Top Banner
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Hama dan Penyakit pada Tanaman Buncis A. Hama pada Tanaman Buncis 1. Kumbang daun Penyebab : kumbang Henose-pilachna signatipennis atau Epilachna signatipennis, sering disebut kumbang daun epilachna yang termasuk famili Curculionadae. Bentuk tubuhnya oval, warna merah atau coklat kekuningan, panjang antara 6-8 mm. Pengendalian : bila sudah terlihat adanya telur, larva, maupun kumbangnya, maka dapat langsung dibunuh dengan tangan. Rotasi tanaman dengan tanaman yang bukan inang. 2. Penggerek daun Penyebab : ulat Etiella zinckenella yang termasuk dalam famili Pyralidae. Penyebarannya meliputi daerah tropis dan subtropis. Gejala : Polong yang masih muda mengalami kerusakan, bijinya banyak yang keropos. Kerusakkan ini tidak sampai mematikan tanaman buncis. 3. Kutu daun Penyebab : Aphis gossypii, yang termasuk dalam famili Aphididae. Sifatnya polibag dan kosmopolitan yaitu dapat
32

BAB II opt spbo

Dec 19, 2015

Download

Documents

Meuthia Khanza

organisme pengganggu tanaman buncis dan jagung
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

BAB IIPEMBAHASAN

2.1 Hama dan Penyakit pada Tanaman Buncis

A. Hama pada Tanaman Buncis1. Kumbang daunPenyebab: kumbang Henose-pilachna signatipennis atau Epilachna signatipennis, sering disebut kumbang daun epilachna yang termasuk famili Curculionadae. Bentuk tubuhnya oval, warna merah atau coklat kekuningan, panjang antara 6-8 mm. Pengendalian: bila sudah terlihat adanya telur, larva, maupun kumbangnya, maka dapat langsung dibunuh dengan tangan. Rotasi tanaman dengan tanaman yang bukan inang.

2. Penggerek daun Penyebab: ulat Etiella zinckenella yang termasuk dalam famili Pyralidae. Penyebarannya meliputi daerah tropis dan subtropis.Gejala: Polong yang masih muda mengalami kerusakan, bijinya banyak yang keropos. Kerusakkan ini tidak sampai mematikan tanaman buncis.

3. Kutu daun Penyebab: Aphis gossypii, yang termasuk dalam famili Aphididae. Sifatnya polibag dan kosmopolitan yaitu dapat memakan segala tanaman dan tersebar di seluruh dunia. Tanaman inangnya bermacam-macam, antara lain kapas, semangka, kentang, cabai, terung, bunga sepatu dan jeruk. Warna kutu ini hijau tua sampai hitam atau kuning coklat. Gejala: pertumbuhan tanaman menjadi kerdil dan batang memutar (memilin), daun menjadi keriting dan berwarna kuning. Pengendalian: Secara alami, yaitu dengan cara memasukkan musuh alaminya, antara lain lembing, lalat dan jenis Coccinellidae.

4. Ulat jengkal semu Penyebab: ulat jengkal semu. Ada dua dua spesies yang terdapat diperkebunan buncis, yaitu Plusia signata (Phytometra signata) dan P. chalcites. Keduanya termasuk kedalam famili Plusiidae. Panjang ulat P. chalcites kurang lebih 2 cm berwarna hijau dengan garis samping berwarna lebih muda. Gejala: Daun-daun berlubang dan tanaman menjadi kerdil. Pengendalian: Secara mekanik, yaitu dibunuh satu persatu, namun tidak efektif. Sanitasi, yaitu dengan membersihkan gulma-gulma yang dapat dijadikan sebagai tempat persembunyian hama tersebut.

5. Ulat penggulung daun Penyebab: ulat Lamprosema indicata dan L. diemenalis, keduanya termasuk dalam famili Pyralidae. Gejala: daun kelihatan seperti menggulung dan terdapat ulat yang dilindungi oleh benang-benang sutra dan kotoran. Polongan sering pula ikut direkatkan bersama-sama dengan daunnya. Daun juga tampak berlubang-lubang bekas gigitan dari tepi sampai ketulang utama, hingga habis hanya tinggal uraturatnya saja. Pengendalian: membuang dan membakar daun yang telah terkangkit.

B. Penyakit pada Tanaman Buncis1. Penyakit antraknosa Penyebab: cendawan Colletotrichum lindemuthianum, termasuk dalam famili Melanconiaccae.Gejala: Terdapat bercak-bercak kecil berwarna coklat karat pada polong buncis muda. Dan bercak hitam atau coklat tua di bagian batang tanaman tua. Pengendalian: Memakai benih yang benar-benar bebas dari penyakit. Pergiliran tanaman, maksudnya untuk memotong siklus hidup cendawan tersebut. Pergiliran tersebut dapat dengan tanaman lobak, wortel atau kol bunga.

2. Penyakit embun tepung Penyebab: cendawan Erysiphe polygoni, yang termasuk dalam famili Erysiphaceae. Gejala: daun, batang, bunga dan buah berwarna putih keabuan (seperti beludru). Apabila serangan pada bunga ringan, maka polong masih dapat terbentuk. Namun bila gagal serangannya berat akan dapat menggagalkan proses pembuahan, bunga menjadi kering dan akhirnya mati. Bila polong yang diserang maka polong tidak gugur, tetapi akan meninggalkan bekas berwarna cokelat surat sehingga kualitasnya menurun. Pengendalian: Bagian-bagian yang sudah terserang sebaiknya dipotong atau dibakar. Atau dapat juga dilakukan penghembusasn dengan tepung belerang.

3. Penyakit layu Penyebab 1: bakteri Pseudomonas sollanacearum. Bakteri ini termasuk dalam famili pseudomonadeceae. Gejala: tanaman akan terlihat layu, menguning dan kerdil. Bila batang tanaman yang terserang dipotong melintang, maka akan terlihat warna cokelat dan kalau dipijit keluar lendir berwarna putih. Kadang-kadang warna cokelat ini bisa sampai ke daun. Akar yang sakit juga berwarna cokelat. Pengendalian: (1) penyiraman tanaman dengan air yang bebas dari penyakit; (2) dengan rotasi tanaman selama 2 tahun; Penyebab 2: Penyebab layu dengan gejala diatas disebabkan oleh cendawan Fusarium oxyporum, termasuk dalam famil Stilbellaceae. Gejala 2: Gejala yang terlihat seperti gejala 1 di atas dengan sedikit perbedaan. Perbedaannya yaitu bila batang yang terserang dipijit tidak mengeluarkan lendir.Pengendalian: cara pengendalian hampir sama dengan cara pengendalian Pseudomonas, bedanya hanya jenis fungsida yang dipakai.

