Top Banner

of 21

Bab II Nph Asger

Mar 06, 2016

Download

Documents

Ade Laksono

wef
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1. Neuralgia Pasca HepatikA. DefinisiNeuralgia adalah nyeri seperti terbakar, teriris atau nyeri disetetik yang bertahan selama berbulan-bulan bahkan dapat sampai tahunan. Burgoon, 1957, mendefinisikan neuralgia pasca herpetika sebagai nyeri yang menetap setelah fase akut infeksi. Rogers, 1981, mendefinisikan sebagai nyeri yang menetap satu bulan setelah onset ruam herpes zoster. Tahun 1989, Rowbotham mendefinisikan sebagai nyeri yang menetap atau berulang setidaknya selama tiga bulan setelah penyembuhan ruam herpes zoster. Dworkin, 1994, mendefinisikan neuralgia pasca herpetika sebagai nyeri neuropatik yang menetap setelah onset ruam (atau 3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster). Tahun 1999, Browsher mendefinisikan sebagai nyeri neuropatik yang menetap atau timbul pada daerah herpes zoster lebih atau sama dengan tiga bulan setelah onset ruam kulit. Dari berbagai definisi yang paling tersering digunakan adalah definisi menurut Dworkin. 3

B. EtiologiVirus varisella zoster merupakan salah satu dari delapan virus herpes yang menginfeksi manusia. Virus ini termasuk dalam famili herpesviridae. Struktur virus terdiri dari sebuah icosahedral nucleocapsid yang dikelilingi oleh selubung lipid. Di tengahnya terdapat DNA untai ganda. Virus varisella zoster memiliki diameter sekitar 180-200 nm. Infeksi primernya secara klinis dikenal dengan Varicella (chicken pox), umumnya terjadi pada anak-anak. Tipe Virus yang bersifat patogen pada manusia adalah herpes virus-3 (HHV-3), biasa juga disebut dengan varisella zoster virus (VZV). Virus ini berdiam di ganglion posterior susunan saraf tepi dan ganglion kranialis terutama nervus kranialis V (trigeminus) pada ganglion gasseri cabang oftalmik dan vervus kranialis VII (fasialis) pada ganglion genikulatum.1.3

C. Insidens dan prevalensiKebanyakan data insidensi herpes zoster dan neuralgia pasca herpertika didapatkan dari data Eropa dan Amerika Serikat. Insidensi dari herpes zoster pada negara-negara tersebut bervariasi dari 1.3 sampai 4.8/1000 pasien/tahun, dan data ini meningkat dua sampai empat kali lebih banyak pada individu dengan usia lebih dari 60 tahun. Data lain menyatakan pada penderita imunokompeten yang berusia dibawah 20 tahun dilaporkan 0.4-1.6 kasus per 1000; sedangkan untuk usia di atas 80 tahun dilaporkan 4.5-11 kasus per 1000. Pada penderita imunodefisiensi (HIV) atau anak-anak dengan leukimia dilaporkan 50-100 kali lebih banyak dibandingkan kelompok sehat usia sama.Penelitian Choo 1997 melaporkan prevalensi terjadinya neuralgia pasca herpetika setelah onset ruam herpes zoster sejumlah 8 kasus/100 pasien dan 60 hari setelah onset sekitar 4.5 kasus/100 pasien. Sehingga berdasarkan penelitian Choo, diperkirakan angka terjadi neuralgia pasca herpetika sekitar 80.000 kasus pada 30 hari dan 45.000 kasus pada 60 hari per 1 juta kasus herpes zoster di Amerika Serikat per tahunnya.Sedangkan belum didapatkan angka insidensi Asia Australia dan Amerika Selatan, tetapi presentasi klinis dan epidemiologi herpes zoster di Asia, Australia dan Amerika Selatan mempunyai pola yang sama dengan data dari Eropa dan Amerika Serikat.Pada herpes zoster akut hampir 100% pasien mengalami nyeri, dan pada 10-70%nya mengalamia neuralgia pasca herpetika. Nyeri lebih dari 1 tahun pada penderita berusia lebih dari 70 tahun dilaporkan mencapai 48%.2

D. Patologi dan pathogenesisInfeksi primer virus varisella zoster dikenal sebagai varisella atau cacar air. Pajanan pertama biasanya terjadi pada usia kanak-kanak. Virus ini masuk ke tubuh melalui sistem respiratorik. Pada nasofaring, virus varisella zoster bereplikasi dan menyebar melalui aliran darah sehingga terjadi viremia dengan manifestasi lesi kulit yang tersebar di seluruh tubuh. Periode inkubasi sekitar 14-16 hari setelah paparan awal. Setelah infeksi primer dilalui, virus ini bersarang di ganglion kornu dorsal, hidup secara dorman selama bertahun-tahun.Patogenesis terjadinya herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi dari virus varisella zoster yang hidup secara dorman di ganglion. Imunitas seluler berperan dalam pencegahan pemunculan klinis berulang virus varicella zoster dengan mekanisme tidak diketahui. Hilangnya imunitas seluler terhadap virus dengan bertambahnya usia atau status imunokompromis dihubungkan dengan reaktivasi klinis. Saat terjadi reaktivasi, virus berjalan di sepanjang akson menuju ke kulit. Pada kulit terjadi proses peradangan dan telah mengalami denervasi secara parsial. Di sel-sel epidermal, virus ini bereplikasi menyebabkan pembengkakan, vakuolisasi dan lisis sel sehingga hasil dari proses ini terbentuk vesikel yang dikenal dengan nama Lipschutz inclusion body. Pada ganglion kornu dorsalis terjadi proses peradangan, nekrosis hemoragik, dan hilangnya sel-sel saraf. Inflamasi pada saraf perifer dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan dan dapat menimbulkan demielinisasi, degenerasi wallerian dan proses sklerosis. Proses perjalanan virus ini menyebabkan kerusakan pada saraf.Beberapa perubahan patologi yang dapat ditemukan pada infeksi virus varisella zoster:1. Reaksi inflamatorik pada beberapa unilateral ganglion sensorik di saraf spinal atau saraf kranial sehingga terjadi nekrosis dengan atau tanpa tanda perdarahan.2. Reaksi inflamatorik pada akar spinal dan saraf perifer beserta ganglionnya.3. Gambaran poliomielitis yang mirip dengan akut anterior poliomielitis, yang dapat dibedakan dengan lokalisasi segmental, unilateral dan keterlibatan dorsal horn, akar dan ganglion.4. Gambaran leptomeningitis ringan yang terbatas pada segmen spinal, kranial dan akar saraf yang terlibat.Pada otopsi pasien yang pernah mengalami herpes zoster dan neuralgia pasca herpetika ditemukan atrofi kornu dorsalis, sedangkan pada pasien yang mengalami herpes zoster tetapi tidak mengalami neuralgia pasca herpetika tidak ditemukan atrofi kornu dorsalis.

