Top Banner
BAB II LANDASAN TEORI 2.1.Regulasi Emosi 2.1.1. Definisi Regulasi Emosi Walden dan Smith (dalam Eisenberg, Fabes, Reiser & Guthrie, 2000) menjelaskan bahwa regulasi emosi merupakan proses menerima, mempertahankan dan mengendalikan suatu kejadian, intensitas dan lamanya emosi dirasakan, proses fisiologis yang berhubungan dengan emosi, ekspresi wajah serta perilaku yang dapat diobservasi. Thompson (dalam Eisenberg, Fabes, Reiser & Guthrie, 2000) mengatakan bahwa regulasi emosi terdiri dari proses intrinsik dan ekstrinsik yang bertanggung jawab untuk mengenal, memonitor, mengevaluasi dan membatasi respon emosi khususnya intensitas dan bentuk reaksinya untuk mencapai suatu tujuan. Regulasi emosi yang efektif meliputi kemampuan secara fleksibel mengelola emosi sesuai dengan tuntutan lingkungan. Kemudian, Gottman dan Katz (dalam Wilson, 1999) regulasi emosi merujuk pada kemampuan untuk menghalangi perilaku tidak tepat akibat kuatnya intensitas emosi positif atau negatif yang dirasakan, dapat menenangkan diri dari pengaruh psikologis yang timbul akibat intensitas yang kuat dari emosi, dapat memusatkan perhatian kembali dan mengorganisir diri sendiri untuk mengatur perilaku yang tepat untuk mencapai suatu tujuan.
25

BAB II LANDASAN TEORI 2.1.Regulasi Emosi 2.1.1. Regulasi Emosi

Oct 03, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
mempertahankan dan mengendalikan suatu kejadian, intensitas dan
lamanya emosi dirasakan, proses fisiologis yang berhubungan dengan
emosi, ekspresi wajah serta perilaku yang dapat diobservasi.
Thompson (dalam Eisenberg, Fabes, Reiser & Guthrie, 2000)
mengatakan bahwa regulasi emosi terdiri dari proses intrinsik dan ekstrinsik
yang bertanggung jawab untuk mengenal, memonitor, mengevaluasi dan
membatasi respon emosi khususnya intensitas dan bentuk reaksinya untuk
mencapai suatu tujuan. Regulasi emosi yang efektif meliputi kemampuan
secara fleksibel mengelola emosi sesuai dengan tuntutan lingkungan.
Kemudian, Gottman dan Katz (dalam Wilson, 1999) regulasi
emosi merujuk pada kemampuan untuk menghalangi perilaku tidak tepat
akibat kuatnya intensitas emosi positif atau negatif yang dirasakan, dapat
menenangkan diri dari pengaruh psikologis yang timbul akibat intensitas
yang kuat dari emosi, dapat memusatkan perhatian kembali dan
mengorganisir diri sendiri untuk mengatur perilaku yang tepat untuk
mencapai suatu tujuan.
yang digunakan oleh individu secara disadari atau pun tidak untuk
meningkatkan, mengelola, atau menurunkan satu atau lebih komponen dari
respon emosi. Komponen-komponen yang Gross maksud adalah
experiential component (perasaan subjektif tentang emosi), komponen
perilaku (respon perilaku), dan komponen fisiologis (seperti detak jantung,
tekanan darah).
Menurut Gratz dan Roemer (2004) ada empat aspek yang digunakan
untuk menentukan kemampuan regulasi emosi seseorang yaitu :
a. Strategies to emotion regulation (strategies) ialah keyakinan individu
untuk dapat mengatasi suatu masalah, memiliki kemampuan untuk
menemukan suatu cara yang dapat mengurangi emosi negatif dan dapat
dengan cepat menenangkan diri kembali setelah merasakan emosi yang
berlebihan.
b. Engaging in goal directed behavior (goals) ialah kemampuan individu
untuk tidak terpengaruh oleh emosi negatif yang dirasakannya sehingga
dapat tetap berpikir dan melakukan sesuatu dengan baik.
c. Control emotional responses (impulse) ialah kemampuan individu
untuk dapat mengontrol emosi yang dirasakannya dan respon emosi yang
ditampilkan (respon fisiologis, tingkah laku dan nada suara), sehingga
individu tidak akan merasakan emosi yang berlebihan dan menunjukkan
respon emosi yang tepat.
2.1.3. Strategi Regulasi Emosi
tingkat respon emosi yang diinginkannya dan strategi ini membentuk proses.
