Top Banner
31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik Pada bagian ini dipaparkan bagaimana konsep-konsep teoretik mengenai PKL sebagai salah satu penggerak ekonomi di sektor informal. Selain itu dipaparkan pula kajian tentang partisipasi serta kebijakan publik yang dijadikan sandaran untuk meneropong eksistensi PKL Kota Salatiga dengan berbagai dinamikanya. Selain itu konsep-konsep dimaksud digunakan untuk menyelami aktivitas yang telah dilakoni dalam kurun waktu kurang lebih lima belas tahun semenjak tahun 2002 sampai saat ini, sehingga dapat dikemukakan secara paripurna upaya serta langkah-langkah strategi memperjuangkan hak-hak masyarakat (PKL) melalui sebuah regulasi. PKL dalam Sektor Informal Istilah informal pertama kali dimunculkan oleh Hart (Manning dan Effendi, 1985:75), seorang antropolog asal Inggris, dalam tulisannya yang diterbitkan tahun 1973, setelah melakukan penelitian kegiatan penduduk di kota Accra dan Nima, Ghana. Istilah tersebut digunakan untuk menjelaskan sejumlah aktivitas tenaga kerja yang berada di luar pasar tenaga kerja formal yang terorganisir. Kelompok informal menggunakan teknologi produksi yang sederhana dan padat karya, tingkat pendidikan dan keterampilan terbatas serta dilakukan oleh anggota keluarga. Dari penelitiannya Keit Hart menemukan sejumlah PKL yang memiliki latar belakang pendidikan rendah dengan modal terbatas, dari sini dapat kita pahami bahwa pada sektor informal terdapat peluang yang dengan mudah dapat dijangkau oleh berbagai
52

Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Mar 07, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

31

Bab II

Kajian tentang PKL, Partisipasi dan

Kebijakan Publik

Pada bagian ini dipaparkan bagaimana konsep-konsep teoretik

mengenai PKL sebagai salah satu penggerak ekonomi di sektor

informal. Selain itu dipaparkan pula kajian tentang partisipasi serta

kebijakan publik yang dijadikan sandaran untuk meneropong

eksistensi PKL Kota Salatiga dengan berbagai dinamikanya. Selain itu

konsep-konsep dimaksud digunakan untuk menyelami aktivitas yang

telah dilakoni dalam kurun waktu kurang lebih lima belas tahun

semenjak tahun 2002 sampai saat ini, sehingga dapat dikemukakan

secara paripurna upaya serta langkah-langkah strategi

memperjuangkan hak-hak masyarakat (PKL) melalui sebuah regulasi.

PKL dalam Sektor Informal

Istilah informal pertama kali dimunculkan oleh Hart (Manning

dan Effendi, 1985:75), seorang antropolog asal Inggris, dalam

tulisannya yang diterbitkan tahun 1973, setelah melakukan penelitian

kegiatan penduduk di kota Accra dan Nima, Ghana. Istilah tersebut

digunakan untuk menjelaskan sejumlah aktivitas tenaga kerja yang

berada di luar pasar tenaga kerja formal yang terorganisir. Kelompok

informal menggunakan teknologi produksi yang sederhana dan padat

karya, tingkat pendidikan dan keterampilan terbatas serta dilakukan

oleh anggota keluarga. Dari penelitiannya Keit Hart menemukan

sejumlah PKL yang memiliki latar belakang pendidikan rendah dengan

modal terbatas, dari sini dapat kita pahami bahwa pada sektor informal

terdapat peluang yang dengan mudah dapat dijangkau oleh berbagai

Page 2: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

32

lapisan masyarakat di wilayah perkotaan untuk mengembangkan

usahanya.

Penggunaan istilah informal baru berkembang pada era

sekarang tetapi dalam prakteknya telah berlangsung ratusan tahun

silam. Menurut Loekman Soetrisno (Agung Ridlo, 2001: 23), ia

mengemukakan bahwa sektor tersebut bukanlah suatu fenomena yang

baru, sektor informal muncul di tengah kita sejak manusia berada di

dunia ini. Sejak manusia ada di dunia mereka telah menunjang

kehidupannya dengan menciptakan kerja sendiri atau sektor informal

(self employed).

Menurut Hidayat dan Sumitro (Agung Ridlo, 2001:13) sektor

informal (self employed) diartikan sebagai unit-unit usaha berskala

kecil yang menghasilkan serta mendistribusikan barang dan jasa

dengan tujuan pokok menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan

bagi dirinya sendiri. Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa

sektor informal merupakan sebuah aktivitas yang dilakukan secara

mandiri oleh oknum tertentu dalam upaya membangun ekonomi

melalui unit-unit usaha berskala kecil.

Berdasarkan penjelasan di atas maka aktivitas sektor informal

yang dikategorikan sebagai unit usaha kecil bisa bersifat mendukung

aktivitas formal juga, dan apabila diberdayakan serta dikembangkan

dengan baik akan bersinergi dengan sektor formal perkotaan untuk

saling melengkapi kebutuhan warga kota. Sektor informal yang

dominan di daerah perkotaan adalah pedagang pinggir jalan dan

merupakan kegiatan ekonomi skala kecil yang menghasilkan atau

mendistribusikan barang dan jasa yang selanjutnya dapat disebut

sebagai Pedagang Kaki Lima (PKL).

Untuk menjelaskan lebih mendalam tentang PKL, Mc. Gee dan

Yeung (1977:25), memberikan pengertian PKL sama dengan

”hawkers”, yang didefinisikan sebagai sekelompok orang yang

menawarkan barang dan jasa untuk dijual pada ruang publik, terutama

di pinggir jalan dan trotoar. Dalam perkembangan selanjutnya

pengertian PKL ini menjadi semakin luas, dapat dilihat dari ruang

Page 3: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik

33

aktivitas usahanya. Pada umumnya mereka menggunakan ruang publik

yang ada seperti jalur-jalur pejalan kaki, areal parkir, ruang-ruang

terbuka, taman-taman, terminal, dan bahkan di perempatan jalan serta

berkeliling dari rumah ke rumah melalui jalan-jalan kampung di

perkotaan.

PKL di Indonesia saat ini dapat dikatakan mendominasi

kegiatan ekonomi masyarakat terutama di perkotaan. Perkembangan

suatu kota selalu diikuti perkembangan jumlah PKL yang memenuhi

ruang publik kota. Sebagai salah satu kegiatan ekonomi di sektor

informal yang cukup fenomenal, kehadirannya paling banyak disentuh

oleh kebijakan pemerintah kota, PKL memiliki ciri-ciri atau

karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan karakteristik sektor

informal secara umum.

Untuk memahami ciri dan karakteristik PKL, Kamala

Chandrakirana dan Isono Sadoko (1994:37), melakukan penelitian dan

hasil penelitiannya, mereka menyimpulkan secara umum ciri- ciri PKL

antara lain:

1) Sebagai pedagang eceran yang menjual langsung ke konsumen;

2) Mendapatkan pasokan barang dagangan dari berbagai sumber

seperti produsen, pemasok, toko pengecer maupun PKL

sendiri;

3) Pada umumnya berperan sebagai pengusaha yang mandiri

4) Berjualan dengan berbagai sarana: kios, tenda dan secara gelar

di pinggir-pinggir jalan, atau di depan toko yang dianggap

strategis;

5) Semakin besar modal usaha pedagang, semakin permanen

sarana usahanya;

6) Pada umumnya mempekerjakan anggota keluarganya sendiri

untuk membantu;

7) Kebanyakan pedagang menjalankan usahanya tanpa izin;

8) Rendahnya biaya operasional usaha PKL;

Page 4: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

34

9) Cara pembayaran bahan mentah/barang dagangan secara

kontan;

10) Bebas menentukan waktu usahanya atau tidak mengenal

pembatasan waktu usaha.

Dimaksud dengan PKL adalah seseorang atau kelompok yang

memberdayakan satuan perwilayahan (zoning) yang ditetapkan oleh

pemerintah sebagai kegiatan ekonomi (usaha) dengan sarana dan

prasarana yang tidak permanen/dapat dipindahkan untuk dapat

meningkatkan kesejahteraannya.

PKL memiliki sifat-sifat sebagai berikut :

Tempat usaha bersifat tidak permanen

Status kelembagaan usaha, tidak berbadan hukum.

Penempatan usaha pada suatu wilayah tertentu untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat berdasarkan

Keputusan Pemerintah sebagai regulator wilayah publik.

PKL mempunyai karateristik sebagai berikut :

Penempatannya sesuai peruntukan perwilayahan sebagaimana

ditetapkan dalam perencanaan pembangunan wilayah.

Hak penguasaan satuan wilayah yang dapat diusahakan PKL

sesuai dengan keputusan pemerintah dan atau atas kesepakatan

organisasi profesi/paguyuban PKL.

Jenis usaha yang tidak bertentangan dengan kepentingan

publik.

Pengelompokkan PKL berdasarkan kesamaan jenis usaha,

optimalisasi fungsi ekonomi.

Sarana dan prasarana PKL relatif dapat dipindahkan.

Pada umumnya usaha PKL menggunakan ruas trotoar, ruang

parkir, bahu jalan dan fasilitas publik lainnya. Keberadaannya

mengurangi bahkan mengabiskan sarana dan prasarana publik.

Page 5: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik

35

Dari pengertian di atas, PKL dapat didefinisikan sebagai

pedagang yang berjualan di lokasi yang strategis dan di tempat

keramaian umum seperti trotoar di depan pertokoan/kawasan

perdagangan, pasar, sekolah, serta pinggir jalan, dan aktivitas yang

dilakukan cenderung berpindah-pindah dengan kemampuan modal

yang terbatas, dimana kegiatan perdagangannya dapat dilakukan secara

berkelompok atau secara individual.

Karakteristik Aktivitas PKL

Pada umumnya untuk mengenal karateristik PKL secara baik

ketika melakukan aktivitas mereka, maka harus dilihat dari jenis

dagangan yang dijajakannya, Mc. Gee dan Yeung (1977: 81),

menyatakan bahwa jenis dagangan PKL sangat dipengaruhi oleh

aktivitas yang ada di sekitar kawasan di mana pedagang tersebut

beraktivitas. Misalnya di suatu kawasan perdagangan, maka jenis

dagangan yang ditawarkan akan beranekaragam, bisa berupa

makanan/minuman, barang kelontong, pakaian, dan lain-lain.

Demikian juga di kawasan pasar tradisional jenis dagangan PKL

didominasi oleh dagangan basah.

Selanjutnya Mc. Gee dan Yeung (1977: 81) mengutarakan jenis

dagangan yang ditawarkan oleh PKL dapat dikelompokkan menjadi 4

(empat) kelompok utama, yaitu: Pertama, makanan yang tidak dan

belum diproses, termasuk di dalamnya makanan mentah, seperti

daging, buah-buahan, dan sayuran. Kedua, makanan yang siap saji,

seperti nasi dan lauk pauknya juga minuman. Ketiga, barang bukan

makanan, mulai dari tekstil hingga obat-obatan. Keempat, jasa yang

terdiri dari beragam aktivitas, misalnya tukang potong rambut, dan lain

sebagainya.

Selain jenis barang dagangan sebagai salah satu kateristik PKL,

dapat dilihat pula karakteristiknya dari bentuk sarana perdagangan

PKL. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mc. Gee dan

Yeung (1977: 82-83), di kota-kota Asia Tenggara diketahui bahwa pada

umumnya bentuk sarana perdagangan PKL sangat sederhana dan

biasanya mudah untuk dipindahkan atau dibawa dari satu tempat ke

Page 6: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

36

tempat lain dan dipengaruhi oleh jenis dagangan yang dijual. Adapun

bentuk sarana perdagangan yang digunakan oleh PKL menurut

Waworoentoe (Widjajanti, 2000: 39-40) sebagai berikut:

a. Gerobak/kereta dorong, bentuk sarana ini terdiri dari 2 (dua)

macam, yaitu gerobak/kereta dorong tanpa atap dan

gerobak/kereta dorong yang beratap untuk melindungi barang

dagangan dari pengaruh cuaca. Bentuk ini dapat dikategorikan

dalam bentuk aktivitas PKL yang permanen (static) atau semi

permanen (semi static), dan umumnya dijumpai pada PKL yang

berjualan makanan, minuman, dan rokok.

b. Pikulan/keranjang, bentuk sarana perdagangan ini digunakan

oleh PKL keliling (mobile hawkers) atau semi permanen (semi static), yang sering dijumpai pada PKL yang berjualan jenis

barang dan minuman. Bentuk ini dimaksudkan agar barang

dagangan mudah dibawa atau dipindah tempat.

c. Warung semi permanen, terdiri dari beberapa gerobak/kereta

dorong yang diatur sedemikian rupa secara berderet dan

dilengkapi dengan kursi dan meja. Bagian atap dan

sekelilingnya biasanya ditutup dengan pelindung yang terbuat

dari kain plastik, terpal atau lainnya yang tidak tembus air.

Berdasarkan sarana usaha tersebut, PKL ini dapat dikategorikan

pedagang permanen (static) yang umumnya untuk jenis

makanan dan minuman.

d. Kios, bentuk sarana PKL ini menggunakan papan-papan yang

diatur sedemikian rupa sehingga menyerupai sebuah bilik semi

permanen, yang mana pedagang bersangkutan juga tinggal di

tempat tersebut. PKL ini dapat dikategorikan sebagai pedagang

menetap (static).

e. Gelaran/alas, PKL menggunakan alas berupa tikar, kain atau

lainnya untuk menjajakan dagangannya. Berdasarkan sarana

tersebut, pedagang ini dapat dikategorikan dalam aktivitas semi

permanen (semi static). Umumnya dapat dijumpai pada PKL

yang berjualan barang kelontong dan makanan.

