Top Banner
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal Ginjal terletak di belakang rongga abdomen (di antara rongga perut dan otot punggung) merupakan sepasang organ berbentuk seperti kacang yang terletak satu di masing-masing sisi kolumna vertebralis, posisinya sedikit di atas garis pinggang. Setiap masing-masing ginjal memiliki satu arteri renalis dan satu vena renalis yang secara teratur masuk dan keluar ginjal (Sherwood et al, 2016). Umumnya ginjal pada orang dewasa memiliki panjang 10-12 cm (4-5 inci) dengan lebar 5-7 cm dan memiliki ketebalan 3 cm serta berat 135-150 gram (Tortora and Derrickson., 2012). Batas sisi medial setiap ginjal merupakan suatu lekukan yang disebut hilum atau hilus merupakan tempat lewatnya arteri renalis dan vena renalis, pembuluh limfatik, saraf, dan ureter yang membawa urin akhir dari ginjal ke kandung kemih, tempat urine disimpan hingga dikeluarkan. Pembungkus ginjal yaitu kapsul fibrosa atau kapsula ginjal, teksturnya yang keras berguna untuk melindungi struktur dalam ginjal yang rapuh (Guyton and Hall, 2014). Gambar 2.1 Anatomi Ginjal (Guyton and Hall, 2014) Ketika ginjal dibelah menjadi dua dari atas ke bawah, dapat digambarkan kedua daerah utamanya yaitu korteks di bagian luar dan medula di bagian dalam. Medula ginjal ini terbagi atas 8 sampai 10 massa jaringan berbentuk kerucut yang
44

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

Dec 07, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Ginjal

Ginjal terletak di belakang rongga abdomen (di antara rongga perut dan

otot punggung) merupakan sepasang organ berbentuk seperti kacang yang terletak

satu di masing-masing sisi kolumna vertebralis, posisinya sedikit di atas garis

pinggang. Setiap masing-masing ginjal memiliki satu arteri renalis dan satu vena

renalis yang secara teratur masuk dan keluar ginjal (Sherwood et al, 2016).

Umumnya ginjal pada orang dewasa memiliki panjang 10-12 cm (4-5 inci)

dengan lebar 5-7 cm dan memiliki ketebalan 3 cm serta berat 135-150 gram

(Tortora and Derrickson., 2012). Batas sisi medial setiap ginjal merupakan suatu

lekukan yang disebut hilum atau hilus merupakan tempat lewatnya arteri renalis

dan vena renalis, pembuluh limfatik, saraf, dan ureter yang membawa urin akhir

dari ginjal ke kandung kemih, tempat urine disimpan hingga dikeluarkan.

Pembungkus ginjal yaitu kapsul fibrosa atau kapsula ginjal, teksturnya yang keras

berguna untuk melindungi struktur dalam ginjal yang rapuh (Guyton and Hall,

2014).

Gambar 2.1 Anatomi Ginjal (Guyton and Hall, 2014)

Ketika ginjal dibelah menjadi dua dari atas ke bawah, dapat digambarkan

kedua daerah utamanya yaitu korteks di bagian luar dan medula di bagian dalam.

Medula ginjal ini terbagi atas 8 sampai 10 massa jaringan berbentuk kerucut yang

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

6

disebut piramida ginjal. Setiap daerah dari piramida ginjal dimulai pada

perbatasan antara korteks dan medula sampai berakhir di papila, yang menonjol

dan berbentuk seperti corong dalam ruang pelvis ginjal. Batas luar pelvis ginjal

terbagi menjadi kantong-kantong dengan ujung terbuka yang disebut kalises

mayor, kemudian yang meluas ke bawah dan terbagi disebut kalises minor, yang

mengumpulkan urine dari tubulus setiap papila. Dinding kalises, pelvis, dan ureter

terdiri atas bagian kontraktil yang mendorong urine menuju kandung kemih,

tempat urine disimpan sampai dikeluarkan melalui miksi (Guyton and Hall,

2014).

Parenkim dibentuk oleh korteks ginjal dan piramida ginjal pada medula

ginjal yang merupakan bagian fungsional ginjal, terdiri atas unit-unit fungsional

ginjal yang disebut nefron. Dalam ginjal terdapat sekitar 1 juta nefron pada

masing- masing ginjal. Setiap nefron terdapat dua bagian yaitu korpuskulum

ginjal yang merupakan suatu tempat plasma darah disaring dan tubulus ginjal

yang mengalirkan cairan terfiltrasi. Korpuskulum ginjal terdapat dua komponen

yaitu glomerulus (jejaring kapiler) dan kapsul glomerulus (Bowman). Tubulus

ginjal terdiri atas tubulus kontornus proksimalis (TKP), Ansa henle ( lengkung

nefron) dan tubulus kontornus distalis (TKD). Distalis menunjukan bagian tubulus

ginjal yang menjauhi kapsul glomerulus sedangkan proksimalis merupakan bagian

tubulus ginjal yang melekat pada kapsul glomerulus. Ansa henle merupaka bagian

tubulus yang menjulur hingga ke medula ginjal membentuk putaran tajam

berbentuk huruf U hingga kembali ke korteks ginjal (Tortora and Derrickson.,

2012).

2.2 Fisiologi Ginjal

Ginjal berperan penting dalam melakukan berbagi fungsi guna

mempertahankan homeostasis dengan menjaga stabilitas volume, komposisi

elektrolit, dan osmolaritas (konsentrasi solut) CES (Cairan Ekstra Selular). Ginjal

dapat mempertahankan keseimbangan air dan elektroit dengan menyesuaikan

jumlah air dan berbagai konstituen plasma dalam tubuh sebelum di keluarkan

melalui urin. Ginjal mengekskresi produk-produk sisa metabolisme tubuh seperti

urea dari protein, kreatinin dari kreatinin otot, bilirubin dari hemoglobin dan

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

7

hormon metabolit yang jika dibiarkan akan menumpuk dan bersifat toksik

(Sherwood et al., 2016).

Gambar 2.2. Anatomi nefron ginjal (Sherwood et al., 2016)

Dalam ginjal normalnya sekitar 1.100 ml/menit atau 22% dari curah

jantung darah dapat mengalir pada kedua organ ginjal. Terbentuknya arteri

interlobaris, arteri arkuata, arteri interlobularis (arteri radialis), dan arteriol aferen

menuju kapiler glomerulus disebabkan karena masuknya arteri renalis ke hilum

yang membuat percabangan secara progesif (Guyton and Hall, 2014). Arteriol

aferen dapat mengalirkan darah ke glomerulus. Dalam glomerulus menyatunya

kapiler-kapiler yang lain menyebabkan terbentuknya arteriol eferen yang

membawa darah yang tidak terfiltrasi keluar dari glomerulus dan masuk ke dalam

komponen tubulus. Arteriol eferen kemudian membuat percabangan hingga

membentuk kapiler peritubulus, yang bertugas memasok jaringan dengan darah

dan berperan penting dalam perubahan cairan filtrasi menjadi urin saat terjadinya

pertukaran sistem tubulus dan darah. Tubulus kontornus distalis akan mengalirkan

isinya ke saluran pengumpul (duktus koligentes), yang kemudian duktus berjalan

ke daIam medula untuk mengosongkan isinya yang berupa cairan (urine) ke

dalam pelvis ginjal (Sherwood et al., 2016).

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

8

Dalam pembentukan urin melibatkan tiga proses dasar yang dilakukan

oleh nefron dan duktus koligentes dalam ginjal. Tiga proses dasar yang terlibat

adalah filtrasi glomerulus, reabsorpsi tubulus, dan sekresi tubulus. Filtrasi

merupakan suatu proses penyaringan plasma bebas protein melalui kapiler

glomerulus ke dalam kapsula bowman. Normalnya plasma yang tersaring dalam

glomerulus sebanyak 20%. filtrasi glomerulus merupakan langkah awal

pembentukan urin. Setiap menit glomerulus mampu menghasilkan 125 mL filtrat

glomerulus (cairan yang difiltrasi) atau dalam 1 hari mampu menghasilkan cairan

terfiltasi 180 liter (sekitar 47,5 galon). ginjal dapat menyaring keseluruhan volume

plasma sebanyak 65 kali sehari sehingga dalam hal ini volume rerata plasma pada

orang dewasa adalah 2,75 liter. Jika tidak terjadi dipertukarkan antara cairan di

dalam tubulus dan darah didalam kapiler peritubulus maka semua plasma akan

menjadi urine (Guyton and Hall, 2014).

Ginjal berperan penting dalam melakukan pekerjaan utama sistem kemih

yaitu berkontribusi pada homeostasis dengan mengatur keseimbangan asam dan

basa, mengatur volume dan tekanan darah menjaga osmolaritas cairan tubuh,

mengubah komposisi darah dengan mengatur konsentrasi ion (Tortora and

Derrickson., 2012).

2.3 Fungsi Ginjal

2.3.1Pengatur keseimbangan asam dan basa

Ginjal berperan dalam mengatur asam basa sebagai organ yang

menyangga cairan tubuh yang mengekskresikan asam serta mengatur simpanan

dapar cairan tubuh. Ion bikarbonat sangat berperan penting dalam membantu

mengatur pH darah guna penyangga ion hidrogen dalam darah. Nilai pH darah

arteri berada pada kisaran 7,35 -7,45 yang mana sistem buffer akan bekerja untuk

mempertahankan ph darah arteri pada kisaran tersebut (Tortora and Derrickson.,

2012).

2.3.2 Mengeluarkan zat sisa metabolisme tubuh

Ginjal berperan dalam mengekskresikan (mengeluarkan) zat sisa

metabolisme seperti asam urat (dari asam nukleat), kreatinin (dari kreatini otot),

urea (dari protein), bilirubin (dari hemoglobin) serta metabolit hormon. Selain itu

ginjal dapat mengekskresikan senyawa asing dari obat-obatan makanan, pestisida

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

9

dan bahan eksogen merugikan lainnya yang masuk dalam tubuh (Sherwood et al.,

2016).

2.3.3 Mengatur osmolaritas cairan tubuh

Untuk mencegah fluks-fluks osmotik oleh masuk dan keluarnya sel yang

dapat menyebabkan terjadinya pembengkakan atau penciutan sel. Maka ginjal

dapat mempertahankan osmolaritas cairan tubuh yang sesuai melalui regulasi

keseimbangan H2O (Sherwood et al., 2016). Dengan mengatur kehilangan air dan

kehilangan zat terlarut dalam urin secara terpisah, ginjal dapat mempertahankan

osmolaritas darah yang relatif konstan mendekati 300 miliosmol per liter (mOsm /

liter) (Tortora and Derrickson., 2012).

2.3.4 Mengatur produksi hormon

Ginjal menghasilkan dua hormon yaitu calcitriol dalam bentik aktifnya

adalah vitamin D yang berfungsi mengatur homeostasis kalsium dan

erythropoietin yang berfungsi merangsang produksi sel darah merah (Tortora and

Derrickson., 2012). kalsitriol memegang peran penting dalam pengaturan kalsium

dan fosfat sedangkan eritropoietin berperan dalam mengatur keseimbangan

eritrosit (Guyton and Hall, 2014).

2.3.5 Mengatur volume dan tekanan darah

Ginjal mengatur volume darah dengan menghilangkan air dalam urin.

Peningkatan volume darah akan meningkatkan tekanan darah. Ginjal akan

membantu mengatur tekanan darah dengan mengeluarkan enzim renin yang aktif

dalam jalur renin-angiotensin-aldosteron. Peningkatan renin dapat mengaktifkan

angiotensinogen yang menghasilkan angiotensin I, yang mana oleh angiotensin

converting enzyme diubah menjadi angiotensin II yang dapat menyebabkan

peningkatan tekanan darah (Tortora and Derrickson., 2012).

2.3.6 Melaksanakan Sintesis Glukosa.

Seperti hati, ginjal juga dapat menggunakan asam amino glutamin dalam

proeses glukoneogenesis suatu proses sintesis molekul glukosa baru, yang

kemudian glukosa tersebut dilepaskan ke dalam darah untuk membantu

mempertahankan kadar glukosa darah normal (Tortora and Derrickson., 2012).