Mekanisme nyeriProses terjadinya nyeri secara umum dapat dibagi menjadi 4 fase :1. Fase I : proses stimulasi singkat (nyeri nosiseptif)2. Fase II : proses stimulasi yang berkepanjangan, yang menyebutkan lesi atau inflamasi jaringan (nyeri inflamasi)3. Fase III : proses yang terjadi akibat lesi dari sistem saraf (nyeri neuropatik)4. Fase IV : proses yang terjadi akibat respon abnormal susunan saraf (nyeri fungsional)Fase I disebut juga nyeri nosiseptif. Pukulan, cubitan, aliran listrik dan sebagainya, yang mengenai bagian tubuh tertentu akan menyebabkan timbulnya persepsi nyeri. Bila stimulasi tersebut tidak begitu kuat dan tidak menimbulkan lesi, maka persepsi nyeri yang timbul akan terjadi dalam waktu singkat.Fase II, nyeri yang terjadi pada fase II berbeda dengan fase I. Pada fase II, stimuli yang merangsang jaringan cukup kuat, sehingga jaringan akan menyebabkan fungsi berbagai komponen sistem nosiseptif berubah.Ciri khas dari inflamasi ialah rubor, kalor, tumor, dolor dan fungsiolesa. Rubor dan kalor merupakan akibat bertambahnya aliran darah, tumor akibat meningkatnya permeabilitas pembuluh darah, dolor terjadi akibat aktivasi atau sensitisasi nosiseptor dan berakhir dengan adanya penurunan fungsi jaringan yang mengalami inflamasi (fungsiolesa).Perubahan sistem nosiseptif pada inflamasi disebabkan oleh jaringan yang mengalami inflamasi mengeluarkan berbagai mediator inflamasi, speri bradikinin, prostaglandin, leukotrien, amin, purin, sitokin, dan sebagainya, yang dapat mengaktivasi atau men-sensitisasi nosiseptor secara langsung maupun tidak langsung.Fase III dikenal sebagai nyeri neuropatik. Lesi saraf tepi atau sentral akan mengakibatkan hilangnya fungsi seluruh atau sebagian dari sistem saraf tersebut. Lesi saraf menyebabkan perubahan fungsi neuron sensorik yang dalam keadaan normal dipertahankan secara aktif oleh keseimbangan antara neuron dengan lingkungannya. Gangguan yang terjadi dapat berupa gangguan keseimbangan neuron sensorik, melalui perubahan molekuler, sehingga aktivitas sistem saraf aferen menjadi abnormal (mekanisme perifer) yang selanjutnya menyebabkan gangguan nosiseptif sentral (sensitisasi sentral). 4 mekanisme penyebab timbulnya aktivitas abnormal sistem saraf aferen akibat lesi, yaitu:1. aktivitas ektopik2. sensitisasi nosiseptor3. interaksi abnormal antar serabut saraf4. hipersensitifitas terhadap katekolaminFase IV disebut nyeri fungsional yang merupakan konsep yang masih baru. Bentuk sensitifitas nyeri ini ditandai dengan tidak ditemukannya abnormalitas perifer dan defisit neurologis. Nyeri disebabkan oleh respon atau fungsi abnormal sistem saraf, dimana sensitifitas apparatus sensorik memperkuat gejala. Beberapa kondisi umum memiliki gambaran tipe nyeri ini yaitu fibromyalgia, irritable bowel syndrome, beberapa bentuk nyeri dada non-kardiak, dan nyeri kepala tipe tegang.Allodinia adalah nyeri yang disebabkan oleh stimulus normal (secara normal semestinya tidak menimbulkan nyeri). Impuls yang dijalarkan serabut A yang biasanya berupa sentuhan halus atau raba normal dirasakan normal, tetapi pada allodinia dirasakan sebagai nyeri. Mekanisme terjadinya allodinia disebabkan oleh adanya:1. Sensitisasi sentral, dimana terjadinya peningkatan jumlah potensial aksi sebagai respon terhadap stimuli noksius dan penurunan nilai ambang rangsang sehingga stimuli non noksius mampu menimbulkan rasa nyeri.2. Perubahan serabut A dimana serabut ini mengeluarkan substansia P. Pada nyeri neuropatik hal ini berlangsung terus dikarenakan sumber impuls datang dari perifer berupa ectopic discharge.3. Hilangnya kontrol inhibisi. Neurotransmitter inhibisi seperti GABA atau glycin berfungsi untuk mempertahankan potensial membran mendekati potensial istirahat. Tetapi pada nyeri neuropatik terdapat penurunan aktivitas inhibisi (hal ini diperkirakan oleh karena kematian sel-sel inhibisi). Sehingga terjadi eksitasi berlebihan.Nyeri pada neuralgia pasca herpetika merupakan nyeri neuropatik yang diakibatkan dari perlukaan saraf perifer sehingga terjadi perubahan proses pengolahan sinyal pada sistem saraf pusat. Saraf perifer yang sudah rusak memiliki ambang aktivasi yang lebih rendah sehingga menunjukkan respon berlebihan terhadap stimulus. Regenerasi akson setelah perlukaan menimbulkan percabangan saraf yang juga mengalami perubahan kepekaan. Aktivitas saraf perifer yang berlebihan tersebut menimbulkan perubahan berupa hipereksitabilitas kornu dorsalis sehingga pada akhirnya menimbulkan respon sistem saraf pusat yang berlebihan terhadap semua rangsang masukan/ sensorik. Perubahan ini ada berbagai macam proses sehingga pendekatan terapeutik neuralgia pasca herpetika ada beberapa macam pendekatan pula.2,4