4. Penyakit bercak daun Penyebab: cendawan Cercospora canescens, termasuk dalam famili Dematiaceae. Sporanya dapat disebarkan melalui air hujan, angin, serangga, alat-alat pertanian, manusia dan lain-lain. Gejala: Daun berbercak-bercak kecil berwarna cokelat kekuningan. Lama-kelamaan bercak akan melebar dan bagian tepinya terdapat pita berwarna kuning. Akibat lebih parah, daun menjadi layu lalu berguguran. Bila sampai menyerang polong, maka polong berbercak kelabu dan biji yang terbentuk kurang padat dan ringan. Pengendalian: (1) sebelum ditanam benih buncis direndam air panas dengan suhu 48 derajat C selama 30 menit; (2) rotasi tanaman; (3) rotasi tanaman (4) memotong bagaian tanaman yang telah terserang

5. Penyakit hawar daun Penyebab: bakteri Xanthomonas campestris dari famili Pseudomonadaceae. Bakteri ini dapat berkembang pada suhu lebih dari 20 derajat C dan suhu optimum 30 derajat C. Hidupnya bisa bertahan beberapa tahun di dalam biji, tanah dan sisa-sisa tanaman yang sakit. Gejala: Pertama-tama terlihat bercak kuning di bagian tepi daun, kemudian meluas menuju tulang daun tengah. Daun terlihat layu, kering dan berwarna cokelat kekuningan. Bila serangannya hebat, daun berwarna kuning seluruhnya dan akhirnya rontok. Kemudian gejala tersebut dapat meluas ke batang, sehingga lama-kelamaan tanaman akan mati. Pengendalian: Memakai benih yang bebas dari penyakit dan menjaga kebersihan lahan.

6. Penyakit busuk lunak Penyebab: bakteri Erwinia carotopora, termasuk dalam famili Enterobacteriaceae. Bakteri ini hanya menyerang bila ada bagian tanaman yang luka, misalnya gigitan ulat atau memang sudah sakit karena penyakit lain. Serangan ini dapat terjadi di lapangan atau di penyimpanan. Gejala: Daun berbercak, berair dan warnanya menjadi kecokelatan. Gejala ini akan cepat menjalar ke seluruh bagian tanaman sehingga tanaman menjadi lunak, berlendir dan berbau busuk. Kadang-kadang juga bisa roboh bila yang terserang batangnya.Pengendalian: (1) membakar dan membuang tanaman yang telah terjangkit penyakit; (2) menjaga kebersihan lingkungan tanaman

7. Penyakit karat Penyebab: cendawan Uromyces appendiculatus, termasuk dalam ordo Uredinales. Cendawan ini masih dapat bertahan pada bagian tanaman yang sakit walaupun iklimnya kering. Serangan akan kembali menghebat pada musim hujan. Penyebarannya dapat melalui hembusan angin, percikan atau aliran air, serangga maupun terbawa dalam pengangkutan bibit-bibit tanaman di daerah lain. Gejala: Pada jaringan daun terdapat bintik-bintik kecil berwarna cokelat baik dipermukaan daun sebelah atas maupun bawah dan biasanya dikelilingi oleh jaringan khlorosis. Pada varietes yang tahan, gejalanya hanya berupa bintik-bintik cokelat saja. Pengendalian: (1) menanam bibit buncis yang tahan terhadap penyakit karat, yaitu manoa wonder; (2) mencabut dan membakar tanaman yang telah terjangkit;

8. Penyakit Damping Off Penyebab: cendawan Phytium sp, termasuk dalam famili Phytiaceae. Penularannya dapat melalui tanah maupun biji. Serangannya akan sangat hebat bila suhu dan kelembaban udara cukup tinggi. Gejala: Bagian batang yang terletak di bawah keping biji (hipokotil) berwarna putih pucat karena mengalami kerusakan klorofil. Akibatnya terjadi nekrosa secara cepat, jaringan yang berada di atas tanah menjadi mengkerut dan mengecil sehingga batang tidak kuat lagi menyangga kotiledon dan kemudian tanaman menjadi roboh. Pengendalian: Menyiram tanaman denganair yang bebas penyakit

9. Penyakit ujung keriting Penyebab: virus mosaik keriting, yang penularannya biasanya melalui vektor serangga yaitu sejenis kutu loncat dari famili Yassidae. Dari tingkat muda sampai dewasa, kutu ini dapat menjadi pembawa (carrier) virus tersebut. Gejala: Daun-daun muda menjadi keriting dan berwarna kuning, sedang daun yang sudah tua menggulung atau memilin. Biasanya daun-daun terasa lebih kaku, tangkai daun mengeriting ke bawah dan batang tidak normal. Tanaman muda yang terserang menjadi kerdil. Pengendalian: Menanam bibit yang tahan penyakit seperti spurt dan strike. Mencabut dan membakar tanaman yang telah terserang penyakit. Melakukan penyemprotan jenis-jenis insektisida yang dapat membunuh serangga vektornya.

2.1.1 Jurnal Mengenai Pengendalian OPT Pada Tanaman Buncis

PENGENDALIAN BIOLOGI NEMATODA Meloidogyne spp. DENGAN JAMUR Paecilomyces fumosoroseus DAN BAKTERI Pasteuria penetrans SERTA PENGARUHNYA TERHADAP TANAMAN BUNCIS (Phaseolus vulgaris L.)

BAHAN DAN METODE

Bahan dan AlatBahan yang digunakan adalah : benih kacang buncis kultivar Lebat, tanah yang telahdipasteurisasi, inokulum nematoda (Meloidogyne spp.) dari tanaman tomat asal Lembang,isolat jamur Paecilomyces fumosoroseuss dan isolat bakteri Pasteuria penetrans yang berasaldari koleksi laboratorium Fitopatologi, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Unpad, biji jagung, kantong plastik, dan potato dextrose agar untuk membiakan jamur.

