Top Banner
49 BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR Bab inimerupakan bab yang memaparkan mengenai landasan teoritis, konseptual, dankerangka berpikir. Teori yang dipakai dalam Disertasi ini, yaitu: (i) teori kedaulatan hukum, (ii) teori trias politica, (iii) teori kewenangan, (iv) teori ratio decidendi, (v) teori penemuan hukum (a contrario), (vi) konsep negara hukum, (vii) asas legalitas, dan (viii). asas erga omnes, Sedangkan landasan konseptual, diantaranya: (i) pentaatan, (ii) putusan, (iii) pengadilan tata usaha negara, (iv) badan atau pejabat tata usaha negara, (v) pemilihan umum, (vi) konsep pemilihan kepala daerah, (vii) kepala daerah dan wakil kepala daerah, dan (viii) pasangan calon kepala daerah, serta kerangka berpikir, yang dimaksud dengan kerangka berpikir adalah sebuah alur berpikir secara rasional dan sistematis mengenai apa yang hendak mau digambarkan dalam suatu penulisan ilmiah dalam bentuk disertasi. 2.1. Landasan Teoritis Landasan teoritis adalah upaya untuk mengindentifikasi teori hukum umum atau khusus, konsep-konsep, asas-asas hukum, aturan hukum, norma-norma dan lain-lain yang akan dipakai sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian.Menurut Bernard Arief Sidharta, 24 teori hukum adalah seperangkat pernyataan (klaim), pandangan dan pengertian yang saling berkaitan secara logika berkenaan dengan sistem hukum tertentu atau suatu bagian dari sistem tersebut, 24 Bernard Arief Sidharta, 2013, Ilmu Hukum Indonesia Upaya Pengembangan Ilmu hukum Sistematik Yang Responsif Terhadap Perubahan Masyarakat , Genta Publishing, Cetakan Pertama, Yogyakarta, h. 69
52

BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

Dec 29, 2019

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

49

BAB II

LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR

Bab inimerupakan bab yang memaparkan mengenai landasan teoritis,

konseptual, dankerangka berpikir. Teori yang dipakai dalam Disertasi ini, yaitu:

(i) teori kedaulatan hukum, (ii) teori trias politica, (iii) teori kewenangan, (iv) teori

ratio decidendi, (v) teori penemuan hukum (a contrario), (vi) konsep negara

hukum, (vii) asas legalitas, dan (viii). asas erga omnes, Sedangkan landasan

konseptual, diantaranya: (i) pentaatan, (ii) putusan, (iii) pengadilan tata usaha

negara, (iv) badan atau pejabat tata usaha negara, (v) pemilihan umum, (vi)

konsep pemilihan kepala daerah, (vii) kepala daerah dan wakil kepala daerah, dan

(viii) pasangan calon kepala daerah, serta kerangka berpikir, yang dimaksud

dengan kerangka berpikir adalah sebuah alur berpikir secara rasional dan

sistematis mengenai apa yang hendak mau digambarkan dalam suatu penulisan

ilmiah dalam bentuk disertasi.

2.1. Landasan Teoritis

Landasan teoritis adalah upaya untuk mengindentifikasi teori hukum umum

atau khusus, konsep-konsep, asas-asas hukum, aturan hukum, norma-norma dan

lain-lain yang akan dipakai sebagai landasan untuk membahas permasalahan

penelitian.Menurut Bernard Arief Sidharta,24

teori hukum adalah seperangkat

pernyataan (klaim), pandangan dan pengertian yang saling berkaitan secara logika

berkenaan dengan sistem hukum tertentu atau suatu bagian dari sistem tersebut,

24

Bernard Arief Sidharta, 2013, Ilmu Hukum Indonesia Upaya Pengembangan Ilmu hukum

Sistematik Yang Responsif Terhadap Perubahan Masyarakat, Genta Publishing, Cetakan Pertama,

Yogyakarta, h. 69

Page 2: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

50

yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga berdasarkannya dimungkinkan untuk

merancang hipotesis tentang isi aturan hukum (yakni produk interpretasi aturan

hukum) dan konsep yuridik yang terbuka untuk pengujian dan fungsi untuk

mensistematisasi kaidah-kaidah hukum dengan cara tertentu. Lebih lanjut beliau

katakan teori hukum dengan demikian berfungsi untuk menjelaskankan, menilai

dan memprediksi. Teori hukum dapat diuji secara empirikal dengan meneliti

sejauh mana metode interpretasi dan intepretasi suatu aturan hukum digunakan

dalam praktek hukum dan secara rasional dikaji konsistensinya dalam kerangka

sistem hukum yang berlaku.25

Teori dikatakan pula sebagai seperangkat, konsep, defenisi, dan proposisi-

proposisi yang berhubungan satu sama lain, yang menunjukkan fenomena-

fenomena. Teori dimaknai sebagai suatu konstruksi yang jelas, yang dibangun

atas jalinan fakta-fakta.Teori pada dasarnya menjelaskan suatu fenomena atau

merupakan proses atau produk atau aktivitas, atau merupakan suatu sistem.

Hakikat Teori dari segi manfaatnya ada dua yaitu manfaat teoritis dan manfaat

praktis. Manfaat teoritis adalah sebagai alat dalam menganalisis dan mengkaji

penelitian-penelitian yang dikembangkan oleh para ahli berupapenelitian-

penelitian dalam bentuk hibah bersaing atau hibah kompetisi dan disertasi.

Sedangkanmanfaat praktis adalah sebagai alat atau instrumen dalam mengkaji dan

menganalisis sebuah fenomena-fenomena yang timbul dan berkambang dalam

masyarakat, bangsa, dan negara.

25

Ibid

Page 3: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

51

JJ.H. Bruggink mengatakan yang dimaksud dengan teori hukum adalah

suatu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem

konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut

untuk sebagian yang penting dipositifkan.26

Sedangkan Meuwissen

mengklasifikasiteori hukum atas lima jenis, meliputi: (i) teori sistem, (ii) teori

hukum fungsional, (iii) teori hukum politik, (iv) teori hukum empiris, dan (v) teori

hukum Marxistik.27

Teori hukum sebagaimana dikemukakan oleh JJ.H.Brunggink

dan Meuwissen di atas melihat teori hukum sebagai pisau analisis terhadap

fenomen hukum yang timbul dalam masyarakat. Untuk itu, terkait penulisan

Disertasi ini terdapatbeberapa penjastifikasian teori yang akan dipakai sebagai

pisau analisis guna memecahkan permasalahansebagaimana diatas. Kelima teori

dan dua asas dan serta satu konsep yang telah disebutkan di atas merupakan pisau

analisis guna membedah tiga substansi permasalahan yang ditelah dirumuskan

pada bab pendahuluan.

2.1.1. Teori Kedaulatan Hukum

Istilah “kedaulatan” merupakan terjemahan dari sovereignity (bahasa

Inggris), souverainete (bahasa Prancis), souranus (bahasa Italia),

souvereiniteit(bahasaBelanda), Superanus (bahasa Latin), yang berarti

supremasi.28

Sovereignity berasal dari kata latin yaitu: “superanus” yang

26

JJ.H. Brunggink, 2011, Refleksi Tentang Hukum “pengertian-Pengertian Dasar Dalam

Teori Hukum, alih bahasa B. Arief Sidharta, Citra Aditya Bakti,Cetakan Kedua, Bandung, h. 160 27

B. Arief Sidharta, 2013, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum Ilmu Hukum, Teori

Hukum, Dan Filsafat Hukum, Rafika Aditama , Cetakan Keempat, Bandung, h. 32-34 28

Khairul Fahmi, 2012, Pemilihan Umum dan Kedaulatan Rakyat, Rajagrafindo Persada,

Cetakan Kedua, Jakarta, h. 17

Page 4: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

52

sinonimnya “supernius” atau “hiperbus” atau superus”29

berarti titik yang

tertinggi. Dalam Black‟s Law Dictionarymendefenisikansovereignit sebagai

berikut:30

“it is well to (distinguish) the senses in which the word Sovereignity is used.

In the ordinary popular sense it means Supremacy, the right to demand

obedience. Although the idea of actual power is not absent, the prominent

idea is that of some sort of title to exercise control. An ordinary would call

that person (or body of persons) Soveriegn in a State who is obeyed because

he is acknowledged to stand at the top, whose will must be expected to

prevail, who can get his own way, and make others go his, because such is

the practice of the country. Etymologically the word of course means merely

superiority, and familiar usage applies it in monarchies to the monarch,

because he stands firts in the State, be his real power great or small”.

Sovereignity pertama kali diperkenalkan oleh Jean Bodinpada 1576,

dengan mengartikansovereignitysebagai “the state which made sovereign

power its essential characteristic”31

(negara yang membuat kekuasaan yang

berdaulat itulah karakteristik esensial”).Dalam bukunya “Six Books Concerning

the State” Jean Bodin menyebutkan kedaulatan adalah kekuasaan satu-satunya

yang:

1. asli (urspriinglich, oorspronkelijk), artinya tidak diturunkan dari sesuatu

kekuasaan lain;

2. tertinggi, artinya tidak ada kekuasaan lain yang lebih tinggi yang dapat

membatasi kekuasaannya;

3. kekal (permanent, dauerhaft, duurzaam), artinya pemerintah dapat

berganti-ganti, kepala negara dapat meninggal dunia, bahkan susunan

negara dapat berubah-rubah, akan tetapi negara dengan kekuasaannya

berlangsung terustanpa terputus-putus;

29

Bahder Johan Nasution, 2012, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju,

Bandung, Cetakan Kedua, h. 48 30

Bryana A. Garner,1998, Black‟s Law Dictioneri, West Group ST. Paul, MNN, Seventh

Edition, USA, h. 1402, Departemen Pendidikan Nasional, 2012, Kamus Besar Bahasa Indonesia

Pusat Bahasa, Edisi Keempat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 298 Lihat Yan Pramadya

Puspa, 1977, Kamus Hukum Edisi Lengkap Belanda, Indonesia, Inggris , Aneka Ilmu, Semarang,

h. 778 31

H. Krabbe, dkk, 1922, The Modern Of The State, The Hague Martinus Nijhoff, h. XVIII

Page 5: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

53

4. tidak dapat dibagi-bagi (indivisible, unteilbar, ondeelbaar), artinya

karena hanya ada satu kekuasaan tertinggi, maka kekuasaan itu tidak

dapat dilepaskan dan diserahkan kepada suatu badan lain.

5. tidak dapat dialihkan (unverauszerlich, onvervreemdbaar), artinya tidak

dapat dipindahkan kepada suatu badan lain, tidak dapat dilepaskan dan

diserahkan kepada sesuatu badan lain.32

Defenisikedaulatan menurut Jean Bodin penekanannya pada: “asli,

tertinggi, kekal, tidak dibagi, dan dialihkan” artianbahwa negara yang memiliki

kedaulatan tertinggi. Selain itu, C.F. Strong mengatakan bahwa yang memiliki

kekuasaan untuk membuat dan melaksanakan Undang-Undang dengan cara

paksaan adalah negara.33

Pandangan Jean Bodin dan C.F. Strong di atas pada

dasarnya mengakui pemilik kedaulatan adalah negara sebab negara yang

membuat dan melaksanakan segala aturan yang dibuatnya.

Kedaulatan muncul sebagai penjastifikasian terhadapsubjek hukum yang

memilikiotoritas tertinggi dalam suatu negara berdaulat.Pertanyaan mendasar

ialah subyek hukum mana yang memiliki kedaulatan tertinggi, apakah Tuhan,

negara, hukum, atau rakyat. Tentunya pertanyaan ini dijawab variatif

tergantung cara pandangan penggunanya dalam penjastifikasi terhadap fakta

dan fenoma yang terjadi. Dalam ilmu ketatanegaraan dikenal beberapa, yaitu:

Teori Kedaulatan Tuhan, Teori Kedaulatan Negara, Teori Kedaulatan Rakyat

dan Teori Kedaulatan Hukum. Teori kedaulatan ini,laludikembangkan seiring

sistem ketatanegaraan dalam suatu negara modern. Selain itu dikenal juga

Teori Trias Politika dan Teori Demokrasi sebagai pengayaan dari teori-teori

32

Muchtar Arfandi,1971, Himpunan Kuliah Ilmu-Ilmu Kenegaraan, Alumni, Bandung, h.