Page 7: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik

37

Pola Penyebaran PKL

Berjualan di tempat-tempat umum tentunya memerlukan

keuletan dari para pelaku usaha untuk menawarkan dagangan ataupun

menggelarnya di lapak-lapak terbuka. Dengan demikian, jika

penjualnya banyak maka harus tersebar secara menyeluruh di sebuah

lokasi, karena itu penyebaran aktivitas PKL menurut Mc. Gee dan

Yeung (1977: 36- 37), dapat dikelompokkan dalam 2 (dua) pola, yaitu:

pola penyebaran mengelompok (Focus Aglomeration) dan pola

penyebaran memanjang (Street Concentration).

Pola pertama dengan cara penyebaran mengelompok,

pedagang informal pada tipe ini umumnya terdapat pada ujung jalan,

ruang-ruang terbuka, sekeliling pasar, ruang-ruang parkir, taman-

taman dan lain sebagainya (Gambar 2.1). Pola penyebaran seperti ini

biasanya banyak dipengaruhi oleh adanya pertimbangan aglomerasi,

yaitu suatu pemusatan atau pengelompokkan pedagang sejenis atau

pedagang yang mempunyai sifat komoditas yang sama. Pada umumnya

mereka dalam menjajakan barangnya saling menunjang satu dengan

lain, sehingga pada pola ini PKL tidak terlihat melakukan monopoli

jenis barang yang dijualnya karena masing-masing orang memiliki

barang yang sama dan mereka bekerja sama untuk menghabiskan

dagangannya.

Sumber: Mc. Gee dan Yeung, 1973:37

Gambar 2. 1 Pola Penyebaran Mengelompok

Page 8: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

38

Pola kedua yaitu penyebaran memanjang, pada umumnya pola

penyebaran memanjang atau linier concentration terjadi di sepanjang

atau di pinggir jalan utama (mainstreet) atau pada jalan yang

menghubungkan jalan utama (Gambar 2.2). Dengan kata lain, pola

perdagangan ini ditentukan oleh pola jaringan jalan itu sendiri. Pola

kegiatan linier lebih banyak dipengaruhi oleh pertimbangan

aksesibilitas tinggi pada lokasi bersangkutan. Dilihat dari segi pedagang

informal itu sendiri, hal ini sangat menguntungkan, sebab dengan

menempati lokasi yang beraksesibilitas tinggi akan mempunyai

kesempatan besar pula untuk meraih konsumen.

Sumber: Mc. Gee dan Yeung, 1973:37

Gambar 2. 2 Pola Penyebaran Memanjang

Pola Pelayanan Aktivitas PKL

Pola pelayanan menurut Mc. Gee dan Yeung (1977:37), adalah

cara berlokasi aktivitas PKL dalam memanfaatkan ruang kegiatan

sebagai tempat usaha. Berdasarkan pengertian di atas maka pola

pelayanan aktivitas PKL dapat ditinjau dari aspek golongan pengguna

jasa, skala pelayanan, waktu pelayanan, dan sifat pelayanan.

Melihat lokasi dari PKL yang cenderung tidak tertata namun

dekat dengan konsumen maka golongan pengguna jasa yang dilayani

oleh aktivitas jasa PKL pada umumnya terdiri dari golongan

pendapatan menengah dan rendah. Hal ini disebabkan karena harga

yang ditawarkan oleh pedagang sektor informal relatif lebih rendah

Page 9: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik

39

dari toko atau supermarket, namun demikian tidak tertutup

kemungkinan bahwa masyarakat berpendapatan menengah ke atas

mendatangi lokasi aktivitas perdagangan sektor informal, tetapi ini

terjadi sekali waktu atau bersifat insidental. Rachbini dan Hamid

(1994: 92), menyatakan bahwa dari sekitar dua juta buruh atau pegawai

sektor formal (swasta maupun negeri) di Jakarta kurang lebih satu

setengah juta membeli makanan dari sektor informal. Hanya dengan

cara ini mereka dapat bertahan dalam kondisi gaji di sektor formal

yang rata-rata rendah. Kondisi ini juga menunjukkan adanya hubungan

antara sektor formal dan informal saling melengkapi.

Untuk mengetahui skala pelayanan suatu aktivitas jasa

pedagang sektor informal dapat diketahui dari pengguna jasa. Besar

kecilnya skala pelayanan tergantung dari jauh dekatnya pengguna jasa

tersebut. Semakin dekat asal pengguna, maka skala pelayanan semakin

kecil, sebaliknya semakin jauh asal pengguna jasa tersebut, maka skala

pelayanan semakin besar (Manning dan Effendi, 1996: 366-372).

Mc. Gee dan Yeung (1977: 76), menyatakan bahwa pola

aktivitas PKL menyesuaikan terhadap irama dari ciri kehidupan

masyarakat sehari-hari. Seperti telah diuraikan di atas bahwa ada

hubungan antara sektor formal dan informal maka waktu kegiatan PKL

didasarkan pula atau sesuai dengan perilaku kegiatan formal, namun

demikian pada saat tertentu kaitan aktivitas keduanya lemah atau tidak

ada hubungan langsung antara keduanya. Jika dilihat dari sudut

pandang pelayanan PKL maka secara umum mereka dapat

dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu:

Pertama, pedagang menetap (static). Pedagang menetap adalah

suatu bentuk layanan yang mempunyai cara atau sifat menetap pada

suatu lokasi tertentu. Dalam hal ini setiap pembeli atau konsumen

harus datang sendiri ke tempat pedagang di mana ia berada.

Kedua, pedagang semi menetap (semi static). Pedagang semi

menetap merupakan suatu bentuk layanan pedagang yang mempunyai

sifat menetap sementara, yaitu hanya pada saat-saat tertentu saja.

Dalam hal ini dia akan menetap bila ada kemungkinan datangnya

Page 10: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

40

pembeli yang cukup besar. Biasanya pada saat bubaran bioskop, para

pegawai masuk/keluar kantor atau saat ramainya pengunjung di pusat

kota. Apabila tidak ada kemungkinan pembeli yang cukup besar, maka

pedagang tersebut akan berkeliling.

Ketiga, pedagang keliling (mobile). Pedagang keliling yaitu

suatu bentuk layanan pedagang dalam melayani konsumennya,

mempunyai sifat yang selalu berusaha mendatangi atau mengejar

konsumen. Biasanya pedagang yang mempunyai sifat ini adalah

pedagang yang mempunyai volume dagangan kecil.

Ruang Publik sebagai Ruang Interaksi Aktivitas

Ruang umum atau ruang publik adalah tempat yang timbul

karena kebutuhan akan suatu tempat bagi pertemuan bersama, dengan

adanya pertemuan bersama dan relasi antar orang banyak maka akan

timbul bermacam-macam kegiatan. Carr (1992: 54), menjelaskan ruang

publik sebagai tempat berkumpulnya warga kota untuk melakukan

aktivitas-aktivitasnya yang dapat mempererat ikatan sebagai suatu

komunitas. Sedangkan Hakim (1993: 74), memberikan pengertian

ruang umum sebagai suatu wadah yang dapat menampung

aktivitas/kegiatan tertentu dari masyarakatnya, baik secara individu

maupun kelompok.

Dari pengertian di atas ruang publik kota merupakan suatu

ruang baik di dalam atau di luar bangunan yang menjadi tempat

aktivitas kegiatan bersama atau individu dalam berinteraksi sosial dan

komunikasi pada suatu lingkungan atau kawasan, namun demikian

ruang publik kota biasanya bersifat terbuka dan dapat dijangkau oleh

publik baik perorangan maupun kelompok. Dalam penelitian ini ruang

publik yang dimaksud adalah trotoar dan bahu jalan yang fungsinya

menurut Danisworo (1991:34), sebagai jalur pedestrian yang

dipergunakan oleh pejalan kaki dalam melakukan perjalanan berupa

suatu lintasan. Hampir semua kota di Indonesia kondisi trotoar dan

bahu jalan sangat memprihatinkan karena dijadikan sebagai lokasi

aktivitas oleh PKL, terutama di kawasan perdagangan.

Page 11: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik

41

Permasalahan pada Ruang Publik

Berdasarkan pemanfaatan ruang, aktivitas PKL dapat dikatakan

hampir menempati semua ruang yang tersedia baik itu ruang umum

atau ruang privat yang ada. Ruang umum merupakan jenis ruang yang

dimiliki pemerintah dan diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat

luas. Contoh dari ruang umum adalah taman kota, trotoar, ruang

terbuka, lapangan, dan sebagainya serta fasilitas-fasilitas atau sarana-

sarana yang terdapat di ruang umum tersebut, seperti halte dan

jembatan penyeberangan. Sedangkan ruang privat atau pribadi adalah

jenis ruang yang dimiliki oleh individu atau kelompok tertentu;

misalnya lahan pribadi yang dimiliki oleh pemilik pertokoan,

perkantoran, dan sebagainya. Penggunaan ruang-ruang tersebut pada

akhirnya menimbulkan conflict of interest, karena lahan tersebut

seharusnya dipergunakan oleh berbagai pihak dengan berbagai

kepentingan, tidak saja bagi PKL. Pada kawasan perdagangan, aktivitas

PKL dengan menempati trotoar dan bahu jalan yang berhadapan

dengan pertokoan berpotensi menimbulkan persaingan dan konflik

terbuka, karena kawasan menjadi kumuh dan semrawut.

Sebagai elemen penting dalam kota, keberadaan ruang publik

seringkali tidak berfungsi dengan baik. Berikut ini adalah beberapa

faktor penyebab permasalahan di ruang publik:

a. Terbatasnya ruang publik dalam menampung semua aktivitas

warga serta belum adanya penataan ruang tersebut seringkali

menimbulkan pertentangan dalam penggunaannya;

b. Motivasi pengembangan ruang terbuka umumnya tidak

merefleksikan kebutuhan penggunanya dengan baik.

Perubahan gaya hidup masyarakat memengaruhi

pengembangan ruang terbuka. Apabila hal ini diabaikan akan

mengakibatkan kegagalan dalam desain dan manajemen ruang

terbuka tersebut. (Carr, 1992: 80);

c. Ketidakjelasan fungsi dan arahan kegiatan di dalamnya

mengakibatkan ruang publik dimanfaatkan untuk kegiatan

yang tidak sesuai. Sempitnya ruang publik dalam hal ini trotoar

Page 12: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

42

dan banyaknya aktivitas PKL di atasnya menimbulkan

permasalahan ruang publik menjadi rumit dan kompleks.

Kajian tentang Partisipasi

Perjalanan panjang Indonesia dalam upaya mewujudkan

kesejahteraan bangsa dengan berbagai program yang telah

dilaksanakan semenjak masa orde lama sampai dengan era reformasi

sangatlah beragam. Berbagai istilah dipakai dalam program

pembangunan, salah satunya adalah istilah partisipasi. Partisipasi

dalam pembangunan selalu menjadi bagian yang tidak terpisahkan

dengan masyarakat baik di wilayah perkotaan maupun desa. Istilah ini

selalu berhubunggan dengan program pemerintah yang menyentuh

masyarakat terkait dengan program-program pengembangan dan

pemberdayaan masyarakat.

Berbagai program pembangunan yang dicanangkan pemerintah

Indonesia selama ini selalu saja memposisikan masyarakat sebagai

bagian dari proses pembangunan itu sendiri. Menurut Pujoalwanto

(2012:1), pembangunan yang baik adalah pembangunan yang di

dalamnya melibatkan masyarakat melalui partisipasi dalam setiap

tahapan. Masyarakat harus dilibatkan dalam proses pembangunan

karena tanpa masyarakat maka tidaklah mungkin negara terbentuk,

dengan demikian partispasi masyarakat dalam proses pembangunan

tidak dapat dikesampingkan. Seirama dengan pikiran tersebut,

Putranto (1992:51- 52), menjelaskan bahwa peningkatan peran serta

masyarakat dalam pembangunan hendaknya masyarakat tidak

dipandang sebagai obyek semata, tetapi harus dilibatkan sebagai pelaku

aktif dalam pembangunan mulai sejak perencanaan, pelaksanaan dan

evaluasi pembangunan. Selanjutnya hal penting yang perlu mendapat

perhatian adalah hendaknya masyarakat dapat menikmati hasil

pembangunan secara proporsional sesuai dengan perannya masing-

masing. Guna dapat memperjuangkan kepentingan masyarakat sesuai

kondisi obyektif yang ada, maka partisipasi masyarakat dalam berbagai

tahapan pembangunan merupakan suatu kebutuhan.

Page 13: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik

43

Pengertian Partisipasi

Partisipasi adalah sebuah proses pembangunan yang di

dalamnya melibatkan seseorang ataupun kelompok masyarakat dalam

suatu komunitas, karena itu partisipasi merupakan sebuah konsep yang

berkaitan dengan peran serta manusia secara pribadi maupun kolektif.

Secara etimologi, partisipasi berasal dari bahasa Inggris “participation”

yang berarti mengambil bagian/keikutsertaan.

Dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia dijelaskan “partisipasi”

berarti: hal turut berperan serta dalam suatu kegiatan, keikutsertaan,

peran serta. Secara umum pengertian dari partisipasi masyarakat dalam

pembangunan adalah keperansertaan semua anggota atau wakil-wakil

masyarakat untuk ikut membuat keputusan dalam proses perencanaan

dan pengelolaan pembangunan termasuk di dalamnya memutuskan

tentang program ataupun rencana kegiatan yang akan dilaksanakan,

manfaat yang akan diperoleh, serta bagaimana melaksanakan dan

mengevaluasi hasil pelaksanaannya.

