Page 1
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata “strafbaar feit”
untuk menyebutkan kata tindak pidana di dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP). Selain itu terdapat beberapa tindak pidana
sebagai berikut:
a. Delik.
b. Peristiwa pidana.
c. Perbuatan pidana.
d. Hal yang diancam dengan hukum.
e. Perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukum.
f. Tindak pidana (Tri Andrisman, 2009:69).
Menurut Pompe dalam Bambang Purnomo (1981:86), tindak pidana
secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma
(gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja atau tidak sengaja
telah dilakukan oleh seorang pelaku, di mana penjatuhan hukuman
terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum
dan terjaminnya kepentingan umum”. Selanjutnya dikatakan oleh Pompe
bahwa menurut hukum positif kita, suatu tindak pidana itu sebenarnya
adalah tidak lain daripada suatu tindakan yang menurut suatu rumusan
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 2
10
Undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat
dihukum.
Tindak pidana ialah perbuatan yang melanggar larangan yang diatur
oleh aturan hukum yang diancam dengan sanksi pidana. Dalam rumusan
tersebut bahwa yang tidak boleh dilakukan adalah perbuatan yang
menimbulkan akibat yang dilarang dan yang diancam sanksi pidana bagi
orang yang melakukan perbuatan tersebut (Suharto RM, 2002:28).
Istilah ini (tindak pidana), tumbuhnya dari pihak Kementerian
Kehakiman, sering dipakai dalam perundang-undangan. Meskipun kata
“tindak” lebih pendek dari pada “perbuatan” tapi “tindak” tidak menunjuk
kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tapi hanya menyatakan keadaan
konkrit, sebagaimana halnya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa
tindak adalah kelakukan, tingkah laku, gerak-gerik atau sikap jasmani
seorang, hal mana lebih dikenal dalam tindak-tanduk, tindakan, dan
bertindak dan belakangan juga sering dipakai “ditindak”. Oleh karena
tindak sebagai kata tidak begitu dikenal, maka dalam perundang-undangan
yang menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-pasalnya
sendiri, maupun dalam penjelasannya hampir selalu dipakai pula
perbuatan.
Moeljatno (2002:55), tidak menggunakan istilah tindak pidana
rumusan di atas, tetapi menggunakan kata “perbuatan pidana”. Kata
perbuatan dalam perbuatan pidana mempunyai arti yang abstrak yaitu
suatu pengertian yang menunjuk pada 2 kejadian yang konkret yaitu:
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 3
11
a. Adanya kejadian yang tertentu yang menimbulkan akibat yang dilarang.
b. Adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu.
Rumusan tindak pidana tersebut dalam bahasa Inggris dikenal
dengan istilah “Criminal act”. Dalam hal ini meskipun orang telah
melakukan suatu perbuatan yang dilarang di situ belum berarti bahwa ia
mesti dipidana, ia harus mempertanggungjawabkan atas perbuatannya
yang telah ia lakukan untuk menentukan kesalahannya, yang dikenal
dengan istilah “Criminal responsibility.” Bahwa orang dapat dipidana
selain telah melakukan tindak pidana masih diperlukan kesalahan. Akan
dirasakan sebagai hal yang bertentangan dengan rasa keadilan, jika orang
yang tidak bersalah dijatuhi pidana. Dalam hal ini dapat ditarik
kesimpulan bahwa antara kesalahan dan tindak pidana ada hubungan erat,
di mana kesalahan tidak dapat dimengerti tanpa adanya perbuatan yang
bersifat melawan hukum. Dengan kata lain, orang dapat melakukan tindak
pidana tanpa mempunyai kesalahan, tetapi sebaliknya orang tidak mungkin
mempunyai kesalahan jika tidak melakukan perbuatan yang bersifat
melawan hukum. Oleh karena itu setelah melihat berbagai definisi di atas,
maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang disebut dengan tindak pidana
adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan
pidana, di mana pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang bersifat
aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga
perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya
diharuskan oleh hukum) (Teguh Prasetyo, 2011:50).
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 4
12
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Membicarakan mengenai unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan
setidaknya dari dua sudut pandang, yakni (1) dari sudut pandang teoritis
dan (2) sudut pandang Undang-undang. Maksud teoritis ialah berdasarkan
pendapat para ahli hukum, yang tercermin pada bunyi rumusannya.
Sedangkan sudut Undang-undang adalah bagaimana kenyataan tindak
pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal
peraturan perundang-undangan yang ada.
1) Unsur Tindak Pidana Menurut Beberapa Teoritis.
Menurut Moeljatno (2008:54), unsur tindak pidana adalah:
a. Perbuatan.
b. Yang dilanggar (oleh aturan hukum).
c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).
Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, yang melarang
adalah aturan hukum. Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana,
maka pokok pengertian ada pada perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan
dengan orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana
menggambarkan bahwa tidak mesti perbutan itu dalam kenyataannya
benar-benar dipidana. Pengertian diancam pidana adalah pengertian
umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana. Apakah
inkongkrito orang yang melakukan perbuatan itu dijatuhi pidana
ataukah tidak, adalah hal yang lain dari pengertian perbuatan pidana.
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 5
13
Menurut R. Tresna (1959:27), tindak pidana terdiri dari unsur-
unsur, yakni:
a. Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia).
b. Yang bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan.
c. Diadakan tindakan penghukuman.
Dari unsur yang ketiga, kalimat diadakan tindakan
penghukuman, terdapat pengertian bahwa seolah-olah setiap
perbuatan yang dilarang itu selalu diikuti dengan penghukuman
(pemidanaan). Berbeda dengan Moeljatno, karena kalimat diancam
pidana berarti perbuatan itu tidak selalu dan tidak dengan demikian
dijauti pidana.
Walaupun mempunyai kesan bahwa setiap perbuatan yang
bertentangan dengan Undang-undang selalu diikuti dengan pidana,
namun dalam unsur-unsur itu tidak terdapat kesan perihal syarat-
syarat (subyektif) yang melekat pada orangnya untuk dapat dijatuhkan
pidana. Menurut bunyi batasan yang dibuat Vos dalam Martiman
Prodjohamidjojo (1996:16), dapat ditarik unsur-unsur tindak pidana
adalah:
a. Kelakuan manusia.
b. Diancam dengan pidana.
c. Dalam peraturan perundang-undangan.
Dapat dilihat bahwa unsur-unsur dari 3 batasan penganut paham
dualisme tersebut tidak ada perbedaan, ialah bahwa tindak pidana itu
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 6
14
adalah perbuatan manusia yang dilarang, dimuat dalam Undang-
undang, dan diancam dipidana bagi yang melakukannya. Dari unsur-
unsur yang ada jelas terlihat bahwa unsur-unsur tersebut tidak
menyangkut diri si pembuat atau dipidanya pembuat, semata-mata
mengenai perbuatannya. Akan tetapi jika dibandingkan dengan
pendapat penganut paham monisme, memang tampak berbeda.
Dari batasan yang dibuat Jonkers (penganut paham monisme)
dapat dirinci unsur-unsur tindak pidana adalah:
a. Perbuatan (yang).
b. Melawan hukum (yang berhubungan dengan).
c. Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang apat).
d. Dipertanggungjawabkan.
Sedangkan Scbravendijk merinci terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
a. Kelakuan (orang yang).
b. Bertentangan dengan keinsyafan hukum.
c. Diancam dengan hukuman.
d. Dilakukan oleh orang (yang dapat).
e. Dipersalahkan/kesalahan.
Walaupun rincian dari beberapa rumusan di atas tampak
berbeda-beda, namun pada hakekatnya ada persamaannya, ialah tidak
memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatannya dengan unsur
yang mengenai diri orangnya.
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 7
15
2) Unsur Rumusan Tindak Pidana Dalam Undang-undang.
Buku II KUHP memuat rumusan-rumusan perihal tindak pidana
tertentu yang masuk dalam kelompok kejahatan, dalam Buku III
adalah pelanggaran. Ternayata ada unsur yang selalu disebutkan
dalam setiap rumusan, ialah mengenai tingkah laku/perbuatan,
walaupun ada pengecualian seperti Pasal 351 KUHP (penganiayaan).
Unsur kesalahan dan melawan hukum kadang-kadang dicantumkan,
dan seringkali juga tidak dicantumkan. Sama sekali tidak dicantumkan
adalah mengenai unsur kemampuan bertanggungjawab. Disamping itu
banyak mencantumkan unsur-unsur lain baik sekitar/mengenai obyek
kejahatan maupun perbuatan secara khusus untuk rumusan tertentu.
Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP itu,
maka dapat diketahui adanya 8 unsur tindak pidana, yaitu:
a) Unsur tingkah laku.
Tingkah laku adalah unsur mutlak tindak pidana. Jika ada
rumusan tindak pidana tanpa mencantumkan unsur tingkah laku,
misalnya Pasal 351 KUHP (penganiayaan). Cara perumusan seperti
itu adalah suatu pengecualian belaka dengan alasan tertentu, dan
tidak berarti tindak pidana itu tidak terdapat unsur perbuatan, unsur
itu telah ada dengan sendirinya di dalamnya, dan wujudnya tetap
harus dibuktikan di persidangan untuk menetapkan telah terjadinya
penganiayaan.
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 8
16
Tingkah laku dalam tindak pidana terdiri dari tingkah laku
aktif atau positif (handelen), juga dapat disebut perbuatan materiil
(materieel feit) dan tingkah laku pasif atau negatif (nalaten).
Tingkah laku aktif adalah suatu bentuk tingkah laku yang untuk
mewujudkannya atau melakukannya diperlukan wujud gerakan
atau gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh, misalnya
mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara
palsu (Pasal 268 KUHP). Sebagian besar (hampir semua) tindak
pidana tentang unsur tingkah lakunya dirumuskan dengan
perbuatan aktif, dan sedikit sekali dengan perbuatan pasif.
Sedangkan tingkah laku pasif adalah berupa tingkah laku
membiarkan (nalaten), suatu bentuk tingkah laku yang tidak
melakukan aktivitas tertentu tubuh atau bagian tubuh, yang
seharusnya seseorang itu dalam keadaan-keadaan tertentu harus
melakukan perbuatan aktif, dan dengan tidak berbuat demikian
seseorang itu disalahkan karena tidak melaksanakan kewajiban.
b) Unsur Sifat Melawan Hukum.
Melawan hukum adalah suatu sifat tercelanya atau
terlarangnya dari suatu perbuatan, yang sifat tercela mana dapat
bersumber pada Undang-undang (melawan hukum formil/formelle
wederrechtelijk) dan dapat bersumber pada masyarakat (melawan
hukum materiil/materieel wederrechlijk). Karena bersumber pada
masyarakat, sering disebut dengan bertentangan dengan asas-asas
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 9
17
hukum masyarakat, maka sifat tercela tersebut tidak tertulis.
Seringkali sifat tercela dari suatu perbuatan terletak pada kedua-
duanya seperti perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) pada
pembunuhan (Pasal 338 KUHP), adalah dilarang baik dalam
Undang-undang maupun menurut masyarakat. Adalah wajar setiap
perbuatan yang tercela menurut masyarakat adalah tercela pula
menurut Undang-undang, walaupun kadangkala ada perbuatan
yang tidak tercela menurut masyarakat tetapi tercela menurut
Undang-undang, misalnya perbuatan mengemis (Pasal 504 KUHP),
bergelandang (Pasal 505 KUHP). Sebaliknya ada perbuatan tercela
menurut masyarakat tetapi tidak menurut Undang-undang,
contohnya perbuatan bersetubuh suka sama suka antara bujang dan
gadis yang berpacaran.
