Top Banner
BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. Manusia Dalam Pandangan Islam Kemunculan manusia di alam semesta merupakan suatu proses yang panjang dan melelahkan, pada tarap tertentu ia tetap terikat pada dunia tempat ia muncul dan menjadi bagian dari semesta tempat ia hidup. Dengan kata lain, manusia mendapati dirinya dalam sebuah dunia dimana ia menghadapi berbagai rintangan yang menghalangi kehendaknya. Namun, disamping itu, manusia memiliki peluang untuk memilih, untuk tidak menyerah begitu saja pada apa yang terjadi dan tersedia dihadapannya. 1 Manusia yang menyandang atribut hayawan al-nathiq yakni “hewan yang berpikir” dijadikan sebagai prinsip dasar eksistensi. Ibnu Khaldun melalui Magnum Opus-nya al-Muqaddimah mengatakan bahwa; “manusia adalah madaniyyun bi al-thaba yakni manusia yang bergantung pada tabiatnya.” Didasarkan atas premis itu maka hakikat manusia menurut Isaiah Berlin yaitu; “manusia menemukan kebebasannya, dimana ia dapat menentukan segala sesuatunya sendiri. Sehingga berbagai upaya pun dilakukannya sendiri. Karena bagaimanapun, manusia ingin menjadi sadar akan dirinya sendiri sebagai makhluk yang berpikir, berkehendak hidup dan mampu bertanggung jawab atas pilihan- pilihannya sendiri.” 2 1 Erich Fromm, Lari Dari Kebebasan, terj. Kamdani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 33. 2 Isaiah Berlin, Four Essay On Liberty: Empat Esai Kebebasan, terj. A. Zaim Rofiqi (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2004) hlm. 244.
54

BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

Mar 03, 2019

Download

Documents

tranhuong
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

BAB II

PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA

A. Manusia Dalam Pandangan Islam

Kemunculan manusia di alam semesta merupakan suatu proses yang

panjang dan melelahkan, pada tarap tertentu ia tetap terikat pada dunia tempat ia

muncul dan menjadi bagian dari semesta tempat ia hidup. Dengan kata lain,

manusia mendapati dirinya dalam sebuah dunia dimana ia menghadapi berbagai

rintangan yang menghalangi kehendaknya. Namun, disamping itu, manusia

memiliki peluang untuk memilih, untuk tidak menyerah begitu saja pada apa yang

terjadi dan tersedia dihadapannya.1

Manusia yang menyandang atribut hayawan al-nathiq yakni “hewan yang

berpikir” dijadikan sebagai prinsip dasar eksistensi. Ibnu Khaldun melalui

Magnum Opus-nya al-Muqaddimah mengatakan bahwa; “manusia adalah

madaniyyun bi al-thaba yakni manusia yang bergantung pada tabiatnya.”

Didasarkan atas premis itu maka hakikat manusia menurut Isaiah Berlin

yaitu; “manusia menemukan kebebasannya, dimana ia dapat menentukan segala

sesuatunya sendiri. Sehingga berbagai upaya pun dilakukannya sendiri. Karena

bagaimanapun, manusia ingin menjadi sadar akan dirinya sendiri sebagai makhluk

yang berpikir, berkehendak hidup dan mampu bertanggung jawab atas pilihan-

pilihannya sendiri.”2

1 Erich Fromm, Lari Dari Kebebasan, terj. Kamdani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2007), hlm. 33. 2 Isaiah Berlin, Four Essay On Liberty: Empat Esai Kebebasan, terj. A. Zaim Rofiqi

(Jakarta: Pustaka LP3ES, 2004) hlm. 244.

Page 2: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

30

Secara kodrati manusia merupakan sebangsa binatang.3 Dia memiliki

banyak kesamaan dengan binatang lainnya. Pada saat yang sama manusia

memiliki banyak ciri yang membedakan dirinya dengan binatang lainnya. Ada

ciri-ciri utama yang mendasar, yang membedakan manusia dengan makhluk hidup

lainnya. Ciri-ciri ini, yang juga menjadi sumber dari apa yang dikenal sebagai

budaya manusia, berkaitan dengan dua hal. Yaitu, sikap dan kecenderungan.4

Ikhwan al-Shafa memberikan daftar hubungan analogis antara hewan dan

ciri-ciri watak manusia, yang dikutip oleh Sachiko Murata:

Hewan-hewan itu ada banyak jenisnya, dan mereka masing-masing memiliki ciri

yang berbeda dari yang lain. Manusia memiliki ciri-ciri yang sama dengan

mereka. Tetapi hewan mempunyai dua ciri yang mencangkup semua yang lain,

selalu mencari keuntungan dan lari dari hal-hal yang membahayakan dirinya.

Namun, beberapa hewan mencari keuntungan melalui kekejaman dan dominasi,

seperti para hewan pemangsa. Sebagian mencari melalui bujukan, seperti anjing

dan kucing. Sebagian mencari melalui kecerdasan, seperti laba-laba. Dan semua

ini ada pada manusia. Para raja dan sultan mendapatkan keuntungan melalui

dominasi, para pengemis melalui permintaan dan kerendahan hati, para seniman

dan pedagang melalui kecerdasan dan persahabatan.5

3 Mendefinisikan manusia sebagai “binatang berakal”, menurut Ibn‟ Arabî, adalah suatu

kekeliruan yang menyesatkan. “kemampuan berpikir” bukanlah sifat utama yang membedakan

manusia dengan makhluk-makhluk lain karena keseluruhan alam mempunyai kemampuan ini pula.

Sifat yang menjadi ciri khusus manusia, yang membedakannya dengan makhluk-makhluk lain,

adalah “bentuk Ilahi”, “bentuk Tuhan” (as-shûrah al-ilâhiyyah). Dikutip dari, Kautsar Azhari

Noer, Tasawuf Perenial: Kearifan Kritis Kaum Sufi, hlm. 139. 4 Pengetahuan dan keinginan binatang hanya melalui indera yang dimiliki, binatang

mengenal (mengetahui) dunia. Itulah sebabnya. Pertama, pengetahuannya dangkal.

Pengetahuannya tidak sampai menguasai detail sesuatu dan tidak memiliki akses ke hubungan-

hubungan internal yang terjadi dalam sesuatu itu. Kedua, pengetahuannya parsial dan khusus, tidak

universal dan tidak umum. Ketiga, pengetahuannya regional (terbatas pada wilayah tertentu),

karena terbatas pada lingkungan hidupnya dan tidak lebih dari itu. Keempat, pengetahuannya

terbatas pada saat sekarang dan tidak berkenaan dengan masa lalu dan masa mendatang. Binatang

tidak mengetahui sejarahnya sendiri atau sejarah dunia. Karena itu, binatang tidak berpikir tentang

masa depannya, dan juga tidak merencanakan masa depannya. Dari segi pengetahuannya, binatang

tak sanggup keluar dari kerangka lahiriahnya, kekhususannya, lingkungan hidupnya, dan masa

sekarangnya. Binatang tak pernah lepas dari keempat bidang ini. Kalau saja secara kebetulan dapat

melewati batas-batas keempat bidang ini, itu terjadi secara naluriah dan tidak sadar, bukan karena

kehendak dan pilihannya sendiri.Lihat, Murtadha Mutahhari, Manusia Dan Alam Semesta;

Konsepsi Islam Tentang Jagat Raya. (Jakarta: Lentera, 2002), hlm. 2. Atau bisa lihat di www.al-

Shia.org 5 Sachiko Murata, The Tao of Islam, terj. Rahmani Astuti & M.S Nasrullah, (Bandung,

Mizan, cet. 6, 1998), hlm. 362.

Page 3: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

31

Melalui kerja filsafat maka manusia senantiasa ditafsirkan dan

dirumuskan. Semua bagian pokok filsafat (ontologi, epistemologi, aksiologi,

teologi, kosmologi, dan sebagainya) mengulas tentang hakikat manusia. Makhluk

yang mengkategorikan sebagai manusia menurut Heidegger, apabila ia selalu

mempertanyakan ada-nya, kemudian memeriksa dirinya sendiri. Demikian pula

Socrates berpendapat bahwa “barang siapa yang tidak mempertanyakan dirinya

sendiri, maka ia tidak layak untuk menjalani hidupnya.” Manusia dikutuk untuk

bebas demikian jargon Jean-Paul Sartre. Kemudian Alkitab melihat manusia

sebagai makhluk yang diciptakan Allah yang transenden dengan tujuan yang pasti

untuk kehidupan di dunia atau di akhirat. “Hakikat riil manusia adalah

keseluruhan hubungan-hubungan sosial,” tulis Karl Marx.

Mengenai persoalan-persoalan fundamental hakikat manusia ini begitu

banyak ketidaksepakatan. Jika kita tidak jernih memandang, maka akan jatuh

kepada sikap skeptis absolut. Sebab sebetulnya tidak ada hakikat manusia yang

esensial, kecuali potensi yang dibentuk oleh lingkungan sosial—oleh kekuatan-

kekuatan ekonomis, sosial, politis dan kebudayaan.6 Demikian dengan filsafat

yang merupakan produk pemikiran manusia maka akan nampak rentan kesalahan

(fallacy). Pertanyaan kritisnya, layakkah kita mengaku sebagai manusia, jika tidak

mengoptimalkan potensi dalam diri. Pertanyaannya kemudian bagaimana Islam

memandang manusia?

6 Lihat, Leslie Stevenson & David L. Haberman, Sepuluh Teori Hakikat Manusia, terj.

Yudi Santoso & Saut Pasaribu, (Jogjakarta: Bentang, 2001), hlm. 3-4.

Page 4: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

32

1. Definisi Manusia

Secara etimologi kata “manusia” dalam bahasa Inggris disebut “man”7

(asal kata dari bahasa Aglo-Saxon yaitu “mann”). Apa arti dasar dari kata ini

sebetulnya tidak jelas, namun pada dasarnya bisa dikaitkan dengan “mens” (latin),

yang berarti “ada yang berpikir”. Demikian halnya arti kata “anthropos” (Yunani)

tidak begitu jelas. Pada mulanya anthropos berarti “seseorang yang melihat ke

atas”. Akan tetapi sekarang kata itu di pakai untuk mengartikan “wajah manusia”.

Dan akhirnya, “homo” dalam bahasa Latin berarti “orang yang dilahirkan diatas

bumi”.8

Istilah manusia dalam Islam menurut Wan Moh. Nor Wan Daud bahwa

sebutan-sebutan manusia dalam bentuk tunggal digambarkan dengan kata al-Insan

yang disebut sebanyak 65 kali dalam al-Qur‟an, dan dalam bentuk plural (jama‟)

al-Nass masing-masing disebut sebanyak 248 kali, yang kesemuannya

menggunakan kata ma‟rifat, kecuali satu yakni yang terdapat dalam QS. al-Israa‟

ayat 17.9 Namun masih ada istilah lain yang terdapat dalam al-Qur‟an, menurut

Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan al-Qur‟an, ada tiga kata yang

digunakan dalam al-Qur‟an untuk menunjuk kepada manusia. Yakni, pertama

menggunakan kata yang terdiri dari huruf alif, nun, dan sin semacam insan, ins,

7 Coba kita lihat kutipan diatas dari alkitab, Marx dan Sartre ketiganya memakai kata

maskulin „man‟ (dalam terjemahan Inggrisnya), yang barangkali dimaksudkan untuk merujuk pada

„semua umat manusia‟, termasuk wanita dan anak-anak. Pemakaian istilah ini masih dianggap

paling cocok sehingga dipertahankan, namun belakangan ini dikritik, sebab mendukung asumsi-

asumsi yang rapuh akan dominasi hakikat manusia yang bersifat maskulin sehingga konsekuansi

logisnya berakibat menindas hakikat manusia yang bersifat feminin. Leslie Stevenson & David L.

Haberman, Sepuluh Teori Hakikat Manusia, hlm. 4. 8 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hlm. 256-257.

9 Zacky Syafa dan Maftuh Ahnan, Filsafat Manusia, (Surabaya: Terbit Terang, tanpa

tahun), hlm. 9-10.

Page 5: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

33

nas, atau unas. Kedua, menggunakan kata Basyar. Dan ketiga, menggunakan kata

bani Adam, dan dzuriyat Adam.10

Kata insân terambil dari akar kata “uns” yang berarti “jiwa harmonis”, dan

“tampak” pendapat ini jika ditinjau dari sudut pandang al-Qur‟an lebih tepat dari

yang berpendapat bahwa ia terambil dari kata nasiya (lupa), atau nâsa-yanûsu

(berguncang). Kata insân, digunakan al-Qur‟an untuk menunjuk kepada manusia

dengan segala totalitasnya, jiwa, dan raga. Manusia yang berbeda antara seseorang

dengan yang lain, akibat perbedaan fisik, mental dan kecerdasan.11

Dalam uraiannya Quraish Shihab lebih mengarahkan pandangannya secara

khusus pada kata basyar dan kata insân. Kata basyar terambil dari akar kata yang

pada mulanya berarti “penampakan sesuatu dengan baik dan indah”. Dari akar

kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai basyar

karena kulitnya tampak jelas, dan berbeda dengan kulit binatang yang lain. al-

Qur‟an menggunakan kata basyar sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan

sekali dalam bentuk mutsanna (dual) untuk menunjuk manusia dalam bentuk

lahiriahnya serta persamaan manusia seluruhnya. Karena itu Nabi Muhammad

diperintahkan untuk menyampaikan bahwa; “aku adalah basyar (manusia) seperti

kamu yang diberi wahyu.” (Q.S, al-Kahf: 110)

Berbeda dengan Ali Syari‟ati yang mengkategorikan istilah insân yakni:

10

Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, cet.2, 1996), hlm. 278. 11

Lihat, Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an, hlm. 280. Bandingkan dengan pendapat

Zacky Syafa dan Maftuh Ahnan dalam Filsafat Manusia, yang mengatakan bahwa; Manusia (al-

Insan) berasal dari akar kata “uns” yang berarti senang, jinak, dan harmonis, atau “nisy” yang

artinya lupa, atau “daus” yang artinya pergerakan atau dinamisme. Yakni yang disebut manusia

adalah makhluk yang memiliki potensi lupa, atau memiliki kemampuan untuk begerak yang

melahirkan dinamisme, atau makhluk yang selalu atau sewajarnya melahirkan rasa senang,

harmonisme dan kebahagiaan pada pihak-pihak lain. Lihat, Zacky Syafa dan Maftuh Ahnan,

Filsafat Manusia, hlm. 10.

Page 6: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

34

Bahwa insân berarti seorang manusia dalam arti sebenarnya. Tipe manusia ini

berada dengan tipe manusia umumnya, memiliki karakteristik khusus yang

berlainan antara orang satu dengan orang yang lainnya, sesuai dengan tingkat

realitas atau esensinya. Jadi bila kita meyebutkan insân, kita tidak

memaksudkannya pada sebagian penduduk dunia pada umumnya yakni tiga

miliar makhluk berkaki dua yang sekarang hidup di muka bumi. Jadi tidak semua

manusia adalah insan. Namun mereka mempunyai potensi untuk mencapai

tingkat yang lebih tinggi dari kemanusiaan lain.12

Selanjutnya Ali Syari‟ati, dalam mengekspresikan manusia dalam istilah

Insan adalah manusia yang bergerak maju ketaraf menjadi (becoming) atau

menyempurna. Menjadi adalah bergerak maju, mencari kesempurnaan,

merindukan keabadian, tidak pernah menghambat atau menghentikan proses terus

menerus kearah kesempurnaan.13

Sedangkan kata basyar menurut Ali Syari‟ati, adalah manusia yang esensi

kemanusiaannya tidak nampak, aktifitasnya serupa dengan binatang. Ia hanyalah

wujud (being) ia memang makhluk Allah SWT. Tetapi bukan hamba dan

khalifahnya, karena esensi kemanusiaan tidak tampak adanya.14

Pemakaian kata Basyar untuk menyebut pada semua makhluk, mempunyai

pengertian adanya persamaan umum yang selalu menjadi ciri pokok. Ciri pokok

itu adalah kenyataan lahiriahnya yang menempati ruang dan waktu, serta terikat

oleh hukum-hukum alamiahnya. Persentuhan laki-laki dengan perempuan atau

persentuhan seperti yang telah disebutkan terdahulu (Q.S. Ali Imron: 47) kata

Basyar juga mengartikan manusia pada umumnya (Q.S. al-Mudatsir : 25) tentang

penciptaan manusia (Q.S. al-Mushaad: 71-76) dan menjelaskan manusia

12

Ali Syari‟ati, Tugas Cendekiawan Muslim, terj. Amien Rais, (PT Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 1996), hlm. 51. 13

Ali Syari‟ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 51. 14

Ali Syari‟ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 52.

