukakan bahwa istilah Polisi mengandungpengertian:

a) Badan pemerintah (sekelompok pegawai negeri) yang bertugas

memelihara keamanan dan ketertiban umum.

b) Pegawai negeri yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban

umum.

Dalam pengertian ini istilah Polisi mengandung 2 (dua) pengertian

makna Polisi tugas dan sebagai organnya.

Dalam Pasal 1 ayat (1),(2) dan (3) Undang-undang Negara Republik

Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia, yang berbunyi :

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

31

ayat (1) “Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi

dan lembaga Polisi sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.”

ayat (2) “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai

negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia.”

ayat (3) “Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah anggota

Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Undang-

undang memiliki wewenang umum kepolisian.”

2. Tugas, Wewenang, Fungsi dan Kode Etik Profesi Kepolisian

a. Tugas Kepolisian

Dalam Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 2

Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pada Pasal

13, tugas pokok kepolisian ialah:

1) Memelihara atau menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat,

2) Menegakkan hukum dan keadilan,

3) Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada

masyarakat.

Pada Pasal 14 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2

Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam

rangka melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud pada Pasal

13 Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bertugas :

a) Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli

terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan.

b) Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan,

ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dijalan.

c) Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,

kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat

terhadap hukum dan peratuan perundang-undangan.

d) Turut serta dalam pembinaan hukum nasional.

e) Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum.

f) Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis

terhadap kepolisian khususnya, penyidik pegawai negeri sipil, dan

bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

32

g) Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak

pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan

perundang-undangan lainnya.

h) Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,

laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan

tugas kepolisian.

i) Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan

lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana

termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan

menjunjung tinggi hak asasi manusia.

j) Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum

ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang.

k) Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan

kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian, serta

melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.

Dari tugas-tugas polisi tersebut dapat dikemukakan bahwa pada

dasarnya tugas Polisi ada dua yaitu tugas untuk memelihara keamanan,

ketertiban, menjamin dan memelihara keselamatan negara, orang, benda

dan masyarakat serta mengusahakan ketaatan warga negara dan

masyarakat terhadap peraturan negara. Tugas ini dikategorikan sebagai

tugas preventif dan tugas represif.

b. Wewenang Kepolisian

Dalam hal melaksanakan tugas dan fungsinya, kepada anggota

masing-masing anggota polisi diberi wewenang, yaitu pada Pasal 16

ayat (1) Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun

2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka

menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14

di bidang proses pidana, para anggota kepolisian berwenang untuk:

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

33

a) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan

penyitaan.

b) Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat

kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan.

c) Membawa dan mengahadapkan orang kepada penyidik dalam

rangka penyidikan.

d) Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta

memeriksa tanda pengenal diri.

e) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.

f) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka

atau saksi.

g) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya

dengan pemeriksaan perkara.

h) Mengadakan penghentian penyidikan.

i) Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.

j) Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi

yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan

mendesak atau mendadak untuk mencegah dan menangkal orang

yang disangka melakukan tindak pidana.

k) Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik

pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik

pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum, dan

l) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung

jawab.

c. Fungsi Kepolisian

Dalam Pasal 2 Undang-undang Negara Republik Indonesia

Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

menyatakan bahwa fungsi kepolisian merupakan salah satu fungsi

pemerintahan negara dalam bidang pemeliharaan keamanan dan

ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman,

dan pelayanan kepada masyarakat. Menurut Peraturan Kepala

Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 Tentang

Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Resor dan

Kepolisian Sektor, unsur pelaksana tugas pokok dalam Kepolisian

diantaranya yaitu:

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

34

1) Fungsi Intelkam (Intelijen keamanan), fungsi kepolisian dalam hal:

a) Pembinaan kegiatan intelijen dalam bidang keamanan, antara

lain persandian dan produk intelijen di lingkungan Polres.

b) Pelaksanaan kegiatan operasional intelijen keamanan guna

terselenggaranya deteksi dini (early detection), dan peringatan

dini (early warning), pengembangan jaringan informasi melalui

pemberdayaan personel pengemban fungsi intelijen.

c) Pengumpulan, penyimpanan, dan pemutakhiran biodata tokoh

formal atau informal organisasi sosial, masyarakat, politik, dan

pemerintahan daerah.

d) Pendokumentasian dan penganalisisan terhadap perkembangan

lingkungan strategik serta penyusunan produk intelijen untuk

mendukung kegiatan Polres.

e) Penyusunan prakiraan intelijen keamanan dan menyajikan hasil

analisis setiap perkembangan yang perlu mendapat perhatian

pimpinan.

f) Penerbitan surat izin untuk keramaian dan kegiatan masyarakat

antara lain dalam bentuk pesta (festival, bazar, konser), pawai,

pasar malam, pameran, pekan raya, dan pertunjukkan/permainan

ketangkasan.

g) Penerbitan STTP untuk kegiatan masyarakat, antara lain dalam

bentuk rapat, sidang, muktamar, kongres, seminar, sarasehan,

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

35

temu kader, diskusi panel, dialog interaktif, outward bound, dan

kegiatan politik, dan

h) Pelayanan SKCK serta rekomendasi penggunaan senjata api dan

bahan peledak.

2) Fungsi Reserse (investigasi), adalah fungsi kepolisian dalam hal:

a) Pembinaan teknis terhadap administrasi penyelidikan dan

penyidikan, serta identifikasi dan laboratorium forensik

lapangan.

b) Pelayanan dan perlindungan khusus kepada remaja, anak, dan

wanita baik sebagai pelaku maupun korban sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

c) Pengidentifikasian untuk kepentingan penyidikan dan pelayanan

umum.

d) Penganalisisan kasus beserta penanganannya, serta mengkaji

efektivitas pelaksanaan tugas Satreskrim.

e) Pelaksanaan pengawasan penyidikan tindak pidana yang

dilakukan oleh penyidik pada unit reskrim Polsek dan

Satreskrim Polres.

f) Pembinaan, koordinasi, dan pengawasan PPNS baik di bidang

operasional maupun administrasi penyidikan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

36

g) Penyelidikan dan penyidikan tindak pidana umum dan khusus,

antara lain tindak pidana ekonomi, korupsi, dan tindak pidana

tertentu di daerah hukum Polres.

3) Fungsi Sabhara, yaitu fungsi kepolisian dalam hal:

a) Pemberian arahan, pengawasan, dan pengendalian pelaksanaan

tugas Satsabhara.

b) Pemberian bimbingan, arahan, dan pelatihan keterampilan

dalam pelaksanaan tugas di lingkungan Satsabhara.

c) Perawatan dan pemeliharaan peralatan serta kendaraan

Satsabhara.

d) Penyiapan kekuatan personel dan peralatan untuk kepentingan

tugas Turjawali, pengamanan unjuk rasa dan objek vital,

pengendalianmassa, negosiator, serta pencarian dan

penyelamatan atau search andrescue (SAR).

e) Pembinaan teknis pemeliharaan ketertiban umum berupa

penegakan hukum Tipiring dan TPTKP, dan

f) Pengamanan markas dengan melaksanakan pengaturan dan

penjagaan.

4) Fungsi Lantas (Lalu Lintas), yaitu fungsi kepolisian dalam hal:

a) Pembinaan lalu lintas Kepolisian.

b) Pembinaan partisipasi masyarakat melalui kerja sama lintas

sektoral, Dikmaslantas, dan pengkajian masalah di bidang lalu

lintas.