2.4 Tinjauan Tentang CKD (Chronic Kidney Disease)

2.4.1 Definisi CKD (Chronic Kidney Disease)

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

10

Chronic Kidney Disease (CKD) atau penyakit ginjal kronik menurut

National Kidney Foundation merupakan masalah kesehatan masyarakat di

seluruh dunia dengan peningkatan insiden dan prevalensi. Didefinisikan sebagai

suatu penyakit yang disebabkan oleh kerusakan ginjal atau kelainan struktur dan

fungsi ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan (Bomback, A. S. & Bakris,

2011). Kelainan struktur atau fungsi ginjal dicerminkan dengan adanya penanda

kerusakan ginjal seperti penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR) hingga <60

mL / menit / 1,73 m2 serta tingginya rasio albumin-kreatinin (ACR) ≥ 30mg / g

dan laju ekskresi albumin ≥ 30 mg / 24 jam (Reilly Lukela et al., 2019).

2.4.2 Klasifikasi CKD (Chronic Kidney Disease)

Chronic Kidney Disease (CKD) dapat di klasifikasikan berdasarkan atas 2

hal yaitu derajat (stage) penyakit dan etiologi atau penyebab dari ginjal kronik.

Derajat (stage) penyakit meliputi GFR dan peningkatan albuminuria (Sudoyo et

al, 2014). Menurut Clinical Practice Guideline Update on Diagnosis, Evaluation,

Prevention and Treatment of CKD. Penyakit ginjal kronik di klasifikan kategori

penyebab (C), kategori GFR (G) ; G1-G5, dan kategori Albuminuria (A); A1-A3,

yang disingkat CGA (KDIGO, 2016).

Tabel II.1. Klasifikasi CKD berdasarkan kategori GFR dan albuminuria

Kategori

GFR

GFR

(ml/min/

1.73𝒎𝟐)

Keterangan

G1 > 90 Normal atau tinggi

G2 60-89 Sedikit menurun

G3a 45-59 Sedikit menurun hingga cukup menurun

G3b 30-34 Cukup menurun hingga sangat menurun

G4 15-29 Sangat menurun

G5 < 15 Gagal ginjal

Kategori

Albumin

AER

( mg / 24 Jam )

ACR

(mg / g )

Keterangan

A1 < 30 < 30 Normal hingga sedikit meningkat

A2 30-300 30-300 Cukup meningkat

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

11

A3 >300 >300 Sangat meningkat

Sumber : (Reilly Lukela et al., 2019)

GFR = Glomerular Filtration Rate

AER = Albumin Excretion Rate

ACR = Albumin-to-Creatinine Ratio

Dua rumus yang biasa digunakan untuk menghitung nilai GFR adalah

Rumus Cockcroft-Gault dan rumus MDRD (Aurora, 2012).

Rumus Cockcroft-Gault :

GFR = (𝟏𝟒𝟎−𝑼𝒔𝒊𝒂)𝒙 𝑩𝑩

𝟕𝟐 𝒙 𝑺𝒄𝒓 𝒙 𝑲𝒐𝒏𝒔𝒕𝒂𝒏𝒕𝒂

Keterangan :

Scr : Klirens kreatinin (bersihan kreatinin) dalam ml/menit

U : Umur dalam tahun

BB : Berat badan dalam kilogram

Cr : Nilai kreatinin serum (darah) dalam mg/dL

Konstanta : Laki-laki = 1

Perempuan = 0,85

Rumus MDRD (Modification of Diet in Renal Disease) merupakan

suatu rumus yang menggunakan studi persamaan modifikasi diet pada

penyakit ginjal :

GFR = 186 × (Scr)-1,154 × (Age)-0,203 × (0,742 jika pasien wanita)

× (1,212 jika pasien amerika atau afrika)

Keterangan :

Scr: Klirens kreatinin (bersihan kreatinin) dalam ml/menit

Age: Umur

GFR: Glomerular Filtration Rate

Peningkatan ekskresi albumin urin dapat mencerminkan disfungsi endotel

tidak secara pasti mengindikasikan penyakit ginjal namun, karena CKD dan

disfungsi endotel keduanya terkait dengan peningkatan resiko kardiovaskular

sehingga skrining albuminuria harus dilakukan secara rutin untuk semua pasien

dengan hipertensi. Standar untuk mengukur ekskresi albumin urin adalah melalui

pengumpulan urin 24 jam. Tingkat ekskresi albumin urin yang normal adalah

kurang dari 20 mg / hari. ekskresi albumin persisten antara 30 dan 300 mg / hari

yang disebut mikroalbuminuria, sementara ekskresi albumin > 300 mg / hari

dianggap proteinuria terbuka atau makroalbuminuria (Bomback, A. S. & Bakris,

2011).

Ketika Urine Albumin-to-Creatinine Ratio (UACR) atau kadar rasio

albumin di kreatinin urin di atas 30 mg / g dalam waktu selama lebih dari 3 bulan

merupakan suatu keadaan abnormal. Mikroalbuminuria adalah penanda disfungsi

endotel dan juga merupakan faktor risiko yang independen untuk kejadian

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

12

penyakit ginjal kronik. Makroalbuminuria atau proteinuria, didefinisikan sebagai

ekskresi albumin yang berkelanjutan dengan nilai lebih dari 300 mg / hari (atau

UACR 300 mg / g), dikaitkan dengan resiko kardiovaskular yang jauh lebih tinggi

dan jelas menunjukkan adanya penyakit ginjal (Bomback, A. S. & Bakris, 2011).

2.4.3 Epidemiologi CKD

Penyakit ginjal kronik telah berkembang pesat dalam beberapa dekade

terakhir, prevalensinya lebih meluas secara global. Lebih dari 20 juta orang

Amerika menderita, dan akhirnya meninggal, karena penyakit ginjal kronis.

Berdasarkan data dari National Institute Of Diabetes And Digestive And Kidney

Diseases (NIDDK) biaya tahunan perawatan dialisis pasien dengan penyakit

ginjal stadium akhir meningkat setiap tahunnya (Aurora, 2012) . 10,9% dari

populasi warga amerika serikat atau sekitar 19 juta warga amerika yang berusia 20

tahun atau lebih mengalami CKD. Terdapat 150 kasus / juta nefropati diabetik, 80

kasus / juta nefropati hipertensi dan 22 kasus / juta glomerulonefritis. Pada kasus

ESRD dilaporkan terdapat 106.000 kasus dengan jumlah pasien dialisis 341.000

pasien dan 143.693 pasien transplantasi ginjal (Dipiro et al., 2015). Di Malaysia

diperkirakan terdapat 1800 kasus penyakit gagal ginjal pertahunnya. Di negara-

negara berkembang lainnya diperkirakan terdapat sekitar 40-60 insiden kasus

perjuta penduduk pertahun (Sudoyo et al., 2014).

Gambar 2.3 Grafik pasien Hemodialisis pada tahun 2007-2017

Menurut PERNEFRI (Perkumpulan Nefrologi Indonesia) dalam 10th

Report Of Indonesian Renal Registry tahun 2017 jumlah pasien CKD di Indonesia

terus meningkat dari tahun ke tahun sejalan dengan peningkatan jumlah unit

hemodialisis. Tercatat pada tahun 2017 jumlah pasien baru dan pasien aktif yang

menjalani terapi hemodialisis meningkat tajam. Diketahui pasien baru adalah

pasien yang pertama kali menjalani dialisis pada tahun 2017 sedangkan pasien

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

13

aktif adalah seluruh pasien baik pasien baru tahun 2017 maupun pasien lama dari

tahun sebelumnya yang masih menjalani hemodialisis rutin. Jumlah pasien baru

sebesar mencapai 30.831 pasien sedangan jumlah pasien aktif sebesar 77.892

pasien dengan jumlah unit hemodialisi mencapai 433 unit yang di perkirakan akan

terus meningkat. Proporsi pasien laki-laki lebih banyak dibandingkan wanita yang

didoagnosa CKD dengan persentasi 56% untuk pasien laki-laki dan 44% untuk

pasien wanita (Indonesian Renal Registry, 2017).

2.4.4 Etiologi CKD

Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal seperti

susceptibility factors (faktor kerentanan) faktor yang dapat meningkatkan risiko

penyakit ginjal namun tidak secara langsung menyebabkan kerusakan ginjal.

Yang termasuk dalam kategori ini; lanjut usia, penurunan massa ginjal dan berat

lahir yang rendah, riwayat keluarga, ras atau etnis minoritas, pendapatan rendah

atau pendidikan, peradangan sistemik, dan dyslipidemia. Initiation factors (faktor

inisiasi) yaitu faktor yang secara langsung mengakibatkan kerusakan ginjal dan

dapat dimodifikasi dengan terapi obat. Yang termasuk dalam kategori ini; diabetes

melitus, hipertensi, glomerulonefritis, penyakit ginjal polikistik, granulomatosis,

penyakit vaskular, dan nefropati virus human immuno deficiency (HIV).

Progression factors (faktor progresif) faktor yang mempercepat penurunan

fungsi ginjal setelah inisiasi kerusakan ginjal. Yang termasuk dalam kategori ini;

glikemia pada penderita diabetes, hipertensi, proteinuria, hiperlipidemia, obesitas,

dan merokok (Dipiro et al., 2015).

Gambar 2.4 Proporsi (%) etiologi pada CKD (Indonesian Renal Registry,

2017)

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

14

Saat ini penyebab CKD menjadi bagian yang menarik perhatian, sangat

penting mengetahui penyebab tejadinya CKD dalam pengobatan (Himmelfarb &

Ikizler, 2019). Penyebab yang paling umum adalah hipertensi, diabetes melitus

dan glomerulonefritis (Reilly Lukela et al., 2019).

2.4.4.1 Hipertensi

Hipertensi menjadi salah satu penyebab utama terjadinya CKD hal ini

disebabkan karena tingginya tekanan darah pada pembuluh darah ginjal. Tekanan

darah yang tidak terkontrol akan meningkatkan tekanan intraglomerular, yang

dapat menggangu filtrasi glomerulus. Hal ini berakibat pada kerusakan

glomerulus yang dapat mengakibatkan tingginya filtrasi protein sehingga adanya

ketidak normalan jumlah protein dalam urin atau biasa disebut proteinuria atau

mikroalbuminuria. Merupakan salah satu penanda adanya CKD. Hubungan antara

CKD dan hipertensi bersifat siklis sebab CKD dapat berkontribusi dalam

hipertensi, dan tingginya tekanan darah atau hipertensi dapat menyebabkan

penurunan fungsi ginjal akibat rusaknya pembuluh darah ginjal (Buffet &

Ricchetti, 2012).

2.4.4.2 Diabetes melitus

Diabetes melitus menjadi penyebab tertinggi nomor dua pada CKD,

transmembrane glucose transporters (GLUT) receptors atau reseptor transpor

glukosa tidak memfasilitasi transportasi glukosa intraseluler di ginjal sehingga

terjadinya hiperfiltrasi pada glomerulus yang menyebabkan terjadinya

peningkatan reabsorpsi glukosa pada tubulus proksimal. Diabetes menginduksi

perubahan struktural, termasuk penebalan membran dasar glomerulus, hilangnya

podosit dengan denuding membran basal glomerulus, dan peningkatan proliferasi

sel-sel mesangial. Hiperglikemi yang terus tidak terkontrol mengakibatkan produk

akhir glikosilasi seperi pengendapan protein yang menjadi alasan berkembangnya

proteinuria. Secara klinis ini akan berdampak pada penurunan GFR dan berakhir

dengan keadaan CKD (Himmelfarb & Ikizler, 2019).

2.4.4.3 Glomerulonefritis

Glomerulonefritis merupakan suatu terminologi umum yang

menggambarkan adanya inflamasi pada glomerulus, ditandai oleh proliferasi sel-

sel glomerulus akibat proses imunologi. Glomerulonefritis terbagi atas akut dan

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

15

kronis. Glomerulonefritis merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal

tahap akhir dan tingginya angka morbiditas pada anak maupun pada dewasa.

Sebagian besar glomerulonefritis bersifat kronis dengan penyebab yang tidak jelas

dan sebagian besar bersifat imunologis (Arsid et al., 2019).

Glomerulonefritis akut adalah suatu penyakit yang ditandai dengan gejala

yang mendadak dengan gejala demam, edema di sekitar mata, hipertensi dan

hematuria. Glomerulonefritis kronis merupakan prognosis yang lebih buruk

daripada glomerulonefrtis akut dan sering berakhir dengan penyakit ginjal. Gejala

dimulai dengan adanya pengendapan kompleks imun di dalam glomerulus.

Glomerulonefritis kronik dengan pemeriksaan menunjukkan adanya hematuria,

proteinuria, glukosuria sebagai akibat dari disfungsi tubulus dan beragam silinder.