Dari sudut Undang-undang, suatu perbuatan tidaklah
mempunyai sifat melawan hukum sebelum perbuatan itu diberi
sifat terlarang (wederrechtelijk) dengan memuatnya sebagai
dilarang dalam peraturan perundang-undangan, artinya sifat
terlarang itu disebabkan atau bersumber pada dimuatnya dalam
peraturan perundang-undangan.
c) Unsur Kesalahan.
Kesalahan (schuld) adalah unsur mengenai keadaan atau
gambaran batin orang sebelum atau pada saat memulai perbuatan,
karena itu unsur ini selalu melekat pada diri pelaku dan bersifat
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 10
18
subyektif. Dalam hal ini berbeda dengan unsur melawan hukum
yang dapat bersifat obyektif dan dapat bersifat subyektif,
bergantung pada redaksi rumusan dan sudut pandang terhadap
rumusan tindak pidana tersebut.
Unsur kesalahan yang mengenai keadaan batin pelaku adalah
berupa unsur yang menghubungkan antara perbuatan dan akibat
serta sifat melawan hukum perbuatan si pelaku. Hanya dengan
adanya hubungan antara ketiga unsur tadi dengan keadaan batin
pembuatnya inilah, pertanggungan jawab dapat dibebankan pada
orang itu. Dengan demikian maka terhadap pelaku tadi dijatuhi
pidana.
d) Unsur Akibat Kondusif.
Unsur akibat konstitutif ini terdapat pada:
1) Tindak pidana materiil (materieel delicten) atau tindak pidana
di mana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana.
2) Tindak pidana yang mengandung unsur akibat sebagai syarat
pemberat pidana.
3) Tindak pidana di mana akibat merupakan syarat dipidananya
pembuat.
Berbeda dengan yang dimaksud kedua, dalam tindak pidana
materiil (yang pertama), timbulnya akibat itu bukan untuk
memperberatkan pertanggungan jawab pidana, dalam arti berupa
alasan pemberat pidana, tetapi menjadi syarat selesainya tindak
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 11
19
pidana. Perbedaan lain, ialah unsur akibat konstitutif pada tindak
pidana materiil adalah berupa unsur pokok tindak pidana, artinya
jika unsur ini tidak timbul, maka tindak pidananya tidak terjadi,
yang terjadi hanyalah percobaannya.
Sedangkan unsur akibat sebagai syarat memperberat pidana
karena bukan merupakan unsur pokok tindak pidana, artinya jika
syarat ini tidak timbul, tidak terjadi percobaan, melainkan
terjadinya tindak pidana selesai. Misalnya pada Pasal 288 KUHP
jika luka berat (ayat 2) tidak timbul, maka yang terjadi adalah
berupa kejahatan yang selesai yakni bersetubuh dengan wanita
yang belum waktunya dikawini dan menimbulkan luka (bukan luka
berat, ayat 1), dan bukan percobaan bersetubuh dengan wanita yang
belum waktunya dikawini yang menimbulkan luka berat.
Persamaannya ialah, bahwa dalam kedua unsur itu, timbulnya
akibat ialah setelah perbatan dilakukan.
Sedangkan unsur akibat sebagai syarat dapat dipidananya
pembuat, ialah tanpa timbulnya akibat itu perbuatan yang
dirumuskan dalam Undang-undang itu tidak dipidana. Baru dapat
dipidana apabila akibat terlarang itu telah timbul. Contohnya Pasal
288 KUHP, perbuatan bersetubuh dengan istrinya itu tidak dapat
dipidana, dan baru dipidana jika dari persetubuhan itu
mendatangkan akibat luka dan atau kematian istrinya yang belum
waktunya dikawini itu telah timbul.
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 12
20
e) Unsur Keadaan yang Menyertai.
Unsur keadaan yang menyertai adalah unsur tindak pidana
yang berupa semua keadaan yang ada dan berlaku dalam mana
perbuatan dilakukan. Unsur keadaan yang menyertai ini dalam
kenyataan rumusan tindak pidana dapat:
1) Mengenai cara melakukan perbuatan.
2) Mengenai cara untuk dapatnya dilakukan perbuatan.
3) Mengenai obyek tindak pidana.
4) Mengenai subyek tindak pidana.
5) Mengenai tempat dilakukannya tindak pidana.
6) Mengenai waktu dilakukannya tindak pidana.
f) Unsur Syarat Tambahan untuk Dapatnya Dituntut Pidana.
Unsur ini hanya terdapat pada tindak pidana aduan. Tindak
pidana aduan adalah tindak pidana yang hanya dapat dituntut
pidana jika adanya pengaduan dari yang berhak mengadu.
Pengaduan substansinya adalah sama dengan laporan, ialah berupa
keterangan atau informasi mengenai telah terjadinya tindak pidana
yang disampaikan kepada pejabat penyelidik atau penyidik yaitu
Kepolisian, atau dalam hal tindak pidana khusus ke kantor
Kejaksaan Negeri setempat.
Perbedaan pengaduan dengan laporan, ialah pada pengaduan
hanya: (1) dapat dilakukan oleh yang berhak mengadu saja, yakni
korban kejahatan, atau wakilnya yang sah, dan (2) pengaduan
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 13
21
diperlukan hanya terhadap tindak pidana aduan saja. Pada laporan
kedua syarat itu tidak diperlukan.
g) Syarat Tambahan untuk Memperberat Pidana.
Unsur ini adalah berupa alasan untuk diperberatnya pidana,
dan bukan unsur syarat untuk terjadinya atau syarat selesainya
tindak pidana sebagaimana pada tindak pidana materiil. Unsur
syarat tambahan untuk memperberat pidana bukan merupakan
unsur pokok tindak pidana yang bersangkutan, artinya tindak
pidana tersebut dapat terjadi tanpa adanya unsur ini. Misalnya pada
penganiayaan berat (Pasal 354 KUHP), kejahatan ini dapat terjadi
(ayat 1), walaupun akibat luka berat tidak terjadi (ayat 2). Luka
berat hanyalah sekedar syarat saja untuk dapat diperberatnya
pidana.
h) Unsur Syarat Tambahan untuk Dapatnya Dipidana.
Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana adalah
berupa unsur keadaan-keadaan tertentu yang timbul setelah
perbuatan dilakukan, yang menentukan untuk dapat dipidananya
perbuatan. Artinya bila setelah perbuatan dilakukan keadaan ini
tidak timbul, maka terhadap perbuatan itu tidak bersifat melawan
hukum dan karenanya si pembuat tidak dapat dipidana. Sifat
melawan hukumnya dan patutnya dipidana perbuatan itu
sepenuhnya digantungkan pada timbulnya unsur ini. Nilai
bahayanya dari kepentingan hukum dari perbuatan itu adalah
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 14
22
terletak pada timbulnya unsur syarat tambahan, bukan semata-mata
pada perbuatan (Adami Chazawi, 2002: 78-110).
3. Klasifikasi Tindak Pidana
Tindak pidana dapat dibedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu:
a) Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan (Misdriven)
dimuat dalam buku II dan pelanggaran (Overtredingen) dimuatdalam
buku III.
Untuk membedakan bahwa kejahatan merupakan Rechtsdelict
atau delik hukum dan pelanggaran merupakan Wetsledict atau delik
Undang-undang. Delik hukum adalah pelanggaran hukum yang
dirasakan melanggar rasa keadilan, misalnya perbuatan seperti
pembunuhan, melukai orang lain, mencuri, dan sebagainya.
Sedangkan delik Undang-undang melanggar apa yang telah
ditentukan oleh Undang-undang, misalnya saja keharusan untuk
mempunyai SIM bagi yang mengendarai kendaraan bermotor di jalan
umum, atau mengenakan helm ketika mengendarai sepeda motor.
b) Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil
(Formeel delicten) dan tindak pidana materiil (Materiel delicten).
Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan
sedemikian rupa, sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang
dirumuskan itu adalah melakukan suatu perbuatan tertentu.
Perumusan tindak pidana formil tidak memperhatikan dan atau tidak
memerlukan timbulnya suatu akibat tertentu dari perbuatan dengan
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 15
23
syarat penyelesaian tindak pidana, melainkan semata-mata pada
perbuatannya. Misalnya pada pencurian (Pasal 362 KUHP) untuk
selesainya pencurian digantungkan pada selesainya perbuatan
mengambil. Sebaliknya dalam rumusan tindak pidana materril, inti
larangan adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu
siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang
dipertanggungjawabkan dan dipidana. Tentang bagaimana wujud
perbuatan yang menimbulkan akibat terlarang itu tidaklah penting.
Misalnya pada pembunuhan (Pasal 338 KUHP) inti larangan adalah
pada menimbulkan kematian orang, dan bukan pada wujud
menembak, membacok, atau memukul. Untuk selesainya tindak
pidana digantungkan pada timbulnya akibat dan bukan pada
selesainya perbuatan.
c) Berdasarkan bentuk kesalahan, dibedakan antara tindak pidana
sengaja (Doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan sengaja
(Culpose delicten).
Tindak pidana sengaja (Doleus delicten) adalah tindak pidana
yang dalam rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau
mengandung unsur kesegajaan. Tindak pidana yang secara tegas unsur
kesengajaan itu dicantumkan, misalnya: Pasal 362 KUHP (maksud),
Pasal 338 KUHP(sengaja), Pasal 380 KUHP (yang diketahui), juga
ada yang rumusan tindak pidana kesengajaan itu tidak dicantumkan,
akan tetapi berdasarkan bunyi/redaksi rumusannya, dapat disimpulkan
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 16
24
tidaklah mungkin tindak pidana itu dilakukan tanpa sengaja, misalnya:
Pasal 110 (1) KUHP, Pasal 116 KUHP, Pasal 127 KUHP,Pasal 154
KUHP, Pasal 154a KUHP, Pasal 170 (1) KUHP, Pasal 173 KUHP,
Pasal 217 KUHP, Pasal 238 KUHP. Sedangkan tindak pidana culpa
(Culpose Delicten) adalah tindak pidana yang unsur kesalahannya
adalah berupa kelalaian, karena kurang hati-hati, dan tidak karena
kesengajaan. Tindak pidana yang mengandung unsur culpa ini,
misalnya: Pasal 114 KUHP, Pasal 359 KUHP, Pasal 360 KUHP.
d) Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak
pidana aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi (Delicta
commissionis) dan tindak pidana pasif/negatif, disebut juga tindak
pidana omisi (Delica ommisionis).
Tindak pidana aktif (Delicta commisionis) adalah tindak pidana
yang perbuatannya berupa perbuatan aktif (positif). Perbuatan aktif
(disebut juga perbuatan materiil), adalah perbuatan yang untuk
mewujudkannya disyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang
yang berbuat. Dengan berbuat aktif orang melanggar larangan.
