BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Waris Indonesia Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya. Pada asasnya hanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan atau harta benda saja yang dapat diwarisi. 1 Di Indonesia ada tiga jenis hukum waris yang berlaku, yaitu hukum waris adat, hukum waris perdata/barat, dan hukum waris Islam. Warha negara Indonesia wajib memilih salah satu hukum waris yang akan digunakan. Ketiga hukum waris tersebut berbeda-beda dalam mengatur tentang warisan, berikut adalah penjelasannya: 1. Hukum waris adat Hukum waris adat adalah hukum waris yang diyakini dan dijalankan oleh bebrapa suku di Indonesia. Hukum waris adat juga adalah adanya hukum adat yang disana sini berbeda-beda, tergantung pada daerah masing-masing, yang berlaku bagi orang-orang yang tunduk pada hukum adat. Beberapa hukum waris adat aturannya tidak tertulis, namun sangat dipatuhi oleh masyarakat pada suku tertentu dalam suatu daerah, dan bila ada yang melanggarnya akan diberikan sanksi. Jenis hukum ini 1 Perangin, Efendi, Hukum Waris, Rajawali pers, Jakarta, 2011, cet.10, hlm. 3
12
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Waris Indonesia...BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Waris Indonesia Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hukum Waris Indonesia
Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang
ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya. Pada
asasnya hanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan atau
harta benda saja yang dapat diwarisi.1
Di Indonesia ada tiga jenis hukum waris yang berlaku, yaitu hukum waris adat,
hukum waris perdata/barat, dan hukum waris Islam. Warha negara Indonesia wajib
memilih salah satu hukum waris yang akan digunakan. Ketiga hukum waris tersebut
berbeda-beda dalam mengatur tentang warisan, berikut adalah penjelasannya:
1. Hukum waris adat
Hukum waris adat adalah hukum waris yang diyakini dan dijalankan oleh
bebrapa suku di Indonesia. Hukum waris adat juga adalah adanya hukum adat yang
disana sini berbeda-beda, tergantung pada daerah masing-masing, yang berlaku bagi
orang-orang yang tunduk pada hukum adat. Beberapa hukum waris adat aturannya
tidak tertulis, namun sangat dipatuhi oleh masyarakat pada suku tertentu dalam suatu
daerah, dan bila ada yang melanggarnya akan diberikan sanksi. Jenis hukum ini
1 Perangin, Efendi, Hukum Waris, Rajawali pers, Jakarta, 2011, cet.10, hlm. 3
banyak dipengaruhi oleh hubungan kekerabatan serta stuktur kemasyarakatannya.
Selain itu jenis pewarisannya pun juga beragam, antara lain:
1. Sistem Keturunan, pada ystem ini dibedakan menjadi tiga macam yaitu garis
keturunan bapak, garis keturunan ibu, serta garis keturunan keduanya
2. Sistem Individual merupakan jenis pembagian warisan berdasarkan bagiannya
masing-masing, umumnya banyak diterapkan pada masyarakat suku Jawa.
3. Sistem Kolektif Merupakan system pembagian warisan dimana kepemilikannya
masing-masing ahli waris memiliki hak untuk mendapatkan warisan atau tidak
menerima warisan. Umumnya bentuk warisan yang digunakan dengan jenis ini
adalah barang pusaka pada masyarakat tertentu.
4. Sistem Mayorat merupakan system pembagian warisan yang diberikan kepada
anak tertua yang bertugas memimpin keluarga. Contohnya pada masyarakat
lampung dan Bali.
2. Hukum waris Perdata/Barat
Hukum waris perdata adalah hukum waris yang umum di Indonesia dan
beberapa aturannya mirip dengan budaya barat. Warisan dapat diberikan kepada ahli
waris yang terdapat surat wasiat atau keluarga yang memiliki hubungan keturunan
atau kekerabatan, seperti anak, orang tua, saudara, kakek, nenek hingga saudara dari
keturunan tersebut. Sistem atau prinsip yang digunakan dalam hukum bagi waris
jenis ini menggunakan system individual yang artinya setiap individu ahli waris
berhak mendapatkan harta warisan berdasarkan bagiannya masing-masing.
