6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Talasemia 1. Pengertian Talasemia Talasemia adalah kelompok penyakit keturunan sebagai akibat dari ketidakseimbangan sintesis salah satu dari keempat rantai asam amino yang membentuk hemoglobin. Talasemia terjadi akibat ketidakmampuan sumsum tulang membentuk protein yang dibutuhkan untuk memproduksi hemoglobin. Hemoglobin merupakan protein yang kaya zat besi yang berada di dalam sel darah merah dan berfungsi sangat penting untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh bagian tubuh yang membutuhkannya sebagai energi (Herdata, 2009). Pengobatan utama penyakit ini ialah pemberian tranfusi darah dengan mempertahankan hemoglobin di atas 10 g/dl, tetapi jumlah zat besi yang tertimbun dalam organ-organ tubuhnya akibat tranfusi, menjadi salah satu penyebab kematian. Penimbunan zat besi dalam organ-organ tubuh seperti hati, jantung, kelenjar endokrin dan lain-lain, menyebabkan gangguan fungsi organ tersebut. Tranfusi yang berulang-ulang inilah sebenarnya yang menimbulkan banyak komplikasi dalam penanganan penderita talasemia. Kadar besi darah (ferritin) terus meningkat bila tidak diberikan obat kelasi untuk mengeluarkan besi dari tubuh. Penimbunan besi dalam hati mengganggu fungsi hati, demikian pula dalam pankreas menimbulkan gejala diabetes. Dalam kelenjar endokrin, penimbunan besi mengganggu pertumbuhan atau perkembangan seksualnya (Herdata, 2009). 2. Penggolongan Talasemia Talasemia digolongkan menjadi dua berdasarkan rantai asam amino yang mengalami kerusakan yaitu alfa talasemia (melibatkan rantai alfa) paling sering ditemukan pada orang kulit hitam dan beta talasemia (melibatkan rantai beta) sering ditemukan pada orang di daerah Mediterania dan Asia Tenggara (Tamam, 2009). Talasemia berdasarkan rantai asam amino digolongkan menjadi talasemia mayor dan talasemia minor.
25
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. 1. - Setia Budirepository.setiabudi.ac.id/3469/1/BAB II.pdf · sel-sel darah merah menjadi cepat rusak dan umurnya sangat pendek sehingga pasien memerlukan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Talasemia
1. Pengertian Talasemia
Talasemia adalah kelompok penyakit keturunan sebagai akibat dari
ketidakseimbangan sintesis salah satu dari keempat rantai asam amino yang
membentuk hemoglobin. Talasemia terjadi akibat ketidakmampuan sumsum
tulang membentuk protein yang dibutuhkan untuk memproduksi hemoglobin.
Hemoglobin merupakan protein yang kaya zat besi yang berada di dalam sel darah
merah dan berfungsi sangat penting untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke
seluruh bagian tubuh yang membutuhkannya sebagai energi (Herdata, 2009).
Pengobatan utama penyakit ini ialah pemberian tranfusi darah dengan
mempertahankan hemoglobin di atas 10 g/dl, tetapi jumlah zat besi yang
tertimbun dalam organ-organ tubuhnya akibat tranfusi, menjadi salah satu
penyebab kematian. Penimbunan zat besi dalam organ-organ tubuh seperti hati,
jantung, kelenjar endokrin dan lain-lain, menyebabkan gangguan fungsi organ
tersebut. Tranfusi yang berulang-ulang inilah sebenarnya yang menimbulkan
banyak komplikasi dalam penanganan penderita talasemia. Kadar besi darah
(ferritin) terus meningkat bila tidak diberikan obat kelasi untuk mengeluarkan besi
dari tubuh. Penimbunan besi dalam hati mengganggu fungsi hati, demikian pula
dalam pankreas menimbulkan gejala diabetes. Dalam kelenjar endokrin,
penimbunan besi mengganggu pertumbuhan atau perkembangan seksualnya
(Herdata, 2009).
