31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik Pada bagian ini dipaparkan bagaimana konsep-konsep teoretik mengenai PKL sebagai salah satu penggerak ekonomi di sektor informal. Selain itu dipaparkan pula kajian tentang partisipasi serta kebijakan publik yang dijadikan sandaran untuk meneropong eksistensi PKL Kota Salatiga dengan berbagai dinamikanya. Selain itu konsep-konsep dimaksud digunakan untuk menyelami aktivitas yang telah dilakoni dalam kurun waktu kurang lebih lima belas tahun semenjak tahun 2002 sampai saat ini, sehingga dapat dikemukakan secara paripurna upaya serta langkah-langkah strategi memperjuangkan hak-hak masyarakat (PKL) melalui sebuah regulasi. PKL dalam Sektor Informal Istilah informal pertama kali dimunculkan oleh Hart (Manning dan Effendi, 1985:75), seorang antropolog asal Inggris, dalam tulisannya yang diterbitkan tahun 1973, setelah melakukan penelitian kegiatan penduduk di kota Accra dan Nima, Ghana. Istilah tersebut digunakan untuk menjelaskan sejumlah aktivitas tenaga kerja yang berada di luar pasar tenaga kerja formal yang terorganisir. Kelompok informal menggunakan teknologi produksi yang sederhana dan padat karya, tingkat pendidikan dan keterampilan terbatas serta dilakukan oleh anggota keluarga. Dari penelitiannya Keit Hart menemukan sejumlah PKL yang memiliki latar belakang pendidikan rendah dengan modal terbatas, dari sini dapat kita pahami bahwa pada sektor informal terdapat peluang yang dengan mudah dapat dijangkau oleh berbagai
52
Embed
Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik · 2017. 12. 4. · 31 Bab II Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik . Pada bagian ini dipaparkan bagaimana
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
31
Bab II
Kajian tentang PKL, Partisipasi dan
Kebijakan Publik
Pada bagian ini dipaparkan bagaimana konsep-konsep teoretik
mengenai PKL sebagai salah satu penggerak ekonomi di sektor
informal. Selain itu dipaparkan pula kajian tentang partisipasi serta
kebijakan publik yang dijadikan sandaran untuk meneropong
eksistensi PKL Kota Salatiga dengan berbagai dinamikanya. Selain itu
konsep-konsep dimaksud digunakan untuk menyelami aktivitas yang
telah dilakoni dalam kurun waktu kurang lebih lima belas tahun
semenjak tahun 2002 sampai saat ini, sehingga dapat dikemukakan
secara paripurna upaya serta langkah-langkah strategi
memperjuangkan hak-hak masyarakat (PKL) melalui sebuah regulasi.
PKL dalam Sektor Informal
Istilah informal pertama kali dimunculkan oleh Hart (Manning
dan Effendi, 1985:75), seorang antropolog asal Inggris, dalam
tulisannya yang diterbitkan tahun 1973, setelah melakukan penelitian
kegiatan penduduk di kota Accra dan Nima, Ghana. Istilah tersebut
digunakan untuk menjelaskan sejumlah aktivitas tenaga kerja yang
berada di luar pasar tenaga kerja formal yang terorganisir. Kelompok
informal menggunakan teknologi produksi yang sederhana dan padat
karya, tingkat pendidikan dan keterampilan terbatas serta dilakukan
oleh anggota keluarga. Dari penelitiannya Keit Hart menemukan
sejumlah PKL yang memiliki latar belakang pendidikan rendah dengan
modal terbatas, dari sini dapat kita pahami bahwa pada sektor informal
terdapat peluang yang dengan mudah dapat dijangkau oleh berbagai
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
32
lapisan masyarakat di wilayah perkotaan untuk mengembangkan
usahanya.
Penggunaan istilah informal baru berkembang pada era
sekarang tetapi dalam prakteknya telah berlangsung ratusan tahun
silam. Menurut Loekman Soetrisno (Agung Ridlo, 2001: 23), ia
mengemukakan bahwa sektor tersebut bukanlah suatu fenomena yang
baru, sektor informal muncul di tengah kita sejak manusia berada di
dunia ini. Sejak manusia ada di dunia mereka telah menunjang
kehidupannya dengan menciptakan kerja sendiri atau sektor informal
(self employed).
Menurut Hidayat dan Sumitro (Agung Ridlo, 2001:13) sektor
informal (self employed) diartikan sebagai unit-unit usaha berskala
kecil yang menghasilkan serta mendistribusikan barang dan jasa
dengan tujuan pokok menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan
bagi dirinya sendiri. Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa
sektor informal merupakan sebuah aktivitas yang dilakukan secara
mandiri oleh oknum tertentu dalam upaya membangun ekonomi
melalui unit-unit usaha berskala kecil.