E. Manifestasi klinis Komplikasi yang paling sering terjadi pada herpes zoster adalah timbulnya neuralgia pasca herpetika sehingga neuralgia pasca herpetika bukan merupakan kelanjutan dari herpes zoster akut, tetapi merupakan penyakit yang berdiri sendiri yang merupakan komplikasi herpes zoster. Neuralgia pasca herpetika yaitu suatu kondisi dimana menetapnya nyeri di tempat lesi walaupun lesi kulit sudah sembuh lama. Dworkin membagi neuralgia pasca herpetika ke dalam tiga fase: Fase akut: fase nyeri timbul bersamaan/ menyertai lesi kulit. Biasanya berlangsung < 4 minggu Fase subakut: fase nyeri menetap > 30 hari setelah onset lesi kulit tetapi < 4 bulan Neuralgia pasca herpetika: dimana nyeri menetap > 4 bulan setelah onset lesi kulit atau 3 bulan setelah penyembuhan lesi herpes zoster.

Onset ruamruam sembuhnyeri sembuhNyeri fase akutNeuralgia pasca herpes

NYERI ZOSTER

Ket: Nyeri zoster, nyeri fase akut dan nyeri pasca herpes 1

Manifestasi klinis neuralgia pasca herpetika adalah nyeri yang sangat mengganggu penderitanya. Gangguan sensorik yang ditimbulkan diperberat oleh rangsangan pada kulit berupa hiperestesia, allodinia dan hiperalgesia. Nyeri yang dirasakan dapat mengganggu pekerjaan pasien, tidur bahkan sampai mood sehingga nyeri ini dapat mempengaruhi kualitas hidup jangka pendek maupun jangka panjang pasien. Nyeri dapat dirasakan beberapa hari atau beberapa minggu sebelum timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang paling sering dilaporkan adalah nyeri seperti rasa terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik. Nyeri sendiri dapat diprovokasi antara lain dengan stimulus ringan/ normal (allodinia), rasa gata-gatal yang tidak tertahankan dan nyeri yang terus bertambah dalam menanggapi rangsang yang berulang.Beberapa faktor resiko terjadinya neuralgia pasca herpetika adalah meningkatnya usia, nyeri yang hebat pada fase akut herpes zoster dan beratnya ruam Herpes Zoster. Dikatakan bahwa ruam berat yang terjadi dalam 3 hari setelah onset herpes zoster, 72% penderitanya mengalami neuralgia pasca herpetika. Faktor resiko lain yang mempunyai peranan pula dalam menimbulkan neuralgia pasca herpetika adalah gangguan sistem kekebalan tubuh, pasien dengan penyakit keganasan (leukimia, limfoma), lama terjadinya ruam.1,2,4

F. DiagnosisDiagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (pemeriksaan laboratorium, radiologi, dan histology)1. Erupsi berupa vesikel yang nyeri sesuai distribusi dermatom.2. Setelah erupsi sembuh, nyeri berupa alodonia, hiperalgesia, atau hiperestesi yang berlanjut sampai 3 bulan atau lebih. Nyerinya hebat dan seakan-akan seperti tersetrum atau tertusuk.3. Herpes-zoster dapat mengalami reaktivasi subklinis dengan polanyeri sesuai distribusi dermatom tanpai disertai erupsi.4. Tampak jaringan parut pada kulit di tempat bekas munculnya lesi.1

