19 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kualitas Teamwork Teamwork yang berkualitas mendapatkan perhatian dari para pemimpin bisnis setelah adanya kompetisi global, perubahan lingkungan kerja, pengaruh teknologi dan faktor-faktor lain di Amerika. Hal ini semakin mendorong organisasi untuk memaksimalkan kerja tim untuk mencapai efektivitas pembiayaan, kualitas produk dan pelayanan. Tim sendiri didefinisikan sebagai sebuah sistem sosial yang terdiri dari tiga orang atau lebih yang melekat dalam sebuah organisasi di mana para anggotanya merasa menjadi bagian satu dengan yang lain dan berkolaborasi untuk mencapai sebuah tujuan (Hoegl & Geumenden, 2005). Tim berbeda dengan kelompok karena sebuah tim mempunyai struktur, tujuan dan ketergantungan antar anggota (Forsyth, 2006). Sebuah tim akan berfokus dalam mencapai tujuan dan tetap mementingkan relasi antar anggotanya. Interaksi di antara para anggota dalam tim dibangun melalui hubungan komunikasi dan koordinasi (Hu, Horng, & Sun, 2009). Selanjutnya pada akhir abad kedua puluh, konsep Kualitas Teamwork telah dikukuhkan menjadi suatu aspek yang kritikal dalam pembentukan strategi bisnis (Robbins, 2009). 1. Definisi Kualitas Teamwork Glenn M Parker dalam bukunya Team Players and Teamwork (2007) menjelaskan bahwa Kualitas Teamwork telah menjadi sebuah konsep yang semakin dipertimbangkan dalam penyusunan strategi bisnis. Hal ini dikarenakan Teamwork dianggap dapat menghasilkan keuntungan bagi
33
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kualitas Teamworkeprints.mercubuana-yogya.ac.id/4633/3/BAB II.pdf19 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kualitas Teamwork Teamwork yang berkualitas mendapatkan perhatian
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kualitas Teamwork
Teamwork yang berkualitas mendapatkan perhatian dari para pemimpin
bisnis setelah adanya kompetisi global, perubahan lingkungan kerja, pengaruh
teknologi dan faktor-faktor lain di Amerika. Hal ini semakin mendorong organisasi
untuk memaksimalkan kerja tim untuk mencapai efektivitas pembiayaan, kualitas
produk dan pelayanan. Tim sendiri didefinisikan sebagai sebuah sistem sosial
yang terdiri dari tiga orang atau lebih yang melekat dalam sebuah organisasi di
mana para anggotanya merasa menjadi bagian satu dengan yang lain dan
berkolaborasi untuk mencapai sebuah tujuan (Hoegl & Geumenden, 2005). Tim
berbeda dengan kelompok karena sebuah tim mempunyai struktur, tujuan dan
ketergantungan antar anggota (Forsyth, 2006). Sebuah tim akan berfokus dalam
mencapai tujuan dan tetap mementingkan relasi antar anggotanya. Interaksi di
antara para anggota dalam tim dibangun melalui hubungan komunikasi dan
koordinasi (Hu, Horng, & Sun, 2009). Selanjutnya pada akhir abad kedua puluh,
konsep Kualitas Teamwork telah dikukuhkan menjadi suatu aspek yang kritikal
dalam pembentukan strategi bisnis (Robbins, 2009).
1. Definisi Kualitas Teamwork
Glenn M Parker dalam bukunya Team Players and Teamwork (2007)
menjelaskan bahwa Kualitas Teamwork telah menjadi sebuah konsep yang
semakin dipertimbangkan dalam penyusunan strategi bisnis. Hal ini
dikarenakan Teamwork dianggap dapat menghasilkan keuntungan bagi
20
organisasi dan individu berupa pelayanan yang lebih baik bagi konsumen,
kepuasan kerja karyawan meningkat, kualitas produk dan layanan meningkat,
biaya pembuatan produk menurun, meningkatnya kemauan belajar organisasi,
serta kreativitas dan inovasi lebih berkembang.
Penelitian-penelitian juga menunjukan bahwa implementasi dari kualitas
Teamwork yang efektif dalam sebuah organisasi dapat meningkatkan motivasi
kerja dan meningkatkan kepuasan kerja (Griffin, Patterson, & West, 2001).