Berdasarkan penjelasan di atas maka aktivitas sektor informal
yang dikategorikan sebagai unit usaha kecil bisa bersifat mendukung
aktivitas formal juga, dan apabila diberdayakan serta dikembangkan
dengan baik akan bersinergi dengan sektor formal perkotaan untuk
saling melengkapi kebutuhan warga kota. Sektor informal yang
dominan di daerah perkotaan adalah pedagang pinggir jalan dan
merupakan kegiatan ekonomi skala kecil yang menghasilkan atau
mendistribusikan barang dan jasa yang selanjutnya dapat disebut
sebagai Pedagang Kaki Lima (PKL).
Untuk menjelaskan lebih mendalam tentang PKL, Mc. Gee dan
Yeung (1977:25), memberikan pengertian PKL sama dengan
”hawkers”, yang didefinisikan sebagai sekelompok orang yang
menawarkan barang dan jasa untuk dijual pada ruang publik, terutama
di pinggir jalan dan trotoar. Dalam perkembangan selanjutnya
pengertian PKL ini menjadi semakin luas, dapat dilihat dari ruang
Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik
33
aktivitas usahanya. Pada umumnya mereka menggunakan ruang publik
yang ada seperti jalur-jalur pejalan kaki, areal parkir, ruang-ruang
terbuka, taman-taman, terminal, dan bahkan di perempatan jalan serta
berkeliling dari rumah ke rumah melalui jalan-jalan kampung di
perkotaan.
PKL di Indonesia saat ini dapat dikatakan mendominasi
kegiatan ekonomi masyarakat terutama di perkotaan. Perkembangan
suatu kota selalu diikuti perkembangan jumlah PKL yang memenuhi
ruang publik kota. Sebagai salah satu kegiatan ekonomi di sektor
informal yang cukup fenomenal, kehadirannya paling banyak disentuh
oleh kebijakan pemerintah kota, PKL memiliki ciri-ciri atau
karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan karakteristik sektor
informal secara umum.
Untuk memahami ciri dan karakteristik PKL, Kamala
Chandrakirana dan Isono Sadoko (1994:37), melakukan penelitian dan
hasil penelitiannya, mereka menyimpulkan secara umum ciri- ciri PKL
antara lain:
1) Sebagai pedagang eceran yang menjual langsung ke konsumen;
2) Mendapatkan pasokan barang dagangan dari berbagai sumber
seperti produsen, pemasok, toko pengecer maupun PKL
sendiri;
3) Pada umumnya berperan sebagai pengusaha yang mandiri
4) Berjualan dengan berbagai sarana: kios, tenda dan secara gelar
di pinggir-pinggir jalan, atau di depan toko yang dianggap
strategis;
5) Semakin besar modal usaha pedagang, semakin permanen
sarana usahanya;
6) Pada umumnya mempekerjakan anggota keluarganya sendiri
untuk membantu;
7) Kebanyakan pedagang menjalankan usahanya tanpa izin;
8) Rendahnya biaya operasional usaha PKL;
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
34
9) Cara pembayaran bahan mentah/barang dagangan secara
kontan;
10) Bebas menentukan waktu usahanya atau tidak mengenal
pembatasan waktu usaha.
Dimaksud dengan PKL adalah seseorang atau kelompok yang
memberdayakan satuan perwilayahan (zoning) yang ditetapkan oleh
pemerintah sebagai kegiatan ekonomi (usaha) dengan sarana dan
prasarana yang tidak permanen/dapat dipindahkan untuk dapat
meningkatkan kesejahteraannya.
PKL memiliki sifat-sifat sebagai berikut :
Tempat usaha bersifat tidak permanen
Status kelembagaan usaha, tidak berbadan hukum.
Penempatan usaha pada suatu wilayah tertentu untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat berdasarkan
Keputusan Pemerintah sebagai regulator wilayah publik.
PKL mempunyai karateristik sebagai berikut :
Penempatannya sesuai peruntukan perwilayahan sebagaimana
ditetapkan dalam perencanaan pembangunan wilayah.
Hak penguasaan satuan wilayah yang dapat diusahakan PKL
sesuai dengan keputusan pemerintah dan atau atas kesepakatan
organisasi profesi/paguyuban PKL.
Jenis usaha yang tidak bertentangan dengan kepentingan
publik.
Pengelompokkan PKL berdasarkan kesamaan jenis usaha,
optimalisasi fungsi ekonomi.
Sarana dan prasarana PKL relatif dapat dipindahkan.
Pada umumnya usaha PKL menggunakan ruas trotoar, ruang
parkir, bahu jalan dan fasilitas publik lainnya. Keberadaannya
mengurangi bahkan mengabiskan sarana dan prasarana publik.
Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik
35
Dari pengertian di atas, PKL dapat didefinisikan sebagai
pedagang yang berjualan di lokasi yang strategis dan di tempat
keramaian umum seperti trotoar di depan pertokoan/kawasan
perdagangan, pasar, sekolah, serta pinggir jalan, dan aktivitas yang
dilakukan cenderung berpindah-pindah dengan kemampuan modal
yang terbatas, dimana kegiatan perdagangannya dapat dilakukan secara
berkelompok atau secara individual.