Sindrom nefrotik ditandai dengan proteinuria masif yaitu lebih besar dari 3,5

g/hari, kadar albumin rendah, kadar lemak serum tinggi dan edema (Strasinger,

2016).

2.4.5 Patofisilogi CKD

Faktor yang mendasari jalur ini adalah kehilangan massa nefron,

hipertensi kapiler glomerulus dan proteinuria. Paparan terhadap faktor resiko

yang terus menerus akan menyebabkan kerugian pada massa nefron, akibatnya

terjadinya hipertrofi yang mengkompensasi hilangnya fungsi ginjal dan massa

nefron. hipertrofi dapat menyebabkan perkembangan hipertensi intraglomerular

yang dimediasi oleh terbentuknya angiotensin II. Angiotensin II merupakan

vasokonstriktor poten arteriol aferen dan eferen, tetapi lebih mempengaruhi

arteriol eferen, menyebabkan peningkatan tekanan dalam kapiler glomerulus dan

akibatnya peningkatan filtrasi. Tingginya tekanan intraglomerular dapat merusak

fungsi ukuran selektif dari penghalang permeabilitas glomerulus yang

menyebabkan peningkatan pada ekskresi albumin atau proteinuria. Peristiwa ini

pada akhirnya menyebabkan jaringan parut interstitium, hilangnya struktural dari

unit nefron secara progesif, dan pengurangan GFR (Dipiro et al., 2015).

Adanya peningkatan aktifitas Renin-angiotensin aldosteron turut serta

dalam terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progesifitas CKD. Beberapa kejadian

yang dianggap berpengaruh terhadap progesifitas penyakit ginjal kronik adalah

albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dan dislipidemia. Pada stadium awal

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

16

penyakit ginjal kronik menunjukan nilai GFR yang masih normal atau meningkat

namun secara perlahan akan terjadi peningkatan urea dan kreatinin seum akibat

penurunan fungsi nefron yang progesif. Secara perlahan juga dapat menurunkan

GFR hingga dapat mengakibatkan komplikasi yang lebih serius dan pasien

memerlukan terapi pengganti ginjal sepeti dialisis atau transplantasi ginjal

(Sudoyo et al., 2014)

Gambar 2.5 Patogenesis CKD (Wong, 2013)

Pada dasarnya ketika setengah dari nefron total hilang, CKD berkembang

dengan cara yang sama tanpa memandang etiologi. Hiperfiltrasi yang terjadi di

glomerulus mengaktifkan Renin Angiotensin Aldosterone System (RAAS) serta

meningkatkan permeabilitas membran. Peningkatan tekanan tersebut yang dapat

merusak endotel serta sawar filtrasi glomerulus dalam ginjal, dari proses tersebut

akan berlanjut pada terjadinya lolosnya protein dan senyawa makromolekul lainya

yang ditemukan dalam urin (proteinuria atau mikroalbuminuria). Aktifnya RAAS

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

17

dan tingginya serapan protein di tubulus menyebabkan peradangan dan fibrosis

glomerulus dan tubulus. Pada akhirnya menyebabkan penurunan GFR secara

progresif dan komplikasi sistemik terjadi (Wong, 2013).

RAAS memainkan peran penting dalam hipertensi terkait CKD. RAAS

mempunyai efek kuat pada kontrol tekanan darah dan pada organ target kerusakan

akibat hipertensi. Ia juga mengontrol keseimbangan cairan dan elektrolit efek

terkoordinasi pada jantung, pembuluh darah, dan ginjal. Aktivasi RAAS dapat

menyebabkan vasokonstriksi yang dimediasi oleh angiotensin II serta retensi

garam yang dimediasi aldosteron, sehingga meningkatkan kedua resistensi perifer

total dan volume darah. Angiotensin II juga dapat mempotensiasi reabsorpsi

natrium, meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatis (SNS) dan RAAS dapat

mengganggu pertahanan tekanan perfusi intraglomerular dan GFR (Georgianos &

Sarafidis, 2016).

2.4.6 Diagnosa CKD

Secara umum diagnosa pada CKD membutuhkan adanya penurunan fungsi

ginjal selama 3 bulan atau lebih dan bukti kerusakan ginjal (misalnya

Albuminuria atau biopsi abnormal) atau GFR <60 mL / menit / 1,73 𝑚2

(Georgianos & Sarafidis, 2016) . Pemeriksaan laboratorium sangat membantu

dalam mengidentifikasi dan mengevaluasi fungsi ginjal. Pada saat ini telah

dikembangkan beberapa pemeriksaan laboratorium yang bertujuan untuk menilai

fungsi ginjal. Pemeriksaan laboratorium tersebut antara lain:

Pemeriksaan Urinalisis : merupakan pemeriksaan awal pada gangguan

penyakit ginjal kronik dengan kerusakan metabolisme (Strasinger, 2016).

Warna : Kuning pucat - kuning

Kejernihan : jernih tidak terlihat partikulat, transparan

Berat Jenis : 1,015 - 1,030

pH : 4,5 – 8,0

Kadar Kreatinin :Kreatinin merupakan zat nonprotein nitrogen sebagai

hasil metabolisme kreatin otot, zat endogen yang difiltrasi bebas, tidak

mengalami reabsorbsi ditubulus ginjal, tetapi sejumlah kecil kreatinin

disekresi oleh sel tubulus ginjal. Kadarnya di plasma relatif konstan dan

klirensnya dapat diukur sebagai indikator laju filtrasi glomerulus.

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

18

Nilai kreatinin serum normal: 0,6 – 1,3 mg/dL.

Kreatinin serum > 1,5 mg/dL menunjukkan telah adanya gangguan fungsi

ginjal (Rahmawati, 2018).

Klirens Kreatinin :merupakanvolume plasma yang dibersihkan dalam

waktu tertentu. Klirens kreatinin dilaporkan dalam mL/menit, merupakan

penilaian fungsi ginjal berdasarkan laju filtrasi glomerulus

Laki-laki : 97 mL/menit – 137 mL/menit per 1,73m2

Perempuan : 88 mL/menit – 128 mL/menit per 1,73m2

eGFR : >60/mL/menit/1,73 m2 (Verdiansah, 2016).

BUN (Blood Urea Nitrogen) : suatu pemeriksaan kadar nitrogen ureum

darah atau BUN yang dilakukan dengan cara mengukur konsentrasi

nitrogen di dalam plasma darah untuk mendeteksi kelainan fungsi ginjal.

Pasien penyakit ginjal kronik mengalami peningkatan pada nilai BUN.

Nilai BUN normal pada orang dewasa : 10-20 mg/dL (Pagana et al.,

2015).

Pemeriksaan Cystatin C :Cystatin C adalah protein berat molekul rendah

yang diproduksi oleh sel-sel berinti. Cystatin C terdiri dari 120 asam

amino. Pengukuran cystatin C mempunyai kegunaan yang sama dengan

kreatinin serum dan klirens kreatinin untuk meme riksa fungsi ginjal.

Kebalikan dari klirens kreatinin kadar cystatin C dalam darah yang

meningkat akan menunjukkan adanya penurunan fungsi ginjal. kadar

Cystatin–C darah normalnya = 0,37 – 1,33 mg/dl (Rahmawati, 2018)

Anion Gap :suatu pemeriksaan untuk mengukur jumlah kation dan anion

yang berguna dalam mempertahankan keseimbang ekstraseluler. Serum

anion gap (SAG) dapat digunakan untuk menjelaskan penyebab asidosis

metabolik. Tinggi kadar anioin gap (>17 mEq/L [>17 mmol/L]) hadir

pada pasien penyakit ginjal kornik dengan stadium 4 atau 5 karena

akumulasi anion organik, fosfat. Serum anion gap dapat dihitung dengan

rumus :

SAG = [Na+] − [Cl−] − [HCO3)

Anoin gap normal adalah sekitar 9 mEq/L (9 mmol/L) dengan kisaran 3

hingga 11 mEq/L (3–11 mmol/L) (Dipiro et al., 2015). Menurut

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

19

Rahmawati, 2018 berikut nilai normal ion yang digunanakan dalam

perhitungan anion gap:

Kalium (K+ ) : 3,5 – 5 meq/L.

Natrium (Na+) : 136 – 146 meq/L.

Klorida (Cl-) : 95 – 107 mmol/L

Fosfat : 2,5 – 4,5 mg/dl.

Bikarbonat : 20 – 28 mmol/L

Kalsium (Ca) : 8,8 – 10,2 mg/dl.

2.4.7 Meninfestasi Klinik CKD

Ginjal yang rusak akan mempunyai dampak yang merugikan pada sistem

organ lainnya, terutama pada pengembangan ESRD. Pada pasien CKD stadium 1

dan 2 biasanya tidak terdapat gejala yang terkait (Dipiro et al., 2015). Pada CKD

stadium 2 dengan penurunan ringan pada rentang GFR 60-89 mL/ menit /1,73m2,

dengan tanda asimtomatik, kemungkinan hipertensi, pemeriksaan darah biasanya

dalam batas nomal. CKD pada stadium 3 dengan adanya penurunan GFR 30-59

mL/ menit /1,73 m2 yang disertai dengan hipertensi, kemungkinan anemia,

keletihan dan anoreksia, nyeri tulang, kenaikan ringan pada BUN dan serum

kreatinin. Pada CKD stadium 4 dengan penurunan berat pada GFR pada rentang

15-29 mL/menit/1,73 m2 disertai dengan hipertensi, anemia, malnutrisi, edema,

asidosis metabolik, peningkaan BUN dan serum kreatinin (Webster et al., 2017).

Pada kejadian ESRD dengan nilai GFR <15mL/ menit /1,73 m2 , adanya

kebutuhan terapi penggantian ginjal untuk keberlangsungan hidup dan sering

disertai dengan gagal ginjal dengan azotemia dan uremia nyata, anemia, asidosis

metabolik, osteodistrofi, neuropati dan disertai hipertensi, retensi cairan dan

kerentanan terhadap infeksi (Marriott et al., 2012).

2.4.8 Komplikasi pada CKD

2.4.8.1 Hiperkalemia

Ginjal memainkan peran yang dominan dalam homeostasis kalium,

Mekanisme homeostasis menjaga konsentrasi K+ plasma antara 3,5 dan 5,0

mEq/L. Pada pasien CKD, hiperkalemia adalah masalah yang serius pada

penyakit ginjal kronik. Terjadi penurunan ekskresi K+ yang menyebabkan asupan

K+ berlebihan. Asupan makanan serta obat-obatan yang dapat mempengaruhi

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

20

sumbu renin angiotensin aldosteron juga merupakan penyebab utama

hiperkalemia. Aldosterone memiliki jurusan mempengaruhi ekskresi kalium sebab

adanya transport K+ aldosteron yang dimediasi mengalami peningkatan sehingga

terjadi kelainan pada sistem renin-angiotensin aldosteron dapat menyebabkan

hipokalemia dan hiperkalemia. Dikatakan hiperkalemia jika kadar kalium plasma

5,5 mEq/L dan jika kadar kalium plasma > 6,0 mEq/L menandakan hiperkalemia

berat (Jameson & Loscalzo, 2013).

2.4.8.2 Hipernatremia

Hipernatremia merupakan suatu sindrom tonisitas plasma yang

menyebabkan perubahan rasio perturakan total natrium tubuh dengan total air

tubuh. Ginjal mengatur ekskresi air melalui mekanisme umpan balik dengan

hipotalamus, sehingga osmolalitas serum tetap relatif konstan. Osmolalitas

plasma sebagian besar ditentukan oleh konsentrasi natrium dan anion klorida

(Dipiro et al., 2015). Hipernatremia didefinisikan sebagai peningkatan plasma

Konsentrasi Na + hingga > 145 mEq/L. Hipernatremia biasanya merupakan hasil

dari gabungan air dan defisiensi elektrolit, dengan hilangnya H2O pada orang

memiliki kadar Na+ berlebih. Hipernatremia dapat terjadi setelah kehilangan air

karena asupan natrium ikut terekresi dalam urin sehingga kadar natrium dalam

darah tidak seimbang. Hal ini dapat menyebabkan hipertensi sebab natrium dapat

mempengaruhi tekanan darah (Jameson & Loscalzo, 2013).