Gross secara luas membagi strategi-strategi emosi menjadi dua yaitu strategi
regulasi emosi antecedent-focused dan response-focused.
Strategi antecedent-focused dibagi menjadi empat strategi yaitu
situation selection, situation modification, attentional deployment, dan
cognitive change, sedangkan strategi response-focused dibagi menjadi satu
strategi saja yaitu response modulation, maka dari itu proses regulasi emosi
menjadi ada lima strategi.
Strategi antecedent-focused mengacu pada apa yang kita lakukan
saat emosi muncul dan terjadi sebelum kita memberi respon baik perilaku dan
fisiologis terhadap emosi (Gross, 2001). Strategi antecedent-focused
mengubah cara berpikir individu menjadi lebih positif dalam menafsirkan atau
menginterpretasi suatu peristiwa yang menimbulkan emosi. Strategi
antecedent-focused dapat mengurangi pengaruh kuat dari emosi sehingga
respon yang ditampilkan oleh individu tidak berlebihan. Salah satu bentuk
strategi ini adalah cognitive reappraisal. Reappraisal adalah individu menilai
atau mengevaluasi kembali secara kognitif situasi yang memunculkan emosi
untuk mengurangi pengaruh emosi pada diri individu .Contohnya, individu
memandang bahwa wawancara penerimaan mahasiswa baru sebagai
kesempatan baginya untuk melihat seberapa besar ia tertarik dengan perguruan
tinggi yang diinginkan dibanding melihat wawancara tersebut sebagai sebuah
ujian.
setelah emosi telah muncul, dengan cara menghambat ekspresi emosi yang
berlebihan, seperti ekspresi wajah, nada suara, dan perilaku. Strategii respon-
focused efektif untuk menghambat respon emosi yang berlebihan, namun tidak
membantu mengurangi emosi yang dirasakan. Individu yang sering
menggunakan respon-focused strategy membuat seseorang menjadi tidak jujur
dengan dirinya sendiri dan orang lain tentang apa yang mereka rasakan serta
akan menimbulkan perasaan negatif, daripada individu yang menggunakan
strategi antecedent focused. Salah satu bentuk strategi ini terdapat pada sub
strategi response modulation, yaitu suppression. Suppresion berarti bahwa
individu menghambat perilaku yang mengekspresikan emosi yang sedang
dirasakan. Contohnya, kita mengekspresikan muka yang sulit ditebak ketika
bermain kartu dan kartu yang kita miliki bagus-bagus. Penelitian membuktikan
bahwa antecedent focused strategy lebih efektif sebagai strategi regulasi emosi
daripada respon-focused strategy
dan response-focused adalah :
Strategi ini melibatkan pemilihan situasi yang sesuai dengan tingkat
respon emosi yang individu inginkan.Pada tahap ini individu dapat
memilih situasi yang diperkirakan akan memunculkan emosi yang
diharapkan atau tidak diharapkan. Contohnya adalah memilih untuk diam
di rumah daripada keluar rumah dan bertemu dengan tetangga yang
menyebalkan, contoh lainnya adalah memilih teman yang nyaman untuk
diajak bercerita dan menumpahkan segala kesedihan.
2. Modifikasi Situasi (Situation Modification)
Yaitu memodifikasi atau mengubah secara langsung sebuah situasi
sehingga mengubah dampak emosional. Ketika orang tua mengunjungi
anaknya di indekos, modifikasi situasi mungkin bisa dalam berbentuk
menyembunyikan cucian kotor. Atau memindahkan saluran TV ke saluran
lain ketika ternyata saluran TV sebelumnya menampilkan acara yang
membosankan. Terkadang sulit membedakan antara situation selection
dan situation modification. Modifikasi situasi lebih digunakan untuk
memodifikasi lingkungan fisik.
3. Attentional Deployment
ada untuk mempengaruhi emosi seseorang agar menghindari timbulnya
emosi yang berlebihan. Salah satu bentuk yang umum dari strategi ini
adalah distraction, yang memfokuskan perhatian pada aspek lain dari
situasi atau memindahkan perhatian dari sebuah situasi secara
keseluruhan. Distraction bisa saja mengubah perhatian internal, seperti
ketika individu mengingat memori atau pikiran lain yang dapat membantu
emosi yang sedang dirasakan. (Thiruchselvam, Hajcak, & Gross, 2012).
Contoh lainnya adalah ketika agar tidak cemas saat interview pekerjaan,
individu mengalihkan perhatian dengan menonton video di telepon
genggamnya.