Selain itu, dengan adanya Teamwork yang berkualitas dapat dihasilkan kinerja
yang lebih baik bagi organisasi, diantaranya adalah peningkatan produktivitas
di tempat kerja, perbaikan kualitas pelayanan, meningkatnya kepuasan
karyawan terhadap pekerjaan, rendahnya absensi dan mengurangi rata-rata
karyawan yang keluar dari perusahaan (Sheng, Tian, & Chen, 2010). Hal ini
memperkuat pendapat DeGrosky (2006) yang menyatakan bahwa Kualitas
Teamwork yang baik dalam organisasi dapat meningkatkan partisipasi dan
yang diajukan oleh pengembangnya, Cooperrinder dan Srivastva (1987)
adalah sebagai berikut:
…is a worldview, a paradigm of thought and understanding
that holds organizations to be affirmative systems created by
humankind as solutions to problems. It is a theory, a mindset, and
an approach that leads to organizational learning and creativity’.
c. Definisi Metode Appreciative Inquiry
Metode Appreciative Inquiry adalah cara menjadi sesuatu dan melihat
sesuatu atau berupa worldview dan processview dalam memudahkan
terjadinya perubahan positif dalam human systems, misalnya organisasi,
kelompok, dan komunitas. Appreciative Inquiry merupakan sebuah
pendekatan sosial konstruksionis terhadap perubahan dan pengembangan
organisasi (der Haar & Hosking, 2004). Appreciative Inquiry dapat disebut
sebagai suatu metode riset aksi (action research) dan sekaligus teori
tentang bagaimana realitas organisasi terbentuk dan berkembang
(Thatchenkery, 1999). Sebuah metode yang mentransformasikan
kapasitas sistem manusia untuk perubahan yang positif dengan
memfokuskan pada pengalaman positif dan masa depan yang penuh
dengan harapan (Cooperrider & Srivastva, 1987).
Appreciative Inquiry adalah metode intervensi yang mencoba
membantu individu, kelompok, organisasi, dan masyarakat menciptakan
gambar generatif yang menarik dan baru untuk mereka sendiri
berdasarkan pemahaman alternatif atas operasi masa lalu dan masa kini
40
(Bushe, 1998). Memulainya dengan mengidentifikasi hal-hal inti yang
positif ini dan menghubungkan dengan cara-cara yang bisa mempertinggi
energy, mempertajam visi, dan menginspirasi tindakan untuk mengubah
sesuatu menjadi lebih baik.
Langkah dasar Appreciative Inquiry adalah siklus 5-D yaitu Definition,
Discovery, Dream, Design dan Destiny (Cooperrider & Whitney, 2001)
Kelima langkah tersebut lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar dibawah
ini:
Gambar 1. Siklus 5D dalam Appreciative Inquiry
1) Definition. Langkah awal Appreciative Inquiry adalah memilih sebuah
topik yang akan dieksplorasi (Affirmative Topic Choice). Topik ini
menjadi arah perubahan sekaligus kenyataan akhir yang akan terwujud.
tujuan dari pemilihan topik yang afirmatif adalah agar proses
transformasi organisasi, baik itu meliputi budaya organisasi, maupun
hubungan interpersonal dalam organisasi dapat fokus, topik afirmatif
yang dimaksud adalah akan menjadi seperti apa budaya organisasi,
hubungan interpersonal dalam sebuah organisasi pada saat yang akan
41
datang. Topik affirmatif memang menjadi fokus perubahan dalam
sebuah organisasi, akan tetapi terdapat dua hal yang perlu diperhatikan
sebelum menentukan topik yang affirmatif, yaitu :
1) Siapa yang akan menentukan atau memilih topiknya ? eksekutifkah ?
kelompok inti saja ? atau bahkan seluruh organisasi ?
2) Topik apa yang akan kita pelajari ? apa yang ingin kita lihat lebih
pada organisasi kita ? (Whitney & Blomm, 2007).
Topik yang akan dipilih hendaknya terfokus pada apa yang anggota
organisasi ingin lihat tumbuh dan berkembang dari organisasinya
(Whitney & Blomm, 2007). Ketika kita berbicara mengenai apa yang
ingin kita lihat pada masa yang akan datang, apalagi yang terkait
dengan organisasinya, para anggota selalu memunculkan
pernyataan-pernyataan yang bersifat provokatif, yang menggugah
semangat. Melihat betapa pentingnya penentuan topik afirmatif ini,
menurut Whitney dan Blomm (2007) terdapat empat karakteristik
dalam sebuah topik, agar menjadi topik yang hebat.