2.4.8.3 Asidosis Metabolik

Salah satu fungsi ginjal adalah untuk mengatur pH darah melalui sekresi

ion hidrogen, reabsorpsi natrium dan bikarbonat, dan produksi amonia, yang

bertindak sebagai penyangga titrasi asam untuk menghilangkan ion hidrogen yang

diproduksi dalam proses metabolisme dan regenerasi bikarbonat. Pada CKD

terjadi penurunan fungsi ginjal sehingga mekanisme ini menjadi terganggu, dan

menyebabkan gangguan asidosis metabolik. Asidosis metabolik merupakan

gangguan yang umum terjadi pada CKD stadium lanjut. Keadaan gangguan

asidosis metabolik ini mungkin dalam dapat diatasi oleh penyangga dari tulang,

akan tetapi penyangga ini dapat meningkatkan dalam kerusakan skeletal dan

tulang pada kasus CKD (Porth, 2015). Faktor utama terjadinya asidosis metabolik

adalah penurunan ekskresi asam pada ginjal yang ditambah dengan pengurangan

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

21

produksi bikarbonat. Penurunan serum bikarbonat ada kaitannya dengan

penurunan pH darah (asidosis metabolik) sering terjadi namun tidak dapat

diabaikan dalam CKD (Raghavan & Eknoyan, 2014).

2.4.8.4 Anemia

Salah satu gangguan hematologi dalam kasus CKD adalah anemia, yang

merupakan suatu kondisi yang disebabkan oleh pengurangan produksi

erythropoietin juga kekurangan zat besi dan karnitin, vitamin B12, dan folat, serta

kehilangan darah. Pada penyakit ginjal kronik penggunaan erythropoietin dan zat

besi untuk mengembalikan kadar hemoglobin (Bomback, A. S. & Bakris, 2011).

Anemia telah mendapat perhatian pada CKD stadium 3 dan bahkan pada CKD

stadium 4 anemia hampir selalu hadir menyertai (Jameson & Loscalzo, 2013).

Menurut KDIGO dikatan anemia jika kadar hemoglobin (Hb) kurang dari 13 g /

dL (130 g / L; 8.07 mmol / L) untuk pria dewasa dan kurang dari 12 g / dL (120 g

/ L; 7,45 mmol / L) untuk wanita dewasa (Dipiro et al., 2015).

2.4.8.5 Gangguan mineral dan tulang pada CKD

Pada awal penyakit ginjal kronis terjadi gangguan kalsium, fosfat, dan

vitamin D. hal ini disebabkan karena adanya gangguan dalam regulasi ginjal pada

kadar kalsium dan fosfat, aktivasi vitamin D, dan regulasi tingkat hormon

paratiroid. Pada CKD terjadi penurunan fungsi ginjal yang menyebabkan ekskresi

fofat terganggu sehingga kadar fostat dalam serum meningkat. Penurunan fungsi

ginjal juga menyebabkan calcitriol dalam bentuk aktif vitamin D dan juga kadar

serum kalsium menurun. Penurunan kadar serum kalsium, dapat merangsang

pelepasan parathyroid hormone (PTH). Meningkatnya PTH akan meningkatkan

resorpsi dan pelepasan mineral dari tulang (Jameson & Loscalzo, 2013).

2.4.8.6 Edema

Pada penyakit ginjal kronik adanya penumpukan cairan dalam tubuh

karena gangguan keseimbangan tekanan osmotik pembuluh darah. Perpindahan

cairan dari intravaskular menuju ekstravaskular yang memicu terjadinya udem.

Gangguan keseimbangan elektrolit seperti tingginya kadar natrium dan air akibat

terganggunya sistem ekskresi serta proteinuria menyebabkan tubuh mengalami

hipoalbumin menjadi alasan terganggunya tekanan osmotik tersebut (McPhee et

al., 2014). Pada kondisi tersebut diperlukan suatu agen osmotik yang dapat

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

22

mempengaruhi keseimbangan air dan juga mempunyai keterkaitan dengan

peningkatan ekskresi natrium yang secara bersamaan dapat mengakibatkan

hilangnya air dan pengurangan volume ekstraselular (Rosenfeld et al., 2014).

Agen osmotik yang dapat digunakan berupa golongan diuretik (Dipiro et al.,

2015).

2.4.8.7 Hipertensi

Hipertensi dapat berakibat pada kegagalan ginjal yang mana hipertensi

pada dasarnya merusak pembuluh darah, jika pembuluh darah yang berada dalam

ginjal mengalami tekanan darah yang tidak terkontrol maka pembuluh darah

tersebut akan tertekan dan dapat mengganggu fungsi ginjal. Ginjal mempunyai

Fungsi utama yaitu sebagai sistem penyaring untuk membuang kelebihan air dan

limbah di dalam darah. Fungsi penyaringan ini dijalankan oleh jutaan pembuluh

darah kecil di dalam ginjal. Tekanan darah yang tidak terkontrol dapat merusak

pembuluh darah dan nefron di dalam ginjal. Nefron yang rusak tidak akan dapat

melakukan tugasnya untuk menyaring limbah, natrium, serta kelebihan cairan

dalam darah. Kelebihan cairan dan natrium yang terdapat dalam aliran darah

memberikan tekanan ekstra pada dinding pembuluh darah, sehingga

meningkatkan tekanan darah (Dharma, 2014).

2.4.9 Tatalaksana terapi CKD

Tujuan dari penatalaksanaan terapi penyakit ginjal kronis adalah untuk

menunda perkembangan CKD, dengan demikian meminimalkan perkembangan

atau keparahan komplikasi terkait termasuk penyakit kardiovaskular. Penggunaan

terapi non farmakologis dan farmakologis diperlukan untuk memperlambat laju

perkembangan CKD dan juga dapat mengurangi kejadian dan prevalensi ESRD

(Dipiro et al., 2015). Penatalaksaan terapi penyakit ginjal kronik meliputi

pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (penyakit penyerta),

memperlambat dan mencegah progesifitas fungsi ginjal yang memburuk,

pencegahan dan terapi terhadap komplikasi yang terjadi, pencegahan dan terapi

penyakit kardiovaskular serta terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau

transplantasi ginjal pada kondsi ESRD (Sudoyo et al.,2014).

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

23

2.4.9.1 Terapi Farmakologis Pada CKD

Tabel II. 2 Terapi Komplikasi CKD (Martin & Talbert, 2013).

Komplikasi Farmakoterapi Keterangan

Edema pada CKD Hidroklorotiazid,

Spironolakton,

Furosemid

terapi farmakologis utama

untuk edema, dengan

meningkatkan ekskresi Na+

serta mengurangi cairan

yang terakumulasi di

jarigan.

Proteinuria pada CKD ACE Inhibitor,

ARB, diuretik Baik ACEI dan ARB dapat

mengurangi ekskresi protein

sebesar 35-40%.

Spironolakton

dikombinasikan dengan

ACEI atau ARB dapat

mengurangi proteinuria

lebih besar monitor serum

K+ apabila diberikan

kombinasi ini

Hiperlipidemia Statin Targetkan LDL <100 mg /

dL

Anemia ESA

(Erythropoietin-

stimulating agents)

dan zat besi

Pertimbangkan ESA jika

Hgb antara 9-10 g / dL,

maksimum Hgb = 11,5 g /

dL sesuai untuk kebanyakan

pasien

Pemberian zat besi oral atau

secara IV jika pasien

memiliki gangguan GIT

Asidosis

Metabolik Natrium

Bikarbonat

Tujuannya untuk

mempertahankan serum

HCO3 ≡ 24 mEq / L

Normal serum bikarbonat

22-28 mEq/L

Gangguan mineral dan

tulang pada CKD atau

CKD mineral and bone

disorder (CKD MBD)

Analog vitamin

D(Parikalsitrol),

Terapi pengikat

fosfat (Kalsium

karbonat,

lanthanum

kalkimimetik

Menekan kelenjar paratiroid

untuk menghasilkan sekresi

Hormon Paratiroid (PTH).

Sekresi PTH, serum Ca++

dan fosfat berada pada batas

normal.

Hiperkalemia Ca. gluconas ,

dekstrosa, insulin memberikan efek yang

terlihat dalam menurunkan

kadar 𝑘+ tetapi diperlukan

pemantauan efek samping

hipoglikemia

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

24

2.4.9.1.1 Hipertensi pada CKD

Hipertensi atau tekanan darah tinggi didefinisikan sebagai kenaikan

tekanan darah arteri yang meningkat secara persisten. Tekanan darah arteri

merupakan suatu tekanan di dinding arteri yang dapat diukur dalam milimeter

merkuri (mm Hg). Tekana darah arteri meliputi tekanan darah sistolik (SBP) dan

tekanan darah diastolik (DBP) (Dipiro et al., 2015). Hipertensi dapat disebut

sebagai “silent killer” (pembunuh diam-diam) sebab tidak menunjukan tanda

peringatan atau gejala yang jelas sebelum diagnosis. Tekanan darah arteri

dipertahankan pada nilai SBP dari 130 – 139 mmHg dan DBP dari 85 – 89

mmHg, sebab kenaikan tekanansistolik maupun diastolik akan mengkompensasi

perkembangan CKD (Oktaviarini et al., 2019).

Tabel II.3 Klasifikasi Hipertensi menurut JNC 7 (Weir & Lerma., 2015).

Tekanan sistolik / diastolik Kategori

<120 / 80 Normal

120-135 / 80-89 prehipertensi

>140/90 hipertensi

140-159 / 90-99 Hipertensi tahap 1

>160/100 Hipertesni tahap 2

Terdapat keterkaitan antara kenaikan tekanan darah dan penyakit ginjal

kronis sebab tingkat tekanan darah yang dicapai berkorelasi dengan pelestarian

fungsi ginjal pada pasien CKD. Studi yang telah dilakukan menunjukan

penurunan tekanan darah dapat memperlambat perkembangan CKD (Dipiro et al.,

2015). Hipertensi dan CKD merupakan hubungan dua arah: CKD menyebabkan

hipertensi, dan hipertensi menyebabkan CKD. Hipertensi merupakan salah satu

faktor pencetus dari CKD, yang merupakan kondisi yang ireversibel / tidak dapat

kembali. Hipertensi akan menyebabkan vasokonstriksinya pembuluh darah

sehingga akan menurunkan pasokan darah yang menuju ginjal. Menurut Renal

Data System Amerika Serikat, hipertensi dilaporkan sebagai penyebab utama

kedua dari insiden ESRD. Tingkat keparahan hipertensi dalam CKD

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

25

meningkatkan risiko ESRD sehingga meningkatkan perkembangan CKD dari

komplikasinya. Manajemen terapi hipertensi pada pasien CKD menjadi hal utama

yang harus dilakukan (Himmelfarb & Ikizler, 2019).

Penyakit hipertensi tidak dapat disembuhkan, namun dapat dikendalikan.

Penderita hipertensi biasanya disertai oleh penyakit penyerta. Umumnya,

golongan obat antihipertensi yang dikenal yaitu, diuretik, ACEI, ARB, Calcium

Channel Blocker (CCB), Alfa dan Beta bloker dapat membantu untuk mencapai

tujuan tekanan darah < 140/90 mmHg atau < 130/80 mmHg (Sonya.A.P, Bagus,

2019).

Gambar 2.6 Algoritma Hipertensi pada CKD (Dipiro et al., 2015)

Pada penyakit ginjal kronik dengan atau tanpa diabetes, terjadi penurunan

fungsi ginjal yang disebabkan oleh hipertensi. Tekanan darah tinggi dapat

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

26

berkontribusi lebih awal pada CKD dengan hasil akhir yang merugikan. Pada

pasien CKD tekanan darah yg diharapkan dapat dicapai adalah < 140/90 mmHg

dan <130/80 untuk pasien dengan DM dan albuminuria. Terapi awal yang dapat

diberikan berupa golongan ACEI atau ARB, jika tekanan darah masih tinggi maka

diberikan dapat juga diberi terapi tambahan CCB/ diuretik (Abraham G.et al.,

2017). Setelah pemberian 3 kombinasi antihipertensi namun tekanan darah pasien

masih berada di atas target, pertimbangkan penambahan Alfa bloker, beta bloker

dan vasodilator harus terus di monitor terkait efek samping yang mungkin terjadi

yaitu hipotensi, takikardi dan nyeri kepala (Steddon et al., 2014).

2.4.9.1.1.1 RAAS Inhibitor

Renin adalah suatu enzim yang dilepaskan sebagai respon penurunan

tekanan ateri aferen, penurunan kadar natrium dan aktifasi sistem saraf simpatik.

pada pasien dengan CKD. Renin menyebabkan pembelahan protein

angiotensinogen, yang diproduksi oleh hati, untuk menghasilkan angiotensin I.