Yaitu mengubah bagaimana individu menilai sebuah situasi sehingga
mengubah arti atau makna emosi, baik dengan mengubah bagaimana
individu berpikir tentang sebuah situasi atau mengubah kapasitas individu
dalam mengelola tuntutan. Cognitive change diaplikasikan pada situasi
internal seperti mengatakan pada diri sendiri,”Saya tidak cemas, saya akan
bermain yang terbaik.”, dan terkadang diaplikasikan pada situasi eksternal
seperti mengatakan bahwa, “Wawancara kerja ini merupakan kesempatan
bagi saya untuk belajar lebih banyak tentang perusahaan.”
Salah satu bentuk cognitive change adalah reappraisal. Seperti yang sudah
dijelaskan, reappraisal yaitu penilaian atau evaluasi kembali secara
kognitif situasi yang potensial menimbulkan emosi untuk mengurangi
pengaruh emosi (Gross,2001). Reappraisal sering digunakan untuk
menurunkan emosi negatif, tapi juga dapat digunakan untuk meningkatkan
dan menurunkan emosi negatif ataupun positif (Samson & Gross, 2012).
Contohnya adalah ketika individu kalah dalam pertandingan tennis, ia
menyalahkan cuaca daripada karena kemampuannya.
5. Response Modulation
laku,pengalaman, fisiologis dari respon emosi. Artiya response
modulation merupakan tindakan mengubah respon yang sebelumnya akan
dilakukan terhadap situasi yang terjadi dengan respon yang baru, yang bisa
saja intensitasnya lebih tinggi atau lebih rendah dari sebelumnya.
Response Modulation terjadi pada akhir proses sesudah kecenderungan
respon telah ada. Bentuk lain dari response modulation adalah supresi,
yang mana individu mencoba untuk menghalangi ekspresi perilaku emosi
positif ataupun negatif (Gross, 2001). Contohnya adalah individu
menyembunyikan kegugupan saat presentasi.
Gross (2007) menjelaskan ada faktor yang mempengaruhi
kemampuan regulasi emosi seseorang, yaitu :
1. Genetik
Penelitian lain juga menemukan bahwa variasi genetic 5-HTT
mempengaruhi tempramen dan affect individu.
2. Usia
semakin baik pula regulasi emosinya. Penelitian ini dilakukan dengan
merangking usia partisipan mulai dari 18-94 tahun, dan setiap
partisipan diminta untuk melaporkan emosi yang dialaminya, hasilnya
menunjukkan bahwa kontrol emosi semakin baik dengan bertambahnya
usia
emosinya. Seseorang yang tinggi tingkat religiusitasnya akan berusaha
untuk menampilkan emosi yang tidak berlebihan bila dibandingkan
dengan orang yang tingkat religiusitasnya rendah.
4. Gaya pengasuhan
dikarenakan orang tua memiliki perbedaan dalam memandang
bagaimana cara mengekspresikan emosi. Ada orang tua yang
mengajarkan anaknya menggunakan strategi regulasi emosi
reappraisal dan ada orang tua yang mengajarkan anaknya
menggunakan strategi regulasi suppression.
forgiveness atau pemaafan sebagai transformasi motivasi yang cenderung
menghalangi individu untuk merespon destruktif dan menjadi berperilaku
konstruktif terhadap individu lainnya yang telah berperilaku destruktif
terhadapnya.
sebagai sikap untuk mengatasi hal-hal yang negatif dan penghakiman terhadap
orang yang bersalah dengan tidak menyangkal rasa sakit itu sendiri tetapi
dengan rasa kasihan, iba dan cinta kepada pihak yang menyakiti.
Kemudian Hangrave dan Sells berpendapat bahwa memaafkan merujuk
pada terlepasnya seseorang dari kemarahan terhadap panca indera, serta
kesembuhan terhadap luka-luka hati, dan tidak ada balas dendam. Ada unsur
melepaskan diri dari kemarahan dan terciptanya kembali hubungan, yang
berarti adanya rekonsiliasi dengan munculnya kepercayaan, sembuhnya luka,
dan kehilangan motivasi balas dendam. Dapat diartikan juga memaafkan tidak
hanya terjadi di tahap afeksi namun di tahap perilaku juga yang mana korban
berani membangun kembali sebuah hubungan dengan situasi yang lebih baik.