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

37

c) Pelaksanaan operasi Kepolisian bidang lalu lintas dalam rangka

penegakan hukum dan keamanan, keselamatan, ketertiban,

kelancaran lalu lintas (kamseltibcarlantas).

d) Pelayanan administrasi registrasi dan identifikasi kendaraan

bermotor serta pengemudi.

e) Pelaksanaan patroli jalan raya dan penindakan pelanggaran serta

penanganan kecelakaan lalu lintas dalam rangka penegakan

hukum, serta menjamin kamseltibcarlantas di jalan raya.

f) Pengamanan dan penyelamatan masyarakat pengguna jalan, dan

g) Perawatan dan pemeliharaan peralatan dan kendaraan.

5) Fungsi Bimmas, yaitu fungsi kepolisian dalam hal:

a) Pembinaan dan pengembangan bentuk-bentuk pengamanan

swakarsa dalam rangka peningkatan kesadaran dan ketaatan

masyarakat terhadap hukum dan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

b) Pengembangan peran serta masyarakat dalam pembinaan

keamanan, ketertiban, dan perwujudan kerjasama Polres dengan

masyarakat.

c) Pembinaan di bidang ketertiban masyarakat terhadap komponen

masyarakat antara lain remaja, pemuda, wanita, dan anak.

d) Pembinaan teknis, pengkoordinasian, dan pengawasan Polsus

serta Satuan Pengamanan (Satpam), dan

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

38

e) Pemberdayaan kegiatan Polmas yang meliputi pengembangan

kemitraan dan kerja sama antara Polres dengan masyarakat,

organisasi, lembaga, instansi, dan/atau tokoh masyarakat.

d. Kode Etik Profesi Kepolisian

Dalam pembukaan kode etik profesi Kepolisian Negara Republik

Indonesia, etika profesi kepolisian merupakan kristalisasi nilai-nilai

Tribrata yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan

jati diri setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam

wujud komitmen moral yang meliputi pada pengabdian, kelembagaan

dan kenegaraan, yang selanjutnya disusun ke dalam Kode Etik Profesi

Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu antara lain sebagai

berikut: Etika pengabdian merupakan komitmen moral setiap anggota

Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap profesinya sebagai

pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum serta

pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Etika kelembagaan

merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara

Republik Indonesia terhadap institusinya yang menjadi wadah

pengabdian yang patut dijunjung tinggi sebagai ikatan lahir batin dari

semua insan Bhayangkara dan segala martabat dan kehormatannya.

Etika kenegaraan merupakan komitmen moral setiap anggota

Kepolisian Negara Republik Indonesia dan institusinya untuk

senantiasa bersikap netral, mandiri dan tidak terpengaruh oleh

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

39

kepentingan politik, golongan dalam rangka menjaga tegaknya hukum

Negara Republik Indonesia.

Pada Pasal 7 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Republik

Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian

Negara Republik Indonesia, menyatakan setiap anggota Polri wajib:

a) Setia kepada Polri sebagai bidang pengabdian kepada masyarakat,

bangsa dan negara dengan memedomani dan menjunjung tinggi

Tribrata dan Catur Prasetya.

b) Menjaga dan meningkatkan citra, solidaritas, kredibilitas, reputasi,

dan kehormatan Polri.

c) Menjalankan tugas secara profesional, proporsional, dan prosedural.

d) Melaksanakan perintah dinas untuk mengikuti pendidikan dan

pelatihan dalam rangka pembinaan karier dan peningkatan

kemampuan profesionalisme Kepolisian.

e) Menjalankan perintah dinas untuk melaksanakan mutasi dalam

rangka pembinaan personel, profesi, karier, dan penegakkan KEPP.

f) Mematuhi hierarki dalam pelaksanaan tugas.

g) Menyelesaikan tugas dengan seksama dan penuh rasa tanggung

jawab.

h) Memegang teguh rahasia yang menurut sifatnya atau menurut

perintah kedinasan harus dirahasiakan.

i) Menampilkan sikap kepemimpinanmelalui keteladanan, ketaatan

pada hukum, kejujuran, keadilan, serta menghormati dan

menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam melaksanakan tugas.

j) Melaksanakan perintah kedinasan dalam rangka penegakan disiplin

dan KEPP berdasarkan laporan/pengaduan masyarakat tentang

adanya dugaan pelanggaran disiplin dan/atau Pelanggaran KEPP

sesuai dengan kewenangan.

k) Melaksanakan perintah kedinasan yang berkaitan dengan

pengawasan internal di lingkunga Polri dalam rangka penguatan

Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP).

l) Menghargai perbedaan pendapat yang disampaikan dengan cara

sopan dan santun pada saat pelaksanaan rapat, sidang, atau

pertemuan yang bersifat kedinasan.

m) Mematuhi dan menaati hasil keputusan yang telah disepakati dalam

rapat, sidang, atau pertemuan yang bersifat kedinasan.

n) Mengutamakan kesetaraan dan keadilan gender dalam melaksanakan

tugas.

o) Mendahulukan pengajuan laporan keberatan atau komplain kepada

Ankum atau Atasan Ankum berkenaan dengan keputusan yang

dinilai bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

40

undangan sebelum mengajukan gugatan ke Pengadlan Tata Usaha

Negara (PTUN).

C. Penyidikan

1. Pengertian Penyidik dan Penyidikan

Istilah penyidikan secara etimologis merupakan padanan kata bahasa

Belanda yaitu opsporing dan dari bahasa Inggris yaitu investigation.

Sedangkan dari bahasa Latin yaitu investigatio dan dalam bahasa Malaysia

yaitu penyiasatan atau siasat (Andi Hamzah, 2000: 118).

Dalam Pasal 1 ayat (10), (12) dan (13) Undang-undang Negara

Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia, menyebutkan pengertian penyidik dan penyidikan,

yaitu:

ayat (10) “Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia

yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk melakukan

penyidikan.”

ayat (12) “Penyidik pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik

Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian NegaraRepublik

Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dan diberi wewenang

tertentu dalam melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam

Undang-undang.”

ayat (13) “Penyidikan ialah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan

menurut cara yang diatur Undang-undang untuk mencari serta

mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang

tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan

tersangkanya.”

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) :

Pasal 1 butir (1) KUHAP “Penyidik adalah pejabat Polisi negara Republik

Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil

tertentu yang diberi wewenang khusus oleh

Undang-undang untuk melakukan penyidikan.”

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

41

Pasal 1 butir (2) KUHAP “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik

dalam hal dan menurut cara yang diatur Undang-

undang ini untuk mencari serta mengumpulkan

bukti yang dengan bukti itu membuat terang

tentang tindak pidana yangterjadi dan guna

menemukan tersangkanya.”

2. Tugas dan Wewenang Penyidik

Pada Pasal 8 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

tugas penyidik:

(1) Penyidik membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 dengan tidak menurangi

ketentuan lain dalam Undang-undang ini.

(2) Penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.

(3) Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)

dilakukan:

a. Pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara.

b. Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik

menyerahkan tanggungjawab atas tersangka dan barang bukti

kepada penuntut umum.

Sedangkan wewenang penyidik pada Pasal 7 ayat (1) Kitab Undang-

undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu :

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak

pidana.

b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian.

c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri

tersangka.

d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.

f. Mengambil sidik jari dan memotret seorang.

g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau

saksi.

h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara.

i. Mengadakan penghentian penyidikan, dan

j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

42

Sebelum dilakukannya penyidikan pihak kepolisian melakukan

kegiatan penyelidikan, yaitu memeriksa dengan seksama atau mengawasi

gerak-gerik musuh sehingga penyelidikan itu dapat diartikan sebagai

pemeriksaan, penelitian, atau pengawasan (Andi Hamzah, 1986:94). Proses

penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dapat digambarkan sebagai

berikut : diawali dengan adanya bahan masukan suatu tindak pidana;

melakukan tindakan pertama ditempat kejadian, yaitu melakukan berbagai

tindakan yang dipandang perlu oleh penyidik; pemanggilan dan

pemeriksaan tersangka dan saksi; melakukan upaya paksa yang diperlukan,

bentuknya ialah tindakan penangkapan, penahanan, penggeledahan,

penyitaan, dan tindakan pemeriksaan surat; pembuatan berita acara

penyidikan; dan penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum (Rusli

Muhammad, 2007:60-66).