Menurut pandangan beberapa ahli, partisipasi dijelaskan

dengan pengertian yang beragam, Mikkelsen (2001: 64), menjelaskan

bahwa partisipasi secara umum dibagi dalam enam pengertian yakni:

Pertama, partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada

proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan; kedua,

partisipasi adalah usaha untuk membuat masyarakat semakin peka

dalam meningkatkan kemauan dan kemampuan menanggapi proyek

pembangunan; ketiga, partisipasi adalah proses aktif, yang mengandung

arti seorang ataupun kelompok tertentu mengambil inisiatif dan

menggunakan kebebasannya untuk menggunakan hal itu; keempat, partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat

dengan para staf dalam melakukan persiapan pelaksanaan dan

monitoring proyek, agar memperoleh informasi mengenai konteks dan

dampak-dampak sosial; kelima, partisipasi adalah keterlibatan sukarela

oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukan sendiri; keenam,

partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri,

kehidupan dan lingkungan mereka.

Page 14: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

44

Partisipasi masyarakat menurut Isbandi (2008: 27), adalah

keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan

potensi yang ada di masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan

tentang alternatif solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya

mengatasi masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses

mengevaluasi perubahan yang terjadi.

Sedangkan Juliantara (2002: 87), lebih melihat pada substansi

dari partisipasi yaitu apabila bekerjanya suatu sistem pemerintahan

dimana tidak ada kebijakan yang diambil tanpa adanya persetujuan dari

rakyat, sedangkan arah dasar yang akan dikembangkan adalah proses

pemberdayaan, lebih lanjut dikatakan tujuan pengembangan partisipasi

adalah: Pertama, bahwa partisipasi akan memungkinkan rakyat secara

mandiri (otonom) mengorganisasi diri, dengan demikian akan

memudahkan masyarakat menghadapi situasi yang sulit karena

memiliki kemampuan untuk mandiri, serta mampu menolak berbagai

kecenderungan yang merugikan. Kedua, suatu partisipasi tidak hanya

menjadi cermin konkrit peluang ekspresi aspirasi dan jalan

memperjuangkannya, tetapi yang lebih penting lagi, partisipasi

menjadi semacam garansi bagi tidak diabaikannya kepentingan

masyarakat. Ketiga, persoalan-persoalan dalam dinamika pembangunan

akan dapat diatasi dengan adanya partisipasi masyarakat.

Ach.Wazir (1999: 29), mengartikan partisipasi merupakan

keterlibatan seseorang secara sadar ke dalam interaksi sosial dalam

situasi tertentu. Dari pandangan ini sangat jelas, yang dilihat adalah

keterlibatan individu pada sebuah komunitas dalam konteks yang

berbeda-beda, karena itu bagi dia seseorang dapat berpartisipasi aktif

jika dirinya merasa cocok dengan lingkungan sosial ataupun dalam

komunitas di mana ia berada, sehingga melalui berbagai proses

interaksi dengan orang lain maka secara sadar, iapun merasa memiliki

lingkungan ataupun komunitas sebagai bagian dari dirinya.

Sesuai pemikiran para ahli di atas maka partisipasi masyarakat

sangatlah penting dalam proses pembangunan ataupun proses

pembuatan sebuah kebijakan publik yang tujuannya untuk kebaikan

masyarakat secara umum. Pentingnya partisipasi masyarakat dalam

Page 15: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik

45

setiap tahapan pembangunan karena: pertama, partisipasi masyarakat

merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi,

kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya

program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal; kedua,

masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program

pembangunan jika mereka dilibatkan dalam proses persiapan dan

perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk-beluk

proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek

tersebut; ketiga, merupakan hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan

dalam pembangunan masyarakat (Conyers, 1991: 154-155).

Dari berbagai interpretasi tersebut di atas maka dapat

disimpulkan bahwa substansi dari partisipasi dalam proses

pembangunan adalah di setiap negara ataupun daerah dan wilayah,

masyarakat selalu menjadi pusat pembangunan itu sendiri. Karena itu

butuh keterlibatan mereka dalam setiap proses mulai dari perencanaan,

perumusan, implementasi, evaluasi, dan monitoring. Keterlibatan

masyarakat sangat penting sebab dalam tataran praktis mereka yang

terkena dampak langsung dari kebijakan pembangunan baik dalam

skala lokal maupun nasional.

Tangga Partisipasi

Untuk mengetahui kualitas relasi antar pemangku kepentingan,

khususnya antara masyarakat dan negara dalam pengelolaan

pembangunan, relevan diketahui derajat partisipasi yang terjadi.

Derajat partisipasi menjadi salah satu hal yang menarik dalam

partisipasi terkait dengan kualitas partisipasi yang dihasilkan. Derajat

partisipasi sering juga disebut dengan tangga partisipasi. Arnstein

(1969), membuat tangga partisipasi menjadi: 1). Manipulasi; 2). Terapi;

3). Penginformasian; 4). Konsultasi; 5). Peredaman; 6). Kemitraan; 7

Delegasi Kekuasaan; 8). Kendali Masyarakat. (Gambar 2.1).

Manipulasi, masyarakat hanya dipakai sebagai pihak yang

memberikan persetujuan dalam berbagai badan penasehat. Terapi,

meskipun masyarakat terlibat dalam kegiatan, pada kenyataannya

kegiatan tersebut lebih banyak untuk mendapatkan masukan dari

Page 16: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

46

masyarakat demi kepentingan pemerintah. Penginformasian,

memberikan informasi kepada masyarakat tentang hak-hak mereka,

tanggung jawab dan berbagai pilihan, dapat menjadi langkah pertama

yang sangat penting dalam pelaksanaan partisipasi masyarakat.

Konsultasi, mengundang opini masyarakat, setelah memberikan

informasi mereka, dapat merupakan langkah penting dalam menuju

partisipasi penuh dari masyarakat. Peredaman, masyarakat mulai

mempunyai beberapa pengaruh meskipun beberapa hal masih tetap

ditentukan oleh pihak yang mempunyai kekuasaan. Kemitraan,

walaupun usulan dari masyarakat diperhatikan sesuai dengan

kebutuhannya, namun masyarakat seringkali tidak didengar karena

kedudukannya relatif rendah. Delegasi kekuasaan, masyarakat diberi

limpahan kewenangan untuk memberikan keputusan dominan pada

rencana tertentu. Kendali masyarakat, masyarakat memiliki kekuatan

untuk mengatur program yang berkaitan dengan kepentingan mereka.

Sumber : Arnstein (1969)

Gambar 2. 3 Tangga Partisipasi

8. Kendali Masyarakat

7. Delegasi Kekuasaan

6. Kemitraan

5. Peredaman

4. Konsultasi

3. Penginformasian

2. Terapi

1. Manipulasi Bukan Partisipasi

Partisipasi Semu

Kekuasaan Warga

De

De

Page 17: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik

47

Setiap urutan tangga partisipasi merefleksikan derajat

partisipasi. Tangga tertinggi adalah derajat pengendalian masyarakat, di

mana sebagian besar pengambilan keputusan berada di tangan

masyarakat. Derajat paling rendah adalah manipulasi dan terapi, yang

menggambarkan bahwa kebijakan publik yang dibuat hampir tidak

melibatkan masyarakat, karena semua kebijakan dirumuskan dan

dilaksanakan pemerintah. Dari delapan tangga tersebut kemudian

dikategorikan lagi menjadi tiga, yaitu ; 1). Kekuasaan warga; 2).

Partisipasi semu 3). Bukan partisipasi.

Berdasarkan pandangan Arnstein (1969), menunjukkan bahwa

jika ditempatkan pada sebuah garis, maka tangga partisipasi berada

pada dua titik yaitu dimulai dari tataran rendah ke tataran yang paling

tinggi. Tahapan yang paling rendah adalah ketika masyarakat hanya

sebagai pengikut, sedangkan pada tahapan yang paling tinggi adalah

ketika masyarakat mempunyai kewenangan untuk mengontrol suatu

kegiatan. Inilah derajat partisipasi yang menjadi impian masyarakat

dalam era demokrasi sekarang ini.

Model Partisipasi

Partisipasi masyarakat selalu saja merujuk pada hasil yang ingin

dicapai karena itu dengan adanya partisipasi maka sangat diharapkan

meningkatnya kemampuan setiap orang ataupun kelompok masyarakat

yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam sebuah

program pembangunan. Karena itu melalui keterlibatan mereka dalam

pengambilan keputusan dan kegiatan-kegiatan selanjutnya adalah

sebuah proses yang harus dilalui demi meningkatkan kemampuan

dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.

Bintoro (1983), menjelaskan model partisipasi pembangunan

dalam tiga model yaitu: Pertama, keterlibatan dalam penentuan arah,

kinerja dan kebijakan pembangunan yang dilakukan pemerintah;

kedua, keterlibatan dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan, yang

termasuk di dalamnya adalah memikul beban dan tanggung jawab

pembangunan, yang dapat dilakukan dengan sumbangan memobilisasi

pembiayaan pembangunan, melakukan kegiatan produktif, mengawasi

Page 18: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

48

jalannya pembangunan dan lain-lain; ketiga, keterlibatan dalam

menerima hasil dan manfaat pembangunan secara adil.

Berdasarkan pandangan Bintoro, dapat dipahami model

partisipasi masyarakat dalam tahapan-tahapan pembangunan

masyarakat, selalu didasarkan pada pertimbangan kebutuhan dan

konteks lingkungan masyarakat. Hal ini penting dalam tahapan proses

selanjutnya, dimana masyarakat akan melaksanakan program yang

direncanakan. Jika mereka merasa ikut memiliki dan merasakan

manfaat program tersebut, maka tujuan sebagai harapan bersama dalam

upaya mencapai keberhasilan pembangunan pasti akan terlaksana

dengan baik.

Sahel (Mikkelsen 2001:69-70), mengelompokkan model

partisipasi masyarakat dalam empat model yakni: Pertama, partisipasi

pasif, melalui pelatihan dan informasi. Komunikasi satu arah seperti

antara guru dan murid yang diterapkan antara staf proyek dan

masyarakat; kedua, partisipasi aktif melalui “pelatihan dan kunjungan”.

Dialog dan komunikasi dua arah memberikan kesempatan kepada

masyarakat untuk berinteraksi dengan petugas penyuluh dan pelatih

dari luar; ketiga, partisipasi dengan keterikatan, melalui “kontrak atau

tugas yang dibayar”. Masyarakat setempat, baik sebagai pribadi ataupun

kelompok kecil, diberikan pilihan untuk terikat pada sesuatu dengan

tanggung jawab atas setiap kegiatan pada masyarakat atau proyek.

Model ini memungkinkan untuk beralih dari model klasik kepada

model yang diberi subsidi, dimana panitia setempat bertanggung jawab

atas pengorganisasian dan pelaksanaan tugas. Manfaatnya: dapat dibuat

modifikasi seiring tujuan yang diinginkan; keempat, partisipasi atas

permintaan setempat. Kegiatan yang didorong oleh permintaan

masyarakat sendiri dalam sebuah komunitas, karena itu kegiatannya

harus terfokus untuk menjawab berbagai kebutuhan masyarakat

setempat, bukan kebutuhan yang dirancang dan disuarakan oleh pihak

luar demi kepentingan pihak luar.

Effendi (Gunawan 2015: 59), menyebutkan partisipasi

masyarakat dalam dua model yaitu: a) Partisipasi Vertikal, adalah

partisipasi yang terjadi dalam suatu kondisi tertentu dimana

Page 19: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik

49

masyarakat mengambil bagian dalam suatu program pembangunan dari

pihak lain (swasta atau pemerintah), namun dalam hubungan dimana

posisi masyarakat adalah bawahan atau klien. b) Partisipasi horizontal,

yaitu partisipasi terjalin oleh karena masyarakat mengambil bagian

dalam prakarsa pembangunan dan setiap anggota atau kelompok

masyarakat berada dalam posisi sejajar hak dan wewenangnya.

Selanjutnya Slamet (2003: 8), menjelaskan sesuai pikiran

Valderama ada tiga tradisi konsep partisipasi terutama bila dikaitkan

dengan pembangunan masyarakat yang demokratis yaitu: Partisipasi

politik (political participation), partisipasi sosial (social participation),

dan partisipasi warga (citizen participation/citizenship).

Berdasarkan ketiga hal tersebut di atas terkait konsep

partisipasi maka semuanya itu dijelaskan sebagai berikut:

1) Partisipasi politik (political participation) lebih berorientasi

pada “mempengaruhi” dan “mendudukkan wakil-wakil rakyat”

dalam lembaga pemerintah ketimbang partisipasi aktif dalam

proses-proses kepemerintahan itu sendiri. Huntington dan

Nelson (1994: 68) menjelaskan bahwa tujuan partisipasi politik

adalah untuk mempengaruhi pengambilan keputusan

pemerintah. Karena itu kegiatan ditujukan, dan mempunyai

dampak terhadap pusat-pusat dimana keputusan itu diambil. Di

dalam masyarakat tradisional, kebanyakan keputusan yang

menyangkut kehidupan penduduk desa tentunya diambil oleh

kepala dan majelis desa, yang merupakan sasaran setiap

partisipasi masyarakat desa. Tetapi seiring berkembangnya

waktu dan semakin modernnya masyarakat, maka semakin

banyak keputusan pemerintah menyangkut kehidupan

masyarakat desa diambil tidak di desa, melainkan pada tingkat

nasional.

2) Partisipasi sosial (social participation) partisipasi ditempatkan

sebagai beneficiary atau pihak di luar proses pembangunan

dalam konsultasi atau pengambilan keputusan disemua tahapan

siklus proyek pembangunan dari evaluasi kebutuhan sampai

Page 20: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

50

penilaian, pemantauan, evaluasi dan implementasi. Partisipasi

sosial sebenarnya dilakukan untuk memperkuat proses

pembelajaran dan mobilisasi sosial. Dengan kata lain, tujuan

utama dari proses sosial sebenarnya bukanlah pada kebijakan

publik itu sendiri tetapi keterlibatan komunitas dalam dunia

kebijakan publik lebih diarahkan sebagai wahana pembelajaran

dan mobilisasi sosial.