1) Topik adalah positif. Dinyatakan dalam bentuk yang afirmatif.
2) Topik sangat diinginkan. Organisasi ingin tumbuh, berkembang
dan meningkat.
3) Topik merangsang belajar. Organisasi sesungguhnya sangat
tertarik tentang dirinya sendiri, dan selalu ingin menjadi lebih
berilmu pengetahuan dan cakap dalam bidangnya.
4) Topik harus merangsang percakapan tentang keinginan-keinginan
atau hasrat pada masa yang akan datang. Topik akan membawa
42
kemana organisasi ingin pergi, dan menghubungkan dengan
agenda perubahan organisasi.
Setelah menentukan topik atau fokus dari agenda perubahan
sebuah organisasi atau komunitas, maka langkah selanjutnya adalah
memasuki siklus 4-D dari Appreciative Inquiry, D yang pertama
adalah discovery.
2) Discovery. Tujuan utamanya adalah mengungkap dan mengapresiasikan
sesuatu yang memberi kehidupan dan energi kepada orang, pekerjaan
dan organisasinya. Fokus tahapan ini adalah pada cerita positif yang
merefleksikan pengalaman puncak baik pada level individu maupun level
organisasi. Pada tahap ini, peserta berbagi cerita positif, mendiskusikan
kondisi positif organisasi dan mengkaji aspek dalan sejarah mereka
yang paling berharga dan ingin dikembangkan di masa depan.
3) Dream. Tujuannya adalah bermimpi (dream) atau berimajinasi
(envision) bagaimana idealnya organisasi di masa depan. Setelah
melakukan eksplorasi tentang kekuatan, pengalaman-pengalaman
terbaik maka tahap D yang selanjutnya adalah membayangkan masa
yang akan datang atau biasa disebut dengan Dream. Tahapan dream
adalah mengajak organisasi atau masyarakat untuk memperkuat apa
yang menjadi inti kekuatan (positive core) dengan membayangkan
kemungkinan yang terjadi pada masa yang akan datang yang telah
dibangkitkan pada tahapan Discovery (Cooperrider & Whitney, 2005).
Sebagaimana dalam prinsip antisipatory, bahwa sistem manusia bisa
digambarkan seperti tumbuhan. Secara instingtif mereka akan tumbuh
43
menuju apa yang disebut dengan ”cahaya”, dimana hal tersebut
merupakan gambaran kolektif mereka tentang masa depan (Whitney &
Blomm, 2007). Informasi pada tahap sebelumnya dijadikan pijakan
untuk berspekulasi mengenai kemungkinan masa depan organisasi.
4) Design. Tujuannya adalah menciptakan atau mendesain struktur
organisasi, proses dan hubungan yang mendukung mimpi yang telah
diartikulasikan pada tahap sebelumnya. Aktivitas utamanya adalah
menciptakan proposisi yang provokatif (provocative propositions) secara
kolaboratif. Proposisi yang provokatif dapat dipandang sebagai mimpi
yang realistis yang memberdayakan sebuah organisasi mencapai
sesuatu yang lebih baik. Beberapa yang menjadi kunci penting dan perlu
diperhatikan dalam fase ini menurut Whitney dan Blomm (2007),
adalah:
1) Apa yang akan kita disain ?
2) Siapa saja yang terkait di dalamnya ?
3) Bagaimana kita menjelaskan organisasi yang ideal bagi kita ?
Ketiga konsep yang patut diperhatikan dalam fase ini, memang terkesan
sederhana yaitu hanya meliputi apa, siapa dan bagaimana kita
mendesain, akan tetapi menentukan ketiganya menjadi keputusan yang
penting dalam fase Design tersebut (Whitney & Blomm, 2003).
5) Destiny. Tujuannya adalah menguatkan kapasitas dukungan terhadap
keseluruhan organisasi untuk membangun harapan, dan menciptakan
proses belajar, menyesuaikan dan berimprovisasi. Tahapan ini
memberdayakan setiap anggota untuk melakukan tindakan-tindakan
44
yang dapat dilakukan untuk mencapai mimpi atau visi masa depan
organisasi.
d. Sesi-sesi Pelatihan Affect based Trust dengan Metode
Appreciative Inquiry
Sesi pelatihan pada Pelatihan Affect Based Trust dengan metode
Appreciative Inquiry ini terbagi dua tahapan yaitu
1. Tahap Pra pelatihan
Pada tahap ini berisi Definition yaitu tahapan dimana memilih
sebuah topik yang akan dieksplorasi (affirmative topic choice). Topik ini
menjadi arah perubahan sekaligus kenyataan akhir yang akan terwujud.