160 33

C.F. Strong,1966,Modern Political Constitutions “Konstitusi-Konstitusi Politik Negara”

Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh Derta Sri Widowatie, Nusa

Media, Bandung, h. 8

Page 6: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

54

kedaulatan. Selaras dengan Teori Kedaulatan di atas, tidak semua teori

digunakan dalam penulisan ini, hanya difokuskan pada Teori Kedaulatan

Hukum sebagai teori pokok atau utama atau kata lain grand teori, untuk

mengkaji dan menganalisis masalah pertama mengenai hakekat Pengadilan

Tata Usaha Negara.

Teori Kedaulatan Hukum (rechtssouvereniteit)dipelopori oleh filsuf

berkebangsaan Belanda bernamaHugoKrabbe (1857-1936). Teori ini

dijabarkan dalam pelbagai karyanya, yaitu:

a. Die Lehre der Rechtssouvereinitet, Betrag zur Staatslehre (1906);

b. De moderne Staatsidee (1916; terjemahannya dalam bahasa Jerman

dikeluarkan tahun 1919 dan dalam bahasa Inggris tahun 1922);

c. Het Rechtsgezag (1917);

d. De Innerlijke waardesder Wet (terjemahkan di Lei den 1924).34

Teori Kedaulatan Menurut Krabbe pada hakekatnya adalah:

“Hukum itu sama sekali tidak tergantung dari kehendak manusia, bahkan

hukum adalah suatu hal yang terlepas dari keinginan manusia. Hukum

terdapat dalam kesadaran hukum tiap-tiap orang. Kesadaran hukum itu

tidaklah dipaksakan dari luar, melainkan dirasakan orang dalam dirinya

sendiri. Kesadaran itu memaksa orang untuk menyesuaikan segala

tindakkannya dengan kesadaran hukum itu”.35

Sunarjati Hartono mengemukakan bahwa bagiKrabbe “hanyalah hukum

yang menjadi sumber dari pada kekuasaan negara itu”.36

Oleh karena itu, tugas

negara adalah untuk menjelmakan kesadaran hukum itu dalam bentuk

ketentuan-ketentuan hukum positif, yang nyata, berupa peraturan-peraturan

hukum.

34

Muchtar Affandi, 1971, Himpunan Kuliah Ilmu Ilmu Kenegaraan, Alumni, Bandung, h.

166-167 35

Ibid 36

Sunarjati Hartono, 1969, Apakah The Rule Of Law itu?, Alumni, Bandung, h. 45

Page 7: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

55

Teori Kedaulatan Hukum mendalilkan bahwa hukum lahir dari kesadaran

individu, sedangkan Teori Kedaulatan Negara mendalilkan negara lebih tinggi

dari pada hukum yang dapat pula diartikan bahwa negaratidak tunduk pada

hukum karena hukum merupakan perintah dari negara itu sendiri. Teori

Kedaulatan Hukum memiliki kekuasaan tertinggi dalam suatu negara adalah

hukum itu sendiri,baik raja, penguasa, maupun rakyat bahkan negara itu sendiri

tunduk pada hukum. Semua sikap, tingkah laku, dan perbuatan harus menurut

hukum”. 37

Krabbe mendalilkan bahwa hukum bukanlah ketentuan-ketentuan yang

dibuat penguasa. Penguasa hanya memberikan perumusan formil saja kepada

hukum yang telah ada pada kesadaran hukum orang, malahan sebaliknya

kekuasaan penguasa pun berasal dari hukum dan harus sesui dengan kesadaran

hukum orang. Kelemahan dari Teori Kedaulatan Hukum ini adalah bahwa

anggapan tentang hukum, yaitu anggapan tentang apa yang adil dan apa yang

tidak adil, tidaklah mutlak sama pada semua orang sehingga hukum tidak sama

dan secara mutlak pada setiap tempat dan setiap waktu, Hal ini ditegaskan oleh

Rodee, Anderson dan Christol dalam buku mereka “Introduction to Political

Science” yang dikutip oleh Muchtar Affandi mereka berkata. „A basic difficulty

is, that law means so many differen things to so many different persons at so

many different times and places”.38

Jellinek dengan teori Selbstbindung, yaitu suatu teori yang menyatakan

bahwa negara dengan sukarela mengikatkan diri atau mengharuskan dirinya

37

H. Salim, HS, 2012, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajagrafindo Persada,

Cetakan Kedua, Jakarta, h. 135. 38

Muchtar Affandi, Op Cit, h. 167

Page 8: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

56

tunduk kepada hukum sebagai penjelmaan dari kehendak sendiri.39

Teori

Jellinek ini merupakan bentuk kritik terhadap teori Krabbe, bahwa bukanlah

negara yang memiliki kedaulatan melainkan kesadaran hukum yang memiliki

kedaulatan. Padangan ini kemudian dibantah oleh Krabbe dengan mengatakan

hukum yang berasal dari kesadaran hukum individual memiliki cara berlaku

dan kekuatannya mengikat negara, karena perasaan kesusilaan, estetika, dan

keagamaan.

Teori Krabbe dapat disanggah oleh Struycken, dalam bukunya “Recht en

Gezag Critiche Bescchauwing van Krabe‟s Moderne Staatsidee”.40

Struycken

mengatakan bahwa rasa hukum individu tidak dapat dijadikan sumber hukum

karena ia selalu berubah pada setiap waktu, pandangan Struycken sejalan

dengan Rodee, Anderson dan Christol sebagai telah disinggung di atas.

Namun, A.M. Doner ikut memperkuat Teori Krabbe, ia mengatakan tunduknya

negara terhadap hukum sebagai “de doordringing van de staat met het recht”41

artinya hukum mempunyai kedudukan tertinggi dalam negara. Selain itu,

Peperzak42

menilai, sumber hukum berasal dari kesadaran hukum masayarakat

tidak lain sebagai kristalisasi moral sehingga setiap pihak secara moral pula

harus mentaati hukum “hance the feeling that there is amoral duty to obey the

law”…). Hal senada juga dikatakan oleh Lawrence M. Friedman bahwa “tidak

ada siapa pun bahkan Walikota Mephis, Gubernur New York, Presiden, dan

39

Dossy Iskandar & Bernard L. Tanya, 2005, Ilmu Negara “Beberapa Isu Utama”,

Srikandi, Surabaya, h.127 40

Ibid, h. 128 41

Ibid 42

ibid

Page 9: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

57

Mahkamah Agung itu sendiri, yang benar-benar tertinggi secara mutlak adalah

hukum.43

Benih Teori Kedaulatan Hukum dari Krabbe ini sesungguhnya sudah

ditabur oleh Aristoteles sejak zaman Yunani kuno. Aristoteles bahkan sampai

pada suatu kesimpulan, bahwa salah satu kriteria dari suatu negara yang baik

adalah harus terlihat secara formal dianutnya kedaulatan hukum oleh negara

itu. Lebih jauh Aristoteles mengatakan, tidaklah benar apa yang dikemukakan

oleh Plato bahwa pemerintah yang berdasarkan hukum dapat diganti dengan

pemerintah oleh penguasa yang bijaksana, sebab penguasa yang bagaimanapun

bijaksananya tidak dapat menggantikan hukum karena hukum mempunyai sifat

yang terlepas dari perseorangan. Hukum adalah akal yang tidak dapat

dipengaruhi oleh keinginan, demikian pandangan Aristoteles untuk

menguatkan teorinya tentang negara hukum.

Inti teori kedaulatan hukum yang mengajarkan tunduknya negara kepada

hukum, membawa konsekuensi bahwa setiap kekuasaan yang ada dalam negara

harus tunduk tehadap hukum. jadi hukum merupakan kekuasaan tertinggi

dalam negara, oleh karena itu berpegang pada inti teori kedaulatan hukum,

maka kekuasaan kehakiman pun harus tunduk pada hukum. konsekuensi semua

kekuasaan yang berada di bawah tetanan negara hukum juga harus tunduk pada

hukum. pada awalnya pemikiran negara hukum muncul sejak zaman Yunani

kuno yang dikemukakan oleh Plato dengan konsepnya bahwa penyelenggaraan

negara yang baik adalah yang didasarkan pada pengaturan hukum yang baik

43

Lawrence M. Friedman, 2001, Hukum Amerika Sebuah Pengantar “American Law An

Introduction” diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Tatanusa, Edisi Kedua, Cetakan Pertama,

Jakarta, h. 17

Page 10: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

58

yang disebut dengan istilah Nomoi. Gagasan Plato tentang negara hukum ini

semakin tegas ketika didukung oleh muridnya Aristoteles dengan karyanya

Politica, menurut Aristoteles suatu negara yang baik adalah negara yang

diperintah dengan konstitusi dan kedaulatan hukum. Ada tiga unsur dari

pemerintah yang berkonstitusi, yaitu: Pertama, Pemerintahan dilaksanakan

untuk kepentingan umum; Kedua, pemerintah dilaksanakan menurut hukum

didasarkan pada ketentuan-ketentuan umum; Ketiga, Pemerintah berkonstitusi

berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat. Dalam kaitan

dengan konstitusi Aristoteles mengatakan bahwa konstitusi merupakan

penyusunan jabatan dalam suatu negara, dan menentukan apa yang dimaksud

dengan badan pemerintahan dan apa akhir dari setiap masyarakat selain itu

konstitusi merupakan aturan-aturan dan penguasa harus mengatur negara

menurut aturan tersebut.

2.1.2. Teori Trias Politica

Pemisahan kekuasaan negara merupakan prinsip yang fundamental dalam

sebuah negara hukum. Selain karena berfungsi membatasi kekuasaan dari

lembaga-lembaga penyelenggara negara, pemisahan kekuasaan negara juga

untuk mewujudkan spesialisasi fungsi dalam rangka mencapai efesiensi yang

masimun, sesuai dengan tuntutan zaman yang modern.

Pemisahan kekuasaan secara historis pertama kali dikemukakan oleh

John Locke (1632-1704) dan dikembangkan oleh Montesquieu (1689-

1755).Teori ini sebelum mendunia, sesungguhnya cikal bakal atau embrio dari

teori ini pernah ditulis oleh Aristoteles, ketika dipopulerkan oleh Montesquieu

Page 11: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

59

dianggap bukan teori baru, tetapi merupakan pengembangan dari ide

Aristoteles dan John Locke.

John Locke dalam bukunya yang berjudul “Two Treties on

CivilGovernmentmengemukakan kekuasaan di dalam suatu negara dapat

dibagi-bagi kepada organ-organ negara yang berbedaagar pemerintahan tidak

sewenang-wenang tetapi harus ada pembedaan pemegang kekuasaan dalam

negara. Tiga model kekuasaan di maksud, yaitu:

a. Kekuasaan Legislatif (membuat Undang-Undang);

b. Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan Undang-Undang);

c. Kekuasaan Federatif (melakukan hubungan diplomatik dengan

negera-negara lain.44

Sedangkan Montesquieu membagi kekuasaan pemerintahan menjadi tiga

jenis, yaitu:

“legislatif, eksekutif, dan yudikatif. kekuasaan legislatif adalah kekuasaan

untuk membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan

melaksanakan undang-undang (di dalamnya kekuasaan politik luar negeri),

dan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan mengadili atas pelanggaran

undang-undang.45

Pembagian kekuasaan menurut Montesquieu di atas, ditulis dalam

bukunya “L‟esprit des Lois”, pada tahun 1948.Montesquieu menawarkan

model yang agak berbeda dari yang ditawarkan oleh John Locke. Pandangan

John Locke dan Monteqiueu itu menampilkan kekhasan tersendiri, kekhasan

John Locke ialah memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan

eksekutif dan kekuasaan federatif menjadi kekuasaan tersendiri. sedangkan

44

Idul Rishan, 2013, Komisi Yudisial Suatu Upaya Mewujudkan Wibawa Peradilan,

Cetakan Pertama, Genta, Yogyakarta, h. 17 45

Ibid

Page 12: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

60

Montesquieu memasukkan kekuasaan federatif ke dalam kekuasaan eksekutif

dan memisahkan kekuasaan yudikatif menjadi kekuasaan tersendiri.