D. Diskresi

1. Pengertian Diskresi

Diskresi berasal dari kata-kata bahasa inggris “discretion” yang

menurut kamus umum yang disusun John M. Echols (1981: 185) diartikan

kebijaksanaan, keleluasaan. Menurut Alvina Treut Burrow (1966:226),

discretion isability to choose wisely or to judge for oneself artinya

kemampuan untuk memilih secara bijaksana atau mempertimbangkan bagi

diri sendiri. Sedangkan diskresi oleh J.C.T Simorangkir (1980:45) diartikan

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

43

sebagai kebebasan mengambil keputusan dalam setiap situasi yang dihadapi

menurut pendapatnya sendiri.

Diskresi dalam Black Law Dictionary berasal dari bahasa Belanda

“Discretionair” yang berarti kebijaksanaan dalam halnya memutuskan

sesuatu tindakan tidak berdasarkan ketentuan -ketentuan peraturan, Undang-

undang atau hukum yang berlaku tetapi atas dasar kebijaksanaan,

pertimbangan atau keadilan (Pramadya, 1997:91). Thomas J. Aaron dalam

M. Faal (1991: 16) mendefinisikan diskresi menjadi: discretion is

powerauthority conferred by law to action onthe basic of judgement of

conscience, andits use is more than idea of morals thanlaw. Yang dapat

diartikan sebagai suatu kekuasaan atau wewenang yang dilakukan

berdasarkan hukum atas pertimbangan dan keyakinan serta lebih

menekankan pertimbangan-pertimbangan moral dari pada pertimbangan

hukum. Sedangkan menurut Barker konsep dari diskresi adalah wewenang

yang diberikan hukum untuk bertindak dalam situasi khusus sesusi dengan

penilaian penilaian dan kata hati instansi atau pengawas itu sendiri.

Dalam pembicaraan tentang diskresi kepolisian ini, M. Faal (1991:

16) mencontohkan Polisi dapat melakukan tindakan penangkapan atau tidak

terhadap seseorang walau ia yakin telah ada bukti-bukti permulaan. Atau ia

dapat juga tidak melakukan tindakan penangkapan terhadap si tersangka

yang walaupun terdapat bukti-bukti permulaan yang cukup tentang

kejahatan yang dilakukan olehnya. Misalnya seorang pelajar mencuri

mangga orang lain, secara yuridis formal ia telah memenuhi unsur-unsur

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

44

tindak pidana, tetapi seorang polisi yang mengetahui tindak pidana itu tidak

bertindak untuk memprosesnya, hanya menasihati lalu melepasnya. Ia telah

mengenyampingkan tindak pidana itu untuk di proses. Tindakan polisi itu

seolah-olah mengabaikan ketentuan hukum positif. Namun apabila kita kaji

lebih jauh, tindakan itu justru sesuai dengan tujuan hukum yaitu

perlindungan terhadap setiap warga negara. Polisi tersebut memutuskan

untuk tidak memproses pelajar itu karena pertimbangan bahwa penggunaan

hukum pidana bukan satu-satunya cara untuk menanggulangi kejahatan,

terlebih terhadap anak-anak.

Sementara itu pada tujuan yang lebih jauh dari hukum pidana yaitu

untuk menanggulangi kejahatan dan penggunaan hukum pidana adalah

bukan satu-satunya. Louis A. Redelet menyatakan bahwa “law is not an

end in it self. Properly understood, it is a means to higher ends in human

affair, much as good order, justice...”. Hal tersebut di atas sesuai juga

dengan apa yang dikatakan oleh Sunaryari Hartono (1976:3) bahwa, hukum

(kaidah) itu bukan merupakan tujuan akan tetapi hanya merupakan

jembatan, yang akan harus membawa kita kepada ide yang dicita-citakan.

Sedangkan Soerjono Soekanto (1985:7) menjelaskan bahwa suatu

tujuan (hukum) tidak selalu identik dengan tujuan-tujuan yang dirumuskan

secara eksplisit, apa yang dinyatakan dalam suatu aturan, belum tentu

merupakan alasan yang sesungguhnya dari pembuatan aturan tersebut.

Menurut Satjipto Rahardjo (1987:11), hukum itu hanya dapat menuntut

kehidupan bersama secara umum sebab begitu amengatur secara rinci,

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 37: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

45

dengan memberikan skenario langkah-langkah secara lengkap maka pada

waktu itu pula kehidpan akan macet, oleh karena itu sesungguhnya diskresi

merupakan kelengkapan dari sistem pengaturan oleh hukum itu sendiri.

Sehingga tindakan polisi yang memaafkan, menasehati si pelajar

tersebut yang mungkin juga atas pertimbangan bahwa tindak pidana itu

dianggap tidak begitu serius (terlalu ringan), mungkin karena ia seorang

pelajar, kepentingan umum tak terganggu dan sebagainya, adalah di antara

alternatif dari berbagai macam pertimbangan yang diyakini oleh anggota

Kepolisian itu. Pertimbangan yang menimbulkan tindakan yang diyakini itu

jelas dipengaruhi oleh situasi yang senyatanya yang dihadapi secara konkret

oleh polisi itu di lapangan, sebagaimana dikatakan oleh Hadisapoetro bahwa

diskresi kepolisian yang dilakukan oleh seseorang terhadap masalah yang

dihadapi secara nyata, berdasar atas keyakinan, kebenaran dan

pertimbangan-pertimbangan pribadi yang terbaik pada saat itu.

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa diskresi itu

sesungguhnya suatu keputusan/tindakan kepolisian yang dengan sadar tidak

melakukan kewajiban/tugasnya selaku penegak hukum berdasarkan alasan-

alasan yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap hukum itu sendiri.

Penjelasan-penjelasan tersebut ternyata diskresi itu selalu dikaitkan dengan

pengambilan keputusan, kekuasaan atau kewenangan untuk mengambil

keputusan, kekuasaan atau kewenangan untuk mengambil tindakan apa pun

yang dianggap paling bijaksana olehnya dan dapat dipertanggungjawabkan

(M.Faal, 1991: 18).

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 38: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

46

2. Konsep Diskresi Penyidik

Konsep mengenai diskresi penyidik terdapat dalam Undang-undang

Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia, pada Pasal 18 ayat (1) dan (2), yaitu :

ayat (1) “Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik

Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat

bertindak menurut penilaianya sendiri.”

ayat (2) “Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya

dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan

memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta kode etika

profesi Kepolisian.”

Rumusan kewenangan penyidik dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-

undang Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan kewenangan yang

bersumber dari asas kewajiban umum penyidik untuk bertindak atau tidak

bertindak menurut penilaiannya sendiri, dalam rangka kewajiban umumnya,

yaitu menjaga dan menjamin ketertiban umum serta menegakkan hukum

dan keadilan. Secara umum kewenangan ini dikenal sebagai diskresi

penyidik yang keabsahannya didasarkan pada pertimbangan keperluannya

untuk tugas kewajiban (pflichtmassiges ermessen). Wewenang polisi untuk

menyidik ini yang meliputi kebijaksanaan polisi (politie beleid; police

discretion) sangat sulit, sebab mereka harus membuat pertimbangan suatu

tindakan yang akan diambil dalam waktu yang sangat singkat pada

penanggapan pertama suatu delik ( Andi Hamzah, 2000:79).