Alat-alat yang digunakan sebagai berikut : pot plastik dengan diameter 21 cm, saringan nematoda berdiameter pori 750 m, 50 m, 35 m, 5 m, timbangan, mikroskop binokuler, haemasitometer, counting dish, hand counter, pipet, pisau, timbangan elektrik, labu ukur, cawan, tabung reaksi, dan oven, autoklaf.

MetodePenelitian menggunakan metode percobaan dengan Rancangan Acak Kelompok,terdiri atas delapan perlakuan, masing-masing diulang empat kali. Delapan perlakuan tersebutadalah tanaman buncis diinokulasi dengan :1). Meloidogyne spp. + Paecilomyces fumosoroseus, 2) Meloidogyne spp. + Pasteuria penetrans, 3) Meloidogyne spp. + P. fumosoroseus + P. penetrans, 4) Hanya Meloidogyne spp., 5) Hanya P.fumosoroseus, 6) Hanya P. penetrans, 7) P. fumosoroseus + P. penetrans,8) Kontrol tanpa perlakuan.

Setiap pot percobaan ditanami dengan 2 biji buncis, kemudian diinokulasi dengan P.fumosoroseus, P. penetrans, dan telur Meloidogyne spp. sesuai dengan perlakuan yang ditetapkan.

Variabel respons yang ditetapkan adalah indeks gall akar, jumlah telur per systemakar, jumlah larva II Meloidogyne spp. dalam 100 ml tanah, berat segar bagian atas tanamanbuncis. Data semua variabel dikumpulkan pada saat tanaman mulai berbunga (33 hari setelahtanam). Dalam penelitian ini digunakan 32 pot percobaan untuk pengamatan destruktif dan 32 pot percobaan lagi untuk pengamatan hasil panen.

Data hasil panen buncis dikumpulkan pada periode panen (48 85 hari setelah tanam) dan data jumlah larva II Meloidogyne spp. dalam 100 ml tanah ditentukan pada akhir musim. Data hasil percobaan dianalisis dengan menggunakan analisis ragam. Untuk menguji keragaman digunakan Uji F dan untuk menguji perbedaan antara rata-rata perlakuan digunakan Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5 %.

Pelaksanaan Percobaan

Penanaman BuncisMedia tanam yang digunakan adalah tanah yang telah dipasteurisasi selama 3 jam. Media tanam tersebut, sebanyak 2000 ml dimasukkan ke dalam pot plastik berdiameter 21 cm. Kemudian setiap pot percobaan ditanami dengan 2 biji buncis dengan jarak tanam masing - masing 5 cm dari pusat pot.

Persiapan inokulasi jamur Paecilomyces fumosoroseusIsolat jamur P. fumosoroseus dibiakkan dan disebarkan pada biji-biji jagung yang telah diautoklaf. Biji jagung seberat 100 g masing-masing diletakkan dalam empat botol Erlenmeyer 500 ml dan direndam semalam dalam air. Kemudian air dialirkan dan masing - masing botol ditutup dengan kapas dan disterilisasi dalam autoklaf selama 15 menit pada 1,5 atm. Setelah botol dan isi ddiinginkan, P. fumosoroseus sebagai mycelial yang telah ditumbuhkan pada PDA ditambahkan secara aseptik pada dua botol, dan dua botol lain disiapkan sebagai kontrol tanpa diinokulasi. Botol-botol diinkubasi pada 25 30 oC selama 10 hari dan dikocok secara periodik supaya jamur menyebar lebih baik dan mencegah biji-biji melekat bersama. Empat g biji jagung terinfeksi jamur mengandung 4 x 107 konidia ditambahkan pada semua perlakuan yang mengandung P. fumosoroseus (perlakuan 1, 3, 5, 7) dan dimasukkan ke dalam tanah (Dube & Smart, 1987).

Persiapan inokulasi bakteri Pasteuria penetransAkar tomat seberat 1,5 g yang telah ditumbuk dan dikeringkan, dan tanaman tersebut telah ditanam pada tanah yang terinfestasi berat oleh Meloidogyne spp. dan P. penetrans (Stirling, 1984 dalam Dube dan Smart, 1987) ditambahkan pada semua perlakuan yang mengandung P. penetrans (perlakuan 2, 3, 6, 7) dan dicampur dengan tanah. Semua perlakuan tanpa P. fumosoroseus (perlakuan 2, 4, 6, 8) diberi 25 g biji jagung yang telah disteril bebas jamur.

Persiapan inokulasi Meloidogyne spp.Inokulum Meloidogyne spp. diperoleh dengan cara mengekstraksi telur dari akar tanaman tomat yang berumur 6 12 minggu yang terinfeksi oleh Meloidogyne spp. Telur dikumpulkan dan digunakan sebagai inokulum. Selanjutnya dilakukan penghitungan jumlah telur per ml suspensi nematoda atau standarisasi jumlah telur per unit volume (Barker et al., 1985).

Sebanyak 10 ml suspensi yang mengandung 2000 telur Meloidogyne spp. Digunakan sebagai inokulum pada perlakuan 1, 2, 3, dan 4. Inokulasi dilakukan dengan menuangkan inokulan ke dalam sebuah lubang yang dalamnya kira-kira 5 cm dan terletak di pusat tiap pot. Kemudian lubang diisi dengan tanah yang telah dipasteurisasi dan tanaman disiram dengan air (Ali et al., 1981). Telur Meloidogyne spp. diinokulasikan segera setelah penambahan inokulum jamur dan bakteri pada saat benih buncis ditanam di dalam pot.

Pemeliharaan TanamanTanaman buncis dipelihara di dalam rumah kaca, disiram dengan air sesuai dengan kapasitas lapang (220 ml air per pot setiap 2 hari), dipupuk, dilakukan pengendalian hama, dan dipanen. Tanaman umur 7 hari diberi lanjaran setinggi 200 cm dari permukaan tanah. Pemupukan dilakukan dua tahap, yaitu pada saat tanaman berumur 15 hari setelah tanam dan 35 hari setelah tanam. Pupuk yang digunakan pada setiap tahap adalah Urea 50 kg /ha (0,5 g/ pot), TSP 150 kg/ ha (1,5 g/ pot ), dan KCl 100 kg/ ha (1,0 g/ pot ). Pupuk dimasukkan ke dalam lubang sedalam 5 cm dan jarak antara lubang pupuk dengan tanaman adalah 5 - 10 cm. Pengendalian hama dan gulma dilakukan secara mekanik dengan tangan.