Teori Trias Politika Montesquieu mendapat kritik karena dipandang tidak

sesuai realita. Utrecht mengemukkan dua keberatan terhadap Teori Trias

Politika untuk dipraktekan seluruhnya dalam negara modern, yaitu:

a. Pemisahan mutlak yang seperti dikemukkan Montesquieu,

mengakibatkan adanya badan kenegaraan yang tidak ditempatkan di

bawah penguasaan suatu badan kenegaraan lain. Tidak ada

pengawasan bararti kemungkinan suatu badan kenegaraan untuk

melampaui batas kekuasannya. Oleh karena itu, kerja sama antara

masing-masing badan kenegaraan dipersulit. Dengan demikian yang

berlainan dalam negara perlu diberikan kesempatan untuk saling

mengawasi.

b. Dalam negara modern, atau welfare state, atau welvaarstaat, atau

wehlfahrstaat (mulai berkembang akhir abad ke-19 dan awal abad ke-

20), lapangan tugas pemerintah bertambah luas untuk mewujudkan

berbagai kepentingan masyarakat. Dalam hal demikian, tidak mungkin

diterima asa teguh (vest beginsel) bahwa tiga fungsi tersebut masing-

masing hanya boleh diserahkan kepada suatu badan kenegaraan

tertentu. Ada banyak badan kenegaraan diserahi lebih dari satu fungsi

(kemungkinan untuk mengoordinasi beberapa fungsi).46

Walapun Teori Trias Politia Montesquieu mendapat kritikan, namun

keberadaannya sangat penting karena substansinya dari teori tersebut

menghendaki kekuasaan dalam negara jangan sampai terpusat pada satu tangan

(badan) karena akan melahirkan kesewenang-wenangan. Akan tetapi,

kekuasaan tersebut dibagi sehingga hak asasi warga negara dapat terlindungi.

Teori Trias Politika sebagai pisau analisis permasalahan pertama dalam

disertasi ini yaitu hakikat Pengadilan Tata Usaha Negara dalam negara hukum

sebab Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu badan peradilan di

bawah sebuah Mahkamah Agung yang berfungsi menjalankan kekuasaan

46

Ibid

Page 13: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

61

kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi warga negara pencari

keadilan.

2.1.3. Teori Kewenangan

Istilah wewenang digunakan dalam bentuk kata benda. Istilah itu

seringkali diperlukannya dengan istilah kewenangan. Istilah wewenang dan

kewenangan sering disejajarkan dengan istilah “bevoegdheid” dalam istilah

hukum Belanda. Istilah wewenang dan kewenangan bila dicermati ada sedikit

perbedaan dengan istilah “bevoegdheid”. Perbedaan istilah ituterletak dalam

karakter hukumnya. Istilah “bevoegdheid” digunakan baik dalam konsep

hukum publik maupun dalam konsep hukum privat. Hukum Indonesia

kewenangan atau wewenang sebatas pada ranah hukum publik saja.

Kewenangan atau wewenangselalu menjadi bagian penting dan bagian

awal dari hukum adminitrasi karena obyek hukum administrasi adalah

wewenang pemerintahan (bestuurs bevoegdheid). Menurut F.A.M. Stroink,

wewenang merupakan suatu konsep inti dalam hukum tata negara dan hukum

administrasi.47

Dalam hukum tata negara, wewenang (bevoegdheid)

dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht). Jadi dalam konsep

hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan hukum kata Henc Van

Maarseveen.48

Lebih lanjut beliau mengatakan wewenang merupakan konsep

hukum publik maka wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga

komponen, yaitu: (a) pengaruh, (b) dasar hukum, dan (c) konformitas

47

Philipus M. Hadjon, dkk, 2011, Hukum Administrasi Tindak Pidana Korupsi, Gadjah

Mada University Press, Cetakan Kedua, Yogyakarta, h. 10 48

Ibid

Page 14: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

62

hukum.49

Tiga komponen yang dimaksudkan ini ditegaskan oleh

beliau,komponen pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan

untuk mengendalikan perilaku subyek hukum. Komponen dasar hukum, bahwa

wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya dan komponen

konformitas hukum, mengandung makna adanya standar wewenang, yaitu

standar umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis

wewenang tertentu).

Dalam khasanah hukum administrasi dikenal tiga sumber hukum

kewenangan pemerintah, yaitu “atribusi”, “delegasi”, dan “Mandat”. Dari

ketiga sumber hukum kewenangan ini dalam hubungannya dengan penulisan

disertasi ini, maka penulis hanya fokuskan pada kewenangan Atribusi dan

kewenangan Delegasi.

Kewenangan yang dimiliki oleh organ (institusi) pemerintah atau

lembaga yudisial dalam melakukan perbuatan nyata, mengadakan pengaturan

atau mengeluarkan keputusan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh

dari konstitusi secara atribusi, delegasi maupun mandat. Suatu atribusi

menunjuk pada kewenangan yang asli atas dasar UUD atau UU. Kewenangan

delegasi penegasannyapada suatu pelimpahan wewenang kepada organ

pemerintah yang lain. Sedangkan mandat tidak terjadi perubahan wewenang

yang sudah ada dan merupakan hubungan internal pada suatu badan, atas

penugasan bawahan melakukan suatu tindakan atas nama dan atas tanggung

jawab pemberi mandat.

49

Ibid

Page 15: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

63

Konsep teoritis tentang kewenangan dikemukakan pula oleh H.D, Stoud,

yang berpendapat bahwa kewenangan adalah “keseluruhan aturan-aturan yang

berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh

subjek hukum publik dalam hubungan hukum publik”.50

2.1.3.1. Atribusi

Atribusi, dikatakan sebagai cara normal untuk memperoleh wewenang

pemerintahan. Juga dikatakan bahwa atribusi juga merupakan wewenang untuk

membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada undang-undang

dalam arti materil.51

Atribusi menurut “H.D. van Wijk dalam Lukman Hakim

memberikan pengertian “atributie: toekening van bestuurbevoegheid door een

wetgever aan bestuursorgaan (atribusi, adalah pemberian wewenang

pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada pemerintah).52

Dijelaskan

bahwa pembentukan undang-undang yang dilakukan baik oleh pembentuk

undang-undang orisinal (orginaire wetgevers) maupun membentuk undang-

undang yang mewakilkan (gedelegeerde wetgevers) memberikan kekuasaan

kepada suatu organ pemerintahan yang dibentuk kepada kesempatan itu atau

kepada organ pemerintahan yang sudah ada sebagaimana dinyatakan sebagai

berikut ini:53

“Eeen wetgever schept een (nieuwe) bestuursbevoegdheid en kent die toe

aan een bestuursorgaan. Dat kan een bestaand bestuursorgan zijn of een

50

Ridwan HR,2011, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, RajaGrafindo Persada,

Cetakan Keenam, Jakarta, h. 98 51

Philipus M. Hadjon dkk, 2011, Hukum Administrasi Dan Tindak Pidana Korupsi, Gadjah

Mada University Press, Yogyakarta, h. 11 52

Lukman Hakim, 2012, Filosofis Kewenangan Organ dan Lembaga Daerah Perspektif

Teori Otonomi dan Desentralisasi dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara Hukum dan

Kesatuan, Setera Press, Malang, h. 126 53

Ibid

Page 16: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

64

voor de gelegenheid nieuw geschappen bestuursorgan;...” (pembuat

undang-undang menciptakan suatu wewenang pemerintahan (yang baru)

dan menyerahkan kepada suatu lembaga pemerintahan. Ini bisa berupa

lembaga pemerintahan yang telah ada, atau suatu lembaga pemerintahan

baru yang diciptakan pada kesempatan tersebut...).

Menurut S.F. Marbun,54

Atribusi berarti adanya pemberian suatu

wewenang (baru) oleh rakyat melalui wakilnya di parlemen kepada

pemerintah, dimana wewenang tersebut sebelumnya tidak dimiliki oleh

pemerintah. Dengan adanya pemberian wewenang itu berarti tindakan

pemerintah menjadi sah (halal) dan secara yuridis mempunyai kekuatan

mengikat umum, karena telah memperoleh persetujuan dari rakyat melalui

wakilnya di parleman.

Selanjutnya dalam pasal 12 UU No. 30 Tahun 20014 tentang

Administrasi Pemerintahan menyatakan:

(1) Badan dan/atau pejabat pemerintahan memperoleh wewenang

melalui artibusi apabila:

a. diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 dan/atau undang-undang;

b. merupakan wewenang baru atau sebelumnya tiada ada; dan

c. Atribusi diberikan kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan.

(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang

melalui atribusi, tanggungjawab kewenangan berada pada badan

dan/atau pejabat pemerintahan yang bersangkutan.

(3) Kewenangan atribusi tidak dapat didelegasikan, kecuali diatur dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

dan/atau undang-undang.

Berdasarkan pandangan teoritik mengenai atribusi dan ketentuan Pasal

12 UU Nomor 30 Tahun 2014, sebagaimana telah diuraikan di atas maka dapat

disimpulkan bahwa atribusi adalah kewenangan yang diperoleh dari Undang-

54

S.F. Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi Di

Indonesia, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, Liberty, Yogyakarta, h. 158

Page 17: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

65

Undang Dasar atau Undang-Undang, atribusi menjadi tanggung jawab

Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, dan atribusi tidak dapat didelegasikan

kepada organ lain kecuali diatur dalam UUD atau Undang-Undang.

2.1.3.2. Delegasi

Delegasi, diartikan sebagai penyerahan wewenang (untuk membuat

besluit) oleh pejabat pemerintahan kepada pihak lain dan wewenang tersebut

menjadi tanggungjawab pihak lain tersebut.55

Menurut H.D. Van Wijk:

overdraacht van bevoegheid van het one bestuursorgaan een onder

(pernyerahan wewenang pemerintahan dari suatu badan atau pejabat

pemerintah kepada badan atau pejabat yang lain). Setelah wewenang

diserahkan maka pemberi wewenang tidak mempunyai wewenang lagi.56

Sebagaimana ditegaskan: Van delegate van bestuurbevoegheid is spreke

wanner een bevoegheid van een bestuursorgan wordi overgedragen aan een

ender orgaan, dat die bevoegheid gaat uitoefenen in plaats van het

oorspronkelijk bevoegd van A was, is voortaan bevoegheid van B (en niet meer

van A). (kita dapat berbicara tentang delegasi wewenang pemerintahan

bilamana suatu wewenang lembaga pemerintahan diserahkan kepada lembaga

lain, yang menjelankan wewenang tersebut dan bukannya lembaga yang

semula berwenang. Delegasi dengan demikian disimpulkan sebagai

penyerahan: apa yang semula merupakan wewenang A, sekarang menjadi

wewenang B (jadi bukan lagi wewenang A).

55

Ibid, h. 13 56

Lukman Hakim, Op Cit, h, 126

Page 18: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

66

Selain itu, J.G. Brouwer berpendapat “...delegasi adalah kewenangan

yang dialihkan dari kewenangan atribusi dari suatu organ (institusi) pemerintah

atau lembaga negara kepada organ lainnya sehingga delegator (organ yang

telah memberi kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut atas

namanya...”.57

J.B.J.M. ten Berge dalam Philupus M. Hadjon menyebutkan syarat-syarat

delegasi meliputi:58

a. delegasi harus defenitif, artinya delegans tidak dapat lagi

menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu.

b. delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan,

artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu

dalam peraturan perundang-undangan.

c. delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hirarki

kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi.

d. kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegans

berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang

tersebut.

e. adanya peraturan kebijakan (beleidsregel) untuk memberikan instruksi

(pentunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.

Delegasi secara normatif diatur dalam Pasal 13 UU No. 30 Tahun 2014

tentang Administrasi Pemerintahan yang berbunyi:

(1) Pendelegasian kewenangan ditetapkan berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh wewenang

melalui Delegasi apabila:

a. diberikan oleh badan/pejabat pemerintahan kepada badan

dan/atau pejabat pemerintahan lainnya;

b. ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden,

dan/atau Peraturan Daerah; dan

c. merupakan wewenang pelimbahan atau sebelumnya telah ada.

(3) Kewenangan yang didelegasikan kepada badan dan/atau pejabat

Pemerintahan tidak dapat didelegasikan lebih lanjut, kecuali

ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan.