Karakteristik Aktivitas PKL
Pada umumnya untuk mengenal karateristik PKL secara baik
ketika melakukan aktivitas mereka, maka harus dilihat dari jenis
dagangan yang dijajakannya, Mc. Gee dan Yeung (1977: 81),
menyatakan bahwa jenis dagangan PKL sangat dipengaruhi oleh
aktivitas yang ada di sekitar kawasan di mana pedagang tersebut
beraktivitas. Misalnya di suatu kawasan perdagangan, maka jenis
dagangan yang ditawarkan akan beranekaragam, bisa berupa
makanan/minuman, barang kelontong, pakaian, dan lain-lain.
Demikian juga di kawasan pasar tradisional jenis dagangan PKL
didominasi oleh dagangan basah.
Selanjutnya Mc. Gee dan Yeung (1977: 81) mengutarakan jenis
dagangan yang ditawarkan oleh PKL dapat dikelompokkan menjadi 4
(empat) kelompok utama, yaitu: Pertama, makanan yang tidak dan
belum diproses, termasuk di dalamnya makanan mentah, seperti
daging, buah-buahan, dan sayuran. Kedua, makanan yang siap saji,
seperti nasi dan lauk pauknya juga minuman. Ketiga, barang bukan
makanan, mulai dari tekstil hingga obat-obatan. Keempat, jasa yang
terdiri dari beragam aktivitas, misalnya tukang potong rambut, dan lain
sebagainya.
Selain jenis barang dagangan sebagai salah satu kateristik PKL,
dapat dilihat pula karakteristiknya dari bentuk sarana perdagangan
PKL. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mc. Gee dan
Yeung (1977: 82-83), di kota-kota Asia Tenggara diketahui bahwa pada
umumnya bentuk sarana perdagangan PKL sangat sederhana dan
biasanya mudah untuk dipindahkan atau dibawa dari satu tempat ke
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
36
tempat lain dan dipengaruhi oleh jenis dagangan yang dijual. Adapun
bentuk sarana perdagangan yang digunakan oleh PKL menurut
Waworoentoe (Widjajanti, 2000: 39-40) sebagai berikut:
a. Gerobak/kereta dorong, bentuk sarana ini terdiri dari 2 (dua)
macam, yaitu gerobak/kereta dorong tanpa atap dan
gerobak/kereta dorong yang beratap untuk melindungi barang
dagangan dari pengaruh cuaca. Bentuk ini dapat dikategorikan
dalam bentuk aktivitas PKL yang permanen (static) atau semi
permanen (semi static), dan umumnya dijumpai pada PKL yang
berjualan makanan, minuman, dan rokok.
b. Pikulan/keranjang, bentuk sarana perdagangan ini digunakan
oleh PKL keliling (mobile hawkers) atau semi permanen (semi static), yang sering dijumpai pada PKL yang berjualan jenis
barang dan minuman. Bentuk ini dimaksudkan agar barang
dagangan mudah dibawa atau dipindah tempat.
c. Warung semi permanen, terdiri dari beberapa gerobak/kereta
dorong yang diatur sedemikian rupa secara berderet dan
dilengkapi dengan kursi dan meja. Bagian atap dan
sekelilingnya biasanya ditutup dengan pelindung yang terbuat
dari kain plastik, terpal atau lainnya yang tidak tembus air.
Berdasarkan sarana usaha tersebut, PKL ini dapat dikategorikan
pedagang permanen (static) yang umumnya untuk jenis
makanan dan minuman.
d. Kios, bentuk sarana PKL ini menggunakan papan-papan yang
diatur sedemikian rupa sehingga menyerupai sebuah bilik semi
permanen, yang mana pedagang bersangkutan juga tinggal di
tempat tersebut. PKL ini dapat dikategorikan sebagai pedagang
menetap (static).
e. Gelaran/alas, PKL menggunakan alas berupa tikar, kain atau
lainnya untuk menjajakan dagangannya. Berdasarkan sarana
tersebut, pedagang ini dapat dikategorikan dalam aktivitas semi
permanen (semi static). Umumnya dapat dijumpai pada PKL
yang berjualan barang kelontong dan makanan.
Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik
37
Pola Penyebaran PKL
Berjualan di tempat-tempat umum tentunya memerlukan
keuletan dari para pelaku usaha untuk menawarkan dagangan ataupun
menggelarnya di lapak-lapak terbuka. Dengan demikian, jika
penjualnya banyak maka harus tersebar secara menyeluruh di sebuah
lokasi, karena itu penyebaran aktivitas PKL menurut Mc. Gee dan
Yeung (1977: 36- 37), dapat dikelompokkan dalam 2 (dua) pola, yaitu:
pola penyebaran mengelompok (Focus Aglomeration) dan pola
penyebaran memanjang (Street Concentration).