Variabel ResponsVariabel respons yang ditetapkan, yaitu indeks gall akar, jumlah telur per sistem akar, jumlah larva II Meloidogyne spp. dalam 100 ml tanah, berat segar bagian atas tanaman, dilakukan pada saat tanaman mulai berbunga (33 hari setelah tanam). Tanaman percobaan dicabut secara hati-hati, akar diambil, dicuci hingga bersih, dihitung indeks gall akar.

Indeks gall akar menggunakan skala 1 5 dengan kategori sebagai berikut: 1 = tanpagall, 2 = 1 25 % akar dengan gall, 3 = 26 50 % akar dengan gall, 4 = 51 75 % akar dengan gall, dan 5 = lebih dari 75 % akar dengan gall.

Jumlah larva II Meloidogyne spp. dalam 100 ml tanah dihitung dari hasil ekstraksi tanah dengan metode corong Baermann. Data hasil panen tanaman buncis diperoleh pada periode panen (48 85 hari setelah tanam) dan data jumlah larva II Meloidogyne spp. Dalam 100 ml tanah dihitung pada akhir musim, ditentukan dari 100 ml tanah yang dicampur dari 6 subsampel diambil secara acak dari tiap plot dan diproses dengan metode corong Baermann.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Indeks gall akar dan jumlah telur Meloidogyne spp.Dari hasil percobaan ini diketahui bahwa jika digunakan parameter indeks gall, maka pemberian perlakuan mikrob biokontrol terhadap Meloidogyne, yaitu P. penetrans dan P. fumosoroseus, baik secara mandiri maupun gabungannya, tidak menunjukkan adanya perbedaan. Ketiga perlakuan tersebut masing-masing menghasilkan indeks gall akar 2 (Tabel 1). Indeks gall akar ketiga perlakuan tersebut lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan kontrol, yaitu perlakuan inokulasi dengan Meloidogyne spp., yang menghasilkan indeks gall akar 4. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa skoring berat serangan Meloidogyne berdasarkan indeks gall dapat dikatakan kurang akurat jika digunakan untuk penelitian skala rumah kaca.

Tabel 1. Indeks Gall Akar, dan Jumlah Telur Meloidogyne spp. Pada Tanaman BuncisAkibat Pengaruh Paecilomyces fumosoroseus dan Pasteuria penetrans

Sementara itu, jika jumlah telur Meloidogyne spp. digunakan sebagai indikator, makanampak bahwa pemberian mikrob patogenik secara nyata mampu menekan jumlah telur Meloidogyne spp. yang dihasilkan jika dibandingkan dengan perlakuan kontrol (tanaman yang hanya diinokulasi dengan nematoda Meloidogyne). Jumlah telur yang paling sedikit diperlihatkan oleh perlakuan gabungan antara jamur P. fumosoroseus dengan bakteri P. penetrans.

Jumlah telur Meloidogyne yang paling sedikit diperlihatkan oleh perlakuan dengan pengaplikasian jamur P. fumosoroseus dan P. penetrans, yaitu hanya 23,25 butir, yang berbeda sangat nyata jika dibandingkan dengan perlakuan Meloidogyne (40,75 butir). Hal ini dapat dimengerti karena pada perlakuan ini terjadi dua mekanisme yang saling menguatkan. P. penetrans menginfeksi tubuh nematoda, sementara P. fumosoroseus menginfeksi telur yang dihasilkannya. Dengan demikian, jumlah larva yang akan menjadi nematoda betina dewasa berkurang karena adanya infeksi P. penetrans, sementara jika ada larva yang bertahan hidup dan menghasilkan telur, maka telurnya kemudian diparasiti oleh P. fumosoroseus. Menurut Jatala et al., (1980), jamur P. fumosoroseus merupakan spesial parasit telur, sementara bakteri P. penetrans adalah parasit yang harus menginfeksi tubuh nematoda (Mankau, 1980). Hal ini pula yang menjelaskan mengapa jumlah telur pada perlakuan dengan P. penetrans berada di antara jumlah telur pada perlakuan P. fumosoroseus dan perlakuan gabungannya.

Berat segar bagian atas tanaman dan hasil buncisDari hasil percobaan juga menunjukkan bahwa berat segar bagian atas tanaman untuk semua perlakuan yang diuji tidak berbeda satu sama lain (Tabel 2). Hal ini kembali mendukung pernyataan Sunarto dkk (1998) dan Suganda (1999) yang menyatakan bahwa berbeda dengan negara-negara beriklim sedang, di Indonesia, akibat infeksi oleh nematoda Meloidogyne spp. pada tanaman tomat, jarang memperlihatkan penurunan produksi tanaman bagian di atas tanah (kanopi). Yang mereka jumpai hanyalah terjadi penurunan produksi buah tomat.

Tabel 2. Berat Segar Bagian Atas Tanaman dan Hasil Buncis Akibat Pengaruh Paecilomyces fumosoroseus dan Pasteuria penetrans

Hal serupa juga ditemui pada kasus tanaman buncis. Data pada Tabel 2 juga mengindikasikan bahwa walaupun berat segar bagian atas tanaman buncis tidak menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna, namun jika dilihat dari produksi buncis per tanaman tampak adanya perbedaan yang nyata. Infeksi nematoda Meloidogyne spp. secara nyata menyebabkan rendahnya produksi buncis (hanya 14,375 g). Adanya pemberian mikrob biokontrol P. fumosoroseus dan P. penetrans secara nyata dapat meningkatkan hasil buncis dibandingkan dengan jika Meloidogyne tidak dikendalikan. Produksi buncis pada perlakuan P. fumosoroseus lebih tinggi 161,56 %, perlakuan dengan P. penetrans lebih tinggi 179,82 %, sedangkan pada perlakuan kombinasi kedua mikrob biokontrol adalah 194,95 % terhadap produksi tanaman yang terinfeksi Meloidogyne spp. Yang menarik untuk dicermati dari data pada Tabel 2 adalah bahwa pemberian mikrob biokontrol tanpa adanya nematoda Meloidogyne ternyata mampu meningkatkan produksi buncis, yang hasilnya ternyata secara bermakna lebih tinggi dibandingkan dengan produksi buncis pada perlakuan kontrol yang tidak diberi perlakuan apa pun. Nampaknya, kehadiran mikrob biokontrol turut berperan dalam meningkatkan produksi buncis tanpa kehadiran Meloidogyne. Mekanisme penyebabnya belum dapat diketahui.