Page 7: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

35

semuanya akan mati (Q.S. Al-Anbiya‟: 34-35). Jadi bila manusia basyar ini,

dikatakan sebagai subyek kebudayaan memang benar, sebab segala aksinya

adalah kodrat alamiah.

Semetara itu, Dawam Raharjo menulis bahwa “tafsiran modern mengenai

manusia dalam al-Qur‟an telah melihat manusia sebagai makhluk dualistis, terdiri

dari jiwa dan badan. Kemudian Dawam mengutip perkataan Jalaluddin Rakhmat,

dalam suatu ceramah di Klub Kajian Agama di Paramadina, yang mengupas

perihal konsep antropologis dalam al-Qur‟an. Dalam al-Qur‟an manusia disebut

sebagai makhluk biologis yang disebut basyar, sekaligus juga disebut makhluk

rohaniah berikut karakteristik-karakteristik psikologisnya dengan sebutan insân.15

Islam selalu menilik manusia yang dikaitkan dengan kisah tersendiri. Di

dalamnya, manusia tidak bisa di tegaskan melalui distingsi dualitas tubuh-jiwa,

dan tidak mampu digambarkan semata-mata sebagai hewan tingkat tinggi, yang

berkuku pipih dan berjalan dengan dua kaki, dan pandai berbicara dan berpikir.

Melampaui itu semua, menurut al-Qur‟an, manusia lebih luhur dan ghaib dari apa

yang dapat didefinisikan oleh kata-kata tersebut. Dalam al-Qur‟an manusia

berulang kali di angkat derajatnya. Manusia dinobatkan jauh mengungguli alam

surga, bumi, bahkan para malaikat; tetapi pada saat yang sama, mereka bisa tak

lebih berarti di bandingkan dengan setan terkutuk dan binatang jahanam

sekalipun. Pada akhirnya segalanya tergantung pada pilihan manusia itu sendiri.

15

Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur‟an (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 263.

Bandingkan dengan konsep dualismenya Descartes melalui Adagium Je pense donc je suis atau

Cogito Ergo Sum Descartes telah meniscayakan distingsi antara „benda bertempat‟ (res extensa)

dan „benda berpikir‟ (res cogitans), atau substansi yang memiliki keluasan dan substansi yang

berpikir. res extensa teraktualisasi pada tubuh, sedangkan res cogitans teraktualisasi pada jiwa.

Dengan demikian, dualisme ini telah menegaskan keterpilahan antara tubuh dengan jiwa. Lihat,

Zainal Abidin, Filsafat Manusia (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 12.

Page 8: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

36

2. Asal Usul Manusia

Bagaimana awal mula manusia? Salah satu teori yang mengemukakan

asal-usul manusia yang sangat populer, yakni teori evolusi yang berpuncak pada

pemikiran Charles Darwin yang tertuang dalam magnum opusnya The origin of

Species. Berkenaan dengan persoalan kemunculan spesies manusia. Darwin

melontarkan klaim bahwa berbagai spesies dari jenis tumbuh-tumbuhan dan

binatang bermunculan diakibatkan adanya proses evolusi yang terjadi secara

alamiah karena faktor-faktor alam. Dan proses ini banyak terjadi pada sebagian

besar individu suatu spesies. Perubahan yang terjadi pada individu-individu dari

satu spesies itu diwarisi dari satu generasi kegenerasi lain. Dalam kondisi yang

mengharuskan dilakukannya penyesuaian diri dengan lingkungan dalam konteks

perjuangan untuk mempertahankan hidup (survival of the fittest) kecendrungan

alamiah, dan menciptakan kelanggengan yang lebih baik, mendorong terciptanya

kondisi yang kondusif bagi munculnya spesies baru. 16

Teori ini, baik di zaman Darwin masih hidup maupun setelah

kematiannya, menjadi bahan kritikan dan perdebatan yang sangat serius.

Kalangan ilmuan semacam Edward J. Steele dan Reginald M. Gorczyski (pakar

imunologi) menyebut teori tersebut sebagai teori yang cacat bahkan harus ditolak

secara mutlak. Sebagian ilmuan lain, seperti Alfred Russel Wallace, menilainya

keliru, khususnya bila disangkut-pautkan dengan penciptaan manusia.17

Teori ini

16

Lihat, Mahmoud Rajabi, Horizon Manusia, (Jakarta: al-Huda, 2006), hlm. 93-94. 17

Meskipun jawaban terhadap sejumlah kritik yang dialamatkan kepada teori Darwin

datang dari para pembelanya, akan tetapi jawaban atas kritik-kritik tersebut belum memuaskan.

Sebagai contoh, Voltair Valas yang berbeda dari Darwin. Dia yang merumuskan sistematika tema-

tema “seleksi alam” berkeyakinan bahwa jarak antara otak manusia dan monyet melebihi apa yang

dikatakan Darwin dan komunitas orang-orang pedalaman tidak dapat menghilangkan jarak

Page 9: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

37

sekalipun telah melalui proses evaluasi dalam penerapannya serta ditelaah dari

sudut pandang arkeologi dan genetika, mustahil berubah menjadi teori yang

absolut dan permanen. Beberapa ilmuan juga telah menjelaskan bahwa secara

arkeologis, pencarian asal-usul keturunan manusia sama sekali tidak jelas.

Teori tersebut telah menciptakan atmosfer yang memunculkan perdebatan

antara pandangan Kristen dalam hal penciptaan manusia dan perspektif ilmu

pengetahuan modern. Imbasnya, sebagian pemikir atau ilmuan dengan keliru

menyimpulkan dari teori ini bahwa antara ilmu pengetahuan dan agama tidak

terdapat kesesuaian.

Namun Muhammad Iqbal mempunyai pandangan lain dalam memikirkan

persoalan utama dan memahami proses penciptaan manusia. Dalam persoalan

penciptaan manusia, Iqbal mencoba mensintesakan antara konsep Teistik dan teori

Evolusi. Sebagai seorang muslim Iqbal mmpercayai sepenuhnya bahwa Tuhan

memegang peranan vital dalam proses penciptaan manusia.

“Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati

(berasal) dari tanah. kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan)

dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu, Kami jadikan

segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan

segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami

bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk)

lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik. Kemudian, sesudah

itu, Sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati.” (Q.S: al-Mukminuun:

12-15)

Berdasarkan ayat diatas Iqbal percaya bahwa manusia pertama lahir atas

kreasi Tuhan. Sedangkan dalam teori Evolusinya, Iqbal mengambil teori evolusi

tersebut. karena kekuatan otak mereka berbanding lurus dengan kemajuan otak individu modern.

Maka seleksi alam tidak akan dapa mengarahkan kekuatan otak manusia yang paling tinggi. Lihat,

Ian Barbour, Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama, terj. Fransiskus Borgias

M, (Mizan, Bandung, 2005), hlm. 114-115.

Page 10: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

38

yang diperkenalkan pertama kali oleh ilmuwan muslim yaitu Ibnu Djahiz (wafat

225 H) yang kemudian pendapatnya diperkenalkan oleh perkumpulan yang

bernama Ikhwan Al-Shafa, mengatakan bahwa; “Perubahan yang terjadi dalam

kehidupan awal adalah karena adanya perpindahan dari suasana sekitar.”18

Teori

ini kemudian lebih disempurnakan lagi oleh Ibn Maskawaih, bahwa evolusi terdiri

dari empat tahap, yaitu: evolusi mineral, tetumbuhan, binatang dan manusia.19

Berdasarkan pemahaman teori evolusi tersebut Iqbal merumuskan kembali

bahwa evolusi manusia berasal dari Allah sebagai creator awal yang suci menuju

ke manusia sebagai ciptaannya yang rendah, hal ini berbeda dengan teori evolusi

barat (Darwinisme) yang berasal dari sesuatu yang hina dan rendah (hewan)

menuju ke derajat yang tinggi (manusia). Konsep evolusi Iqbal ini juga

dipengaruhi konsep evolusi biologis Rumi yang menyatakan penciptaan manusia

itu tidak hanya bersifat metafisis tetapi juga konkrit seperti yang dinukilkan Iqbal

dari puisi Rumi, yaitu:

“ Mula-mula manusia lahir dalam tingkat alam benda,

Dan dari memasukkan alam tumbuhan

Bertahun dia hidup sebagai tumbuh-tumbuhan

Tak lagi ingat alamnya dahulu yang jauh berbeda

Dan ketika dari sana ia pun masuk ke alam hewan

Ia pu juga tak ingat keadaannya sebagai alam tumbuhan

Kecuali tinggal kesukaannya yang dirasakan ke alam tumbuhan

Terutama dimusim semi yang penuh bunga

Seperti kesukaan anak pada bundanya yang melahirkan

Dan tak tahu mengapa ia sukai buah dadanya

Sekali lagi, pencipta, yang agung memindahkan

Manusia dari alam hewan ke dalam insan

Sehingga dari tata alam demi tata alam

Ia pun pandai, bijak, dan perkasa seperti sekarang

Tentang jiwanya pertama sama sekali ia tak terkenang

18

Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama Dalam Islam, terj. Ali Autah. Dkk,

(Jogjakarta: Jalasutra, cet. II, 2008), hlm. 200. 19

M.M. Syarif, Para Filosof Islam, (Bandung; Mizan), hlm. 88.

Page 11: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

39

Dan sekali lagi ia akan menjelma dari jiwanya sekarang”.20

Telaah atas ayat-ayat al-Qur‟an yang membicarakan tentang penciptaan

manusia, menyuguhkan kesimpulan bahwa generasi manusia yang ada sampai

sekarang ini berasal dari sosok yang bernama Adam. Penciptaan Adam sendiri

merupakan sebuah pengecualian; dia berasal dari tanah.

“Hai sekalian manusia, bertaqwa kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu

dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan istrinya, dan dari

keduannya Dia memperkembangbiakan lelaki dan perempuan yang banyak.”

(Q.S. an-Nisa : 1)

Imam Ali mengilustrasikan penciptaan Adam melalui bahasa metaforis:

Allah mengumpulkan lempung tanah yang keras, lembut, manis, dan asam, yang

dicelupkan-Nya ke dalam air sampai menjadi murni dan mengadonnya dengan

uap lembab hingga merekat. Darinya, Dia membuat format (raga) dengan

lekukan-lekukan, persendian, anggota dan bagian-bagian tubuh. Dia

memadukannya sampai mongering untuk waktu tertentu dan jangka waktu yang

diketahui. Kemudian Dia meniupkan kedalamnya Ruh-Nya sehingga dia beroleh

pola manusia dengan pikiran yang mengaturnya, kecerdasan yang digunakannya,

anggota badan yang melayaninya, organ-organ yang mengubah posisinya,

kebijaksanaan yang membedakan antara yang benar dan salah, rasa dan bau,

warna dan jenis. Dia adalah campuran antara lempung berbagai warna, bahan-

bahan rekat yang saling berlawanan, yang aneka ragam, dan sifat-sifat yang

berbeda seperti panas, dingin, lembut dan keras.21

Dalam bukunya Syarh Al-Arbâin Haditsan, Imam Khomeini

mengomentari tentang lafaz “Adam”, Al-Jauhari dalam Al-Shihâh, bahwa asal

katanya adalah A‟dama, mengikuti pola af‟ala. Kemudian, hamzah yang kedua

diganti dengan alif, dan dalam penulisan tentang harakatnya alif tersebut diganti

dengan wau. Bentuk jamaknya adalah Awâdim. Alasan kenapa bapak moyang

manusia disebut dengan Adam adalah karena beliau (Nabi Adam) adalah orang

20

Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama Dalam Islam, hlm. 201. 21

Sayyid Syarif Radhi, Nahj Al-Balaghah: Mutiara Sastra Ali Edisi Khotbah, terj.

Muhammad Hashem (Jakarta: Al-Huda, 2009), Kotbah 1, hlm. 43.

Page 12: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

40

yang berkulit kuning. Dalam ungkapan kebahasaan dikatakan, “Al-Adam min al-

nâs: al-asmar” (Adam dari manusia: maksudnya adalah manusia berkulit

kuning).22

Al-Qur‟an secara tegas mengemukakan bahwa penciptaan semua manusia

berasal dari sosok manusia.23

Manusia awal diciptakan dari tanah sementara

generasi manusia selanjutnya diciptakan dari saripati air yang hina (air mani).

Menurut al-Qur‟an, manusia diciptakan “dengan kedua tangan-Ku” (Q.S. Shad:

75) dan diterangkan lebih lanjut: Tuhan menciptakan Adam dari tanah liat selama

empat puluh hari sebelum Ia memberikan kepada Adam dan jiwa dan meniupkan

nafas-Nya sendiri kedalam tubuh Adam. (Q.S. Ibrahim: 29, Shad: 72). Baqli

menafsirkan:

“Itu berarti bahwa kehadiran-Nya pada Adam berlaku 40.000 tahun.” Ia

melanjutkan, wujud Adam adalah pencermin dari dua dunia itu, ditempatkan

dalam wujud manusia. Dan nanti akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda-

tanda kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri.” (Q.S. Fushshilat:

53)24

Adam adalah prototif dari manusia sempurna, sebab dalam segala hal ia

adalah karya Tuhan yang sempurna, yang mewujud melalui tiupan nafas-Nya dan

dengan demikian ia hamper merupakan sebuah pencerminan yang memantulkan

22

Imam Khomeini, 40 Hadis: telaah atas Hadis-hadis Mistis dan Akhlak, terj. Musa

Kazim (Bandung: Mizan, cet.2, 2009), hlm .776. 23

Pengertian yang sama juga terdapat dalam sejumlah ayat lainnya, seperti; Q.S. al-A‟raf:

189; QS. al-An‟am :98; dan Q.S. az-Zumar: 6. 24

Dikutip dari Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, terj. Sapardi Djoko

(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 138.

Page 13: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

41

sifat-sifat Tuhan. Sebagaimana al-Qur‟an menyatakan, “Ia menciptakan Adam

sesuai dengan bayangan-Nya” („alâ shûratih).25

Lafaz „alâ shûratih” (sesuai dengan bentuk-Nya): al-shûrah adalah

gambar atau bentuk. Kita dapat mengatakan bahwa al-shûrah mempunyai arti luas

yang di dalamnya terdapat hal-hal yang sama. Kesamaan tersebut adalah

“kenyataan dan aktualitas sesuatu”. Maksudnya adalah bahwa segala sesuatu itu

mempunyai aktualitas tertentu (karakteristik khas). Berdasarkan ini, sesuatu dapat

disebut sebagai dzî al-shûrah (mempunyai bentuk, gambaran) dan karakteristik

khas, yakni al-shûrah (sosok, gambar, bentuk). Pemakaian istilah “bentuk” (al-

shûrah) dalam bahasa para filosof sebagai “hal-hal yang ada pada aktualitas

sesuatu” tidaklah bertentangan dengan pengertian harfiahnya. Pengertian filosofis

ini tidak bisa dikategorikan sebagai lawan dari pengertian teknis atau pengertian

khususnya.26

Ibnu Sina, dalam bukuny Al-Syifâ pada bagian metafisika mengatakan, “Shûrah

(bentuk) adakalanya diterapkan untuk menunjukan semua konfigurasi dan

tindakan suatu objek, baik yang bersifat tunggal ataupun tersusun, sedemikian

sehingga segenap gerakan dan aksiden („aradh, accident) objek itu disebut

dengan Shûrah. Shûrah (bentuk) juga dipakai untuk menunjukan unsur yang

mempertahankan keutuhan sesuatu secara aktual, sehingga pelbagai substansi

intrlektual dan aksiden tidak bisa disebut sebagai Shûrah. Istilah Shûrah juga

terkadang diterapkan untuk unsur yang menyempurnakan materi (mâddah),

sekalipun unsur itu tidak mesti bersifat aktual, seperti halnya kesehatan atau

25

Bandingkan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Al-Shaduq dalam kitab „Uyûn

Akhbâr Al-Ridhâ dengan sanadnya yang bersambung kepada imam Ali Al-Ridhâ, dari Husain ibn

Khald yang mengatakan, “Aku bertanya kepada Al-Ridhâ, wahai putra Rasulullah, banyak orang

yang meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, „Sesungguhnya Allah telah menciptakan

Adam sesuai dengan bentuk-Nya.‟ Beliau menjawab, semoga Allah mengecam mereka. Mereka

telah menmbuang bagian pertama hadis tersebut yang menerangkan bahwa Rasulullah Saw

bertemu dengan dua orang laki-laki yang Sali mencaci. Beliau mendengar salah seorang diantara

mereka berkata kepada kawannya, „Semoga Allah memburukan wajahmu dan wajah orang-orang

yang mirip denganmu.‟ Selanjutnya, Al-Ridhâ berkata, „wahai Abdullah, hendaknya engkau tidak

berkata seperti itu kepada saudaramu sebab Allah Azza wa jalla telah menciptakan Adam sesuai

dengan bentuk-Nya.‟ Dikutip dari, Imam Khomeini, 40 Hadis: telaah atas Hadis-hadis Mistis dan

Akhlak, hlm .776 26

Imam Khomeini, 40 Hadis…, hlm. 778

Page 14: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

42

tujuan yang diinginkan oleh sesuatu secara alamiah. Shûrah juga dipakai untuk

merujuk pada spesies (nau‟), jenis (genus), differentia (faktor pembeda pada

suatu species) atau pada semua makna itu secara univokal. Keuniversalan konsep

universal yang terdapat pada Shûrah (bentuk) contoh-contoh partikular juga

adakalanya disebut dengan Shûrah (bentuk).27

Berkaitan dengan sejarah Adam yang tergolong dalam karya biografi

terdapat tiga unsur yaitu: unsur-unsur murni sejarah, unsur-unsur murni fiksi, dan

unsur-unsur murni sejarah digabung dengan unsur-unsur murni fiksi.28

Muhammad Iqbal melalui karyanya the Recognition of Thought in Islam

menuliskan bahwa sesungguhnya apa yang diidendifikasi sebagai Adam bukanlah

merujuk kepada bentuk individu manusia yang kongkret, tetapi Adam hanyalah

suatu konsep.