Dalam bahasa Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tersebut

Diskresi dirumuskan sebagai “dalam keadaan yang sangat perlu”.

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 39: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

47

Penjelasan resmi dari Undang-undang tersebut berbunyi ,“yang dimaksud

dengan bertindak menurut penilaiannya sendiri” adalah suatu tindakan yang

dapat dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang

dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari

tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum”(Satjipto Rahardjo,

2010:103). Sedangkan rumusan dalam Pasal 18 Ayat (2) merupakan rambu-

rambu bagi pelaksanaan diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu

selain asas keperluan, tindakan diskresi tetap harus sesuai dan

memperhatikan peraturan perundang-undangan serta Kode Etik Profesi

Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Kewenangan penyidik dalam memberikan diskresi kepolisian juga

dijelaskan dalam Pasal 7 ayat (1) huruf i dan j Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) yakni:

huruf i “mengadakan penghentian penyidikan.

huruf j “mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab

Selain itu regulasi mengenai diskresi kepolisian diatur dalam tugas,

wewenang, dan Kode Etik Profesi Kepolisian. Pada tugas kepolisian

terdapat dalam Pasal 14 huruf k Undang-undang Nomor 2 tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yakni “memberikan

pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingan dalam lingkup

kepolisian serta melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan

perundang-undangan”. Terkait dengan wewenang kepolisian Pasal 16 ayat

(1) huruf h dan l Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia yakni:

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 40: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

48

huruf h “mengadakan penghentian penyidikan.”

huruf l “mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung

jawab.”

Sedangkan pada Kode Etik Kepolisian terdapat dalam Pasal 7 ayat

(1) huruf c Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 14

Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik

Indonesia, menyatakan setiap anggota Polri wajib “menjalankan tugas

secara profesional, proporsional, dan prosedural.”

Perincian tugas-tugas polisi seperti yang tercantum dalam Undang-

undang di atas membuktikan bahwa untuk mencapai dan memelihara

ketertiban merupakan tugas pokok yang harus dilakukan oleh polisi,

tentunya pekerjaan tersebut hanya boleh dilaksanakan dengan mematuhi

berbagai pembatasan tertentu. Salah satu dari pembatasan itu adalah hukum.

Dalam hal ini polisi oleh hukum ditugasi untuk menciptakan dan

memelihara ketertiban dalam kerangka hukum yang berlaku di masyarakat.

Di satu pihak memang benar bahwa hukum merupakan sarana pengendalian

sosial, akan tetapi di lain pihak hukum mungkin juga berfungsi sebagai

sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial.

Maka dari itu selain hukum sebagai sarana pengendalian sosial,

hukum juga dapat mengatur dan menuntun kehidupan bersama secara

umum. Diskresi dibutuhkan dan dilakukan oleh polisi karena ia bukan

hanya aparat penegak hukum tetapi juga penjaga ketertiban yang bertugas

mengusahakan kedamaian (peacekeeping) dan ketertiban (order maintance).

Peran polisi dalam penegakan hukum seolah-olah diibaratkan bahwa polisi

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 41: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

49

adalah hukum yang hidup, karena ditangan polisi inilah tujuan-tujuan

hukum untuk melindungi dan menciptakan keadaan yang aman di dalam

masyarakat dapat diwujudkan. Melalui tangan polisi inilah hal-hal yang

bersifat falsafati dalam hukum dapat diwujudkan menjadi nyata, tetapi

justru karena sifat pekerjaannya yang demikian itulah, polisi banyak

berhubungan dengan masyarakat dan menanggung resiko mendapatkan

sorotan yang tajam pula dari masyarakat yang dilayaninya (Satjipto

Rahardjo, 2007: 104).

3. Landasan Hukum Diskresi

Selain peraturan di atas terdapat landasan hukum lain yang

mengatur tentang diskresi kepolisian yaitu (M. Faal, 1991: 115-120):

1) Undang-undang Dasar 1945

Berkaitan dengan tugas dan wewenang kepolisian memang

merupakan 2 (dua) hal yang tidak dapat dilepaskan karena sifat

penugasan sesungguhnya sangat membutuhkan kewenangan. Di

dalam kewenangan yang diberikan kepada kepolisian dijumpai pula

kewenangan untuk bertindak sendiri atau menentukan sendiri.

Kewenangan yang dimaksud itulah yang kemudian disebut sebagai

diskresi kepolisian. Berangkat dari pemikiran di atas, apabila

diperhatikan ketentuan Undang-undang Dasar 1945, maka

kewenangan diskresi kepolisian secara tidak langsung sangat

berkaitan dengan pembukaan, batang tubuh dan penjelasan.

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 42: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

50

Dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 menyebutkan

bahwa:

“......... membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan

kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial .......”

Berdasarkan pokok pikiran melindungi segenap bangsa Indonesia itu,

maka Pasal 27 Undang-undang Dasar 1945 memberikan kesamaan

kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan dan setiap warga

negaranya. Dan kedudukan polisi selaku penegak hukum wajib

melindungi warga negara atau masyarakat dan menciptakan keamanan

dan ketertiban bagi masyarakat. Sedangkan pokok pikiran ikut

melaksanakan ketertiban dunia adalah kewajiban warga negara untuk

senantiasa patuh pada norma-norma dalam tata kehidupan yang telah

disepakati sehingga tercipta iklim tertib masyarakat.

Tugas polisi selaku penegak hukum, keamanan dan ketertiban

masyarakat adalah refleksi dan sesuai terhadap Undang-undang Dasar

1945 dan konsekuensi adanya tugas tersebut sangat dibutuhkan

wewenang, salah satu diantaranya adalah wewenang diskresi.

Keberadaan kewenangan diskresi masuk sebagai salah satu

kewenangan kepolisian sangat berkaitan erat dengan hakikat tujuan

penegakan hukum itu sendiri dan lebih jauh lagi adalah pencapaian

tujuan nasional.

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 43: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

51

Menurut Barda Nawawi Arief tujuan-tujuan yang ingin dicapai

hukum pidana atau sistem peradilan pidana itu pada umumnya

terwujud dalam kepentingan-kepentingan tersebut adalah:

a. Pemeliharaan tertib masyarakat.

b. Perlindungan warga negara dari kejahatan, kerugian atau bahaya-

bahaya yang tidak dapat dibenarkan yang dilakukan oleh orang

lain.

c. Memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum.

d. Memelihara atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan

dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat manusia dan

keadilan individu.

Lebih lanjut Barda Nawawi Arief mengatakan bahwa apabila

ada perkara-perkara yang tidak diproses adalah dalam rangka

melindungi warga negara dari ancaman yang tidak menguntungkan

bagi kehidupan pada masa depan. Disinilah peran diskresi itu berada

dan hal ini sesuai dengan jiwa pembukaan Undang-undang Dasar

1945.

2) Yurisprudensi

Yurisprudensi mengenai diskresi kepolisian pada masa

penjajahan yang terkenal adalah berdasarkan Arres Hoge Raad (AHR)

tanggal 25 Januari 1892 dan tanggal 11 Maret 1914 yang berbunyi:

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 44: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

52

........... untuk sahnya segala tindakan kepolisian (rechtmating) tidak

selalu harus berdasarkan peraturan perundang-undangan (wettelijk

voor schrift) akan tetapi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Tindakan-tindakan polisi itu tidak bertentangan dengan peraturan

Undang-undang.

b. Tindakan itu adalah untuk mempertahankan ......, ketertiban,

ketentraman dan keamanan umum.

c. Tindakan itu untuk melindungi hak-hak seseorang (ieders recht).