Adanya peningkatan hasil buncis sebagai akibat penekanan Meloidogyne spp. sejalan dengan yang dilaporkan oleh Dube & Smart (1987) bahwa penggunaan jamur Paecilomyces lilacinus untuk mengendalian Meloidogyne pada tanaman kedele meningkatkan hasil sebanyak 172 %. Sementara Stirling (1984) melaporkan bahwa produksi kedele yang diberi perlakuan P. penetrans mampu menekan serangan M. javanica dan meningkatkan hasil kedele sebesar 212 %. Jata et al., (1979) juga melaporkan adanya peningkatan hasil kentang dengan pengaplikasian jamur P. lilacinus terhadap M. incognita dan Globodera pallida.

Jumlah larva II Meloidogyne spp. di dalam tanahJumlah larva II Meloidogyne spp. dalam tanah menunjukkan kecenderungan menurundari pertengahan musim sampai akhir musim tanam pada perlakuan yang mengandung Meloidogyne spp. dengan satu atau kedua organisme biokontrol, tetapi cenderung meningkat pada perlakuan yang mengandung hanya Meloidogyne spp. (Tabel 3). P. fumosoroseus mampu menurunkan jumlah larva II Meloidogyne spp. dalam tanah. Hal ini sesuai dengan Jatala et al. (1981) bahwa Paecilomyces lilacinus memiliki kemampuan menurunkan kepadatan populasi M. incognita dan tanpa reaplikasi jamur.

Tabel 3. Jumlah Larva II Meloidogyne spp. Dalam 100 ml Tanah Akibat Pengaruh Paecilomyces fumosoroseus dan Pasteuria penetrans

Jumlah larva II Meloidogyne spp. dalam tanah menurun setelah panen buncis. Hal ini sesuai dengan penelitian Dube & Smart (1987) bahwa penurunan kepadatan populasi Meloidogyne spp.mungkin akibat kekurangan tanaman inang.. P. lilacinus menyerang telur - telur dan kadang-kadang dewasa betina dan karena itu akan menurunkan kepadatan populasi nematoda.

KESIMPULANPerlakuan yang mengandung Meloidogyne spp. dan Paecilomyces fumosoroseus, atauMeloidogyne spp. dan Pasteuria penetrans, atau Meloidogyne spp. ditambah P. fumosoroseus dan P. penetrans mampu menurunkan indeks gall akar, jumlah telur, jumlah larva II Meloidogyne spp. di dalam tanah, dan mampu meningkatkan berat segar bagian atas tanaman, dan hasil tanaman buncis.P. fumosoroseus dan P. penetrans yang diaplikasikan bersama mampu menurunkan jumlah telur, dan jumlah larva II Meloidogyne spp. di dalam tanah, dan hasil buncis lebih tinggi dari pada jika diaplikasikan sendiri-sendiri (Toto Sunarto, dkk. 2009).

2.2 Hama dan Penyakit pada Tanaman Jagung

Jagung merupakan komoditas yang peranannya semakin penting dalam berbagai kebutuhan baik sebagai pakan ternak maupun sebagai bahan industri makanan. Besarnya kebutuhan bahan tersebut, sektor pertanian mempunyai tugas berat, karena dituntut untukmeningkatkan produksi. Namun masalah yang dihadapi petani dalam menanganiproduksi pertanian khususnya tanaman jagung, yaitu sulitnya mencapai hasil yang maksimal tanpa penggunaan pestisida.

Dilain pihak penggunaan pestisida sintetis yang kurang bijaksana dapat menimbulkandampak yang merugikan, baikterhadap manusia maupun hewan dan lingkungan. Beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat banyak dampak negatif dari penggunaan pestisidasintetis diantaranya kasus keracunan pada manusia, ternak peliharaan, polusi lingkungan dan hama menjadi resisten (Kardinan, 2002).

Sehubungan dengan hal tersebut, besar kecilnya kerusakan tanaman akibat serangan hama tanaman jagung, selain ditentukan oleh tinggi rendahnya populasi serangga hama di pertanaman juga ditentukan oleh faktor makanan yang tersedia serta faktor lingkungan.

Tabel 4. Perbandingan Luas Serangan OPT Utama Jagung Pada Tahun 2012 dengan Tahun 2011 dan Rerata 5 Tahun

Sumber: Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, 2013.

Gambar 1. Perkembangan Luas Serangan OPT Utama pada Tanaman Jagung Tahun 2012, Tahun 2011 dan Rerata 5 Tahun (20062010)

Sumber: Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, 2013.

Untuk mencapai hal tersebut diharapkan petani mengarah pada pertanian organikkhususnya dalam mengendalikan organism pengganggu tanaman (OPT). Pestisida nabati merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu tanaman, karena pestisida ini mudah terurai dan tidak merusak lingkungan.

A. Hama pada Tanaman Jagung1. Lalat bibit (Atherigona exigua Stein) Gejala: daun berubah warna menjadi kekuning-kuningan; di sekitar bekas gigitan atau bagian yang terserang mengalami pembusukan, akhirnya tanaman menjadi layu, pertumbuhan tanaman menjadi kerdil atau mati. Penyebab: lalat bibit dengan ciri-ciri warna lalat abu-abu, warna punggung kuning kehijauan dab bergaris, warna perut coklat kekuningan, warna telur putih mutiara, dan panjang lalat 3-3,5 mm. Pengendalian: (1) penanaman serentak dan penerapan pergiliran tanaman akan sangat membantu memutus siklus hidup lalat bibit, terutama setelah selesai panen jagung; (2) tanaman yang terserang lalat bibit harus segera dicabut dan dimusnahkan, agar hama tidak menyebar; (3) kebersihan di sekitar areal penanaman hendaklah dijaga dan selalu diperhatikan terutama terhadap tanaman inang yang sekaligus sebagai gulma;

2. Ulat pemotongGejala: tanaman jagung yang terserang biasanya terpotong beberapa cm diatas permukaan tanah yang ditandai dengan adanya bekas gigitan pada batangnya, akibatnya tanaman jagung yang masih muda itu roboh di atas tanah. Penyebab: beberapa jenis ulat pemotong: Agrotis sp. (A. ipsilon); Spodoptera litura, penggerek batang jagung (Ostrinia furnacalis), dan penggerek buah jagung (Helicoverpa armigera). Pengendalian: (1) bertanam secara serentak pada areal yang luas, bisa juga dilakukan pergiliran tanaman; (2) dengan mencari dan membunuh ulat-ulat tersebut yang biasanya terdapat di dalam tanah; (3) sebelum lahan ditanami jagung, disemprot terlebih dahulu dengan insektisida.