57

Abdul Rasyid Thalib,2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam

Sistem Ketatanegaraan Republik IndonesiaCitra Aditya Bakti,, Cetakan Kesatu, Bandung, h. 218 58

Philipus M. Hadjon, Op.Cit, h.

Page 19: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

67

(4) Dalam hal ketentuan peraturan perundang-undangan menentukan

lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3), badan dan/atau pejabat

pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui delegasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mensubdelegasikan

Tindakan kepada badan dan/atau pejabat pemerintah lain dengan

ketentuan:

a. Dituangkan dalam bentuk peraturan sebelum wewenang

dilaksanakan;

b. Dilakukan dalam bentuk lingkungan pemerintahan itu sendiri; dan

c. Paling banyak diberikan kepada badan dan/atau pejabat

pemerintahan 1 (satu). tingkat di bawahnya.

(5) Badan dan/atau pejabat pemerintahan yang memberikan delegasi

dapat menggunakan sendiri wewenang yang telah diberikan melalui

delegasi, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan

perundang-undangan;

(6) Dalam hal pelaksanaan wewenang berdasarkan delegasi

menimbulkan ketidakefektifan penyelenggaraan pemerintahan,

badan dan atau pejabat pemerintahan yang memberikan

pendelegasian kewenangan dapat menarik badan dan/atau pejabat

Pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui delegasi

tanggung jawab kewenangan berada pada penerima delegasi.

Kewenangan organ (institusi) pemerintah adalah suatu kewenangan yang

dikuatkan oleh hukum positif guna mengatur dan mempertahankannya. Tanpa

suatu kewenangan tidak dapat dikeluarkan suatu keputusan yuridis yang benar.

Bertolak dari uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kewenangan

adalah perintah undang-undang dan pelimpahan kewenangan yang sifatnya

hubungan hukum.

Teori kewenangan kegunaanya dalam disertasi ini sebagai pisau analisis

yang diperuntukkan untuk menelaah permasalahan pertama dan masalah kedua

dalam disertasi ini yang menyoroti terhadap kompetensi Pengadilan Tata

Usaha Negaradalam mengadili sengketa Pemlihan Kepala Daerah dan Wakil

Kepala Daerah dan juga mengenai kewenangan Komisi Pemilihan Umum

dalam menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah,

Page 20: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

68

serta alasan pertimbangan apa sehinggga Komisi Pemilihan Umum

mengabaikan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang berkekuatan hukum

tetap.

2.1.4. Teori Ratio Decidendi

Setiap sistem hukum yang menggunakan modelprecedent (keputusan

pengadilan sebelumnya yang dianggap sebagai sumber hukum), ini dianggap

secara teknis mengikat atau tidak, akan perlu mempertimbangkan dalam cara

apa ia mengikat terhadap kasus-kasus. Tujuan ini secara umum diterima bahwa

relevansi ini ditemukan pada fakta bahwa keputusan melibatkan beberapa

prinsip dari penerapan yang umum. Sebuah sistem hukum di Inggris,

menggambarkan dimana sebuah keputusan mungkin diperlakukan secara

mutlat mengikat pada pengadilan, karena pengadilan yang bisa menetapkan apa

yang mengikat.59

Teori tradisional di Inggris secara umum didominasi untuk

menganggap bagian yang mengikat dari sebuah keputusan sebagai asas hukum

yang dirumuskan oleh pengadilan dalam hubungan dengan hal yang

sebenarnya diputuskan.60

Ian McLeod mengatakan “the phrase ratio decidendi may be translated

as the reason for the decision”61

yakni suatu alasan dari ditetapkannya suatu

amar putusan atau diktum. Selanjutnya, dia menekankan pentingnya “ratio

59

Lord Lloyd Of Hampstead and M.D.A. Freeman, 1985, Lloyd‟s Introduction To

Jurisprudence, Fifth Edition, Stevens & Sons, London, h. 1115 60

Ibid 61

Ian McLeod, 1996, Legal Method, Macmillan London, h. 137 lihat I Made Pasek Diantha,

2016, Metode Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum, Prenada Media Group,

Cetakan Pertama, Jakarta, h. 166

Page 21: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

69

decidendi” bagi hakim berikutnya yang menangani perkara yang sama, sebagai

berikut:

“in this descrptive sense the phrase ration decidendi in used to describe

the way in which the earlier judge reached the decision. Clearly there

fore in this contex a later judge must acknowledge the materiality of the

facts which the earlier judge treated as being materials”.

Maksudnya, hakim belakangan diharap memahami deskripsi ratio hakim

terdahulu yang mendasarkan pada fakta-fakta materiil dari perkara itu sehingga

dicapai suatu amar putusan. Ian McLeod dalam bukunya legal Method,

mengemukakan bahwa “… principle of legal certainty simply requires that

people who are subject to the law should be able to ascertain their rights and

obligations62

(prinsip dari kepastian hukum semata-mata mengharuskan bahwa

orang-orang yang tunduk kepada hukum harus mampu memastikan hak-hak

dan kewajiban mereka). Di negara yang menganut asas preseden deskripsi

ration hakim terdahulu yang berupa “ratio decidendi” merupaka faktor penting

karena putusan itu akan merupakan atau level yang rendah. Hal ini ditegaskan

pula oleh Hampstead dan Freeman sebagai berikut:63

“This appeans to be a matter of firts inportance at least in a system such

as English law, where a decision my be treated as absolutly binding on

fiture courts, for these court ought to be able to determine what is that

bind them”.

Teori Ratio Decidendi merupakan bagian yang penting dari suatu putusan

maka Goodhart seperti disitir oleh Hampsted dan Freedman memberi ajaran

62

Ibid, h. 214 63

I Made Pasek Diantha, Op.Cit, h. 166

Page 22: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

70

tentang cara menyusun ration decidendi yang baik yakni ... “the better way to

approach the problem was to elucidate the ratio of a case from facts

themselves,64

... atau ration decidendi itu sebaiknya harus dijelaskan dari fakta

yang muncul pada perkara itu sendiri. Fakta yang dimaksud oleh Goodhart

adalah fakta materiil (material facts), seperti: orang, waktu, jenis dan jumlah

(person, time, place, kind, and amount). Seperti juga disitir oleh Ian McLeod,

ajaran Goodhart ini pertama kali diterbitkan tahun 1930 dalam jurnal

Universita Yale No. 4 halaman 161 dan diterbitkan kembali tahun 1931”.65

Dengan demikian, Goodhart dapat dianggap sebagai pencetus teori “ration

decidendi”.

Menurut Goodheart, ratio decidendi dapat diketemukan dengan

memperhatikan fakta materiel,66

Fakta-fakta tersebut berupa orang, tempat,

waktu, dan segala yang menyertainya asalkan tidak terbukti sebaliknya.

Perlunya fakta materiel tersebut diperhatikan karena baik hakim maupun para

pihak akan mencari aturan hukum yang tepat untuk dapat diterapkan kepada

fakta tersebut. Ratio decidendi inilah yang menunjukkan bahwa ilmu hukum

merupakan ilmu yang bersifat preskriptif, bukan deskriptif. Adapun diktum,

yaitu putusannya merupakan sesuatu yang bersifat deskriptif. Oleh karena

itulah, pendekatan kasus bukanlah merujuk kepada diktum putusan pengadilan,

melainkan merujuk kepada ratio decidendi. Yang dimaksud oleh Goodheart

mengenai ratio decidendi yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh

hakim untuk sampai kepada putusannya.

64

Ibid 65

Ibid 66

ibid

Page 23: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

71

Mahkamah Internasional mengatakan bahwa “dalam bidang pertanggung

jawaban keuangan, prinsip dari kepastian hukum mengharuskan bahwa

peraturan yang menerapkan tagihan pada pembayaran pajak harus jelas dan

tepat sehingga dia dapat mengetahui tanpa ambiguitas apa hak dan

kewajibannya dan dapat mengambil langkah sepantasnya. Dimana prinsip ini

dilanggar, setiap ambiguitas harus dipecahkan yang sifatnya mendukung si

individu”.67

Pandangan lain yang dikemukakan oleh R. Cross yang juga senada

menekankan pentingnya suatu ration decidendi karena ... every court is bound

to follow atau tiap hakim harus terikat oleh putusan hakim terdahulu sesuai asas

“preseden”.68

Menurut R. Cross bagian yang mengikat itu adalah bagian ration

decidendi (bagian pertimbangan) karena dalam bagian ini disusun fakta

materiil yang ada dalam persidangan perkara itu. Di katakan, ... judgement

must be read on the light at the facts of cases in which they delivered.

Selan itu, Hakim Jerome Frank adalah seorang penganut paham

realisme, dia kontras dengan teori yudisial Inggris ortodoks atas kebebasan

hakim yang memutuskan perkara berkenaan dengan rasio recidendinya. Teori

ini menekankan kebebasan hakim berikutnya untuk tidak memperdulikan apa

yang dikatakan oleh pendahulunya dalam kasus-kasus yang dikutip untuknya.

Para penganut paham realis mempertahankan bahwa merupakan suatu

kesalahan untuk terlalu memperdulikan kepada perilaku vokal (yang suka

mengeluarkan opini) sebagai lawan dari perilaku non vokal dari para

67

Ibid 68

Ibid, h. 167

Page 24: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

72

hakim.Jangan terlalu khawatir dengan apa yang pengadilan katakan,

pertimbangkan apa yang mereka lakukan.”69

Selain itu, Holmes (Hakim Agung As), menyatakan “apa yang

diputuskan oleh seorang hakim tentang sesuatu persengketaan adalah hukum

itu sendiri.70

Holmes lebih lanjut menyatakan “kehidupan hukum bukan logika,

melainkan pengalaman (the life of the law has been not logic but

experience)”.71

Dalam teori hukum menjelaskan, bahwa antara logika personal

dengan logika hukum tidak ada bentukan, tetapi saling mengisi. Namun,

disadari bahwa hal itu dalam logika hukum merupakan ciri-ciri hukum yang

memberi warna kepada logika hukum.

Salah satu tokoh yudisial “ketika ditanyakan tentang perbedaan antara

ration decidendi dan orbiter dictum, dia menjawab: “Aturan cukup sederhana,

bila anda setuju dengan pria lainnya anda katakan bahwa ini adalah bagian dari

ratio, bila anda tidak setuju anda katakan ini adalah orbiter dictum, dengan

implikasi bahwa ia adalah seorang idiot sejak lahir. Perbedaan antara ration

dan dicta semata-mata “perangkat yang digunakan oleh pengadilan berikutnya

untuk pengadopsian atau penolakan dari doktrin yang diekspresikan dalam

kasus-kasus sebelumnya menurut kencenderungan dari pengadilan

berikutnya”.72

Menurut Hans Kelsen hakekat dari validitas hukum:

69

Rupert Cross,1977, Precedent In English Law, Third Edition, Clarendon Press, Oxford,

h. 50-51 70

A. Masyhur Effendi & Taufani Sukmana Evandri, 2010, HAM Dalam Dimensi/Dinamika

Yuridis, Sosial, Politik: Dan Proses Penyusunan/Aplikasi HA-KHAM (Hukum Hak Asasi Manusia)

dalam Masyarakat, Cetakan Pertama Edisi Ketiga, Ghalia Indonesia, Bogor, h. 52 71

Ibid 72

Ibid

Page 25: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

73

“Suatu perintah adalah mengikat, bukan karena individu yang

memerintah memiliki kekuatan nyata yang lebih tinggi, melainkan karena

dia “diberi wewenang” atau “diberi kekuasaan” untuk mengeluarkan

perintah-perintah yang bersifat mengikat. Dan dia hanya “berwenang”

atau “berkuasa” jika suatu tatanan normatif, yang dianggap mengikat,

memberikan kapasitas ini kepadanya, yakni memberikan kompetensi

untuk menerbitkan perintah-perintah yang mengikat…jelas bahwa

kekuatan mengikat terdapat dalam perintah tersebut karena perintah

tersebut diterbitkan oleh pejabat yang berwenang”.73

Teori kekuatan (macht) yang diajarkan oleh L.J. van Apeldoorn, menurut

pendapatnya, hak itu ialah sesuatu kekuatan (match), diatur oleh hukum yang

berdasarkan kesusilaan (zadelijkheid atau moral) dan fisik. Contoh, seorang

pencuri menguasai barang curian, tetapi tidak mempunyai hak apa pun atas

barang itu, karena tidak mempunyai kekuatan dari kesusilaan dan keadilan.74

Kekuatan mengikat yang diajarkan oleh L.J. van Apeldoorn ini, pada

prinsipnya menegaskan bahwa hak itu adalah suatu kekuatan yang diatur secara

normatif oleh karena itu, terjadi perbuatan kesusilaan terhadap hak maka yang

melanggar hak dimaknai telah melanggar hukum sebagaimana dicontohkan

dengan pencurian di atas.