3) Partisipasi warga (citizen participation/citizenship)

menekankan pada partisipasi langsung warga dalam

pengambilan keputusan pada lembaga dan proses

pemerintahan. Partisipasi warga telah mengubah konsep

partisipasi “dari sekedar kepedulian terhadap penerima derma

atau kaum tersisih menuju suatu kepedulian dengan berbagai

bentuk keikutsertaan warga dalam pembuatan kebijakan dan

pengambil keputusan diberbagai gelanggang kunci yang

mempengaruhi kehidupan mereka. Maka berbeda dengan

partisipasi sosial, partisipasi warga memang berorientasi pada

agenda penentuan kebijakan publik.

Partisipasi dapat dijelaskan sebagai proses penempatan

masyarakat sebagai subyek dalam pembangunan. Penempatan

masyarakat sebagai subjek pembangunan mutlak diperlukan sehingga

masyarakat akan dapat berperan serta secara aktif mulai dari

perencanaan, pelaksanaan hingga monitoring dan evaluasi

pembangunan. Terlebih apabila akan dilakukan pendekatan

pembangunan dengan semangat lokalitas. Masyarakat lokal menjadi

bagian yang paling memahami keadaan daerahnya, sehingga mampu

memberikan masukan yang sangat berharga. Masyarakat lokal dengan

pengetahuan serta pengalamannya menjadi modal yang sangat besar

dalam melaksanakan pembangunan. Masyarakat lokal yang paling tahu

apa permasalahan yang dihadapi serta potensi yang dimiliki oleh

daerahnya. Bahkan mereka pula yang memiliki pengetahuan lokal

untuk mengatasi setiap permasalahan yang dihadapi.

Partisipasi bukan hanya sekedar salah satu tujuan dari

pembangunan sosial tetapi merupakan bagian yang integral dalam

Page 21: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik

51

proses pembangunan sosial. Partisipasi masyarakat berarti eksistensi

manusia seutuhnya, tuntutan akan partisipasi masyarakat semakin

berjalan seiring kesadaran akan hak dan kewajiban warga negara.

Penyusunan perencanaan partisipasif yaitu dalam perumusan program-

program pembangunan yang benar-benar dibutuhkan masyarakat

setempat, dilakukan melalui diskusi kelompok-kelompok masyarakat

secara terfokus atau terarah.

Perencanaan program pembangunan disusun sendiri oleh

masyarakat, selanjutnya dalam implementasinyapun masyarakat harus

dilibatkan secara langsung. Keterlibatan masyarakat sebagai tenaga

kerja lokal, demikian pula kontraktor lokal yang memenuhi syarat,

selanjutnya untuk menjamin hasil pekerjaan terlaksana dengan baik

maka peran serta masyarakat dalam pengawasan selayaknya dilibatkan

secara nyata, sehingga benar-benar partisipasi masyarakat dibangun

sejak penyusunan program, implementasi program sampai kepada

pengawasan, dengan demikian pelaksanaan (implementasi) program

pembangunan akan terlaksana pula secara efektif dan efesien.

Berdasarkan penjelasan di atas jika dihubungkan dengan

konteks masyarakat secara umum maka harus jujur diakui bahwa

sampai saat ini dalam perencanaan pembangunan peran masyarakat

sangat penting, namun kemampuan masyarakat pada umumnya masih

relatif terbatas. Untuk wilayah-wilayah yang masyarakatnya telah

maju dari segi sumber daya manusianya, proses pembangunan melalui

partisipasi masyarakat akan jauh berbeda dengan daerah yang terbatas

sumber daya manusianya. Karena itu dibutuhkan pendampingan

ataupun perlu adanya diskusi intensif antara pihak berkepentingan

(stakeholder), baik dari unsur pemerintah, akademisi, lembaga swadaya

masyarakat, dan pihak terkait lainnya untuk saling melengkapi

informasi dan menyamakan persepsi tentang kebijakan pembangunan.

Berbicara tentang partisipasi masyarakat dalam pembangunan

yang berhubungan dengan pembuatan kebijakan publik maka harus

dipahami bahwa kebijakan publik pada dasarnya dibuat oleh

pemerintah untuk mengatur kepentingan masyarakat. Karena itu

dalam perumusan dan penetapannya harus selalu mengikutsertakan

Page 22: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

52

masyarakat. Partisipasi masyarakat merupakan salah satu unsur yang

harus diperhatikan oleh pemerintah. Partisipasi masyarakat dapat

menunjukkan tingkat dukungan masyarakat terhadap kebijakan

publik. Dengan adanya partisipasi masyarakat yang tinggi maka

kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah selalu

berpihak kepada kepentingan masyarakat, sesuai dengan dasar negara

yakni Pancasila dan UUD 1945 serta tidak menyimpang dari peraturan

perundang-undangan.

Bentuk partisipasi masyarakat yang positif terhadap

pemerintah daerah dapat diwujudkan melalui berbagai bentuk

kegiatan, antara lain; a) Menyampaikan aspirasi dengan cara santun

kepada pemerintah daerah. b) Mematuhi dan melaksanakan peraturan

daerah. c) Melaksanakan kegiatan keamanan dan ketertiban

lingkungan. d) Membayar pajak bumi dan bangunan. e) Menjaga

kelestarian lingkungan hidup.

Partisipasi masyarakat terhadap pelaksanaan kebijakan publik

merupakan proses dan wujud partisipasi politik masyarakat dalam

kehidupan kenegaraan. Tingkat kesadaran hukum dan kesadaran

masyarakat dalam berpartisipasi akan memengaruhi kebijakan publik.

Semakin tinggi kesadaran hukum dan kesadaran masyarakat

melaksanakan kebijakan publik semakin besar sifat membangun dan

tanggung jawab. Sebaliknya apabila kesadaran hukum dan kesadaran

masyarakat masih rendah dapat melahirkan kebijakan publik yang

bersifat merusak dan kurang bertanggung jawab. Setiap kebijakan

publik yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah diupayakan

mendapatkan dukungan masyarakat. Partisipasi masyarakat terhadap

kebijakan publik dapat dilakukan melalui empat macam cara, yaitu:

pada tahap proses pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan,

pemanfaatan hasil, dan tahap evaluasi.

Partisipasi pada Tahap Proses Pembuatan Kebijakan Publik

Dalam proses ini, masyarakat berpartisipasi aktif maupun pasif

dalam pembuatan kebijakan publik. Dengan berpartisipasinya

masyarakat dalam perumusan kebijakan publik dapat menunjukkan

Page 23: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik

53

adanya kekhasan daerah. Semakin besar keinginan masyarakat untuk

menentukan nasib sendiri, semakin besar partisipasi masyarakat dalam

pembangunan. Contoh partisipasi masyarakat dalam tahap ini adalah

masyarakat memberikan masukan atau pertimbangan baik secara lisan

atau tertulis kepada pemerintah daerah untuk menjadikan bahan

pertimbangan dalam menentukan kebijakan publik daerah sebelum

ditetapkan.

Partisipasi dalam pelaksanaan

Partisipasi ini, merupakan partisipasi yang nyata dalam

kehidupan sehari-hari. Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan

kebijakan publik atau pembangunan, dapat dilakukan dalam kehidupan

sehari-hari dengan menyumbangkan tenaga, harta, pikiran dan lain-

lain. Contoh partisipasi masyarakat pada tahap ini adalah masyarakat

menjaga kebersihan lingkungan dengan tidak membuang sampah di

sembarang tempat, bila kebijakan daerah menetapkan adanya wilayah

bebas sampah. Masyarakat dapat terlibat langsung sebagai pelaksana

kebijakan daerah dan selalu mewujudkannya.

Partisipasi dalam memanfaatkan hasil

Telah kita ketahui bersama bahwa setiap kebijakan yang

ditetapkan oleh pemerintah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat. Maka dari itu, masyarakat berhak untuk berpartisipasi

dalam menikmati hasil pembangunan. Masyarakat di daerah harus

dapat menikmati hasil pembangunan secara adil dalam arti

mendapatkan pembagian sesuai dengan pengorbanan yang diberikan

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Rendahnya

partisipasi untuk menikmati hasil dari sebuah kebijakan publik dapat

menimbulkan sikap tidak puas bagi masyarakat. Dengan belum

meratanya pembangunan dan hasilnya di setiap daerah mendorong

kepada kelompok-kelompok tertentu ingin memisahkan diri dari

wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Partisipasi dalam evaluasi

Setiap kebijakan publik di daerah dinyatakan berhasil, jika

dapat memberikan manfaat kehidupan bagi masyarakat. Oleh karena

Page 24: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

54

itu, masyarakat diberi kesempatan untuk menilai hasil yang telah

dicapai. Partisipasi masyarakat dalam memberikan penilaian terhadap

kebijakan publik merupakan sikap dukungan yang positif terhadap

pemerintah. Partisipasi masyarakat dalam evaluasi dapat dilakukan

dengan memantau hasil kebijakan publik dan pelaksanaannya.

Masyarakat harus bersikap kritis apakah kebijakan publik sudah

mengakomodasi seluruh kepentingan masyarakat atau belum. Dalam

memberikan evalusai terhadap kebijakan publik harus bersifat

konstruktif dan bukan bersifat destruktif. Apabila kita menyampaikan

aspirasi yang berkaitan dengan kebijakan publik melalui demonstrasi

kita lakukan dengan santun, tidak dengan cara-cara kekerasan, atau

merusak fasilitas-fasilitas umum.

Pada kenyataannya partisipasi masyarakat terhadap kebijakan

publik sebagian besar masih pada tahap pelaksanaan dan pemanfaatan

belum pada proses pembuatan ataupun evaluasi. Partisipasi masyarakat

akan bermanfaat untuk membentuk perilaku atau budaya demokrasi,

memberi pelajaran membentuk masyarakat yang memiliki kesadaran

hukum, membentuk manusia yang bermoral dan berakhlak mulia,

membentuk masyarakat yang memiliki jiwa sukarela, tidak

menggantungkan diri kepada orang lain serta mengembangkan diri

untuk memperbaiki keadaan.

Tidak aktifnya masyarakat dalam kebijakan publik dikarenakan

adanya dua faktor utama, faktor internal dan faktor eksternal, yaitu:

1. Faktor internal penyebab tidak aktifnya masyarakat dalam

perumusan kebijakan publik;

a) Masyarakat masih terbiasa pada pola lama, yaitu peraturan-

peraturan tanpa partisipasi warga. Warga tinggal menerima

dan melaksanakan saja;

b) Masyarakat tidak tahu adanya kesempatan untuk

berpartisipasi;

c) Masyarakat tidak tahu prosedur partisipasi;

d) Rendahnya sanksi hukum di kalangan masyarakat;

Page 25: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik

55

e) Rendahnya sanksi hukum kepada pelanggar kebijakan

publik.

2. Faktor eksternal penyebab tidak aktifnya masyarakat dalam

perumusan kebijakan publik;

a) Tidak dibukanya kesempatan kepada masyarakat untuk

berpartisipasi;

b) Masih adanya anggapan sentralistik yang tidak sesuai

dengan otonomi daerah;

c) Adanya anggapan bahwa partisipasi masyarakat akan

memperlambat pembuatan kebijakan publik;

d) Kebijakan publik yang dibuat kadang-kadang belum

menyentuh kepentingan masyarakat secara langsung;

e) Kesempatan berpartisipasi belum banyak diketahui

masyarakat;

f) Hukum belum ditegakkan secara adil;

g) Tidak memihak kepentingan rakyat.

Tahapan Partisipasi

Menurut Adi (2008), perkembangan pemikiran tentang

partisipasi masyarakat dalam upaya pengembangan suatu komunitas,

belumlah cukup hanya melihat partisipasi masyarakat hanya pada

tahapan perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan. Dalam

pemikirannya ia melihat bahwa partisipasi masyarakat hendaknya

meliputi kegiatan-kegiatan yang tidak diarahkan (non direktif),

sehingga partisipasi masyarakat meliputi proses-proses: a) Tahap

Assesment (pemetaan masalah dan kebutuhan), b) Tahap perencanaan

alternatif program atau kegiatan, c) Tahap pelaksanaan (implementasi)

program atau kegiatan, d) Tahap evaluasi. Dengan demikian, maka

dapat dilihat bahwa partisipasi yang dilakukan masyarakat bersama

pihak terkait lainnya diberbagai tahapan pembangunan akan

menghasilkan konsensus dalam kebijakan pembangunan, dan sekaligus

Page 26: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

56

melatih masyarakat menjadi lebih pandai khususnya untuk

penanganan masalah-masalah yang muncul di masyarakat.

Mikkelsen (2001:65), menyebutkan bahwa secara garis besar

ada 2 pendekatan dalam hal partisipasi, yaitu: (1) partisipasi datang dari

masyarakat sendiri, merupakan tujuan dalam proses demokrasi. Namun

demikian sedikit saja masyarakat yang mau melakukan pendekatan

partisipasi secara sukarela dalam kegiatan pembangunan; (2) partisipasi

dengan motivasi positif yang bersifat memaksa. Dengan pendekatan ini

masyarakat dipaksa untuk melakukan partisipasi dalam pembangunan

dengan motivasi agar dapat melaksanakan dan menikmati hasil

pembangunan secara lebih baik. Selanjutnya disebutkan bahwa

partisipasi dapat dilaksanakan dengan tingkat paksaan dan sukarela

yang berbeda-beda, serta tingkat keaktifan masyarakat yang berbeda-

beda pula. Namun demikian, guna mencapai keberhasilan

pembangunan, partisipasi aktif dan sukarela merupakan hal ideal yang

harus diupayakan.