Pola pertama dengan cara penyebaran mengelompok,
pedagang informal pada tipe ini umumnya terdapat pada ujung jalan,
1) Terfokus pada kepentingan masyarakat. a. Perencanaan
program berdasarkan pada masalah dan kebutuhan yang
dihadapi masyarakat. b. Perencanaan disiapkan dengan
memperhatikan aspirasi masyarakat yang memenuhi sikap
saling percaya dan terbuka;
2) Partisipatoris (keterlibatan) setiap masyarakat melalui forum
pertemuan, memperoleh peluang yang sama dalam sumbangan
pemikiran tanpa dihambat oleh kemampuan berbicara, waktu
dan tempat;
Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik
57
3) Dinamis. a. Perencanaan mencerminkan kepentingan dan
kebutuhan semua pihak. b. Proses perencanaan berlangsung
secara berkelanjutan dan proaktif;
4) Sinergitas. a. Harus menjamin keterlibatan semua pihak. b.
Selalu menekankan kerja sama antar wilayah administrasi dan
geografi. c. Setiap rencana yang akan dibangun sedapat
mungkin menjadi kelengkapan yang sudah ada, sedang atau
akan dibangun. d. Memperhatikan interaksi di antara;
5) Legalitas. a. Perencanaan pembangunan dilaksanakan dengan
mengacu pada semua peraturan yang berlaku. b. Menjunjung
etika dan tata nilai masyarakat. c. Tidak memberikan peluang
bagi penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan;
6) Fisibilitas perencanaan harus bersifat spesifik, terukur, dapat
dijalankan dan mempertimbangkan waktu.
Berdasarkan penjelasan mengenai tahapan partisipasi di atas,
maka dapat dipahami bahwa partisipasi yang baik adalah partisipasi
yang selalu melibatkan masyarakat dalam semua tahapan sehingga
proses pembangunan dapat diikuti dan dipahami oleh semua pihak
sehingga tidak terjadi benturan kepentingan ataupun adanya saling
curiga di antara pihak-pihak terkait dalam proses pembangunan.
Aktor Partisipasi
Partisipasi dalam pembangunan ataupun perumusan kebijakan
dapat berhasil dengan baik apabila ada yang menggerakkannya, karena
itu sangat dibutuhkan peran individu ataupun kelompok individu
dalam mensukseskan program pembangunan yang direncanakan.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka yang dimaksudkan dengan
penggerak adalah orang ataupun kelompok yang memiliki pengaruh
dan dipercaya oleh masyarakat sehingga layak dijadikan pemimpin
untuk menggerakkan setiap kegiatan.
Dengan demikian maka seorang penggerak (aktor) adalah
orang yang memiliki kemampuan memengaruhi, sumber daya manusia
yang baik, integritas, dapat diterima di mana saja serta memiliki
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
58
potensi sebagai penggerak masyarakat sehingga ia mampu
memengaruhi masyarakat untuk berpartisipasi secara baik di mana ia
berada. Havelock (Gunawan 2015:65), menjelaskan beberapa
karakteristik nilai-nilai dan sikap mental (attitude) yang harus dimiliki
seorang aktor partisipasi yaitu: Memiliki perhatian (concern) utama
mengenai manfaat pembangunan bagi masyarakat setempat untuk
memiliki kepercayaan bahwa perubahan sosial yang terjadi harus
menghasilkan suatu pembangunan yang memberikan hasil terbaik bagi
masyarakat (mayoritas) setempat; Itulah sebabnya seorang penggerak
dituntut untuk berprinsip bahwa masyarakat akan diubah menuju
kesejahteraan melalui pembangunan yang didasarkan pada kebutuhan.
Selain itu seorang aktor harus memiliki sikap rendah hati, toleran dan
menghargai orang lain ataupun lembaga-lembaga pemerintah. Jika
memiliki sikap mental demikian maka masyarakatpun akan merespon
dengan mengambil peran dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan.
Berdasakan penjelasan tersebut, dapat dipahami peran dan
fungsi seorang aktor partisipasi yaitu sebagai pembawa perubahan
(agent of social change) dalam suatu masyarakat, karena itu ia memiliki
peran sebagai penghubung di antara dua ataupun lebih dari sistem
komunikasi dalam masyarakat. Dengan demikian maka seorang aktor
partisipasi memiliki peran sebagai seorang katalisator yang mampu
menyediakan tempat terjadinya sinergi dari semua pihak penggerak
masyarakat yang terlibat dalam pembangunan.
Peran berikutnya adalah seorang pribadi yang memiliki
kapasitas sebagai pemberi solusi dalam pemecahan problem sosial
masyarakat yang terjadi pada tahap perencanaan, implementasi
kegiatan ataupun setelah pelaksanaan. Pada situasi seperti itulah
seorang aktor dibutuhkan untuk mengarahkan, penengah dan pencetus
solusi sehingga problemnya tidak berlangsung lama dan tidak
memakan waktu serta biaya besar, sebab proses pembangunan selalu
melibatkan masyarakat dengan bermacam karakteristik individu dan
kemampuan intelektual yang berbeda.