B. Penyakit pada Tanaman Jagung1. Penyakit Bulai (Downy mildew) Penyebab: cendawan Peronosclero spora maydis dan P. spora javanica serta P. spora philippinensis yang akan merajalela pada suhu udara 27 derajat C ke atas serta keadaan udara lembab. Gejala: (1) pada tanaman berumur 2-3 minggu, daun runcing dan kecil, kaku dan pertumbuhan batang terhambat, warna menguning, sisi bawah daun terdapat lapisan spora cendawan warna putih; (2) pada tanaman berumur 3-5 minggu, tanaman yang terserang mengalami gangguan pertumbuhan, daun berubah warna dan perubahan warna ini dimulai dari bagian pangkal daun, tongkol berubah bentuk dan isi; (3) pada tanaman dewasa, terdapat garis-garis kecoklatan pada daun tua. Pengendalian: (1) penanaman dilakukan menjelang atau awal musim penghujan; (2) pola tanam dan pola pergiliran tanaman, penanaman varietas unggul; (3) dilakukan pencabutan tanaman yang terserang, kemudian dimusnahkan.

2. Penyakit bercak daun (Leaf bligh)Penyebab: cendawan Helminthosporium turcicum.Gejala: pada daun tampak bercak memanjang dan teratur berwarna kuning dan dikelilingi warna coklat, bercak berkembang dan meluas dari ujung daun hingga ke pangkal daun, semula bercak tampak basah, kemudian berubah warna menjadi coklat kekuningkuningan, kemudian berubah menjadi coklat tua. Akhirnya seluruh permukaan daun berwarna coklat. Pengendalian: (1) pergiliran tanaman hendaknya selalu dilakukan guna menekan meluasnya cendawan; (2) mekanis dengan mengatur kelembaban lahan agar kondisi lahan tidak lembab;

3. Penyakit karat (Rust) Penyebab: cendawan Puccinia sorghi Schw dan Puccinia polypora Underw.Gejala: pada tanaman dewasa yaitu pada daun yang sudah tua terdapat titik-titik noda yang berwarna merah kecoklatan seperti karat serta terdapat serbuk yang berwarna kuning kecoklatan, serbuk cendawan ini kemudian berkembang dan memanjang, kemudian akhirnya karat dapat berubah menjadi bermacam-macam bentuk. Pengendalian: (1) mengatur kelembaban pada areal tanam; (2) menanam varietas unggul atau varietas yang tahan terhadap penyakit; (3) melakukan sanitasi pada areal pertanaman jagung; (4) kimiawi menggunakan pestisida seperti pada penyakit bulai dan bercak daun.

4. Penyakit gosong bengkak (Corn smut/boil smut)Penyebab: cendawan Ustilago maydis (DC) Cda, Ustilago zeae (Schw) Ung, Uredo zeae Schw, Uredo maydis DC. Gejala: pada tongkol ditandai dengan masuknya cendawan ini ke dalam biji sehingga terjadi pembengkakan dan mengeluarkan kelenjar (gall), pembengkakan ini menyebabkan pembungkus terdesak hingga pembungkus rusak dan kelenjar keluar dari pembungkus dan spora tersebar. Pengendalian: (1) mengatur kelembaban areal pertanaman jagung dengan cara pengeringan dan irigasi; (2) memotong bagian tanaman kemudian dibakar; (3) benih yang akan ditanam dicampur dengan fungisida secara merata hingga semua permukaan benih terkena.

5. Penyakit busuk tongkol dan busuk bijiPenyebab: cendawan Fusarium atau Gibberella antara lain Gibberella zeae (Schw), Gibberella fujikuroi (Schw), Gibberella moniliforme. Gejala: dapat diketahui setelah membuka pembungkus tongkol, biji-biji jagung berwarna merah jambu atau merah kecoklatan kemudian berubah menjadi warna coklat sawo matang.Pengendalian: (1) menanam jagung varietas unggul, dilakukan pergiliran tanam, mengatur jarak tanam, perlakuan benih; (2) penyemprotan dengan fungisida setelah ditemukan gejala serangan.

2.2.1 Jurnal Mengenai Pengendalian OPT Pada Tanaman Jagung

HUBUNGAN JUMLAH BARIS KACANG-KACANGAN TERHADAP HAMA TANAMANJAGUNG DAN TANAMAN KACANG-KACANGAN

METODE PENELITIANPenelitian dilaksanakan di Desa Lempeni, Kecamatan Tempeh, Kabupaten Lumajang, Pada bulan Agustus 2012 sampai dengan November 2012. Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi jagung hibrida varietas P27, biji kedelai varietas wilis, biji kacang tanah varietas tuban, biji kacang hijau varietas walet, pupuk Urea, dan NPK, bajak, cangkul, alat pengukur panjang (roll meter/meteran), gembor, sabit, penunggal, sendok, timba plastik, kantong plastik, alat tulis, kalkulator, dan kamera.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Terpisah (Split Plot Design), dengan dua belas perlakuan dan tiga ulangan yang terdiri dari perlakuan-perlakuan sebagai berikut :

Petak Utama (Main plot) terdiri dari 3 Jenis Tanaman Kacangkacangan (K), diantaranya :KH : Kacang Hijau sebagai tanaman selaKT : Kacang Tanah sebagai tanaman selaKD : Kacang Kedelai sebagai tanaman sela

Anak petak (Sub plot) terdiri dari Jumlah Barisan Kacang-kacangan(B), diantaranya :B1 : Satu baris di antara dua baris tanaman jagungB2 : Dua baris di antara dua baris tanaman jagungB3 : Tiga baris di antara dua baris tanaman jagungB4 : Tanpa tanaman sela (kontrol)

Parameter Pengamatan1. Populasi Hama; Populasi hama diamati pada 10 tanaman sampel pada setiap ulangan pada masing-masing perlakuan yang dilakukan setiap 5 hari sekali selama 60 hari.