Sedangkan bila menggunakan surat wasiat maka orang yang berhak menjadi ahli
waris hanya yang ditentukan dan tercatat dalam surat wasiat tersebut.
3. Hukum waris Islam
Hukum Waris Islam hanya berlaku pada masyarakat yang memeluk agama
Islam, dimana sistem pembagian warisannya menggunakan prinsip individual
bilateral. Jadi dapat dikatakan ahli waris harus berasal dari garis ayah atau ibu.
3 (tiga) sistem pewarisan, yaitu hukum waris adat, hukum waris
perdata/barat, dan hukum waris Islam. Ketiga hukum waris tersebut memiliki jika
harta atau aset yang diberikan orang yang memberikan sudah meninggal dunia, jika
orangnya masih hidup istilahnya disebut Hibah bukan warisan. Hal yang terpenting
juga adalah orang yang menjadi ahli waris harus yang memiliki hubungan keluarga
atau hubungan keturunan. Sebagai contoh paman, anak, cucu, dan lain sebagainya.
B. Pengertian Hukum Waris Islam
Hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak
pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, untuk menentukan siapa yang berhak
menajdi ahli waris dan berapa bagian masing-masing. Ilmu waris juga disebut ilmu
Faraid , pengertian ilmu faraid menurut as-Syarbini yaitu ilmu yang berhubungan
dengan pembagian harta warisan, pengetahuan tentang cara menghitung yang dapat
menghasilkan pembagian harta, dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib
dari harta peninggalan untuk setiap orang yang berhak menerimanya.2
C. Pengertian Ilmu Faraid
2 Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Rajawali, Jakarta, 2014, cet.1, hlm.1
Hukum waris dalam ajaran Islam disebut dengan istilah Faraid. Kata faraid adalah
bentuk jamak dari faridah yang berasal dari kata fardu yang berarti ketepatan, pemberian
(sedekah). Fardu dalam Alqur’an mengandung beberapa pengertian yaitu ketepatan dan
kewajiban. Adapun tujuan mempelajari ilmu Faraid atau hukum waris Islam ialah agar kita
dapat menyelesaikan masalah harta peninggalan sesuai dengan ketentuan agama, jangan
sampai ada yang dirugikan dan termakan bagiannya oleh ahli waris yang lain. Disamping
itu, apabila hukum waris Islam dipelajari dengan benar, akan bermanfaat baik bagi dirinya
maupun masyarakat, yang jelas akan dapat dimanfaatkan dalam kasus penyelesaian
pembagaian harta waris di lingkungan keluarga, lebih lanjut dapat membantu kasus
pembagian waris di masyarakat. Tidak jarang terjadi masalah kelurga karena persoalan
membagi waris, karena salah satu dari keluarga itu tidak mengerti tentang pembagian waris
dalam agama, sehingga kadangkala sampai terangkat ke sidang pengadilan. Oleh karena
itu, jika di antara anggota keluarga ada yang memahami tentang hukum waris Islam, kasus-
kasus tersebut kiranya tidak sampai terangkat ke pengadilan. Dengan demikian tepatlah
bila para ulama berpendapat bahwa mempelajari hukum waris adalah fardhu kifayah. 3
a. Tujuan Hukum Waris Islam
Tujuan hukum Islam adalah kebahagiaan hidup manusia di dunia danmakhirat
kelak dengan jalan mengambil segala yang bermanfaat dan mencegah atau menolak
yang mudarat yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan. Dengan kata
lain, tujuan hukum Islam adalah kemashalatan hidup manusia baik rohani, maupun
jasmani individual dan sosial. Kebahagiaan hidup itu tidak hanya untuk kehidupan
3 Moh. Muhibbin, dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia,
Sinar Grafika, Jakarta, 2009, cet.1, hlm. 9
didunia ini saja tetapi juga untuk kehidupan yang kekal diakhirat kelak.