Perbuatan aktif ini terdapat baik dalam tindak pidana yang
dirumuskan secara formil maupun secara materiil. Bagian terbesar
tindak pidana yang dirumuskan dalam KUHP adalah berupa tindak
pidana aktif. Berbeda dengan tindak pidana pasif. Dalam tindak
pidana pasif, ada suatu kondisi dan atau keadaan tertentu yang
mewajibkan seseorang dibebani kewajiban untuk berbuat tertentu,
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 17
25
yang apabila ia tidak melakukan (aktif) perbuatan itu, maka ia telah
melanggar kewajiban hukumnya. Tindak pidana ini dapat disebut
juga tindak pidana pengabaian suatu kewajiban hukum. Tindak pidana
pasif ada 2 macam, yaitu tindak pidana pasif murni dan tindak pidana
pasif tidak murni (disebut dengan Delicta Commossionis per
Omissionem). Tindak pidana pasif murni ialah tindak pidana pasif
yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya
semata-mata unsur perbuatanya adalah berupa perbuatan pasif,
misalnya Pasal 224 KUHP, Pasal 304 KUHP, Pasal 522 KUHP.
Sedangkan tindak pidana pasif yang tidak murni adalah berupa tindak
pidana yang pada dasarnya berupa tindakan positif, tetapi dapat
dilakukan dengan cara tidak berbuat aktif, atau tindak pidana yang
mengandung suatu akibat terlarang, tetapi dilakukan dengan tidak
berbuat/atau mengabaikan sehingga akibat itu benar-benar timbul.
Misalnya pada pembunuhan Pasal 228 KUHP (sebenarnya tendak
pidana aktif), tetapi jika akibat matinya itu disebabkan karena
seseorang tidak berbuat sebagaimana kewajiban hukumnya harus ia
perbuat dan karenanya menimbulkan kematian, maka disini ada tindak
pidana pasif yang tidak murni. Misalnya si Ibu tidak menyusui
anaknya agar mati, ini melanggar Pasal 338 KUHP dengan secara
perbuatan pasif.
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 18
26
e) Berdasarkan saat dan jangkak waktu terjadinya, maka dapat dibedakan
antara tindakpidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam
waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus.
Tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga
untuk terwujudnya atau terjadinya dalam waktu seketika atau waktu
singkat saja, disebut juga dengan aflopende delicten. Misalnya
pencurian (Pasal 362 KUHP), jika perbuatan mengambilnya selesai,
maka tindak pidana itu menjadi selesai secara sempurna. Sebaliknya
ada tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga
terjadinya tindak pidana itu berlangsung lama, yakni setelah perbuatan
dilakukan, tindak pidana itu masih berlangsung terus, yang disebut
juga dengan voortdurende delicten. Tindak pidana ini dapat disebut
sebagai tindak pidana yang menciptakan suatu keadaan yang
terlarang. Misalnya pada Pasal 329 KUHP, Pasal 330 KUHP, Pasal
331 KUHP, Pasal 333 KUHP, Pasal 334 KUHP. Kejahatan ini
berlangsung lama, tidak selesai seketika. Seperti Pasal 333 KUHP
perampasan kemerdekaan itu berlangsung lama, bahkan sangat lama,
dan akan terhenti setelah korban dibebaskan/terbebaskan.
f) Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum
dan tindak pidana khusus.
Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat
dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materiil. (Buku II dan
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 19
27
Buku III KUHP). Sedangkan tindak pidana khusus adalah semua
tindak pidana yang terdapat di luar kodifikasi tersebut.
g) Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, maka
dibedakan antara tindak pidana biasa (Gewone delicten) dan tindak
pidana aduan (Klacht delicten).
Tindak pidana biasa yang dimaksudkan ini adalah tindak pidana
yang untuk dilakukannya penuntutan pidana terhadap perbuatannya
tidak diisyaratkan adanya pengaduan dari yang berhak. Sebagian
terbesar tindak pidana adalah berupa tindak pidana biasa yang
dimaksudkan ini. Sedangkan tindak pidana aduan adalah tindak
pidana yang untuk dapatnya dilakukan penuntutan pidana disyaratkan
untuk terlebih dulu adanya pengaduan oleh yang berhak mengajukan
pengaduan, yakni korban atau wakilnya dalam perkara perdata (Pasal
72 KUHP) atau keluarga tertentu dalam hal-hal tertentu (Pasal 73
KUHP) atau orang yang diberi kuasa khusus untuk pengaduan oleh
orang yang berhak.
h) Berdasarkan berat ringannya pidana yang diancam, maka dapat
dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten),
tindak pidana yang diperberat (Gepriviligeerde delicten) dan tindak
pidana yang diperingan (gepriviligieerde delicten).
Tindak pidana dalam bentuk pokok dirumuskan secara lengkap,
artinya semua unsur-unsurnya dicantumkan dalam rumusan, misalnya
pencurian (Pasal 362 KUHP), pembunuhan (Pasal 338 KUHP),
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 20
28
peggelapan (372), pemalsuan surat (Pasal 363 KUHP), pemerasan
(Pasal 368 KUHP). Karena disebutkan secara lengkap unsur-
unsurnya, maka pada rumusan bentuk pokok terkandung pengertian
yuridis dari tindak pidana tersebut. Sedangkan pada bentuk yang
diperberat dan tau yang diperingan, tidak mengulang kembali unsur-
unsur pokok itu, melainkan sekedar menyebutkan kualifikasi bentuk
pokoknya atau pasal bentuk pokoknya, kemudian disebutkan atau
ditambahkan unsur yang bersifat memberatkan atau meringankan
secara tegas dalam rumusan. Karena ada faktor pemberatnya atau
faktor peringannya, maka ancaman pidana terhadap tindak pidana
terhadap bentuk yang diperberat atau yang diperingan itu menjadi
lebih berat atau lebih ringan daripada bentuk pokoknya.
i) Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi.
Maka tindak pidana tidak terbatas macamnya bergantung dari
kepentingan hukum yang dilindungi, seperti tindak pidana terhadap
nyawa dan tubuh, terhadap harta benda, tindak pidana pemalsuan,
tindak pidana terhadap nama baik, terhadap kesusilaan dan lain
sebagainya.
j) Dari sudut beberapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan,
dibedakan antara tindak pidana tunggal (Enkelvoudige delicten) dan
tindak pidana berangkai (Samengestelde delicten).
Tindak pidana tunggal (Enkelvoudige delicten) adalah tindak
pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga untuk dipandang
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 21
29
selesainya tindak pidana dan dapat dipidananya pelaku cukup
dilakukan satu kali perbuatan saja. Bagian terbesar tindak pidana
dalam KUHP adalah berupa tindak pidana tunggal. Sedangkan yang
dimaksud tindak pidana berangkai (Samengestelde delicten) adalah
tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga untuk
dipandangsebagian selesai dan dapat dipidananya pembuat,
disyaratkan dilakukan secara berulang. Contohnya Pasal 481 ayat (1)
KUHP, di mana perbuatan membeli, menukar, menerima gadai,
menyimpan atau menyembunyikan barang yang diperoleh dari
kejahatan itu dilakukan sebagai kebiasaan. Kebiasaan ini disyaratkan
telah dilakukan berulang, setidaknya dua kali perbuatan. Contoh lain
ialah Pasal 296 KUHP, di mana juga disyaratkan perbuatan itu
dilakukan secara berulang (Adam Chazawi, 2002:117-132).
B. Kepolisian Negara Republik Indonesia
1. Pengertian Polisi
Ditinjau dari segi etimologis istilah polisi di beberapa negara
memiliki ketidaksamaan, seperti di Yunani istilah polisi dengan sebutan
“politeia”, di Inggris “police”, di Jerman “polizei”, di Amerika di kenal
dengan “sheriff”, di Belanda “politie”. Jauh sebelum istilah polisi lahir
sebagai organ, kata “Polisi” telah dikenal dalam bahasa Yunani, yakni
“politeia”. Kata “politeia” digunakan sebagai title buku pertama Plato
yakni “politeia” yang mengandung makna suatu negara yang ideal sekali
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 22
30
sesuai cita-citanya, suatu negara yang terbebas dari pemimpin negara yang
rakus dan jahat,tempat keadilan dijunjung tinggi (Azhari,1995:19).
Dilihat dari sisi historis, istilah “Polisi” di Indonesia tampaknya
mengikuti dan menggunakan istilah “politie” di Belanda. Hal ini sebagai
akibat dan pengaruh dari bangunan sistem hukum Belanda yang banyak
dianut di negara Indonesia.
Menurut Satjipto Rahardjo (2009:111) polisi merupakan alat negara
yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
memberikan pengayoman, dan memberikan perlindungan kepada
masyarakat. Kepolisian juga sering dikenal sebagai Bhayangkara yang
berasal dari bahasa Sansekerta, yang berarti “menakutkan” (Karjadi M,
1978:69).
Dalam Kamus Bahasa Indonesia W.j.s Poerwodarminta (1952:549)
dikemukakan bahwa istilah Polisi mengandungpengertian:
a) Badan pemerintah (sekelompok pegawai negeri) yang bertugas
memelihara keamanan dan ketertiban umum.
b) Pegawai negeri yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban
umum.
Dalam pengertian ini istilah Polisi mengandung 2 (dua) pengertian
makna Polisi tugas dan sebagai organnya.
Dalam Pasal 1 ayat (1),(2) dan (3) Undang-undang Negara Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia, yang berbunyi :
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 23
31
ayat (1) “Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi
dan lembaga Polisi sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.”
ayat (2) “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai
negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia.”
ayat (3) “Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Undang-
undang memiliki wewenang umum kepolisian.”
2. Tugas, Wewenang, Fungsi dan Kode Etik Profesi Kepolisian
a. Tugas Kepolisian
Dalam Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pada Pasal
13, tugas pokok kepolisian ialah:
1) Memelihara atau menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat,
2) Menegakkan hukum dan keadilan,
3) Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat.
Pada Pasal 14 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam
rangka melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud pada Pasal
13 Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bertugas :
a) Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli
terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan.
b) Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan,
ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dijalan.
c) Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,
kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat
terhadap hukum dan peratuan perundang-undangan.
d) Turut serta dalam pembinaan hukum nasional.
e) Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum.
f) Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis
terhadap kepolisian khususnya, penyidik pegawai negeri sipil, dan
bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 24
32
g) Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak
pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan
perundang-undangan lainnya.
h) Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,
laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan
tugas kepolisian.
i) Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan
lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana
termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia.
j) Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum
ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang.
k) Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan
kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian, serta
melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Dari tugas-tugas polisi tersebut dapat dikemukakan bahwa pada
dasarnya tugas Polisi ada dua yaitu tugas untuk memelihara keamanan,
ketertiban, menjamin dan memelihara keselamatan negara, orang, benda
dan masyarakat serta mengusahakan ketaatan warga negara dan
masyarakat terhadap peraturan negara. Tugas ini dikategorikan sebagai
tugas preventif dan tugas represif.
b. Wewenang Kepolisian
Dalam hal melaksanakan tugas dan fungsinya, kepada anggota
masing-masing anggota polisi diberi wewenang, yaitu pada Pasal 16
ayat (1) Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka
menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14
di bidang proses pidana, para anggota kepolisian berwenang untuk:
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 25
33
a) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan
penyitaan.
b) Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat
kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan.
c) Membawa dan mengahadapkan orang kepada penyidik dalam
rangka penyidikan.
d) Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri.
e) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
f) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi.
g) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara.
h) Mengadakan penghentian penyidikan.
i) Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.
j) Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi
yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan
mendesak atau mendadak untuk mencegah dan menangkal orang
yang disangka melakukan tindak pidana.
k) Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik
pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik
pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum, dan
l) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab.