2. Penggolongan Talasemia
Talasemia digolongkan menjadi dua berdasarkan rantai asam amino yang
mengalami kerusakan yaitu alfa talasemia (melibatkan rantai alfa) paling sering
ditemukan pada orang kulit hitam dan beta talasemia (melibatkan rantai beta)
sering ditemukan pada orang di daerah Mediterania dan Asia Tenggara (Tamam,
2009). Talasemia berdasarkan rantai asam amino digolongkan menjadi talasemia
mayor dan talasemia minor.
7
2.1 Talasemia Mayor. Talasemia mayor merupakan penyakit yang
ditandai dengan kurangnya kadar hemoglobin dalam darah. Akibatnya, penderita
kekurangan darah merah yang bisa menyebabkan anemia. Dampak lebih lanjut,
sel-sel darah merah menjadi cepat rusak dan umurnya sangat pendek sehingga
pasien memerlukan tranfusi darah untuk memperpanjang hidupnya (Tamam,
2009).
2.2 Talasemia Minor. Individu hanya membawa gen penyakit talasemia,
namun individu hidup normal, tanda-tanda penyakit halasemia tidak muncul
talasemia minor akan bermasalah, bila ia menikah dengan talasemia minor juga
akan terjadi masalah. Kemungkinan 25% anak menderita talasemia mayor.
Penderita talasemia minor menunjukan gejala anak menjadi anemia, lemas, loyo
dan sering mengalami pendarahan. Talasemia minor sudah ada sejak lahir dan tapi
tidak memerlukan tranfusi darah di sepanjang hidupnya (Dewi, 2009).
3. Gejala Talasemia
Talasemia berbagai jenis memiliki gejala yang mirip, tetapi beratnya
bervariasi. Penderita talasemia sebagian besar mengalami anemia yang ringan.
Gejala yang lebih berat pada penderita beta-talasemia mayor yaitu sakit kuning
(jaundice), luka terbuka di kulit (ulkus, borok), batu empedu dan pembesaran
limpa. Sumsum tulang yang terlalu aktif bisa menyebabkan penebalan dan
pembesaran tulang, terutama tulang kepala dan wajah. Tulang-tulang panjang
menjadi lemah dan mudah patah. Anak-anak yang menderita talasemia tumbuh
lebih lambat dan mencapai masa pubertas lebih lambat dibandingkan anak lainnya
yang normal. Penyerapan zat besi meningkat dan seringnya menjalani tranfusi,
maka kelebihan zat besi bisa terkumpul dan mengendap dalam otot jantung, yang
pada akhirnya bisa menyebabkan gagal jantung. Pemeriksaan darah digunakan
untuk memastikan seseorang mengalami talasemia atau tidak, dilakukan dengan
pemeriksaan darah. Gejala talasemia dapat dilihat pada banyak anak usia 3 bulan
hingga 18 bulan. Penderita halasemia mayor apabila tidak dirawat dengan baik
umur hidupnya hanya 8 tahun saja. Satu-satunya perawatan dengan tranfusi darah
seumur hidup. Tranfusi darah apabila tidak dilaksanakan seumur hidup penderita
akan lemas, lalu meninggal (Tamam, 2009).
8
Pengobatan pada talasemia berat diperlukan tranfusi darah rutin dan
pemberian tambahan asam folat. Penderita yang menjalani tranfusi, harus
menghindari tambahan zat besi dan obat-obat yang bersifat oksidatif (misalnya
sulfonamid), karena zat besi yang berlebihan bisa menyebabkan keracunan.
Penderita talasemia yang berat mungkin diperlukan pencangkokan sumsum
tulang, terapi genetik masih dalam tahap penelitian (Permono, 2006).
4. Pencegahan Talasemia
Penderita dan keluarga dengan riwayat talasemia perlu dilakukan
penyuluhan genetik untuk menentukan resiko memiliki anak yang menderita
talasemia. Pasien talasemia yang mendapat pengobatan secara baik dapat
menjalankan hidup layaknya orang normal di tengah masyarakat. Penumpukan zat
besi di dalam tubuh bisa dikeluarkan dengan bantuan obat, melalui urine. Penyakit
talasemia dapat dideteksi sejak bayi masih di dalam kandungan, jika suami atau
istri merupakan pembawa sifat (carrier) talasemia, maka anak mereka memiliki
kemungkinan sebesar 25 % untuk menderita talasemia. Penderita talasemia laki-
laki apabila istri mengandung, disarankan untuk melakukan tes darah di
laboratorium untuk memastikan apakah janinnya mengidap talasemia atau tidak
(Permono, 2006).