(Simatupang, 2015)
b. Ciri-ciri Hukum Waris Islam
Hukum islam mempunyai ciri-ciri yang dapat membedakannya dengan system
hukum yang lain. Adapun ciri-cirinya antara lain yaitu sebagai berikut:
1. Merupakan bagian dan bersumber dari agama islam
2. Mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan dari iman atau kaidah
dan kesusilaan atau akhlak islam
3. Mempunyai dua istilah kunci yaitu, Syariat dan Fikih. Syariat terdiri dari Wahyu
Allah dan Sunnah Nabi Muhammad. Fikih adalah pemahaman dan hasil
pemehaman manusia tentang Syariah.
4. Terdiri dari dua bidang utama yaitu, Ibadat dan Muamalat. Ibadat yaitu bersifat
tertutup karena telah sempurna. Muamalat adalah dalam arti luas bersifat terbuka
untuk dikembangkan oleh manusia yang memenuhi syarat dari masa ke masa.
5. Strukturnya berlapis yang terdiri atas, Nasa tau teks alqur’an, Sunnah Nabi
Muhammad (untuk syari’at), hasil ijtihad (doktrin) manusia yang memenuhi syarat
tentang alqur’an dan Sunnah, dan pelaksanaannya dalam praktik baik berupa
keputusan hakim maupun, berupa amalan-amalan umat Islam dalam masyarakat
(untuk fikih)
6. Mendahulukan kewajiban dari haka mal dari pahala.
7. Dapat dibagi menjadi, yang pertama hukum takifi atau hukum taklif yakni al-
ahkam, al-khamsah, yang terdiri dari lima kaidah jenis hukum, lima kategori
hukum, lima penggolongan hukum yang diantaranya yaitu jaiz, Sunnah, Makruh,
wajib, dan Haram. Kedua hukum Wadhi yang mengandung sebab, syarat,
halangan terjadi atau terwujudnya hubungan hukum.
8. Berwatak universal, berlaku abadi untuk umat islam dimanapun mereka berada
tidak terbatas pad umat islam pada suatu tempat atau Negara pada suatu masa saja.
9. Menghormati martabat manusia sebagai kesatuan jiwa dan raga, rohani dan
jasmani serta memelihara kemuliaan manusia dan kemanusiaan secara
keseluruhan.
10. Pelaksanaannya dalam praktek digerakkan oleh akhlak umut islam. (Simatupan,
n.d.)
c. Asas-asas Hukum Kewarisan Islam
Hukum kewarisan Islam mengadung berbagai asas yang memperlihatkan
bentuk karakteristik dari hukum kewarisan Islam itu sendiri. Asas-asas hukum
kewarisan Islam tersebut antara lain:
1. Asas Ijbari
Asas Ijbari memiliki arti yaitu peralihan harta dari seseorang yang telah
meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya meneurut
kehendak Allah tanpa tergantung kepada kehendak dari pewaris atau permintaan
dari ahli warisnya.
2. Asas bilateral
Asas bilateral memiliki arti yaitu harta warisan beralih kepada atau melalui dua
arah. Hal ini berarti bahwa setiap orang menerima hak kewarisan dari kedua belah
pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat
garis keturunan perempuan.
3. Asas Individual
Asas individual yaitu harta warisan dapat dibagi-bagi yang dimiliki secara
perorangan. Masing-masing ahli waris menerima bagiannya secara tersendiri,
tanpa terikat dengan ahli waris yang lain.
4. Asas Keadilan Berimbang
Asas Keadilan Berimbang yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban dan
keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunanaan. Besarnya
bagian laki-laki didasarkan pada kewajiban yang dibebankan kepada laiki-laki
(suami/ayah) yang harus membayar mahar (maskawin) dalam perkawinan,
membiayai nafkah kehidupan rumah tangga dan biaya pendidikan anak-anak
seperti diamanatkan AL-Qur’an. Sedangkan kaum perempuan (istri/ibu) secara
yuridis formal tidak dibebani kewajiban untuk membiayai kehidupan rumah
tnagga apalagi pembayaran maskawin. Yang ada hanyalah menerima hak dari
suami/ayah.