G. Penatalaksanaan1,2,4 Pada dasarnya, penatalaksanaan yang dapat diberikan kepada penderita neuralgia pasca herpetika terdiri dari terapi farmakologik dan non farmakologik. Dan penatalaksaan untuk nyeri zoster (nyeri fase akut) dapat diberikan analgetik non-opioid, antidepresan dan tranquilizer (yang banyak digunakan adalah kombinasi amitriptilin dan flufenasin), dapat pula diberikan larutan triamsinolon 0,2% dalam NaCl 0.9% untuk infiltrasi sekitar ruam.Saat ini terapi NPH difokuskan ada penggunaan psikotropik dan antikonvulsan. Terapi farmakologis efektif untuk menurunkan kualitas nyeri dan memperbaiki kualitas hidup pasien, termasuk pemakaian antidepresan trisiklik, antikonvulsan, agen topical, analgesic opioid dan tramadol.1Anti konvulsan, terutama non-sodium channel blocking agent seperti gabapentin dan pregabalin tampak cukup efektif. Mekanisme kerja obat golongan ini diperkirakan melalui penurunan sensitisasi sentral. Misalnya inhibisi pelepasan asam amino eksitatorik (glutamate) dan mungkin juga meningkatkan reaksi inhibisi susunan saraf sentral melalui transmisi GABA-ergik. Pregabalin bekerja menyerupai gabapentin. Onset kerjanya lebih cepat. Seperti halnya gabapentin, pregabalin bukan merupakan agonis GABA namun berikatan dengan subunit dari voltage-gated calcium channel, sehingga mengurangi influks kalsium dan pelepasan neurotransmiter (glutamat, substance P, dan calcitonin gene-related peptide) pada primary afferent nerve terminals.Anti depressan trisiklik menunjukkan peran penting pada kasus neuralgia pasca herpetika. Obat golongan ini mempunyai mekanisme memblok reuptake (pengambilan kembali) norepinefrin dan serotonin. Obat ini dapat mengurangi nyeri melalui jalur inhibisi saraf spinal yang terlibat dalam persepsi nyeri. Pada beberapa uji klinik obat antidepressan trisiklik amitriptilin, dilaporkan 47-67% oasien mengalami pengurangan nyeri tingkat sedang hingga sangat baik. Amitriptilin menurunkan reuptake saraf baik norepinefrin maupun serotonin. TCA telah terbukti efektif dalam pengobatan nyeri neuropatik dibanding SSRI (selective serotonine reuptake inhibitor) seperti fluoxetine, paroxetine, sertraline, dan citalopram. Alasannya mungkin dikarenakan TCA menghambat reuptake baik serotonin maupun norepinefrin, sedangkan SSRI hanya menghambat reuptake serotonin. Efek samping TCA berupa sedasi, konfusi, konstipasi, dan efek kardiovaskular seperti blok konduksi, takikardi, dan aritmia ventrikel. Obat ini juga dapat meningkatkan berat badan, menurunkan ambang rangsang kejang, dan hipotensi ortostatik. Anti depressan yang biasa digunakan untuk kasus neuralgia pasca herpetika adalah amitriptilin, nortriptiline, imipramine, desipramine dan lainnya.Anestesi lokal memodifikasi konduksi aksonal dengan menghambat voltage-gated sodium channels . Inaktivasi menyebabkan hambatan terhadap terjadinya impuls ektopik spontan. Obat ini bekerja lebih baik jika kerusakan pada neuron hanya terjadi sebagian, fungsi nosiseptor tetap ada, dan adanya jumlah kanal sodium yang berlebih.Pilihan terapi beberapa obat untuk Neuralgia Pasca Herpetika (American Academy of Family Physician, 2004) ObatDosis

Agen topicalKapsaisin krim (Zostrik)Lidokain (Xylocaine) patchOleskan pada lokasi yang terkena 2-5x/hariTempelkan pada lokasi yang terkena setiap 4-12 jam bila dibutuhkan

Antidepresan trisiklikAmitriptilin (Elavil)Desipramin (Norpramin)

Imipramine (Tofranil)

Nortriptilin (Pamelor)

0-25 mg oral sebelum tidur naikkan dosis 25 mg setiap 2 sampai 4 minggu sampai respon adekuat, atau dosis maksimum 150 mg/hari.25 mg oral sebelum tidur naikkan dosis 25 mg setiap 2 sampai 4 minggu sampai respon adekuat, atau dosis maksimum 150 mg/hari0-25 mg oral sebelum tidur naikkan dosis 25 mg setiap 2-4 minggu sampai respon adekuat, atau dosis maksimum 125 mg/hari

AntikonvulsanFenitoin (Dilantin)

Karbamazepin (Tegretol)

Gabapentin (Neurontin)

Pregabalin (Lyrica)100-300 mg oral sebelum tidur; naikkan dosis sampai respon adekuat atau kadar dalam darah 10 -20 g rel mL ( 40 to 80 mol per L)100 mg oral sebelum tidur; naikkan dosis 100 mg setiap 3 hari sampai 200 mg tiga kali sehari, respon adekuat atau kadar dalam darah 6-12 g rel mL ( 25,4 to 50,8 mol per L)100-300 mg oral sebelum tidur; naikkan dosis 100 -300 mg setiap 3 hari sampai dosis 300 900 mg tiga kali sehari atau respon adekuat (kadar dalam darah belum ditentukan) 75 mg oral sebelum tidur, dapat dinaikkan menjadi 150 300 mg dua kali sehari jika diperlukan atau dapat ditoleransi.

Terapi non farmakologis:1. AkupunkturAkupunktur banyak digunakan sebagai terapi untuk menghilangkan nyeri. Terdapat beberapa penelitian mengenai terapi akupunktur untuk kasus neuralgia paska herpetika. Namun penelitian-penelitian tersebut masih menggunakan jumlah kasus tidak terlalu banyak dan terapi tersebut dikombinasi pula dengan terapi farmakologis.2. TENS (stimulasi saraf elektris transkutan)Penggunaan TENS dilaporkan dapat mengurangi nyeri secara parsial hingga komplit pada beberapa pasien neuralgia paska herpetik. Tetapi penggunaan TENS-pun dianjurkan hanya sebagai terapi adjuvan/ tambahan disamping terapi farmakologis.3. VaksinPenggunaan vaksin untuk mencegah timbulnya Neuralgia Postherpertika pada orang lanjut usia yaitu umur 60 tahun keatas dengan dosis 1 ml diberikan secara sub kutan ternyata efektif. Dari 107 orang yang menderita neuralgia post herpetika kemudian diberikan vaksin ternyata dapat mereduksi nyeri yang ditimbulkan hingga 66,5%.