Dituangkannya putusan dalam bentuk tertulis, yang merupakan akta

otentik, tidak lain bertujuan untuk dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para

pihak, yang mungkin diperlukannya untuk mengajukan banding, kasasi atau

pelaksanaannya. Menurut hukum pembuktian dengan putusan telah diperoleh

suatu kepastian tentang suatu peristiwa mempunyai kekuatan pembuktian.75

73

Hans Kelsen Penerjemah Raisul Muttaqien, 2011, Teori Umum Tentang Hukum dan

Negara, Cetakan Ketujuh, Nusa Media, Bandung, h. 42 74

H.M. Agus Santoso, 2012, Hukum, Moral, & Keadilan “Sebuah Kajian Filsafat Hukum”,

Edisi Pertama, Cetakan Ke-1, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 125 75

Irfan Fachruddin, 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan

Pemerintah, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, Alumni, Bandung, h.247

Page 26: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

74

Putusan tidak dimaksudkan untuk menetapkan hak atau hukumnya saja,

tetapi untuk menyelesaikan sengketa, terutama merealisasikan dengan sukarela

atau secara paksa. Oleh karena itu, putusan selain menetapkan dengan tugas

hak atau hukumnya juga supaya dapat direalisir, mempunyai kekuatan

eksekutorial, supaya dapat direalisir, mempunyai kekuatan eksekutorial,

putusan itu secara paksa oleh alat perlengkapan negara.

Pasal 97 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,

menyatakan sebagai berikut:

Ayat (7) Putusan pengadilan dapat berupa:

a. gugatan ditolak;

b. gugatan dikabulkan;

c. gugatan tidak diterima;

d. gugatan gugur.

Ayat (8)

Dalam hal gugatan dikabulkan maka dalam putusan pengadilan

tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan

atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan Tata

Usaha Negara.

Ayat (9) kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) berupa:

a. pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan, atau

b. pencabutan Keputusan Tata Usaha negara yang bersangkutan dan

menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru; atau

c. penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan

didasarkan pada Pasal 3.

Ayat (10) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dapat

disertai pembebanan ganti rugi.

Ayat (11)

Dalam hal putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8)

menyangkut kepegawaian maka di samping kewajiban sebagaimana

dimaksud dalam ayat (9) dan ayat (10), dapat disertai pemberian

rehabilitasi.

Kegunaan dari teori ration decidendisebagai pisau analisis dalam

memecahkan permasalahan kedua dan ketiga dalam disertasi ini mengenai

ketidaktaatan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dan implikasi hukum

Page 27: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

75

terhadap ketidaktaatan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara oleh Komisi

Pemilihan Umum.

2.1.5. Teori Penemuan Hukum

Intepretasi adalah upaya menemukan dan menyajikan makna yang

sebenarnya dari tanda-tanda apapun yang digunakan untuk menyampaikan ide-

ide. “Makna yang sebenarnya” dari tanda tersebut adalah makna yang memang

dikehendaki untuk diekspresikan oleh orang yang menggunakan tanda itu,

sedangkan Kontruksi adalah penarikan kesimpulan mengenai pokok bahasan

yang ada dibalik ekspresi langsung teks, dari unusr-unusr uang diketahui dan

terdapat dalam teks-kesimpulan yang terkandung dalam semangat, dan bukan

pada huruf yang tertera pada teks.76

Menurut A. Soeteman dan P.W. Brouwer dalam Philipus M. Hadjon77

menyebutkan satu dalil yang kuat; satu argumentasi bermakna hanya dibangun

atas dasar logika. Dengan kata lain adalah “condition sine qua non” agar suatu

keputusan dapat diterima adalah apabila didasarkan pada proses nalar, sesuai

dengan sistem logika formal yang merupakan syarat mutlak dalam

argumentasi. Argumentasi yuridis merupakan salah satu argumentasi khusus.

Terdapat 2 (dua) hal yang menjadi dasar yaitu:

a. Tidak ada hakim ataupun pengacara, yang mulai berargumentasi dari

suatu keadaan hampa, yang mulai berargumentasi dari hukum selalu dari

hukum positif. Hukum Positif bukan merupakan suatu keadaan yang

tertutup maupun statis, akan tetapi merupakan satu perkembangan yang

berlanjut. Dari suatu ketentuan hukum positif, yurisprudensi akan

menentukan norma-norma baru. Orang dapat bernalar dari ketentuan

76

Gregory Leyh, 2011, Hermeneutika Hukum Sejarah, Teori dan Praktik, Nusa Media,

Cetakan Kedua, Bandung, h. 141-144 77

Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Loc.Cit, h. 17-18

Page 28: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

76

hukum positif dari asas-asas yang terdapat dalam hukum positif untuk

mengambil keputusan-keputusan baru.

b. Khususan yang kedua dalam argumentasi hukum atau penalaran hukum

berkaitan dengan kerangka prosedural, yang di dalamnya berlangsung

argumentasi rasional dan diskresi rasional.78

Suatu argumentasi yang memenuhi ruang kosong dalam sistem

perundang-undangan ialah tindakan yang disebut argumentum a contrario.

Paul Scholten dalam Abintoro Prakoso79

mengatakan bahwa Undang-Undang

secara analogi dan menerapkan Undang-Undang secara argumentum a

contrario. Hanya hasil dari kedua cara menjalankan undang-undang itu yang

berbeda. Analogi menghasilkan hal-hal yang positif, sedangkan tindakan

menjalankan Undang-Undang secara argumentum a contratio menghasilkan

hal-hal yang negatif. Kedua cara menjalankan Undang-Undang ini berdasarkan

argumentasi. Adakalanya suatu peristiwa tidak secara khusus diatur oleh

undang-undang, namun kebalikan dari peristiwa tersebut diatur oleh Undang-

Undang. Cara menemukan hukum ialah dengan mempertimbangkan bahwa

apabila Undang-Undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu,

maka peratuan itu terbatas pada peristiwa tertentu dan untuk peristiwa diluar

berlaku kebalikannya. Ini merupakan metode a contrario. Ini merupakan cara

penafsiran atau penjelasan undang-undang yang didasarkan pada pengertian

sebaliknya dari peristiwa konkrit yang dihadapi dengan perisiwa yang diatur

dalam undang-undang. Apabila suatu peristiwa tertentu diatur, tetapi peristiwa

lainnya yang mirip tidak diatur, maka untuk yang terakhir ini berlaku hal yang

sebaliknya.

78

Ibid 79

Abintoro Prakoso, 2016, Penemuan Hukum: Sistem, Metode, Aliran dan Prosedur dalam

Menemukan Hukum, LaksBang Pressindo, Cetakan Pertama, Yogyakarta, h. 126

Page 29: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

77

Teori penemuan hukum (a contrario) digunakan sebagai pisau analisis

dalam mengkaji permasalah yang ketika mengenai implikasi hukum

ketidaktaatan terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Oleh Komisi

Pemilihan Umum Daerah.

2.1.6. Konsep Negara Hukum

Istilah negara hukum bersumber dari paham rechtstaat dan the rule of

law, juga berkaitan dengan nomocracy yang berasal dari perkataan nomos dan

cratos. Nomos berarti norma, sedangkan cratos adalah kekuasaan. Nomos dan

cratos diartikan sebagai kekuasaan oleh norma atau kedaulatan hukum. Dalam

kaitannya dengan kekuasaan tertinggi dalam suatu negara, menurut paham

demokrasi, kekuasaan tertinggi ada pada norma atau yang berdaulat adalah

norma atau hukum. Plato dalam bukunya yang berjudul nomoi yang kemudian

terjemahan dalam bahasa Inggris dengan judul the laws, jelas tergambar

bagaimana ide nomokrasi sesungguhnya, yang sejak lama dikembangkan dari

zaman Yunani Kuno.80

Istilah “rechtsstaat” mulai dipopularkan di Eropa sejak abad XIX

meskipun pemikiran tentang istilah itu sudah lama ada. Istilah rechtsstaat

pertama kali dipergunakan oleh Rudolf Von Gneist guru besar Universitas

Berlin dalam sebuah bukunya yang berjudul “Des Englisehe

Verwaltungserecht”(1857).81

Dalam buku itu digunakan istilah rechtsstaat

80

Tim Penulis, 2013, Membangun Negara Hukum Yang Bermartabat, Setara Press, Edisi

Cetakan Pertama, Malang, h. 157 81

Bahder Johan Nasution, 2012, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju,

Cetakan Kedua, Bandung, h. 18

Page 30: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

78

untuk menunjuk sistem hukum yang berlaku di Inggris. Kemudian istilah ini di

kembangkan oleh Friederich Julius Sthal.

Istilah “the rule of law” mulai popular dengan terbitnya sebuah buku dari

Albert Venn Dicey (1885) dengan judul “Introduction to the study of the law of

the constitution”.82

Menurut Philipus M. Hadjon konsep rechtsstaat lahir dari

suatu perjuangan menentang absolutisme sehingga sifatnya revolusioner

sedangkan the rule of law berkembang secara evolusioner.83

Beliau lebih

lanjut mengatakan konsep rechtsstaat bertumpu atas sistem hukum continental

yang disebut “civil law” atau modern Roman law”, sedangkan Konsep the rule

of law bertumpu atas sistem hukum yang disebut common law”. Karakteristik

“civil law” adalah administratif” sedangkan karakteristik “common law” adalah

“judicial”.84

Menurut Mahfud MD, kebenaran hukum dan keadilan di dalam

rechtsstaat terletak pada ketentuan bahkan pembuktian tertulis. Hakim yang

bagus menurut paham civil law (legisme) adalah dapat menerapkan atau

membuat putusan sesuai dengan bunyi undang-undang.85

Sedangkan the rule of

law kebenaran dan keadilan semata-mata hukum tertulis.86

Ciri-ciri rechtsstaat yang klasik (formalrechtsstaat) menurut Friederich

Julius Stahl adalah:

82

Tim Penulis, Op. Cit, h. 157 83

Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia “sebuah studi

tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan

Umum dan pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Bina Ilmu, Cetakan Pertama, Surabaya,

h. 72 84

Ibid 85

Moh. Mahfud MD, 2011, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, Cetakan

Kedua, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 25 86

Ibid

Page 31: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

79

1. Adanya pengakuan akan hak-hak dasar manusia;

2. Adanya pembagian kekuasaan;

3. Pemerintahan berdasarkan atas undang-undang (wetmatigheid van

bestuur);

4. Adanya pengadilan tata usaha negara.87

Sedangkan ciri-ciri rule of law menurut A.V. Dicey, diantaranya:

1. Supremacy of law, artinya tidak boleh ada kesewenang-wenangan,

seseorang boleh dihukum jika melanggar hukum;

2. Quality before the law, artinya kedudukan yang sama di depan

hukum; dan

3. Human rights, artinya terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh

undang-undang dan putusan-putusan pengadilan.88

Lahirnya konsep negara hukum dimaksudkan sebagai usaha untuk

membatasi penguasa negara agar tidak menyalahgunakan kekuasaan untuk

menindas rakyat. Sebab konsep ini mengetengahkan bahwa semua orang sama

di depan hukum oleh karana itu, tidak ada seorang pun termasuk negara yang

kebal terhadap hukum.Konsep negara hukum penulis gunakan sebagai pisau

analisis dalam menyoroti permasalahan hukum ketiga dalam disertasi ini.

2.1.7. Asas Legalitas

Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf a menyebutkan yang dimaksud dengan

“asas kepastian hukum” adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan

landasan ketentuan peraturan perundang-undangan, keputusan, keajegan, dan

keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan.89

Menurut

87

Bahder Johan Nasution, h. 18-19 88

Rommy Librayanto, 2008, Trias Politika Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia,

Cetakan pertama, PuKAP, Makassar, h. 12 89

Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang

Administrasi Pemerintahan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601.