5. Pengobatan Talasemia
Obat yang digunakan untuk mengurangi penimbunan besi adalah
deferoksamin, deferipron dan deferasirox. Pemberian obat usia anak 3 tahun
melalui infus subkutan dan dapat juga melalui oral. Penimbunan zat besi pada
jaringan menyebabkan terjadinya hemosiderosis (Priyantiningsih, 2010).
Hemosiderosis sebagai akibat dari transfusi berulang-ulang karena dalam 1 liter
darah terkandung 750 mikrogram zat besi. Zat besi tersebut menambah jumlah zat
besi dalam tubuh. Manusia normal zat besi plasma terikat pada tranferin,
kemampuan transferin mengikat zat besi sangat terbatas sehingga apabila terjadi
kelebihan zat besi maka seluruh transferin berada dalam keadaan tersaturasi. Besi
dalam yang plasma berada dalam bentuk tidak terikat atau NTBI (non-transferrin
bound plasma iron) yang dapat menyebabkan pembentukan radikal bebas
hidroksil dan mempercepat peroksidasi lipid membran invitro. Kelebihan zat besi
terbanyak terakumulasi dalam hati, namun paling fatal adalah akumulasi di
9
jantung karena menyebabkan hemosiderosis miokardium dan berakibat gagal
jantung yang berperan pada kematian awal penderita. Penimbunan besi dihati
yang berkelebihan berakibat pada gangguan fungsi hati (Priyantiningsih, 2010).
Hemokromatosis yaitu gangguan fungsi hati sebagai akibat dari penimbunan zat
besi dan saturasi transferin. Hemokromatosis terjadi disertai dengan kadar ferritin
serum > 1000 μg/L. Penderita talasemia lebih beresiko terkena hemokromatosis
sebagai akibat dari penimbunan zat besi pada hati (Herdata, 2009).
B. Ferritin
1. Definisi Ferritin
Ferritin adalah protein berbentuk globular dan mempunyai dua lapisan
dengan diameter luarnya berukuran 12 nm dan diameter dalamnya berukuran 8
nm. Besi tersimpan di dalam protein ferritin tersebut. Protein melepas zat besi dari
cadangan di jaringan sesuai kebutuhan dan akan menyimpan kelebihan zat besi
untuk mencegah efek kerusakan akibat zat besi yang berlebihan (Supariasa, 2001).
Kadar ferritin normal 30-300 ng/mL untuk pria dan 15-200 ng/mL, dan
wanita dewasa adalah 30 ug/L. Kadar ferritin yang terlalu tinggi dapat
menyebabkan terjadinya hemokromatosis sedangkan kadar ferritin yang terlalu
rendah dapat menyebabkan terjadinya anemia defisiensi besi. Kadar ferritin serum
berguna dalam mengevaluasi simpanan total zat besi dalam tubuh. Pemeriksaan
feritrin ini juga dapat mendeteksi dini defisiensi anemia zat besi dan anemia
akibat penyakit kronis yang menyerupai defisiensi zat besi (Sapariasa, 2001).
2. Serum Ferritin
Serum ferritin merupakan cadangan besi di dalam tubuh. Pemeriksaan
kadar ferritin dilakukan sebagai diagnosis defisiensi besi. Untuk penilaian status
zat besi dalam hati perlu mengukur kadar ferritin. Banyaknya ferritin yang
dikeluarkan ke dalam darah secara proporsional menggambarkan banyaknya
simpanan zat besi di dalam hati. Metode yang digunakan untuk menentukan kadar
ferritin dalam darah dengan immunoradiometric assay, radio immuno assay atau
enzyme-binked immuno assay yang tidak menggunakan isotop tetapi enzim
(Saparisa, 2001).