Pemilihan topik sudah dibahas oleh tim rapat bulanan dalam pertemuan
pada bulan Maret 2018 dengan Kabag. Tata Usaha, Kasubag. SDM,
Kasubag. Keuangan dan kasubag. Umum serta beberapa perwakilan dari
staf yang mewakili dari golongan pangkat dan masa usia kerja lebih
kurang ada 5 orang. Pembentukan tim ini sesuai penjelasan The Power
of Appreciative Inquiry (Whitney & Bloom, 2007). Berdasarkan hasil
laporan PKPP dan pendalaman permasalahan yang terjadi maka
dikemudian hari bila ada pelatihan maka tema-tema tentang
kepercayaan dan peningkatan Kualitas Teamwork menjadi perhatian
utama.
45
2. Tahap pelatihan Affect Based Trust dengan Metode
Appreciative Inquiry
a. Tahap I , Tahap Discovery
Peserta pelatihan melakukan Pada akhir sesi ini peserta akan
menemukan pengalaman berharga tentang kepedulian dan perhatian
dari rekan sekerja yang ditulis dalam lembar kerja individu.
b. Tahap II, Tahap Dream
Peserta pelatihan ada akhir sesi ini peserta berkolaborasi dengan
rekan kelompoknya untuk memilih dan memilah mana perilaku yang
termasuk perhatian dan peduli yang paling berkesan dari semua
anggota kelompok sehingga tertuang dalam laporan kertas kerja
kelompok.
c. Tahap III, Tahap Design
Peserta pelatihan pada akhir sesi ini peserta akan menciptakan
desain proses dan hubungan atau program kerja yang dapat
dilakukan untuk menunjukkan rasa peduli dan perhatian terhadap
rekan kerja yang dapat dilakukan sehari-hari ditempat kerja.
d. Sesi IV, Tahap Destiny
Pada akhir sesi ini peserta memutuskan memantapkan diri untuk
melakukan apa yang sudah dibuat bersama kelompok dan ditandai
dengan penandatanganan poster komitmen bersama.
46
C. Pengaruh Pelatihan Affect Based Trust terhadap rekan kerja dengan
metode Appreciative Inquiry terhadap Kualitas Teamwork
Menurut Grifin, dkk (2001) faktor pertama yang mempengaruhi kualitas
teamwork adalah Trust terhadap rekan kerja. Hal ini sesuai dengan penelitian
Lencioni (2006) yang mengatakan bahawa salah satu tidak berfungsinya
teamwork adalah ketiadaan Trust. Trust begitu penting dalam teamwork bisa
dijelaskan dari penelitian Jassawalla dan Sashittal (1998) yang mengatakan
bahwa Trust bertindak atau memicu sebagai kohesif yang kuat, meningkatkan
kolaborasi lintas fungsi dalam Tim. Dalam hal ini, hubungan antara sesama
anggota organisasi merupakan hal penting dalam sebuah kelompok kerja, karena
kualitas hubungan di antara anggota kelompok dapat mempengaruhi kinerja
(Cummings & Worley, 2009). Selain itu Trust adalah mekanisme yang penting
dalam tim kerja, karena ini mempengaruhi berbagi informasi, memberi umpan
balik subtansi dan mengatur waktu dengan benar (bandow, 2001).
Bukti lain dari pentingnya Trust terhadap kualitas teamwork adalah hasil
penelitian Costa (2003) yang menyatakan bahwa Trust terhadap rekan kerja
merupakan faktor yang sangat penting dalam hubungan interpersonal dan
interaksi kelompok di tempat kerja. Hubungan interpersonal dan dinamika
kelompok lebih ditekankan di tempat kerja di mana Trust merupakan sebuah
elemen yang sangat penting dan mendasar, jika tidak ada Trust terhadap rekan
kerja maka tidak akan ada anggota kelompok yang memulai untuk berkolaborasi
dan bekerja sama untuk meningkatkan kualitas Teamwork (Costa, 2003). Scott
(2000) menyatakan bahwa dengan Trust para anggota team mampu
47
mempererat hubungan yang sudah terjalin. Selain itu, Trust juga meningkatkan
rasa memiliki, menimbulkan rasa nyaman untuk terbuka, meningkatkan
komitmen untuk mencapai tujuan, mengambil resiko dan saling memberikan
dukungan (Reina & Reina, 2006). Trust terhadap rekan kerja yang tinggi di
antara anggota tim memberikan sebuah atmosfer keamanan psikologis bagi
anggota tim di mana anggota tim dapat menerima kritik dengan lebih mudah,
mendiskusikan kesalahan-kesalahan dan mengekspresikan pemikiran mereka
secara bebas sehingga meningkatkan sinergi (Erdem & Ozen, 2003).