Wicaksono dan Sigiarto (Wijaya, 2001), berpendapat bahwa

perencanaan partisipatif adalah usaha yang dilakukan masyarakat

untuk memecahkan masalah yang dihadapi agar mencapai kondisi

yang diharapkan berdasarkan kebutuhan dan kemampuan secara

mandiri. Keduanya mengemukakan tahapan perencanaan partisipatif

sebagai berikut:

1) Terfokus pada kepentingan masyarakat. a. Perencanaan

program berdasarkan pada masalah dan kebutuhan yang

dihadapi masyarakat. b. Perencanaan disiapkan dengan

memperhatikan aspirasi masyarakat yang memenuhi sikap

saling percaya dan terbuka;

2) Partisipatoris (keterlibatan) setiap masyarakat melalui forum

pertemuan, memperoleh peluang yang sama dalam sumbangan

pemikiran tanpa dihambat oleh kemampuan berbicara, waktu

dan tempat;

Page 27: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik

57

3) Dinamis. a. Perencanaan mencerminkan kepentingan dan

kebutuhan semua pihak. b. Proses perencanaan berlangsung

secara berkelanjutan dan proaktif;

4) Sinergitas. a. Harus menjamin keterlibatan semua pihak. b.

Selalu menekankan kerja sama antar wilayah administrasi dan

geografi. c. Setiap rencana yang akan dibangun sedapat

mungkin menjadi kelengkapan yang sudah ada, sedang atau

akan dibangun. d. Memperhatikan interaksi di antara;

5) Legalitas. a. Perencanaan pembangunan dilaksanakan dengan

mengacu pada semua peraturan yang berlaku. b. Menjunjung

etika dan tata nilai masyarakat. c. Tidak memberikan peluang

bagi penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan;

6) Fisibilitas perencanaan harus bersifat spesifik, terukur, dapat

dijalankan dan mempertimbangkan waktu.

Berdasarkan penjelasan mengenai tahapan partisipasi di atas,

maka dapat dipahami bahwa partisipasi yang baik adalah partisipasi

yang selalu melibatkan masyarakat dalam semua tahapan sehingga

proses pembangunan dapat diikuti dan dipahami oleh semua pihak

sehingga tidak terjadi benturan kepentingan ataupun adanya saling

curiga di antara pihak-pihak terkait dalam proses pembangunan.

Aktor Partisipasi

Partisipasi dalam pembangunan ataupun perumusan kebijakan

dapat berhasil dengan baik apabila ada yang menggerakkannya, karena

itu sangat dibutuhkan peran individu ataupun kelompok individu

dalam mensukseskan program pembangunan yang direncanakan.

Berdasarkan penjelasan tersebut maka yang dimaksudkan dengan

penggerak adalah orang ataupun kelompok yang memiliki pengaruh

dan dipercaya oleh masyarakat sehingga layak dijadikan pemimpin

untuk menggerakkan setiap kegiatan.

Dengan demikian maka seorang penggerak (aktor) adalah

orang yang memiliki kemampuan memengaruhi, sumber daya manusia

yang baik, integritas, dapat diterima di mana saja serta memiliki

Page 28: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

58

potensi sebagai penggerak masyarakat sehingga ia mampu

memengaruhi masyarakat untuk berpartisipasi secara baik di mana ia

berada. Havelock (Gunawan 2015:65), menjelaskan beberapa

karakteristik nilai-nilai dan sikap mental (attitude) yang harus dimiliki

seorang aktor partisipasi yaitu: Memiliki perhatian (concern) utama

mengenai manfaat pembangunan bagi masyarakat setempat untuk

memiliki kepercayaan bahwa perubahan sosial yang terjadi harus

menghasilkan suatu pembangunan yang memberikan hasil terbaik bagi

masyarakat (mayoritas) setempat; Itulah sebabnya seorang penggerak

dituntut untuk berprinsip bahwa masyarakat akan diubah menuju

kesejahteraan melalui pembangunan yang didasarkan pada kebutuhan.

Selain itu seorang aktor harus memiliki sikap rendah hati, toleran dan

menghargai orang lain ataupun lembaga-lembaga pemerintah. Jika

memiliki sikap mental demikian maka masyarakatpun akan merespon

dengan mengambil peran dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan.

Berdasakan penjelasan tersebut, dapat dipahami peran dan

fungsi seorang aktor partisipasi yaitu sebagai pembawa perubahan

(agent of social change) dalam suatu masyarakat, karena itu ia memiliki

peran sebagai penghubung di antara dua ataupun lebih dari sistem

komunikasi dalam masyarakat. Dengan demikian maka seorang aktor

partisipasi memiliki peran sebagai seorang katalisator yang mampu

menyediakan tempat terjadinya sinergi dari semua pihak penggerak

masyarakat yang terlibat dalam pembangunan.

Peran berikutnya adalah seorang pribadi yang memiliki

kapasitas sebagai pemberi solusi dalam pemecahan problem sosial

masyarakat yang terjadi pada tahap perencanaan, implementasi

kegiatan ataupun setelah pelaksanaan. Pada situasi seperti itulah

seorang aktor dibutuhkan untuk mengarahkan, penengah dan pencetus

solusi sehingga problemnya tidak berlangsung lama dan tidak

memakan waktu serta biaya besar, sebab proses pembangunan selalu

melibatkan masyarakat dengan bermacam karakteristik individu dan

kemampuan intelektual yang berbeda.

Peran yang terakhir adalah seorang pribadi yang memiliki

kapasitas pemrakarsa dari suatu proses perubahan masyarakat, yaitu

Page 29: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik

59

dengan jalan membantu setiap langkah proses pelaksanaan program-

program pemberdayaan, penyebaran informasi yang inovatif, serta

memberi petunjuk mengenai bagaimana mengenali dan merumuskan

kebutuhan, mendiagnosa permasalahan dan menentukan tujuan,

mendapatkan sumber-sumber yang relevan, atau menciptakan

pemecahan masalah, dan menyesuaikan rencana sesuai tahapan

pemecahan masalah (Gunawan 2015: 68).

Kebijakan Publik

Kebijakan publik merupakan sebuah tindakan yang diambil

oleh para elit pemerintah dalam hubungan dengan menghadirkan

kebaikan bagi banyak orang atau masyarakat. Rian Nugroho (2012: vii),

menjelaskan “public policy is a key success for developing countries, but has been so much neglected. As political development become more fascinating and the policy process tranforms into a dry and technical law making process, and the leaders and institutional decision making is trapped into interest bargaining among elit”. Dari

pemikiran tersebut sangat jelas bahwa sebuah kebijakan adalah kunci

sukses dari pembangunan negara, tetapi dalam proses penetapan tidak

terlepas dari peran elit sehingga terkadang sebuah kebijakan akan

terbengkalai ketika prosesnya didasarkan pada kepentingan elit-elit

politik secara pribadi maupun kelompok tertentu, sehingga hasilnya

tidak sesuai harapan masyarakat secara umum.

Tugas pemerintah adalah membangun kebijakan publik dan

memberikan pelayanan publik yang baik serta benar, supaya

pemerintahan dapat berjalan dengan baik pula dan didukung oleh

rakyat. Dengan demikian maka pemerintah harus memahami dengan

benar tugasnya untuk mensejahterahkan rakyat sebagai sasaran dari

setiap kebijakan yang dibuatnya. Ketika melihat kedua tugas pokok

pemerintah maka yang paling pertama dan utama adalah membangun

kebijakan publik, sebab itu pemerintah melalui elit-elitnya harus

memahami apa itu kebijakan publik sehingga dalam mengemban

tugasnya ia mampu melakukan tugas pelayanannya secara baik dalam

Page 30: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

60

memberikan pelayan yang berkualitas bagi rakyatnya sebagai tugas

pokok dan fungsi pemerintah.

Konsep Kebijakan Publik

Istilah kebijakan (policy) seringkali penggunaannya ditukarkan

dengan istilah-istilah lain seperti tujuan (goals), program, keputusan,

undang-undang ketentuan-ketentuan, usulan-usulan dan rancangan

besar. Bagi para pembuat kebijakan (policy makers) istilah-istilah

tersebut tidaklah akan menimbulkan masalah apapun karena mereka

menggunakan referensi yang sama. Namun bagi orang-orang yang

berada di luar struktur pengambilan kebijakan istilah-istilah tersebut

mungkin akan membingungkan. Syafiie (2006:104), mengemukakan

bahwa kebijakan (policy) hendaknya dibedakan dengan kebijaksanaan

(wisdom) karena kebijaksanaan merupakan pengejawantahan aturan

yang sudah ditetapkan sesuai situasi dan kondisi setempat oleh person

pejabat yang berwenang. Untuk itu Syafiie mendefinisikan kebijakan

publik adalah semacam jawaban terhadap suatu masalah karena akan

merupakan upaya memecahkan, mengurangi, dan mencegah suatu

keburukan serta sebaliknya menjadi penganjur, inovasi, dan pemuka

terjadinya kebaikan dengan cara terbaik dan tindakan terarah.

Keban (2008), memberikan pengertian dari sisi kebijakan

publik, yang dikutipnya dari pendapat Graycar, dimana menurutnya

bahwa: Public Policy dapat dilihat dari konsep filosofis, sebagai suatu

produk, sebagai suatu proses, dan sebagai suatu kerangka kerja. Sebagai

suatu konsep filosofis, kebijakan merupakan serangkaian prinsip, atau

kondisi yang diinginkan, sebagai suatu produk, kebijakan dipandang

sebagai serangkaian kesimpulan atau rekomendasi, dan sebagai suatu

proses, kebijakan dipandang sebagai suatu cara dimana melalui cara

tersebut suatu organisasi dapat mengetahui apa yang diharapkan

darinya, yaitu program dan mekanisme dalam mencapai produknya,

dan sebagai suatu kerangka kerja, kebijakan merupakan suatu proses

tawar menawar dan negosiasi untuk merumuskan isu-isu dan metode

implementasinya.

Page 31: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik

61

Dalam kamus besar bahasa Indonesia kebijakan dijelaskan

sebagai rangkaian konsep dan azas yang menjadi garis dasar rencana

dalam pelaksanaan pekerjaan, kepemimpinan, serta cara bertindak

(tentang perintah, organisasi dan sebagainya). Mustopadidjaja

(1992:30), menjelaskan, bahwa istilah kebijakan lazim digunakan

dalam kaitannya atau kegiatan pemerintah, serta perilaku negara pada

umumnya dan kebijakan tersebut dituangkan dalam berbagai bentuk

peraturan. Hal ini senada dengan David Easton (Thoha 2010:107),

merumuskan sebagai berikut: ”the authoritative allocation of value the whole society but it turns out that only government can aouthoritatively act on the whole society, and everything the government choosed to do or not to do results in the allocationof values” dalam artian bahwa kebijakan pemerintah sebagai alokasi

otoritatif bagi seluruh masyarakat sehingga semua yang dipilih

pemerintah untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan adalah hasil alokasi

nilai-nilai tersebut. Sementara itu, Koontz dan O„Donnel (1972:113),

mendefinisikan kebijakan sebagai pernyataan umum dari pengertian

yang memandu pikiran dalam pembuatan keputusan.

Sedangkan menurut Anderson (1997: 113), kebijakan adalah

suatu tindakan yang mempunyai tujuan yang dilakukan seseorang

pelaku atau sejumlah pelaku untuk memecahkan suatu masalah.

Anderson mengklasifikasi kebijakan (policy) menjadi dua: substantif

dan prosedural. Kebijakan substantif yaitu apa yang harus dikerjakan

oleh pemerintah sedangkan kebijakan prosedural yaitu siapa dan

bagaimana kebijakan tersebut diselenggarakan. Ini berarti, kebijakan

publik adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-

badan dan pejabat-pejabat pemerintah.

Lebih lanjut dikatakan bahwa terdapat lima hal yang

berhubungan dengan kebijakan publik. Pertama, kegiatan yang

berorientasi pada tujuan haruslah menjadi perhatian utama perilaku

acak atau peristiwa yang tiba-tiba terjadi. Kedua, kebijakan merupakan

pola model tindakan pejabat pemerintah mengenai keputusan-

keputusan diskresinya secara terpisah. Ketiga, kebijakan harus

mencakup apa yang nyata pemerintah perbuat, atau apa yang mereka

Page 32: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

62

katakan akan dikerjakan. Keempat, bentuk kebijakan publik dalam

bentuknya yang positif didasarkan pada ketentuan hukum dan

kewenangan. Tujuan kebijakan publik adalah dapat dicapainya

kesejahteraan masyarakat melalui produk kebijakan yang dibuat oleh

pemerintah.

Setiap produk kebijakan haruslah memperhatikan substansi

dari keadaan sasaran, melahirkan sebuah rekomendasi dengan

memperhatikan berbagai program yang dijabarkan dan

diimplementasikan sebagaimana tujuan dari kebijakan tersebut. Untuk

melahirkan sebuah produk kebijakan, dapat pula memahami konsepsi

kebijakan menurut Abdul Wahab yang dipertegas oleh Budiman Rusli

(2000:51-52), dimana lebih jauh menjelaskan sebagai berikut:

1) Kebijakan harus dibedakan dari keputusan. Paling tidak ada

tiga perbedaan mendasar antara kebijakan dengan keputusan

yakni :

a) Ruang lingkup kebijakan jauh lebih besar dari pada

keputusan

b) Pemahaman terhadap kebijakan yang lebih besar

memerlukan penelaahan yang mendalam terhadap

keputusan.

c) Kebijakan biasanya mencakup upaya penelusuran

interaksi yang berlangsung di antara begitu banyak

individu, kelompok dan organisasi.

2) Kebijakan sebenarnya tidak serta merta dapat dibedakan dari

administrasi. Perbedaan antara kebijakan dengan administrasi

mencerminkan pandangan klasik. Pandangan klasik tersebut

kini banyak dikritik, karena model pembuatan kebijakan dari

atas misalnya, semakin lama semakin tidak lazim dalam praktik

pemerintahan sehari-hari. Pada kenyataannya, model

pembuatan kebijakan yang memadukan antara top-down

dengan bottom-up menjadi pilihan yang banyak mendapat

perhatian dan pertimbangan yang realistis.