10
Manfaat dari pemeriksaan yaitu untuk memantau perkembangan defisiensi
besi pada kondisi anemia, mendiagnosis hipokromik dan anemia mikrositik dan
mendeteksi kelebihan besi. Pemeriksaan kadar ferritin dapat dilakukan dengan
metode Immunochemiluminescent dengan persayaratan sampel volume 300-500
uL sampel serum atau plasma. Penyimpanan sampel pada suhu 2-8 ºC untuk
waktu 7 hari dan –20 ºC untuk waktu 2 minggu. Untuk pemeriksaan ferritin dalam
laboratorium dilakukan sentrifus sampel yang keruh atau mengandung endapan
sebelum diperiksa dengan kecepatan 10.000 g selama 10 menit (Saparisa, 2010).
3. Pemeriksaan ferritin dengan metode Elisa
Elisa (Enzyme-linked immunosorbent assay) atau nama lainnya (EIA)
enzyme immunoassay merupakan teknik biokimia yang banyak digunakan di
bidang imunologi untuk mendeteksi adanya antibodi atau antigen pada suatu
sampel. Metode Elisa bisa digunakan untuk melabel suatu antigen atau
mengetahui antibody dalam tubuh (Alan, 2006). Fungsi dari test Elisa yaitu untuk
mengetahui keberadaan suatu antigen dengan antibodi dan untuk mengukur kadar
antigen atau antibodi dengan menggunakan alat spektrofotometer. Kompleks
antigen-antibodi yang terjadi pada well microplate dan setelah pemberian substrat,
enzim yang terikat pada antibodi ke dua pada kompleks antigen-antibodi yang
terbentuk akan memberikan perubahan warna pada cairan tersebut, sehingga akan
memberikan optical density (OD) yang berbeda. OD dapat dinyatakan meningkat
atau menurun berdasarkan pengenceran material standart, sehingga akan
menghasilkan kurva dose-response yang nantinya akan digunakan untuk
mengestimasi kadar protein tersebut (Alan, 2006).
C. Darah
1. Definisi Darah
Darah adalah cairan tubuh pada manusia dan hewan lainnya yang
mengangkut senyawa penting seperti nutrisi dan oksigen ke dalam sel dan
mentranster produk buangan metabolik dari sel. Bagian intraseluler adalah cairan
yang disebut plasma dan di dalamnya terdapat unsur padat yaitu sel darah.
Volume darah secara keseluruhan kira kira merupakan 1/12 berat badan. Darah
11
terdiri atas 55% adalah cairan, sedangkan 45% sisanya terdiri atas sel darah.
Volume darah pada manusia adalah berkisar 70-1000 ml/kg berat badan. Darah
digunakan sebagai bahan-bahan pemeriksaan hematologis dan pemeriksaan-
pemeriksaan lain (Evelyn, 2004).
Bahan pemeriksaan dari darah biasanya berupa serum atau plasma. Serum
di dalamnya tidak terdapat fibrinogen atau dapat dikatakan bahwa serum adalah
plasma dikurangi fibrinogen. Serum adalah komponen bukan berupa sel darah,
juga bukan faktor koagulasi. Bahan-bahan yang masih terdapat dalam serum
adalah elektrolit (seperti K; Na; Cl), kreatinin dan ureum. Sedangkan plasma
didapat dengan cara menambahkan antikoagulan ke dalam darah, sehingga di
dalamnya masih terdapat fibrinogen. Plasma darah adalah cairan berwarna kuning
yang dalam reaksi bersifat sedikit alkali. Fungsi plasma sebagai medium
(perantara) untuk penyaluran makanan, mineral, lemak, glukase dan asam amino
ke jaringan. Fungsi lainya sebagai medium untuk mengangkat bahan buangan
urea, asam urat dan karbon dioksida (Evelyn, 2004).