H. PencegahanCara mencegah Nyeri Post Herpetikum ini adalah dengan mencegah terinfeksinya virus Zoster itu sendiri. Pencegahan neuralgia pascaherpetika dapat diusahakan dengan kombinasi agen antiviral dan usaha agresif mengurangi nyeri akut pada pasien herpes zoster. Kombinasi ini diharapkan akan mengurangi kerusakan saraf dan nyeri akut. Terapi antiviral harus dimulai segera setelah diagnosis ditegakkan, dan lebih baik jika dimulai pada tiga atau empat hari pertama. Terapi antiviral diharapkan dapat menghentikan replikasi virus, sehingga durasi penyakit akan lebih singkat, dan menurunkan kejadian neuralgia pascaherpetika. Antiviral yang dapat digunakan adalah asiklovir, valasiklovir, atau famsiklovir. Terapi analgetika akan mengurangi nyeri yang merupakan faktor risiko utama neuralgia pascaherpetika.Telah dikembangkan vaksin pencegahan herpes zoster yang direkomendasikan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) bagi mereka yang berusia 60 tahun atau lebih. Dalam penelitian klinis yang melibatkan ribuan lansia berusia 60 tahun atau lebih, vaksin ini mengurangi risiko herpes zoster sebesar 51% dan risiko neuralgia pascaherpetika sebesar 67%. Efek proteksi vaksin ini dilaporkan dapat mencapai 6 tahun atau bahkan lebih Selain itu, The United States Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) juga telah merekomendasikan lansia diatasumur 60 tahun untuk memperoleh vaksin herpes zoster ini sebagai bagian dari perawatan kesehatan rutin. Vaksin Oka-strain hidup baru-baru ini telah disetujui oleh Food and Drug Administration untuk mencegah Varicella.1,5

I. PrognosisSindrom nyeri yang timbul pada PNH ini cenderung beresolusi denagn lambat. Pada pasien-pasien dengan PNH, kebanyakan berespon dengan baik terhadap obat-obatan analgesik, seperti pada antidepressan trisiklik, namun pada sebagian kasus, nyeri yang dirasakan semakin memburuk dan tidak berespon terhadap terapi yang diberikan.Umumnya prognosisnya baik, di mana ini bergantung pada tindakan perawatan sejak dini. pada umumnya pasien dengan neuralgia post herpetika respon terhadap analgesik seperti antidepressan trisiklik. Jika terdapat pasien dengan nyeri yang menetap dan lama dan tidak respon terhadap terapi medikasi maka diperlukan pencarian lanjutan untuk mencari terapi yang sesuai.Prognosis ad vitam dikatakan bonam karena neuralgia paska herpetik tidak menyebabkan kematian. Kerusakan yang terjadi bersifat lokal dan hanya mengganggu fungsi sensorik. Prognosis ad functionam dikatakan bonam karena setelah terapi didapatkan perbaikan nyata, dan pasien dapat beraktivitas baik seperti biasa.Prognosis ad sanactionam bonam karena walaupun risiko berulangnya HZ masih mungkin terjadi sebagaimana disebutkan dari literatur, selama pasien mempunyai daya tahan tubuh baik kemungkinan timbul kembali kecil.5

2.2. Diabetes MelitusA. DefinisiDiabetes adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh kadar glukosa yang sangat tinggi di dalam darah. Diabetes terjadi ketika tubuh tidak membuat cukup insulin atau ketika sel tidak dapat menggunakan insulin yang tersedia. Seorang penderita diabetes mempunyai beberapa ciri-ciri awal, yaitu: nafsu makan besar namun berat badan menurun, sering merasa haus setiap waktu, dan juga sering sekali buang air kecil.

B. Klasifikasi dan Patofisiologia. Tipe 1 (diabetes melitus tergantung insulin)Penyakit ini jarang terjadi, hanya sekitar 10% dari jumlah pendrita diabetes dan gejalanya timbul pada usia < 30 tahun. Penderita tipe ini membutuhkan suntikan insulin untuk bertahan hidup. Pada diabetes tipe 1 terjadi kerusakan sel yang memproduksi insulin. Insulin diproduksi oleh sel beta di pankreas.Gambaran klinis: pada umumnya penderita terlihat kurus, penurunan berat badan, cepat lelah, dan terdapat infeksi (abses, infeksi jamur, misalnya kandidiasis). Ketoasidosis dapat terjadi, disertai gejala mual, muntah, mengantuk, dan takipnea. Penderita membutuhkan insulin.b. Tipe 2 (diabetes melitus tidak tergantung insulin)Penyakit ini sering ditemukan pada usia menengah dan manula. Penyakit ini terutama disebabkan oleh resistensi terhadap kerja insulin di jaringan perifer. Walaupun pada tahap lanjut defisiensi insulin dapat terjadi, namun tidak ditemukan defisiensi absolut insulin. Penyakit ini juga dipengaruhi faktor genetik. Pada kembar identik tingkat kesamaannya adalah 90%, namun tidak ada kaitannya dengan antigen leukosit manusia (human leukocyte antigen [HLA]).Gambaran klinis: 80% kelebihan berat badan; 20% datang dengan komplikasi (penyakit jantung iskemik, penyakit serebrovaskular, gagal ginjal, ulkus pada kaki, gangguan penglihatan). Penderita dapat juga mengalami poliuria dan polidipsia yang timbul perlahan-lahan. Banyak penderita yang dapat ditangani dengan pengaturan diet dan obat hipoglikemik oral, walaupun beberapa membutuhkan insulin.6

Bentuk lain diabetes adalah:a. Kegagalan pankreas eksokrin: pankreatitis, pankreatektomi, kerusakan (karsinoma, fibrosis kistik, hemokromatosis).b. Penyakit endokrin: sindrom Cushing, akromegali, glukagonoma, feokromositoma.c. Diabetes pada kehamilan, yang biasanya terjadi pada trimester terakhir kehamilan dan memiliki patofisiologi yang mirip dengan diabetes tipe 2. d. Diabetes melitus akibat malnutrisi: ditemukan pada negara berkembang.e. Penyebab genetik: semuanya jarang ditemukan. Diabetes pada usia muda (maturity onset diabetes of the young [MODY]) berkaitan dengan gangguan fungsi sel pankreas, misalnya MODY 1faktor nukleus hepatosit abnormal HNF-4; MODY 2 defek glukokinase; MODY 3HNF-1 abnormal.