Angiotensin I diubah menjadi angiotensin II oleh Angiotensin Converting Enzyme

(ACE) (Marriott et al., 2012). Angiotensin II memiliki dua efek farmakologis

yang utama. Pertama, sebagai pemicu produksi hormone aldosterone pada

glumerulosa korteks adrenal dan pelepasan hormone antidiuretik (ADH).

Aldosteron dan ADH dapat menurunkan pengeluaran air dari tubuh, sehingga

dapat mengakibatkan meningkatnya volume cairan dan tekanan darah (Saladin et

al., 2018).

Renin Angiotensin Aldosterone System (RAAS) memainkan peran penting

dalam pengaturan tekanan darah, volume cairan, dan keseimbangan natrium.

Aktivitas RAAS yang berlebihan berkontribusi pada patogenesis berbagai kondisi

klinis termasuk perkembangan CKD. Penggunaan inhibitor RAAS sebagai terapi

ganda atau monoterapi pada berbagai tahap penyakit ginjal. Studi eksperimental

dan klinis telah menunjukkan inhibitor RAAS mencegah proteinuria, fibrosis

ginjal dan penurunan fungsi ginjal yang lambat dan dengan demikian memainkan

peran protektif pada tahap awal dan akhir penyakit ginjal. ACEI, ARB dan

Inhibitor renin merupakan jenis inhibitor RAAS (Weir et al., 2015)

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

27

Gambar 2.7 Aksi dari Renin Inhibitor; Ace inhibitor; dan ARB (Katzung, 2012).

RAAS adalah sekelompok obat yang bekerja dengan menghambat sistem

renin-angiotensin-aldosterone dan termasuk inhibitor enzim pengonversi

angiotensin (ACEI), penghambat reseptor angiotensin (ARB), dan inhibitor renin.

ACE inhibitor dan ARB biasanya digunakan dalam pengobatan pasien dengan

hipertensi, gagal jantung, penyakit ginjal kronis, dan pasien yang menderita infark

miokard. Inhibitor renin langsung dapat dipertimbangkan pada pasien hipertensi

jika inhibitor ACE atau ARB tidak ditoleransi dengan baik. Obat ini tidak boleh

digunakan dalam kombinasi dengan inhibitor RAAS lainnya (Damman &

Lambers-Heerspink, 2014).

2.4.9.1.1.1.1 Renin Inhibitor

Aliskiren merupakan satu-satunya renin inhibitor yang tersedia yang

bertindak dengan menghalangi aktivitas katalitik renin dan menghambat produksi

AT I dan AT II (Tripathi et al., 2013). Beberapa Uji klinis menunjukan bahwa

renin inhibitor memiliki efektifitas yang menyerupai ACEI dan ARB dalam

menurunkan tekanan darah. Aliskiren sebaiknya tidak dikombinasikan dengan

ACEI atau ARB pada pasien dengan gangguan ginjal atau diabetes karena

peningkatan risiko efek samping yang serius (Rosenfeld, et al., 2014)

Aliskiren di berikan secara oral dan dieliminasi pada urin, dapat

menyebabkan diare, terutama pada dosis yang lebih tinggi, dan juga dapat

menyebabkan batuk dan angioedema, namun mungkin lebih jarang dari pada

ACEI (Whalen et al., 2015). Dewasa > 18 tahun, Dosis awal 150 mg 1 kali sehari,

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

28

jika tekanan darah tidak terkontrol, dosis ditingkatkan hingga 300 mg 1 kali

sehari, diberikan tunggal atau kombinasi dengan antihipertensi lain, diberikan

tidak bersama makanan. Sediaan aliskiren di Indonesia umumnya tablet salut

selaput 150 mg dan 300 mg (Rasilez) (BPOM RI, 2015).

2.4.9.1.1.1.2 Angiotensin converter enzym inhibitors (ACEI)

Angiotensin converter enzym merupakan dipeptidil karboksipeptidase

dengan atom seng, yang merupakan suatu enzim yang berada pada paru, tubulus

proksimal ginjal, saluran gastrointestinal, organ jantung dan otak. Konsentrasi

tertinggi ACE terdapat pada kapiler paru. ACE terdiri dari satu rantai polipeptida

yang mengandung dua domain yaitu atom N dan C, ACE hadir sebagai enzim

ikatan membran dan sirkulator globular (Balasuriya dan Rupasinghe., 2011).

Tabel II.4 Dosis Obat Antihipertensi golongan ACEI (Talbert & Martin, 2013)

Obat (merek) Kisaran dosis

harian (mg / hari)

Dosis Per Hari

Ramipril (Altace) 2.5 – 10 1 atau 2

Captopril (Capoten) 12.5 – 150 2 atau 3

Fosinopril (Monopril) 10–40 1

Moexipril (Univasc) 7.5–30 1 atau 2

Benazepril (Lotensin) 10 – 40 1 atau 2

Enalapril (Vasotec) 5 – 40 1 atau 2

Lisinopril (Privinil, Zestril) 10 – 40 1

Perindopril (Aceon) 4–16 1

Quinapril (Accupril) 10–80 1 atau 2

Trandolapril (Mavik) 1 – 4 1

ACEI secara lansung bekerja selektif dalam memblokir enzim yang

mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II. Angiotensin II memiliki peran

penting dalam patogenesis CKD dengan hipertensi sebab stimulasi angiotensin II

yang berlebih dapat menginduksi disfungsi endotel pada ginjal yang dapat

berkembang menjadi glomerulosklerosis, tubulointerstitial, fibrosis dan sklerosis

vaskular dan di khawatirkan terus berkembang hingga tahap akhir penyakit ginjal

(ESRD). Selain memblokir angiotensin I menjadi angiotensin II, ACEI juga

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

29

bertindak dalam modulasi keseimbangan fibrinolitik, vasodilatasi arteriol eferen,

dan dapat mengurangi pelepasan aldosteron dan vasopresin sehingga

menghasilkan peningkatan plasma braykinin sehingga terjadi penurunan tekana

darah (Filardi et al., 2015). ACEI pada umumnya adalah obat yang ditoleransi

dengan baik. Namun, kemungkinan batuk dan angioedema harus diingat ketika

meresepkan obat ini. Batuk tidak biasa (10-20%) dengan fitur batuk yang

diinduksi ACEI adalah batuk kering, iritasi, dan tidak produktif (Laurent., 2017).

Obat golongan ACEI ini pertama yang digunakan sebagai kelas terapi

dalam satu dekade terakhir adalah captopril, lisinopril, ramipril, enalapril.

Beberapa obat tersebut efektif dalam mengatur tekanan darah pada pasien CKD

namun jika penggunaan obat terus diperpanjang dapat terjadi efek yang tidak di

inginkan seperti pusing, batuk, dan edema angioneurotik (Balasuriya dan

Rupasinghe., 2011). Semua obat golongan ACEI yang digunakan secara oral

dapat sebagai obat atau prodrug, kecuali kaptopril dan lisinopril sebab akan

menuju dan dirubah menjadi metabolik aktifnya. Sehingga obat ini juga di jadikan

pilihan pada pasien dengan gangguan hati berat (whalen et al., 2015). Selain dapat

menurunkan tekanan darah, ACEI juga dapat mengurangi tekanan

intraglomerular, yang berarti dapat memberikan tambahan manfaat dengan

mengurangi penurunan fungsi ginjal (Dipiro et al., 2015).

2.4.9.1.1.1.3 Angiotensin Reseptor Bloker (ARB)

Angiotensin reseptor bloker (ARB) memiliki mekanisme yang serupa

dengan ACEI dalam blokade RAAS. Antihipertensi golongan ARB maupun ACEI

digunakan sebagai terapi lini pertama untuk mengontrol tekanan darah dan dapat

melestarikan fungsi ginjal dalam mencegah penyakit ginjal kronis (Dipiro et al.,

2015). Perbedaan yang dimiliki antara ARB dan ACEI adalah dimana ARB

berkerja dengan memblokir angiotensin II dari reseptor angiotensin I (AT1) yang

ada pada semua jaringan. ARB menyebabkan vasodilatasi dan mengurangi retensi

perifer (Kee et al., 2015). Dapat dikatakan adanya kemungkinan ARB akan lebih

unggul dari ACEI dalam mengurangi komplikasi terkait hipertensi sebab ACEI

pada akhirnya menurunkan stimulasi reseptor tipe 1 dan tipe 2 dengan

menurunkan produksi angiotensin II (Allderedge et al., 2013). ACEI berperan

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

30

Gambar 2.8 Blokade jalur RAS dengan ACE inhibitor dan ARB (Ruilope et al.,

2007)

Angiotensin reseptor bloker (ARB) memiliki mekanisme yang serupa

dengan ACEI dalam blokade RAAS. Antihipertensi golongan ARB maupun ACEI

digunakan sebagai terapi lini pertama untuk mengontrol tekanan darah dan dapat

melestarikan fungsi ginjal dalam mencegah penyakit ginjal kronis (Dipiro et al.,

2015). Perbedaan yang dimiliki antara ARB dan ACEI adalah dimana ARB

berkerja dengan memblokir angiotensin II dari reseptor angiotensin I (AT1) yang

ada pada semua jaringan. ARB menyebabkan vasodilatasi dan mengurangi retensi

perifer (Kee et al., 2015). Dapat dikatakan adanya kemungkinan ARB akan lebih

unggul dari ACEI dalam mengurangi komplikasi terkait hipertensi sebab ACEI

pada akhirnya menurunkan stimulasi reseptor tipe 1 dan tipe 2 dengan

menurunkan produksi angiotensin II (Allderedge et al., 2013). ACEI berperan

dalam peningkatan kinins, yang bertanggung jawab dalam beberapa efek samping

ACEI seperti batuk. (Steddon et al., 2014)

ARB memiliki mekanisme kerja yang istimewa selain sebagai agen

menurunkan tekanan darah juga ARB sebagai renoprotektan pada nefropati dapat

melindungi glomerulus melalui penurunan vasokontriksi arteriol eferen

glomerulus juga penurunan hipertensi intra glomerulus serta mengurangi

hiperfiltrasi (Marriott et al., 2012). Beberapa obat golongan ARB tersedia dalam

obat generik namun harganya masih di atas harga obat golongan ACEI, hanya

losartan yang harganya sebanding dengan harga obat kelas generik lainnya. Efek

samping yang terkait dalam golongan ARB biasanya ringan dan sementara, dan

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

31

termasuk pusing, sakit kepala, dan hipotensi ortostatik terkait dosis. Pengunaan

ARB juga dipertimbangkan pada pasien yang tidak ditoleransi dengan ACEI

(Wemerec, 2012). Obat yang termasuk golongan ARB antara lain, Candesartan,

eprosartan, irbesartan, losartan, olmesartan, telmisartan, valsartan (steddon et al.,

2014).

Tabel II.5 Dosis Obat Antihipertensi golongan ARB (Talbert & Martin, 2013)

Obat (merek) Kisaran dosis harian

(mg / hari)

Dosis Per Hari

Valsartan (Diovan) 40–320 1

Losartan (Cozaar) 50–100 1 atau 2

Telmisartan (Micardis) 20–160 1

Candesartan (Atacand) 8–32 1 atau 2

Olmesartan (Benicar) 20–40 1

Irbesartan (Avapro) 150–300 1

Eprosartan (Teveten) 600–800 1 atau 2

Losartan dan valsartan adalah antihipertensi golongan ARB yang pertama

dipasarkan dari reseptor angiotensin II tipe 1 (AT1), yang kemudian disusul

dengan candesartan, eprosartan, irbesartan, telmisartan dan olmesartan yang kini

ada juga dipasaran. Bradikinin tidak berpengauh terhadap kerja ARB sehingga

ARB merupakan penghambat efek angiotensin yang lebih selektif dari pada ACEI

(Katzung, 2015). Hubungan yang terlibat antara ARB dan GFR dikaitkan dengan

kerja ARB yang menghambat angiotensin II yang menginduksi terjadinya

penyempitan mesangial yang dapat meningkatkan koefisien filtrasi glomerulus.

Poliferasi sel mesangial adalah ciri khas terjadinya cedera ginjal seperti

glomerulonefritis, sehingga dalam pengobatan ARB juga dapat dapat mengurangi

dan bahkan menghapuskan poliferasi sel mesangial (kobori et al., 2013).