Memang dalam ayat-ayat yang membicarakan asal mula manusia pertama

sebagai makhluk hidup, al-Qur‟an menggunakan kata-kata “basyar”, atau

“insan”, dan bukan “Adam”, karena “Adam” dipergunakan al-Qur‟an untuk

menunjukan kedudukan manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi dengan

menghilangkan nama-nama yang disebutkan dalam Bibel, yakni Adam dan

Hawa. Kata Adam tetap digunakan, dan lebih digunakan sebagai konsep

ketimbang sebagai nama suatu individu manusia yang kongkret, penggunaan kata

ini bukannya tidak dipertanggungjawabkan dalam al-Qur‟an sendiri. Dalam ayat

“kami telah ciptakan kalian; kemudian Kami perlengkapi kalian, kemudian Kami

pun berkata kepada para malaikat, bersujudlah kalian kepada Adam.” (QS. al-

Araf: 11) 29

Adam yang ditafsirkan sebentuk daging menurut Iqbal merupakan mitos

atau dongeng, namun cara al-Qur‟an memperlakukan dongeng itu akan lebih jelas

apabila diperbandingkan dengan pemaparan kitab genesis (Bibel). al-Quran

membagi dongeng itu menjadi dua episode yang jelas berbeda: yang satu

menceritakan tentang apa yang secara sederhana digambarkan sebagai “pohon

27

Imam Khomeini, 40 Hadis…., hlm. 778 28

Kusen, Konsepsi Filosofis Manusia Dalam Al-Qur‟an: Tinjauan Sejarah Adam A.S,

dalam Jurnal Universitas Paramadina (Vol. 1 No. 3, Mei 2002), hlm. 225. 29

Muhammad Iqbal, Rekontruksi Pemikiran Agama Dalam Islam), hlm. 98.

Page 15: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

43

pengetahuan” 30

dan yang lain tentang “pohon kekekalan” serta kerajaan yang tak

pernah “lapuk”. Episode pertama itu disebutkan dalam surah ketujuh dan episode

kedua dalam surah kedua puluh. Menurut al-Qur‟an, Adam dan istrinya,

disesatkan oleh Iblis yang tugasnya adalah menciptakan keragu-raguan di hati

manusia, mencicipi buah dari kedua pohon itu, sedang menurut perjanjian lama

manusia diusir dari taman firdaus segera setelah pembangkangannya yang

pertama, dan Tuhan lalu meletakkan di sebelah timur kebun itu malaikat bersama

sebuah pedang yang menyala-nyala, yang menghadap kesegala jurusan untuk

menjaga jalan menuju pohon kehidupan itu.31

Dalam bab kedua ayat 16 dan 17 Genesis tentang Adam, surga, dan pohon

terlarang, dikatakan bahwa:

Dan Tuhan Yahwe juga menetapkan perintah itu atas manusia: “engkau boleh

makan sepuasnya buah dari pohon yang ada di taman ini, tetapi engkau tidak

boleh makan buah dari pohon pengetahuan tentang kebaikan dan keburukan ini.

Karena, jika engkau memakannya, engkau pasti akan mati.”

Di dalam pasal ketiga ayat 1 sampai kedelapan dikatakan:

Adapun ular inilah yang paling cerdik dari semua binatang di darat yang

dijadikan oleh Tuhan Yahwe. Ular itu berkata kapada sang wanita: “bukankah

30

Madame Blavatski yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang simbolisme

kuno, dalam bukunya yang bernama Secret Doctrine menyatakan bahwa bagi orang-orang kuno

pohon merupakan lambang rahasia bagi ilmu ghaib. Adam dilarang mencicipi buah dari pohon ini

jelas adalah disebabkan oleh keterbatasannya sebagai suatu ego, alat-alat inderanya, dan

kemampuan intelektualnya pada umumnya adalah sesuai bagi tipe pengetahuan yang lain, yakni

tipe pengetahuan yang mengharuskan perlunya tinjauan yang saksama serta yang hanya bisa

tersusun secara perlahan-lahan. Tapi setan membujuknya supaya memakan buah terlarang dari

ilmu ghaib itu sehingga Adam pun menyerah, bukan disebabkan karena asasnya ia lemah,

melainkan karena secara kodratnya ia tergesa-gesa (ajul), sehingga ia pun berusaha mencari jalan

pintas untuk memperoleh pengetahuan. Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, (Bandung: Mizan, cet.2,

2001), hlm. 101-102. 31

Lihat, Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, hlm. 98-99. Berbeda dengan pendapat

Annemarie Schimmel yang mengutip pendapat al-Hallaj, mengatakan bahwa; kejatuhan Iblis,

karena Adamlah. Tuhan sudah bermaksud mengutuknya. Dalam teori Hallaj, iblis menjadi “lebih

monoteis dari pada Tuhan sendiri.” Sebab kehendak Allah yang kekal ialah tak ada yang disembah

selain Allah dan Iblis menolak menghormati seorang makhluk ciptaan, sekalipun ada perintah jelas

dari Allah. Lihat, Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, terj. Sapardi Djoko

(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 246.

Page 16: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

44

Tuhan telah berkata bahwa engkau tidak boleh makan segala yang ada di taman

ini?” mendengar pernyataan inisang wanita berkata kepada sang ular: “Kami

boleh makan buah-buahan dari pohon yang ada di tengah taman ini, tetapi

mengenai makan buah dari pohon yang ada di tengah ini, Tuhan telah berkata:

„Engkau tidak boleh memakannya, engkau tidak boleh menyentuhnya sekalipun,

kalau tidak engkau akan mati.‟ Mendengar hal ini, sang ular berkata kepada sang

wanita: “Engkau tidak mungkin mati, karena Tuhan tahu bahwa percis pada hari

engkau memakannya matamu akan terbuka dan engkau akan menjadi seperti

Tuhan dan mengetahui yang baik dan buruk.

Dengan demikian, sang wanitamelihat bahwa pohon itubaik dimakan dan tampak

indah dipandang mata. Ya, pohon itu menjadi tampak menggairahkan, maka ia

pun mulai memetiki buahnya dan memakannya. Setelah itu, ia juga memberikan

beberapa kepada suaminya dan ia pun mulai memakannya, lalu mata keduanya

terbuka dan mereka pun menjadi sadar bahwa mereka telah telanjang. Karena itu,

mereka menjalin dedaunan pohon ara dan membuatnya cawat (penutup pinggang

mereka).

Dalam pasal yang sama dikatakan:

Lalu Tuhan Yahwe mengusir dia dari taman Eden supaya mengusahakan tanah

dari mana ia diambil. 32

Sesuai dengan interpretasi tentang manusia, Tuhan dan dosa seperti ini,

kehendak Tuhan menginginkan agar manusia tidak memiliki pengetahuan tentang

yang baik dan buruk dan tidak menjadi sadar sepenuhnya. Pohon larangan adalah

pohon pengetahuan. Hadis mengajarkan bahwa pohon terlarang itu adalah sesuatu

seperti keserakahan, kerakusan, kesombongan, dan sebagainya, yang termasuk

dalam kehewanan manusia bukan dalam hakikat kemanusiannya.

Jadi konsepsi pertama tentang eksistensi manusia ialah epistemologi, yaitu

teori segala sesuatu mengenai pengetahuan. Apa itu pengetahuan? Dari mana

asalnya? Apa sumbernya? Untuk apa pengetahuan itu? Bagaimana memperoleh

pengetahuan yang benar? Lalu apa yang dimaksud dengan kebenaran itu sendiri?.

32

Dikutip dari, Murtadha Muthahhari, Membumikan Kitab Suci Manusia dan Agama

(Bandung: Mizan, 2007), hlm. 81-82.

Page 17: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

45

Pengetahuan yang diperoleh Adam Sesungguhnya adalah keutamaan

hidup (arete). Keutamaan hidup yang merupakan ciri manusia berpengetahuan,

oleh Socrates disimpulkan dalam tiga hal. Pertama, manusia tidak berbuat salah

dengan sengaja. Kedua, Ia berbuat salah karena ketidaktahuan. Ketiga, Tidak tahu

berarti bodoh, dan setiap tindakan yang berangkat dari kebodohan menuju ke arah

pengrusakan. Jadi kehancuran diri manusia lebih disebabkan oleh miskinnya

pengetahuan. Wajar jika kaum antropolog menyimpulkan bahwa manusia adalah

„binatang yang berpikir‟. Tatkala manusia sudah tidak menggunakan pikirannya,

saat itulah ia berhenti menjadi manusia. Manusia disebut manusia karena

pemberdayaan akal yang dimiliki.33

Ada versi pemaknaan lain perihal pohon yang disimbolkan sebagai hasrat

seksual. Allah memerintahkan Adam dan pasangannya (bukan istri, yang bernama

Hawa)34

untuk bersenang-senang dengan catatan tidak boleh mendekati pohon

(Walâ taqrabâ hâdzihi al-syajarata). Kata syajarah yang dimaksud bukanlah

pohon atau tumbuhan dalam arti sebenarnya. Ia adalah pohon simbolis yang

mengandung maksud hubungan seksual. Artinya kesenangan yang ditawarkan

kepada Adam dan Hawa jangan sampai melampaui batas yakni melakukan

hubungan seksual layaknya suami istri, sebab kalau itu dilakukan nanti akan

tumbuh bayi (metafora dari tumbuhan/pohon khuldi) padahal hubungan keduanya

belum terikat pernikahan. Sungguh lucu di dalam cerita klasik, diceritakan bahwa

33

Bayraktar Bayrakti, Eksistensi Manusia: Perspektif Tasawuf dan Filsafat Mengatasi

Problema Eksisensi Manusia (Jakarta: Perenial Press, 1996), hlm. 45. 34

Makna zawjah dalam (Q.S. al-Baqarah: 35) “sesunguhnya berpasangan” Contoh dari

makna berpasangan (barat/timur, kanan/kiri, bawah/atas, laki/wanita, suami/istri). Dalam kasus

Adam dapat dimaknai bahwa berpasangan (zawjah) bukan berarti suami istri, karena belum

dinikahi. Jadi Adam a.s. berpasangan maknanya ialah Adam laki-laki dan Hawa perempuan.

Page 18: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

46

setelah makan buah „khuldi‟ tiba-tiba keduanya (Adam dan Hawa) bugil ketika

ketahuan Tuhan. Yang benar ialah mereka bermaksud melakukan hubungan

seksual ditandai dengan dilepasnya baju mereka, saat itulah Allah memberikan

teguran tegas yaitu keluar dari Surga.35

Seorang pemikir skolastik-Kristen yang bernama Agustinus, percaya yakni

Tuhan telah menjatuhkan kutukan abadi bagi manusia, hanya karena dosa Adam.

Dosa warisan ini diteruskan kepada seluruh anak keturunannya melalui tindakan

seksual, yang dicemari oleh apa yang disebut oleh Agustinus sebagai “berahi”.36

Kutukan yang mendiskriditkan sosok perempuan mendapat dukungan melalui

surat-surat Jerome yang isinya penuh dengan penghinaan terhadap perempuan

yang kadang-kadang terasa mengganggu. Tertullian telah mencela perempuan

sebagai sosok iblis penggoda, sebuah bahaya abadi bagi umat manusia:

Apakah engkau tidak tahu bahwa masing-masing dirimu adalah Hawa? Kalimat

Tuhan tentang jenis ini tetap aktual pada masa sekarang: rasa bersalah itu pun

harus tetap ada. Kalian adalah gerbang setan; kalian adalah pelanggar pohon

terlarang itu; kalian adalah pembangkang pertama hukum Tuhan; kalian adalah

penggoda Adam, yang iblispun tak cukup mampu untuk menaklukkannya. Kalian

dengan sembrono telah menghancurkan manusia, citra Tuhan. Akibat

pembangkangan-mu, bahkan putra Tuhan pun harus mati.37

Agustinus setuju: “apa bedanya,” tulisnya kepada seorang rekan, “apakah

dia ada wujud seorang istri atau ibu, dia tetap saja Hawa pengoda yang membuat

kita mesti waspada terhadap setiap perempuan”. Agustinus sangat heran mengapa

35

Lihat, Nazwar Syamsu, Al-Quran Tentang Al-Insan. Jakarta: Ghalia, 1970. Dikutip

dari, Kusen, Konsepsi Filosofis Manusia Dalam Al-Qur‟an: Tinjauan Sejarah Adam A.S, dalam

Jurnal Universitas Paramadina (Vol. 1 No. 3, Mei 2002), hlm. 228. 36

Berahi adalah hasrat irasional untuk mencari kesenangan pada makhluk semata,

bukannya pada Tuhan; ini dirasakan paling kuat dalam tindakan seksual, ketika rasionalitas kita

sepenuhnya terbenam oleh gairah dan emosi, tatkala Tuhan terlupakan dan makhluk-makhluk

saling cumbu tanpa malu terhadap satu sama lain. Lihat, Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, hlm.

175. 37

Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, hlm. 176.

Page 19: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

47

Tuhan mesti menciptakan jenis wanita: bukankah, “seandainya yang dibutuhkan

Adam adalah teman bercakap-cakap yang baik, akan lebih baik jika yang

dirancang adalah dua orang lelaki bersama-sama sebagai sahabat, bukan seorang

lelaki dengan seorang perempuan.38

Jika pendapat Agustinus diterima sebagai kebenaran; konsepsi kedua

tentang manusia menurut al-Qur‟an ialah prinsip kemerdekaan. Kemerdekaan

ialah tersedianya pilihan-pilihan yang ditentukan oleh individu masing-masing.