2. Tranfusi Darah
Tranfusi darah adalah proses pemindahan atau pemberian darah dari
seorang (donor) kepada orang lain (resipien). Transfusi bertujuan mengganti darah
yang hilang akibat pendarahan, luka bakar, mengatasi shock dan mempertahankan
daya tahan tubuh terhadap infeksi (Setyadi, 2010). Pelayanan transfusi darah
adalah upaya pelayanan kesehatan meliputi perencanaan, pengarahan, dan
pelestarian pendonor darah, penyediaan darah, pendistribusian darah dan tindakan
medis pemberian darah kepada pasien untuk tujuan penyembuhan penyakit dan
pemulihan kesehatan (Amiruddin, 2015). Pertimbangan utama dalam transfusi
darah, khususnya yang mengandung eritrosit adalah kecocokan antigen-antibodi
eritrosit. Golongan darah AB secara teoritis merupakan resipien universal, karena
memiliki antigen A dan B dipermukaan eritrositnya sehingga serum darahnya
tidak mengandung antibodi (baik anti-A maupun anti-B). Golongan darah O
secara teoritis merupakan donor universal, karena memiliki antibodi anti-A dan
anti-B (Setyadi, 2010).
12
Crossmatch merupakan pemeriksaan utama yang dilakukan sebelum
tranfusi yaitu memeriksa kecocokan antara darah pasien dan donor sehingga darah
yang diberikan benar-benar bermanfaat bagi kesembuhan pasien (Amiruddin,
2015). Pemeriksaan yang dilakukan sebelum tranfusi bertujuan agar sel-sel darah
yang ditranfusikan di tubuh pasien masih dalam kondisi hidup dan tidak
menimbulkan kerusakan pada sel darah pasien (Setyadi, 2010). Uji crossmatch
penting bukan hanya pada tranfusi tetapi juga ibu hamil yang kemungkinan
terkena penyakit hemolitik pada bayi baru lahir (Yuan, 2011).
Tahapan yang dilakukan pada uji crossmatch antara lain identifikasi
contoh darah pasien yang benar, mengecek riwayat pasien, memeriksa golongan
darah pasien, donor darah yang sesuai golongan darah pasien, pemeriksaan
crossmatch, pelabelan yang benar sebelum darah dikeluarkan (Setyadi, 2010).
Fungsi dari crossmacth adalah mengetahui ada tidaknya reaksi antara darah donor
dan pasien sehingga menjamin kecocokan darah yang akan ditranfusikan bagi
pasien. Mendeteksi antibodi yang tidak diharapkan dalam serum pasien yang
dapat mengurangi umur eritrosit donor menghancurkan eritrosit donor, mengecek
akhir setelah uji kecocokan golongan darah ABO (Yuan, 2011).
Golongan darah ABO pasien dan donor jika sesuai, baik mayor maupun
minor tes tidak bereaksi. Golongan darah pasien dan donor berlainan misalnya
donor golongan darah O dan pasien golongan darah A maka pada tes minor akan
terjadi aglutinasi. Mayor crossmatch merupakan tindakan terakhir untuk
melindungi keselamatan penerima darah dan sebaliknya dilakukan demikian
sehingga complete antibodies maupun incomplete antibodies. Reaksi silang yang
dilakukan hanya pada suhu kamar saja, tidak dapat mengesampingkan aglutinin
rhesus yang hanya bereaksi pada suhu 37 ºC (Yuan, 2011).
D. Histopatologi Hati
1. Fungsi Hati
Hati merupakan organ metabolisme terpenting dalam proses sintesis,
penyimpanan, dan metabolisme. Salah satu fungsi hati adalah detoksifikasi
(menawarkan racun tubuh), sehingga hati sangat mudah menjadi sasaran utama
13
toksikasi. Hati merupakan organ berbentuk baji dengan berat rata-rata 1,5 kg atau
2,5% berat badan dewasa normal. Menurut Price, (1995) hati merupakan organ
plastis lunak yang tercetak oleh struktur sekitarnya dan dapat menerima 1.500 ml
darah per menit, yakni 28% dari output jantung (Diaz, 2006).