Berdasarkan bunyi Arrest Hoge Raad (AHR) tersebut di atas

sebenarnya adalah pengakuan akan adanya (dan dalam istilah

kepolisian disebut sebagai) diskresi kepolisian. Arrest Hoge Raad

(AHR) di atas dimaksudkan bahwa agar polisi dalam menjalankan

hukum dan perundang-undangan tidak terlalu kaku. Karena

bagaimanapun juga maksud Arrest Hoge Raad (AHR) di atas juga

dalam rangka penegakan hukum dan diskresi dilakukan tetap dalam

kerangka hukum.

Berdasarkan pemikiran di atas jelaslah bahwa polisi bisa saja

menerjemahkan hukum atau bertindak apa saja dalam batas-batas

yang telah ditentukan seperti halnya dalam rumusan Arrest Hoge

Raad (AHR) di atas. Mengenai batasan-batasan tertentu sebagaimana

dimaksudkan di atas, menurut Soebroto Brotodiredjo yang dikutip

oleh Faal hendaknya berorientasi pada Asas Freisermessen yang

berupa:

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 45: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

53

a) Asas keperluan (noodzakelijkheid) yaitu setiap tindakan harus

betul-betul diperlukan dalam arti tanpa tindakan itu maka tugas

tidak akan terlaksana.

b) Asas kelugasan (zakelijheid) yaitu tindakan tidak boleh didorong

oleh motif-motif (kepentingan-kepentingan) pribadi.

c) Asas tujuan sebagai ukuran (doelmatigheld) yaitu tindakan betul-

betul dilakukan untuk mencapai tujuan, misalnya keamanan dan

ketertiban.

d) Asas keseimbangan yaitu adanya keseimbangan antara komponen

tindakan, tujuan dan sasaran.

3) Hukum Tidak Tertulis

Landasan hukum dengan mempergunakan hukum tidak tertulis

sebenarnya juga bersifat konstitusional atau dalam kata lain hukum

tidak tertulis itu juga konstitusional. Hal ini sebagaimana dijelaskan

dalam Penjelasan Umum Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi

Hukum dasar yang tidak tertulis ialah aturan-aturan dasar yang timbul

dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara. Polisi sebagai

pejabat administrasi negara di dalam melaksanakan tugas dan

menyelesaiakan persoalan-persoalan hukum dan masyarakat sering

didasarkan pada hukum tidak tertulis.

Menurut Satjipto Rahardjo pekerjaan polisi sesungguhnya tidak

jauh dari pekerjaan mengadili. Sebab memberikan penafsiran terhadap

hukum pidana pada saat berhadapan dengan orang-orang tertentu yang

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 46: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

54

melakukan perlawanan terhadap hukum bukanlah pekerjaan mengadili

juga.

Atas dasar pemikiran di atas maka polisi dapat dan

diperbolehkan memperluas hukum melalui tindakan diskresi dan

tindakan diskresi juga merupakan pekerjaan memutus sebagaimana

halnya hakim dalam mengadili dan memutus perkara. Hal yang

mendapat perhatian juga adalah nilai-nilai, norma-norma yang hidup

dalam masyarakat Indonesia secara general seperti pemaaf, rukun,

kekeluargaan, kebersamaan, tenggang rasa, saling menghormati,

norma keagamaan, sopan santun dan sebagainya menjadi landasan

pula bagi pertimbangan polisi dalam menegakkan hukum melalui

kebijakan diskresi.

Dihubungkan dengan pelaksanaan tugas–tugas kepolisian,

didalam menyelesaikan persoalan-persoalam hukum di masyarakat

sering dapat diselesaikan berdasar hukum tidak tertulis yang berupa

hukum adat, dan dalam kaitannya dengan hukum adat tersebut yang

dapat dijadikan pedoman adalah adat kebiasaan yang ada di

masyarakat yang sesuai atau tidak bertentangan dengan hukum positif

yang ada, mempunyai tujuan mempertahankan keamanan dan

ketertiban didalam masyarakat serta tidak merugikan hak-hak orang

lain.

Begitu pula penyelesaian perkara-perkara atau

mengenyampingkan perkara-perkara pidana yang serba ringan

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 47: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

55

berdasarkan kebiasaan praktek atau hukum tidak tertulis itu biasanya

ditempuh dikarenakan apabila dipaksakan berlakunya hukum pidana

justru akan menimbulkan permasalahan baru, sehingga adat

kebiasaanlah yang dipakai dalam menyelesaikan suatu perkara, karena

bagaimanapun juga hal itu dirasa lebih praktis dan lebih murah

daripada diselesaikan lewat sistem peradilan pidana. Misalnya saja

ditempuh dengan upaya kekeluargaan yang dirasa bisa menyelesaikan

masalah tanpa menjadikan hubungan yang ada dimasyarakat tadi

menjadi renggang atau pecah. Hal inilah yang menjadi alasan

mengapa hukum adat yang berlaku dimasyarakat juga mempunyai

peranan didalam pelaksanaan diskresi oleh polisi.

4) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang

Acara Hukum Pidana.

Jika telah dipahami bahwa tugas dan wewenang Polisi itu sangat

luas dan wewenang polisi untuk melakukan tindakan-tindakannya

tidak mungkin diatur secaa limitatif atau tidak mungkin segala

tindakan-tindakan polisi dirumuskan secara rinci, apalagi yang

menyangkut kewenangan menentukan keputusan menurut

penilaiannya sendiri atau yang disebut sebagai kewenangan bebas,

maka di dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf a poin 4 dan Pasal 7

ayat (1) huruf i dan huruf j Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981

Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ditegaskan

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 48: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

56

bahwa polisi berwenang karena kewajibannya mengadakan tindakan

lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

5) Hukum Ilmuwan

Pendapat, penjelasan, ajaran atau hasil penelitian para sarjana

atau ahli dapat dijadikan dasar pemikiran atau menambah wawasan

lebih luas mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan diskresi

kepolisian. Dengan hukum ilmuwan ini ketentuan perundang-

undangan atau asas-asas hukum yang kurang jelas dapat diperoleh dari

mereka seperti misalnya arti “demi hukum”, asas nullum delictum

nullapoena sinepravia lege yang tercermin dalam Pasal 1 ayat 1 Kitab

Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Dengan penjelasan hukum ilmuwan, akan melengkapi hukum

yang kurang jelas itu, sehingga kebijaksanaan-kebijaksanaan yang

diambil oleh para praktisi penegak hukum akan mendapat landasan

yang relatif kuat.

Berdasarkan landasan hukum lain yang mengatur mengenai

diskresi kepolisian maka akan menjadi pendukung atau memperkuat dasar

hukum bagi polisi dalam menyelesaikan perkara pidana melalui Diskresi

kepolisian.

4. Prosedur/Mekanisme Diskresi

Menurut Walker, Diskresi sering dirumuskan “free to make choice

among possible courses of action or inaction” yang mempunyai makna

yaitu kebebasan untuk membuat pilihan diantara tindakan yang mungkin

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 49: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

57

atau tidak bertindak. Diskresi dalam hal ini sangat berpengaruh besar dalam

hal ini bertolak akan suatu asas kepastian hukum yang ada di Indonesia dan

lebih mementingkan tujuan dari suatu pemidanaan, diskresi oleh polisi

memang merupakan masalah yang selalu menarik untuk diteliti. Bagi polisi,

diskresi merupakan bagian integral dari pekerjaaannya. Ia boleh mewakili

karakteristik pekerjaan polisi. Dengan menjalankan diskresi maka polisi

bending the law and the system, membengkokkan train politica, menjadi

policy maker, terkadang juga sekaligus menjadi jaksa dan hakim (Satjipto

Rahardjo, 2007: 116).