Maka tindakan pembangkangan Adam dan Hawa atas larangan Tuhan (melakukan

hubungan seksual) merupakan cermin prinsip kemerdekaan. Sekiranya Tuhan

tidak memberikan kemerdekaan, tentunya Adam dan Hawa mustahil melanggar

larangan Tuhan. Makhluk yang gerakannya ditentukan sepenuhnya seperti sebuah

mesin, tidak mungkin akan menghasilkan kebaikan. Karena itu kemerdekaan

adalah syarat mutlak adanya kebaikan, sehingga kesalahan Adam a.s. dan Hawa

yang dilakukan pertama kali tidak berdosa, mengapa? Karena dapat diketahui

adanya kebenaran, menurut Iqbal, bermula dari kesalahan. Hal tersebut dikuatkan

oleh pendapat Ibn‟ Arabî yang mengatakan bahwa “kejatuhan” Adam tidaklah

harus di jadikan sebagai kejadian yang negatif.39

Berbeda halnya dengan Nurcholish Madjid (Cak Nur), pemotretan kisah

Adam melanggar aturan Tuhan berupa terbujuk makan buah khuldi “syajarat al-

khuld” mempunyai makna simbolik pula, namun bukan diartikan hubungan

seksual sebagaimana Nazwar Syamsu atau Agustinus. Dalam pandangan Cak Nur,

38

Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, hlm. 176-177. 39

Istilah ini dikenal dengan istilah teologi negatif. Coba lihat penelitian Muhammad Al-

Fayadl yang sudah di bukukan dengan judul; Teologi Negatif Ibn‟ Arabi: Kritik Metafisika

Ketuhanan, (Jogjakarta: Lkis, 2012)

Page 20: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

48

“syajarat al-khuld” bermakna tawaran hidup abadi, karena ujung ayat ditutup

dengan “mulk lâ yablâ” (Q.S. Thaha:120) yang berarti kekuasaan yang tak akan

binasa.40

Bibel mengutuk bumi sebagai tempat pembuangan Adam karena

pembangkangannya; namun al-Qur‟an malah menyatakan bumi sebagai “tempat

tinggal” manusia sebagai “sumber keuntungan” baginya dan untuk itu manusia

harus bersyukur kepada-Nya atas karunia yang telah Tuhan berikan kepada

manusia. Karena watak dasar manusia adalah pelupa, maka ia pun tidak sadar dan

lalai atas apa yang telah Tuhan anugrahkan kepada manusia. “Dan Kami telah

mendirikan bagimu bumi serta di dalamnya Kami berikan hal-hal yang

menegakkan kehidupan. Betapa kurangnya rasa terimakasihmu.” (Q.S. al-Araf:

10)

3. Tujuan Penciptaan Manusia

Kedudukan manusia sebagai hamba Tuhan tidak berarti sama sekali.

Dihadapan Tuhan yang Maha Kuasa; manusia itu nyaris hilang lenyap kehilangan

kepribadiannya dan manusia itu bukan apa-apa, kecuali hanya alat belaka dalam

taqdir abadi. Para filsuf barat merumuskan konsepsi humanisme—manusialah

ukuran segalanya dan yang menentukan nasibnya sendiri. namun Islam tidak

memandang posisi manusia hanya sekedar alat belaka. Melainkan termaktub

maksud dan tujuan dalam penciptaan manusia.

Dalam Islam apa maksud Tuhan menciptakan manusia? “Sesungguhnya

Aku ingin menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata:

40

Nurcholish Madjid, Teks Pidato Idul Fitri. Jakarta: Masjid Istiqlal, 2000.

Page 21: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

49

“mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan

membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah…?” Tuhan berfirman:

“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S. Al-

Baqarah: 30) “Dan Dia-lah yang menjadikanmu para khalifah di bumi.” (Q.S. al-

An‟am: 165) Berdasarkan ayat-ayat di atas yang diturunkan berkaitan dengan

penciptaan manusia, dikatakan bahwa tujuan dari penciptaan manusia adalah

dijadikannya manusia sebagai khalifah dan penerus Tuhan. Dan yang dimaksud

dengan penerus Tuhan adalah bahwa Tuhan meletakkan sebagian dari sifat yang

dimiliki-Nya dalam diri manusia sebagai sebuah amanah dimana jika manusia

mengaktualkan potensi yang dimilikinya ini, maka mereka akan bisa meraih

tingkatan tertinggi dari kesempurnaan. Oleh karena itu, berdasarkan ayat-ayat

tersebut, tujuan dari penciptaan tak lain adalah manusia sempurna.

“Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya,” (Q.S. Al-Maidah: 48,

dan Q.S. Hud: 4) “Hai manusia, sesungguhnya kamu menuju kepada Tuhan-mu

dengan kerja dan usaha yang sungguh-sungguh, maka kamu pasti akan

menjumpai-Nya.” (Q.S. al-Insyiqaq: 6). Ayat di atas pun menempatkan manusia

sebagai pekerja keras yang bergerak dan berusaha menuju ke arah sumber wujud.

Manusia berada dalam pergerakannya menuju Tuhan, dan keseluruhan aturan-

aturan al-Qur‟an pun merupakan perantara untuk sampai pada tujuan ini, yaitu

perjalanan menuju ke arah Tuhan. Di sini akan muncul sebuah pertanyaan yaitu

apa makna dari perjalanan ke arah Tuhan dan berdekatan dengan-Nya?

Allah swt dalam salah satu ayat al-Qur‟an berfirman, “Sesungguhnya

Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (Q.S. At-

Page 22: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

50

Tiin: 4), yaitu tidak ada makhluk selain manusia yang memiliki bentuk dan

struktur lebih baik dari yang dimiliki oleh manusia, dan pada kelanjutan ayat

berfirman, “Kemudian Kami akan kembalikan ia ke tempat yang serendah-

rendahnya (neraka)” (Q.S. at-Tîn:5), yaitu manusia yang memiliki sebaik-baik

bentuk ini akan Kami kirim ke tempat yang serendah-rendahnya. Kata “ahsan”

dan “asfal” keduanya bermakna “paling baik atau sebaik-baiknya” dan “paling

rendah atau serendah-rendahnya”.

Realitas ini merupakan dalil bahwa hakikat wujud manusia adalah tidak

terbatas, dengan makna bahwa dia mampu menjangkau tingkatan yang bahkan

lebih tinggi dari tingkatan para malaikat dan manusia juga bisa jatuh terjerumus

ke tingkatan paling rendah dan paling buruknya tempat yang dimiliki oleh

binatang dan setan.

Al-Qur‟an juga memberikan isyaratnya tentang dua perjalanan tak terbatas

ini pada ayat-ayat yang berlainan. Dalam salah satu ayat-Nya, Allah berfirman,

“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah;

orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apapun” (Q.S. al-Anfal:

22). Dan pada ayat yang lain tentang perjalanan lain, Allah berfirman, “Tahukah

kamu Apakah „Illiyyin itu? (yaitu) kitab yang bertulis, yang disaksikan oleh

malaikat-malaikat yang didekatkan (kepada Allah)” (Q.S. al-Mutaffifin: 19-21).

Dalam islam, Manusia adalah makhluk yang mulia dibandingkan makhluk

hidup lainnya, demikian Allah berfirman:

Dan sesungguhnya telah kami muliakan Bani Adam, Kami angkut mereka di

daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik, dan Kami

lebihkan kepada mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan

makhluk yang telah kami ciptakan. (Q.S. al-Isrâ‟: 70)

Page 23: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

51

Kemuliaan yang paling besar yang Allah berikan kepada manusia adalah

akal yang dapat membuat manusia dapat mengerti realitas tempat dia berpijak,

baik dalam dunia materi maupun metafisik. Dengan akalnya, ia mampu mengenal

dirinya, mengenal penciptanya, dengan cara memikirkan makhluk-makhluk-Nya

dan merenungkan setiap fenomena di jagad semesta. Jadi, bila manusia

memikirkan tentang dirinya dan apa yang Allah titipkan padanya berupa akal—

yang keberadaanya dapat dipastikan namun sulit untuk digambarkan—maka itu

merupakan petunjuk baginya atas adanya kreator agung, pengaturnya, dan

pembentuknya.

Agama Islam tidak menganggap manusia sebagai sebuah pita kosong yang

bisa diisi sesuka hati. Sebagaimana yang diimajinasikan oleh pemikir empirisme

barat. Al-Qur‟an telah memaparkan suatu pembahasan yang dimana dapat

diketahui dengan jelas bentuk pandangannya terhadap alat epistemology.

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak

mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan

hati, agar kamu bersyukur.” (Q.S. an-Nahl: 78)

Dalam bukunya Man the Unknown, karya A. Carel menjelaskan tentang

kesukaran yang dihadapi untuk mengetahui hakikat manusia. Dia mengatakan

bahwa pengetahuan tentang makhluk-makhluk hidup secara umum dan manusia

khususnya belum lagi mencapai kemajuan seperti yang telah dicapai dalam bidang

ilmu pengetahuan lainnya. Selanjutnya ia menulis:

Sebenarnya manusia telah mencurahkan perhatian dan usaha yang sangat besar

untuk mengetahui dirinya, kendatipun kita memiliki pembendaharaan yang cukup

banyak dari hasil penelitian para ilmuan, filosof, sastrawan, dan para ahli

dibidang keruhanian sepanjang masa ini. Tapi kita (manusia) hanya mampu

Page 24: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

52

mengetahui beberapa segi tertentu daru diri kita. kita tidk mengetahui manusia

secara utuh. Yang kita ketahui hanyalah bahwa manusia terdiri dari bagian-

bagian tertentu, dan inipun pada hakikatnya dibagi lagi menurut tata cara kita

sendiri. Pada hakikatnya, kebanyakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh

mereka yang mempelajari manusia—kepada diri mereka—hingga kini masih

tetap tanpa jawaban.41

Apa yang diilustrasikan oleh A. Carel disebabkan karena keterbatasan

pengetahuan manusia tentang dirinya. Pembahasan tentang masalah manusia

sangat terlambat, sebab mulanya perhatian manusia hanya tertuju pada

penyelidikan tentang alam materi yakni arcke—tatanan semesta. Bahkan al-

Ghazali begitu pesimis memandang pengetahuan dan apa yang diusahakan

manusia dengan kemampuan berpikirnya, ilmunya, dan hikmahnya, manusia tetap

saja tidak mampu mengenal dirinya.

Ia tidak menggambarkan dirinya dengan dirinya sendiri dengan suatu gambaran

yang lebih dari pengakuan bahwa ia berserah diri kepada Tuhan yang

membuatnya dapat mengetahui-Nya dan mengakui bahwa ia tidak mengetahui

tentang dirinya, ia mengetahui dan dapat membedakan diantara kehalusan-

kehalusan pengaturan, dapat membedakan rincian-rincian penciptaan, dapat

merenungkan perkara-perkara yang terjadi, dapat membayangkan dan

menggambarkan akibat-akibat sesuatu, serta dapat berbagai perkara yang

berbeda-beda. Ketidaktahuannya tentang diri dan pengetahuannya untuk

merenungkan dan membedakan sesuatu menunjukan bahwa ia adalah disusun,

diciptakan, dibentuk, diatur, dan dikuasai.42

Walaupun manusia memiliki hikmah dan pengetahuan, namun sebetulnya

ia lemah dan tidak berdaya. Ia ingin mengingat sesuatu, namun ia melupakannya;

walaupun ia mengetahui sesuatu, namun ia tidak tahu tentang hakikat dari apa

yang ia ketahui; ia ingin ingat dan menyadari sesuatu, namun malah lupa dan

melalaikannya. Semua ini menunjukan bahwa ia terkalahkan dan terkuasai oleh

keterbatasan diri. Maka dari itu, Allah menyempurnakan cahaya akal dengan

41

Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an, hlm. 277. 42

Abu Hamid Al-Ghazali, Hikmah Penciptaan Makhluk, hlm. 110.

Page 25: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

53

mengutus para nabi yang memberi kabar bahwa realitas bukan sekedar yang

nampak melainkan ada realitas yang tidak tampak (baca ghaib). Seperti alam

akhirat yakni kehidupan sesudah di alam dunia. Akal manusia tidak diciptakan

untuk dapat melihat sesuatupun, yang dapat membuat manusia mengetahui

tentang ketentuan-ketentuan negeri tersebut. Cahaya-cahaya yang dibawa para

nabi dengan wahyu dari Allah, “menurut al-Ghazali,” bila dibandingkan dengan

cahaya akal adalah bagaikan cahaya matahari dibandingkan dengan cahaya

bintang.43

Kita mesti mengakui bahwa setiap sistem memiliki logika internalnya

sendiri, meskipun kita tidak bisa menerima asumsi-asumsi yang mendasari

bangunan sisem tersebut. Jika kita ingin mendekati pandangan islam mengenai

manusia, maka harapan semacam itu harus dikesampingkan.

Tak ada pola konsep yang konsisten—yang disusun oleh pikiran manusia

di dalam keterbatasannya sendiri. Pikiran manusia senantiasa berhadapan dengan

paradoks-paradoks dan ambiguitas yang inheren dalam dunia makhluk dan dalam

berbagai refleksi yang terpecah-pecah yang dicerap di dunia saat ini.44

Islam memandang manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi dan sebagai

proyeksi dimensi vertikal kedalam tataran horizontal. Dasar ajaran Islam tidak

mendikotomi antara wilayah eksoteris (kehidupan dunia) dengan wilayah esoteris

(kehidupan akhirat). Melalui instrumen akal manusia mampu mengetahui realitas

yang dia sendiri menjadi salah satu manifestasinya.

43

Abu Hamid Al-Ghazali, Hikmah Penciptaan Makhluk, hlm. 113. 44

Seyyed Hossein Nasr. Ed, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Isman, dalam, Charles Le

Gai Eaton, Manusia, (Bandung: Mizan, 2002), hal. 482.

Page 26: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

54

Menurut Charles Le Gai Eaton, Secara potensial jika bukan secara aktual,

manusia lebih tinggi daripada para malaikat sebab hakikatnya mencerminkan

totalitas dan tidak dapat dipuaskan oleh apapun selain Yang Total.

Dalam diri manusia terdapat kutub positif dan kutub negatif dari eksistensi atau

identitas dalam pandangan islam.Kutub-kutub itu, baik yang positif maupun yang

negatif mungkin keliatannya tidak bisa didamaikan. Namun bagi seorang muslim,

kedua kutub itu mewakili realitas kongkrit dari situasi ini dan keduannya saling

memengaruhi satu sama lain seperti halnya positif dan negatif, cahaya dan

kegelapan, dalam figur Cina Yin-Yang. Kedudukan sebagai majikan—yaitu,

kualitas sebagai khalifah—berkaitan sangat erat dengan “kedudukan sebagai

hamba”. Dan “kedudukan sebagai hamba” itu tak lebih merupakan keunggulan

sebuah cermin jernih.45

Menurut al-Ghazali, segala sesuatu termasuk makhluk manusia

mempunyai “wajahnya sendiri dan wajah Tuhannya: dalam kaitan dengan wajah

Tuhannya sendiri ia adalah ketiadaan, dan dalam kaitan dengan wajah Tuhannya

ia adalah wujud”. Dari perumpamaan ini dapat ditarik pada dimensi yang lebih

jauh: makhluk yang melalui sosok ini berhadapan dengan dua cara yang berbeda,

konsekuansinya menjadi titik temu, menjadi jembatan. Hati manusia—yang dalam

Islam diidentifikasi sebagai seperangkat pengetahuan dan bukan sebagai

seperangkat emosi—kadang-kadang digambarkan sebagai barzakh (tanah

genting). Hati memisahkan dan sekaligus pula menyatukan “dua lautan”, yang

bersifat ilahiah dan yang bersifat duniawi. Berdasarkan fungsi inilah maka

manusia dapat didefinisikan sebagai khalîfah Allâh fi al-ardh, khalifah Allah di

bumi.46

45

Seyyed Hossein Nasr. Ed, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Isman, dalam, Charles Le

Gai Eaton, Manusia, hlm. 484. 46

Seyyed Hossein Nasr. Ed, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Isman, dalam, Charles Le

Gai Eaton, Manusia, hlm. 484.

Page 27: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

55

Menjadi wakil Tuhan (vicegerance of God). Yaitu orang telah mencapai

tahapan eksistensial yang tinggi, karena seluruh hidupnya menggambarkan

kehendak Tuhan. Pada tahap ini manusia sudah mampu menyerap sifat-sifat

Tuhan kedalam dirinya, dan mengimplementasiakan dalam kehidupan sosialnya.

Seperti yang digambarkan Iqbal dalam sajaknya:

“Jika engkau dapat kuasai untamu, niscaya dunia kau kuasai

Di kepalamu akan berkilau singgasana sulaiman

Dirimu akan jadi cemerlang dunia, selama duia ini masih berkembang

Alangkah nikmatnya menjadi khalifah dimuka bumi ini

Segala unsur tunduk dan tekun padamu

Niyabat-i-ilahi adalah bagai jiwa alam semesta

Ujudnya jadi bayangan nama yang terluhur….”47

Bagi Iqbal manusia dalam tahap ini sudah mampu mendapat gelar khalifah

dibumi, dimana ego-nya (khudi) sejajar dengan ego Mutlak. Menjadi wakil Tuhan

merupakan wujud dari kepenuhan manusia menjadi dirinya yang sejati, menjadi

diri adalah mengaktualisasikan individualitasnya dalam kehidupan didunia,

sebagaimana tuhan menunjukkan dan memberikan asma‟ dan sifat individualitas-

Nya kepada ciptaannya.