c. Fungsi Kepolisian
Dalam Pasal 2 Undang-undang Negara Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
menyatakan bahwa fungsi kepolisian merupakan salah satu fungsi
pemerintahan negara dalam bidang pemeliharaan keamanan dan
ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman,
dan pelayanan kepada masyarakat. Menurut Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 Tentang
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Resor dan
Kepolisian Sektor, unsur pelaksana tugas pokok dalam Kepolisian
diantaranya yaitu:
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 26
34
1) Fungsi Intelkam (Intelijen keamanan), fungsi kepolisian dalam hal:
a) Pembinaan kegiatan intelijen dalam bidang keamanan, antara
lain persandian dan produk intelijen di lingkungan Polres.
b) Pelaksanaan kegiatan operasional intelijen keamanan guna
terselenggaranya deteksi dini (early detection), dan peringatan
dini (early warning), pengembangan jaringan informasi melalui
pemberdayaan personel pengemban fungsi intelijen.
c) Pengumpulan, penyimpanan, dan pemutakhiran biodata tokoh
formal atau informal organisasi sosial, masyarakat, politik, dan
pemerintahan daerah.
d) Pendokumentasian dan penganalisisan terhadap perkembangan
lingkungan strategik serta penyusunan produk intelijen untuk
mendukung kegiatan Polres.
e) Penyusunan prakiraan intelijen keamanan dan menyajikan hasil
analisis setiap perkembangan yang perlu mendapat perhatian
pimpinan.
f) Penerbitan surat izin untuk keramaian dan kegiatan masyarakat
antara lain dalam bentuk pesta (festival, bazar, konser), pawai,
pasar malam, pameran, pekan raya, dan pertunjukkan/permainan
ketangkasan.
g) Penerbitan STTP untuk kegiatan masyarakat, antara lain dalam
bentuk rapat, sidang, muktamar, kongres, seminar, sarasehan,
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 27
35
temu kader, diskusi panel, dialog interaktif, outward bound, dan
kegiatan politik, dan
h) Pelayanan SKCK serta rekomendasi penggunaan senjata api dan
bahan peledak.
2) Fungsi Reserse (investigasi), adalah fungsi kepolisian dalam hal:
a) Pembinaan teknis terhadap administrasi penyelidikan dan
penyidikan, serta identifikasi dan laboratorium forensik
lapangan.
b) Pelayanan dan perlindungan khusus kepada remaja, anak, dan
wanita baik sebagai pelaku maupun korban sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
c) Pengidentifikasian untuk kepentingan penyidikan dan pelayanan
umum.
d) Penganalisisan kasus beserta penanganannya, serta mengkaji
efektivitas pelaksanaan tugas Satreskrim.
e) Pelaksanaan pengawasan penyidikan tindak pidana yang
dilakukan oleh penyidik pada unit reskrim Polsek dan
Satreskrim Polres.
f) Pembinaan, koordinasi, dan pengawasan PPNS baik di bidang
operasional maupun administrasi penyidikan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 28
36
g) Penyelidikan dan penyidikan tindak pidana umum dan khusus,
antara lain tindak pidana ekonomi, korupsi, dan tindak pidana
tertentu di daerah hukum Polres.
3) Fungsi Sabhara, yaitu fungsi kepolisian dalam hal:
a) Pemberian arahan, pengawasan, dan pengendalian pelaksanaan
tugas Satsabhara.
b) Pemberian bimbingan, arahan, dan pelatihan keterampilan
dalam pelaksanaan tugas di lingkungan Satsabhara.
c) Perawatan dan pemeliharaan peralatan serta kendaraan
Satsabhara.
d) Penyiapan kekuatan personel dan peralatan untuk kepentingan
tugas Turjawali, pengamanan unjuk rasa dan objek vital,
pengendalianmassa, negosiator, serta pencarian dan
penyelamatan atau search andrescue (SAR).
e) Pembinaan teknis pemeliharaan ketertiban umum berupa
penegakan hukum Tipiring dan TPTKP, dan
f) Pengamanan markas dengan melaksanakan pengaturan dan
penjagaan.
4) Fungsi Lantas (Lalu Lintas), yaitu fungsi kepolisian dalam hal:
a) Pembinaan lalu lintas Kepolisian.
b) Pembinaan partisipasi masyarakat melalui kerja sama lintas
sektoral, Dikmaslantas, dan pengkajian masalah di bidang lalu
lintas.
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 29
37
c) Pelaksanaan operasi Kepolisian bidang lalu lintas dalam rangka
penegakan hukum dan keamanan, keselamatan, ketertiban,
kelancaran lalu lintas (kamseltibcarlantas).
d) Pelayanan administrasi registrasi dan identifikasi kendaraan
bermotor serta pengemudi.
e) Pelaksanaan patroli jalan raya dan penindakan pelanggaran serta
penanganan kecelakaan lalu lintas dalam rangka penegakan
hukum, serta menjamin kamseltibcarlantas di jalan raya.
f) Pengamanan dan penyelamatan masyarakat pengguna jalan, dan
g) Perawatan dan pemeliharaan peralatan dan kendaraan.
5) Fungsi Bimmas, yaitu fungsi kepolisian dalam hal:
a) Pembinaan dan pengembangan bentuk-bentuk pengamanan
swakarsa dalam rangka peningkatan kesadaran dan ketaatan
masyarakat terhadap hukum dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
b) Pengembangan peran serta masyarakat dalam pembinaan
keamanan, ketertiban, dan perwujudan kerjasama Polres dengan
masyarakat.
c) Pembinaan di bidang ketertiban masyarakat terhadap komponen
masyarakat antara lain remaja, pemuda, wanita, dan anak.
d) Pembinaan teknis, pengkoordinasian, dan pengawasan Polsus
serta Satuan Pengamanan (Satpam), dan
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 30
38
e) Pemberdayaan kegiatan Polmas yang meliputi pengembangan
kemitraan dan kerja sama antara Polres dengan masyarakat,
organisasi, lembaga, instansi, dan/atau tokoh masyarakat.
d. Kode Etik Profesi Kepolisian
Dalam pembukaan kode etik profesi Kepolisian Negara Republik
Indonesia, etika profesi kepolisian merupakan kristalisasi nilai-nilai
Tribrata yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan
jati diri setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam
wujud komitmen moral yang meliputi pada pengabdian, kelembagaan
dan kenegaraan, yang selanjutnya disusun ke dalam Kode Etik Profesi
Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu antara lain sebagai
berikut: Etika pengabdian merupakan komitmen moral setiap anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap profesinya sebagai
pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum serta
pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Etika kelembagaan
merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia terhadap institusinya yang menjadi wadah
pengabdian yang patut dijunjung tinggi sebagai ikatan lahir batin dari
semua insan Bhayangkara dan segala martabat dan kehormatannya.
Etika kenegaraan merupakan komitmen moral setiap anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan institusinya untuk
senantiasa bersikap netral, mandiri dan tidak terpengaruh oleh
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 31
39
kepentingan politik, golongan dalam rangka menjaga tegaknya hukum
Negara Republik Indonesia.
Pada Pasal 7 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Republik
Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian
Negara Republik Indonesia, menyatakan setiap anggota Polri wajib:
a) Setia kepada Polri sebagai bidang pengabdian kepada masyarakat,
bangsa dan negara dengan memedomani dan menjunjung tinggi
Tribrata dan Catur Prasetya.
b) Menjaga dan meningkatkan citra, solidaritas, kredibilitas, reputasi,
dan kehormatan Polri.
c) Menjalankan tugas secara profesional, proporsional, dan prosedural.
d) Melaksanakan perintah dinas untuk mengikuti pendidikan dan
pelatihan dalam rangka pembinaan karier dan peningkatan
kemampuan profesionalisme Kepolisian.
e) Menjalankan perintah dinas untuk melaksanakan mutasi dalam
rangka pembinaan personel, profesi, karier, dan penegakkan KEPP.
f) Mematuhi hierarki dalam pelaksanaan tugas.
g) Menyelesaikan tugas dengan seksama dan penuh rasa tanggung
jawab.
h) Memegang teguh rahasia yang menurut sifatnya atau menurut
perintah kedinasan harus dirahasiakan.
i) Menampilkan sikap kepemimpinanmelalui keteladanan, ketaatan
pada hukum, kejujuran, keadilan, serta menghormati dan
menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam melaksanakan tugas.
j) Melaksanakan perintah kedinasan dalam rangka penegakan disiplin
dan KEPP berdasarkan laporan/pengaduan masyarakat tentang
adanya dugaan pelanggaran disiplin dan/atau Pelanggaran KEPP
sesuai dengan kewenangan.
k) Melaksanakan perintah kedinasan yang berkaitan dengan
pengawasan internal di lingkunga Polri dalam rangka penguatan
Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP).
l) Menghargai perbedaan pendapat yang disampaikan dengan cara
sopan dan santun pada saat pelaksanaan rapat, sidang, atau
pertemuan yang bersifat kedinasan.
m) Mematuhi dan menaati hasil keputusan yang telah disepakati dalam
rapat, sidang, atau pertemuan yang bersifat kedinasan.
n) Mengutamakan kesetaraan dan keadilan gender dalam melaksanakan
tugas.
o) Mendahulukan pengajuan laporan keberatan atau komplain kepada
Ankum atau Atasan Ankum berkenaan dengan keputusan yang
dinilai bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 32
40
undangan sebelum mengajukan gugatan ke Pengadlan Tata Usaha
Negara (PTUN).
C. Penyidikan
1. Pengertian Penyidik dan Penyidikan
Istilah penyidikan secara etimologis merupakan padanan kata bahasa
Belanda yaitu opsporing dan dari bahasa Inggris yaitu investigation.
Sedangkan dari bahasa Latin yaitu investigatio dan dalam bahasa Malaysia
yaitu penyiasatan atau siasat (Andi Hamzah, 2000: 118).
Dalam Pasal 1 ayat (10), (12) dan (13) Undang-undang Negara
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, menyebutkan pengertian penyidik dan penyidikan,
yaitu:
ayat (10) “Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk melakukan
penyidikan.”
ayat (12) “Penyidik pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian NegaraRepublik
Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dan diberi wewenang
tertentu dalam melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam
Undang-undang.”
ayat (13) “Penyidikan ialah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur Undang-undang untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.”
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) :
Pasal 1 butir (1) KUHAP “Penyidik adalah pejabat Polisi negara Republik
Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil
tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
Undang-undang untuk melakukan penyidikan.”
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 33
41
Pasal 1 butir (2) KUHAP “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik
dalam hal dan menurut cara yang diatur Undang-
undang ini untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yangterjadi dan guna
menemukan tersangkanya.”
2. Tugas dan Wewenang Penyidik
Pada Pasal 8 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
tugas penyidik:
(1) Penyidik membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 dengan tidak menurangi
ketentuan lain dalam Undang-undang ini.
(2) Penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.
(3) Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dilakukan:
a. Pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara.
b. Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik
menyerahkan tanggungjawab atas tersangka dan barang bukti
kepada penuntut umum.
Sedangkan wewenang penyidik pada Pasal 7 ayat (1) Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu :
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak
pidana.
b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian.
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka.
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
f. Mengambil sidik jari dan memotret seorang.
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi.