Penyakit hati tergolong sebagai salah satu penyakit yang menjadi problem
nasional di Indonesia dan di negara-negara berkembang pada umumnya, bahkan
merupakan permasalahan yang hangat di negara-negara maju. Berdasarkan
laporan dari semua RSUP tipe A dan B di seluruh Indonesia, ternyata penyakit
hepar menempati urutan ketiga setelah penyakit infeksi dan penyakit paru, bahkan
penyakit hepar merupakan penyebab kematian yang tergolong tinggi (Hadi, 1989).
Fungsi hati dibagi ke dalam 2 asinus yang berseberangan. Hepatosit pada
zona satu lebih berhubungan dengan peran RME (Receptor Mediated
Endocytosis) dan sintesa protein. Zona satu berfungsi untuk metabolisme stokrom
P-450. Hepatosit di dalam zona satu lebih rentan terhadap racun, seperti garam
logam (Hayes, 2007). Sel hati bisa menjadi tempat penyimpanan lemak,
karbohidrat, dan protein yang dapat didaur ulang untuk digunakan kembali ketika
terjadi keadaan kekurangan asupan makanan. Beberapa mineral penting seperti
besi, copper, cobalt, dan zink disimpan dihati. Apotransferin merupakan protein
plasma yang paling banyak disekresikan oleh hati yang mempunyai daya afinitas
yang sangat tinggi terhadap ferritin. Hati merupakan organ tubuh yang berkaitan
erat dengan metabolisme nutrisi dan xenobiotik sehingga sering terpapar oleh
beragam senyawa yang masuk ke dalam tubuh. Hati juga merupakan organ utama
yang terganggu karena hati adalah tempat penyimpanan utama cadangan besi
(Bacon et al., 1999).
2. Hemosiderosis
Tempat penyimpanan zat besi selain di hepatosit adalah otot skelet dan sel
retikulo endotelial. Kelebihan ferritin zat besi akan didepositkan sebagai
hemosiderin (Lawrence, 2011). Kelebihan zat besi terjadi ketika akumulasi besi
melebihi kebutuhan fisiologis yang mengarah ke pengendapan besi berlebih dalam
jaringan (hemosiderosis). Hemosiderosis merupakan masalah utama yang di alami
oleh pasien yang memelukan tranfusi berulang. IO merupakan kondisi dimana
14
jumlah besi yang berlebihan terakumulasi dalam jaringan yang dapat
menyebabkan kerusakan parenkim dan disfungsi organ (Powell et al, 2005).
Keadaan IO adalah keadaan dimana zat besi dalam tubuh total > 5 gram.
Sementara simpanan normal zat besi hanya 3-4 gram. Kelebihan besi terjadi
akibat meningkatnya absorpsi saluran pencernaan. Besi berlebih disimpan dalam
banyak organ (hemosiderosis). Akumulasi ini dapat menyebabkan kerusakan
organ seperti toksisitas hati dan meningkatkan resiko kegagalan hati atau
karsinoma hepatoseluler pada manusia (Messner et al., 2009).
Keadaan penimbunan besi menyebabklan kadar besi dalam darah, saturasi
transferin dan ferritin akan meningkat melampaui transferin binding capacity
(TBC) hingga menyebabkan reaksi radikal bebas yang bersifat toksik. Kelebihan
besi mampu membentuk Reaktif oksigen spesies (ROS) seperti radikal hidroksil
dan radikal bebas superoksida mampu menginisiasi peroksidasi lipid dari
membram sel dan kerusakan oksidatif dari protein (Pietrangelo, 2003).
Senyawa radikal bebas seperti superoksid radikal menyebabkan pelepasan
besi dari ferritin sehingga besi terdapat dalam bentuk ferro. Terdapatnya zat-zat
reduktan seperti superoksid dan hidrogen peroksida, maka besi dalam bentuk
NTBI (non-transferin bound iron) atau besi yang dilepaskan dari ferritin berperan
dalam pembentukan senyawa hidroksil radikal (OH) melalui reaksi Fenton
(Kartoyo et al., 2003).