Page 33: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik

63

3) Kebijakan sebenarnya tidak serta merta dapat dibedakan dari

administrasi. Langkah pertama dalam menganalisis

perkembangan kebijakan negara ialah perumusan apa yang

sebenarnya diharapkan oleh para pembuat kebijakan. Pada

kenyataannya cukup sulit mencocokkan antara perilaku yang

senyatanya dengan harapan para pembuat keputusan.

4) Kebijakan mencakup ketiadaan tindakan ataupun adanya

tindakan. Perilaku kebijakan mencakup pula kegagalan

melakukan tindakan yang tidak disengaja, serta keputusan

untuk tidak berbuat yang disengaja (deliberate decisions not to act). Ketiadaan keputusan tersebut meliputi juga keadaan

dimana seseorang atau sekelompok orang yang secara sadar

atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja menciptakan atau

memperkokoh kendala agar konflik kebijakan tidak pernah

tersingkap di mata publik.

5) Kebijakan biasanya mempunyai hasil akhir yang akan dicapai,

yang mungkin sudah dapat diantisipasikan sebelumnya atau

mungkin belum dapat diantisipasikan. Untuk memperoleh

pemahaman yang mendalam mengenai pengertian kebijakan

perlu pula kiranya meneliti dengan cermat baik hasil yang

diharapkan ataupun hasil yang senyatanya dicapai. Hal ini

dikarenakan, upaya analisis kebijakan yang sama sekali

mengabaikan hasil yang tidak diharapkan (unintended results) jelas tidak akan dapat menggambarkan praktik kebijakan yang

sebenarnya.

6) Kebijakan kebanyakan didefinisikan dengan memasukkan

perlunya setiap kebijakan melalui tujuan atau sasaran tertentu

baik secara eksplisit atau implisit. Umumnya, dalam suatu

kebijakan sudah termaktub tujuan atau sasaran tertentu yang

telah ditetapkan jauh hari sebelumnya, walaupun tujuan dari

suatu kebijakan itu dalam praktiknya mungkin saja berubah

atau dilupakan paling tidak sebagian.

Page 34: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

64

7) Kebijakan muncul dari suatu proses yang berlangsung

sepanjang waktu. Kebijakan itu sifatnya dinamis, bukan statis.

Artinya setelah kebijakan tertentu dirumuskan, diadopsi, lalu

diimplementasikan, akan memunculkan umpan balik dan

seterusnya.

8) Kebijakan meliputi baik hubungan yang bersifat antar

organisasi ataupun yang bersifat intra organisasi. Pernyataan

ini memperjelas perbedaan antara keputusan dan kebijakan,

dalam arti bahwa keputusan mungkin hanya ditetapkan oleh

dan dan melibatkan suatu organisasi, tetapi kebijakan biasanya

melibatkan berbagai macam aktor dan organisasi yang setiap

saat harus bekerja sama dalam suatu hubungan yang kompleks.

9) Kebijakan negara menyangkut peran kunci dari lembaga

pemerintah, walaupun tidak secara ekslusif. Terhadap

kekaburan antara sektor publik dengan sektor swasta, di sini

perlu ditegaskan bahwa sepanjang kebijakan itu pada saat

perumusannya diproses, atau setidaknya disahkan atau

diratifikasikan oleh lembaga-lembaga pemerintah, maka

kebijakan tersebut disebut kebijakan negara.

10) Kebijakan dirumuskan atau didefinisikan secara subyektif. Hal

ini berarti pengertian yang termaktub dalam istilah kebijakan

seperti proses kebijakan, aktor kebijakan, tujuan kebijakan

serta hasil akhir suatu kebijakan dipahami secara berbeda oleh

orang yang menilainya, sehingga mungkin saja bagi sementara

pihak ada perbedaan penafsiran mengenai misalnya tujuan

yang ingin dicapai dalam suatu kebijakan dan dampak yang

ditimbulkan oleh kebijakan tersebut.

W. I. Jenkins seorang pakar kebijakan publik Inggris (Wahab

2015:15), merumuskan kebijakan publik sebagai berikut:

“A set of interrelated decisions taken by a political actor or group of actors concering the selection of goals and the means of achieving them within a specified situation where these decisions should, in principle, be within the power of these actors to achieve” (serangkaian

Page 35: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik

65

keputusan yang saling berkaitan yang diambil oleh seorang aktor

politik atau sekelompok aktor, berkenan tujuan yang telah dipilih

beserta cara-cara untuk mencapainya dalam suatu situasi. Keputusan-

keputusan itu pada prinsipnya masih berada dalam batas-batas

kewenangan kekuasaan dari para aktor tersebut).

Pakar dari Perancis, Lemieux (Wahab 2015), merumuskan

kebijakan publik adalah:

“The product of activities aimed at the resoluition of public problems in the environment by political actors whose relationship are structured. The entire process evolves over time”

(produk aktivitas-aktivitas yang dimaksudkan untuk memecahkan masalah-masalah publik yang terjadi di lingkungan tertentu yang dilakukan oleh aktor-aktor politik yang hubungannya terstruktur. Keseluruhan proses aktivitas itu berlangsung sepanjang waktu).

Berdasarkan penjelasan-penjelasan tentang definisi ataupun

rumusan kebijakan publik sebagaimana dipaparkan di atas, tidak dapat

dipungkiri bahwa dalam setiap pembuatan kebijakan publik (public policy making) selalu saja melibatkan pemerintah. Semua kebijakan

yang disebut kebijakan publik selalu saja dalam proses pembuatannya

sejak digagas, dikembangkan, dirumuskan atau dibuat oleh instansi-

instansi pasti akan melibatkan baik secara langsung maupun tidak

pejabat-pejabat pemerintah, karena itu peran elit atau aktor

pemerintah selalu saja mewarnai setiap tahapan sebuah kebijakan

publik.

Jenis-Jenis Kebijakan Publik

Kebijakan publik adalah sebuah keputusan yang dibuat oleh

lembaga publik dengan tujuan untuk mendistribusikan sumber daya

nasional demi kebaikan dan kesejahteraan publik. Salah satu contoh

konkrit yang dapat kita lihat dipraktekkan oleh pemerintah adalah

distribusi pajak sebagai pendapatan yang sah dan diterima pemerintah,

dari pendapatan tersebut kemudian didistribusikan kepada masyarakat

Page 36: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

66

dalam wujud program pembangunan maupun program pendidikan dan

kesehatan.

Selain pendistribusian sumber daya nasional tujuan dari

kebijakan publik juga untuk meregulasi, meliberasi dan menderegulasi.

Kebijakan regulatif seperti meregulasi, memerintah, menciptakan

kontrol, menstandarisasi, melegalisasi, dan menyelaraskan. Sebagian

besar dari kebijakan publik tujuannya seperti itu. Sedangkan kebijakan

deregulasi adalah kebijakan yang melepaskan, melonggarkan,

menghentikan, atau membebaskan kebijakan regulatif apapun.

Tujuan lain dari kebijakan publik adalah stabilisasi ketika

pemerintahan yang mengalami dinamika politik berpotensi kekacauan,

maka kebijakan untuk menstabilitasi keadaan sangat dibutuhkan.

Kebijakan ini pernah diterapkan oleh presiden Republik Indonesia

yang kedua dimana pada saat memulai kepemimpinannya, kondisi

Negara Indonesia sangat kacau karena pada saman Orde Lama setiap

kabinet usianya rata-rata berganti hanya dalam waktu tiga bulan.

Ketika Soeharto mengambil alih pucuk pimpinan sejak tahun 1966,

semua kebijakan yang dilakukan selama masa kepresidenannya selalu

didasarkan pada tujuan menjaga kestabilan nasional. Apa yang

dilakukan Soeharto ternyata sangat efektif karena selama ia berkuasa,

tidak pernah lagi terjadi pergantian kabinet dalam waktu relatif singkat

tetapi semua kabinet di Indonesia berjalan selama lima tahun sesuai

masa bakti satu periode.

Tujuan terakhir dari kebijakan publik yang diterapkan di

sebuah negara adalah untuk memperkuat negara serta memperkuat

pasar. Kebijakan memperkuat pasar secara global diterima sebagai

liberalisasi, tentu saja pasar adalah kunci bagi gaya penggerak untuk

pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia (Nugroho 2014: 60).

Dari penjelasan tersebut di atas maka sebagai rangkuman dapat

ditarik kesimpulan bahwa tujuan dari kebijakan publik adalah: a)

Untuk mendistribusikan pajak, b) Untuk meregulasi dan meliberasi

serta menderegulasi sebuah keputusan, c) Untuk menstabilkan

keadaan, dan d) Untuk memperkuat negara dan memperkuat pasar.

Page 37: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik

67

Dengan mengembangkan tujuan menjadi ide di belakang

tujuan, dapat dibuat sebuah alur pikir tentang ide di belakang tujuan

itu. Apabila agendanya adalah tentang alokasi sumber daya, tujuannya

akan menjadi “untuk mendistribusikan”. Jika agendanya tentang gaya,

maka tujuannya akan menjadi “untuk menstabilkan”, dan jika

agendanya adalah tentang fokus, tujuannya akan menjadi “untuk

memperkuat negara atau mempekuat pasar”. Dari tujuan-tujuan

tersebut tergantung pula pada siapa tujuan utama kebijakan dimaksud

diarahkan, apakah kepada negara ataukah masyarakat.

Berdasarkan tujuannya, maka kebijakan publik secara umum

dikelompokkan dalam empat jenis kebijakan publik yaitu: Pertama,

kebijakan formal, kedua, kebiasaan umum lembaga publik yang telah

diterima bersama(konvensi), ketiga, pernyataan pejabat publik dalam

forum publik, dan keempat adalah perilaku pejabat publik.

Kebijakan formal adalah keputusan-keputusan yang

dikodifikasikan secara tertulis dan disahkan atau diformalkan agar

dapat berlaku. Kebijakan publik yang diformalkan dalam bentuk legal-

legal tidak senantiasa identik dengan hukum. Untuk kebijakan formal

di Indonesia dikelompokkan dalam tiga bagian yakni: 1. Perundang-

undangan, 2. Hukum, 3. Regulasi.

Perundang-undangan adalah kebijakan publik dalam hubungan

dengan usaha-usaha pembangunan negara baik berkenaan dengan

negara (nation) ataupun masyarakat/rakyat (society). James E.

Anderson (Wijayanti, 2013: 3-4), mengelompokkan jenis-jenis

kebijakan publik sebagai berikut:

a) Substantive policy and Procedural Policies.

Substantive Policy adalah suatu kebijakan dilihat dari substansi

masalah yang dihadapi oleh pemerintah. Misalnya: kebijakan

pendidikan, kebijakan ekonomi, dan lain-lain. Sedangkan procedural policy adalah suatu kebijakan dilihat dari pihak-pihak yang terlibat

dalam perumusannya (Policy Stakeholder). Sebagai contoh: dalam

pembuatan suatu kebijakan publik, meskipun ada instansi/organisasi

pemerintah yang secara fungsional berwenang membuatnya,

Page 38: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

68

misalnya undang-undang tentang pendidikan, yang berwenang

membuat adalah departemen pendidikan nasional, tetapi dalam

pelaksanaan pembuatannya, banyak instansi/organisasi lain yang

terlibat, baik instansi/organisasi pemerintah maupun organisasi

bukan pemerintah, yaitu antara lain DPR, Departemen Kehakiman,

Departemen Tenaga Kerja, Persatuan Guru Indonesia (PGRI), dan

Presiden yang mengesahkan undang-undang tersebut.

Instansi/organisasi-organisasi yang terlibat tersebut disebut policy stakeholder.

b) Distributive, Redistributive, and Regulatory Policies

Distributive policy merupakan suatu kebijakan yang mengatur

tentang pemberian pelayanan/keuntungan kepada individu-individu,

kelompok-kelompok, atau perusahaan perusahaan. Contoh: kebijakan

tentang tax holiday. Redistributive policy adalah suatu kebijakan yang

mengatur tentang pemindahan alokasi kekayaan, pemilikan, atau hak-

hak. Contoh: kebijakan tentang pembebasan tanah untuk kepentingan

umum. Sedangkan regulatory policy adalah suatu kebijakan yang

mengatur tentang pembatasan/pelarangan terhadap perbuatan ataupun

tindakan. Contoh: kebijakan tentang larangan memiliki dan

menggunakan senjata api.

c) Material Policy merupakan suatu kebijakan yang mengatur tentang

pengalokasian/penyediaan sumber-sumber material yang nyata bagi

penerimanya. Contoh: kebijakan pembuatan rumah sederhana.

d) Public Goods and Private Goods Policies.

Public goods policy adalah suatu kebijakan yang mengatur

tentang penyediaan barang-barang/pelayanan-pelayanan oleh

pemerintah, untuk kepentingan orang banyak. Contoh: kebijakan

tentang perlindungan keamanan, penyediaan jalan umum. Private goods policy adalah suatu kebijakan yang mengatur tentang

penyediaan barang-barang/pelayanan oleh pihak swasta, untuk

kepentingan individu-individu (perorangan) di pasar bebas, dengan

imbalan biaya tertentu. Contoh: kebijakan pengadaan barang-

Page 39: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik

69

barang/pelayanan untuk keperluan perorangan, misalnya tempat

hiburan, hotel, dan lain-lain.

Dalam praktek pembuatan kebijakan publik yang selama ini

dilakukan oleh pemerintah ternyata memiliki tingkatan dalam setiap

kebijakan publik mulai dari pusat sampai ke daerah-daerah. Mengenai

tingkat-tingkat kebijakan publik di Indonesia, Lembaga Administrasi

Negara (1997), mengemukakan sebagai berikut:

a) Lingkup Nasional terbagi dalam beberapa kebijakan

Pertama, kebijakan nasional adalah kebijakan negara yang

bersifat fundamental dan strategis dalam pencapaian tujuan

nasional/negara sebagaimana tertera dalam Pembukaan UUD 1945.