C. Faktor Risiko7,8Faktor risiko diabetes melitus tipe 2 yang tidak dapat dimodifikasi.1. Riwayat keluarga dengan diabetes2. Ras dan etnikTermasuk kelompok ras atau etnik berisiko tinggi adalah African American, Hispanic, Asian, atau American Indian. 3. Jenis kelamin Diabetes melitus tipe 2 sedikit lebih banyak pada perempuan usia tua daripada laki-laki. Rodrigo P.A. Barros, Ubiratan Fabres Machado2 and Jan-ke Gustafsson tahun 2006 menyebutkan bahwa yang mempengaruhi peningkatan prevalensi diabetes melitus tipe 2 pada jenis kelamin perempuan adalah kadar estrogen. Pada perempuan, estradiol akan mengaktivasi ekspresi gen ER dan ER. Kedua gen ini akan bertanggungjawab dalam sensitivitas insulin dan peningkatan ambilan glukosa. Seiring dengan pertambahan usia, kadar estrogen dalam tubuh perempuan akan semakin menurun. Penurunan estrogen akan menurunkan aktivasi ekspresi gen ER dan ER sehingga sensitivitas insulin dan ambilan glukosa juga akan menurun.4. UsiaDiabetes melitus tipe 2 mengenai individu berusia >40 tahun9 atau >45 tahun.10 Risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring dengan meningkatnya usia. WHO menyebutkan bahwa tiap kenaikan satu dekade umur, kadar glukosa darah puasa akan naik sekitar 1-2 mg/dl dan 5,6-13 mg/dl pada 2 jam post prandial. Menurut Marrow dan Haller, patofisiologi gangguan intoleransi glukosa pada usia lanjut saat ini masih belum jelas atau belum seluruhnya diketahui selain faktor intrinsik dan ekstrinsik seperti menurunnya ukuran masa tubuh dan naiknya lemak tubuh mengakibatkan kecenderungan timbulnya penurunan kerja insulin pada jaringan sasaran. Timbulnya gangguan toleransi glukosa pada usia lanjut semula diduga karena menurunnya sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Sementara ahli lain menemukan bahwa terjadi kenaikan kadar insulin pada 2 jam post prandial yang diduga disebabkan oleh karena adanya resistensi insulin.5. Riwayat kehamilan dengan berat badan lahir bayi >4000 gram.6. Riwayat mengalami diabetes gestasional.7. PrediabetesFaktor risiko diabetes melitus tipe 2 yang dapat dimodifikasi1. Berat badan berlebihObesitas, terutama obesitas sentral secara bermakna berhubungan dengan sindrom metabolik (dislipidemia, hiperglikemia, hipertensi), yang didasari oleh resistensi insulin. Sebagian besar pasien diabetes melitus tipe 2 mengalami obesitas, dan obesitas itu sendiri menyebabkan resistensi insulin. Namun, penderita diabetes melitus yang relatif tidak obesitas dapat mengalami hiperinsulinemia dan pengurangan kepekaan insulin, membuktikan bahwa obesitas bukan merupakan penyebab resistensi satu-satunya.18 NHANES III menyebutkan bahwa 12% orang dengan indeks masa tubuh 27 menderita diabetes melitus tipe 2. Sebanyak 80% dari penderita diabetes melitus tipe 2 mengalami obesitas. Obesitas dengan berat badan 20 % dari berat badan ideal atau BMI 25 kg/m2 adalah faktor risiko bagi seseorang untuk mengalami diabetes melitus tipe 2. Menurut ADA 2005, risiko untuk mengalami diabetes melitus tipe 2 yaitu IMT > 23 kg/m2. Tingkat prevalensi diabetes melitus tipe 2 meningkat sesuai dengan pertambahan umur dan bertambahnya indeks masa tubuh, baik pada laki-laki maupun perempuan. Pada obesitas abdominalis, terjadi pelepasan asam-asam lemak bebas secara cepat yang berasal dari lemak viseral, sehingga terjadi sirkulasi asam-asam lemak bebas di hati mengakibatkan kemampuan hati untuk mengikat dan mengekstrak insulin dari darah berkurang. Hal ini dapat menyebabkan hiperinsulinemia. Akibat lainnya adalah peningkatan glukoneogenesis dimana terjadi peningkatan glukosa darah. Efek kedua dari peningkatan asam-asam lemak bebas adalah menghambat pengambilan glukosa oleh sel otot. Dengan demikian, walaupun kadar insulin meningkat, namun glukosa darah tetap abnormal tinggi sehingga memicu terjadinya suatu resistensi fisiologis terhadap insulin.Pada obesitas, terjadi peningkatan jumlah dan ukuran sel-sel adiposa. Hal ini menyebabkan overproduksi hormon leptin, sitokin (TNF ) dimana beberapa hormon menyebabkan resistensi insulin. Sebaliknya, peningkatan jumlah dan ukuran sel-sel adiposa menyebabkan penurunan sintesis hormon adiponectin, yaitu hormon yang mempertahankan respon terhadap insulin. Resistensi insulin di jaringan adiposa meningkatkan aktivitas hormon sensitif lipase. Akibatnya terjadi peningkatan sirkulasi NEFAs. Peningkatan kadar serum NEFAs akan dibawa ke hati untuk selanjutnya diubah menjadi trigliserol dan kolesterol. Kolesterol dilepaskan sebagai VLDL Kapasitas pankreas untuk overproduksi insulin menurun sehingga terjadi peningkatan glukosa darah puasa dan penurunan toleransi glukosa. Peningkatan kadar serum NEFAs juga berkontribusi dalam resistensi insulin di otot dan hati. Awalnya pankreas mempertahankan kontrol glikemik dengan overproduksi insulin. Keadaan hiperinsulinemia dapat menstimulasi sistem saraf simpatis yang akan memicu retensi air dan natrium serta vasokonstriksi. Akibatnya terjadi peningkatan tekanan darah.2. Kurang aktivitas fisik3. HipertensiHipertensi dan beberapa medikasi yang digunakan untuk mengobatinya dapat meningkatkan risiko diabetes. Ada hubungan yang kuat antara resistensi insulin dan hipertensi. Akan tetapi masih belum jelas kondisi mana yang menyebabkan kondisi yang lain.Data lain menyebutkan bahwa peningkatan tekanan darah dapat mempengaruhi area sekresi insulin di pankreas sehingga memicu peningkatan glukosa darah. Kelompok berisiko terkena diabetes adalah yang memiliki tekanan darah 140/90 mmHg. 4. DislipidemiaGambaran dislipidemia yang sering didapatkan pada penyandang diabetes adalah peningkatan kadar trigliserida, dan penurunan kadar kolesterol HDL, sedangkan kadar kolesterol LDL normal atau sedikit meningkat.6Kadar abnormal lipid darah erat kaitannya dengan obesitas, walaupun tidak semua orang yang obesitas mengalami hiperkolesterolemia. Pada 38% pasien dengan indeks masa tubuh 27 adalah penderita hiperkolesterolemia. Framingham studi memperlihatkan bahwa untuk setiap 10% kenaikan berat badan terjadi peningkatan kolesterol sebesar 12 mg/dl. Kelompok yang memiliki risiko terkena diabetes apabila kadar HDL 35 mg atau kadar trigliserida 250mg/dl.6