Pada tahun 2002, Rye dan Pargament (dalam Wade &Worthington,
2005) mendefinisikan forgiveness sebagai tindakan untuk mengatasi perasaan
negatif (misalnya permusuhan), kognisi negatif (misalnya pikiran untuk
membalas dendam), dan perilaku negatif (misalnya agresi verbal) saat terjadi
ketidakadilan pada dirinya, dan mungkin juga melibatkan respon positif
(misalnya kasih sayang) pada pelaku.
Berdasarkan uraian diatas dapat dilihat bahwa forgiveness adalah suatu
sikap dan tindakan yang dilakukan oleh individu kepada individu lain yang
memperlakukannya dengan kurang adil dan baik dengan cara
memperlakukannya dengan baik dan positif serta tidak bersikap dan berperilaku
negatif padanya.
1. Revenge Motivation
menyakiti. Individu merasa marah, benci, penuh dengan emosi negatif lainnya
sehingga muncul rasa dendam dan keinginan untuk membalas. Aspek ini
adalah aspek negatif dari forgiveness. Artinya, jika aspek ini tinggi maka
semakin jauh dari pemberian forgiveness, sedangkan jika rendah maka akan
semakin dekat dengan pemberian forgiveness oleh seseorang
2. Avoidance Motivation
Sama seperti revenge motivation, jika motivasi ini tinggi maka individu
cenderung tidak memberikan forgiveness bagi pihak yang menyakitinya, dan
berlaku juga sebaliknya.
3. Benevolence Motivation
Ditandai dengan adanya motivasi untuk berbuat baik dan positif terhadap
pihak yang telah menyakitinya. Dengan empati dan berkomunikasi yang baik,
hal ini dapat dicapai. Benevolence merupakan aspek positif dari forgiveness,
artinya jika motivasi ini tinggi maka individu lebih dekat untuk memberikan
forgiveness pada orang lain.
McCullough dkk (1998) dalam Journal of Personality and Social
Psychology mengatakan bahwa faktor-faktor yang dapat menentukan dan
mempengaruhi individu dalam memberikan forgiveness pada orang lain adalah:
1. Social Cognitive Determinant
Empati afeksi terhadap pihak yang menyakiti muncul menjadi salah satu faktor
penentu sosial kognitif dari seseorang untuk menentukan apakah ia akan
memaafkan atau tidak. Forgiveness juga dapat muncul dengan difasilitasi oleh
sejumlah variabel atribusi seperti penilaian dari tanggung jawab dan yang
menyalahkan, penghayatan tentang apakah peristiwa ini disengaja atau tidak,
kekerasan, (Girard & Mullet, 1997; Weiner, 1995),dan pencegahan dari
perlawanan (Boon & Sulsky, 1997)
menerus mengingat kejadian yang dapat menimbulkan kemarahan dapat
menghalangi dirinya untuk memaafkan. Orang yang mengingat kejadian-kejadian
menyakitkan membuat semakin meningkatnya motivasi menghindar dan balas
dendam terhadap pelaku.
2. Offense-Related Determinants of Forgiving
Faktor ini berkaitan dengan persepsi dari kadar penderitaan yang dialami oleh
orang yang disakiti serta konsekuensi yang menyertainya.Seseorang akan lebih sulit
untuk memaafkan kejadian-kejadian yang dianggap penting dan bermakna dalam
hidupnya. Zechmeister, Garcia,Romero & Vas (2004) menyatakan bahwa seberapa
besar kadar penderitaanyang dialami akan menentukan tingkat hukuman bagi
pelaku, harga gantirugi bahkan memutuskan untuk tidak memaafkan. Selain itu,
kadar penderitaan ini juga mempengaruhi korban dalam menginterpretasikan
permintaan maaf. Permintaan maaf yang disertai dengan perilaku sangat
menyakitkan tidak terlalu mengurangi penilaian negatif korban terhadap pelaku
3. Relational Determinants of Forgiving
Faktor lain yang sangat mempengaruhi forgiveness adalah kedekatan atau
hubungan antara orang yang disakiti dengan pelaku. Menurut McCullough (2000)
seseorang akan sangat memungkinkan untuk memaafkan dalam hubungan yang
dicirikan dengan closeness, commitment, dan satisfaction. Pasangan-pasangan yang
memiliki kualitas hubungan seperti ini akan lebih siap untuk memaafkan satu sama
lain jika terjadi serangan interpersonal.