Sebagai khalifah Tuhan, menurut Iqbal, memiliki tugas yang cukup berat.

Yakni harus mampu menjadi seorang pembaharu untuk merubah keadaan zaman

dari keadaan gelap menuju suatu kondisi yang terang benderang dan sebagai

sahabat Tuhan insan dituntut untuk turut membantu dalam penciptaan yang belum

selesai.

Apakah manusia yang terbatas dan tercipta dari tanah ini memang bisa

berdekatan dengan Tuhan yang metafisik dan memiliki wujud mutlak? Dalam

menjawab pertanyaan ini harus dikatakan: dikarenakan hakikat wujud setara

47

Muhammad Iqbal, Rahasia Dan Tenaga Pribadi (asrar-i khudi), hal. 48-49.

Page 28: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

56

dengan kesempurnaan dan Tuhan pun merupakan wujud murni dan kesempurnaan

yang mutlak, maka setiap eksistensi yang berada dalam tingkatan wujud lebih

tinggi, pasti akan berada dalam posisi yang lebih dekat dengan Tuhan. Oleh

karena itu, dengan memiliki kewujudan yang lebih sempurna melalui iman dan

kesadaran diri, hal ini akan bisa mengantarkan manusia pada posisi yang semakin

dekat kepada Tuhan.

Ringkasnya, manusia dikatakan tengah melakukan perjalanan ke arah

Tuhan karena dia telah melewati tahapan-tahapan wujud, dan wujud yang

dimilikinya ini telah mengantarkannya ke arah keberadaan mutlak. Demikian juga

dengan yang dimaksud dari ibadah dan penghambaan yang juga merupakan tujuan

penciptaan, tak lain adalah supaya manusia dengan pilihan yang telah

diputuskannya sendiri, mau melakukan usahanya untuk membersihkan dan

mensucikan dirinya lalu melintasi tahapan kesempurnaan dan berjalan ke arah

kesempurnaan mutlak.

Setiap manusia yang mengaktualkan potensi-potensi keberadaannya

bergerak menuju interaksi dengan Tuhan, maka dalam kondisi ini, ia akan berada

dalam posisi yang lebih dekat dengan Tuhan. Dan kedekatan dengan Tuhan ini

pun memiliki tahapan dimana setiap individu yang melakukan perjalanan lebih

panjang dalam lintasannya menuju Tuhan, maka ia pun akan mendapatkan

kedekatannya yang lebih banyak pula dengan Tuhan.

Eksistensi yang ditempatkan di sepanjang kesempurnaan dan berada dalam

lintasan menanjak ke arah yang tak terbatas, dengan setiap langkah positif yang

Page 29: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

57

diambilnya untuk menuju ke arah-Nya, akan menjadi satu langkah untuk lebih

“dekat” lagi kepada-Nya. Ledih dekat, melampaui urat leher.

B. Konsep Manusia Sempurna dalam Filsafat Islam

Konsep Insan kamil ialah manusia yang sempurna dari segi wujud dan

pengetahuannya. Kesempurnaan dari segi wujudnya ialah karena dia merupakan

manifestasi sempurna dari citra Tuhan, yang pada dirinya tercermin nama-nama

dan sifat Tuhan secara utuh. Adapun kesempurnaan dari segi pengetahuannya

ialah karena dia telah mencapai tingkat kesadaran tertinggi, yakni menyadari

kesatuan esensinya dengan Tuhan, yang disebut makrifat.48

Istilah Manusia Sempurna (al-insân al-kâmil) terdiri dari dua kata: al-

insân yang berarti manusia dan al-kâmil yang berarti sempurna. Menurut

pandangan islam. Insan kamil adalah manusia teladan atau manusia ideal. Istilah

“sempurna”, menurut Murtadha Mutahhari tidak identik dengan kata tamâm

(lengkap), meskipun keduanya berdekatan dan mirip. Kata “lengkap” mengacu

pada sesuatu yang disiapkan menurut rencana, seperti rumah atau masjid. Bila

sesuatu bagiannya masih kurang atau belum selesai, maka bangunan itu disebut

belum lengkap atau kurang lengkap. Akan tetapi sesuatu mungkin saja, namun

ada sesuatu lain yang yang lebih tinggi satu atau beberapa tingkat; itulah yang

disebut dengan kâmil (sempurna).49

Maka dari itu, Mutahhari menginterpretasi bahwa pengertian

kesempurnaan itu bertingkat senantiasa menjadi (becoming) tak pernah selesai.

48

Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi, , (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 60. 49

Murtadha Mutahhari, Manusia Seutuhnya; Studi Kritis Berbagai Pandangan Filosofis,

terj. Abdillah Hamid Ba‟Abud, Jakarta: Shadra Press, 2012) hlm 2-3

Page 30: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

58

Dengan demikian bila suatu kesempurnaan tercapai, maka masih ada

kesempurnaan yang lain di atasnya, sampai pada tingkat kesempurnaan yang

sesungguhnya yakni hakiki. Melalui kematianlah maka manusia menemukan nilai

kesempurnaannya.

Istilah Manusia Sempurna (al-insân al-kâmil) secara teknis muncul dalam

literatur Islam di sekitar awal abad ke-7 H/13 M, atas gagasan Ibn‟ Arabî (w. 638

H/ 1240 H), yang dipakainya untuk melabeli konsep manusia ideal yang menjadi

locus penampakan diri Tuhan. Ungkapan al-insân al-kâmil memang pernah

dipakai sebelum Ibn Arabî namun demikian, diduga secara luas bahwa sufi ini

adalah yang pertama menggunakan ungkapan ini sebagai suatu istilah teknis.

Tetapi jika di analisis ternyata substansi insan kamil itu, sebenarnya telah muncul

dalam Islam pra-Ibn‟ Arabî, hanya konsep-konsep tersebut tidak memakai istilah

insan kamil.50

Meskipun istilah insan kamil menjadi populer dikalangan para pengikut

Ibn‟ Arabî pada masa berikutnya, dan menjadi masyhur khususnya dengan karya

al-Jili, melalui karyanya al-Insan al-Kamil fi Ma‟rifat al-Awakhir wa al-Awa‟il,51

Ibn‟ Arabî sendiri sebetulnya jarang menggunakan istilah tersebut dalam sejumlah

karyanya, termasuk dalam Syajarat al-Kaun,52

meskipun S. Hosssein Nasr

50

Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial: Kearifan Kritis Kaum Sufi, hlm. 119.

Yunasril Ali, Manusia Citra Illahi, hlm. 6-7. 51

Abdul Karim al-Jili, al-Insan al-Kamil fi Ma‟rifat al-Awakhir wa al-Awa‟il (Kairo,

1997). Penulis Indonesia yang menelaah konsep insan kamil Al-Jili yaitu Yunasril Ali, Manusia

Citra Illahi; Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn‟ Arabi oleh al-Jili, (Jakarta: Paramadina,

1997), 52

Ibn‟ Arabi, Syajarat al-Kaun, terj. Wasmukan, (Surabaya: Risalah Gusti, cet. 2, 2001).

Page 31: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

59

berpendapat bahwa karya ini secara khusus berkaitan dengan ide tentang insan

kamil.53

Pengertian lain yang bisa dipahami tentang manusia menurut Muhammad

Iqbal adalah makhluk kreatif yang dapat memperlihatkan keunggulannya dan

mengembangkan segala kemampuannya untuk bisa mengembangkan kebebasan

yang tidak terbatas. Sebagaimana yang diungkapkan Iqbal dalam sajaknya:

Segala sesuatu dipenuhi luapan untuk menyatakan diri

Tiap atom merupakan tunas kebesaran!

Hidup tanpa gejolak meramalkan kematian

Dengan menyempurnakan diri…

Insan mengarahkan pandang pada Tuhan!

Kekuatan Khudi mengubah biji sawi setinggi gunung

Kelemahannya menciutkan gunung sekecil biji sawi

Engkaulah semata...

Realitas di Alam Semesta, Selain engkau hanyalah maya

Belaka.54

Dari sajak Iqbal di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa arti yang

sebenarnya adalah yang mampu menyatakan “inilah aku!”, yaitu pada tingkatan

„aku‟ yang menentukan martabat dari sesuatu dalam ukuran wujud. Dan ego

(khudi)55

disini mempunyai kekuatan yang mengarah pada kerja aktif bagi

pembaharuan, perubahan dan penciptaan. Hal tersebut menunjukkan bahwasannya

„aku‟ yang bergejolak yang akan selalu mencari pembaharuan dan sebagainya ke

53

Berbagai aspek Manusia Universal dibicarakan hanpir setiap karya Ibn‟ Arabî, dan

Fhusus pada dasarnya didasarkan pada konsep ini. Juga karyanya Syajarat al-Kaun, atau the Three

of Being secara spesifik berbicara tentang gagasan Manusia Universal dan merupakan sumber

dasar kajian”doktrin logos” Ibn‟ Arabi. Lihat, S. Hossein Nasr, Tiga Mazhab Utama Filsafat

Islam, terj. Maimun Syamsudin, (Jogjakarta: Ircisod, 2006), dalam catatan no 66, hlm. 261. 54

K. G. Saiyidain, Percikan Filsafat Iqbal Mengenai Pendidikan…, hal. 26. 55

Tema sentral dalam setiap pemikiran Iqbal adalah insan, karena dari beberapa karya

Iqbal termasuk juga karya filsafatnya banyak mengulas tentang insan. Dan dari semua pemikiran-

pemikiran Iqbal itu kesemuanya mempunyai dasar berpijak pada konsepnya tentang khudi atau

ego, yang mana menurut Sardi Jufri, bahwasannya sumbangan Iqbal yang paling besar adalah ego

(khudi) yang melukiskan insan sebagai penerus ciptaan Tuhan yang membuat dunia belum

sempurna menjadi sempurna. Lihat, M. Dawam Raharjo, Insan Kamil: Konsepsi Insan Menurut

Islam, (Jakarta: Pustaka Grafity Pers, 1987), hal. 16.

Page 32: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

60

arah yang benar, sehingga terciptalah jaminan bahwa „aku‟ mampu tampil sebagai

pemimpin alam semesta, dan akhirnya mencapai tahap Insan Kamil atau insan

(„aku‟) yang sempurna.

Sejalan dengan hal di atas, menurut Iqbal Insan Kamil adalah insan

mukmin yang dalam dirinya terdapat kekuatan, wawasan, perbuatan dan

kebijaksanaan. Dan untuk mengenal Tuhan hanya ada pada dirinya sendiri dimana

insan harus mengenal dirinya dengan sebaik-baiknya dengan potensi-potensi insan

yang dimilikinya. Hanya insan sendiri yang harus menciptakan sifat-sifat

ketuhanan pada dirinya agar berperilaku seperti perilaku Tuhan.56

Penulis akan mencoba mengulas konsep manusia sempurna yang dibatasi

oleh dua tokoh yang diharap cukup mewakili, yakni Ibn‟ Arabi yang lebih

bercorak tasawuf-filosofis, sedangkan Mulla Shadra pemikirannya bercorak

filosofis murni.

1. Ibn’ Arabî

Bernama lengkap Muhammad Ibn Ali bin Muhammad Ibn al-Arabi al-

Hatimi yang dikenal dengan sebutan Ibn‟ Arabî dilahirkan di Murcia, Spanyol

bagian tenggara pada tanggal 17 Ramadan 560 H/ 29 Juli 1165 M). Pada usia 8

tahun ia dibawa oleh orang tuanya ke Sevilla. Di sana ia belajar al-Quran, hadis,

fikih dan tasawuf. Pada tahun 598 H / 1202 M ia berangkat ke Timur dan

mengembara di daerah-daerah dan kota-kota: Mesir, Makkah, Yerusalem, Aleppo,

Asia Kecil dan akhirnya menetap di Damaskus sampai akhir hayatnya pada 28

Rabiul Akhir 638 H / 1240 M.

56

Danusiri, Epistimologi dalam Tasawuf Iqbal, hlm. 134.

Page 33: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

61

Ibn‟ Arabî menunjukkan perbedaan antara Manusia Sempurna (al-insân

al-kâmil) dan Manusia Binatang (al-insân al-hayawân). Dengan menunjukkan

perbedaan itu, ia ingin menegaskan bahwa tidak semua manusia menjadi Manusia

Sempurna; hanya manusia-manusia pilihan itu adalah para nabi dan para wali

Allah. Tentang perbedaan antara Manusia Sempurna dan Manusia Binatang,

antara lain Ibn‟ Arabî berkata:

Karena wujud Manusia Sempurna adalah menurut gambar sempurna (Tuhan),

maka ia berhak menerima khilafah dan kewakilan dari Allah Ta„âlâ di alam. Mari

kita jelaskan pada bagian ini timbulnya khalifah, kedudukannya, dan gambar

hakikinya. Kita tidak mengartikan manusia dengan Manusia Binatang belaka,

tetapi dengan manusia dan khalifah. Dengan kemanusiaan dan khilafah, ia berhak

menerima gambar dalam kesempurnaan. Setiap manusia bukanlah khalifah.

Menurut pendapat kita, Manusia Binatang benar-benar bukanlah khalifah.57

Dalam kutipan ini, dinyatakan dengan jelas bahwa khilafah di alam

diberikan Allah kepada Manusia Sempurna atas dasar kualifikasi yang

dimilikinya: gambar sempurna (al-shûrah al-kâmilah). Manusia yang tidak

mempunyai gambar sempurna bukan khalifah Allah dan bukan Manusia

Sempurna. Manusia dalam arti sebenarnya adalah Manusia Sempurna, yang

menjadi khalifah Allah. Manusia dalam arti sebenarnya berbeda dengan Manusia

Binatang.

Ibn‟ Arabî membedakan antara Manusia Sempurna pada tingkat universal

atau kosmik dan Manusia Sempurna pada tingkat partikular atau individual.

Perbedaan dasar ini dimaksudkan agar kita terhindar dari kekacauan. Manusia

Sempurna pada tingkat universal, sebagaimana dikatakan W.C. Chittick, adalah

hakikat Manusia Sempurna, yaitu model asli yang abadi dan permanen dari

57

Uqat al-Mustawfiz, dalam H.S. Nyberg, Kleinere, hh. 45-6. Dikutip dari, Kautsar

Azhari Noer, Tasawuf Perenial: Kearifan Kritis Kaum Sufi, hlm. 129.

Page 34: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

62

Manusia Sempurna individual; sedangkan Manusia Sempurna pada tingkat

partikular adalah perwujudan Manusia Sempurna, yaitu para nabi dan para wali

Allah.58

Ketika Ibn‟ Arabî berbicara tentang “manusia” (al-insân), biasanya yang

dimaksud adalah “Manusia Sempurna” (al-insân al-kâmil), baik pada tingkat

universal maupun pada tingkat partikular.

Ibn„ Arabî mengatakan;

Alam adalah cermin bagi Tuhan. Alam mempunyai banyak bentuk yang

jumlahnya tidak terbatas. Karena itu, dapat dikatakan bagi Tuhan terdapat banyak

cermin yang jumlahnya tidak terbatas. Ibarat seseorang yang berdiri di depan

banyak cermin yang ada di sekelilingnya, Tuhan adalah esa tetapi bentuk atau

gambar-Nya banyak sebanyak cermin yang memantulkan bentuk atau gambar itu.