2. Intensitas serangan; Penghitungan nilai Intensitas serangan dengan tipe kerusakan bervariasi dengan menggunakan rumus dari Hunter et al. (1998):

Dimana:P = Intensitas/beratnya kerusakan/serangan (%)n = jumlah contoh yang diamativ = nilai skor untuk tiap kategori kerusakanN = jumlah total sampel yang diamatiZ = nilai skor kategori kerusakan yang tertinggi

Skor :0 : tidak ada kerusakan pada daun tanaman yang diamati1 : ada kerusakan 1%- 25% pada daun tanaman yang diamati2 : ada kerusakan 26%-50% pada daun tanaman yang diamati3 : ada kerusakan 51%-75% pada daun tanaman yang diamati4 : ada kerusakan 76%-100% pada daun tanaman yang diamati

Untuk menghitung intensitas kerusakan dengan tipe kerusakan mutlak (penggerek batang jagung) digunakan rumus Moenandir et al. (1996) sebagai berikut :

Dimana:P = Intensitas kerusakan;a = Jumlah ruas/batang yang terserang;b = Jumlah ruas/ batang yang baik

HASIL DAN PEMBAHASAN

Populasi HamaPopulasi hama A. exigua pada tanaman jagung muncul ketika tanaman jagung mengalami perkecambahan, yaitu mulai umur tanaman jagung 10 hst sampai 25 hst, dengan gejala daun berlubang-lubang, menguning dan terdapat pada jaringan tanaman yang membusuk, tanamanlayu, dan serangan berat dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman menjadi terhambat hingga tanaman mati.

O. chinensis mulai menyerang tanaman jagung ketika tanaman jagung berumur 15 hst dimana populasinya lebih banyak ditemukan pada kombinasi penanaman tumpangsari 3 baris yang ditandai dengan tingginya gejala kerusakan daun tanaman jagung.

O. furnacalis menyerang tanaman jagung ketika tanaman jagung memasuk fase reproduktif yaitu pada saat umur 35 hst hingga tanaman panen. Gejala serangan O. furnacalis pada tanaman jagung tampak pada batang dan pucuk daun tanaman jagung.

Larva H. armigera muncul dipertanaman jagung ketika tanaman jagung mulai terbentuk tongkol yaitu pada umur 55 hst. Larva ditemukan pada rambut tongkol dimana dalam satu tongkol terdapat satu larva yang diduga larva instar 2. Larva yang terdapat pada ujung tongkol jagung akan masuk menggerek tongkol melalui ujung tongkol.

Adapun hama-hama yang ditemukan pada tanaman kacang-kacangan, diantaranya:

Hama lalat kacang A. phaseoli muncul dan menyerang tanaman kacang pada saat perkecambahan dan pada tanaman kedelai pengamatan umur 7 hst mulai tampak gejala kerusakan pada daun, sedangkan pada kacang hijau mulai tampak gejala pada umur 5 hst. Gejala serangan dan kerusakan mulai terlihat jelas berupa bintik-bintik putih bekas tusukan alat peletak telur pada pangkal kotiledon, dan atau pangkal daun. L. indicate muncul pada tanaman kedelai pada umur tanaman 20 hari setelah tanam dengan menyerang bagian daun dengan cara menggulung daun dan memakan permukaan daun, dan menyerang tanaman pada fase vegetatif. Hama Empoasca sp muncul dipertanaman sejak tanaman kacang berumur 20 hari setelah tanam dengan gejala seranganya terdapat bintik-bintik putih bekas tusukan Empoasca sp pada bagian bawah permukaan daun kacangkacangan.

Ulat jengkal mulai muncul dipertanaman kacang hijau dan kedelai pada umur tanaman 20 hst. Populasi hama ini akan meningkat dengan bertambahnya umur tanaman dan keberadaan ulat jengkal akan menurun ketika tanaman memasuki fase generatif. S. litura mulai muncul di pertanaman kacang tanah mulai umur tanaman 20 hst dimana larva muda memakan daun sehingga bagian daun yang tertinggal hanya epidermis atas dan meninggalkan tulang daun saja dan ketika larva tua gejala kerusaknya semakin tinggi karena larva memakan daun hingga merusak tulang daun yang ditandai dengan terdapat lubang-lubang bekas gigitan pada daun.

Populasi hama R. linearis muncul dipertanaman kacang hijau dan kedelai pada umur tanaman 35 hst hingga tanaman kacang-kacangan panen. Tingkat serangan muncul ketika tumbuh polong yang ditandai adanya bekas tusukan hama R. linearis yang menyebabkan polong menjadi hampa. Hama M. testulalis mulai muncul dan menyerang polong kacang hijau pada umur tanaman 40 hst dan keberadaan populasi hama ini akan terus meningkat hingga tanaman kacang hijau telah di panen.

Pengamatan terhadap musuh alami pada pertanaman jagung dan kacang-kacangan yang di peroleh, antara lain:Laba-laba (Clubiona japonicola), Kumbang kubah (kumbang helm/ koksi), Lebah / Tawon, Capung, dan Belalang sembah.

Tabel 5. Tabel populasi H. armigera pada tanaman jagung per petak perlakuan

Tabel 1 menunjukkan populasi H. armigera pada umur 60 hst mengalami peningkatan jumlah populasi, di duga larva yang berada pada tongkol jagung merupakan larva yang berpindah dari tanaman inang lainya seperti tanaman kacang-kacanganya. Pemberian kombinasi tertinggi yaitu ketika dikombinasikan dengan tanaman kedelai dengan rata-rata tertinggi pada 60 hst yaitu 3.42 ekor per petak perlakuan disebabkan karena tanaman kedelai merupakan salah tanaman inang dari H. armigera dan dengan kombinasi jumlah baris tanam, pemberian 3 baris tanam tanaman sela menunjukkan keberadaan hama semakin meningkat dkarenakan pada kombinasi 3 baris, mampu menciptakan lingkungan yang mendukung H. armigera untuk berkembangbiak.