Menurut Rusbult, et al., & Van Lange, et al., (dalam Pertiwi, 2004) terdapat
empat hal yang mempengaruhi forgiveness terhadap pasangan. Pertama, pasangan
akan memaafkan kesalahan yang dilakukan oleh pasangannya dikarenakan adanya
keinginan untuk tetap menjaga dan memelihara hubungan perkawinan. Kedua,
pasangan yang memiliki komitmen kuat dalam perkawinan akan memilki orientasi
jangka panjang yang jelas dan yang ingin dicapai, sehingga kesalahan pasangan
akan dinilai sebagai sesuatu yang harus dimaafkan untuk dapat mempertahankan
hubungan dan komitmen tersebut. Ketiga, pada pasangan yang memiliki komitmen
kuat dalam perkawinan, kesalahan pasangan justru menyebabkanhubungan satu
sama lainnya semakin erat dan kokoh. Keempat, adanya kepentingan bersama
antara pasangan, sehingga kesalahan pasangan akandapat dimaafkan oleh
pasangannya.
Determinan ini dapat mempengaruhi forgiveness dengan fasilitas dari relational
styles atau kecenderungan seseorang dalam pengalaman berfikirnya atau sikapnya
dalam menanggapi konflik atau pelaku. Kemudian penelitian terdahulu menemukan
bawa watak untuk memaafkan orang lain ada pada faktor Agreeableness dari Teori
The Big Five (Mauger, Saxon, Hamill, & Pannell, 1996). Kemudian variabel
lainnya seperti dissipation-rumination, sikap terhadap balas dendam, dan gaya yang
sering digunakan dalam merespon kemarahan. Lalu variabel seperti religiusitas
mungkin menguatkan padangan tentang forgiveness sebagai sesuatu yang normatif
untuk menyelesaikan permasalahan interpersonal.
menjadi faktor yang penting dalam forgiveness sebagai mediator dalam memaafkan
.Empati (menurut McCullough (2000) adalah kemampuan untuk memahami atau
melihat sudut pandang orang lain yang berbeda dari sudut pandang diri sendiri dan
mencoba untuk mengerti faktor apa yang melatarbelakangi perilaku seseorang),
narcissism (berhubungan negatif dengan forgiveness), pride (orang yang bangga
akan diri sendiri akan sulit memaafkan), rasa bersalah dan malu, serta faktor agama.
2.2.4. Manfaat Forgiveness
(Zechmeister, 2004), tingginya tekanan darah, dan masalah jantung (Enright,2005).
Worthington (dalam Lucia, 2005) juga mengatakan bahwa setiap kali seseorang
merasa tidak memaafkan, ia menjadi lebih beresiko terkena masalah kesehatan. Di
sisi lain, forgiveness, dapat menurunkan anxiety dan depresi, serta bermanfaat bagi
kesehatan fisik (Enright, 2005; Zechmeister, 2004). Forgiveness dapat mengurangi
resiko terkena masalah jantung serta mengurangi permusuhan dan distress yang
dirasakan seseorang (Lucia, 2005). Forgiveness juga bermanfaat sebagai
mekanisme penyembuhan dan resiliensi terhadap trauma (Orcutt dalam
Worthington, 1999). Orang yang forgive lebih mungkin mempunyai hubungan
romantis dan persaudaraan yang stabil daripada orang yang unforgive
(Worthington, 1998). Perasaan dendam dan sakit hati dalam suatu hubungan intim
atau hubungan dekat dengan orang lain dapat mengganggu hubungan tersebut.
Melepas rasa tidak senang dan usaha untuk forgive merupakan satu hal yang penting
untuk mempertahankan kedekatan dan hubungan intim dengan orang lain
(Corey&Corey, 2006). Memiliki fisik, emosi, dan sosial yang sehat menuntun
seseorang ke arah hidup yang lebih bahagia seperti yang dikemukakan oleh
Konstam (2000) bahwa selain dapat memperbaiki hubungan interpersonal,
forgiveness dapat meningkatkan kesejahteraan (well-being)
2.3. Emerging Adulthood
pada usia 18-25 tahun (Arnet, 2006). Emerging adulthood merupakan masa
beranjak dewasa yang ditandai oleh adanya eksperimen dan eksplorasi (Santrock,
2012). Pada titik ini dalam perkembangan mereka, banyak individu masih
mengeksplorasi jalur karier yang ingin mereka ambil, ingin menjadi individu seperti
apa, dan gaya hidup seperti apa yang mereka inginkan (Santrock, 2012). Individu
yang berada tahap ini telah meninggalkan masa remaja namun belum sepenuhnya
menanggung tanggung jawab sebagai seseorang yang dewasa. Pada masa ini
sesuatu yang berar terjadi pada remaja akhir dan usia 20 awal yang mana pengaruh
penting pada jalur perkembangan saat dewasa, sehingga individu harus
menyelesaikan segala tuntutan pada tahap emerging adulthood ini (Arnet, 2006)
2.3.2. Karakteristik Emerging Adulthood
tahap perkembangan lainnya (Arnett, 2006) yaitu :
1. Masa Eksplorasi Identitas ( The Age of Identity Explorations)
Khususnya dalam relasi romantis dan pekerjaan. Pada masa ini adalah masa
di mana di dalam diri sebagian besar individu terjadi perubahan penting yang
menyangkut identitas. (Santrock, 2012) Individu mengembangkan identitas tertentu
untuk memahami siapa mereka, apa kemampuan dan keterbatasan mereka, apa nilai
dan kepercayaan mereka, dan bagaimana mereka menyesuaikan diri dengan
masyarakat sekitar mereka.