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara.
i. Mengadakan penghentian penyidikan, dan
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 34
42
Sebelum dilakukannya penyidikan pihak kepolisian melakukan
kegiatan penyelidikan, yaitu memeriksa dengan seksama atau mengawasi
gerak-gerik musuh sehingga penyelidikan itu dapat diartikan sebagai
pemeriksaan, penelitian, atau pengawasan (Andi Hamzah, 1986:94). Proses
penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dapat digambarkan sebagai
berikut : diawali dengan adanya bahan masukan suatu tindak pidana;
melakukan tindakan pertama ditempat kejadian, yaitu melakukan berbagai
tindakan yang dipandang perlu oleh penyidik; pemanggilan dan
pemeriksaan tersangka dan saksi; melakukan upaya paksa yang diperlukan,
bentuknya ialah tindakan penangkapan, penahanan, penggeledahan,
penyitaan, dan tindakan pemeriksaan surat; pembuatan berita acara
penyidikan; dan penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum (Rusli
Muhammad, 2007:60-66).
D. Diskresi
1. Pengertian Diskresi
Diskresi berasal dari kata-kata bahasa inggris “discretion” yang
menurut kamus umum yang disusun John M. Echols (1981: 185) diartikan
kebijaksanaan, keleluasaan. Menurut Alvina Treut Burrow (1966:226),
discretion isability to choose wisely or to judge for oneself artinya
kemampuan untuk memilih secara bijaksana atau mempertimbangkan bagi
diri sendiri. Sedangkan diskresi oleh J.C.T Simorangkir (1980:45) diartikan
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 35
43
sebagai kebebasan mengambil keputusan dalam setiap situasi yang dihadapi
menurut pendapatnya sendiri.
Diskresi dalam Black Law Dictionary berasal dari bahasa Belanda
“Discretionair” yang berarti kebijaksanaan dalam halnya memutuskan
sesuatu tindakan tidak berdasarkan ketentuan -ketentuan peraturan, Undang-
undang atau hukum yang berlaku tetapi atas dasar kebijaksanaan,
pertimbangan atau keadilan (Pramadya, 1997:91). Thomas J. Aaron dalam
M. Faal (1991: 16) mendefinisikan diskresi menjadi: discretion is
powerauthority conferred by law to action onthe basic of judgement of
conscience, andits use is more than idea of morals thanlaw. Yang dapat
diartikan sebagai suatu kekuasaan atau wewenang yang dilakukan
berdasarkan hukum atas pertimbangan dan keyakinan serta lebih
menekankan pertimbangan-pertimbangan moral dari pada pertimbangan
hukum. Sedangkan menurut Barker konsep dari diskresi adalah wewenang
yang diberikan hukum untuk bertindak dalam situasi khusus sesusi dengan
penilaian penilaian dan kata hati instansi atau pengawas itu sendiri.
Dalam pembicaraan tentang diskresi kepolisian ini, M. Faal (1991:
16) mencontohkan Polisi dapat melakukan tindakan penangkapan atau tidak
terhadap seseorang walau ia yakin telah ada bukti-bukti permulaan. Atau ia
dapat juga tidak melakukan tindakan penangkapan terhadap si tersangka
yang walaupun terdapat bukti-bukti permulaan yang cukup tentang
kejahatan yang dilakukan olehnya. Misalnya seorang pelajar mencuri
mangga orang lain, secara yuridis formal ia telah memenuhi unsur-unsur
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 36
44
tindak pidana, tetapi seorang polisi yang mengetahui tindak pidana itu tidak
bertindak untuk memprosesnya, hanya menasihati lalu melepasnya. Ia telah
mengenyampingkan tindak pidana itu untuk di proses. Tindakan polisi itu
seolah-olah mengabaikan ketentuan hukum positif. Namun apabila kita kaji
lebih jauh, tindakan itu justru sesuai dengan tujuan hukum yaitu
perlindungan terhadap setiap warga negara. Polisi tersebut memutuskan
untuk tidak memproses pelajar itu karena pertimbangan bahwa penggunaan
hukum pidana bukan satu-satunya cara untuk menanggulangi kejahatan,
terlebih terhadap anak-anak.
Sementara itu pada tujuan yang lebih jauh dari hukum pidana yaitu
untuk menanggulangi kejahatan dan penggunaan hukum pidana adalah
bukan satu-satunya. Louis A. Redelet menyatakan bahwa “law is not an
end in it self. Properly understood, it is a means to higher ends in human
affair, much as good order, justice...”. Hal tersebut di atas sesuai juga
dengan apa yang dikatakan oleh Sunaryari Hartono (1976:3) bahwa, hukum
(kaidah) itu bukan merupakan tujuan akan tetapi hanya merupakan
jembatan, yang akan harus membawa kita kepada ide yang dicita-citakan.
Sedangkan Soerjono Soekanto (1985:7) menjelaskan bahwa suatu
tujuan (hukum) tidak selalu identik dengan tujuan-tujuan yang dirumuskan
secara eksplisit, apa yang dinyatakan dalam suatu aturan, belum tentu
merupakan alasan yang sesungguhnya dari pembuatan aturan tersebut.
Menurut Satjipto Rahardjo (1987:11), hukum itu hanya dapat menuntut
kehidupan bersama secara umum sebab begitu amengatur secara rinci,
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 37
45
dengan memberikan skenario langkah-langkah secara lengkap maka pada
waktu itu pula kehidpan akan macet, oleh karena itu sesungguhnya diskresi
merupakan kelengkapan dari sistem pengaturan oleh hukum itu sendiri.
Sehingga tindakan polisi yang memaafkan, menasehati si pelajar
tersebut yang mungkin juga atas pertimbangan bahwa tindak pidana itu
dianggap tidak begitu serius (terlalu ringan), mungkin karena ia seorang
pelajar, kepentingan umum tak terganggu dan sebagainya, adalah di antara
alternatif dari berbagai macam pertimbangan yang diyakini oleh anggota
Kepolisian itu. Pertimbangan yang menimbulkan tindakan yang diyakini itu
jelas dipengaruhi oleh situasi yang senyatanya yang dihadapi secara konkret
oleh polisi itu di lapangan, sebagaimana dikatakan oleh Hadisapoetro bahwa
diskresi kepolisian yang dilakukan oleh seseorang terhadap masalah yang
dihadapi secara nyata, berdasar atas keyakinan, kebenaran dan
pertimbangan-pertimbangan pribadi yang terbaik pada saat itu.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa diskresi itu
sesungguhnya suatu keputusan/tindakan kepolisian yang dengan sadar tidak
melakukan kewajiban/tugasnya selaku penegak hukum berdasarkan alasan-
alasan yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap hukum itu sendiri.
Penjelasan-penjelasan tersebut ternyata diskresi itu selalu dikaitkan dengan
pengambilan keputusan, kekuasaan atau kewenangan untuk mengambil
keputusan, kekuasaan atau kewenangan untuk mengambil tindakan apa pun
yang dianggap paling bijaksana olehnya dan dapat dipertanggungjawabkan
(M.Faal, 1991: 18).
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 38
46
2. Konsep Diskresi Penyidik
Konsep mengenai diskresi penyidik terdapat dalam Undang-undang
Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia, pada Pasal 18 ayat (1) dan (2), yaitu :
ayat (1) “Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat
bertindak menurut penilaianya sendiri.”
ayat (2) “Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan
memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta kode etika
profesi Kepolisian.”
Rumusan kewenangan penyidik dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-
undang Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan kewenangan yang
bersumber dari asas kewajiban umum penyidik untuk bertindak atau tidak
bertindak menurut penilaiannya sendiri, dalam rangka kewajiban umumnya,
yaitu menjaga dan menjamin ketertiban umum serta menegakkan hukum
dan keadilan. Secara umum kewenangan ini dikenal sebagai diskresi
penyidik yang keabsahannya didasarkan pada pertimbangan keperluannya
untuk tugas kewajiban (pflichtmassiges ermessen). Wewenang polisi untuk
menyidik ini yang meliputi kebijaksanaan polisi (politie beleid; police
discretion) sangat sulit, sebab mereka harus membuat pertimbangan suatu
tindakan yang akan diambil dalam waktu yang sangat singkat pada
penanggapan pertama suatu delik ( Andi Hamzah, 2000:79).
Dalam bahasa Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tersebut
Diskresi dirumuskan sebagai “dalam keadaan yang sangat perlu”.
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 39
47
Penjelasan resmi dari Undang-undang tersebut berbunyi ,“yang dimaksud
dengan bertindak menurut penilaiannya sendiri” adalah suatu tindakan yang
dapat dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari
tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum”(Satjipto Rahardjo,
2010:103). Sedangkan rumusan dalam Pasal 18 Ayat (2) merupakan rambu-
rambu bagi pelaksanaan diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu
selain asas keperluan, tindakan diskresi tetap harus sesuai dan
memperhatikan peraturan perundang-undangan serta Kode Etik Profesi
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kewenangan penyidik dalam memberikan diskresi kepolisian juga
dijelaskan dalam Pasal 7 ayat (1) huruf i dan j Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) yakni:
huruf i “mengadakan penghentian penyidikan.
huruf j “mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab
Selain itu regulasi mengenai diskresi kepolisian diatur dalam tugas,
wewenang, dan Kode Etik Profesi Kepolisian. Pada tugas kepolisian
terdapat dalam Pasal 14 huruf k Undang-undang Nomor 2 tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yakni “memberikan
pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingan dalam lingkup
kepolisian serta melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan”. Terkait dengan wewenang kepolisian Pasal 16 ayat
(1) huruf h dan l Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia yakni:
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 40
48
huruf h “mengadakan penghentian penyidikan.”
huruf l “mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab.”
Sedangkan pada Kode Etik Kepolisian terdapat dalam Pasal 7 ayat
(1) huruf c Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 14
Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik
Indonesia, menyatakan setiap anggota Polri wajib “menjalankan tugas
secara profesional, proporsional, dan prosedural.”
Perincian tugas-tugas polisi seperti yang tercantum dalam Undang-
undang di atas membuktikan bahwa untuk mencapai dan memelihara
ketertiban merupakan tugas pokok yang harus dilakukan oleh polisi,
tentunya pekerjaan tersebut hanya boleh dilaksanakan dengan mematuhi
berbagai pembatasan tertentu. Salah satu dari pembatasan itu adalah hukum.
Dalam hal ini polisi oleh hukum ditugasi untuk menciptakan dan
memelihara ketertiban dalam kerangka hukum yang berlaku di masyarakat.
Di satu pihak memang benar bahwa hukum merupakan sarana pengendalian
sosial, akan tetapi di lain pihak hukum mungkin juga berfungsi sebagai
sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial.
Maka dari itu selain hukum sebagai sarana pengendalian sosial,
hukum juga dapat mengatur dan menuntun kehidupan bersama secara
umum. Diskresi dibutuhkan dan dilakukan oleh polisi karena ia bukan
hanya aparat penegak hukum tetapi juga penjaga ketertiban yang bertugas
mengusahakan kedamaian (peacekeeping) dan ketertiban (order maintance).
Peran polisi dalam penegakan hukum seolah-olah diibaratkan bahwa polisi
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 41
49
adalah hukum yang hidup, karena ditangan polisi inilah tujuan-tujuan
hukum untuk melindungi dan menciptakan keadaan yang aman di dalam
masyarakat dapat diwujudkan. Melalui tangan polisi inilah hal-hal yang
bersifat falsafati dalam hukum dapat diwujudkan menjadi nyata, tetapi
justru karena sifat pekerjaannya yang demikian itulah, polisi banyak
berhubungan dengan masyarakat dan menanggung resiko mendapatkan
sorotan yang tajam pula dari masyarakat yang dilayaninya (Satjipto
Rahardjo, 2007: 104).