5. Asas Semata Akibat Kematian
Artinya adalah harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dengan nama
waris selama yang mempunyai harta masih hidup.
6. Asas Integrity (ketulusan)
Yaitu dalam melaksanakan hokum kewarisan dalam islam, diperlukan ketulusan
hati untuk menaatinya karena tirikat dengan atauran yang diyakini kebenarannya.
7. Asas Ta’abudi ( penghambaan diri)
Maksud asas ini adalah melaksanakan pembagian waris secara hokum Islam
adalah merupakan bagian dari ibadah kepada Allah Swt.
8. Asas Haququl Maliyah (hak-hak kebendaan)
Maksud dari haququl Maliyah adalah hak-hak kebendaan. Artinya, hanya hak dan
kewajiban terhadap kebendaan yang dapat diwariskan kepada hali waris.
Sedangkan, hak dan kewajiban dalam lapangan hokum kekeluargaan atau hak-hak
dan kewajiban yang bersifat pribadi, seperti suami atau istri, jabatan, keahlian
dalam suatu ilmu, dan semacamnya tidak dapat diwariskan.
9. Asas haququn Thaba’iyah (hak-hak dasar)
Pengertian haququn Thaba’iyah adalah hak-hak dari ahli waris sebagai manusia.
Artinya, meskipun ahli waris itu seorang bayi yang baru lahir atau seseorang yang
sudah sakit mengahadapi kematian, sedangkan ia masih hidup ketika pewaris
meninggal dunia, begitu juga suami istri yang belum bercerai, walaupun telah
berpisah tempat tinggalnya, maka dipandang cakap mewarisi harta tersebut.
10. Asas Membagi Habis Harta Warisan
Artinya adalah membagi semua harta peninggalan hingga tak tersisa adalah makna
dari asas ini.4
D. Penggolongan dalam Hukum Waris Islam dan Bagian
Ada tiga golongan menurut ajaran kewarisan:
1. Dzul faraa-idh, adalah ahli waris yang mendapat bagian tertentu jumlahnya, meliputi
: anak perempuan yang tidak didampingi anak laki-laki, ibu, bapak, ada anak, duda,
4 Ibid., Hlm.5
janda, saudara laki-laki dalam kalabah, saudara perempuan dalam kalalah, serta saudara
laki-laki dan perempuan dalam kalalah.
2. Dzul Qarabat, adalah ahli waris yang mendapat bagian warisan yang tidak tentu
jumlahnya, atau disebut juga mendapat bagian sisa atau ‘ashabah. Yaitu meliputi, anak
laki-laki, anak perempuan yang didampingi anak laki-laki, bapak, saudara laki-laki
dalam hal kalalah, saudara perempuan yang didampingi saudara laki-laki dalam hal
kalalah.
3. Dzul Arfaam adalah ahli waris yang mendapat warisan jika dzul faraa’idh dan dzul
Qarabat tidak ada.
Warisan diberikan kepada ahli waris berdasarkan urutan tingkatannya dari tingkat
pertama, kedua dan seterusnya, bila tingkat pertama tidak ada, baru kepada tingkat yang
berikutnya. Berikut ahli waris berdasarkan urutan dan derajatnya:
1. Ash-habul Furudh, golongan inilah yang pertama diberi bagian harta warisan sebelum yang
lainnya, yaitu mereka yang ditetapkan Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ mendapatkan
bagian dari harta waris dengan jumlah tertentu. Mereka ada dua belas orang ; 4 laki-laki
dan 8 perempuan, yaitu :
a) Bapak, Kakek keatas, Suami dan Saudara laki-laki seibu
b) Istri, Anak perempuan, Saudari kandung, Saudari seayah, Saudari seibu, Putri anak
laki-laki, Ibu dan Nenek keatas
Mereka adalah ahli waris yang ditetapkan ahli syara’ memperoleh bagian tertentu dari
al-furudhul. Muqaddaroh dalam pembagian harta peninggalan.