Intensitas SeranganIntensitas serangan A. exigua yang digambarkan pada grafik (Gambar 2) menunjukkan pada perlakuan khb3 tingkat kerusakan paling tinggi dikarenakan pertumbuhanya lebih cepat dan hampir semua bagian tanaman menutupi permukaan tanah sehingga mampu menciptakan iklim mikro yang mendukung A. exigua ada dipertanaman. Tanaman yang tahan terhadap serangan A. exigua akan tetap tumbuh sampai fase generatif.

Gambar 2. Grafik Perkembangan Intensitas Kerusakan A. exigua pada TanamanJagung

Intensitas serangan O. chinensis yang digambarkan pada grafik (Gambar 3) menunjukkan kerusakan tanaman jagung yang semakin meningkat dan menurun secara berkala, dikarenakan belalang merupakan serangga yang aktif bergerak dan lincah sehingga belalang dapat berpindah-pindah tempat dengan cepat untuk mencari tempat yang diinginkannya atau mencari mangsa atau menghindar dari predatornya. Pada grafik tersebut menunjukkan kerusakan tanaman cenderung menurun mengikuti pertumbuhan tanaman, dikarenakan hama ini lebih menyukai bagian tanaman yang masih muda untuk dimakan.

Gambar 3. Grafik Perkembangan Intensitas Kerusakan O. chinensis pada TanamanJagung

Intensitas serangan L. indicata yang digambarkan pada grafik (Gambar 4) menunjukkan kerusakan tanaman cenderung meningkat dan menurun secara berkala, dikarenakan hama aktif bergerak berpindah - pindah mencari makanan terutama pada daun yang masih muda.

Kerusakan tanaman tertinggi terjadi pada perlakuan kdb3 dimana hama ini memiliki tanaman inang pada tanaman kedelai, dan ketika tanaman jagung ditumpangsarikan dengan kedelai dengan kerapatan 3 baris memberikan ruang L. indicata untuk bergerak menyerang pada tanaman jagung.

Gambar 4. Grafik Perkembangan Intensitas Kerusakan L. indicata padaTanamanJagung

Intensitas serangan O. furnacalis yang digambarkan pada grafik (Gambar 5) menunjukkan kerusakan tanaman cenderung meningkat mengikuti pertumbuhan tanaman hingga tanaman jagung panen. Hal ini disebabkan karena tanaman jagung pada fase vegetatif mampu memproduksi senyawa dimboa yang menyebabkan tanamn jagung tahan terhadap serangan penggerek batang O. furnacalis. Namun ketika tanaman jagung memasuki fase generatif produksi senyawa dimboa pada tanaman jagung mulai berkurang, sehingga menyebabkan serangan O. furnacalis semakin meningkat dengan bertambahnya umur tanaman hingga panen.

Gambar 5. Grafik Perkembangan Intensitas Kerusakan O. furnacalis pada TanamanJagung

Kerusakan tanaman tertinggi terjadi pada kerapatan tanaman 3 baris tanam kacang-kacangan karena O. furnacalis mempunyai lebih dari satu generasi dalam setahun karena didukung oleh curah hujan yang memberikan pengaruh penting pada aktivitas ngengat dan oviposisinya.

Pernyataan ini diperkuat oleh pernyataan Suyuti et al. (1977) bahwa waktu tanam yang baik untuk menghindari serangan penggerek batang adalah pada awal musim hujan dan paling lambat empat minggu sejak mulai musim hujan.

KESIMPULAN DAN SARANBerdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa dengan kombinasi kerapatan tanaman sela 3 baris kacang-kacangan dapat mempengaruhi keberadaan populasi hama dipertanaman jagung lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan 2 baris, 1 baris maupun control yang ditandai dengan tingginya tingkat serangan hama yaitu serangan A. exigua dengan rata-rata 16.84%, O. chinensis dengan rata-rata 12.06%, serangan penggulung daun dengan rata-rata 7.63% dan O. furnacalis dengan rata-rata 53.33%. Dan dengan semakin banyak jumlah baris kacang-kacangan diantara dua baris tanaman jagung maka hasil kacang - kacangan pun semakin besar, tetapi terhadap hasil tanaman jagung mengalami penurunan. Namun dengan hasil tingkat kerusakan tersebut tidak menyebabkan tanaman jagung mati.

Untuk mengetahui perbedaan pemberian modifikasi iklim, peneliti menyarankan untuk dilakukan penelitian serupa pada awal musim kemarau mengingat penelitian ini dilakukan pada awal musim hujan untuk mengetahui perbedaan pengaruh iklim mikro yang diciptakan dengan adanya pemberian modifikasi jumlah baris tanaman sela diantara dua baris tanaman jagung terhadap keberadaan hama di pertanaman dan intensitas seranganya terhadap tanaman jagung, sehingga dengan demikian dapat bermanfaat bagi petani agar berhati-hati di dalam menentukan musim tanam tanaman jagung yang tepat (Dwi Octavia Prasetyo Megawati, dkk. 2014).

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. 2013. Laporan Tahunan Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan Tahun 2012. http://tanamanpangan.pertanian.go.id/. (Diakses pada tanggal 12 April 2015 pukul 16.16 WIB)

Dwi Octavia Prasetyo Megawati, dkk. 2014. HUBUNGAN JUMLAH BARIS KACANG KACANGAN TERHADAP HAMA TANAMAN JAGUNG DAN TANAMAN KACANG-KACANGAN. (Diakses pada tanggal 12 April 2015 pukul 16.47 WIB)

Toto Sunarto, dkk. 2009. PENGENDALIAN BIOLOGI NEMATODA Meloidogyne spp. DENGAN JAMUR Paecilomyces fumosoroseus DAN BAKTERI Pasteuria penetrans SERTA PENGARUHNYA TERHADAP TANAMAN BUNCIS (Phaseolus vulgaris L.). http://pustaka.unpad.ac.id. (Diakses pada tanggal 12 April 2015 pukul 16.23 WIB)