Sesungguhnya dari Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice

System) ada empat komponen fungsi yang satu dengan lainnya selalu

berhubungan dan berkoordinasi. Fungsi-fungsi itu memiliki satu kesatuan

persepsi dan satu tujuan yang sama, yaitu usaha untuk menanggulangi

kejahatan. Masing-masing fungsi ini adalah fungsi penyidikan, penuntutan,

peradilan dan fungsi pemasyarakatan yang masing-masing dilakukan oleh

petugas pnegak hukum; Polisi, Jaksa, Hakim dan petugas pemasyarakatan

(J.W. Lapatra, 1978: 86).

Tiap-tiap komponen fungsi ini apabila diamati secara teliti

mempunyai wewenang untuk melakukan penyaringan-penyaringan terhadap

arus perkara yang masuk ke dalam proses, baik karena berdasar peraturan

perundang-undangan maupun atas dasar aspek sosiologisnya. Pada tingkat

penyidikan, penyaringan perkara itu berupa tindakan-tindakan kepolisian

yang di dalam praktek kepolisian disebut diskresi kepolisian, pada tingkat

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 50: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

58

penuntutan, adanya wewenang jaksa untuk mendeponir suatu perkara yang

sering disebut dengan asas oportunitas, sedangkan pada tingkat peradilan

berupa keputusan hakim bebas (vrijpraak), hukuman bersyarat

(voorwaardelijk verordeling) atau lepas (de beklaagde wordt ontslage van

alle Rechtsvervolging) dan hukuman denda. Sedangkan pada tingkat

pemasyarakatan, berupa pengurangan hukuman atau remisi. Untuk lebih

jelasnya dapat dilihat pada bagan 1.

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 51: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

59

Bagan 1.

Kerangka Diskresi Dalam Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice

System).

tak dilaporkan, tak terlacak

dikesampingkan,

dihentikan (diskresi) dilaporkan,diadukan, diproses

ke

dideponir diteruskan ke

diputus bebas, lepas didakwa di

bersyarat dan deda

dikirim ke

Remisi, selesai jalani dikembalikan ke

hukuman

Sumber: M.Faal, 1991: 2

MASYARAKAT

PELAKU KEJAHATAN

POLISI

JAKSA

PENGADILAN

PEMASYARAKATAN

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 52: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

60

Adanya penyaringan-penyaringan perkara yang masuk dalam proses

peradilan pidana ini, sebagai realisasi dari kebutuhan-kebutuhan praktis

Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), asas dan tujuan dari

Sistem Peradian Pidana (Criminal Justice System) itu sendiri maupun karena

semakin berkembangnya aliran-aliran modern dewasa ini baik di bidang

perkembangan hukum pidana maupun kriminologi yang langsung atau tidak

sangat mempengaruhi nilai-nilai perkembangan masyarakat.

Adanya diskresi polisi dalam bentuk penyaringan perkara itu

didasarkan pada pemikiran bahwa di dalam kenyataannya hukum itu tidak

seharusnya secara membabibuta diperlakukan kepada siapapun dalam

kondisi apapun persis seperti bunyi peraturan perundang-undangan (M.Faal,

1991: 3). Diskresi kerap diterapkan pada tingkat penyidikan dengan

pertimbangan agar polisi yang berada dalam barisan paling depan dalam

sistem peradilan pidana tidak disibukkan oleh tumpukan perkara yang

seharusnya dapat diselesaikan tanpa proses di pengadilan. Diskresi

kepolisian ini dilakukan melalui mediasi penal (Yuliana Pratiwi, 2013: 45-

47).

Penerapan diskresi polisi yang berkaitan dengan penyelesaian

perkara pidana di luar pengadilan dapat kita lihat dalam Peraturan Kapolri

Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi

Perpolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas Kapolri, yang secara

umum prinsip-prinsipnya dapat disimpulkan sebagai berikut:

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 53: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

61

1) Sebagai strategi yaitu model perpolisian yang menegakkan pada

kemitraansejajar antara petugas polmas dengan masyarakat lokal dalam

menyelesaikandan mengatasi masalah sosial yang mengancam

keamanan dan ketertibanmasyarakat dengan tujuan untuk mengurangi

kejahatan dan rasa ketakutanakan kejahatan.

2) Sebagai falsafah, Polmas mengandung makna sutau model perpolisian

yang menekankan hubungan yang menjunjung nilai-nilai sosial

kemanusiaan danmenampilkan sikap santun dan saling menghargai

antara polisi dan wargadalam rangka menciptakan kondisi yang

menunjang kelancaran fungsi kepolisian dan peningkatkan kualitas

hidup masyarakat.

3) Upaya penegakan hukum lebih diutamakan kepada sasaran peningkatan

kesadaran hukum dari pada penindakan.

4) Upaya penindakan hukum merupakan alternatif tindakan paling akhir

bila upaya pemecahan masalah bersifat persuasive tidak berhasil.

5) Penerapan konsep Alternative Dispute Resolution (ADR) yaitu pola

penyelesaian masalah sosial melalui jalur alternatif yang lebih efektif

yaitu menetralisir masalah selain melalui proses hukum/ non litigasi

(missal perdamaian).

Penerapan mediasi penal yang didasarkan pada dikresi kepolisian

pun semakin dikuatkan dengan dikeluarkannya Surat Kepala Polisi

Republik Indonesia Nomor PolisiB/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14

Desember 2009 tentang Penanganan Kasus melalui Alternative Dispute

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 54: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

62

Resolution (ADR). Pada Surat Kepala Polisi Republik Indonesia ini

ditentukanbeberapa langkah-langkah penanganan kasus melalui Alternative

Dispute Resolution (ADR), yaitu:

a. Mengupayakan penanganan kasus yang mempunyai kerugian materi

kecil, penyelesaiannya dapat diarahkan melalui konsep Alternative

Dispute Resolution (ADR).

b. Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan Alternative Dispute

Resolution (ADR) harus disepakati oleh pihak-pihak yang berperkara

namun apabila tidak terdapat kesepakatan baru diselesaikan sesuai

dengan prosedur hukum yang berlaku secara profesional dan

proporsional.

c. Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan Alternative Dispute

Resolution (ADR) harus menghormati norma sosial/adat serta memenuhi

asas keadilan.

d. Untuk kasus yang telah dapat diselesaikan melalui konsep Alternative

Dispute Resolution (ADR) agar tidak lagi disentuh oleh tindakan hukum

lain yang kontra produktif dengan tujuan Polmas.

5. Tolak Ukur Penilaian Penggunaan Diskresi

Diskresi merupakan kewenangan polisi untuk mengambil keputusan

atau memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan masalah pelanggaran

hukum atau perkara pidana yang ditanganinya. Sangatlah penting bahwa

diskresi ini dapat dilakukan dengan benar dengan mempertimbangkan

segala aspek atau hal-hal diatas disertai etika yang baik. Oleh karena itu

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 55: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

63

dengan Diskresi ini maka tindakan yang diambil oleh polisi harus benar

sesuai dengan aturan hukum.

Tindakan diskresi yang diputuskan oleh polisi di lapangan secara

langsung pada saat itu juga dan tanpa meminta petunjuk atau keputusan dari

atasannya adalah diskresi yang bersifat individual, sebagai contoh untuk

menghindari terjadinya penumpukan arus lalu lintas di suatu ruas jalan,

petugas kepolisian memberi isyarat untuk terus berjalan kepada pengemudi

kendaaraan meskipun saat itu lampu pengatur lalu lintas berwarna merah

dan sebagainya. Adapun tindakan untuk mengesampingkan perkara, untuk

menahan atau tidak melakukan penahanan terhadap tersangka/pelaku

pelanggaran hukum atau menghentikan proses penyidikan, bukanlah

tindakan diskresi individual petugas kepolisian. Tindakan tersebut

merupakan tindakan diskresi birokrasi karena dalam pengambilan keputusan

diskresi berdasarkan atau berpedoman pada kebijaksanaan-kebijaksanaan

pimpinan dalam organisasi dan hal tersebut telah dijadikan kesepakatan

diantara mereka (Abbas Said, 2012: 158).