Peran yang terakhir adalah seorang pribadi yang memiliki
kapasitas pemrakarsa dari suatu proses perubahan masyarakat, yaitu
Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik
59
dengan jalan membantu setiap langkah proses pelaksanaan program-
program pemberdayaan, penyebaran informasi yang inovatif, serta
memberi petunjuk mengenai bagaimana mengenali dan merumuskan
kebutuhan, mendiagnosa permasalahan dan menentukan tujuan,
mendapatkan sumber-sumber yang relevan, atau menciptakan
pemecahan masalah, dan menyesuaikan rencana sesuai tahapan
pemecahan masalah (Gunawan 2015: 68).
Kebijakan Publik
Kebijakan publik merupakan sebuah tindakan yang diambil
oleh para elit pemerintah dalam hubungan dengan menghadirkan
kebaikan bagi banyak orang atau masyarakat. Rian Nugroho (2012: vii),
menjelaskan “public policy is a key success for developing countries, but has been so much neglected. As political development become more fascinating and the policy process tranforms into a dry and technical law making process, and the leaders and institutional decision making is trapped into interest bargaining among elit”. Dari
pemikiran tersebut sangat jelas bahwa sebuah kebijakan adalah kunci
sukses dari pembangunan negara, tetapi dalam proses penetapan tidak
terlepas dari peran elit sehingga terkadang sebuah kebijakan akan
terbengkalai ketika prosesnya didasarkan pada kepentingan elit-elit
politik secara pribadi maupun kelompok tertentu, sehingga hasilnya
tidak sesuai harapan masyarakat secara umum.
Tugas pemerintah adalah membangun kebijakan publik dan
memberikan pelayanan publik yang baik serta benar, supaya
pemerintahan dapat berjalan dengan baik pula dan didukung oleh
rakyat. Dengan demikian maka pemerintah harus memahami dengan
benar tugasnya untuk mensejahterahkan rakyat sebagai sasaran dari
setiap kebijakan yang dibuatnya. Ketika melihat kedua tugas pokok
pemerintah maka yang paling pertama dan utama adalah membangun
kebijakan publik, sebab itu pemerintah melalui elit-elitnya harus
memahami apa itu kebijakan publik sehingga dalam mengemban
tugasnya ia mampu melakukan tugas pelayanannya secara baik dalam
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
60
memberikan pelayan yang berkualitas bagi rakyatnya sebagai tugas
pokok dan fungsi pemerintah.
Konsep Kebijakan Publik
Istilah kebijakan (policy) seringkali penggunaannya ditukarkan
dengan istilah-istilah lain seperti tujuan (goals), program, keputusan,
undang-undang ketentuan-ketentuan, usulan-usulan dan rancangan
besar. Bagi para pembuat kebijakan (policy makers) istilah-istilah
tersebut tidaklah akan menimbulkan masalah apapun karena mereka
menggunakan referensi yang sama. Namun bagi orang-orang yang
berada di luar struktur pengambilan kebijakan istilah-istilah tersebut
mungkin akan membingungkan. Syafiie (2006:104), mengemukakan
bahwa kebijakan (policy) hendaknya dibedakan dengan kebijaksanaan
(wisdom) karena kebijaksanaan merupakan pengejawantahan aturan
yang sudah ditetapkan sesuai situasi dan kondisi setempat oleh person
pejabat yang berwenang. Untuk itu Syafiie mendefinisikan kebijakan
publik adalah semacam jawaban terhadap suatu masalah karena akan
merupakan upaya memecahkan, mengurangi, dan mencegah suatu
keburukan serta sebaliknya menjadi penganjur, inovasi, dan pemuka
terjadinya kebaikan dengan cara terbaik dan tindakan terarah.
Keban (2008), memberikan pengertian dari sisi kebijakan
publik, yang dikutipnya dari pendapat Graycar, dimana menurutnya
bahwa: Public Policy dapat dilihat dari konsep filosofis, sebagai suatu
produk, sebagai suatu proses, dan sebagai suatu kerangka kerja. Sebagai
suatu konsep filosofis, kebijakan merupakan serangkaian prinsip, atau
kondisi yang diinginkan, sebagai suatu produk, kebijakan dipandang
sebagai serangkaian kesimpulan atau rekomendasi, dan sebagai suatu
proses, kebijakan dipandang sebagai suatu cara dimana melalui cara
tersebut suatu organisasi dapat mengetahui apa yang diharapkan
darinya, yaitu program dan mekanisme dalam mencapai produknya,
dan sebagai suatu kerangka kerja, kebijakan merupakan suatu proses
tawar menawar dan negosiasi untuk merumuskan isu-isu dan metode
implementasinya.
Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik
61
Dalam kamus besar bahasa Indonesia kebijakan dijelaskan
sebagai rangkaian konsep dan azas yang menjadi garis dasar rencana
dalam pelaksanaan pekerjaan, kepemimpinan, serta cara bertindak
(tentang perintah, organisasi dan sebagainya). Mustopadidjaja
(1992:30), menjelaskan, bahwa istilah kebijakan lazim digunakan
dalam kaitannya atau kegiatan pemerintah, serta perilaku negara pada
umumnya dan kebijakan tersebut dituangkan dalam berbagai bentuk
peraturan. Hal ini senada dengan David Easton (Thoha 2010:107),
merumuskan sebagai berikut: ”the authoritative allocation of value the whole society but it turns out that only government can aouthoritatively act on the whole society, and everything the government choosed to do or not to do results in the allocationof values” dalam artian bahwa kebijakan pemerintah sebagai alokasi
otoritatif bagi seluruh masyarakat sehingga semua yang dipilih
pemerintah untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan adalah hasil alokasi
nilai-nilai tersebut. Sementara itu, Koontz dan O„Donnel (1972:113),
mendefinisikan kebijakan sebagai pernyataan umum dari pengertian
yang memandu pikiran dalam pembuatan keputusan.
Sedangkan menurut Anderson (1997: 113), kebijakan adalah
suatu tindakan yang mempunyai tujuan yang dilakukan seseorang
pelaku atau sejumlah pelaku untuk memecahkan suatu masalah.
Anderson mengklasifikasi kebijakan (policy) menjadi dua: substantif
dan prosedural. Kebijakan substantif yaitu apa yang harus dikerjakan
oleh pemerintah sedangkan kebijakan prosedural yaitu siapa dan
bagaimana kebijakan tersebut diselenggarakan. Ini berarti, kebijakan
publik adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-
badan dan pejabat-pejabat pemerintah.
Lebih lanjut dikatakan bahwa terdapat lima hal yang
berhubungan dengan kebijakan publik. Pertama, kegiatan yang
berorientasi pada tujuan haruslah menjadi perhatian utama perilaku
acak atau peristiwa yang tiba-tiba terjadi. Kedua, kebijakan merupakan
pola model tindakan pejabat pemerintah mengenai keputusan-
keputusan diskresinya secara terpisah. Ketiga, kebijakan harus
mencakup apa yang nyata pemerintah perbuat, atau apa yang mereka
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
62
katakan akan dikerjakan. Keempat, bentuk kebijakan publik dalam
bentuknya yang positif didasarkan pada ketentuan hukum dan
kewenangan. Tujuan kebijakan publik adalah dapat dicapainya
kesejahteraan masyarakat melalui produk kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah.
Setiap produk kebijakan haruslah memperhatikan substansi
dari keadaan sasaran, melahirkan sebuah rekomendasi dengan
memperhatikan berbagai program yang dijabarkan dan
diimplementasikan sebagaimana tujuan dari kebijakan tersebut. Untuk
melahirkan sebuah produk kebijakan, dapat pula memahami konsepsi
kebijakan menurut Abdul Wahab yang dipertegas oleh Budiman Rusli
(2000:51-52), dimana lebih jauh menjelaskan sebagai berikut:
1) Kebijakan harus dibedakan dari keputusan. Paling tidak ada
tiga perbedaan mendasar antara kebijakan dengan keputusan
yakni :
a) Ruang lingkup kebijakan jauh lebih besar dari pada
keputusan
b) Pemahaman terhadap kebijakan yang lebih besar
memerlukan penelaahan yang mendalam terhadap
keputusan.
c) Kebijakan biasanya mencakup upaya penelusuran
interaksi yang berlangsung di antara begitu banyak
individu, kelompok dan organisasi.
2) Kebijakan sebenarnya tidak serta merta dapat dibedakan dari
administrasi. Perbedaan antara kebijakan dengan administrasi
mencerminkan pandangan klasik. Pandangan klasik tersebut
kini banyak dikritik, karena model pembuatan kebijakan dari
atas misalnya, semakin lama semakin tidak lazim dalam praktik
pemerintahan sehari-hari. Pada kenyataannya, model
pembuatan kebijakan yang memadukan antara top-down
dengan bottom-up menjadi pilihan yang banyak mendapat
perhatian dan pertimbangan yang realistis.
Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik
63
3) Kebijakan sebenarnya tidak serta merta dapat dibedakan dari
administrasi. Langkah pertama dalam menganalisis
perkembangan kebijakan negara ialah perumusan apa yang
sebenarnya diharapkan oleh para pembuat kebijakan. Pada
kenyataannya cukup sulit mencocokkan antara perilaku yang
senyatanya dengan harapan para pembuat keputusan.