Penimbunan besi akut atau kronis dapat meningkatkan produksi NO (nitric
oxide). Besi mampu meningkatkan ekspresi nitric oxide synthase (NOS) dalam
hati (Chander et al., 2006). Keadaan stres oxidatif, ROS dapat menstimulus
pengeluaran nitric oxide. Nitric oxide kemudian terdegradasi lebih membentuk
nitrogen reaktif spesies oxida dan dapat merusak sel. Nitric oxide juga
memberikan kontribusi pada disfungsi organ akibat penimbunan besi. Kerusakan
hati oleh besi juga diakibatkan oleh rusaknya enzim ALT (alanine transaminase)
dan AST (aspartate transaminase) dapat menjadi indikator kerusakan hepatosit
mitokondria. Pemberian Ferro sulfat berlebih ini terjadi dibeberapa organ seperti
hati, jantung, dan limpa. Kondisi iron overload salah satunya terdapat pada kasus
penyakit talsemia yang mendapat tranfusi darah,sehingga dapat memicu
kerusakan organ (Chander et al., 2006).
15
3. Tes Fungsi Hati
Tes fungsi hati adalah sekelompok tes darah yang mengukur enzim atau
protein tertentu di dalam darah. Tes fungsi hati digunakan untuk membantu
mendeteksi, menilai dan memantau penyakit atau kerusakan hati. Tes fungsi hati
dilakukan secara berkala atau dilakukan jika memiliki risiko perlukaan hati atau
muncul gejala-gejala tertentu seperti jaundice (ikterus). Amino transferase adalah
sekelompok enzim yang bekerja sebagai katalisator dalam proses pemindahan
gugus amino dari suatu asam alfa amino asam alfa keto Transaminase termasuk
enzim plasma non fungsional dengan tidak melakukan fungsi fisiologik di dalam
darah. Dua macam enzim aminotransferase yang sering digunakan dalam
diagnosis klinik kerusakan sel hati adalah Aspartat Aminotransferase (AST) yang
disebut SGOT (Serum Glutamic Oxaloasetic Transaminase) dan Alanin
Aminotransferase (ALT) yang juga disebut SGPT (Serum Glutamic Pyruvic
Transaminase ). AST/SGOT adalah enzim yang sebagian besar terdapat dalam
otot jantung dan hati, sebagian ditemukan dalam otot rangka, ginjal dan pancreas.
Pelepasan enzim yang tinggi dalam serum menunjukkan adanya kerusakan
terutama pada jaringan jantung dan hati. ALT/SGPT adalah suatu enzim yang
ditemukan terutama pada sel-sel hepar, efektif dalam mendiagnosa kerusakan
hepatoseluler (Chander et al., 2006).
Tubuh mempunyai multifungsi sehingga tes faal hati beraneka ragam
apabila jaringan hati mengalami kerusakan dapat dilakukan pemeriksaan SGOT
(Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) dan SGPT (Serum Glutamic Piruvic
Transaminase). Enzim SGOT dan SGPT mencerminkan keutuhan atau intergrasi
sel-sel hati. Adanya peningkatan enzim hati tersebut dapat mencerminkan tingkat
kerusakan sel-sel hati, semakin tinggi peningkatan kadar enzim SGOT dan SGPT,
semakin tinggi tingkat kerusakan sel-sel hati. SGOT atau AST harga normalnya
pada laki-laki 5-17 U/L dan perempuan 5-15 U/L. SGOT dalam darah meninggi
biasanya karena ada hemolisis dan pada bayi baru lahir. Kenaikan 10-100 kali
lipat dari normal bila terjadi Infark yang disebabkan oleh otot jantung, hepatitis
yang disebabkan oleh virus, nekrosis yang disebabkan oleh sel hati karena
keracunan dan sirkulasi darah terganggu sehingga dapat terjadi shock atau
hipoksemia. SGPT dalam darah harga normalnya pada laki-laki 5-23 U/L dan
16
perempuan 5-19 U/L. SGPT dalam darah meningkat karena ada hepatitis yang
disebabkan oleh virus, nekrosis sel hati karena keracunan, dan shock atau
hipoksemia (Darmanto, 2001).