2.4.9.1.1.1.3.1 Valsartan

Valsartan merupakan obat yang termasuk ke dalam golongan angiotensin

reseptor bloker (ARB), efek fisiologis valsartan dapat menurunkan tekanan darah,

mengurangi kerja jantung, menurunkan aldosteron serta meingkatkan ekskresi

natrium. (Drugbank, 2019).

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

32

Gambar 2.9 Struktur kimia valsartan (Drugbank, 2019).

Valsartan merupakan pilihan yang tepat sebagai pengobatan lini pertama

pasien dengan hipertensi ringan sampai sedang (Siddiqui et al., 2011). Terdapat

penelitian yang menyatakan bahwa valsaran memiliki efek metabolik ginjal yang

positif. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa selain dapat menurunkan

tekanan darah valsartan juga menunjukan efek menurunkan albuminuria. Selain

itu, terapi valsartan menurunkan risiko diabetes pada pasien yang berisiko tinggi

terkena diabetes (Ecder, 2014).

Tabel II.6 Regimen terapi Valsartan (Rang dan Dale, 2016)

Dosis (mg/hari) Frekuensi

penggunaan/hari Farmakokinetik

PO: 40 - 320 mg 1

Peak effect: 2-4jam

Bioavaibilitas: 25%

t1/2: 6 hingga 9 jam

Ikatan protein 94-95 %

Valsartan dapat menunjukan efek antihipertensi dalam kurung waktu 24

jam. Valsartan efektif mengendalikan tekanan darah pada dosis lazimnya 80 mg

sekali sehari, penurunan tekanan darah yang lebih signifikan terlihat dengan

peningkatan dosis secara bertahap hingga 320 mg / hari. Efektifitas valsartan telah

ditegakan dalam randomized, double blind, controlled trial dengan kontrol

placebo yang membuktikan valsartan pada dosis 80 – 320 mg / hari dapat

mengurangi tekanan darah (Khairnar et al., 2012).Sedian yang ada di Indonesia

biasanya berupa tablet salut selaput dengan dosis 40 mg, 80 mg, dan 160 mg,

dapat di kombinasi dengan kombinasi hidroklorotiazid (Codiovan) dan kombinasi

dengan amlodipine (Exforge), serta tanpa kombinasi (Valsartan Ni, dan Valesco)

(BPOM RI, 2015)

2.4.9.1.1.1.3.2 Losartan

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

33

Gambar 2.10 Struktur kimia losartan (Drugbank, 2019)

Losartan adalah antagonis reseptor AT-II tipe 1 pertama digunakan secara

oral yang bioavailable, long-acting, nonpeptida untuk digunakan pada manusia.

Efektivitasnya sebagai agen antihipertensi telah ditetapkan serta telah dipelajari

secara ekstensif pada hewan dan relawan manusia (Khairnar et al., 2012).

Losartan merupakan agen aktif secara oral mengalami first pass metabolism atau

metabolisme lintas pertama yang substansial oleh enzim sitokrom P450. Enzim

tersebut kemudian di ubah sebagian menjadi metabolit asam karboksilat aktif dan

beberapa metabolit tidak aktif. metabolit asam karboksilat aktif bertanggung

jawab pada sebagian besar reseptor angiotensin II antagonisme yang berpengaruh

dalam mekanisme kerja losartan. Baik losartan maupun metabolitnya tidak

berakumulasi dalam plasma setelah dosis diulang sekali sehari. Setelah pemberian

oral, losartan diserap dengan baik dan memilik bioavailabilitas sistemik sekitar

33%. Sekitar 14% dari dosis losartan yang diberikan secara oral dikonversi

menjadi metabolit aktif yang dicapai dalam 3-4 jam (Gunawan, 2016).

Tabel II.7 Regimen terapi Losartan (Rang dan Dale, 2016)

Dosis (mg/hari) Frekuensi

penggunaan/hari Farmakokinetik

50 mg – 100 mg 1-2

Peak effect:1-3 jam

Bioavaibilitas: 33%

t1/2: 8 jam

Losartan dikontraindikasikan dapat tejadi hipersensitivitas, jika

penggunaan losartan bersama aliskiren pada diabetes. Serta mempunyai interaksi

dengan beberapa obat seperti rifampisin dan flukonazol sebab dapat menurunkan

level metabolit aktif. Diuretik hemat kalium, suplemen kalium, atau zat yang

mengandung kalium dapat menyebabkan hiperkalemia. Pada golongan AINS atau

analgesik antiinflamasi non steroid dapat menurunkan efek antihipertensi,

penurunan fungsi ginjal hingga gangguan ginjal akut pada pasien gangguan ginjal.

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

34

Sediaan losartan yang ada di Indonesia umumnya tablet salut selaput dengan dosis

50 mg/tablet, dan 100 mg/tablet (Cozaar, Angioten) (BPOM RI, 2015).

2.4.9.1.1.1.3.3 Irbesartan

Gambar 2.11 Struktur kimia irbesartan (Drugbank, 2019).

Irbesartan adalah kelompok obat angiotensin receptor blocker (ARB) yang

digunakan untuk mengobati hipertensi atau nefropati diabetik. Ini juga dapat

digunakan sebagai bagian dari produk kombinasi dengan hidroklorotiazid untuk

pasien dengan tekanan darah yang tidak terkontrol dengan baik atau pada

monoterapi tekanan darah masih belum terkontrol dengan baik. Dapat juga

digunakan ketika pada penggunaan angiotensin converting enzyme inhibitor

terkait dengan batuk kering sedangkan ARB tidak berhubungan dengan batuk

kering (Drugbank., 2015). Irbesartan diberikan persetujuan oleh Badan Pengawas

Obat dan Makanan Amerika Serikat atau FDA pada 30 September 1997

(Drugbank., 2019).

Tabel II.8 Regimen terapi Irbesartan (Khairnar et al., 2012).

Dosis (mg/hari) Frekuensi

penggunaan/hari Farmakokinetik

150 mg- 300 mg 1

Peak effect: 2 jam Bioavaibilitas: 70% t1/2: 11- 15 jam ikatan protein: 90%-95%

Setelah pemberian irbesartan pada dosis tunggal 150 mg, 20% dari dosis

diekskresikan melalui rute ginjal dan sekitar 80% diekskresikan dalam empedu.

Efek antihipertensi terlihat dalam dua minggu setelah mulai terapi, dengan efek

puncak terjadi di antara dua sampai enam minggu (Khairnar et al., 2012).

Terdapat beberapa penelian yang menunjukan dampak penurunan TDS/TDD pada

pasien yang menggunakan Telmisartan, Valsartan, Kandesartan, Irbesartan,

kombinasi Telmisartan secara berturut-turut sebesar 9/9 mmHg, 10/16 mmHg,

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

35

23/20 mmHg, 30/30 mmHg, dan 10/10 mmHg, dimana dapat ditarik kesimpulan

Irbesartan merupakan golongan ARB yang memberikan dampak penurunan

TDS/TDD yang paling efektif dibanding golongan ARB lainnya (Rafika.Y

Karmila, dkk., 2015). Irbesartanjuga memiliki bioavailabilitas 70% yang

merupakan nilai tertinggi pada kelompok terapinya (Khairnar et al., 2012).

Terdapat penelitian yang menyebutkan bahwa pemberian terapi Irbesartan

600 mg setiap hari pada pasien nefropati diabetes yang berlebih, merupakan suatu

metode yang sangat efektif dan aman untuk mengurangi proteinuria, dan

memperlambat evolusi menjadi ESRD, menjadikannya alternative terapeutik pada

pasien tersebut (Ruiz et al., 2012). Irbesartan dikontraindikasikan pada pasien

yang hipersensitif denganirbesartan, dan tidak untuk wanita hamil. Sediaan yang

terdapat di Indonesia umumnya berupa kaplet atau tablet salut selaput, dengan

dosis 75 mg, 150 mg, dan 300 mg. Terdapat sediaan yang dikombinasi dengan

hidroklorotiazid (co-aprovel, co-irvebal, dan co-irvell), serta terdapat sediaan yang

isinya hanya Irbesartan saja (irbesartan, irverbal, irvell, dan aprovel) (BPOM RI,

2015)

2.4.9.1.1.1.3.4 Telmisartan

Gambar 2.12 Struktur kimia Telmisartan (Drugbank, 2019).

Telmisartan adalah golongan antagonis reseptor AT-II nonpeptida, bekerja

dengan cara berikatan dengan reseptor angiotensin II tipe 1 (AT1) dengan afinitas

tinggi, menyebabkan penghambatan aksi angiotensin II pada otot polos pembuluh

darah, yang pada akhirnya menyebabkan pengurangan tekanan darah arteri

(Drugbank, 2019).

Tabel II.9 Regimen terapi Telmisartan (Khairnar et al., 2012).

Dosis (mg/hari) Frekuensi

penggunaan/hari Farmakokinetik

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

36

20 mg – 160 mg 1 sampai 2 Peak effect: 0.5-1jam

t1/2: 5-9jam

ikatan protein: 99%

Telmisartan merupakan golongan antagonis reseptor AT-II nonpeptida.

Diberikan pada pasien secara oral dengan konsentrasi puncak yang dapat dicapai

dalam 0,5-1 jam. Bioavaibilitasnya dapat berkurang oleh makanan, namun tidak

signifikan. Waktu paruh nya adalah 24 jam, sehingga memungkinkan untuk

pemberian sekali sehari. Sekitar lebih dari 97% dosis telmisartan yang

dikeluarkan dari tubuh tidak berubah dalam kotoran melalui ekskresi empedu.

Ekskresi ginjal tidak berkontribusi (0,5%) terhadap eliminasi telmisartan.

Bioavaibilitas: tergantung dengan dosis yang digunakan (pada dosis 40 mg,

didapat bioavaibilitas 48%, pada dosis 160 mg didapat biovaibilitas 58%)

(Khairnar et al., 2012).

Telmisartan dikontraindikasikan pada pasien yang memiliki

hipersensitivitas terhadap telmisartan, kehamilan trimester dua dan tiga,

menyusui, gangguan obstruktif empedu, gangguan hati berat. Sediaan yang

tersedia di Indonesia umumnya adalah dalam bentuk tablet (carditel, dan

micardis) 20 mg,40 mg dan 80 mg. Terdapat sediaan telmisartan yang

dikombinasikan dengan hidroklorotiazid (micardis plus), ada pula yang

dikombinasikan dengan amlodipin (Twynstar) (BPOM RI, 2015).

2.4.9.1.1.1.3.5 Olmesartan

Gambar 2.13 Struktur kimia Olmesartan (Drugbank,2019)

Olmesartan termasuk dalam kelompok obat angiotensin II receptor blocker

(ARB), secara selektif mengikat angiotensin receptor 1 (AT1) dan mencegah

protein angiotensin II yang mengikat dan mengerahkan efek hipertensi, serta

berperan dalam vasokonstriksi, stimulasi dan sintesis aldosteron dan ADH,

stimulasi jantung, dan reabsorpsi natrium ginjal. Secara keseluruhan, efek

fisiologis olmesartan menyebabkan penurunan tekanan darah, menurunkan kadar

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

37

aldosteron, mengurangi aktivitas jantung, dan meningkatkan ekskresi natrium.

Olmesartan juga memengaruhi RAAS, yang memainkan peran penting dalam

hemostasis dan pengaturan fungsi ginjal, pembuluh darah, dan jantung (Drugbank,

2019).

Tabel II.10 Regimen terapi Olmesartan (Khairnar et al., 2012).

Dosis (mg/hari) Frekuensi

penggunaan/hari Farmakokinetik

20 mg- 40 mg 1 sampai 2

Peak effect : 1,4 -2,8 jam;

99% terikat pada protein

plasma; Waktu paruh

antara 10 dan 15 jam

Olmesartan memiliki kontraindikasikan pada psien yang memiliki

kelainan fungsi hati, kelainan fungsi ginjal sedang sampai berat, kerusakan

empedu, menyusui. Dosis awal olmesartan adalah 10 mg sekali sehari, jika perlu

dapat dinaikkan menjadi 20 mg sekali sehari; dosis maksimum 40 mg sehari

(lanjut usia, maksimum 20 mg sehari). Sediaan yang tersedia di Indonesia dalam

bentuk tablet dengan dosis umumnya 10 mg, 20 mg, dan 40 mg. Terdapat juga

sediaan olmesartan yang dikombinasikan dengan amlodipin (normetec), dan ada

pula yang dikombinasikan dengan hidroklorotiazid (olmetec plus) (BPOM RI,

2015).