D. Penatalaksanaan Diabetes Melitus1. Edukasi penderita: penting untuk mempunyai perawat pribadi, edukasi mandiri, dan lain-lain.2. Penilaian klinis: setelah menegakkan diagnosis diabetes melitus, lakukan terapi komplikasi metabolik akut dan terapi hipoglikemik seumur hidup, pemeriksaan untuk mencari kerusakan end-organ setiap 6-12 bulanpenglihatan (retinopati dan katarak), sistem kardiovaskular (denyut nadi perifer, tanda-tanda gagal jantung, hipertensi), sistem saraf (neuropati sistem saraf otonom dan/ atau saraf sensoris perifer) dan kaki (ulkus, gangren, dan infeksi). Funsi ginjal (kreatinin dan albuminuria) harus diperiksa.3. Terapi harus meminimalkan gejala dan menghindari komplikasi, dan harus memungkinkan si penderita menjalani hidup normal. Hal ini membutuhkan edukasi dan dukungan kepada si penderita. Terapi spesifik diabetes melitusa. Sarankan perubahan pola makan: usahakan mencapai berat badan ideal (karena obesitas dapat meningkatkan resistensi terhadap insulin, dan pengurangan berat badan dapat mengurangi resistensi pada diabetes tipe 2). Batasi asupan karbohidrat olahan dan perbanyak asupan karbohidrat kompleks. Kurangi asupan lemak jenuh. Hindari konsumsi alkohol yang berlebihan.7b. Obat hipoglikemik oral diindikasikan pada diabetes tipe 2 apabila diet saja tidak cukup mengontrol metabolisme.4. Insulin diberikan melalui subkutan dan digunakan pada semua pasien dengan diabetes tipe 1 dan sebagian pasien dengan diabetes tipe 2. Ada beberapa jenis insulin. Insulin rekombinan manusia adalah yang paling sering digunakan, walaupun beberapa pasien lebih memilih menggunakan insulin sapi atau babi. Sediaan yang berbeda memiliki onset dan lama kerja yang bervariasi (pendek, menengah, atau panjang). Sediaan dengan kombinasi berbeda antara lama kerja pendek dengan menengah/panjang sering digunakan.

5. Pemantauan kontrol glikemik pada penderita diabetesKontrol glikemik yang ketat meningkatkan keberhasilan dan dapat dipantau dari kadar glukosa darah. Mereka yang sedang dalam terapi dengan obat oral harus memantau glukosa darah puasa, sedangkan mereka yang sedang dalam terapi insulin harus lebih sering memeriksa kadar glukosa sewaktu mereka, misalnya sebelum makan. Pemantauan harus dilakukan lebih sering apabila pasien dalam keadaan tidak sehat. Beberapa penderita penyakit ini merasa bahwa pemantauan darah sulit dilakukan, sehingga yang digunakan adalah kadar glukosa urin, walaupun hasilnya tidak seakurat pemantauan darah karena ambang batas untuk pendeteksian glukosa dalam urin adalah antara 7 dan 12 mmol/L. Hemoglobin yang mengikat glukosa merupakan parameter yang dapat digunakan untuk memantau kontrol glikemik selama beberapa minggu.Komplikasi diabetes terjadi akibat gangguan metabolik akut (hipo- atau hiperglikemia) atau pada tahap lanjut, akibat kerusakan mikro- dan makrovaskular, di mana risikonya tergantung pada kontrol terhadap kadar glukosa dan faktor risiko vaskular konvensional.7