Kejelasan gambar pada suatu cermin tergantung kepada kualitas kebeningan

cermin itu. Semakin bening atau bersih suatu cermin, semakin jelas dan sempurna

gambar yang dipantulkannya. Cermin paling sempurna bagi Tuhan adalah

Manusia Sempurna, karena ia memantulkan semua nama dan sifat Tuhan,

sedangkan makhluk-makhluk lain memantulkan hanya sebagian nama dan sifat

itu.59

Setiap makhluk adalah lokus penampakan diri (majlâ, mazhhar) Tuhan

dan Manusia Sempurna adalah lokus penampakan diri Tuhan yang paling

sempurna. Ini berarti gambar Tuhan terlihat secara sempurna pada Manusia

Sempurna karena ia menyerap semua nama dan sifat Tuhan secara sempurna dan

seimbang. Pandangan ini sesuai dengan teori Ibn‟ Arabî tentang tafâdhul, keadaan

bahwa sebagian makhluk melebihi sebagian lain. tafâdhul menunjukkan hirarki,

baik pada nama-nama Tuhan maupun pada makhluk-makhluk-Nya. Intensitas

penampakan nama-nama Tuhan pada masing-masing makhluk bervariasi sesuai

dengan “kesiapan” (isti„dâd) masing-masing makhluk untuk menerima

58

W.C. Chittick, "Microcosm, Macrocosm, and Perfect Man in the View of Ibn al-

„Arabî," Islamic Culture 63 I-ii (1989):1. 59

Dikutip dari, Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial: Kearifan Kritis Kaum Sufi, hlm.

120.

Page 35: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

63

penampakan itu. Benda-benda mineral mempunyai “kesiapan” yang paling kecil

untuk menerima penampakan nama-nama Tuhan. Tumbuh-tumbuhan mempunyai

“kesiapan” yang lebih besar dari yang dimiliki benda-benda mineral. Binatang

mempunyai “kesiapan” yang lebih besar dari yang dimiliki tumbuh-tumbuhan.

Manusia mempunyai “kesiapan” yang lebih besar dari yang dimiliki tumbuh-

tumbuhan. Manusia mempunyai “kesiapan” yang lebih besar dari yang miliki oleh

binatang. Jadi, manusia berada pada puncak hirarki makhluk-makhluk Tuhan.

Manusia mempunyai “kesiapan” paling besar menerima penampakan nama-nama

Tuhan. Apabila makhluk-makhluk lain hanya bisa menerima penampakan

sebagian nama Tuhan, maka manusia bisa menerima penampakan semua nama

Tuhan.60

Sifat asli atau primordial manusia sebagai makhluk teomorfis, yang

mempunyai potensi untuk menerima penampakan semua nama Tuhan, didasarkan

pada sebuah hadis yang mengatakan bahwa “Sesungguhnya Allah telah

menciptakan Adam menurut bentuk-Nya.” (Inna Allâh khalaqa Adam „ala

shûratihi). Adam dalam hadis ini bukanlah Adam historis, Adam Bapak umat

manusia, tetapi manusia dalam arti universal, atau hakikat manusia. Nama Allâh

dalam hadis Imago Dei ini, yang disebut pula “Hadis Bibel” (Biblical Hadîth)

karena terdapat dalam Bibel, mempunyai arti penting karena nama Allâh adalah

“nama yang mencakup” (al-ism al-jâmi„), yang berarti mencakup semua nama

Tuhan. Hadis ini ditafsirkan sebagai yang menyatakan bahwa manusia diciptakan

“menurut bentuk Allâh.” Ini berarti bahwa manusia diciptakan “menurut bentuk

60

Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…., 120-121

Page 36: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

64

semua nama-Nya yang lain.” Itulah sebabnya mengapa Allah mengatakan bahwa

“Dia telah mengajar Adam semua nama.” (QS al-Baqarah: 31) Dengan sifat

teomorfisnya itu, manusia dapat memperlihatkan suatu variasi tak terbatas nama-

nama dan sifat-sifat Tuhan; nama dan sifat Tuhan yang mana pun dapat muncul

dan tampak pada manusia.

Ibn‟ Arabî kemudian menuturkan:

Apa sifat Adam? Jawabannya adalah: jika Anda menghendaki, sifatnya adalah

kehadiran ilahi; jika Anda menghendaki, (sifatnya) adalah totalitas nama-nama

ilahi; jika Anda menghendaki, (sifatnya) adalah (sebagaimana dinayatakan

dalam) perkataan Nabi saw., “Sesungguhnya Allah telah menciptakan Adam

menurut bentuk-Nya.” Jadi, ini adalah sifatnya. Ketika Dia menyatukan kedua

tangan-Nya untuk penciptaan Adam, kita mengetahui bahwa Dia memberi Adam

sifat kesempurnaan dan menciptakannya sebagai yang sempurna, yang

mencakup. Karena alasan ini, ia menerima semua nama. Maka, ia adalah totalitas

alam dari segi realitasnya.61

Karena itu, Nabi saw. berkata tentang penciptaan Adam, yang merupakan

rancangan yang mencakup sifat-sifat kehadiran ilahi, yang merupakan zat, sifat-

sifat, dan perbuatan-perbuatan: “Sesungguhnya Allah telah menciptakan Adam

menurut bentuk-Nya.” Bentuk-Nya tidak lain dari kehadiran ilahi. Ia menciptakan

dalam miniatur mulia ini, yang merupakan Manusia Sempurna, semua nama ilahi

dan realitas-realitas apa yang keluar dari ia ke dalam makrokosmos yang terpisah.

Tuhan menjadikannya roh bagi alam.62

Dalam kutipan di atas jelas bahwa “bentuk-Nya” (shûratuhu) adalah

“kehadiran ilahi (al-hadhrah al-ilâhiyyah), yang identik dengan nama-nama

Tuhan, yang meliputi nama-nama zat, nama-nama sifat, dan nama-nama

perbuatan. Keidentikan “bentuk Allah” dengan semua nama-Nya dikatakan pula

oleh Ibn„ Arabî sebagai berikut: “Semua nama Ilahi terpaut padanya (yaitu Adam,

61

Ibn „Arabî, al-Futûhât al-Makkiyyah, 4 jilid, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), 2:67. 62

Ibn „Arabî, Fushûs al-Hikam;Mutiara Hikmah 27 Nabi. Terj. Ahmad Sahidah &

Nurjannah arianti (Jogjakarta: Islamika, 2004), hlm. 199.

Page 37: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

65

manusia) tanpa pengecualian. Maka, Adam muncul menurut bentuk nama Allah,

karena nama ini mencakup semua nama Ilahi.”63

Konsekuensi ontologis sifat teomorfis manusia, yang mencakup semua

nama ilahi yang menampakkan dirinya pada alam sebagai keseluruhannya, adalah

bahwa ia mencakup semua realitas alam. Manusia adalah “totalitas alam” (maju„

al-„âlam). Karena itu, manusia oleh Ibn al-„Arabî disebut “miniatur alam”

(mukhtashar al-„âlam) atau “alam kecil” atau “mikrokosmos” (al-„âlam al-

saghîr). Bila manusia oleh Ibn al-„Arabî disebut “alam kecil” atau “mikroksmos,”

maka alam olehnya disebut “alam besar” atau “makrokosmos” (al-„âlam al-

kabîr). Biasanya pula, manusia oleh sufi ini disebut “manusia kecil” atau

“mikroantropos” (al-insân al-saghîr) dan alam olehnya disebut “manusia besar”

atau “makroantropos” (al-insân al-kabîr).

“Perpaduan” (jam„iyyah) pada manusia berarti pula perpaduan sifat-sifat

yang berlawanan sesuai dengan nama-nama dan sifat-sifat Tuhan yang

berlawanan, yang termanifestasi pada dirinya dan pada alam. Bentuk luar Adam

secara jelas menunjukan tubuh fisik manusia, dan bentuk terdalam menandakan

kemampuan spiritualnya.64

Ibn„ Arabî berkata, “Ia adalah manusia, yang baharu,

yang azali; ia adalah bentuk yang kekal, yang abadi, dan Kata (Logos) yang

memisahkan dan yang memadukan.” Manusia adalah baharu (hâdits) dari aspek

bentuk badaniahnya dan azali (azalî) dari aspek ilahinya, aspek teomorfisnya.

Jasad manusia adalah baharu dan ruhnya adalah azali. Manusia adalah Kata yang

memisahkan (kalimah fâshilah), artinya ia berdiri sebagai batas pemisah atau

63

Ibn „Arabî, Futûhât, 2:124. 64

Masataka Takeshita, Insan Kamil; Pandangan Ibn‟ Arabi, terj. Harir Muzakki,

(Surabaya: Risalah Gusti, 2005), hlm. 54.

Page 38: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

66

pembeda antara Tuhan dan alam karena ia adalah bentuk Tuhan dan alam adalah

cermin yang memantulkan bentuk itu, sedangkan Tuhan adalah zat yang

bentuknya adalah manusia. Karena itu, Manusia Sempurna, kadang kala oleh Ibn„

Arabî disebut “perantara” atau “posisi tengah” (barzakh), yang berarti “perantara”

antara Tuhan dan alam.65

Pada saat yang sama, manusia adalah Kata yang

memadukan (kalimah jâmi„ah) karena ia, seperti dikatakan di atas, adalah,

pertama, perpaduan semua nama Tuhan, dan kedua, perpaduan sifat-sifat

ketuhanan dan sifat-sifat kemakhlukan.

“Perpaduan” (jam„iyyah) adalah keutamaan manusia di atas makhluk-

makhluk lain yang memberinya kedudukan khilafah (khilâfah, vicegerency,

“kewakilan”) sebagai hak istimewa yang tidak diberikan Allah kepada makhluk-

makhluk lain. “Perpaduan” adalah syarat mutlak untuk menduduki jabatan

khilafah. Tanpa syarat ini, khilafah adalah mustahil. Satu-satunya yang memenuhi

syarat ini adalah manusia, atau tepatnya Manusia Sempurna. Ibn„ Arabî berkata:

Khilafah hanyalah milik Adam, bukan milik makhluk-makhluk lain dalam alam,

karena Allah Swt. telah menciptakan Adam menurut bentuk-Nya. Khilafah

(khalîfah, vicegerent, “wakil”) harus muncul bagi apa yang berada di bawah

khilafahnya, dalam bentuk siapa yang memberinya kedudukan ini. Jika tidak

demikian, maka sesungguhnya ia bukan khalifah di antara mereka.66

Iblis adalah bagian dari alam, yang tidak mempunyai “perpaduan” (jam„iyyah).

Karena (“perpaduan”) ini, Adam adalah khalifah. Jika ia tidak muncul dalam

bentuk siapa yang mengangkatnya sebagai khalifah, bagi apa yang berada di

bawah khilafahnya, maka sesungguhnya ia bukan khalifah. Jika dalam dirinya

tidak terkandung semua yang dituntut warga-warga yang berada di bawah

khilafahnya, yang atas mereka itulah ia diberi kedudukan ini—karena

ketergantungan mereka kepadanya, ia harus memenuhi semua yang mereka

butuhkan darinya—sesungguhnya ia bukan khalifah atas mereka. Karena itu,

khilafah hanya sah bagi Manusia Sempurna.67

65

Tampaknya teori bahwa manusia adalah "peraantara" antara Tuhan dan alam dipinjam

oleh Ibn al-„Arabî dari Filo dari Iskandariah yang menyifati manusia dengan sifat ini. 66

Ibn „Arabî, Futûhât, 1:263. 67

Ibn „Arabî, Fushûsh, 1:55.

Page 39: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

67

Sebagai khalifah Allah, tentu manusia adalah yang tertinggi di antara

semua makhluk. Bahkan, ia lebih tinggi dari alam dan sangat penting bagi alam.

Kesempurnaan alam tergantung kepadanya. Bagi Ibn„ Arabî, manusia dalam

hubungan dengan alam adalah ibarat roh bagi jasad.

Manusia adalah roh alam dan alam adalah jasad … Jika Anda memperhatikan

alam tanpa manusia, niscaya Anda akan menemukannya seperti tubuh yang tidak

berbentuk tanpa roh. Kesempurnaan alam karena manusia seperti kesempurnaan

jasad karena roh. Manusia ditiupkan ke dalam tubuh alam. Karena itu, ia adalah

tujuan (al-maqshûd) alam.68

Seperti dijelaskan di atas, alam adalah cermin bagi Tuhan. Cermin itu

semula adalah buram, tidak bening, dan karena itu, tidak dapat memantulkan

kesempurnaan Tuhan. Maka, Tuhan tidak dapat dikenal. Sedangkan tujuan

penciptaan alam, adalah supaya Tuhan dapat dikenal melalui alam, yang

merupakan cermin bagi-Nya. Tujuan ini tidak akan tercapai tanpa manusia. Itulah

sebabnya mengapa manusia oleh Ibn„ Arabî dipandang sebagai tujuan (al-

maqshûd) alam atau sebagai tujuan terakhir (al-ghâyah al-qushwâ) bagi

penciptaan alam, yaitu bahwa manusia adalah perantara bagi perealisasian tujuan

ini karena Allah menciptakan alam supaya melaluinya Dia dikenal. Dapat pula

dikatakan bahwa manusia adalah sebab turunnya rahmat bagi setiap makhluk, atau

sebab adanya setiap makhluk.

Alam tanpa manusia adalah ibarat cermin buram yang tidak dapat

memantulkan gambar. Gambar Tuhan tidak dapat dilihat dengan jelas dalam

cermin seperti itu. Maka, perintah Tuhan mengharuskan kebeningan cermin alam

itu agar dapat memantulkan gambar-Nya dengan jelas. Adam, atau manusia,

68

Ibn „Arabî, Futûhât, 2:67.

Page 40: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

68

adalah kebeningan cermin itu sendiri dan sekaligus roh bentuk atau gambar itu.

Karena itulah, cermin itu menjadi bening dan memantulkan gambar Tuhan dengan

jelas. Manusia sendiri adalah cermin dan gambar Tuhan yang paling sempurna.

Dalam doktrin Ibn„ Arabî, Manusia Sempurna bukan hanya sebab bagi

adanya alam, tetapi juga adalah pemelihara dan pelestarian alam. Ibn„ Arabî

berkata:

Dia (Allah) menundukkan (sakhkhara) kepadanya (Adam, manusia) segala

sesuatu, yang tinggi dan yang rendah, karena kesempurnaan bentuknya.

Sebagaimana tidak sesuatu pun dalam alam yang tidak memuji Tuhan, demikian

pula tidak sesuatu pun dalam alam yang tidak tunduk (musakhkhar) kepada

manusia karena sesuatu yang diberikan kepadanya oleh hakikat bentuknya. Allah

Swt. berkata: “Dia menundukkan kepadamu semua yang ada di langit dan yang

ada di bumi, (sebagai rahmat) dari Dia.” Q 45: 13 Karena itu, segala sesuatu

yang ada dalam alam tunduk kepada manusia. Barang siapa yang mengetahui ini

adalah Manusia Sempurna, sedangkan barang siapa yang tidak mengetahuinya

adalah Manusia Binatang (al-insân al-hayawân).69

Dalam kutipan di atas dikatakan bahwa Allah menundukkan segala sesuatu

dalam alam kepada manusia. Maka, segala sesuatu dalam alam tunduk kepadanya.

“Menundukkan” (taskhîr) dalam firman Allah, “Dia menundukkan kepadamu

semua yang ada di langit dan yang ada di bumi (sebagai rahmat) dari Dia,” bukan

berarti bahwa Allah menjadikan semua makhluk di langit dan di bumi patuh

kepada kehendak dan perintah manusia, tetapi berarti bahwa Allah menampakkan

(izhhâr) semua realitas alam pada manusia. Segala sesuatu dalam alam tunduk

kepada manusia karena manusia adalah perpaduan semua realitas wujud, termasuk

realitas alam, baik yang tinggi maupun yang rendah.

Dalam analisis ini terlihat dengan jelas bahwa Manusia Sempurna dalam

doktrin Ibn‟ Arabî mengandung paradoks kesempurnaan. Manusia Sempurna

69

Ibn „Arabî, Futûhât, 1:199.

Page 41: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

69

adalah manusia yang “merendah” dalam arti tunduk, patuh, dan pasrah kepada

Tuhan; ia mengaktualisasikan „ubûdiyyah-nya. Pada saat yang sama, Manusia

Sempurna itu adalah manusia yang “meninggi” dalam arti derajatnya tinggi dan

mulia karena ia memantulkan semua nama dan sifat Tuhan secara sempurna dan

seimbang; ia mengaktualisasikan khilâfah-nya. Semakin “merendah” manusia di

hadapan Tuhan, semakin “tinggi” derajatnya. Semakin tunduk ia kepada Tuhan,

semakin banyak ia menyerap nama-nama Tuhan. Semakin banyak „ubûdiyyah-

nya, semakin sempurna khilâfah-nya, dan semakin maningkat ia kepada derajat

Manusia Sempurna.