Kepercayaan terhadap rekan kerja juga dapat mengurangi perasaan negatif
karena hal ini merupakan sumber daya untuk manajemen risiko, mengurangi
kompleksitas dan memberikan penjelasan terhadap hal-hal yang tidak familiar
melalui penjelasan orang lain (Bouckenooghe, 2008). Trust cenderung
memfasilitasi kinerja dengan mendorong anggota tim untuk terlibat dalam proses
tim dengan cara yang lebih terbuka dan kooperatif (Breuer, Hüffmeier & Hertel,
2016). Akhirnya bisa disimpulkan bahwa Kondisi trust pada suatu team juga akan
mempengaruhi performa perusahaan secara keseluruhan (Bloomgarden, 2007).
Setelah memahami pentingnya Trust sebagai faktor utama yang
mempengaruhi kualitas Teamwork (Grifin, dkk 2001). berbagai ahli mencoba
menjelaskan apa itu Trust, namun yang menjadi pokok teori yang digunakan
penelitian ini adalah penjelasan Trust dari McAllister (1995) yang mengatakan
bahwa kepercayaan (baik dimensi Affect Based Trust & Kognitif Based Trust)
mempengaruhi kualitas Teamwork. Individu yang memiliki level Affect Based-
Trust yang tinggi akan mengembangkan hubungan yang kuat berdasarkan
personal value dan ikatan emosional dengan pihak yang dipercaya, sedangkan
48
individu yang menggunakan pendekatan Cognition Based Trust cenderung lebih
menggunakan evaluasi yang objektif, rasional dan metodis dalam memilih
individu yang dipercayainya (McAllister, 1995).
Pendekatan Trust berbasis dua dimensi (McAllister, 1995) yaitu Affect Based
Trust dan Cognitf Based Trust menarik dipelajari karena menurut McAllister
(1995) Trust terhadap rekan kerja merupakan kombinasi keduanya (Affect Based
Trust dan Cognitif Based Trust). Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang
dilakukan oleh Wicaksono (2012) bahwa Affect Based Trust berpengaruh
terhadap Teamwork daripada Cognitif Based Trust. Hal ini selaras dengan hasil
penelitian Zhou dan Shalley (2011) yang mengatakan bahwa Kepercayaan
berdasarkan Affect Based Trust yang memotivasi perilaku kooperatif di antara
anggota tim. Hasil Penelitian McAllister (1995) mengatakan bahwa Affect Based
Trust dalam suatu tim adalah pemicu potensial untuk motivasi prososial karena
Affect Based Trust pemicu awal motivasi interaksi kerja sama dalam tim.
Ketika ada tingkat Affect Based Trust yang lebih tinggi dalam suatu tim,
ikatan emosional dapat mengarahkan perhatian anggota tim dari kepentingan
pribadi. Dengan demikian mereka lebih termotivasi untuk mencari preferensi atau
perspektif dari anggota sejawat mereka, dan untuk membagikan informasi yang
tidak biasa atau unik (McAllister, 1995) Semakin tinggi tingkat Affect Based Trust
dalam suatu tim, semakin banyak anggota yang bersedia untuk berkontribusi
sumber daya untuk saling menguntungkan dan untuk mencapai tujuan tim (Ng &
Chua, 2006). Selain itu Menurut Webber (2008) Affect Based Trust lebih tahan
lama dan dapat membuat Trust yang lebih kuat dalam hubungan interpersonal
dan tim. Berdasarkan penelitian Williams (2001) menyebutkan bahwa Komponen
49
Affect Based Trust telah diperdebatkan menjadi sangat penting untuk kerjasama
dan komunikasi dalam tim. Jadi bisa disimpulkan bahwa Affect Based Trust lebih
mempengaruhi teamwork daripada Cognitif Based trust (Nistitiono, 2012). Affect
Based Trust ini lebih menekankan kepada kepedulian dan perhatian dalam
menjalin hubungan dengan rekan kerja (McAllister, 1995).