1) Anak perempuan
½ bila hanya seoarang
2/3 bila ada dua atau lebih
Sisa, bersama anak laki-laki dengan ketentuan menerima separuh bagian dari
anak laki-laki.
2. Ayah
Sisa, bila tidak ada anak atau cucu (far,u)
1/6 bila bersama anak laki-laki
1/6 tambah sisa, jika bersama anak perempuan saja
2/3 sisa jika ahli warisnya terdiri dari suami/istrii, ibu dan ayah (Garrawaian)
3. Ibu
1/6 bila ada anak, 2 saudara atau lebih
1/3 bila tidak anak atau saudara dana tau bersama satu orang saudara saja
1/3 sisa dalam, masalah garrawaian
4. Saudara perempuan seibu
1/6 satu orang tidak bersama anak dan ayah
1/3 dua orang atau lebih tidak bersama anak dan ayah, saudara-saudara seibu
5. Saudara perempuan sekandung
½ satu orang, tidak ada anak dan ayah
2/3 dua orang atau lebih tidak ada anak maupun ayah
Sisa, bersama saudara laki-laki sekandung, dengan ketentuan ia menerima
separuh bagian saudara laki-laki.
Sisa, karena ada anak atau cucu perempuan garis laki-laki
6. Saudara perempuan seayah
Satu orang, tidak ada anak dan ayah
2/3 dua atau lebih, tidak ada anak dan ayah
Sisa, bersama saudara laki-laki seayah
1/6 bersama atau saudara perempuan sekandung
Sisa, karena ada anak cucu perempuan garis laki-laki
7. Kakek
1/6 bila bersama anak atau cucu
Sisa, tidak ada anak atau cucu
1/6 + sisa, hanya bersama anak atau cucu perempuan
1/3 dalam keadaan bersama saudara sekandung atau seayah
1/6, 1/3, sisa, bersama saudara-saudara sekandung seayah dan ahli waris lain
dengan ketentuan memilih yang menguntungkan.
1. Ashabah An-Nasabiyah, setelah ash-haabul furuudh, golongan inilah yang mendapat
giliran ke dua untuk mendapatkan bagian dari harta warisan, yaitu kerabat yang
mempunyai hubungan nasab dengan mayit yang berhak mengambil seluruh harta waris
bila sendiri, dan berhak mendapatkan sisa harta waris setelah dibagi kepada Ash-habul
Furuudh. Mereka adalah berasal dari pihak laki-laki dan pihak perempuan yaitu:
Pihak laki-laki terdiri dari:
1. Pihak Anak, yaitu Anak kebawah
2. Pihak Bapak, yaitu Bapak keatas
3. Pihak Saudara, yaitu Sudara kandung, Saudara sebapak, Anak paman kandung, Anak
paman sebapak kebawah
4. Pihak Paman, yaitu Paman kandung, Paman sebapak, Anak paman kandung, Anak
paman sebapak kebawah
Pihak perempuan terdiri dari:
1. Anak putri, apabila mempunyai saudara laki-laki
2. Putri anak laki-laki, apabila mempunyai saudara laki-laki
3. Saudari kandung, apabila mempunyai saudara laki-laki
4. Saudari sebapak, apabila mempunyai saudara laki-laki
2. Ulul Arhaam/kerabat, yaitu kerabat mayit yang ada kaitan rahim – dan tidak termasuk
Ash-habul Furuudh dan juga bukan ‘Ashabah -, seperti paman dan bibi dari pihak ibu,
bibi dari pihak ayah. Apabila pewaris tidak mempunyai kerabat sebagai Ashaabul
Furuudh maupun ‘Ashabah, maka para kerabat yang masih mempunyai ikatan rahim