Penempatan manusia oleh Ibn „Arabî pada kedudukan yang begitu tinggi

dapat menggiring kita kepada kesimpulan bahwa ia mengajarkan “metafisika

antroposentris” dan “humanisme teosentris.”70

Kesimpulan ini memang didukung

oleh pandangannya bahwa manusia adalah yang tertinggi di antara semua

makhluk, manusia adalah perpaduan semua nama dan sifat Tuhan dan semua

realitas alam, manusia adalah perantara antara Tuhan dan alam karena tanpa

manusia Tuhan tidak dapat menciptakan dan memelihara alam, dan Tuhan

menundukkan segala sesuatu dalam alam kepada manusia.

70

Sistem Ibn al-„Arabî berpusat pada Tuhan, pada tawhîd dalam bentuk wahdat al-wujûd,

paham bahwa tiada wujud selain Tuhan; hanya ada satu Wujud Hakiki, yaitu

Tuhan.Kesempurnaan akan terwujud dalam diri manusia pada tingkat individual atau historis,

apabila ia mampu mengubah gambar Tuhan dalam potensialitas yang telah ada dalam dirinya

menjadi gambar Tuhan dalam aktualitas. Meskipun mencapai kesempurnaan, Manusia Sempurna

tetap milik Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Lihat, Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial:

Kearifan Kritis Kaum Sufi, hlm. 144-145.

Page 42: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

70

2. Mullâ Shadrâ

Shadr al-Din Muhammad bin Ibrahim lahir di Syiraz pada tahun

979H/1571M. dia lebih dikenal dengan nama Mullâ Shadrâ atau Shadr al-

Muta‟alihin. Ayah Mullâ Shadrâ khajah Ibrahim Yahya Qiwami Syirazi anak dari

Qiwamuddin Muhammad seorang wakil raja dari keturunan Muzaffar. Mullâ

Shadrâ dilahirkan di zaman dimana cahaya filsafat redup dan tiada pendukungnya,

Tuhan Yang Maha Bijaksana kemudian memilih hamba-Nya dan mengutus untuk

menyempurnakan dan menyebarkan ilmu tersebut setelah sebelumnya mengutus

secara bertahap filsuf-filsuf untuk menyiapkan lahan demi menerima hakikat-

hakikat yang lebih tinggi. Filsuf Ilahi ini meninggal tahun 1050 H atau 1640 M di

kota Bashrah dalam perjalanannya yang ketujuh ke Mekkah dengan berjalan kaki.

Mullâ Shadrâ memperkenalkan aliran filsafatnya dengan sebutan al-

Hikmah al-muta‟âliyyah.71

Ungkapan al-Hikmah al-muta‟âliyyah terdiri dari dua

istilah, yaitu al-Hikmah (yang dalam perspektif ini merupakan kombinasi dari

filsafat, iluminasionalisme, dan sufisme) dan al-muta‟âliyyah yang berarti tinggi,

agung dan transenden. Sebetulnya Mullâ Shadrâ sendiri tidak menyatakan secara

eksplisit bahwa al-Hikmah al-muta‟âliyyah adalah nama dari aliran filsafatnya.

Penyebutan istilah tersebut lebih didasarkan pada judul karyanya bukan

71

Penyebutan al-Hikmah al-muta‟âliyyah sebagai aliran filsafat Mullâ Shadrâ

diperkenalkan untuk pertama kali oleh „Abd al-Razzâq Lâhîjî (w. 1072 H/1661 M), salah seorang

murid sekaligus menentunya yang terkenal. Penggunaan tersebut semakin meluas pada periode

Qajar. Pada periode ini, tokoh yang penuh semangat menjelaskan alas an penggunaan alas an

tersebut sebagai nama dari aliran filsafat Mullâ Shadrâ adalah Mullâ Hâdî Sabzawârî (1212-1295

H/1797-1878 M), seorang filosof dan mistikus terbesar Persia pada abad ke-13 H/19M. Lihat

Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Dîn Shîrazî and his Transendent Philosophy (Tehran: Imperial

Iranian Academy of Philosophy, 1978), hlm. 85, 94-95.

Page 43: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

71

berdasarkan aliran filsafatnya, yaitu: al-Hikmah al-muta‟âliyyah72

maupun al-

Syawâhid al-Rubûbiyyah.73

Sebagaimana yang dikemukakan Seyyed Hossein Nasr, ada dua faktor

yang menjadi alas an mengapa murid-muridnya serta masyarakat luas

mengidentifikasi istilah al-Hikmah al-muta‟âliyyah dengan doktrin-doktrin Mullâ

Shadrâ. Kedua faktor tersebut adalah; pertama, judul buku al-Hikmah al-

muta‟âliyyah menyatakan secara tidak langsung tentang keberadaan suatu aliran

dan pandangan dunia, yang di dalamnya tergambar doktrin-doktrin metafisika

Mullâ Shadrâ. Kedua, adanya ajaran oral dari Mullâ Shadrâ yang menunjukan

bahwa pengertian al-Hikmah al-muta‟âliyyah tidak saja menunjuk kepada judul

tulisannya.74

Persoalan yang mendasar yang senantiasa di diskusikan oleh para filsuf

adalah persoalan gerak (harakah) karena gerak merupakan bagian fundamen

ketika membicarakan kuiditas. Teori gerak ini sangat beragam, diantaranya ada

yang memandang bahwa gerak merupakan suatu proses kejadian dan kehancuran

yang berasal dari al-Farabi. Ibn Rusyd menuliskan teori ini dalam karya khusus

yang diberi judul Talkhis al-Kawn wa al-Fasâd yang di dalamnya ibn Rusyd

berusaha membenarkan teori ini. Menurutnya, gerak merupakan proses

72

Lihat Mullâ Shadrâ, al-Hikmah al-Muta‟aliyyah fi Asfar al-Aqliyyah al-Arba‟ah,

(Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turâs al-„Arabî, 1981), jil. I, hlm. 13. 73

Lihat Mullâ Shadrâ , al-Syawâhid al-Rubûbiyyah fi al-Manâhij al-Sulûkiyyah, ed. S.J.

Asystiyani (Meshhed: Meshhed University Press, 1967), hlm. 34. 74

Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mullâ Shadrâ, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm.

102-103.

Page 44: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

72

perpindahan dari satu titik menuju titik berikutnya dengan menghilangkan titik

pertama dan membentuk titik kedua, demikian seterusnya.75

Dalam Tahafut al-Tahafut Ibn Rusyd menolak tesis Ibn Sina bahwa

“eksistensi” adalah aksiden “quiditas”. Kritik ini didasarkan pada kesalah

pahaman yang mendasar terhadap pendapat Ibn Sina, penegasan itu sendiri bahwa

konsep “eksistensi”, seperti konsep “satu” tidak menambahkan sesuatu yang nyata

bagi “quiditas” jika yang terakhir dilihat dalam kondisi aktualisasi yang utuh,

sesungguhnya tetap benar.76

Mengenal diri kemanusiaan merupakan metode untuk menelusuri jejak-

jejak Zat Allah setelah metode ash-shîddiqûn (metode kaum yang benar),

kemudian memperhatikan cakrawala dan diri sendiri.77

Mîrza Hasan Nûri

menafsirkan konsep nafs atas pemikiran Mullâ Shadrâ:

Agar diketahui bahwa nafs dari asal pembentukan jasmaniahnya hingga puncak

kesempurnaan intelektualnya selalu berada dalam perubahan-perubahan internal,

pergantian-pergantian dan gerakan substansial (al-harakât al-jauhariyyah).

Kadang-kadang ia merupakan kekuatan jasmani, bentuk materi dan sesekali

merupakan jiwa sensitif dalam tingkatan-tingkatannya, lalu menjadi sesuatu yang

dikonseptualisasikan, terpikirkan, berbicara, dan dihasilkan akan teoritis setelah

akal aktual dan akal efektif yang diungkapkan dengan ar-rûh al-amrî dalam

fiman Allah: Katakanlah, “Ruh itu adalah amr Tuhanku”. Tidak diragukan lagi

bahwa yang mengeluarkannya dari yang potensial menjadi aktual dan dari

lingkup kekurangan ketingkat kesempurnaan sudah pasti merupakan maujud yang

esensinya, secara potensial, membebaskan hakikat dari segala kekurangan seraya

menolak tasalsul yang mustahil.78

Semua form kesempurnaan dan sifat-sifat kesempurnaan hanya dapat

ditemukan pada eksistensi, bukan pada yang lain, karena tidak ada selain

75

Lihat, Kholid Alwalid, Perjalanan Jiwa Menuju Akhirat, hlm. 49 76

Toshihiko Izutsu, Struktur Metafisika Sabzawari, hlm. 31. 77

Mullâ Shadrâ, Manifestasi-Manifestasi Illahi, terj. Irwan Kurniawan, (Bandung:

Pustaka Hidayah, 2006), hlm. 35-36. 78

Mullâ Shadrâ, Manifestasi-Manifestasi Illahi, hlm,.36. Lihat catatan kaki no 1.

Page 45: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

73

eksistensi kecuali non-eksistensi dan kuiditas. Ketidak-beradaan (non-eksistensi)

adalah fana, dan kuiditas adalah pembatasan eksistensi yang memiliki aktualisasi

yang tergantung pada eksistensi. Dengan begitu, maka seluruh kesempurnaan

teraktualisasi pada eksistensi. Eksistensi pada tingkatannya masing-masing

diberikan pengetahuan, kekuatan, kehendak, dan sifat-sifat keberadaan

(eksistensial) lainnya.79

Maka setiap eksistensi mempunyai tingkatan

kesempurnaan.

Harakah Jawhariyyah (Gerakan Transubstansial) terjadi meliputi segala

sesuatu, baik pada jasmaniah maupun pada ruhaniah. Manusia menurut Mullâ

Shadrâ, sesuatu yang awalnya berasal dari materi pertama (al-mâddah al-Ûla)

yang bergabung dengan bentuk (sûrah), melalui gerakan transubstansial, unsure-

unsur tersebut mengalami perkembangan dan perubahan, materinya berkembang

menjadi gumpalan darah, kemudian janin, bayi, anak-anak, remaja, dewasa, tua

dan hancur, sedangkan bentuknya berkembang menjadi jiwa bergerak (an-nafs al-

mutaharikkah), kemudian jiwa hewani (an-nafs al-hayawâniyyah), dan jiwa

manusiawi (an-nafs al-insâniyyah). Gerakan transubstansial yang terjadi pada

materi menuju kehancuran, sedangkan gerakan transubstansial pada jiwa menuju

kesempurnaan.80

Berdasarkan prinsip ini, manusia sempurna—tergantung pada ekstensi

keberadaannya—merupakan manifestasi yang paling lengkap dari segala sifat-

sifat kesempurnaan. Karena itu, kehidupan, kekuasaan, penglihatan, pengetahuan,

79

Mullâ Shadrâ, al-Hikmah al-Muta‟aliyyah fi Asfar al-Aqliyyah al-Arba‟ah, ed.

Thabathabai, Tehran, 1958, Vol. H. 4. Dikutip dari, Seyyed Mohsen Miri, Sang Manusia

Sempurna, (Jakarta: Teraju Mizan, 2004), hlm. 74. 80

Lihat, Kholid Alwalid, Perjalanan Jiwa Menuju Akhirat, hlm 51-52.

Page 46: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

74

dan sebagainya yang dimiliki manusia sempurna adalah yang paling tinggi dan

paling dalam jika dibandingkan dengan makhluk lainnya.

Sebagaimana ungkapan Mullâ Shadrâ mengenai kesempurnaan jiwa

manusia, yaitu:

Kesempurnaan jiwa manusia melalui pengetahuan terhadap realitas segala

sesuatu yang ada sebagaimana adanya, dan pembenaran terhadap keberadaan

mereka, yang dibangun berdasarkan bukti-bukti yang jelas, bukan atas dasar

persangkaan dan mengikuti pendapat orang lain, sebatas kemampuan yang ada

pada manusia. Jika anda suka, anda bisa berkata (kesempurnaan jiwa manusia

melalui pengetahuan terhadap) tata tertib alam semesta sebagai tata tertib yang

bisa dimengerti, sesuai kemampuan yang dimiliki, dalam rangka mencapai

keserupaan dengan Tuhan.81

Mullâ Shadrâ menganalogikan eksistensi dengan sebuah lingkaran, dimana

ujungnya terletak pada pangkalnya. Dalam lingkaran terdapat dua rah, satunya

turun dan lainnya naik yang masing-masing memiliki sejumlah tingkatan dan anak

tangga. Pada arah turun, eksistensi bermula dari hakikat kebenaran dan melalui

tiga alam, yakni; Intelek, ide, dan materi yang merupakan makhluk dan efek

(akibat) dari hakikat kebenaran dan masing-masing bergantung pada yang lain

secara berturut-turut. Selanjutnya, arah menaik pada dasarnya sama dengan arah

turun yang terdiri dari tiga level dunia, hanya saja bermula dari arah sebaliknya.

Mullâ Shadrâ percaya bahwa manusia terdiri dari jiwa dan raga.82

Raga

adalah eksistensi materi yang menyatu dengan jiwa dan sebagai sarana bagi jiwa

81

Lihat, Mulla Shadra, al-Hikmah al-Muta‟aliyyah, hlm. 20. 82

Dualisme Shadra berbeda dengan Rene Descartes (1596-1650) sang bapak filsafat

modern menetapkan fondasi kebenaran melalui metode kesangsian (le doute methodique) dengan

mengemukakan diktum; fundamentum certum et itconcussum veritatis (kepastian dasariah dan

kebenaran yang kokoh). Melalui Adagium Je pense donc je suis atau Cogito Ergo Sum Descartes

telah meniscayakan distingsi antara „benda bertempat‟ (res extensa) dan „benda berpikir‟ (res

cogitans). Dengan demikian, dualisme ini telah menegaskan keterpilahan antara tubuh dengan

pikiran. F. Budi Hardiman. Filsafat Modern. (Jakarta: Gramedia, cet. 2, 2007) hal. 38. Bandingkan

dengan pendapat Robert C. Solomon & Kathleen M. Higgins, Sejarah Filsafat (Jogjakarta:

Page 47: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

75

untuk mencapai kesempurnaan. Untuk menunjukan antara jiwa dan raga bukanlah

sesuatu yang satu secara dimensional, Mullâ Shadrâ mengemukakan beberapa

argumentaasi yang disebut dengan Arsyiyyah, yaitu:

Seperti yang diketahui bahwa persepsi merupakan hadirnya objek pada diri

subjek, sekiranya terjadi persepsi pada daya fisik (Tabi‟ah al-Jasmaniyyah),

sedangkan jiwa merupakan daya fisik, maka yang akan terjadi adalah aksiden

berdiri dengan dirinya dan ini jelas tidak mungkin. Penjelasan untuk hal ini

adalah sebagai berikut: jiwa mempersepsi daya fisik karena merupakan cara

bagaimana merasakan sesuatu merupakan aksiden. Sekiranya jiwa merupakan

daya fisik maka yang akan terjadi adalah aksiden berdiri pada dirinya. Hal ini

tidak mungkin, mengingat aksiden jika berada di luar berada pada substansi dan

tidak pada dirinya. Oleh karena itu, pasti subjek yang mempersepsi, bukan daya

fisik, tetapi dia berada pada locus yang lain. Locus yang dimaksud bukan fisik

mutlak karena hal tersebut tidak mungkin karena akan mengakibatkan setiap

forma fisik akan dapat melakukan persepsi, bukan pula bagian dari fisik karena

akan menyebabkan seluruh bagian dari fisik dapat melakukan persepsi, dan ini

bertentangan dengan fakta. Karenanya, daya yang melakukan persepsi terhadap

daya fisik tersebut pastilah selain dari daya fisik, dan bukan pula fisik tempat

bersandarnya daya fisik. Pastilah sesuatu selain dari keduannya, yaitu jiwa.83

Dengan argumentasi ini, Mullâ Shadrâ membuktikan dualisme pada diri

manusia dan keduannya memiliki perbedaan secara dimensional. Namun

demikian, dualisme ini bukan sebagai mana yang dipahami Ibnu Sina—jiwa dan

raga merupakan dua substansi yang berhubungan sejak awal keberadaan. 84

Jiwa manusia memiliki beberapa derajat dan maqam, dari awal pembangkitannya

hingga akhir tujuannya; dan ia miliki keadaan-keadaan esensial dan modus-

Bentang, 2001), hlm. 326-327. Dengan kata lain, kenyataan itu diciptakan oleh kesadaran aku

yang berpikir (ragu-ragu). Berdasarkan asumsi itu, maka manusia menurut Descartes dapat

dikatakan „ada‟ apabila ia berfikir (meragu). 83

Kholid Alwalid, Perjalanan Jiwa Menuju Akhirat, hlm. 85. 84

Mulla Shadra mengutip pendapat Bahmanyar (murid Ibnu Sina) memunculkan sebuah

muskyllah; mengikuti gurunya, tentang gerak-gerak yang disebabkan oleh jiwa: bagaimana halnya

bahwa dalam hal ini alam ditransformasikan sehingga menjadi sebab gerak anggota-anggota tubuh

melawan keinginan-keinginan (alaminya) dengan suatu cara sehingga tidak ada tegangan,

meskipun tarikan-tarikan menentang keinginan-keinginan jiwa dan keinginan (alami) tubuh?