3. Landasan Hukum Diskresi
Selain peraturan di atas terdapat landasan hukum lain yang
mengatur tentang diskresi kepolisian yaitu (M. Faal, 1991: 115-120):
1) Undang-undang Dasar 1945
Berkaitan dengan tugas dan wewenang kepolisian memang
merupakan 2 (dua) hal yang tidak dapat dilepaskan karena sifat
penugasan sesungguhnya sangat membutuhkan kewenangan. Di
dalam kewenangan yang diberikan kepada kepolisian dijumpai pula
kewenangan untuk bertindak sendiri atau menentukan sendiri.
Kewenangan yang dimaksud itulah yang kemudian disebut sebagai
diskresi kepolisian. Berangkat dari pemikiran di atas, apabila
diperhatikan ketentuan Undang-undang Dasar 1945, maka
kewenangan diskresi kepolisian secara tidak langsung sangat
berkaitan dengan pembukaan, batang tubuh dan penjelasan.
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 42
50
Dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 menyebutkan
bahwa:
“......... membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial .......”
Berdasarkan pokok pikiran melindungi segenap bangsa Indonesia itu,
maka Pasal 27 Undang-undang Dasar 1945 memberikan kesamaan
kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan dan setiap warga
negaranya. Dan kedudukan polisi selaku penegak hukum wajib
melindungi warga negara atau masyarakat dan menciptakan keamanan
dan ketertiban bagi masyarakat. Sedangkan pokok pikiran ikut
melaksanakan ketertiban dunia adalah kewajiban warga negara untuk
senantiasa patuh pada norma-norma dalam tata kehidupan yang telah
disepakati sehingga tercipta iklim tertib masyarakat.
Tugas polisi selaku penegak hukum, keamanan dan ketertiban
masyarakat adalah refleksi dan sesuai terhadap Undang-undang Dasar
1945 dan konsekuensi adanya tugas tersebut sangat dibutuhkan
wewenang, salah satu diantaranya adalah wewenang diskresi.
Keberadaan kewenangan diskresi masuk sebagai salah satu
kewenangan kepolisian sangat berkaitan erat dengan hakikat tujuan
penegakan hukum itu sendiri dan lebih jauh lagi adalah pencapaian
tujuan nasional.
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 43
51
Menurut Barda Nawawi Arief tujuan-tujuan yang ingin dicapai
hukum pidana atau sistem peradilan pidana itu pada umumnya
terwujud dalam kepentingan-kepentingan tersebut adalah:
a. Pemeliharaan tertib masyarakat.
b. Perlindungan warga negara dari kejahatan, kerugian atau bahaya-
bahaya yang tidak dapat dibenarkan yang dilakukan oleh orang
lain.
c. Memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum.
d. Memelihara atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan
dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat manusia dan
keadilan individu.
Lebih lanjut Barda Nawawi Arief mengatakan bahwa apabila
ada perkara-perkara yang tidak diproses adalah dalam rangka
melindungi warga negara dari ancaman yang tidak menguntungkan
bagi kehidupan pada masa depan. Disinilah peran diskresi itu berada
dan hal ini sesuai dengan jiwa pembukaan Undang-undang Dasar
1945.
2) Yurisprudensi
Yurisprudensi mengenai diskresi kepolisian pada masa
penjajahan yang terkenal adalah berdasarkan Arres Hoge Raad (AHR)
tanggal 25 Januari 1892 dan tanggal 11 Maret 1914 yang berbunyi:
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 44
52
........... untuk sahnya segala tindakan kepolisian (rechtmating) tidak
selalu harus berdasarkan peraturan perundang-undangan (wettelijk
voor schrift) akan tetapi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Tindakan-tindakan polisi itu tidak bertentangan dengan peraturan
Undang-undang.
b. Tindakan itu adalah untuk mempertahankan ......, ketertiban,
ketentraman dan keamanan umum.
c. Tindakan itu untuk melindungi hak-hak seseorang (ieders recht).
Berdasarkan bunyi Arrest Hoge Raad (AHR) tersebut di atas
sebenarnya adalah pengakuan akan adanya (dan dalam istilah
kepolisian disebut sebagai) diskresi kepolisian. Arrest Hoge Raad
(AHR) di atas dimaksudkan bahwa agar polisi dalam menjalankan
hukum dan perundang-undangan tidak terlalu kaku. Karena
bagaimanapun juga maksud Arrest Hoge Raad (AHR) di atas juga
dalam rangka penegakan hukum dan diskresi dilakukan tetap dalam
kerangka hukum.
Berdasarkan pemikiran di atas jelaslah bahwa polisi bisa saja
menerjemahkan hukum atau bertindak apa saja dalam batas-batas
yang telah ditentukan seperti halnya dalam rumusan Arrest Hoge
Raad (AHR) di atas. Mengenai batasan-batasan tertentu sebagaimana
dimaksudkan di atas, menurut Soebroto Brotodiredjo yang dikutip
oleh Faal hendaknya berorientasi pada Asas Freisermessen yang
berupa:
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 45
53
a) Asas keperluan (noodzakelijkheid) yaitu setiap tindakan harus
betul-betul diperlukan dalam arti tanpa tindakan itu maka tugas
tidak akan terlaksana.
b) Asas kelugasan (zakelijheid) yaitu tindakan tidak boleh didorong
oleh motif-motif (kepentingan-kepentingan) pribadi.
c) Asas tujuan sebagai ukuran (doelmatigheld) yaitu tindakan betul-
betul dilakukan untuk mencapai tujuan, misalnya keamanan dan
ketertiban.
d) Asas keseimbangan yaitu adanya keseimbangan antara komponen
tindakan, tujuan dan sasaran.
3) Hukum Tidak Tertulis
Landasan hukum dengan mempergunakan hukum tidak tertulis
sebenarnya juga bersifat konstitusional atau dalam kata lain hukum
tidak tertulis itu juga konstitusional. Hal ini sebagaimana dijelaskan
dalam Penjelasan Umum Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi
Hukum dasar yang tidak tertulis ialah aturan-aturan dasar yang timbul
dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara. Polisi sebagai
pejabat administrasi negara di dalam melaksanakan tugas dan
menyelesaiakan persoalan-persoalan hukum dan masyarakat sering
didasarkan pada hukum tidak tertulis.
Menurut Satjipto Rahardjo pekerjaan polisi sesungguhnya tidak
jauh dari pekerjaan mengadili. Sebab memberikan penafsiran terhadap
hukum pidana pada saat berhadapan dengan orang-orang tertentu yang
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 46
54
melakukan perlawanan terhadap hukum bukanlah pekerjaan mengadili
juga.
Atas dasar pemikiran di atas maka polisi dapat dan
diperbolehkan memperluas hukum melalui tindakan diskresi dan
tindakan diskresi juga merupakan pekerjaan memutus sebagaimana
halnya hakim dalam mengadili dan memutus perkara. Hal yang
mendapat perhatian juga adalah nilai-nilai, norma-norma yang hidup
dalam masyarakat Indonesia secara general seperti pemaaf, rukun,
kekeluargaan, kebersamaan, tenggang rasa, saling menghormati,
norma keagamaan, sopan santun dan sebagainya menjadi landasan
pula bagi pertimbangan polisi dalam menegakkan hukum melalui
kebijakan diskresi.
Dihubungkan dengan pelaksanaan tugas–tugas kepolisian,
didalam menyelesaikan persoalan-persoalam hukum di masyarakat
sering dapat diselesaikan berdasar hukum tidak tertulis yang berupa
hukum adat, dan dalam kaitannya dengan hukum adat tersebut yang
dapat dijadikan pedoman adalah adat kebiasaan yang ada di
masyarakat yang sesuai atau tidak bertentangan dengan hukum positif
yang ada, mempunyai tujuan mempertahankan keamanan dan
ketertiban didalam masyarakat serta tidak merugikan hak-hak orang
lain.
Begitu pula penyelesaian perkara-perkara atau
mengenyampingkan perkara-perkara pidana yang serba ringan
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 47
55
berdasarkan kebiasaan praktek atau hukum tidak tertulis itu biasanya
ditempuh dikarenakan apabila dipaksakan berlakunya hukum pidana
justru akan menimbulkan permasalahan baru, sehingga adat
kebiasaanlah yang dipakai dalam menyelesaikan suatu perkara, karena
bagaimanapun juga hal itu dirasa lebih praktis dan lebih murah
daripada diselesaikan lewat sistem peradilan pidana. Misalnya saja
ditempuh dengan upaya kekeluargaan yang dirasa bisa menyelesaikan
masalah tanpa menjadikan hubungan yang ada dimasyarakat tadi
menjadi renggang atau pecah. Hal inilah yang menjadi alasan
mengapa hukum adat yang berlaku dimasyarakat juga mempunyai
peranan didalam pelaksanaan diskresi oleh polisi.
4) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang
Acara Hukum Pidana.
Jika telah dipahami bahwa tugas dan wewenang Polisi itu sangat
luas dan wewenang polisi untuk melakukan tindakan-tindakannya
tidak mungkin diatur secaa limitatif atau tidak mungkin segala
tindakan-tindakan polisi dirumuskan secara rinci, apalagi yang
menyangkut kewenangan menentukan keputusan menurut
penilaiannya sendiri atau yang disebut sebagai kewenangan bebas,
maka di dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf a poin 4 dan Pasal 7
ayat (1) huruf i dan huruf j Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ditegaskan
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 48
56
bahwa polisi berwenang karena kewajibannya mengadakan tindakan
lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
5) Hukum Ilmuwan
Pendapat, penjelasan, ajaran atau hasil penelitian para sarjana
atau ahli dapat dijadikan dasar pemikiran atau menambah wawasan
lebih luas mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan diskresi
kepolisian. Dengan hukum ilmuwan ini ketentuan perundang-
undangan atau asas-asas hukum yang kurang jelas dapat diperoleh dari
mereka seperti misalnya arti “demi hukum”, asas nullum delictum
nullapoena sinepravia lege yang tercermin dalam Pasal 1 ayat 1 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Dengan penjelasan hukum ilmuwan, akan melengkapi hukum
yang kurang jelas itu, sehingga kebijaksanaan-kebijaksanaan yang
diambil oleh para praktisi penegak hukum akan mendapat landasan
yang relatif kuat.
Berdasarkan landasan hukum lain yang mengatur mengenai
diskresi kepolisian maka akan menjadi pendukung atau memperkuat dasar
hukum bagi polisi dalam menyelesaikan perkara pidana melalui Diskresi
kepolisian.
4. Prosedur/Mekanisme Diskresi
Menurut Walker, Diskresi sering dirumuskan “free to make choice
among possible courses of action or inaction” yang mempunyai makna
yaitu kebebasan untuk membuat pilihan diantara tindakan yang mungkin
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 49
57
atau tidak bertindak. Diskresi dalam hal ini sangat berpengaruh besar dalam
hal ini bertolak akan suatu asas kepastian hukum yang ada di Indonesia dan
lebih mementingkan tujuan dari suatu pemidanaan, diskresi oleh polisi
memang merupakan masalah yang selalu menarik untuk diteliti. Bagi polisi,
diskresi merupakan bagian integral dari pekerjaaannya. Ia boleh mewakili
karakteristik pekerjaan polisi. Dengan menjalankan diskresi maka polisi
bending the law and the system, membengkokkan train politica, menjadi
policy maker, terkadang juga sekaligus menjadi jaksa dan hakim (Satjipto
Rahardjo, 2007: 116).