Penetapan tersebut yang berwenang menetapkan kebijakan nasional

adalah MPR, Presiden, dan DPR. Kebijakan nasional yang dituangkan

dalam peraturan perundang-undangan dapat berbentuk: UUD,

Ketetapan MPR, Undang-undang (UU), Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-undang (PERPU).

Kedua, kebijakan umum adalah kebijakan presiden sebagai

pelaksanaan UUD, TAP MPR, UU untuk mencapai tujuan

nasional. Pejabat yang berwenang menetapkan kebijakan umum

adalah Presiden. Kebijakan umum yang tertulis dapat berbentuk

Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (KEPPRES),

Instruksi Presiden (INPRES).

Ketiga, kebijaksanaan pelaksanaan adalah merupakan

penjabaran dari kebijakan umum sebagai strategi pelaksanaan tugas di

bidang tertentu. Pejabat yang berwenang menetapkan kebijakan

pelaksanaan adalah menteri/pejabat setingkat menteri dan pimpinan

lembaga pemerintah non departemen (LPND). Kebijakan pelaksanaan

yang tertulis dapat berbentuk peraturan, keputusan, dan instruksi

pejabat tersebut di atas.

b) Lingkup wilayah daerah

Pertama, kebijakan umum pada lingkup daerah adalah

kebijakan pemerintah daerah sebagai pelaksanaan azas desentralisasi

Page 40: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

70

dalam rangka mengatur urusan rumah tangga daerah. Pejabat yang

berwenang menetapkan kebijakan umum di daerah provinsi adalah

Gubernur dan DPRD Provinsi. Pada Daerah Kabupaten/Kota

ditetapkan oleh Bupati/Walikota dan DPRD Kabupaten/Kota.

Kebijakan umum pada tingkat Daerah dapat berbentuk Peraturan

Daerah (PERDA) Provinsi dan PERDA Kabupaten/Kota.

Kedua, kebijakan pelaksanaan pada lingkup wilayah/daerah ada

tiga macam, yaitu: Kebijakan pelaksanaan dalam rangka desentralisasi

merupakan realisasi pelaksanaan perda. Kebijakan pelaksanaan dalam

rangka dekonsentrasi merupakan pelaksanaan kebijakan nasional di

daerah. Kebijakan pelaksanaan dalam rangka tugas pembantuan

merupakan pelaksanaan tugas pemerintah pusat di daerah yang

diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Pejabat yang berwenang

menetapkan kebijakan pelaksanaan adalah:

1) Dalam rangka desentralisasi adalah Gubernur/Bupati/Walikota;

2) Dalam rangka dekonsentrasi adalah Gubernur/Bupati/Walikota;

3) Dalam rangka tugas pembantuan adalah Gubernur/

Bupati/Walikota.

4) Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dan tugas pembantuan

berupa keputusan-keputusan Gubernur/Bupati/Walikota.

5) Dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi berbentuk Keputusan

Gubernur/Bupati/Walikota.

Tahap-tahap Kebijakan Publik

Tahap-tahap atau proses pembuatan kebijakan dapat

divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang

diatur menurut urutan waktu: penyusunan agenda, formulasi

kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian

kebijakan. Berikut gambar dari tahapan dalam proses pembuatan

kebijakan publik:

Page 41: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik

71

Sumber Dunn (2003:25)

Gambar 2. 4 Tahap-tahap dalam Proses Pembuatan Kebijakan Publik

1. Perumusan Masalah

Perumusan masalah dapat memasok pengetahuan yang relevan

dengan kebijakan yang mempersoalkan asumsi-asumsi yang mendasari

definisi masalah dan memasuki proses pembuatan kebijakan melalui

penyusunan agenda (agenda setting). Perumusan masalah dapat

membantu menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi,

mendiagnosis penyebab-penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan yang

memungkinkan, memadukan pandangan-pandangan yang

bertentangan, dan merancang peluang-peluang kebijakan yang baru.

2. Peramalan

Peramalan dapat menyediakan pengetahuan yang relevan dengan

kebijakan tentang masalah yang akan terjadi di masa mendatang

sebagai akibat dari diambilnya alternatif, termasuk tidak melakukan

sesuatu. Ini dilakukan dalam tahap formulasi kebijakan. Peramalan

Page 42: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

72

dapat menguji masa depan yang plausible, potensial dan secara

normatif bernilai, mengestimasi akibat dari kebijakan yang ada atau

yang diusulkan, mengendali kendala-kendala yang mungkin akan

terjadi dalam pencapaian tujuan, dan mengestimasi kelayakan politik

(dukungan dan oposisi) dari berbagai pilihan.

3. Rekomendasi

Rekomendasi membuahkan pengetahuan yang relevan dengan

kebijakan tentang manfaat atau biaya dari berbagai alternatif yang

akibatnya di masa mendatang telah diestimasikan melalui peramalan.

Ini membantu pengambil kebijakan pada tahap adopsi kebijakan. Rekomendasi membantu mengestimasi tingkat risiko dan

ketidakpastian, mengenali eksternalitas dan akibat ganda, menentukan

kriteria dalam membuat pilihan, dan menentukan pertanggungjawaban

administratif bagi implementasi kebijakan.

4. Pemantauan

Pemantauan (monitoring) menyediakan pengetahuan yang

relevan dengan kebijakan tentang akibat dari kebijakan yang diambil

sebelumnya. Ini membantu pengambil kebijakan dalam tahap

implementasi kebijakan. Banyak badan secara teratur memantau hasil

dan dampak kebijakan dengan menggunakan berbagai indikator

kebijakan di bidang kesehatan, pendidikan, perumahan, kesejahteraan,

kriminalitas, ilmu dan teknologi. Pemantauan membantu menilai

tingkat kepatuhan, menemukan akibat-akibat yang tidak diinginkan

dari kebijakan dan program, mengidentifikasi hambatan dan rintangan

implementasi, dan menemukan letak pihak-pihak yang bertanggung

jawab pada setiap tahapan kebijakan.

5. Evaluasi

Evaluasi membuahkan pengetahuan yang relevan dengan

kebijakan tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang

diharapkan dengan benar-benar dihasilkan. Jadi ini membantu

pengambilan kebijakan pada tahap penilaian kebijakan terhadap proses

pembuatan kebijakan. Evaluasi tidak hanya menghasilkan kesimpulan

mengenai seberapa jauh masalah telah terselesaikan; tetapi juga

Page 43: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik

73

menyumbang pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-ninlai yang

mendasari kebijakan, membantu dalam penyesuaian dan perumusan

kembali masalah (Dunn, 2003: 25-29).

Implementasi Kebijakan Publik

Studi kebijakan publik terdiri dari dua bagian besar yaitu

analisis kebijakan publik dan proses kebijakan publik. Salah satu bagian

dari proses kebijakan publik adalah implementasi kebijakan publik.

Bagian analisis kebijakan publik biasanya mengkaji hubungan antara

suatu kebijakan dengan masalah, isi dari kebijakan, mengkaji apa yang

dilakukan dan tidak dilakukan oleh pembuat kebijakan, serta

konsekuensi yang akan tercipta (output) dari suatu kebijakan. Analisis

kebijakan pada dasarnya merupakan bentuk perekayasaan dan

perbaikan terhadap suatu kebijakan (Parson, 2008: 19-31).

Pada bagian proses kebijakan publik, kebijakan publik

dipandang sebagai sebuah proses. Artinya, kebijakan publik akan

dilihat berdasarkan tingkatan praktisnya, yaitu bagaimana kebijakan

dibuat, diimplementasikan dan pada akhirnya kebijakan harus

melakukan perubahan-perubahan tertentu. Banyak pakar yang

menawarkan bentuk dari proses kebijakan ini, tetapi dari sebagian

banyak tawaran itu Jones menyimpulkan bahwa pada dasarnya semua

bentuk proses itu dapat dikelompokkan menjadi empat tahap, yaitu: a,

tahap bagaimana masalah-masalah yang ada bisa masuk ke ruang

publik. b, tahap bagaimana pemerintah melakukan tindakan-tindakan

konkret menyikapi masalah tersebut. c, tahap dimana tindakan-

tindakan pemerintah itu masuk ke masalah di lapangan. d, tahap

dimana kebijakan kembali ke pemerintah agar ditinjau kembali dan

diadakan perubahan-perubahan yang dianggap mungkin (Putra,

2003:26-32).

Penggunaan istilah implementasi pertama kali digunakan oleh

Harold Lasswell (1956), lewat bukunya The Decision Process: Seven Categories of Functional Analysis. Sebagai ilmuwan yang pertama kali

mengembangkan studi tentang kebijakan publik, Lasswell menggagas

suatu pendekatan yang ia sebut sebagai pendekatan proses (policy

Page 44: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

74

process approach). Menurutnya, agar ilmuwan memperoleh

pemahaman yang baik tentang apa sesungguhnya kebijakan publik,

maka kebijakan publik harus diurai menjadi beberapa bagian sebagai

tahapan-tahapan, yaitu: agenda-setting, formulasi, legitimasi,

implementasi, evaluasi, reformulasi dan terminasi. Dari siklus tersebut

terlihat secara jelas bahwa implementasi hanyalah bagian atau salah

satu tahap dari proses besar bagaimana suatu kebijakan publik

dirumuskan (Purwanto, 2012:17).

Istilah implementasi oleh Laswell digunakan hanya untuk

menunjukkan bahwa implementasi merupakan salah satu tahapan

dalam proses besar kebijakan publik, Laswell belum memberi

penekanan secara khusus tentang arti pentingnya implementasi. Tetapi

dalam perkembangannya istilah implementasi kemudian menjadi suatu

konsep yang mulai dikenal dalam disipilin ilmu politik, ilmu

administrasi publik dan lebih khusus lagi dalam ilmu kebijakan publik

yang dikembangkan. Dalam perkembangan studi implementasi

kebijakan publik selanjutnya Jeffrey Pressman dan Aaron Wildavsky

(1973), merupakan dua ilmuwan pertama yang secara eksplisit

menggunakan konsep implementasi untuk menjelaskan fenomena

kegagalan suatu kebijakan dalam mencapai sasarannya. Hal inilah yang

menjadikan kedua ahli ini layak diberikan kredit besar sebagai pionir

dalam pengembangan studi implementasi kebijakan publik. Menurut

mereka, implementasi dimaknai dengan beberapa kata kunci sebagai

berikut: untuk menjalankan kebijakan (to carry out), untuk memenuhi

janji-janji sebagaimana dinyatakan dalam dokumen kebijakan (to fulfill), untuk menghasilkan output sebagaimana dinyatakan dalam

tujuan kebijakan (to produce), untuk menyelesaikan misi yang harus

diwujudkan dalam tujuan kebijakan (to complete) (Purwanto, 2012:17-

20).

Setelah dirintis oleh dua sarjana ini, konsep implementasi

kemudian mulai dikenal luas dan mulai didalami oleh para ilmuwan

kebijakan publik. Mazmanian dan Sabatier (Nugroho, 2006:119),

mengemukakan bahwa implementasi adalah upaya melaksanakan

Page 45: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik

75

keputusan kebijakan. Mereka berdua menyampaikan pemikirannya

dengan mengemukakan:

“implementation is the carrying out of basic policy decision, usually incorporated in a statute but which can also take the form of important executives oders or court decision. Ideally that decision identifies the problem(s) to be addressed, stipulates the objective(s) to be pursued, and, in a variety of ways, “structures” the implementation process.”

Berdasarkan pengertian tersebut implementasi dapat diartikan

sebagai pelaksanaan keputusan dasar yang biasanya dituangkan dalam

bentuk undang-undang, keputusan pemerintah/eksekutif ataupun

keputusan badan peradilan. Biasanya keputusan tersebut meng-

identifikasi masalah yang dihadapi, tuntutan dalam berbagai bentuk

yang ingin dicapai serta struktur dari proses implementasi.

Menurut Robert Nakamura dan Frank Smallwood (1980), hal-

hal yang berhubungan dengan implementasi kebijakan adalah

keberhasilan dalam mengevaluasi masalah dan kemudian

menerjemahkan ke dalam keputusan-keputusan yang bersifat khusus.

Sementara itu, Van Meter dan Van Horn membatasi implementasi

kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-

idividu atau kelompok-kelompok baik pemerintah maupun swasta

yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan

dalam keputusan kebijakan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini

mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan

menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu

maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai

perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-

keputusan kebijakan (Winarno, 2004: 102).

Agus Purwanto (2012), mengemukakan bahwa implementasi

intinya adalah kegiatan untuk mendistribusikan keluaran kebijakan (to deliver policy output) yang dilakukan oleh para implementer kepada

kelompok sasaran (target group) sebagai upaya untuk mewujudkan

tujuan kebijakan. Tujuan kebijakan diharapkan akan muncul manakala

policy output dapat diterima dan dimanfaatkan dengan baik oleh

Page 46: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

76

kelompok sasaran sehingga dalam waktu jangka panjang hasil

kebijakan akan mampu diwujudkan (Purwanto, 2012: 21). Karena itu,

sebuah program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai

dampak atau tujuan yang diinginkan.

Implementasi merupakan tahap yang krusial dalam proses

kebijakan publik. Implementasi merupakan tahapan atau serangkaian

kegiatan setelah suatu kebijakan dirumuskan. Tanpa suatu

implementasi maka suatu kebijakan yang telah dirumuskan akan sia-sia

belaka. Implementasi kebijakan merupakan hal yang paling berat,

karena di sini masalah-masalah yang kadang tidak dijumpai dalam

konsep, muncul di lapangan (Nugroho, 2006: 119). Dengan demikian

maka tahapan ini sangat penting untuk dikaji secara mendasar karena

terkadang antara perencanaan dan implementasi di lapangan jauh

berbeda, sehingga tingkat keberhasilan sebuah kebijakan publik dapat

dicapai sesuai tujuannya.