4) Kebijakan mencakup ketiadaan tindakan ataupun adanya
tindakan. Perilaku kebijakan mencakup pula kegagalan
melakukan tindakan yang tidak disengaja, serta keputusan
untuk tidak berbuat yang disengaja (deliberate decisions not to act). Ketiadaan keputusan tersebut meliputi juga keadaan
dimana seseorang atau sekelompok orang yang secara sadar
atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja menciptakan atau
memperkokoh kendala agar konflik kebijakan tidak pernah
tersingkap di mata publik.
5) Kebijakan biasanya mempunyai hasil akhir yang akan dicapai,
yang mungkin sudah dapat diantisipasikan sebelumnya atau
mungkin belum dapat diantisipasikan. Untuk memperoleh
pemahaman yang mendalam mengenai pengertian kebijakan
perlu pula kiranya meneliti dengan cermat baik hasil yang
diharapkan ataupun hasil yang senyatanya dicapai. Hal ini
dikarenakan, upaya analisis kebijakan yang sama sekali
mengabaikan hasil yang tidak diharapkan (unintended results) jelas tidak akan dapat menggambarkan praktik kebijakan yang
sebenarnya.
6) Kebijakan kebanyakan didefinisikan dengan memasukkan
perlunya setiap kebijakan melalui tujuan atau sasaran tertentu
baik secara eksplisit atau implisit. Umumnya, dalam suatu
kebijakan sudah termaktub tujuan atau sasaran tertentu yang
telah ditetapkan jauh hari sebelumnya, walaupun tujuan dari
suatu kebijakan itu dalam praktiknya mungkin saja berubah
atau dilupakan paling tidak sebagian.
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
64
7) Kebijakan muncul dari suatu proses yang berlangsung
sepanjang waktu. Kebijakan itu sifatnya dinamis, bukan statis.
Artinya setelah kebijakan tertentu dirumuskan, diadopsi, lalu
diimplementasikan, akan memunculkan umpan balik dan
seterusnya.
8) Kebijakan meliputi baik hubungan yang bersifat antar
organisasi ataupun yang bersifat intra organisasi. Pernyataan
ini memperjelas perbedaan antara keputusan dan kebijakan,
dalam arti bahwa keputusan mungkin hanya ditetapkan oleh
dan dan melibatkan suatu organisasi, tetapi kebijakan biasanya
melibatkan berbagai macam aktor dan organisasi yang setiap
saat harus bekerja sama dalam suatu hubungan yang kompleks.
9) Kebijakan negara menyangkut peran kunci dari lembaga
pemerintah, walaupun tidak secara ekslusif. Terhadap
kekaburan antara sektor publik dengan sektor swasta, di sini
perlu ditegaskan bahwa sepanjang kebijakan itu pada saat
perumusannya diproses, atau setidaknya disahkan atau
diratifikasikan oleh lembaga-lembaga pemerintah, maka
kebijakan tersebut disebut kebijakan negara.
10) Kebijakan dirumuskan atau didefinisikan secara subyektif. Hal
ini berarti pengertian yang termaktub dalam istilah kebijakan
seperti proses kebijakan, aktor kebijakan, tujuan kebijakan
serta hasil akhir suatu kebijakan dipahami secara berbeda oleh
orang yang menilainya, sehingga mungkin saja bagi sementara
pihak ada perbedaan penafsiran mengenai misalnya tujuan
yang ingin dicapai dalam suatu kebijakan dan dampak yang
ditimbulkan oleh kebijakan tersebut.
W. I. Jenkins seorang pakar kebijakan publik Inggris (Wahab
2015:15), merumuskan kebijakan publik sebagai berikut:
“A set of interrelated decisions taken by a political actor or group of actors concering the selection of goals and the means of achieving them within a specified situation where these decisions should, in principle, be within the power of these actors to achieve” (serangkaian
Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik
65
keputusan yang saling berkaitan yang diambil oleh seorang aktor
politik atau sekelompok aktor, berkenan tujuan yang telah dipilih
beserta cara-cara untuk mencapainya dalam suatu situasi. Keputusan-
keputusan itu pada prinsipnya masih berada dalam batas-batas
kewenangan kekuasaan dari para aktor tersebut).
Pakar dari Perancis, Lemieux (Wahab 2015), merumuskan
kebijakan publik adalah:
“The product of activities aimed at the resoluition of public problems in the environment by political actors whose relationship are structured. The entire process evolves over time”
(produk aktivitas-aktivitas yang dimaksudkan untuk memecahkan masalah-masalah publik yang terjadi di lingkungan tertentu yang dilakukan oleh aktor-aktor politik yang hubungannya terstruktur. Keseluruhan proses aktivitas itu berlangsung sepanjang waktu).
Berdasarkan penjelasan-penjelasan tentang definisi ataupun
rumusan kebijakan publik sebagaimana dipaparkan di atas, tidak dapat
dipungkiri bahwa dalam setiap pembuatan kebijakan publik (public policy making) selalu saja melibatkan pemerintah. Semua kebijakan
yang disebut kebijakan publik selalu saja dalam proses pembuatannya
sejak digagas, dikembangkan, dirumuskan atau dibuat oleh instansi-
instansi pasti akan melibatkan baik secara langsung maupun tidak
pejabat-pejabat pemerintah, karena itu peran elit atau aktor
pemerintah selalu saja mewarnai setiap tahapan sebuah kebijakan
publik.