4. Kerusakan Hati
Kerusakan pada hati, otot jantung, otak, ginjal dan rangka dideteksi
dengan mengukur kadar SGOT. Penderita radang pankreas, malaria, infus lever
stadium akhir, penyumbatan pada saluran empedu. Kerusakan otot jantung, orang-
orang yang selalu mengkonsumsi obat-obatan seperti antibiotik dan obat TBC,
kadar SGOT yang tinggi, kadar SGPT pada penderita hepatitis. Sirosis adalah
penyakit hati kronis yang dicirikan dengan distorsi arsitektur hati yang normal
oleh jaringan ikat dan nodul-nodul regenerasisi sel hati, yang tidak berkaitan
dengan vaskulatur normal. Nodul-nodul regenerasi ini dapat berukuran kecil
(mikronodular) atau besar (makronodular). Sirosis dapat mengganggu sirkulasi
darah intrahepatik dan pada kasus yang sangat lanjut, menyebabkan kegagalan
fungsi hati secara bertahap (Chander et al., 2006).
5. SGPT
SGOT (serum glutamic oxaloacetic transaminase) atau AT (aspartat
aminotranferase) merupakan enzim yang terdapat dihati, otot jantung, otak, ginjal
dan otot-otot rangka (Bastiansyah, 2008). Aspartat aminotransferase atau
glutamate oksalo-asetat transferase (SGOT). Reaksi antara asam aspartat dan
asam alfaketoglutamat membentuk AT. Enzim ini banyak digunakan di jantung,
hati, otot rangka, ginjal dan otak. Apabila terjadi kerusakan pada hati, enzim ini
akan masuk ke sirkulasi darah sehingga bahan pemeriksaan dapat berupa serum.
(Kurniawan 2014,). SGPT adalah singkatan dari Serum Glutamik Piruvat
Transaminase, SGPT atau juga dinamakan ALT (Alanin Aminotransferase)
merupakan enzim yang banyak ditemukan pada sel hati serta efektif untuk
mendiagnosis destruksi hepatoselular. Enzim ini dalam jumlah yang kecil
dijumpai pada otot jantung, ginjal dan otot rangka. Pada umumnya nilai tes
SGPT/ALT lebih tinggi daripada SGOT/AST pada kerusakan parenkim hati akut.
Pada penyakit kronis nilai SGOT lebih tinggi dari pada nilai SGPT. Nilai SGPT
normal pada hewan uji tikus adalah 17,5-35 U/L (Raymond, 2008).
17
6. Tes Darah
Jenis yang paling umum dari tes laboratorium untuk penyakit hati adalah
tes darah dan akan menjadi salah satu tes pertama yang dianjurkan oleh dokter
Anda. Tes ini dapat mengungkapkan hal berikut jumlah darah. Jumlah darah Anda
mungkin menunjukkan penurunan sel darah merah, sel darah putih dan trombosit.
Ini menegaskan bahwa ada penyakit hati lanjut yang menekan produksi sel darah,
kenaikan enzim hati. Serum enzim AST (aspartat amionotransferase) dan ALT
(alanine aminotransferase). Ini adalah enzim yang diproduksi oleh hati. Terlalu
banyak enzim ini berarti ada masalah dengan hati. Hal ini dapat disebabkan oleh
cedera atau peradangan pada hati. Enzim hati dapat naik karena penyakit lemak
hati alkohol dan non-alkohol. Peningkatan GGT (gamma glutamyl transferase)
dan ALP (alkaline Phosphatase). Enzim yang meningkat selama penyakit hati
biasanya dikeluarkan dari saluran empedu dan meningkatan bilirubin. Kadar
kenaikan bilirubin pada penyakit hati. Bilirubin sampai ke hati di mana mereka
akan diekstraksi. Tingkat bilirubin yang lebih tinggi berarti meningkatkan faktor
pembekuan dan risiko perdarahan serta mudah memar. Rendahnya tingkat
albumin Albumin adalah protein yang dibuat oleh hati.
E. Tanaman Mangga Kweni
1. Sistematika Tanaman Mangga Kweni (Mangifera odorata Griff )
Klasifikasi tanaman menurut Integrated Taxonomic Information System