Teori Fungsionalisme Struktural

Talcott Parsons merupakan tokoh yang mendominasi teori

sosial sejak perang dunia kedua sampai pertengahan 1960-an. Menurut

Talcott Parsons teori fungsionalisme struktural adalah sesuatu yang

urgen dan sangat bermanfaat dalam suatu kajian tentang analisa

masalah sosial. Hal ini disebabkan karena studi struktur dan fungsi

masyarakat merupakan sebuah masalah sosiologis yang telah

menembus karya-karya para pelopor ilmu sosiologi dan para ahli teori

kontemporer. Secara garis besar fakta sosial yang menjadi pusat

perhatian sosiologi terdiri atas dua tipe yaitu struktur sosial dan

pranata sosial. Menurut teori fungsionalisme struktural, struktur sosial

dan pranata sosial tersebut berada dalam suatu sistem sosial yang

berdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan

dan menyatu dalam keseimbangan.

Sebelum membahas teori fungsionalisme struktural Talcott

Parsons, ada baiknya bila kita membahas dahulu tentang asumsi-asumsi

dasar dari teori struktural fungsional yang menjadi dasar dari

Page 47: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik

77

pemikiran Talcott Parsons tersebut. Teori struktural fungsional berasal

dari pemikiran Emile Durkheim, dimana masyarakat dilihat sebagai

suatu sistem yang didalamnya terdapat sub-sub sistem yang masing-

masingnya mempunyai fungsi untuk mencapai keseimbangan dalam

masyarakat. Teori ini berada pada level makro yang memusatkan

perhatiannya pada struktur sosial dan institusi sosial berskala luas,

antar hubungannya, dan pengaruhnya terhadap masyarakat.

Sumbangsih Durkheim bagi struktur teoretis Parsons adalah pada

penyatuan sistem sosial, dimana masyarakat menjadi sebuah kesatuan

yang suci melalui keseimbangan dari masing-masing bagiannya.

Elemen-elemen dalam masyarakat menjadi saling tergantung dan

bersifat mengatur, untuk kebutuhan sistem.

Teori fungsionalisme struktural yang dibangun Talcott Parsons

dan dipengaruhi oleh para sosiolog Eropa menyebabkan teorinya itu

bersifat empiris, positivistis dan ideal. Pandangannya tentang tindakan

manusia itu bersifat voluntaristik, artinya karena tindakan itu

didasarkan pada dorongan kemauan, dengan mengindahkan nilai, ide

dan norma yang disepakati. Tindakan individu manusia memiliki

kebebasan untuk memilih sarana (alat) dan tujuan yang akan dicapai

itu dipengaruhi oleh lingkungan atau kondisi-kondisi, dan apa yang

dipilih tersebut dikendalikan oleh nilai dan norma. Prinsip-prinsip

pemikiran menurut Talcott Parsons, “tindakan individu manusia itu

diarahkan pada tujuan. Di samping itu, tindakan itu terjadi pada suatu

kondisi yang unsurnya sudah pasti, sedang unsur-unsur lainnya

digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan” (Ritzer, 2012: 178).

Secara normatif tindakan tersebut diatur berkenaan dengan

penentuan alat dan tujuan atau dengan kata lain dapat dinyatakan

bahwa tindakan itu dipandang sebagai kenyataan sosial yang terkecil

dan mendasar, yang unsur-unsurnya berupa alat, tujuan, situasi, dan

norma. Dengan demikian, dalam tindakan tersebut dapat digambarkan

yaitu individu sebagai pelaku dengan alat yang ada akan mencapai

tujuan dengan berbagai macam cara, yang juga individu itu

dipengaruhi oleh kondisi yang dapat membantu dalam memilih tujuan

yang akan dicapai, dengan bimbingan nilai dan ide serta norma. Selain

Page 48: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

78

hal-hal tersebut di atas, tindakan individu manusia itu juga ditentukan

oleh orientasi subjektifnya, yaitu berupa orientasi motivasional dan

orientasi nilai. Perlu diketahui pula bahwa tindakan individu tersebut

dalam realisasinya terdapat berbagai macam karena adanya unsur-

unsur sebagaimana dikemukakan di atas.

Teori fungsionalisme struktural adalah sesuatu yang urgen dan

sangat bermanfaat dalam suatu kajian tentang analisa masalah sosial.

Hal ini disebabkan karena studi struktur dan fungsi masyarakat

merupakan sebuah masalah sosiologis yang telah menembus karya-

karya para pelopor ilmu sosiologi dan para ahli teori kontemporer.

Secara garis besar fakta sosial yang menjadi pusat perhatian sosiologi

terdiri atas dua tipe yaitu struktur sosial dan pranata sosial. Menurut

teori fungsionalisme struktural, struktur sosial dan pranata sosial

tersebut berada dalam suatu sistem sosial yang berdiri atas bagian-

bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan menyatu dalam

keseimbangan.

Pada prinsipnya teori fungsionalisme struktural menekankan

kepada keteraturan dan mengabaikan konflik dan perubahan-

perubahan dalam masyarakat. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap

struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain tanpa ada

pertentangan, sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak

akan ada atau hilang dengan sendirinya. Sistem memiliki properti

keteraturan dan bagian-bagian yang tergantung. Sistem cenderung

bergerak ke arah mempertahankan keteraturan diri atau

keseimbangan. Sifat dasar bagian suatu sistemsberpengaruh terhadap

bentuk bagian-bagian lain. SistemSmemelihara batas-batas dengan

lingkungan. Alokasi dan integrasi merupakan dua proses fundamental

yang diperlukan untuk memelihara keseimbangan sistem. Sistem

cenderung menjaga keseimbangan meliputi: pemeliharaan batas dan

pemeliharaan hubungan antara bagian dengan keseluruhan sistem,

mengendalikan lingkungan yang berbeda dan mengendalikan

kecenderungan untuk merubah sistem dari dalam.

Asumsi dasar dari teori fungsionalisme struktural, yaitu bahwa

masyarakat terintegrasi atas dasar kesepakatan dari para anggotanya

Page 49: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik

79

akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu yang mempunyai kemampuan

mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut

dipandang sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi

dalam suatu keseimbangan. Dengan demikian masyarakat merupakan

kumpulan sistem-sistem sosial yang satu sama lain berhubungan dan

saling ketergantungan.

Alokasi dan integrasi merupakan dua proses fundamental yang

diperlukan untuk memelihara keseimbangan sistem. Sistem cenderung

menjaga keseimbangan meliputi: pemeliharaan batas dan pemeliharaan

hubungan antara bagian dengan keseluruhan sistem, mengendalikan

lingkungan yang berbeda dan mengendalikan kecenderungan untuk

merubah sistem dari dalam. Teori fungsionalisme struktural

merupakan integritas sistem yang bisa melibatkan sesuatu dari

ketergantungan total bagian-bagiannya terhadap satu sama lain kepada

ketidaktergantungan yang komparatif (Baut, 1992: 76).

Fungsionalisme struktural sering menggunakan konsep sistem

ketika membahas struktur atau lembaga sosial. Sistem ialah organisasi

dari keseluruhan bagian-bagian yang saling tergantung, yang

mengartikan bahwa fungionalisme struktural terdiri dari bagian yang

sesuai, rapih, teratur, dan saling bergantung. Seperti layaknya sebuah

sistem, maka struktur yang terdapat di masyarakat akan memiliki

kemungkinan untuk selalu dapat berubah. Karena sistem cenderung ke

arah keseimbangan maka perubahan tersebut selalu merupakan proses

yang terjadi secara perlahan hingga mencapai posisi yang seimbang dan

hal itu akan terus berjalan seiring dengan perkembangan kehidupan

manusia. Penganut teori fungsionalisme Struktural selalu menganggap

bahwa segala pranata sosial yang ada di masyarakat mempunyai fungsi

positif dan negatif.

Gans (1972) menilai bahwa kemiskinan mempunyai empat

kriteria fungsi yaitu fungsi sosial, kultural dan ekonomi. Implikasi dari

pendapat Gans tentang kemiskinan bahwa jika orang ingin

menyingkirkan kemiskinan, maka orang harus mampu mencari

alternatif untuk orang miskin berupa aneka macam fungsi baru. Dalam

hal ini kemiskinan akan lenyap melalui dua cara yaitu: pertama bila

Page 50: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

80

kemiskinan itu sudah sedemikian tidak berfungsi lagi bagi

kemakmuran, kedua bila orang miskin berusaha sekuat tenaga untuk

mengubah sistem yang dominan dalam stratifikasi sosial. Dalam

perubahan tersebut orang miskin perlu cara yang benar-benar

menanggulangi kemiskinan (Ritzer & Dougles, 2005: 89).

Teori merupakan suatu usaha untuk menjelaskan pengalaman

sehari-hari kita mengenai dunia, pengalaman kita yang terdekat dalam

kaitannya dengan sesuatu yang tidak begitu dekat yang terjadi pada

orang lain, pengalaman masa lalu, serta emosi-emosi yang bisa kita

nalarkan. Dalam proses penjelasan, penerangan serta pemahaman

pengalaman, ide-ide serta masalah-masalah yang ada secara lebih

sistematis disebut teori sosial.

Teori Fungsionalisme Struktural milik Talcott Parsons

merupakan penilaian tentang masalah, kejadian, fakta serta

pengalaman-pengalaman yang menekankan pada keteraturan,

keseimbangan sebuah sistem yang ada di masyarakat atau lembaga.

Talcott Parsons menolak adanya konflik di dalam masyarakat. Karena

Talcott Parsons berpikir bahwa masalah-masalah sosial yang ada di

masyarakat merupakan masalah-masalah yang mempunyai fungsi

positif maupun fungsi negatif. Sehingga sistem-sistem yang ada di

masyarakat maupun lembaga-lembaga masyarakat mempunyai peran

serta fungsinya masing-masing.

Talcott Parsons dalam menguraikan teori ini menjadi sub-

sistem yang berkaitan menjelaskan bahwa di antara hubungan

fungsional-struktural cenderung memiliki empat tekanan yang berbeda

dan terorganisir secara simbolis: pencarian pemuasan psikis,

kepentingan dalam menguraikan pengertian-pengertian simbolis,

kebutuhan untuk beradaptasi dengan lingkungan organis-fisis, dan

usaha untuk berhubungan dengan anggota-anggota makhluk manusia

lainnya.

Sebaliknya masing-masing sub-sistem itu, harus memiliki

empat prasyarat fungsional yang harus mereka adakan sehingga bias

diklasifikasikan sebagai suatu sistem. Parsons menekankan saling

Page 51: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik

81

ketergantungan masing-masing sistem itu ketika dia menyatakan

:“secara konkrit, setiap sistem empiris mencakup keseluruhan, dengan

demikian tidak ada individu kongkrit yang tidak merupakan sebuah

organisme, kepribadian, anggota dan sistem sosial, dan peserta dalam

sistem cultural.”

Walaupun Fungsionalisme Struktural memiliki banyak pemuka

yang tidak selalu harus merupakan ahli-ahli pemikir teori, akan tetapi

paham ini benar-benar berpendapat bahwa sosiologi adalah merupakan

suatu studi tentang struktur-struktur sosial sebagai unit-unit yang

terbentuk atas bagian-bagian yang saling tergantung.

Fungsionalisme struktural sering menggunakan konsep sistem

ketika membahas struktur atau lembaga sosial. Sistem ialah organisasi

dari keseluruhan bagian-bagian yang saling tergantung yang

mengartikan bahwa fungionalisme struktural terdiri dari bagian yang

sesuai, rapih, teratur, dan saling bergantung (Ritzer, 1992: 98). Seperti

layaknya sebuah sistem, maka struktur yang terdapat di masyarakat

akan memiliki kemungkinan untuk selalu dapat berubah. Karena

sistem cenderung ke arah keseimbangan maka perubahan tersebut

selalu merupakan proses yang terjadi secara perlahan hingga mencapai

posisi yang seimbang dan hal itu akan terus berjalan seiring dengan

perkembangan kehidupan manusia.

Teori Fungsionalisme Struktural meyakini bahwa perubahan

sosial yang terjadi dalam masyarakat merupakan upaya masyarakat

guna mencapai keseimbangan atau kestabilan baru. Dalam berbagai

kondisi, masyarakat berupaya beradaptasi dan menyusun kembali

dirinya hingga menemukan keseimbangan baru yang lebih mantap.

Merton dalam George Ritzer (2007: 139) mendefinisikan fungsi sebagai

berikut:

Fungsi sebagai konsekuensi-konsekuensi yang dapat diamati yang menimbulkan adaptasi atau penyesuaian dari sistem tertentu. Robert K. Merton juga menyatakan bahwa konsekuensi-konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku dapat bersifat fungsional dan dapat pula bersifat disfungsional. Konsekuensi tersebut dapat mengarah kepada integrasi dan keseimbangan yang bersifat fungsional namun

Page 52: Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana

Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial

82

dapat juga bersifat disfungsional yang akan memperlemah integrasi.

Konsekuensi-konsekuensi objektif yang bersifat disfungsional

akan menyebabkan timbulnya ketegangan atau pertentangan dalam

sistem sosial. Ketegangan tersebut muncul akibat adanya saling

berhadapan antara konsekuensi yang bersifat disfungsional. Dengan

adanya ketegangan tersebut maka akan mengundang munculnya

stuktur dari yang bersifat alternatif sebagai subsistem untuk

menetralisasi ketegangan. Ketegangan-ketegangan yang

mengakibatkan adanya struktur-struktur baru akan berarti bahwa

konsekuensi objektif yang bersifat disfungsional itu akan

mengakibatkan adanya perubahan-perubahan sosial. Disamping itu

disfungsi juga akan menyebabkan timbulnya masalah sosial. Kenyataan

tersebut juga mengandung arti timbulnya struktur-struktur baru yang

pada hakikatnya menunjukkan adanya perubahan sosial yang

mengarah pada tatanan dalam masyarakat.