Sesungguhnya dari Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice
System) ada empat komponen fungsi yang satu dengan lainnya selalu
berhubungan dan berkoordinasi. Fungsi-fungsi itu memiliki satu kesatuan
persepsi dan satu tujuan yang sama, yaitu usaha untuk menanggulangi
kejahatan. Masing-masing fungsi ini adalah fungsi penyidikan, penuntutan,
peradilan dan fungsi pemasyarakatan yang masing-masing dilakukan oleh
petugas pnegak hukum; Polisi, Jaksa, Hakim dan petugas pemasyarakatan
(J.W. Lapatra, 1978: 86).
Tiap-tiap komponen fungsi ini apabila diamati secara teliti
mempunyai wewenang untuk melakukan penyaringan-penyaringan terhadap
arus perkara yang masuk ke dalam proses, baik karena berdasar peraturan
perundang-undangan maupun atas dasar aspek sosiologisnya. Pada tingkat
penyidikan, penyaringan perkara itu berupa tindakan-tindakan kepolisian
yang di dalam praktek kepolisian disebut diskresi kepolisian, pada tingkat
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 50
58
penuntutan, adanya wewenang jaksa untuk mendeponir suatu perkara yang
sering disebut dengan asas oportunitas, sedangkan pada tingkat peradilan
berupa keputusan hakim bebas (vrijpraak), hukuman bersyarat
(voorwaardelijk verordeling) atau lepas (de beklaagde wordt ontslage van
alle Rechtsvervolging) dan hukuman denda. Sedangkan pada tingkat
pemasyarakatan, berupa pengurangan hukuman atau remisi. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada bagan 1.
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 51
59
Bagan 1.
Kerangka Diskresi Dalam Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice
System).
tak dilaporkan, tak terlacak
dikesampingkan,
dihentikan (diskresi) dilaporkan,diadukan, diproses
ke
dideponir diteruskan ke
diputus bebas, lepas didakwa di
bersyarat dan deda
dikirim ke
Remisi, selesai jalani dikembalikan ke
hukuman
Sumber: M.Faal, 1991: 2
MASYARAKAT
PELAKU KEJAHATAN
POLISI
JAKSA
PENGADILAN
PEMASYARAKATAN
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 52
60
Adanya penyaringan-penyaringan perkara yang masuk dalam proses
peradilan pidana ini, sebagai realisasi dari kebutuhan-kebutuhan praktis
Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), asas dan tujuan dari
Sistem Peradian Pidana (Criminal Justice System) itu sendiri maupun karena
semakin berkembangnya aliran-aliran modern dewasa ini baik di bidang
perkembangan hukum pidana maupun kriminologi yang langsung atau tidak
sangat mempengaruhi nilai-nilai perkembangan masyarakat.
Adanya diskresi polisi dalam bentuk penyaringan perkara itu
didasarkan pada pemikiran bahwa di dalam kenyataannya hukum itu tidak
seharusnya secara membabibuta diperlakukan kepada siapapun dalam
kondisi apapun persis seperti bunyi peraturan perundang-undangan (M.Faal,
1991: 3). Diskresi kerap diterapkan pada tingkat penyidikan dengan
pertimbangan agar polisi yang berada dalam barisan paling depan dalam
sistem peradilan pidana tidak disibukkan oleh tumpukan perkara yang
seharusnya dapat diselesaikan tanpa proses di pengadilan. Diskresi
kepolisian ini dilakukan melalui mediasi penal (Yuliana Pratiwi, 2013: 45-
47).
Penerapan diskresi polisi yang berkaitan dengan penyelesaian
perkara pidana di luar pengadilan dapat kita lihat dalam Peraturan Kapolri
Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi
Perpolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas Kapolri, yang secara
umum prinsip-prinsipnya dapat disimpulkan sebagai berikut:
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 53
61
1) Sebagai strategi yaitu model perpolisian yang menegakkan pada
kemitraansejajar antara petugas polmas dengan masyarakat lokal dalam
menyelesaikandan mengatasi masalah sosial yang mengancam
keamanan dan ketertibanmasyarakat dengan tujuan untuk mengurangi
kejahatan dan rasa ketakutanakan kejahatan.
2) Sebagai falsafah, Polmas mengandung makna sutau model perpolisian
yang menekankan hubungan yang menjunjung nilai-nilai sosial
kemanusiaan danmenampilkan sikap santun dan saling menghargai
antara polisi dan wargadalam rangka menciptakan kondisi yang
menunjang kelancaran fungsi kepolisian dan peningkatkan kualitas
hidup masyarakat.
3) Upaya penegakan hukum lebih diutamakan kepada sasaran peningkatan
kesadaran hukum dari pada penindakan.
4) Upaya penindakan hukum merupakan alternatif tindakan paling akhir
bila upaya pemecahan masalah bersifat persuasive tidak berhasil.
5) Penerapan konsep Alternative Dispute Resolution (ADR) yaitu pola
penyelesaian masalah sosial melalui jalur alternatif yang lebih efektif
yaitu menetralisir masalah selain melalui proses hukum/ non litigasi
(missal perdamaian).
Penerapan mediasi penal yang didasarkan pada dikresi kepolisian
pun semakin dikuatkan dengan dikeluarkannya Surat Kepala Polisi
Republik Indonesia Nomor PolisiB/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14
Desember 2009 tentang Penanganan Kasus melalui Alternative Dispute
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 54
62
Resolution (ADR). Pada Surat Kepala Polisi Republik Indonesia ini
ditentukanbeberapa langkah-langkah penanganan kasus melalui Alternative
Dispute Resolution (ADR), yaitu:
a. Mengupayakan penanganan kasus yang mempunyai kerugian materi
kecil, penyelesaiannya dapat diarahkan melalui konsep Alternative
Dispute Resolution (ADR).
b. Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan Alternative Dispute
Resolution (ADR) harus disepakati oleh pihak-pihak yang berperkara
namun apabila tidak terdapat kesepakatan baru diselesaikan sesuai
dengan prosedur hukum yang berlaku secara profesional dan
proporsional.
c. Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan Alternative Dispute
Resolution (ADR) harus menghormati norma sosial/adat serta memenuhi
asas keadilan.
d. Untuk kasus yang telah dapat diselesaikan melalui konsep Alternative
Dispute Resolution (ADR) agar tidak lagi disentuh oleh tindakan hukum
lain yang kontra produktif dengan tujuan Polmas.
5. Tolak Ukur Penilaian Penggunaan Diskresi
Diskresi merupakan kewenangan polisi untuk mengambil keputusan
atau memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan masalah pelanggaran
hukum atau perkara pidana yang ditanganinya. Sangatlah penting bahwa
diskresi ini dapat dilakukan dengan benar dengan mempertimbangkan
segala aspek atau hal-hal diatas disertai etika yang baik. Oleh karena itu
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 55
63
dengan Diskresi ini maka tindakan yang diambil oleh polisi harus benar
sesuai dengan aturan hukum.
Tindakan diskresi yang diputuskan oleh polisi di lapangan secara
langsung pada saat itu juga dan tanpa meminta petunjuk atau keputusan dari
atasannya adalah diskresi yang bersifat individual, sebagai contoh untuk
menghindari terjadinya penumpukan arus lalu lintas di suatu ruas jalan,
petugas kepolisian memberi isyarat untuk terus berjalan kepada pengemudi
kendaaraan meskipun saat itu lampu pengatur lalu lintas berwarna merah
dan sebagainya. Adapun tindakan untuk mengesampingkan perkara, untuk
menahan atau tidak melakukan penahanan terhadap tersangka/pelaku
pelanggaran hukum atau menghentikan proses penyidikan, bukanlah
tindakan diskresi individual petugas kepolisian. Tindakan tersebut
merupakan tindakan diskresi birokrasi karena dalam pengambilan keputusan
diskresi berdasarkan atau berpedoman pada kebijaksanaan-kebijaksanaan
pimpinan dalam organisasi dan hal tersebut telah dijadikan kesepakatan
diantara mereka (Abbas Said, 2012: 158).
James Q Wilson (1972: 85-86), mengemukakan ada empat tipe
situasi tindakan diskresi yang mungkin dilaksanakan, yaitu:
1) Police-invoked law enforcement, petugas cukup luas alasannya untuk
melakukan tindakan diskresi, tetapi kemungkinannya dimodifikasi oleh
kebijaksanaan pimpinannya. Perkara-perkara itu didapatkan oleh
inisiatif polisi sendiri (terutama perkara-perkara pidana ringan),
pemberian tindakan diskresi relatif besar atau misalnya wewenang
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 56
64
polisi menangkap/menahan seseorang atau tidak, ada di tangan polisi.
Jadi kesempatan pemberian diskresi berskala relatif besar.
2) Citizen-invoked law enforcement, diskresi sangat kecil kemungkinan
dilaksanakan, karena inisiatornya adalah masyarakat. Di sini pemberian
diskresi pada si pelaku kejahatan untuk mengenyampingkan,
menghentikan atau tidak memproses relatif kecil. Namun demikian
kewenangan polisi untuk memberikan ditu tetap ada seperti dalam
kasus-kasus remaja.
3) Police-invoked order maintenance, diskresi dan pengendalian pimpinan
seimbang (intermidiate). Perkaranya ditemukan oleh petugas polisi
sendiri, maka kewenangan pemberian diskesi di sini juga relatif besar.
4) Citizen-invoked order maintenance, pelaksanaan diskresi perlu
dilakukan walaupun pada umumnya kurang disetujui oleh atasannya.
Perkaranya dikehendaki oleh masyarakat agar dicegah terjadinya
peristiwa yang akan mengganggu kedamaian, maka keleluasan
pemberian diskresi bagi petugas di sini pun relatif besar.
Dari penjelasan-penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa
perkara-perkara yang didapatkan oleh petugas polisi sendiri, kesempatan
pemberian diskresi ternyata relatif lebih besar dari pada yang didapatkan
oleh orang lain (yang menghendaki untuk memprosesnya), demi menjaga
hubungan baik antara masyarakat dan polisi. Tetapi terbatas pada perkara-
perkara pidana ringan, tidak membahayakan kepentingan umum.
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 57
65
Apabila diskresi diterapkan secara salah maka akan terjadi
penyimpangan, menurut Teori dari Klitgard , seperti yang dikutip Meliala
(2000: 56) untuk menjelaskan penyimpangan diskresi sebagai korupsi polisi
tersebut adalah sebagai berikut:
C = P + D – A
Keterangan: C = Corruption, P = Power, D = Discretion,
A = Accountability.
Diskresi yang dilakukan dalam menangani berbagai masalah atau
pelanggaran hukum tidak ada aturan atau batasan yang jelas sehingga sering
menyimpang dari ketentuan atau prinsip dari diskresi. Masalah dalam
pelaksanaan diskresi yang dilakukan oleh polisi adalah Pertama bersifat
individual oleh petugas polisi di lapangan yang menjadi dasar adalah apa
yang diketahui atau dimengerti oleh petugas dilapangan yang dianggap
benar. Pelaksanaan hukum secara selektif merupakan bentuk diskresi
birokrasi di mana pengambil kebijaksanaan kepolisian menentukan prioritas
organisasi kepada para petugas di lapangan. Ditinjau dari segi hukum pidana
formal, tindakan polisi untuk mengesampingkan perkara pidana tidak bisa
dibenarkan begitu saja karena sifat hukum pidana yang tak kenal kompromi.