Page 32: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

80

Fachmi,90

asas legalitas atau kepastian hukum dalam pandangan positivis

adalah setiap pernyataan preskriptif yang dapat dikualifikasikan sebagai hukum

positif itu mesti dirumuskan dalam suatu kalimat yang menyatakan adanya

hubungan kausal yang logis-yuridis antara suatu peristiwa hukum atau

perbuatan hukum (judex factie) dengan akibat yang timbul sebagai konsekuensi

peristiwa itu (judex juris), yang terbentuk sebagai hasil kesepakatan

kontraktual oleh para hakim yang berkepentingan di ranah publik, sebagaimana

dirupakan dalam bentuk Undang-Undang.

Oleh sebab itu, dapat diakui sifatnya yang tersubjektif-objektif

(objective-intersubjective), netral alias tidak memihak, untuk kemudian

difungsikan sebagai sarana kontrol, yang pengelolaan penyelenggaraannya dan

pengembangan doktrinnya dipercayakan kepada suatu kelompok khusus yang

profesional, yang disebut lawyer atau jurist. Asas legalitas yang penulis

munculkan dalam disertasi ini, dimaksudkan oleh penulis sebagai salah satu

pisau analisis dalam menguji permasalahan kedua mengenai ketidaktaatan

terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara oleh Komisi Pemilihan

Umum selaku Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.

2.1.8. Asas Erga Omnes

Sengketa TUN (administrasi) adalah sengketa hukum publik (hukum

administrasi). Putusan hakim Peradilan Administrasi merupakan putusan

hukum publik (mempunyai karakter hukum publik). Dengan demikian, putusan

hakim Peradilan Administrasi berlaku bagi siapa saja yang berkepentingan

90

Facmi, 2011, Kepastian Hukum Mengenai Putusan Batal Demi Hukum Dalam Sistem

Peradilan Pidana Indonesia, Cetakan Pertama, Ghalia Indonesia Publishing, Bogor, h. 43

Page 33: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

81

dengan suatu obyek sengketa (perkara) dapat ditarik menjadi pihak yang

berperkara; tergugat. Dalam hukum acara Peradilan administrasi hanya organ

pemerintah yang mengeluarkan Surat keputusan yang menjadi obyek sengketa

saja yang dapat dijadikan pihak tergugat.91

Sengketa administrasi merupakan sengketa yang terletak dalam lapangan

hukum public, maka putusan hakim peradilan administrasi akan menimbulkan

konsekuensi mengikat umum dan mengikat terhadap sengketa yang

mengadung persamaan, yang mungkin timbul pada masa yang akan datang.

Sebab apabila suatu peraturan perundang-undangan oleh hakim dinyatakan

tidak sah, karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi berarti peraturan perundang-undangan tersebut berakibat menjadi

batal dan tidak sah untuk mengikat setiap orang.

Asas hukum erga omnes merupakan salah satu asas yang penting bagi

penulis untuk menguji permasalahan kedua dalam disertasi penulis mengenai

ketidaktaatan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara oleh Komisi Pemilihan

Umum.

2.2. Orientasi Hubungan Putusan PTUN Dengan Pemilihan Kepala Daerah

Dalam bahasa sehari-hari, apa yang disebut “konsep” itu tak lain dari pada

„kata‟, dengan makna yang disepakati bersama. Disebut dalam batasan tertentu

yang definitif, apa yang disebut konsep secara umum ini tak lain daripada apa

yang disebut konsep secara umum ini tak lain daripada apa yang disebut “terma”

dalam logika dan apa yang disebut „istilah‟ dalam setiap perbincangan keilmuan.

91

Suparto Wijoyo, 1997, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi, Airlangga

University Press, Surabaya, h. 174

Page 34: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

82

Apapun sebutannya dalam berbagai perbincangan, secara umum dapatlah

dikatakan perdefenisi bahwa “konsep” yang berarti „menangkap‟ itu adalah

simbol kebahasan tertentu yang digunakan sebagai representasi objek yang

diketahui dan/atau dialami bersama oleh kelompok manusia dalam kehidupan

bermasyarakatnya.92

2.2.1. Pentaatan

Kebiasaan mentaati peraturan hukum positif dalam proses pembudayaan

hukum itu menyangkut dua faktor intern orang atau kelompok orang; pertama;

faktor psychologist dan faktor ratio orang atau kelompok orang, secara

psychologist orang merasa terikat pada peraturan tersebut, karena peraturan

hukum itu adalah hasil kesepakatan kelompok orang yang diberi fungsi

legislatif atau kesepakatan masyarakat hukum di mana hukum itu diberlakukan,

kedua; secara rational memang hukum itu berfungsi untuk melindungi hak-hak

hukum orang dari perbuatan sewenang-wenang yang dapat dilakukan oleh

pihak siapapun juga tidak dari pihak pemerintah.93

Hak-hak hukum yang dimaksud adalah hak yang diberikan oleh hukum

kepada orang seperti hak untuk menggugat, kemudian peraturan hukum juga

dapat memaksakan orang yang mempunyai kewajiban hukum, yaitu kewajiban

yang dibebankan oleh hukum kepada orang yang berhak.

92

Soetandyo Wignjosoebroto, 2013, Pergeseran Paradigma Dalam Kajian-Kajian Sosial

Dan Hukum, Setara Press, Malang, h. 2 93

Umar Dani, 2015, Putusan Pengadilan Non-Executable Proses dan Dinamika Dalam

Konteks PTUN, Cetakan Pertama, Genta, Yogyakarta, h. 43

Page 35: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

83

Menurut Radisman dalam Umar Dani94

menyebutkan faktor-faktor

penyebab para warga masyarakat mematuhi hukum adalah sebagai berikut:

a. Kepentingan-kepentingan warga masyarakat terlindung oleh hukum;

b. Compliance, pada faktor ini orang patuh terhadap hukum karena didasarkan

pada harapan akan suatu imbalan atau sebagai usaha untuk menghindarkan

diri dari hukuman/sanksi yang akan mungkin akan dijatuhkan mana kala

hukum itu dilanggar;

c. Indentification, orang mematuhi hukum karena identifikasi artinya dia

mematuhi hukum bukan nilai sesungguhnya dari kaedah itu, akan tetapi

karena ingin memelihara hubungan dengan warga-warga lainnya yang

sekelompok/segolongan atau dengan pejabat hukum.

d. Internalizatio, pada faktor ini menjelaskan bahwa orang patuh kepada

hukum karena kaedah-kaedah hukum itu ternyata sesuai dengan nilai-nilai

yang menjadi perjuangan warga masyarakat.

2.2.2. Putusan

Kata “putusan” lazim dipandang dengan kata asing seperti “von‟nis‟ dari

bahasa Belanda dan kata “judgement” dari bahasa Inggris. Menurut N.E. Algra

et al., “von‟nis” adalah: “keputusan yang diberikan oleh hakim untuk

sementara mengakhiri perkara yang dibawa kehadapannya dalam bentuk yang

disyaratkan”.95

Dalam Black Dictonary istilah” judgment adalah “a court‟s final

determination of the rights and obligations of the parties in a case96

(terjemahan bebas “putusan adalah keputusan akhir pengadilan tentang hak dan

kewajiban para pihak dalam sebuah kasus).Henry Cambell Black

mengemukakan pengertian“Judgement” adalah “the official and authentic

decision of a court of justice upon respective rights and claims of the parties to

94

Ibid 95

Irfan Fachruddin,2004, Pengawasan Pengadilan Administrasi Terhadap Tindakan

Pemerintah, PT. Alumni, Edisi Pertama Cetakan Kesatu, Bandung, h. 227-228 96

Bryana Garner, 1999, Black‟s Law Dictionary, ST. Paul, Minn, Seventh Edition, United

States of America, h. 846

Page 36: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

84

an action or suit there in litigated and submitied to its determination”.97

(Keputusan pejabat pengadilan yang resmi dan otentik tentang hak dan tuntutan

suatu pihak terhadap tindakan atau gugatan dimana tuntutan diserahkan pada

ketetapannya).

Putusan hakim menurut Sudikno Mertokusumo adalah“… suatu

pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang

untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau

menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para

pihak”.98

Memperhatikan unsur dari pengadilan administrasi dan sengketa

putusan peradilan, dihubungkan dengan batasan sengketa administrasi dalam

undang-undang peradilan administrasi, dapat disimpulkan bahwa putusan

badan peradilan administrasi adalah pernyataan oleh hakim peradilan yang

berwenang memutus dan menyelesaikan sengketa administrasi antara orang

atau badan hukum perdata dengan pemerintah, dan diucapkan pada sidang

terbuka untuk umum.

2.2.3. Pengadilan Tata Usaha Negara

Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu badan peradilan di

bawah sebuah Mahkamah Agung yang memiliki fungsi kekuasaan kehakiman

yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum

dan keadilan. Fungsi kekuasaan kehakiman ini dilihat dari kewenangan atribusi

diamanatkan dalam Pasal 24 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUDNRI

97

Irfan Fachruddin, OP. Cit, h. 228 98

Ibid

Page 37: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

85

1945.99

Pasal 24 ayat (2) UUDNRI 1945 menyebutkan salah satu peradilan

yang berada di bawah Mahkamah Agung adalah Peradilan Tata Usaha Negara.

Kewenangan atribusi dimaksud pada ayat (2), selanjutnya Peradilan Tata

Usaha dibentuk dengan Undang-Undangan tersendiri yaitu Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, kemudian diubah

dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Pasal 1 angka 1 Perubahan Kedua Atas Undang-Undan Nomor 51 Tahun 2009

memberi batasan defenisi pengadilan tata usaha negara.100

Penggunaan istilah Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana secara

normatif dalam UU No. 51 Tahun 2009, di samping itu temukan pula pada UU

No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, TAP MPR No. II/1983,

dan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Ketiga instrument hukum ini menggunakan istilah hukum tata usaha negara.

Istilah Pengadilan Tata Usaha Negara awalnya mendapat perdebatan

mengenai penggunaan istilah tersebut. Penggunaan istilah Peradilan Tata

Usaha Negara lebih dikenal dengan berbagai peristilahan, antara lain:

99

Pasal 24 UUDNRI 1945

(1) Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

(2) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan

peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan

peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan Tata Usaha

Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

(3) Badan-badan peradilan lain yang fungsi berkaitan dengan kekuasaan kehakiman

diatur dalam undang-undang. 100

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 “Pengadilan adalah Tata

Usaha Negara Dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di lingkungan Peradilan Tata Usaha

Negara.

Page 38: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

86

1. Peradilan Administrasi;

2. Peradilan Administratif;

3. Peradilan Administrasi Negara;

4. Peradilan Tata Usaha;

5. Peradilan Tata Usaha Negara;

6. Peradilan Tata Usaha Pemerintahan.101

Keenam istilah tersebut di atas cenderung dipergunakan istilah Peradilan

Admnistrasi. Menurut Rochmat Soemitro:102

Dengan sengaja kami mempergunakan istilah „peradilan administrasi‟.

Sering pula dalam tulisan-tulisan bahkan dalam Undang-Undang atau

penjelasan dijumpai kata „peradilan administratip‟ merupakan suatu

perusakan bahasa, karena dalam bahasa Indonesia suatu kata yang

merupakan „adjective‟ dari suatu kata lain tidak mengalami perubahan,

seperti: kayu, meja besi, rumah batu dsb. Oleh karena itu kata sifat

„administrasi‟ tidak kami ubah.

Lebih lanjut Rochmat Soemitro mengatakan penggunaan kata-kata

„administrasi‟ dan bukan tata usaha negara‟ karena sebab-sebab tertentu:103

1. Kata administrasi itu sudah diterima umum dan pula telah

dipergunakan oleh pemerintah kita; buktinya dengan adanya

“Lembaga Administrasi Negara‟, „Administrasi Niaga‟, dsb.