Kehidupan dari emerging adult sering tidak stabil dalam cinta, pendidikan
dan pekerjaan,. Pada periode emerging adulthood, kecemasan seperti yang terjadi
pada saat remaja telah berkurang. Akan tetapi, ketidakstabilan pun muncul sebagai
kekacauan baru dalam periode kehidupan seseorang.
3. Masa Fokus Pada Diri Sendiri ( The Self-Focused Age)
Pada tahap emerging adulthood, individu fokus pada diri sendiri seperti
mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman diri yang akan
mereka butuhkan saat dewasa nanti. Arnett (2006) mengatakan bahwa mereka
memiliki otonomi yang besar dalam mengatur kehidupannya sendiri. Individu juga
belajar untuk membuat keputusan mandiri tentang segalanya dari hal terkecil
hingga yang besar. Emerging adulthood adalah masa diantara remaja bergantung
pada orang tua dan komitmen jangka panjang dalam cinta dan pekerjaan sebagai
orang dewasa.
4. Masa Merasa di Antara Remaja dan Dewasa ( The Age of Feeling in
Between)
Maksudnya adalah pada tahapan ini, individu merasa bahwa mereka pada
bukan remaja lagi namun belum sepenuhnya menjadi orang yang dewasa. Individu
beranggapan seperti itu karena untuk menjadi dewasa, ia harus memenuhi kriteria-
kriteria sebagai orang dewasa.
Maksudnya adalah masa dimana banyak kemungkinan masa depan. Lalu
masa dimana individu membuat keyakinan dan harapan yang besar dalam sebagian
hal karena sebagian mimpi mereka sudah dibuktikan dalam kehidupan nyata.
Arnett (2006) menggambarkan dua cara dimana masa emerging adulthood
merupakan usia yang memiliki berbagai kemungkinan. Pertama, banyak orang yang
sedang beranjak dewasa yang optimis dengan masa depannya, dan yang kedua bagi
mereka yang mengalami kesulitan ketika bertumbuh besar, masa emerging
adulthood merupakan sebuah kesempatan untuk mengarahkan kehidupan mereka
ke arah yang lebih positif.
2.4. Pacaran
hubungan dimana dua orang bertemu dan melakukan serangkaian aktivitas bersama
agar dapat saling mengenal satu sama lain. Menurut Bowman (1978) pacaran
adalah kegiatan bersenang-senang antara pria dan wanita yang belum menikah,
dimana hal ini akan menjadi dasar utama yang dapat memberikan pengaruh timbal
balik untuk hubungan selanjutnya sebelum pernikahan di Amerika.
Menurut Saxton (dalam Bowman, 1978), pacaran adalah suatu peristiwa
yang telah direncanakan dan meliputi berbagai aktivitas bersama antara dua orang
(biasanya dilakukan oleh kaum muda yang belum menikah dan berlainan jenis).
Kyns (1989) menambahkan bahwa pacaran adalah hubungan antara dua orang yang
berlawanan jenis dan mereka memiliki keterikatan emosi, dimana hubungan ini
didasarkan karena adanya perasaan-perasaan tertentu dalam hati masing-masing.