Masalahnya hanya dapat dipecahkan dengan (mengenal) bahwa alam ang ditaklukan jiwa dalam

ketaatan bebas, yang merupakan satu dari kekuatan-kekuatan jiwa itu sendiri yang

dipekerjakannya, yang melalui perantaraan kekuatan-kekuatan itu jiwa melaksanakan aksi-aksi

tubuh yang berbeda, adalah sesuatu yang berbeda dari alam ang ada dalam unsur-unsur (material)

dan angggota-anggota tubuh yang terpisah. Lihat, Mulla Shadra, Kearifan Puncak, terj. Dimitri

Mahayana, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, cet. 2, 2004 ), hlm. 157.

Page 48: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

76

modus keberadaan tertentu. Pertama, dalam keadaan berhubungan (dengan tubuh)

jiwa merupakan substansi korporeal (baca material). Kemudian jiwa menjadi

lebih intens secara bergradasi dan berkembang melalui tahap-tahap yang berbeda

dari aturan alaminya hingga ia hidup dengan dirinya sendiri dan bergerak dari

dunia ini kedunia lain hingga kembali pada Tuhannya.85

Jiwa menurut filsafat tradisional, adalah bentuk dari badan bahkan ia telah

dibangun sebagai substansi. Sedangkan menurut Mulla Shadra yang didasarkan

pada pandangannya sendiri, yang ia miliki bersama Suhrawardi, yakni bahwa jiwa

manusia adalah realitas hakikat cahaya yang spiritual dan transenden, yakni wujud

murni yang bukan substansi atau aksiden.86

Diantara sepuluh kategori (ma‟qûlât)

dalam pembagian kuiditas yang dikemukakan Mulla Shadra, pembagian dasar

utama dari kategori tersebut adalah substansi dan aksiden. Substansi merupakan

gambaran dari sesuatu yang “jika ada secara eksternal tidak bergantung pada locus

dan tidak membutuhkannya dalam wujudnya” (iza wujjidat fi al-khârij wujidat la

fi maudhu‟ mustaghni anha fi wujûdihi), sedangkan aksiden merupakan gambaran

dari jika “ada secara eksternal keberadaannya bergantung pada locus dan tidak

membutuhkannya dalam wujudnya” (iza wujiddat fi al-khârij wujidat fi maudhu‟

mustaghni anha fi wujûdihî).87

Menurut Thabathaba‟i dalam Bidayah mengatakan

85

Mulla Shadra, Kearifan Puncak, hlm. 180. 86

Kritikan Fazlur Rahman terhadap penafsiran jiwa yakni, Shadra pertama-tama

berusaha memberikan jawaban lain, dengan menggunakan konsep-konsep filsafat aristoteles

tradisional yang selalu mengacaukan dua makna substansi yang berbeda, yakni wujud individual

pertama dan hakikat khusus. Inti jawabannya adalah meskipun jiwa dalam dirinya merupakan

“wujud partikular dan unik,” namun dalam hubungannya dengan badan ia bertindak sebagai

bentuk atau diferensia. Lihat, Fazlur Rahman, Filsafat Shadra. Terj. Munir A. Muin (Bandung:

Pustaka, 2000), hlm. 72. Bandingkan dengan pendapat Kholid alwalid yang menulis dalam

bukunya, Perjalanan Jiwa Menuju Akhirat, yakni; keberadaan substansi adalah keberadaan yang

independen, dalam pengertian bahwa keberadaannya di luar tidaklah menempel atau bergantung

kepada keberadaan yang lain, bahkan dirinya menjadi locus bagi keberadaan aksiden, sedangkan

genus yang ada di atasnya adalah sesuatu yang tidak mungkin lagi didefinisikan. Lihat hlm. 79. 87

Kholid Alwalid, Perjalanan Jiwa Menuju Akhirat, hlm. 79.

Page 49: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

77

bahwa, jiwa merupakan gambaran dari substansi yang secara zatnya non materi,

tetapi terikat dengan materi dalam aktivitasnya.

Menurut Mullâ Shadrâ Jiwa memiliki dua kesempurnaan untuk mencapai

kesempurnaan dan level yang lebih tinggi: kemampuan spekulatif dan praktis.

Kemampuan spekulatif: menyangkut intelek, pemahaman, pengertian manusia,

yang terdiri atas empat level: pertama, Intelek Potensial (al-aql bi al-quwwah).

Level ini ada bersama dengan jiwa sejak dari awal dan intelek ini mirip dengan

jiwa itu sendiri, ia masih lemah dan tidak memiliki pembuktian-diri dan objek

intelek spekulatif. Kedua, Intelek Posesif (al-aql bi al-malakah). Level ini terjadi

segera setelah sesuatu teraktualisasi oleh akuisisi dari objek intelek primer

(konsep dan pembenaran) atau data primer, data melalui eksperimen, data melaui

transmisi, dan seterusnya (dimana setiap orang sama). Ketiga, Intelek Actual (al-

aql bi al-fi‟l). Ketika objek-objek intelek tersebut dihasilkan oleh jiwa, maka

refleksi dan pengambilan kesimpulan terhadap objek intelek yang belum dipahami

akan terjadi pada diri manusia yang akan menjadikannya merefleksikan

pengertian yang tercerahkan dengan menggunakan ingatan sebelumnya untuk

mencapai mental yang lebih segar. Keempat, Level Tercerahkan (al-aql al-

mustafad). Level ini sebenarnya sama dengan intelek actual hanya saja level ini

menganggap bahwa semua pengetahuan spekulatif sebenarnya hadir bersamanya

dan tidak perlu adanya perhatian dan keinginan.

Sedangkan kemampuan praktis dalam mencapai kesempurnaan yakni;

pertama, penyucian penampilan dengan memperhatikan hukum Tuhan dan ajaran

agama, seperti; shalat, puasa, zakat, peduli pada keluarga, lingkungan sosial, dan

Page 50: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

78

sebagainya. Kedua, penyucian jiwa dan batin dari hal-hal yang tidak bermoral.

Ketiga, menghiasi jiwa dengan berbagai bentuk dan keuntungan yang suci.

Keempat, menfanakan jiwa dalam Tuhan sambil memperhatikan eksklusivitas

Tuhan dan kerajaan-Nya—yang merupakan akhir dari petualangan pertama.88

Mulla Shadra percaya adanya empat perjalanan batin manusia, signifikansi

spiritual. Perjalanan batin tersebut sangat penting bagi Mulla Shadra yakni

sebagai landasan corak dan struktur sistem filsafatnya dalam korpusnya “al-

Hikmah al-Muta‟aliyyah fi Asfar al-Arba‟ah al-Aqliyyah” yang berkaitan dengan

empat perjalanan tersebut. Keempat perjalanan yang dimaksud dapat dijelaskan

sebagai berikut yaitu;89

Perjalanan pertama sebagai perjalanan dari makhluk menuju Tuhan (Sâfar

min al-Khalq ila al-Haqq) perjalanan yang dilakukan dengan mengangkat hijab

kegelapan dan hijab cahaya yang membatasi antara seorang hamba dan Tuhannya.

Dari multiplisitas menuju kesatuan bersama dimana para petualang memulai

migrasinya menuju kepada hakikat kebenaran melalui migrasi dari dirinya sendiri

dan dari melalaikan keinginan duniawi. Dalam perjalanan ini, manusia akan

menghindari setiap rintangan dan halangan bagi dirinya dari segala pemikiran

yang mencegah pikirannya terhadap hakikat, disamping memperhitungkan

perbuatan-perbuatan jiwanya dan berhati-hati terhadap dirinya sendiri; mencintai

hawa nafsu adalah salah satu karakteristik inheren dari jiwa duniawi.

88

Dikutip dari, Mohsen Miri, Sang Manusia Sempurna: Antara Filsafat Islam dan Hindu

(Jakarta: Teraju, 2004) hal. 82-84. 89

Dikutip dari Mohsen Miri, Sang Manusia Sempurna…, hlm. 87-91. Dan dikutip dari,

Kholid Alwalid, Perjalanan Jiwa Menuju Akhirat, dalam Pendahuluan, hlm xxxiii.

Page 51: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

79

Perjalanan kedua adalah perjalanan dari hakikat kebenaran menuju hakikat

kebenaran itu sendiri yang dilakukan oleh hakikat kebenaran sendiri atau

perjalanan bersama Tuhan di dalam Tuhan (Sâfar bi al-Haqq fi al-Haqq).

Perjalanan ini adalah perjalanan jauh dari esensi hakikat kebenaran menuju pada

sifat-sifat dan nama-Nya satu persatu sehingga seorang petualang dapat melihat

seluruh kesempurnaan Hakikat Kebenaran dan menyaksikan secara intuitif

seluruh sifat-sifat-Nya kecuali apa yang Dia jaga dalam diri-Nya.

Perjalanan ketiga, perjalanan dari Tuhan menuju makhluk bersama Tuhan

(Sâfar min al-Haqq ila al-Khalq bi al-Haqq). Dalam maqam ini, seorang salik

menempuh perjalanan dalam Af‟âl Tuhan, kesadaran Tuhan telah menjadi

kesadarannya, dan menempuh perjalanan di antara alam Jabarût, Malakut dan

Nasut, serta menyaksikan segala sesuatu yang ada pada alam tersebut melalui

pandangan Tuhan.

Perjalanan keempat adalah perjalanan dari seluruh makhluk menuju

makhluk itu sendiri bersama Tuhan (Sâfar min al-Kalq ila al-Khalq bi al-Haqq),

dimana seorang petualang mencari seluruh makhluk dan sifat-sifatnya dan

kemudian ia benar-benar menjadi sadar terhadap sebab-sebab kebahagiaan dan

penderitaan serta akan mengetahui keadaan proses kembali kepada Hakikat

Kebenaran.

Dalam sebuah Hadis Qudsi yang sangat populer Allah berfirman:

Hambaku-Ku tidak akan dapat mencapai kedekapan pada-Ku yang lebih baik

daripada melaksanakan segala kewajiban yang Aku perintahkan padanya. Dan

hamba-Ku akanselalu akan mencapai kedekatan pada-Ku dengan melaksanakan

segala apa yang Aku sunatkan padanya, sehingga Aku mencintainya; dan ketika

Aku mencintainya, maka Aku akan menjadi telinganya ketika ia mendengar, Aku

Page 52: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

80

akan menjadi matanya ketika ia melihat, dan Aku akan menjadi tangannya ketika

ia memegang sesuatu.90

Manusia sebagai pilihan Tuhan, sebagai penggantinya diantara makhluk-

makhluk yang lain di semesta, adalah bahwa manusia sempurna dilengkapi

dengan keseluruhan level dari mata rantai eksistensi—sebuah stasiun dimana

tidak ada satu makhluk pun, kecuali intelek yang dapat mencapainya. Atau

dengan kata lain manusia sempurna adalah makhluk yang komprehensif yang

mencangkup keseluruhan makhluk di jagad raya ini, dan itulah sebabnya kenapa

manusia disebut sebagai mikrokosmos.

Mullâ Shadrâ mengkategorikan beberapa karakteristik dalam diri manusia

sempurna,91

antara lain;

Pertama, kekuasaan yang menghasilkan sesuatu di dunia eksternal. Seperti

kita ketahui, kekuasaan kreatif manusia berkaitan dengan konsep subjektif adalah

bahwa apapun yang mereka hendak imajinasikan dalam pikirannya, maka hal itu

akan ada melalui kehendaknya tanpa memerlukan adanya persiapan, kondisi, dan

waktu.

Kedua, ketika Tuhan mentransformasikan aspek batin dan jiwa Manusia

Sempurna melalui manifestasi-Nya, maka ia (petualang) akan dibangkitkan

kembali di dunia ini sebelum memasuki dunia akhirat.

Ketiga, Mullâ Shadrâ mengatakan bahwa: Tuhan yang disembah oleh

sebagian besar manusia bukanlah Hakikat atau Tuhan yang wajib adanya dan

memiliki semua kesempurnaan. Bahkan, mereka menyembah Tuhan yang dibuat

90

Mohsen Miri, Sang Manusia Sempurna…, hlm. 92. 91

Mohsen Miri, Sang Manusia Sempurna…, hlm. 92-96

Page 53: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

81

sendiri oleh kepercayaan intelektual dan imajinatif dalam pikiran mereka yang

pada realitasnya adalah hasil ciptaan mereka sendiri. Atau setidak-tidaknya,

maereka telah mengenal hakikat dalam sejumlah manifestasi-Nya yang mereka

sembah dan karena mengikuti perkembangan dari manifestasi lain, ia menolak

adanya kesempurnaan lain dari Hakikat Kebenaran.

Keempat, seorang sufi yang telah mencapai hakikat dan fana pada-Nya,

sementara ia mendapatkan hidup dari-Nya dan ia bukan lagi objek yang dapat

berubah dan bergonta ganti. Baginya ia telah melewati segala dunia kontinjensi

dan posibilitas, ia telah mencapai dunia ketuhanan, dan ia telah tenggelam dalam

kegembiraan yang luar biasa.

Kelima, pada perjalanan pertama, manusia sempurna tidak akan terhalang

oleh rintangan apapun bahkan oleh entitasnya sendiri, yang ada mengantarkan

dirinya dan Hakikat Kebenaran, karena begitu ia menginginkan dan mencintai-

Nya. Pada saat pencarian cahaya sifat asimilasi dan negasi Hakikat dan ketika

tercerahkan oleh cahaya-Nya maka tidak ada lagi yang dekat dengan dirinya, baik

dirinya sendiri maupun yang lain, kecuali hanya Tuhan—bahkan ia tidak dekat

dengan pengetahuan transendennya, keyakinan, dan aliran mistinya sendiri.

Keenam, dalam al-Qur‟an disebutkan: “Kami menawarkan amanah kepada

langit dan bumi serta gunung-gunung, tapi mereka enggan memikulnya dan takut

karenanya….” (Q.S. Al-Ahzab: 72) Apa yang dimaksud dengan amanah? Mulla

Shadra percaya bahwa yang dimaksud dengan amanah yang dimaksud adalah Nur

Illahi dan sifat-sifat Hakikat (Tuhan). Manusia sejak awal geraknya menuju

Hakikat sampai ia mencapai stasiun Manusia Sempurna, telah memiliki Nur Illahi

Page 54: BAB II PERKEMBANGAN TEORITIS MANUSIA SEMPURNA A. …digilib.uinsgd.ac.id/731/5/5_bab2.pdf · A. Manusia Dalam Pandangan Islam ... binatang tidak berpikir tentang ... Murtadha Mutahhari,

82

dan manifestasi dari esensi, sifat-sifat, dan nama-nama Tuhan tersebut pada semua

level, namun pada level tertinggi yang ia capai semuanya itu semakin sempurna

muncul dari dalam dirinya.

Ketujuh, ketika Manusia Sempurna telah memiliki kesempurnaan

spekulatif dan praktis, maka ia telah memutuskan seluruh sifat-sifat

keduniawiannya dan menghilangkan rasa cinta pada dunia materi ini dan segala

apa yang ada di dalamnya dan kesucian hatinya, maka kesempurnaan

eksistensialnya akan lebih tinggi dari seluruh eksistensi yang ada, ia dapat

merefleksikan Tuhan dan sifat-sifat-Nya, ia dapat menerima rahmat yang tertinggi

nilainya dari Tuhan, dan keinginan dan cintanya kepada Tuhan melebihi yang

dimiliki oleh seluruh eksistensi yang lain, karena cinta kepada Tuhan didasarkan

pada level eksistensial sesuatu dan level Manusia Sempurna adalah yang tertinggi.