2. Kata „administrasi‟ yang asalnya dari kata-kata Latin‟ administrare‟

dapat mempunyai dua arti.104

101

Suparto Wijoyo, 1997, Karakteristik Hukum Acara peradilan Administrasi, Airlangga

University Press, Cetakan Pertama, Surabaya, h. 1 102

Ibid 103

Ibid, h. 1-2 104

Dua arti administrasi yang dimaksudkan adalah:

a. „eike steisseimatige, schriftelijke vastiegging en ordering van gegevens te

verkrijgen van aantekeningen kan men als administratie qualificeren‟, (setiap

penyusunan keterangan yang dilakukan secara tertulis dan sistematis dengan

maksud mendapatkan suatu ikhtiar dari keterangan-keterangan itu dalam

keseluruhan dan dalam hubungan satu dengan lain. Tidak semua himpunan catatan

yang lepas dapat dinyatakan sebagai administrasi).

b. „word ook in bijzonder gebruikt voor het bestuur van de staat, de provincien, de

waterschappen, de gemeenten en grote maatschappijen. in de V.S. Verstaat men

onder „the administration‟ het gehele staatsbestuur, de president daaronder

begrepen‟, (digunakan juga istimewa untuk menyatakan pemerintahan suatu

negara, Provinsi, waterchapp (=subak), kota-kota dalam maskape-maskape besar.

Di Amarika Serikat dengan kata „theadministration‟ dimaksudkan keseluruhan

pemerintahan, termasuk presiden). Bila „administratie‟ diartikan seperti

dimaksudkan di bawah sub (b), maka akan kami gunakan terjemahan

„administrasi‟.

Page 39: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

87

3. Kata administrasi itu mengingatkan kita pada kata-kata asing yang

mirip yaitu „administration‟ dan „administratie‟ yang mempunyai arti

sama, sehingga penggunaan istilah itu akan memudahkan kami bila

kami mempelajari buku asing dalam bahasa Inggris, Prancis, dan

Belanda.

2.2.4. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang

melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan undang-undang

yang berlaku. Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara.

Pasal 122 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil

Negara (ASN) menentukan Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal

121 yaitu:

a. Presiden dan Wakil Presiden;

b. Ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat;

d. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

e. Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakimagung pada Mahkamah

Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan

peradilan kecuali hakim ad hoc;

f. Ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi;

g. Ketua, wakil ketua, dan anggota badan Pemeriksa Keuangan;

h. Ketua, wakill ketua, dan anggota Komisi Yudisial;

i. Ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi;

j. Menteri dan jabatan setingkat menteri;

k. Kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang

berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;

l. Gubernur dan wakil gubernur;

m. Bupati/wakil bupati dan wakil bupati/wakil walikota; dan

n. Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh undang-undang.

Peraturan Kepala badan Kepegawaian Negara Nomor 7 Tahun 2013

tentang Pedoman Standar Kompetensi Manajerial Pegawai Negeri sipil

Page 40: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

88

memberi batasan pengertian mengenai jabatan. Pengertian jabatan yang

dimaksudkan dengan dalam peraturan ini adalah kedudukan yang menunjukkan

tugas, tanggungjawab, wewenang, dan hak seorang PNS dalam melaksanakan

tugas jabatan.

Pejabat adalah orang yang menduduki jabatan tertentu dalam birokrasi

pemerintah. Kekuasaan pejabat ini amat menentukan, karena segala

urusan yang berhubungan dengan jabatan itu maka orang yang berada

dalam jabatan itu yang menentukan. Jabatan-jabatan itu disusun dalam

tatanan hierarki dari atas ke bawah. Jabatan-jabatan yang berada hierarki

atas mempunyai kekuasaan yang lebih besar ketimbang jabatan yang ada

di tataran bawah. Semua jabatan lengkap dengan fasilitas yang

mencerminkan kekuasaan tersebut…105

2.2.5. Pemilihan Umum

Pemilihan umum secara eksplisit diatur dalam Bab VIIB Pasal

22EUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, sebagai berikut:

(1) Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,

rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.

(2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil

Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

(3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan

Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai

politik.

(4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan

Daerah adalah perseorangan.

(5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan

Umum yang bersifat nasional tetap, dan mandiri.

(6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan

undang-undang.

Pengertian pemilihan umum dapat didefenisikan secara jelas dalam Pasal

1 angka 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelengara

Komisi Pemilihan Umum berbunyi “Pemilihan Umum, selanjutnya disebut

105

Miftah Thoha, 2014, Birokrasi Politik & Pemilihan Umum Di Indonesia, Prenamedia

Group, Cetakan Pertama, Jakarta, h. 7

Page 41: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

89

Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan

secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan

Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

2.2.6. Pemilihan Kepala Daerah

Konsep pilkada yang tidak memasukkan unsur kata “umum” di

dalamnya, menjadi permasalahan serius hingga kini. Oleh sebab itu, perdebatan

apakah pemilihan kepala daerah merupakan bagian dari pemilu, tidak akan

pernah berhenti.106

Pemahaman yang mendalam akan konsep “Pemilihan Umum”, harus

dimulai dari mengetahui hakekat pemilu. Secara konstitusional pengaturan

pemilihan umum tercantum pada Bab VII yakni pasal 22 E, yang menentukan:

(1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung umum, bebas,

rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.

(2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota dewan

perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah, presiden dan wakil

presiden dan perwakilan rakyat daerah.

(3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota dewan perwakilan

rakyat dan anggota dewan perwakilan rakyat daerah adalah partai

politik.

(4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota dewan perwakilan

rakyat daeah adalah perseorangan.

(5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan

umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.

Beberapa ketentuan di atas menunjukkan beberapa hal, pertama,

ketentuan pada ayat (1) menekankan pada sifat atau karakter dari pemiihan

umum, kedua, ayat (2) terkontruksi pada pembatasan penyelenggaraan

106

Jemmy Z. Usfunan, Memahami Hakekat Pilkada dan Upaya Penyelesaiannya,

Makalah Seminar Nasional, Fakultas Hukum Universitas Jember, 25 April 2015,h. 1

Page 42: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

90

(momentum/kegiatan) dari pemilihan umum yang diatur dalam konstitusi.

Ketiga, ayat (3) dan (4) menentukan peserta pemilu. Keempat, ayat (5)

menekankan pada fungsi lembaga yang menyelenggarakan pemilihan umum.

Kendati, konstitusi tidak menentukan secara rigit tentang pengertian

pemilu, namun memberikan beberapa ciri yang dapat dikategorikan sebagai

suatu pemilu yakni berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan

adil (Luber-Jurdil); diadakan setiap lima tahun; dan diselenggarakan oleh suatu

komisi pemilihan umum. Esensi pada ayat (2) memberikan batasan terhadap 3

unsur lainnya, yang berimplikasi tidak dapatnya “pemilu” ditafsirkan lebih luas

lagi (konstekstual). Dengan kata lain harus ditafsirkan secara leterlijk atau

original intent.

Esensi batasan penyelenggaraan pemilu menekankan pada penegasan

bahwa „suatu komisi pemilihan umum” sebagaimana diatur Pasal 22 E ayat (5)

UUDNRI 1945, memiliki fungsi utama (berdasarkan konstitusi) untuk

menyelenggarakan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan

Wakil Presiden dan DPRD. Mengingat antara ketentuan saling berkaitan maka

patut diperhatikan frasa Pasal 22 E ayat (3) dan ayat (5) UUDNRI 1945, secara

seksama:

Frasa pertama, “peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan

Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah adalah partai politik.”

Frasa kedua, “pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi

pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”.

Page 43: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

91

Kedua ayat tersebut memperjelas eksistensi “suatu komisi pemilihan

umum” hanya memiliki wewenang dalam peyelenggaraan pemilu yang

dimaksud pada ayat (3). Terlepas dalam Undang-Undang kemudian

memberikan kewenangan kepada KPUD bukan berarti itu menunjukkan bahwa

pilkada termasuk pemilu sebagaimana diamanatkan dalam

konstitusi.Argumentasi lain untuk menegaskan bahwa pilkada bukan pemilu

menurut konstitusi dapat dilihat dari perspektif asas noscitus a sociis, sebagai

salah satu asas dalam prinsip contextualism yang dipopulerkan oleh Ian

Mcleod. Dari sudut pandang asas yang mengartikan bahwa setiap kata harus

dilihat dari kesatuannya, memerlukan pengkajian lebih lanjut mengenai makna

pemilu dari sudut pandang konstitusi. Adapun penggunaan kata, pemilihan

umum” digunakan dalam beberapa rumusan ketentuan yaitu:

1. Pasal 2 ayat (1) UUDNRI 1945

Majelis permusyarawatan rakyat terdiri atas anggota DPR dan anggota

DPD yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebh lanjut

dengan undang-undang`

2. Pasal 6 A ayat (2) UUDNRI 1945

Pasangan calon Presiden dan Wakil presiden diusulkan oleh partai

politik atau gabungan partai peserta pemilihan umum sebelum

pelaksanaan pemilihan umum.

3. Pasal 18 ayat (3) UUDNRI 1945

Pemerintahan dengan Provinsi, daerah Kabupaten, dan Kota memiliki

dewan perwakilan rakyat daerah yang anggota-anggotanya dipilih

melalui pemilihan umum.

4. Pasal 19 ayat (1) UUDNRI 1945

Anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum.

5. Pasal 22C ayat (1) UUDNRI 1945

Anggota Dewan Perwakilan daerah dipilih dari setiap provinsi melalui

pemilihan umum.

Ketentuan-ketentuan tersebut menegaskan kembali bahwa pemilihan

umum hanya dibatasi pada pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat,

Page 44: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

92

Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah.Pengaturan tentang batasan kekuasaan atau kewenangan, dari pemilu

ini merupakan eksistensi konsep negara hukum “rechtsstaat” sebagaimana

dipopulerkan oleh Immanuel kant dan dikembangkan oleh Friedrich Stahl. Hal

ini sejalan dengan kodifikasi hukum yang mengedepankan pembatasan

kekuasaan tersebut. Apabila diperhatikan secara hakiki frasa “suatu komisi

pemilihan umum” tidak menunjukkan pada nama lembaga sebab menggunakan

awalan huruf kecil. Bandingkan dengan penyebutan lembaga negara lain dalam

UUDNRI 1945 yang menggunakan awalan huruf besar seperti Presiden, Badan

Pemeriksa Keuangan, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung

dan Komisi Yudisial.

Pembasatan kewenangan Komisi Pemilihan Umum yang diatur dalam

konstitusi terhadap pemilihan kepala daerah, diatur belakang esensi otonomi

daerah yang saat amandemen UUD 1945 merupakan bagian suasana kebatinan.

Sehingga secara konstitusional Komisi Pemilihan Umum tidak secara otomatis

menjadi penyelenggara Pilkada. Msekipun secara sifat pemilihan kepala

daerah, menggunakan asas Luber-Jurdil sebagai landasan, bukan berarti

menjadi kewenangan mutlak dari Komisi Pemilihan Umum untuk

menanganinya.

Pasal 18 ayat (4) UUDNRI 1945, yang menentukan: “Gubernur, Bupati,

dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintahan Daerah Provinsi,

Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis.” Penggunaan frasa “dipilih

Page 45: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

93

secara demokratis” merupakan penghargaan terhadap eksistensi Pasal 18 ayat

(2) UUDNRI 1945: Pemerintah Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Kota

mengatur asas otonomi dan tugas pembantuan. Penerapan otonomi daerah

memberikan keleluasaan kepada daerah untuk melakukan pemilihan secara

demokratis menurut kebutuhan. Disamping itu memberikan keleluasaan kepada

pembentuk undang-undang untuk memilih metode alternative antara pilkada

langsung atau tidak langsung, berdasarkan kebutuhan masyarakat. pemikiran-

pemikiran ini menunjakkan bahwa pemilihan kepala daerah bukan merupakan

pemilihan umum sebagaimana yang ditentukan oleh konstitusi.

Keputusan MK No. 97/PUU-XI/2013 yang telah mengabulkan semua

permohonan Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) tentang

kewenangan Mahkamah Konstitusi suadah sangat jelas dan gamblang.

Diperkuat lagi komentar anggota Hakim Konstitusi Patrialis “RUU Pilkada

sesungguhnya sudah sangat jelas di Putusakan MK No. 97 yakni MK tidak

berhak mengani perkara Pilkada bukan pemilihan Umum seperti yang

diamanatkan di dalam UUD 1945.107

Pemilihan kepala daerah dalam UUD 1945, dituliskan pada bab yang

berbeda, yaitu BAB IV tentang Pemerintahan Daerah, pada Pasal 18 ayat (4)

menentukan “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala

Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara

demokratis”. Artinya konsitusi sendiri tidak memasukkan pemilihan Kepala

Daerah kedalam bab yang mengatur tentang Pemilu. Dapat dikatakan

107

H. Supandi, Peranan Mahkamah Agung Dalam Penyelesaian Perselisihan Hasil

Pilkada Di Indonesia, Materi Seminar Nasional, Fakultas Hukum Universitas Jember, 25 April

2015,h. 2

Page 46: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

94

pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) tidak tergolong dalam rezim Pemilu.