James Q Wilson (1972: 85-86), mengemukakan ada empat tipe

situasi tindakan diskresi yang mungkin dilaksanakan, yaitu:

1) Police-invoked law enforcement, petugas cukup luas alasannya untuk

melakukan tindakan diskresi, tetapi kemungkinannya dimodifikasi oleh

kebijaksanaan pimpinannya. Perkara-perkara itu didapatkan oleh

inisiatif polisi sendiri (terutama perkara-perkara pidana ringan),

pemberian tindakan diskresi relatif besar atau misalnya wewenang

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 56: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

64

polisi menangkap/menahan seseorang atau tidak, ada di tangan polisi.

Jadi kesempatan pemberian diskresi berskala relatif besar.

2) Citizen-invoked law enforcement, diskresi sangat kecil kemungkinan

dilaksanakan, karena inisiatornya adalah masyarakat. Di sini pemberian

diskresi pada si pelaku kejahatan untuk mengenyampingkan,

menghentikan atau tidak memproses relatif kecil. Namun demikian

kewenangan polisi untuk memberikan ditu tetap ada seperti dalam

kasus-kasus remaja.

3) Police-invoked order maintenance, diskresi dan pengendalian pimpinan

seimbang (intermidiate). Perkaranya ditemukan oleh petugas polisi

sendiri, maka kewenangan pemberian diskesi di sini juga relatif besar.

4) Citizen-invoked order maintenance, pelaksanaan diskresi perlu

dilakukan walaupun pada umumnya kurang disetujui oleh atasannya.

Perkaranya dikehendaki oleh masyarakat agar dicegah terjadinya

peristiwa yang akan mengganggu kedamaian, maka keleluasan

pemberian diskresi bagi petugas di sini pun relatif besar.

Dari penjelasan-penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa

perkara-perkara yang didapatkan oleh petugas polisi sendiri, kesempatan

pemberian diskresi ternyata relatif lebih besar dari pada yang didapatkan

oleh orang lain (yang menghendaki untuk memprosesnya), demi menjaga

hubungan baik antara masyarakat dan polisi. Tetapi terbatas pada perkara-

perkara pidana ringan, tidak membahayakan kepentingan umum.

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 57: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

65

Apabila diskresi diterapkan secara salah maka akan terjadi

penyimpangan, menurut Teori dari Klitgard , seperti yang dikutip Meliala

(2000: 56) untuk menjelaskan penyimpangan diskresi sebagai korupsi polisi

tersebut adalah sebagai berikut:

C = P + D – A

Keterangan: C = Corruption, P = Power, D = Discretion,

A = Accountability.

Diskresi yang dilakukan dalam menangani berbagai masalah atau

pelanggaran hukum tidak ada aturan atau batasan yang jelas sehingga sering

menyimpang dari ketentuan atau prinsip dari diskresi. Masalah dalam

pelaksanaan diskresi yang dilakukan oleh polisi adalah Pertama bersifat

individual oleh petugas polisi di lapangan yang menjadi dasar adalah apa

yang diketahui atau dimengerti oleh petugas dilapangan yang dianggap

benar. Pelaksanaan hukum secara selektif merupakan bentuk diskresi

birokrasi di mana pengambil kebijaksanaan kepolisian menentukan prioritas

organisasi kepada para petugas di lapangan. Ditinjau dari segi hukum pidana

formal, tindakan polisi untuk mengesampingkan perkara pidana tidak bisa

dibenarkan begitu saja karena sifat hukum pidana yang tak kenal kompromi.

Sedangkan alasan-alasan sosiologis yang biasa digunakan dalam praktek,

bersifat subjektif dan sangat situasional dan ini memerlukan landasan

hukum yang tegas agar terdapat kepastian hukum baik bagi penyidik

maupun bagi masyarakat. Ditinjau dari pelaksanaan operasional kepolisian,

tindakan mengesampingkan perkara juga dilakukan, dengan pertimbangan

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 58: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

66

masing-masing perkara itu bisa berbeda antara satu tempat dengan tempat

lain.

Tindakan tersebut di atas dilakukan oleh para petugas kepolisian

dapat dikerenakan adanya kekaburan pemahaman hukum yang berkaitan

dengan kewenangan diskresi, kebijaksanaan-kebijaksanaan dari para pejabat

dalam birokrasi, yang mendukung atau merestui tindakan diskresi dijadikan

sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan operasionalnya dan untuk

keuntungan pribadiatau kelompok tertentu. Hal tersebut juga dapat

diakibatkan kurang baiknya sistem kontrol. Hal lain yang mempengaruhi

adalah dari masyarakatnya yang kadang enggan untuk menyelesaikan

perkaranya dengan jalur hukum.

Dapat dipahami bahwa, diskresi menjadi kewenangan yang tidak

bisa dipisahkan dari tugas kepolisian, namun tolak ukur yang digunakan

pada tataran imlementasi belum jelas, hal ini disebabkan belum adanya

aturan yang jelas mengenai penggunaan diskresi oleh polisi, sehingga

kewenangan diskresi ini berpotensi untuk disalah gunakan. Oleh karena itu,

paling tidak kewenangan diskresi dapat dilakukan dengan pertimbangan

tertentu sebagai batasan-batasan tolak ukur bagi kepolisian dalam proses

penegakan hukum pidana, sehingga, kewenangan diskresi tidak terkesan

unlimited atau tanpa batasan yang jelas.

Sehingga dapat dikemukakan beberapa asas sebagai pengangan yang

menjadi tolak ukur bagi penggunaan diskresi oleh polisi dalam menegakkan

hukum pidana antara lain:

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 59: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

67

1) Asas Keperluan.

Tugas dan wewenang kepolisian dalam menegakkan hukum

harus berdasarkan pada peraturan yang berlaku, namun dalam

pelaksanaannya di lapangan oleh polisi sering ditemukan kendala-

kendala seperti tidak ada peraturan pelaksanaan dari Undang-undang

yang ada, ketidak jelasan peraturan perundang-undangan, dan/atau

Undang-undang tidak mengaturnya. Kendala-kendala seperti ini

memungkinkan penggunaan diskresi oleh polisi dalam suatu proses

penegakan hukum. Namun penting untuk diingat bahwa diskresi tidak

selalu menjadi keharusan dijalankan dalam menangani suatu masalah

hukum, dan hanya dapat dilakukan bila masalah yang ditangan benar-

benar sudah sangat mendesak untuk diselesaikan sehingga dalam

kondisi ini tepat untuk digunakan diskresi. Jadi terdapat situasi yang

menentukan sehingga diskresi perlu untuk dilakukan oleh polisi. Jadi

tidak semua masalah hukum pidana membutuhkan adanya diskresi dari

kepolisian.

2) Asas Lugas dan Integritas.

Asas lugas dan integritas ini menghendaki agar penerapan

diskresi kepolisian dapat digunakan secara bertanggungjawab, terbuka,

jujur, dan tidak memihak serta objektif dan tidak untuk kepentingan

pribadi atau orang lain. Demikian juga dalam menggunakan diskresi

kepolisian perlu untuk dipertimbangkan secara logis dan sistematis

dengan mengkaji masalah dari berbagai aspek, tentang perlu tidaknya

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 60: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

68

diterapkan diskresi, dan memprediksi akibat yang timbul dari penerapan

diskresi tersebut serta bagaimana mengantisipasinya.