Berdasarkan penelitian yang dikemukakan oleh Costigan, Ilter dan Berman
(1998) yang menyatakan bahwa terdapat 3 cara yang dapat digunakan untuk
meningkatkan Trust terhadap rekan kerja khususnya di dalam hubungan
interpersonal, yakni melalui program Team Building, Survival Training dan
program-program yang bertujuan untuk meningkatkan hubungan interpersonal.
Menurut Whitney dan Bloom (2003) meningkatkan hubungan interpersonal
adalah agenda perubahan yang sesuai dilakukan dengan metode Appreciative
Inquiry. Berdasarkan penelitian Guevara (2016) bahwa melalui Appreciative
Inquiry, karyawan termotivasi untuk mengenali kekuatan kolektif dan
berkolaborasi dengan orang lain (tim) untuk menggerakkan organisasi menuju
visi bersama masa depan. Hal ini selaras dengan penelitian Clarke, dkk (2012)
menemukan bahwa Trust sebagai komponen kunci untuk keberhasilan tim dan
hal ini dapat ditingkatkan dengan metode Appreciative Inquiry.
Salah satu asumsi penggunaan metode appreciative inquiry menurut Lorne
(2005) pasti ada hal baik yang sedang terjadi di dalam setiap masyarakat, organ-
isasi atau kelompok yang dapat menjadi dasar perubahan. bila dihubungkan
dengan budaya secara umum bahwa budaya nasional mempengaruhi proses
pengembangan kepercayaan individu dan organisasi (Doney, dalam Kim,2005).
Menurut penelitian Hofstede (2005) budaya Indonesia lebih dominan
50
menunjukkan ssebagai masyarakat kolektivis daripada individualis. Dimana
Tingkat kolektivisme yang tinggi akan mendorong komunikasi, kerja sama, dan
keharmonisan yang lebih besar di dalam masyarakat. Anggota budaya kolektivis
cenderung berbagi pendapat dan keyakinan yang sama, bekerja menuju
perasaan interdependensi yang harmonis (Griffith et al. 2000). Maka berdasarkan
budaya tersebut dan hubungannya dengan dua dimensi Trust dari McAllister
penelitian Kim (2005) menyatakan bahwa dalam membentuk hubungan
kepercayaan dimensi Affect based Trust lebih dominan untuk budaya
kolektivisme sedangkan dimensi Cognitif Based Trust lebih dominan untuk
budaya individualis. Berdasarkan penelitian tersebut bahwa pemilihan dimensi
Affect Based Trust untuk meningkatkan kualitas Teamwork dengan Metode
Appreciative inquiry di Bagian Tata Usaha sudah tepat.
D. Hipotesis Penelitian
Dari pertanyaan penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka
hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Ha1: Ada peningkatan Kualitas Teamwork pada kelompok Eksperimen
sebelum dan setelah diberi pelatihan Affect Based Trust terhadap rekan
kerja dengan metode Appreciative Inquiry lebih tinggi daripada Peningkatan
kelompok kontrol sebelum dan sesudah pelatihan berakhir.
2. Ha2: Kualitas Teamwork Post-test pada kelompok Eksperimen setelah diberi
pelatihan Affect Based Trust terhadap rekan kerja dengan metode
Appreciative Inquiry lebih tinggi daripada Post-tes Kelompok Kontrol
51
E. Kerangka Berfikir Penelitian
Gambar 2. Kerangka Berfikir Penelitian
Pelatihan
Affect Based
Trust dengan
metode
Appreciative
Inquiry
Kualitas Teamwork Sedang dan tinggi 1. Komunikasi menjadi baik 2. Koordinasi berjalan dengan baik 3. Keseimbangan distribusi pekerjaan berjalan 4. Dukungan sesama pegawai ada 5.Usaha bersama ada 6. Cukup/sangat Kohesiv
Kualitas Teamwork Sedang dan Rendah 1. Komunikasi yang jelek antar staf 2. Koordinasi tidak berjalan dengan baik 3. Keseimbangan distribusi pekerjaan kurang berjalan 4. Dukungan sesama pegawai tidak ada 5.Usaha bersama tidak ada 6. Kurang Kohesiv