Menurut Reiss (dalam Duvall & Miller, 1985) pacaran adalah hubungan antara pria
dan wanita yang diwarnai keintiman. Menurut Papalia, Olds & Feldman (2004),
keintiman meliputi adanya rasa kepemilikan. Adanya keterbukaan untuk
mengungkapkan informasi penting mengenai diri pribadi kepada orang lain (self
disclosure) menjadi elemen utama dari keintiman.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa
pacaran adalah serangkaian aktivitas bersama yang diwarnai keintiman (seperti
adanya rasa kepemilikan dan keterbukaan diri) serta adanya keterikatan emosi
antara pria dan wanita yang belum menikah dengan tujuan untuk saling mengenal
dan melihat kesesuaian antara satu sama lain sebagai pertimbangan sebelum
menikah.
Pacaran merupakan fenomena yang relatif baru, sistem ini baru muncul
setelah perang dunia pertama terjadi. Hubungan pria dan wanita sebelum
munculnya pacaran dilakukan secara formal, dimana pria datang mengunjungi
pihak wanita dan keluarganya (dalam DeGenova & Rice, 2005).
Menurut DeGenova & Rice (2005), proses pacaran mulai muncul sejak
pernikahan mulai menjadi keputusan secara individual dibandingkan keluarga dan
sejak adanya rasa cinta dan saling ketertarikan satu sama lain antara pria dan
wanita mulai menjadi dasar utama seseorang untuk menikah.
Tahun 1700 dan 1800, pertemuan pria dan wanita yang dilakukan secara kebetulan
tanpa mendapat pengawasan akan mendapat hukuman. Wanita tidak akan pergi
sendiri untuk menjumpai pria begitu saja dan tanpa memilih-milih. Pria yang
memiliki keinginan untuk menjalin hubungan dengan seorang wanita maka ia harus
menjumpai keluarga wanita tersebut, secara formal memperkenalkan diri dan
meminta izin untuk berhubungan dengan wanita tersebut sebelum mereka dapat
melangkah ke hubungan yang lebih jauh lagi. Orangtua memiliki pengaruh yang
sangat kuat, lebih dari yang dapat dilihat oleh seorang anak dalam
mempertimbangkan keputusan untuk sebuah pernikahan.
2.4.3. Tipe Pacaran
yaitu:
1. Pacaran Jarak Dekat (Proximal Relationship) adalah suatu hubungan
pacaran dimana pasangan tidak dipisahkan oleh jarak yang jauh oleh karena
itu kedekatan fisik dimungkinkan.
dimana pasangan dipisahkan oleh jarak yang cukup jauh sehingga tidak
memungkinkan adanya kedekatan fisik untuk periode waktu tertentu.
2.4.4. Alasan Pacaran
individu-individu berpacaran, antara lain:
Satu alasan bagi pasangan untuk keluar secara sederhana adalah untuk
bersantai-santai, menikmati diri mereka sendiri dan memperoleh kesenangan.
Pacaran merupakan suatu bentuk hiburan an ini jugalah yang
menjadi tujuan akhir dari pacaran itu sendiri.
2. Pacaran memberikan pertemanan, persahabatan dan keintiman
pribadi.
mengembangkan kedekatan dan hubungan yang intim melalui pacaran.
3. Pacaran adalah bentuk sosialisasi.
Pacaran membantu seseorang untuk mempelajari kealian-keahlian sosial,
menambah kepercayaan diri dan ketenangan, dan mulai menjadi ahli
dalam seni berbicara, bekerjasama, dan perhatian terhadap orang lain.
4. Pacaran berkontribusi untuk pengembangan kepribadian.
Salah satu cara bagi individu untuk mengembangkan identitas diri mereka
adalah melalui berhubungan dengan orang lain. Kesuksesan seseorang dalam
pengalaman berpacaran merupakan bagian dari perkembangan kepribadian. Satu
dari alasan-alasan kaum muda berpacaran adalah karena
hubungan tersebut memberi mereka keamanan dan perasaan dihargai secara
pribadi.
Peran gender harus dipraktekkan dalam situasi kehidupan nyata dengan
pasangan. Banyak wanita saat ini menyadari bahwa mereka tidak dapat menerima
peran tradisionalnya yang pasif; pacaran membantu mereka mengetahui hal ini dan
belajar jenis peran apa saja yang mereka temukan dalam hubungan yang dekat.
6. Pacaran adalah cara untuk memenuhi kebutuhan akan cinta dan kasih
sayang.
Kebutuhan akan kasih sayang ini merupakan satu dari motif utama
orang berpacaran.
seksual.
jumlah kaum muda yang semakin tertarik untuk melakukan hubungan intim
(Michael dalam DeGenova & Rice, 2005).