Sedangkan alasan-alasan sosiologis yang biasa digunakan dalam praktek,
bersifat subjektif dan sangat situasional dan ini memerlukan landasan
hukum yang tegas agar terdapat kepastian hukum baik bagi penyidik
maupun bagi masyarakat. Ditinjau dari pelaksanaan operasional kepolisian,
tindakan mengesampingkan perkara juga dilakukan, dengan pertimbangan
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 58
66
masing-masing perkara itu bisa berbeda antara satu tempat dengan tempat
lain.
Tindakan tersebut di atas dilakukan oleh para petugas kepolisian
dapat dikerenakan adanya kekaburan pemahaman hukum yang berkaitan
dengan kewenangan diskresi, kebijaksanaan-kebijaksanaan dari para pejabat
dalam birokrasi, yang mendukung atau merestui tindakan diskresi dijadikan
sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan operasionalnya dan untuk
keuntungan pribadiatau kelompok tertentu. Hal tersebut juga dapat
diakibatkan kurang baiknya sistem kontrol. Hal lain yang mempengaruhi
adalah dari masyarakatnya yang kadang enggan untuk menyelesaikan
perkaranya dengan jalur hukum.
Dapat dipahami bahwa, diskresi menjadi kewenangan yang tidak
bisa dipisahkan dari tugas kepolisian, namun tolak ukur yang digunakan
pada tataran imlementasi belum jelas, hal ini disebabkan belum adanya
aturan yang jelas mengenai penggunaan diskresi oleh polisi, sehingga
kewenangan diskresi ini berpotensi untuk disalah gunakan. Oleh karena itu,
paling tidak kewenangan diskresi dapat dilakukan dengan pertimbangan
tertentu sebagai batasan-batasan tolak ukur bagi kepolisian dalam proses
penegakan hukum pidana, sehingga, kewenangan diskresi tidak terkesan
unlimited atau tanpa batasan yang jelas.
Sehingga dapat dikemukakan beberapa asas sebagai pengangan yang
menjadi tolak ukur bagi penggunaan diskresi oleh polisi dalam menegakkan
hukum pidana antara lain:
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 59
67
1) Asas Keperluan.
Tugas dan wewenang kepolisian dalam menegakkan hukum
harus berdasarkan pada peraturan yang berlaku, namun dalam
pelaksanaannya di lapangan oleh polisi sering ditemukan kendala-
kendala seperti tidak ada peraturan pelaksanaan dari Undang-undang
yang ada, ketidak jelasan peraturan perundang-undangan, dan/atau
Undang-undang tidak mengaturnya. Kendala-kendala seperti ini
memungkinkan penggunaan diskresi oleh polisi dalam suatu proses
penegakan hukum. Namun penting untuk diingat bahwa diskresi tidak
selalu menjadi keharusan dijalankan dalam menangani suatu masalah
hukum, dan hanya dapat dilakukan bila masalah yang ditangan benar-
benar sudah sangat mendesak untuk diselesaikan sehingga dalam
kondisi ini tepat untuk digunakan diskresi. Jadi terdapat situasi yang
menentukan sehingga diskresi perlu untuk dilakukan oleh polisi. Jadi
tidak semua masalah hukum pidana membutuhkan adanya diskresi dari
kepolisian.
2) Asas Lugas dan Integritas.
Asas lugas dan integritas ini menghendaki agar penerapan
diskresi kepolisian dapat digunakan secara bertanggungjawab, terbuka,
jujur, dan tidak memihak serta objektif dan tidak untuk kepentingan
pribadi atau orang lain. Demikian juga dalam menggunakan diskresi
kepolisian perlu untuk dipertimbangkan secara logis dan sistematis
dengan mengkaji masalah dari berbagai aspek, tentang perlu tidaknya
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 60
68
diterapkan diskresi, dan memprediksi akibat yang timbul dari penerapan
diskresi tersebut serta bagaimana mengantisipasinya.
Di samping itu, sebelum seorang polisi mengambil keputusan
untuk melakukan suatu tindakan (diskresi), wajib mempertimbangkan
secara menyeluruh mengenai objek, subjek dan mekanisme diskresi
yang diambil. Objek diskresi adalah muatan diskresi, sedangkan subjek
diskresi terdiri dari si pengambil diskresi. Apabila diskresi itu dilakukan
oleh seorang polisi, maka harus memikirkan dampak terhadap
institusinya. Demikian juga bila diskresi dilakukan secara kelembagaan
atau institusi, maka perlu untuk dipertimbangkan institusi dan individu
polisi secara khusus di mata masyarakat.
Misalnya dalam berbagai kondisi tertentu, keputusan atau
diskresi polisi dalam menggunakan senjata dengan melakukan
penembakan untuk menghalauatau menertibkan para demonstran, atau
berbagai aksi kelompok masyarakat dalam menuntut berbagai hak-hak
mereka, sudah tentu harus dipertimbangkan dengan matang, karena hal
ini memiliki dampak yang sangat luas terhadap institusi kepolisian itu
sendiri sebab hal ini bisa memunculkan isu yang kembali digunakan
oleh berbagai pihak untuk menyerang institusi kepolisian karena
tindakan diskresi tersebut dianggap melanggar hak-hak asasi manusia.
Diskresi polisi dalam penggunaan senjata dibatasi sekalipun dalam hal
menanggulangi kejahatan tindak pidana. Senjata dapat dilakukan
apabila pelaku kejahtan tersebut dianggap dapat membahayakan
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 61
69
masyarakat. Oleh karena itu kontrol terhadap penggunaan diskresi
penting untuk dilakukan agar penggunaan diskresi dapat berjalan
dengan baik dan diprediksi tidak akan menimbulkan masalah baru.
3) Asas Manfaat dan Tujuan.
Tindakan diskresi terhadap subjek tertentu (pelaku tindak
pidana) tentunya dapat diperhitungkan nilai manfaat dan tujuan dari
penggunaan diskresi tersebut yaitu berdasarkan tujuan diterapkannya
hukum pidana atau sesuai dengan tujuan pemidanaan. Menurut
Mardjono Reksodiputro (1994: 84-85), tujuan kebijakan pidana adalah:
a. Mencegah individu dan masyarakat menjadi korban.
b. Mencegah yang sedang ataupun telah selesai menjalani pidana tidak
mengulangi lagi perbuatan mereka dan apabila si pelaku tindak
pidana kembali telah kembali berintigrasi dengan masyarakat serta
hidup sebagai warga negara yang taat pada hukum.
c. Melindungi orang yang tidak bersalah dan menghukum perbuatan
yang melawan hukum.
Apabila pemidanaan ditinjau dari segi orientasinya, dikenal
adanya 2 macam teori pemidanaan, yaitu :
1. Teori Absolut (pembalasan), yaitu teori yang berorientasi ke
belakang berupa pembalasan yang setimpal atas perbuatan yang
dilakukan.
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 62
70
2. Teori Relatif (tujuan), yaitu teori yang berorientasi ke depan berupa
penyembuhan luka, baik luka individual maupun luka sosial
(Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998: 60).
Di dalam masyarakat modern, tampaknya ada kecenderungan
untuk mengarah pada teori gabungan. Hal ini juga terjadi di Indonesia,
yang perwujudannya tampak pada Ketentuan Pasal 50 Konsep Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Baru Tahun 2000, yang
menyebutkan Pemidanaan bertujuan:
a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma
hukum demi pengayoman masyarakat.
b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan
sehingga menjadi orang yang baik dan berguna.
c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat, dan
d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Berkaitan dengan tujuan pemidanaan dalam Konsep KUHP
tersebut, Sudarto (1984: 4) mengemukakan dalam tujuan pertama
tersimpul perlindungan masyarakat (social defience), sedang dalam
tujuan kedua dikandung maksud rehabilitasi dan resosialisasi terpidana.
Tujuan ketiga sesuai dengan pandangan hukum adat mengenai “adat
reactie”,sedangkan tujuan keempat bersifat spiritual yang sesuai dengan
sila pertama Pancasila.
Dalam beberapaa kasus misalnya, terkait dengan kejahatan yang
dilakukan anak-anak di bawah umur, atau oleh seorang nenek yang
mengambil beberapa buah kakao, atau bahkan oleh seorang anak yang
dituduh mencuri sendal jepit seorang polisi. Kita semua sepakat bahwa
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 63
71
pelakunya tetap harus diproses sesuai dengan hukum yang berlaku,
sesuai dengan asas equality before the law. Namun jika melihat pada
kerangka perlindungan anak, maupun kondisi seorang nenek, maupun
anak yang melakukan pencurian sandal jepit tersebut tentunya tidak
bijaksana apabila perlakuan pada anak dibawah umur sama dengan
perlakuan terhadap orang dewasa karena secara fisik dan psikis, kondisi
anak-anak masih labil dibandingkan orang dewasa. Atau perlakuan
terhadap seorang nenek yang mengambil beberapa buah kakao dan
seorang nenek yang mencuri dua buah semangka hanya karena kondisi
tertentu harus disamakan seperti seseorang yang dituduh atau didakwa
melakukan tindak pidana korupsi (koruptor) atau tindak pidana berat
lainnya. Di sinilah pentingnya diskresi kepolisian diterapkan.
Dengan demikian penggunaan diskresi oleh polisi dalam
konteks penegakan hukum pidana harus sejalan dengan tujuan
pemidanaan itu sendiri. Sebab apa yang dimaksud dengan diskresi,
Roeslan Saleh (1988: 155) memberikan pengertian sebagai
kemungkinan menentukan sendiri keputusan yang diambil dari
beberapa kemungkinan sebagai alternatif.
Dalam proses penegakan hukum, diskresi semakin jelas hak-hak
penegak hukum dengan menjadikannya pencari keadilan sebagai obyek.
Hubungan antara penegak hukum dan pencari keadilan, diskresi
ternyata memang banyak menimbulkan masalah. Jika aparat penegak
hukum dengan bebas menetapkan keputusan sebagai kewenangan
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017
Page 64
72
diskresinya atas dasar keinginan atau kepentingannya sendiri tentang
hal-hal yang akan dilakukan atau tidak akan dilakukan, maka sangat
mungkin tindakannya akan merugikan kepentingan masyarakat umum.
Keadaan yang demikian akan lebih meresahkan masyarakat atau
pencari keadilan, manakala aparat penegak hukum menerapkan diskresi
dengan kekuatan dan kekuasaan, seperti menahan seseorang atau
menjatuhkan pidana penjara dengan bukti yang kurang, tetapi dipaksa-
paksakan alasan hukumnya. Tindakan semacam ini tentu jauh dari
tujuan pemidanaan sebagaimana digariskan dalam Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP).
4) Asas Seimbang.
Muatan diskresi adalah hasil pertimbangan yang dikaji secara
keseluruhan termasuk berat ringannya kesalahan yang dilakukan oleh
pelaku tindak pidana dan tidak diskriminatif antara pelaku dan korban.
Selanjutnya asas keseimbangan ini dapat berarti pengendalian terhadap
kewenangan penggunaan diskresi oleh Polisi baik pengendalian bersifat
internal (di dalam tubuh institusi tersebut) maupun pengendalian secara
eksternal (di luar tubuh institusi) atau pengendalian formal (istitusi yang
berwenang) maupun informal (masyarakat secara umum) (Abbas Said,
2012: 160-165).
Penyelesaian Perkara Pidana…, Devi Mayasari, Fakultas Hukum UMP, 2017