2.4.9.1.1.1.3.6 Kandesartan

Gambar 2.14 Struktur kimia Kandesartan (Drugbank, 2019).

Kandesartan antagonis nonpeptida antagonis lama lainnya dari reseptor

tipe AT-II adalah prodrug yang dihidrolisis menjadi kandesartan metabolit aktif

selama penyerapan gastrointestinal. Protein terikat 99,5%. Sekitar 33% dosis

dieliminasi melalui urine dan 67% melalui empedu. Kandesartan tidak

dimetabolisme oleh enzim CYP (Khairnar et al., 2012).

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

38

Tabel II.11 Regimen terapi Kandesartan (Khairnar et al., 2012).

Dosis (mg/hari) Frekuensi

penggunaan/hari Farmakokinetik

8 mg- 32 mg 1 atau 2

Peak effect: 3-4jam Bioavaibilitas:40 % t1/2: 5- 10 jam ikatan protein: 99.5%

Infeksi saluran pernapasan atas (6%), nyeri (3%), dan pusing (4%)

termasuk diantara efek samping yang paling sering dilaporkan (Khairnar et al,

2012). Penggunaan nya pada pasien dengan gangguan fungsi hati serta gangguan

fungsi ginjal harus dipantau. Sediaan candesartan yang tersedia di Indonesia

berupa tablet salut 8 mg dan 16 mg, terdapat sediaan talet kombinasi dengan

hidroklorotiazid (blopress plus), dan sediaan tablet tanpa kombinasi (candesartan,

blopress) (BPOMRI, 2015).

2.4.9.1.1.1.3.7 Eprosartan

Gambar 2.15 Struktur kimia Eprosartan (Drugbank, 2019)

Eprosartan merupakan antagonis reseptor angiotensin II yang digunakan

untuk mengobati hipertensi. Ini melakukan 2 tindakan pada sistem angiotensin

renin. Dengan mencegah pengikatan angiotensin II ke AT1, otot polos vaskular

menjadi rileks dan terjadi vasodilatasi, dengan menghambat produksi

norepinefrin, tekanan darah semakin berkurang (drugbank, 2019).

Tabel II.12 Regimen terapi Eprosartan (Khairnar et al., 2012).

Dosis (mg/hari) Frekuensi

penggunaan/hari Farmakokinetik

400 mg- 800 mg 1 sampai 2

Peak effect: 1-2 jam

Bioavaibilitas:40 %

t1/2: 5-9jam

ikatan protein: 99.5%

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

39

Eprosartan merupakan selektif non peptida AT II antagonis 1-reseptor.

Dibandingkan dengan antagonis reseptor AT-II lainnya Eprosartan kurang

bioavailable ini mungkin terkait dengan penyerapan yang tidak lengkap.

Eprosartan tidak menghasilkan metabolit aktif setelah pemberian oral. Pada

pemberian oral eprosartan dosis tunggal 300 mg, konsentrasi plasma memuncak

dalam waktu 1-2 jam dalam keadaan puasa. Pada sebagian besar pasien mungkin

perlu 2 hingga 3 minggu perawatan untuk melihat respon maksimum dalam darah

tekanan. Ketika digunakan dalam kombinasi dengan agen antihipertensi lainnya,

seperti diuretik tiazid dan penghambat saluran kalsium, efek aditifnya akan

terlihat.Eposartan dieliminasi terutama pada empedu (90%) dan pada tingkat yang

lebih rendah pada urine (7%) sebagai obat yang tidak berubah. (Khairnar et al,

2012).

2.4.9.1.1.2 Calcium channel blocker (CCB)

Penghambat kanal kalsium atau Calcium channel blockers (CCB)

dikembangkan pada tahun 1960 dan digunakan sebagai pengobatan berbagai

penyakit kardiovaskular termasuk angina, hipertensi dan penyakit raynaud. Obat

golongan ini bekerja dengan menghambat aliran ion kalsium ke dalam pembuluh

vaskuler yang menyebabkan vasodilatasi sistemik sehingga mampu menurunkan

tekanan darah. Terdapat 3 kelas terapi CCB: turunan dihidropiridin (DHP),

fenilakilamin dan benzotiazepin, ketiga kelas ini berbeda dalam struktur kimia

namun mengakibatkan efek jantung sama,yaitu tidak memperberat kerja jantung

Pada turunan DHP (amlodipine), fenilalkilamin (verapamil) dan benzothiazepine

(diltiazem) menyebabkan aktivasi refleks sistem saraf simpatik, menurunkan

denyut jantung dan curah jantung (Barry Michael, 2016).

Tabel II.13 Dosis Obat Antihipertensi golongan CCB (Talbert & Martin, 2013)

Obat (merek) Kisaran dosis

harian

(mg / hari)

Dosis Per

Hari

Amlodipin (Amcor,Actapin) 2.5–10 1

Nicardipin (Nicafer, Nidaven) 60–120 2

Nifedipin (Nifedin, Farmalat, Calcianta) 30–90 1

Diltiazem (Dilmen, Cordila SR,Farmabes) 120–320 2

Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

40

Verapamil (Isoptin SR) 120–480 1

Kebanyakan calcium channel blockers tidak menumpuk pada pasien

dengan fungsi ginjal terganggu, dengan pengecualian nikardipin dan nimodipin.

Akumulasi agen ini mungkin juga karena berkurangnya aliran darah ke hati pada

orang tua (KDIGO, 2012). Generasi pertama golongan obat CCB (misalnya

Nifedipin Immediate release) memiliki onset yang cepat dan durasi yang singkat,

oleh karena itu diperlukan beberapa dosis harian. Generasi kedua adalah

nifedipine long-acting atau slow-release dan felodipine,sedangakan generasi

ketiga obat golongan ini adalah amlodipin (Barry Michael, 2016). Penghambat

saluran penghambat kalsium shortacting dosis tinggi harus dihindari karena

peningkatan risiko infark miokard karena vasodilatasi berlebihan dan stimulasi

jantung refleks yang ditandai (Whalen et al., 2015).

2.4.9.1.1.3 Diuretik

Kelainan volume cairan dan komposisi elektrolit adalah gangguan klinis

umum dan penting untuk diatasi. Diuretik merupakan agen yang dapat

meningkatkan volume urin (Katzung, 2015). Ketidakseimbangan volume cairan

ekstraseluler umum terjadi pada pasien CKD dan merupakan penyebab penting

terjadinya hipertensi. Diuretik merupakan salah satu obat antihipertensi yang

sering diresepkan pada pasien CKD. Secara umum terapi diuretik pada gagal

ginjal kronik digunakan untuk mengontrol cairan ekstraselular, disamping itu juga

karena efeknya dapat menurunkan tekanan darah. obat ini dapat membantu

meningkatnya efek dari obat golongan antihipertensi seperti ACEi atau ARB atau

antihipertensi lainnya. Menurut NKF-K/DOQI diuretik direkomendasikan dalam

kombinasi dengan ACEi ataupun ARB dapat digunakan untuk penyakit ginjal

kronik dengan diabetes maupun non diabetes (Muti.A.F & Chasanah. U, 2016)

Diuretik sangat efektif dalam menurunkan tekanan darah ketika digunakan

dalam kombinasi dengan antihipertensi lainnya. adanya suatu farmakodinamik

independen. Pertama, ketika dua obat menyebabkan efek farmakologis

keseluruhan yang sama (penurunan tekanan darah) melalui mekanisme aksi yang

berbeda, kombinasi mereka biasanya menghasilkan efek aditif atau sinergis

(Dipiro et al., 2015). Beberapa kelas diuretik tersedia yang dapat digunakan

Page 37: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

41

pasien CKD termasuk tiazid, diuretik loop, dan diuretik hemat kalium. Diuretik

tiazid dapat menurunkan tekanan darah dan mengurangi risiko CVD dengan

mekanisme selain pengurangan volume ECF (KDIGO, 2012).

2.4.9.1.1.3.1 Diuretik Thiazide

Thiazide merupakan diuretik yang paling banyak digunakan dan disukai,

merupakan diuretik lini pertama untuk mengatasi hipertensi (Dipiro et al.,

2015).Diuretik thiazide diserap dari saluran GIT dan menghasilkan diuresis dalam

waktu 1-2 jam. Setelahnyadisekresikan ke dalam lumen tubulus proksimal melalui

pembawa anio organik, efek terjadi setelah mencapai lumen. Agen ini

menghambat reabsorbsi natrium klorida (NaCl) aktif dalam tubulus distal yang

mengganggu 𝑁𝑎+, dan Clcotransporter (NCC), protein transport Na+, Cl- spesifik

yang menghasilkan ekskresi Na dan volume air yang menyertainya. Agen ini

meningkatkan ekskresi dari 𝐶𝑙−, 𝑁𝑎+, 𝐾+, dan 𝐻𝐶𝑂3− dengan dosis tinggi. Serta

menghambat ekskresi dari kalsium (Rosenfeld et al., 2014).

Semua tiazid dapat diberikan secara oral, tetapi ada perbedaan pada

metabolisme masing-masing obatnya. Chlorothiazide, induk dari kelompok, tidak

larut dalam lemak dan harus diberikan secara relatif dosis besar. Merupakan satu-

satunya tiazid yang tersedia untuk pemberian parenteral. Hidroklorotiazid jauh

lebih kuat dan harus digunakan dosis yang lebih rendah. Chlorthalidone lambat

diserap dan memiliki durasi aksi yang lebih lama. Indapamide diekskresikan

terutama oleh sistem bilier, untuk mengerahkan efek diuretiknya. Semua tiazid

disekresikan oleh sekresi asam organik sistem dalam tubulus proksimal dan

bersaing dengan sekresi asam urat. Akibatnya, penggunaan thiazide dapat

menumpukan sekresi asam urat dan meningkatkan kadar asam urat serum

(Katzung, 2015).

Tabel II.14 regimen dosis obat thiazid (Katzung et al, 2015).

Nama obat Dosis total perhari

Hidroklorotiazid 12,5 - 100 mg

Indapamid (Natrilix SR) 2,5 - 10 mg

Metolazon 2,5 - 10 mg

Klortalidon 25 - 50 mg

Hidroklorotiazid adalah obat yang paling sering digunakan, dan

merupakan zat yang poten, memiliki efektifitas yang kurang lebih sama dengan

Page 38: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

42

klorotiazid. Klortalidon, indapamid, dan metolazon disebut sebagai thiazide-like

diuretics, karena mengandung residu sulfonamida dalam struktur kimianya, dan

mekanisme kerja yang sama (Whalen, et al 2015). Sedian obat golongan tiazid

yang tersedia di Indonesia tablet 25 mg (hidroklorotiazid) (BPOM RI, 2015).

2.4.9.1.1.3.2 Diuretics Loop

Diuretik Loop bekerja secara selektif menghambat reabsorpsi NaCl dalam

ekstremitas atau anggota gerak tubuh. Karena besarnya daya serap NaCl dan fakta

bahwa aksi diuretik dari obat ini tidak dibatasi oleh pengembangan asidosis,

seperti halnya dengan karbonat anhidrase inhibitor, diuretik loop adalah agen

diuretik yang paling manjur tersedia saat ini (Katzung, 2015). Furosemid,

bumetanid, torsemid dan ethacrynic acid adalah diuretik loop yang paling umum

digunakan, dengan rentang dosis yang lebar dan farmakodinamika yang berbeda.

Diuretik Loop sangat berguna saat mengobati edema dan tekanan darah tinggi di

CKD 4-5 pasien sebagai tambahan atau sebagai alternatif untuk diuretik thiazide

(KDIGO, 2012)

Tabel II.15 regimen dosis obat diuretik Loop (Katzung & Trevor, 2015)

Nama obat Dosis total perhari

Furosemid 20 mg-80 mg

Bumetanid 0,5 mg- 2 mg

Asam etakrilat 50 mg – 200 mg

Diuretik loop menyebabkan peningkatan 𝑀𝑔2+ dan ekskresi 𝐶𝑎+.

Penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan hipomagnesemia yang signifikan

pada beberapa pasien. Diuretik loop dapat meningkatkan laju aliran urin dan

meningkatkan ekskresi kalium pada gagal ginjal akut. Namun, tidak bisa

mencegah atau memperpendek durasi gagal ginjal (Katzung et al, 2015).