E. Komplikasia. Komplikasi makrovaskuler.Komplikasi makrovaskuler adalah komplikasi yang mengenai pembuluh darah arteri yang lebih besar, sehingga menyebabkan atherosklerosis. Akibat atherosklerosis antara lain timbul penyakit jantung koroner, hipertensi, stroke, dan gangren pada kaki. Penyakit pembuluh darah kecil merupakan tanda utama diabetes melitus dan membutuhkan waktu 10 tahun atau lebih untuk dapat terjadi. b. Komplikasi mikrovaskular pada diabetes antara lain:1. Penyakit mata (retinopati)Retinopati terjadi akibat penebalan membran basal kapiler, yang menyebabkan pembuluh darah mudah bocor (perdarahan dan eksudat padat), pembuluh darah tertutup (iskemia retina dan pembuluh darah baru), dan edema makula. Penatalaksanaan: pemeriksaan mata tahunan. 2. NefropatiLesi awalnya adalah hiperfiltrasi glomerulus (peningkatan laju filtrasi glomerulus) yang menyebabkan penebalan difus pada membran basal glomerulus, bermanifestasi sebagai mikroalbuminuria (albumin dalam urin 30-300 mg/hari), merupakan tanda yang sangat akurat terhadap kerusakan vaskular secara umum dan menjadi prediktor kematian akibat penyakit kardiovaskular. Penatalaksanaan: terapi antihipertensi dengan inhibitor ACE sebagai terapi pilihan utama.3. NeuropatiKeadaan ini terjadi melalui beberapa mekanisme, termasuk kerusakan pada pembuluh darah kecil yang memberi nutrisi pada saraf perifer, dan metabolisme gula yang abnormal. Ada beberapa manifestasi antara lain: neuropati sensoris perifer, mononeuropati, amiotropi, neuropati autonom. Penatalaksanaan: terapi biasanya tidak memuaskan dan bersifat suportif saja.

2.3. Aging dan PermasalahannyaA. Definisi LansiaOrganisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lansia menjadi 4 yaitu : usia pertengahan (middle age) adalah 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) adalah 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) adalah 75-90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun. Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa lansia adalah seseorang yang berusia 60 tahun keatas baik pria maupun wanita, yang masih aktif beraktifitas dan bekerja ataupun mereka yang tidak berdaya untuk mencari nafkah sendiri sehinga bergantung kepada orang lain untuk menghidupi dirinya. Pada individu usia lanjut, kesehatan dan status fungsional ditentukan oleh resultan dari faktor-faktor fisik, psikologis, dan sosioekonomi individu tersebut. Oleh karena itu biasanya penyakit yang timbul pada usia lanjut akan berbeda perjalanan dan penampilannya dengan yang terdapat pada populasi lain sehingga pelayanan kesehatan pada usia lanjut akan berbeda dengan pelayanan kesehatan pada golongan populasi lain.

B. Proses MenuaMenua didefinisikan sebagai penurunan, kelemahan, meningkatknya kerentanan terhadap berbagai penyakit dan perubahan lingkungan, hilangnya mobilitas dan ketangkasan, serta perubahan fisiologis yang terkait dengan usia. Penuaan adalah suatu proses normal yang ditandai dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan dan terjadi pada emua orang pada saat mereka mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu.Terkait dengan perubahan fisik, terjadi perubahan pada system persarafan lansia yaitu berat otak menurun atau mengalami penyusutan (atropi) sebesar 10-20% seiring dengan penuaan, dan hal ini berkurang setiap hari. Hal ini dikarenakan terjadinya penurunan jumlah sel otak.

C. PermasalahannyaDalam bidang geriatrik dikenal beberapa masalah kesehatan yang sering dijumpai baik mengenai fisik atau psikis pasien usia lanjut. Masalah pada geriatric dikenal dengan 13 i yang terdiri dari Immobility (imobilitas), Instability (instabilitas dan jatuh), Intelectual impairement (gangguan intelektual seperti demensia dan delirium), Incontinence (Inkontinensia urin dan alvi), Isolation(depresi), Impotence (impotensi), Immuno-deficiency (penurunan imunitas), Infection (infeksi), Inanition (malnutrisi), Impaction (konstipasi), Insomnia (gangguan tidur), Iatogenic disorder (gangguan iatogenik) dan Impairement of hearing, vision and smell (gangguan pendengaran, penglihatan dan penciuman).

DAFTAR PUSTAKA

1. Dewanto G, Suwono W.J, Riyanto B, Turana Y. Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC. 2009. Hal: 118-1202. Gupta R. Herpes zoster and post herpetic neuralgia. 2012. Diunduh dari http://ceaccp.oxfordjournals.org/content/12/4/181.full pada tanggal 13 Juli 2015.3. Martodihardjo S. Penanganan Herpes Zoster dan Herpes Progenitalis. Ilmu Penyakit kulit dan Kelamin. Surabaya: Airlangga University Press, 20014. Meliala L. Neuralgia Pasca Herpes. Nyeri Neuropatik patofisiologi dan penatalaksanaan. Kelompok studi nyeri Perdossi 2001.5. Martin. Neuralgia Paska Herpetika. Jakarta 2008. Diunduh dari http://perdossijaya.org/perdossijaya/index.php?view=article&catid=43%3Apaper&id pada tanggal 13 Juli 2015.6. Dainel WF. Diabetes Mellitus in Harrisons Principles of Internal Medicine. Jakarta. Hal 2212-22137. Suyono, Slamet. Diabetes Melitus di Indonesia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, Editor. Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI. 2006; 1852-1856.8. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W. Metabolik Endokrin. Dalam: Kapita Selekta, Jilid I. Edisi III. Jakarta: Media Aesculapius FK UI. 1999; 580-590