8. Pacaran adalah cara untuk menyeleksi pasangan hidup.
Kesesuaian dari seleksi pasangan menganjurkan agar individu-individu
yang memiliki kecocokan yang baik dalam karakteristik-karakteristik pokok untuk
dapat menikah satu sama lain karena kecocokan dapat meningkatkan kemungkinan
bahwa mereka akan mampu membentuk hubungan yang saling memuaskan.
9. Pacaran mempersiapkan individu menuju pernikahan.
Pacaran dapat mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang sikap
dan perilaku pasangan satu sama lain; pasangan dapat belajar bagaimana cara
mempertahankan hubungan dan bagaimana mendiskusikan dan menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang terjadi. Duvall & Miller (1985) menambahkan
beberapa alasan lain mengapa orang-orang berpacaran, yakni bahwa pacaran dilihat
sebagai sesuatu yang menyenangkan dan menghibur. Beberapa orang berpacaran
karena begitulah yang semua orang lakukan. Seseorang berpacaran karena itulah
yang diharapkan; jika tidak pacaran, orang akan mengira ada yang salah pada
dirinya. Tekanan sosial dan penghindaran dari kritik sosial juga menjadi alasan
orang berpacaran. Bahkan banyak lagi orang yang tidak tahu mengapa mereka
berpacaran. Pacaran hanya dijadikan sebagai sebuah cara untuk melewati masa
antara pubertas dan dewasa awal.
2.5. Perselingkuhan
Salah satu bentuk pengkhianatan dalam relasi berpacaran adalah
perselingkuhan. Definisi perselingkuhan dikemukakan oleh Blow dan Hartnett
(dalam McAnulty &Brineman, 2007), perselingkuhan adalah kegiatan seksual
dan/atau emosional yang dilakukan oleh salah satu atau kedua individu yang terikat
dalam hubungan berkomitmen dan dianggap melanggar kepercayaan dan/atau
norma-norma (yang terlihat maupun tidak terlihat) yang berhubungan dengan
eksklusivitas emosional atau seksual.
disebut sebagai dating infidelity. Dating infidelity memiliki definisi sebagai adanya
perasaan bahwa pasangan telah melanggar norma dalam pacaran, yang berkaitan
dengan interaksi terhadap orang lain dan diikuti timbulnya kecemburuan dan
persaingan. Infidelity sendiri secara harfiah memiliki arti sebagai ketidakjujuran,
pengkhianatan dan ketidaksetiaan. Jika infidelity dihubungkan dengan intimate
relationship, infidelity mengacu pada adanya perasaan bahwa pasangan telah
melanggar kepercayaan dan norma-norma dalam suatu hubungan baik yang terlihat
(overt) maupun yang tidak terlihat (covert), dimana hal ini berkenaan dengan
interaksi terhadap orang lain dan diikuti oleh munculnya kecemburuan dan
persaingan atau yang biasa disebut dengan selingkuh. Infidelity juga mengacu pada
segala bentuk tingkah laku yang menyebabkan rusaknya kontrak yang dimiliki dua
orang yang saling memiliki (Lusterman, 1998).
Menurut Spring (2000) mengatakan bahwa perselingkuhan itu adalah apa
yang menjadi masalah bagi individu, jadi ketika makan dan jalan-jalan saja sudah
dianggap masalah untuk individu itu, maka hal tersebut dapat dikatakan sebagai
perselingkuhan
perselingkuhan seksual (Shackelford, LeBlanc, & Drass, 2000). Perselingkuhan
seksual adalah kegiatan seksual yang dilakukan dengan orang lain selain pasangan,
sedangkan perselingkuhan emosional adalah memberikan cinta, waktu, dan
perhatian kepada orang lain selain pasangan (Shackelford, LeBlanc, &Drass, 2000).
Kemudian menurut Thompson (1984) ada tiga tipe infidelity, yaitu:
1. Emotional infidelity
menghabiskan waktu serta pergi berkencan dengan orang lain selain pasangannya.
Termasuk dalam kategori ini bila hubungan perselingkuhan tersebut melibatkan
keintiman (intimacy) dan terjadi self disclosure, dimana individu mengungkapkan
pikiran, perasaan, pengalaman masa lalu dengan orang lain, sehingga terjadi
pengenalan atau pemahaman lebih jauh tentang diri individu tersebut.
2. Sexual infidelity
Tingkah laku yang termasuk perselingkuhan seksual tidak hanya melibatkan sexual
intercouse, melainkan memiliki rentang keintiman seksual dari touching sampai
dengan sexual intercourse.