Furosemid dan bumetanide merupakan obat turunan sulfonamida. Asam etakrilat

merupakan diuretik loop yang jarang dipilih, biasanya dipilih untuk pasien yang

alergi obat sulfa (Kee et al., 2015). Sediaan yang tersedia di Indonesia, tablet 40

mg furosemid (Lasix), dan injeksi 10mg/ml (Lasix) (BPOM RI, 2015).

2.4.9.1.1.3.3 Diuretik hemat kalium

Diuretik hemat kalium lebih lemah dari thiazides dan diuretik loop,

bertindak sebagai diuretik ringan atau dikombinasikan dengan diuretik lain.

Diuretik hemat kalium berperan terutama dalam collecting duct tubulus ginjal dan

Page 39: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

43

tubulus distal akhir untuk meningkatkan ekskresi natrium dan air dan retensi

potasium. Obat tersebut mengganggu pompa sodium potasium yang dikendalikan

oleh hormon aldosteron aldosteron mineralokortikoid (Kee et al., 2015)

Tabel II.16 regimen dosis diuretik hemat kalium (Katzung et al, 2015).

Nama obat Dosis total perhari

Spironolakton 25 mg- 200 mg dalam dosis terbagi (maksimal 400

mg)

Amilorid 5 mg – 10 mg ( max 20 mg)

Triamterin 50 mg – 100 mg ( maksimal 300 mg)

Spironolakton merupakan antagonis aldosteron. Spironolakton

menghambat aksi aldosteron dan menghambat pompa sodium potassium.

Triamterin dan amilorida biasanya dihindari pada pasien CKD karena risiko

hyperkalemia dikarenakan kurang efektif dalam mengurangi volume cairan

ekstraselular dari pada tiazida atau diuretik loop (KDIGO, 2012). Sediaan hemat

kalium di Indonesia untuk golongan spironolakton berupa tablet 25mg, dan 100

mg (BPOM RI, 2015).

2.4.9.1.1.4 β-Bloker

Penghambat adrenoseptor beta (β Bloker) dapat digunakan sebagai obat

antihipertensi dan penyakit jantung. Obat ini bekerja dengan menurunkan

frekuensi denyut jantung sehingga dapat menurunkan kerja jantung. Obat ini juga

bekerja dengan menghambat sekresi renin di sel jukstaglomerulus ginjal akibat

penurunan produksi angiotensin II (Gunawan., 2012). Sebagian besar β bloker

yang telah di uji terbukti efektif dalam menurunkan tekanan darah. Propranolol

adalah penghambat β pertama yang terbukti efektif dalam penurunan tekanan

darah dan penyakit jantung iskemik. Saat ini propranolol sebagian besar

digantikan oleh penghambat β kardioselektif seperti metoprolol dan atenolol.

Semua agen penghambat β-adrenoceptor berguna dalam menurunkan tekanan

darah pada hipertensi ringan sampai sedang. Propranolol menghambat stimulasi

produksi renin oleh katekolamin. propranolol dapat mengurangi tekanan darah

pada pasien hipertensi dengan aktivitas renin normal atau bahkan rendah. Beta

Page 40: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

44

bloker mungkin juga bekerja pada adrenoseptor β presinaptik perifer untuk

mengurangi aktivitas saraf vasokonstriktor simpatis (Katzung, 2015).

Tabel II.17 regimen dosis obat beta bloker (Talbert & Martin, 2013)

Nama obat Selektifitas Dosis (mg / hari)

Propranolol Non selektif 160-480 mg

Atenolol β-1 selektif 25- 100 mg

Metoprolol tartrate β-1 selektif 100–400 mg

Metoprolol dan atenolol, yang merupakan kardio selektif, Kardio

selektivitas relatif menguntungkan dalam mengobati hipertensi. Merupakan

golongan β blocker yang paling banyak digunakan dalam pengobatan hipertensi.

Metoprolol lebih kuat daripada propranolol dalam memblokir reseptor β2.

Atenolol tidak dimetabolisme secara luas dan diekskresikan terutama dalam urin

dengan paruh 6 jam; biasanya diberikan sekali sehari. Atenolol dilaporkan kurang

efektif daripada metoprolol dalam mencegah komplikasi hipertensi (Katzung,

2015). Sediaan yang tersedia di Indonesia biasanya tablet salut selaput 10 mg

(Farmadral), Lotenac (Atenolol 50 mg), Loprolol (Metopropolol 100 mg) .

2.4.9.1.1.5 Alfa Bloker

Golongan obat penghambat adrenoseptor alfa (alfa bloker) seperti

Prazosin, terazosin, dan doxazosin terbukti memberikan efek antihipertensinya

dengan cara menghalangi/menghambat reseptor α1 pada arteriol dan venula,

sehingga memberikan efek dilatasi pada arteri maupun vena (Katzung, et al

2015).

golongan ini juga dapat mengurangi resistensi vaskular perifer dan menurunkan

tekanan darah arteri dengan menyebabkan relaksasi otot polos arteri dan vena,

serta menyebabkan sedikit perubahan pada curah jantung, aliran darah ginjal, dan

laju filtrasi glomerulus (Whalen et al., 2015). Penggunaan obat ini dapat

menyebabkan sodium dan retensi air dapat terjadi, sehingga paling efektif bila

diberikan dengan diuretik untuk menjaga khasiat antihipertensi dan

meminimalkan edema (Dipiro et al., 2015).

Tabel II.18 Regimen dosis obat Alfa Bloker (Talbert & Martin, 2013).

Nama obat Dosis (mg / hari)

Page 41: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

45

Prazosin 1-8 mg

Terazosin 2-20 mg

Dexazosin 1-20 g

2.4.9.1.1.6 Vasodilator

Vasodilator mengurangi resistansi arteri atau meningkatkan kapasitansi

vena, sehingga dapat terjadi pengurangan tekanan vascular (Rosenfeld et al.,

2014). Vasodilator berkerja dengan melonggarkan otot polos vaskular, sehingga

melebarkan pembuluh darah dan pada tingkatan berbeda dapat meningkatkan

kapsitasnya (Katzung et al., 2015). Vasodilator juga meningkatkan konsentrasi

renin plasma, menghasilkan retensi natrium dan air. Efek samping yang tidak

diinginkan ini dapat diblokir karena penggunaan diuretik dan bloker β secara

bersamaan (Whalen et al., 2015).

Tabel II.19 Mekanisme kerja obat Vasodilator (Gunawan, 2012)

Nama Obat Mekanisme Kerja Dosis perhari

Hidralazin menyebabkan penurunan tekanan darah

dengan Merelaksasi otot polos arteriol

yang dapat menyebabkan peningkatan

frekuensi denyut jantung dan curah

jantung.

Obat ini tidak digunakan sebagai mono

terapi karena efek takifilaksis dan reflek

simpatis yang dapat mengurangi efek

antihipertensinya, biasa digunakan

sebagai obat tambahan setelah

pemberian diuretic atau Beta bloker

25 -100 mg dua kali

sehari (Oral)

20 – 40 mg (iv atau im)

Dosis maksimal 200

mg/hari

Minoksidil Dapat menurunkan tekanan sistol dan

diastol dengan membuka kanal kalium

yang mengakibatkan effluks kalium dan

hiperpolarisasi membran, diikuti dengan

vasodilatasi dan merelaksasi otot polos

pembuluh darah.

12,5 mg – 40 mg satu

sampai dua kali sehari

Nitroprusid Menurunkan tekanan darah dengan

vasodilasi arteriol dan venula akibat

aktivasi siklase dan meningkatnya

konversi GTP menjadi GNP-siklik pada

pembuluh darah.

0,5-10 ug/kg/menit

Page 42: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

46

2.4.9.1 Terapi non-farmakologi pada CKD

Perubahan life style atau gaya hidup sebagai tahap awal diperlukan pada

semua pasien CKD untuk mencapai tujuan tekanan darah < 140/90 mmHg dan

<130/80 mmHg. Jika tujuan pada tahap awal belum tercapai diperlukan terapi

medis. Pada penyakit ginjal stadium akhir atau End Renal Stage Disease

(ESRD), beberapa terapi pengganti diperlukan untuk keberlangsungan hidup

pasien CKD (Weir & Lerma., 2015).

2.4.9.1.1 Hemodialisis

Ketika CKD sudah memasuki tahap penyakit ginjal stadium akhir,

kerusakan ginjal sudah tidak dapat dihindari. Penurunan fungsi ginjal secara

progresif selama periode bulan sampai bertahun-tahun ke titik di mana ginjal tidak

dapat lagi membuang limbah, mengkonsentrasi urin, menjaga homeostasis asam

basa, dan mengatur cairan dan elektrolit dan fungsi tubuh penting lainnya. Pada

kondisi ini memerlukan terapi khusus yang disebut terapi pengganti (Allderedge

et al., 2013). Hemodialis dapat digunakan untuk menjaga keseimbangan elektrolit,

kelebihan cairan dan mengendalikan uremia (Mayuda et al., 2017). Hemodialisis

adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam suatu

tabung ginjal buatan (Dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen yang terpisah.

Darah pasien di pompa dan di alirkan pada kompartemen darah yang di batasi

oleh selaput semipermeabel buatan (artificial) dengan kompartemen dialisat.

(Sudoyo et al., 2014)

Gambar 2.16 Proses Hemodialisis (Steddon et al, 2014)

Page 43: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

47

Selama dialisis, darah yang di pompa akan menuju tabung dialiser, pada

saat bersamaan cairan dialisat yang terdiri dari natrium, kalium, kalsium,

bikarbonat, magnesium, dan glukosa merupakan suatu cairan elektrolit mirip

fisiologis tubuh akan mengalirinya. Dalam dialiser darah dan dialisat akan

mengalir pada arah yang berlawanan. Darah akan keluar dari dialiser menuju

detector perangkap udara hingga dihasilkan darah yang bersih untuk dialirkan

kembali pada tubuh pasien (Steddon et al., 2014).

2.4.9.1.2 Dialisis peritoneal

Dialisis peritoneal merupakan salah satu bentuk dialisis dalam menangani

penyakit ginjal akut ataupun penyakit ginjal kronik. Menggunakan suatu membran

peritoneum yang memiliki sifat semipermeabel sehingga darah dapat di filtrasi.

Dialisis peritoneal yang paling umum adalah Continous Ambulatory Peritoneal

Dialysis (CAPD) (Allderedge et al, 2013).

Gambar 2.17 Proses Dialisis peritoneal (Steddon et al, 2014)

Pada dasarnya, proses dari dialisis peritoneal menggunakan kateter

peritoneum yang dipasang pada abdomen kemudian masuk ke dalam kavum

peritoneum. Kateter peritoneum tersebut yang digunakan untuk memasukan

cairan dialisi pada kavum peritoneum (Sudoyo el al, 2014). Dialisis peritoneal

mempunyai komplikasi utama yaitu peritonitis, infeksi nonperitonitis terkait

dengan pemasangan kateter, penambahan berat badan dan gangguan metabolik

Page 44: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Ginjal

48

lainnya, dan uremia residual (terutama di antara pasien yang tidak memiliki fungsi

ginjal residual) (Liu et al, 2015).

2.4.9.1.3 Transplantasi ginjal

End Renal Stage Disease (ESRD) atau penyakit ginjal stadium akhir

dinyatakan sebagai kehilangan ginjal berfungsi sedemikian rupa sehingga hidup

tidak berkelanjutan tanpa adanya terap ginjal pengganti atau renal replacement

therapy (RRT) yang diberikan dalam bentuk ginjal yang ditransplantasikan

(Himmefarb & Ikizler, 2019). Transplantasi ginjal merupakan suatu tindakan

memperbaiki kualitas hidup, merupakan terapi pengganti ginjal utama pada pasien

penyakit ginjal kronis tahap akhir. Cangkok donor hidup lebih baik dan akan

bertahan lebih lama dari pada cangkok donor yang telah meninggal (kesehatan

donor yang lebih baik, massa nefron yang lebih tinggi, kepatuhan penerima yang

lebih baik). Kontraindikasi untuk transplantasi ginjal adalah adanya infeksi dan

keganassan yang tak terkontrol atau metastasis, penyakit diluar ginjal yang berat

(jantung, hati, paru-paru), obesitas, penggunaan obat berbahaya, atau

mengkosumsi alcohol (Steddon et al, 2014). Biasanya diberi imunosupresan

setelah proses transplantasi sebab dikhawatirkan kemungkinan terjadi penolakan

dari tubuh atas organ yang dicangkok, oleh karenanya diberikan terapi (Azzi et aI,

2015).