Itu sebab dalam Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 tidak memasukkan frase Kepala

Daerah dalam Pasal 22EPemilihan Umum. Sehingga pada awal

penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah diserahkan kepada Mahkamah

Agung, dan saat itu Mahkamah Konstitusi masih terus fokus pada

kewenangannya dalam menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945.

Setelah munculnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 sebagaimana

telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang

Penyelenggaraan Pemilihan Umum menggolongkan Pemilihan Kepala Daerah

ke dalam rezim Pemilu yang terdapat pada Pasal 1 ayat (4) ketentuan Umum

berbunyi “Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Derah adalah Pemilu

untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung

dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945”. Kemudian

dilakukan perubahan hingga muncul Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008

tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini penanganan sengketa

Pemilukada dialihkan dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi.

Peralihan kewenangan penyelesaikan sengketa tersebut sebagaimana diatur

dalam Pasal 236C yang menyatakan bahwa “penanganan sengketa hasil

perhitungan suara pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah oleh

Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18

(delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan”. Kemudian

dilanjutkan dengan dibuatnya nota kesepahaman (MOU) pada tahun 2008

Page 47: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

95

tentang pelimpahan kewenangan penanganan penyelesaian sengketa

Pemilukada dari Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi. Sementara

dalam Undang-Undang Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi.

Sementara dalam Undang-Undang Mahkamah Konsitusi (Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2003 dan perubahannya yaitu Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2011), tidak ada frasa yang menambahkan kewenangan Mahkamah

Konstitusi dalam mengadili terhadap perkara sengketa pemilihan Kepala

Daerah. Namun penambahan kewenangan itu diatur dalam Pasal 29 ayat (1)

huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, dikatakan bahwa “kewenangan lain yang diberikan oleh Undang-

Undang”. Kemudian terdapat frasa tentang penambahan kewenangan

Mahkamah Konstitusi dalam penjelasan Pasal 29 ayat (1) huruf e yang

mengatakan bahwa kewenangan memeriksa, dan memutus sengketa hasil

Pemilihan Umum Kepala Daerah sesuai dengan ketentuan Peraturan

Perundang-Undangan”, yang menjadi legal standing para pemohon perselisihan

hasil Kepala Daerah. Implikasi dari pengalihan kewenangan itulah yang

kemudian memaksa Mahkamah Konstitusi sebagai fokus antara wewenang

yang diberikan UUD 1945, terutama pengujian Undang-Undang, dengan

ketatnya batas waktu penyelesaian sengketa Pemilu yang diatur dalam Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2003 pada Pasal 78 huruf a paling lambat 14 (empat

belas) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam buku Registrasi Perkara

Konstitusi dalam hal Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden,

selanjutnya huruf b menyebutkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak

Page 48: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

96

permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi, dalam hal

Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.

2.2.7. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 menyatakan “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-

masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota

dipilih secara demokratis. Kepala Daerah dapat diatur dalam Bab VII Bagian

ketiga Paragraf 1Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah yang pengaturannya dimuat dalam Pasal 59 sampai dengan Pasal 66

Undang-Undang ini.108

108

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 59

(1) Setiap daerah dipimpin oleh kepala pemerintah daerah yang disebutkan kepala daerah.

(2) Kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk daerah provinsi disebut gubernur,

untuk daerah kabupaten disebut bupati, dan untuk daerah kota disebut walikota.

Pasal 60

Masa jabatan kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) adalah 5 (lima)

tahun terhitung sejak pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang

sama hanya untuk satu kali masa jabatan.

Pasal 61

(1) Kepala Daerah sebelum memangku jabatannya dilantik dengan mengucapkan sumpah/janji

yang dipandu oleh pejabat yang melantik.

(2) Sumpah/janji kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut:

“Demi Allah/Tuhan, saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai kepala

daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala undang- undang dan

peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa, dan bangsa”.

Pasal 62

Ketentuan mengenai pemilihan kepala daerah diatur dengan undang-undang.

Pasal 63

(1) Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dapat dibantu oleh wakil

kepala daerah.

(2) Wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk daerah provinsi disebut

wakil gubernur, untuk daerah kabupaten disebut wakil bupati, dan untuk daerah kota disebut

wakil walikota.

Page 49: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

97

Pasal 64

(1) Wakil kepala daerah sebelum memangku jabatannya dilantik dengan mengucapkan

sumpah/jani yang dipandu oleh pejabat yang melantik.

(2) Sumpah/janji wakil kepala daerah sebagaimana dimasud pada ayat 91) adalah sebagai

berikut:

“Demi Allah/Tuhan, saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai wakil

kepala daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan

peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa”.

Pasal 65

(1) Kepala daerah mempunyai tugas:

a. memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintah yang menjadi kewenangan daerah

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan

bersama DPRD;

b. memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat;

c. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang RPJPD dan rancangan Perda tentang

RPJMD kepada DPRD untuk dibahas bersama DPRD, serta menyususn dan menetapkan

RKPD;

d. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD, rancangan Perda tentang

perubahan APBD, dan rancangan Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD

kepada DPRD untuk dibahas bersama;

e. mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum

untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

f. mengusulkan pengangkatan wakil kepala daerah; dan

g. melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepala daerah berwenang:

a. mengajukan rancangan Perda;

b. menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;

c. menetapkan Perkada dan keputusan kepala daerah;

d. mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak yang sangat dibutuhkan oleh

Daerah dan/atau masyarakat;

e. melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Kepala daerah yang sedang menjalani masa tahanan dilarang melaksanakan tugas dan

kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat 91) dan ayat (2).

(4) dalam hal kepala daerah sedang menjalani masa tahanan sebagaimana dimaksud pada ayat

(3) atau berhalangan sementara, wakil kepala daerah melaksanakan tugas dan wewenang

kepala daerah.

(5) Apabila kepala daerah sedang menjalani masa tahanan atau berhalangan sementara dan tidak

ada wakil kepala daerah, sekretaris daerah melaksanakan tugas sehari-hari kepala daerah.

(6) Apabila kepala daerah dan wakil kepala daerah sedang menjalani masa tahanan atau

berhalangan sementara, sekretaris daerah melaksanakan tugas sehari-hari kepala daerah.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang kepala daerah oleh wakil

kepala daerah dan pelaksanaan tugas sehari-hari kepala daerah oleh sekretaris daerah

sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sampai dengan ayat (6) diatur dalam peraturan

pemerintah.

Pasal 66

(1) Wakil kepala daerah mempunyai tugas:

a. membantu kepala daerah:

1. memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintah yang menjadi kewenangan daerah;

2. mengoordinasikan kegiatan perangkat daerah dan menindaklanjuti laporan dan/atau

temuan hasil pengawasan aparat pengawasan;

3. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintah daerah yang dilaksanakan

oleh perangkat daerah provinsi bagi wakil gubernur; dan

Page 50: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

98

2.2.8. Pasangan Calon Kepala Daerah

Dalam Pasal 1 angka3 dan angka 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun

2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-

Undang, menyatakan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur adalah

peserta Pemilihan yang diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik,

atau perseorangan yang didaftarkan atau mendaftar di Komisi Pemilihan

Umum Provinsi, sedangkan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, Calon

Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah peserta Pemilihan yang diusulkan

oleh partai politik, gabungan partai politik, atau perseorang yang didaftarkan

atau mendaftarkan diri di Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota.

Ketentuan Pasal 1 angka 3 dan 4 di atas secara sejalas mendefenisikan

mengenai Calon Kepala Daerah atau pasangan Calon Kepala daerah. Ketentuan

dimaksud menyebutkan bahwa Calon Kepala Daerah, baik Gubernur, Wakil

Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota adalah

4. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintah yang dilaksanakan oleh

perangkat daerah kabupaten/kota, kelurahan, dan/atau Desa bagi wakil bupati/wali

kota.

b. memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam pelaksanaan

pemerintah daerah;

c. melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah menjalani

masa tahanan atau berhalangan sementara; dan

d. melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Selain melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wakil kepala daerah

melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintah lainnya yang diberikan oleh kepala daerah

yang ditetapkan dengan keputusan kepala daerah.

(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayata (1) dan ayat (2), wakil kepala

daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah.

Page 51: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

99

pasangan calon peserta pemilihan yang disulkan oleh partai politik, gabungan

partai politik, atau perseorangan yang didaftarkan atau mendaftarkan diri

sendiri kepada Komisi Pemilihan Umum Provinsi atau Kabupaten/Kota.

2.3. Kerangka Berpikir

Kerangkan berpikir adalah sebuah alur berpikir secara rasional dan

sistematis mengenai apa yang hendak mau digambarkan dalam suatu penulisan

ilmiah dalam bentuk disertasi. Melalui Pemahaman sederhana menyangkut

kerangka berpikir yang dimaksud maka secara umum dapat dijelaskan secara

singkat sebagai berikut:

Judul dalam disertasi ini adalah Pentaatan Putusan Pengadilan Tata Usaha

Negara Dalam Penetapan Pasangan Calon Kepala Daerah Peserta Pemilukada.

Permasalahan yang hendak dikaji ada tiga masalah yaitu: apa hakekat Pengadilan

Tata Usaha Negara, mengapa Putusan PTUN tidak ditaati oleh KPUD selaku

pejabat/badan TUN, dan masalah ketiga apa akibat hukum ketidaktaatan Putusan

PTUN oleh KPUD. Teori yang dipakai untuk menjawab ketiga permasalahan di

atas yakni: Teori Kedaulatan Hukum digunakan untuk menjawab masalah

pertama, Teori Trias Politika dan Teori Kewenangan digunakan untuk menjawab

masalah kedua dan Teori Kekuatan Mengikat Putusan dipakai untuk menjawab

masalah ketiga. Sedangkan Metode yang dipakai adalah metode normatif, dengan

pendekatan peraturan perundangan-undangan, konseptual dan kasus, dan bahan

yang digunakan adalah bahan hukum. Proses tersebut kemudian melahirkan hasil

dan hasil merupakan jawaban atas judul disertasi yang dipersembahkan oleh

Page 52: BAB II LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORETIS, KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR ... Studi Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk, diterjemahkan oleh

100

penulis ini. Kerangkan berpikir di bawah ini merupakan konklusi dari deskripsi di

atas.

Kerangka Berpikir

Tabel. 2.1

Hasil Penelitian

Later Belakang

Masalah

Rumusan Masalah Teori Metode

Penelitian

Problem Filosofis

o Ketidaktaatan

Putusn PTUN

Problem Yuridis

o Pasal 28D ayat

((3) UUDNRI

1945

o Pasal 115 UU

No. 51 Tahun

2009 ttg PTUN

Problem Sosiologis

o Ketiadak

percayaan

Masyarakat

terhadap

Pengadilan Tata

Usaha Negara

1. Apa hakikat

Pengadilan Tata

Usaha Negara dalam

Negara Hukum?

2. Mengapa Putusan

Pengadilan Tata

Usaha Tidak ditaati

oleh Komisi

Pemilihan Umum

Daerah?

3. Apa implikasi

hukum terhadap

ketidaktaatan

Putusan Pengadilan

Tata Usaha Negara

o Teori

Kedaulatan

Hukum

o Teori Trias

Politika

o Teori

Kewenangan

o Teori ration

decidendi

o Asas Erga

Omnes

o Asas

Kepastian

Hukum

o Teori

Penemuan

hukum

o Konsep

Negara

Hukum

Jenis Penelitian

Hukum Normatif

Pendekatan:

o Perundangan-

Undangan

o Konseptual

o Perbandingan

o Kasus

Sumber Bahan

Hukum:

o Primer

o Sekunder

Teknik Peng

Bahan Hukum

o Bola salju

o Sistem Kartu

Teknik Analisis:

o Deskripsi

o konstruksi

o Interpretasi

o Argumentasi/

Evaluas

Saran