Di samping itu, sebelum seorang polisi mengambil keputusan

untuk melakukan suatu tindakan (diskresi), wajib mempertimbangkan

secara menyeluruh mengenai objek, subjek dan mekanisme diskresi

yang diambil. Objek diskresi adalah muatan diskresi, sedangkan subjek

diskresi terdiri dari si pengambil diskresi. Apabila diskresi itu dilakukan

oleh seorang polisi, maka harus memikirkan dampak terhadap

institusinya. Demikian juga bila diskresi dilakukan secara kelembagaan

atau institusi, maka perlu untuk dipertimbangkan institusi dan individu

polisi secara khusus di mata masyarakat.

Misalnya dalam berbagai kondisi tertentu, keputusan atau

diskresi polisi dalam menggunakan senjata dengan melakukan

penembakan untuk menghalauatau menertibkan para demonstran, atau

berbagai aksi kelompok masyarakat dalam menuntut berbagai hak-hak

mereka, sudah tentu harus dipertimbangkan dengan matang, karena hal

ini memiliki dampak yang sangat luas terhadap institusi kepolisian itu

sendiri sebab hal ini bisa memunculkan isu yang kembali digunakan

oleh berbagai pihak untuk menyerang institusi kepolisian karena

tindakan diskresi tersebut dianggap melanggar hak-hak asasi manusia.

Diskresi polisi dalam penggunaan senjata dibatasi sekalipun dalam hal

menanggulangi kejahatan tindak pidana. Senjata dapat dilakukan

apabila pelaku kejahtan tersebut dianggap dapat membahayakan

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 61: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

69

masyarakat. Oleh karena itu kontrol terhadap penggunaan diskresi

penting untuk dilakukan agar penggunaan diskresi dapat berjalan

dengan baik dan diprediksi tidak akan menimbulkan masalah baru.

3) Asas Manfaat dan Tujuan.

Tindakan diskresi terhadap subjek tertentu (pelaku tindak

pidana) tentunya dapat diperhitungkan nilai manfaat dan tujuan dari

penggunaan diskresi tersebut yaitu berdasarkan tujuan diterapkannya

hukum pidana atau sesuai dengan tujuan pemidanaan. Menurut

Mardjono Reksodiputro (1994: 84-85), tujuan kebijakan pidana adalah:

a. Mencegah individu dan masyarakat menjadi korban.

b. Mencegah yang sedang ataupun telah selesai menjalani pidana tidak

mengulangi lagi perbuatan mereka dan apabila si pelaku tindak

pidana kembali telah kembali berintigrasi dengan masyarakat serta

hidup sebagai warga negara yang taat pada hukum.

c. Melindungi orang yang tidak bersalah dan menghukum perbuatan

yang melawan hukum.

Apabila pemidanaan ditinjau dari segi orientasinya, dikenal

adanya 2 macam teori pemidanaan, yaitu :

1. Teori Absolut (pembalasan), yaitu teori yang berorientasi ke

belakang berupa pembalasan yang setimpal atas perbuatan yang

dilakukan.

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 62: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

70

2. Teori Relatif (tujuan), yaitu teori yang berorientasi ke depan berupa

penyembuhan luka, baik luka individual maupun luka sosial

(Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998: 60).

Di dalam masyarakat modern, tampaknya ada kecenderungan

untuk mengarah pada teori gabungan. Hal ini juga terjadi di Indonesia,

yang perwujudannya tampak pada Ketentuan Pasal 50 Konsep Kitab

Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Baru Tahun 2000, yang

menyebutkan Pemidanaan bertujuan:

a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma

hukum demi pengayoman masyarakat.

b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan

sehingga menjadi orang yang baik dan berguna.

c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,

memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam

masyarakat, dan

d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Berkaitan dengan tujuan pemidanaan dalam Konsep KUHP

tersebut, Sudarto (1984: 4) mengemukakan dalam tujuan pertama

tersimpul perlindungan masyarakat (social defience), sedang dalam

tujuan kedua dikandung maksud rehabilitasi dan resosialisasi terpidana.

Tujuan ketiga sesuai dengan pandangan hukum adat mengenai “adat

reactie”,sedangkan tujuan keempat bersifat spiritual yang sesuai dengan

sila pertama Pancasila.

Dalam beberapaa kasus misalnya, terkait dengan kejahatan yang

dilakukan anak-anak di bawah umur, atau oleh seorang nenek yang

mengambil beberapa buah kakao, atau bahkan oleh seorang anak yang

dituduh mencuri sendal jepit seorang polisi. Kita semua sepakat bahwa

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 63: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

71

pelakunya tetap harus diproses sesuai dengan hukum yang berlaku,

sesuai dengan asas equality before the law. Namun jika melihat pada

kerangka perlindungan anak, maupun kondisi seorang nenek, maupun

anak yang melakukan pencurian sandal jepit tersebut tentunya tidak

bijaksana apabila perlakuan pada anak dibawah umur sama dengan

perlakuan terhadap orang dewasa karena secara fisik dan psikis, kondisi

anak-anak masih labil dibandingkan orang dewasa. Atau perlakuan

terhadap seorang nenek yang mengambil beberapa buah kakao dan

seorang nenek yang mencuri dua buah semangka hanya karena kondisi

tertentu harus disamakan seperti seseorang yang dituduh atau didakwa

melakukan tindak pidana korupsi (koruptor) atau tindak pidana berat

lainnya. Di sinilah pentingnya diskresi kepolisian diterapkan.

Dengan demikian penggunaan diskresi oleh polisi dalam

konteks penegakan hukum pidana harus sejalan dengan tujuan

pemidanaan itu sendiri. Sebab apa yang dimaksud dengan diskresi,

Roeslan Saleh (1988: 155) memberikan pengertian sebagai

kemungkinan menentukan sendiri keputusan yang diambil dari

beberapa kemungkinan sebagai alternatif.

Dalam proses penegakan hukum, diskresi semakin jelas hak-hak

penegak hukum dengan menjadikannya pencari keadilan sebagai obyek.

Hubungan antara penegak hukum dan pencari keadilan, diskresi

ternyata memang banyak menimbulkan masalah. Jika aparat penegak

hukum dengan bebas menetapkan keputusan sebagai kewenangan

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017

Page 64: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/4347/4/BAB II_DEVI MAYASARI_HUKUM'17.pdf · mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara

72

diskresinya atas dasar keinginan atau kepentingannya sendiri tentang

hal-hal yang akan dilakukan atau tidak akan dilakukan, maka sangat

mungkin tindakannya akan merugikan kepentingan masyarakat umum.

Keadaan yang demikian akan lebih meresahkan masyarakat atau

pencari keadilan, manakala aparat penegak hukum menerapkan diskresi

dengan kekuatan dan kekuasaan, seperti menahan seseorang atau

menjatuhkan pidana penjara dengan bukti yang kurang, tetapi dipaksa-

paksakan alasan hukumnya. Tindakan semacam ini tentu jauh dari

tujuan pemidanaan sebagaimana digariskan dalam Kitab Undang-

undang Hukum Pidana (KUHP).

4) Asas Seimbang.

Muatan diskresi adalah hasil pertimbangan yang dikaji secara

keseluruhan termasuk berat ringannya kesalahan yang dilakukan oleh

pelaku tindak pidana dan tidak diskriminatif antara pelaku dan korban.

Selanjutnya asas keseimbangan ini dapat berarti pengendalian terhadap

kewenangan penggunaan diskresi oleh Polisi baik pengendalian bersifat

internal (di dalam tubuh institusi tersebut) maupun pengendalian secara

eksternal (di luar tubuh institusi) atau pengendalian formal (istitusi yang

berwenang) maupun informal (masyarakat secara umum) (Abbas Said,

2012: 160-165).

Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017