Jenis-Jenis Kebijakan Publik
Kebijakan publik adalah sebuah keputusan yang dibuat oleh
lembaga publik dengan tujuan untuk mendistribusikan sumber daya
nasional demi kebaikan dan kesejahteraan publik. Salah satu contoh
konkrit yang dapat kita lihat dipraktekkan oleh pemerintah adalah
distribusi pajak sebagai pendapatan yang sah dan diterima pemerintah,
dari pendapatan tersebut kemudian didistribusikan kepada masyarakat
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
66
dalam wujud program pembangunan maupun program pendidikan dan
kesehatan.
Selain pendistribusian sumber daya nasional tujuan dari
kebijakan publik juga untuk meregulasi, meliberasi dan menderegulasi.
Kebijakan regulatif seperti meregulasi, memerintah, menciptakan
kontrol, menstandarisasi, melegalisasi, dan menyelaraskan. Sebagian
besar dari kebijakan publik tujuannya seperti itu. Sedangkan kebijakan
deregulasi adalah kebijakan yang melepaskan, melonggarkan,
menghentikan, atau membebaskan kebijakan regulatif apapun.
Tujuan lain dari kebijakan publik adalah stabilisasi ketika
pemerintahan yang mengalami dinamika politik berpotensi kekacauan,
maka kebijakan untuk menstabilitasi keadaan sangat dibutuhkan.
Kebijakan ini pernah diterapkan oleh presiden Republik Indonesia
yang kedua dimana pada saat memulai kepemimpinannya, kondisi
Negara Indonesia sangat kacau karena pada saman Orde Lama setiap
kabinet usianya rata-rata berganti hanya dalam waktu tiga bulan.
Ketika Soeharto mengambil alih pucuk pimpinan sejak tahun 1966,
semua kebijakan yang dilakukan selama masa kepresidenannya selalu
didasarkan pada tujuan menjaga kestabilan nasional. Apa yang
dilakukan Soeharto ternyata sangat efektif karena selama ia berkuasa,
tidak pernah lagi terjadi pergantian kabinet dalam waktu relatif singkat
tetapi semua kabinet di Indonesia berjalan selama lima tahun sesuai
masa bakti satu periode.
Tujuan terakhir dari kebijakan publik yang diterapkan di
sebuah negara adalah untuk memperkuat negara serta memperkuat
pasar. Kebijakan memperkuat pasar secara global diterima sebagai
liberalisasi, tentu saja pasar adalah kunci bagi gaya penggerak untuk
pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia (Nugroho 2014: 60).
Dari penjelasan tersebut di atas maka sebagai rangkuman dapat
ditarik kesimpulan bahwa tujuan dari kebijakan publik adalah: a)
Untuk mendistribusikan pajak, b) Untuk meregulasi dan meliberasi
serta menderegulasi sebuah keputusan, c) Untuk menstabilkan
keadaan, dan d) Untuk memperkuat negara dan memperkuat pasar.
Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik
67
Dengan mengembangkan tujuan menjadi ide di belakang
tujuan, dapat dibuat sebuah alur pikir tentang ide di belakang tujuan
itu. Apabila agendanya adalah tentang alokasi sumber daya, tujuannya
akan menjadi “untuk mendistribusikan”. Jika agendanya tentang gaya,
maka tujuannya akan menjadi “untuk menstabilkan”, dan jika
agendanya adalah tentang fokus, tujuannya akan menjadi “untuk
memperkuat negara atau mempekuat pasar”. Dari tujuan-tujuan
tersebut tergantung pula pada siapa tujuan utama kebijakan dimaksud
diarahkan, apakah kepada negara ataukah masyarakat.
Berdasarkan tujuannya, maka kebijakan publik secara umum
dikelompokkan dalam empat jenis kebijakan publik yaitu: Pertama,
kebijakan formal, kedua, kebiasaan umum lembaga publik yang telah
diterima bersama(konvensi), ketiga, pernyataan pejabat publik dalam
forum publik, dan keempat adalah perilaku pejabat publik.
Kebijakan formal adalah keputusan-keputusan yang
dikodifikasikan secara tertulis dan disahkan atau diformalkan agar
dapat berlaku. Kebijakan publik yang diformalkan dalam bentuk legal-
legal tidak senantiasa identik dengan hukum. Untuk kebijakan formal
di Indonesia dikelompokkan dalam tiga bagian yakni: 1. Perundang-
undangan, 2. Hukum, 3. Regulasi.
Perundang-undangan adalah kebijakan publik dalam hubungan
dengan usaha-usaha pembangunan negara baik berkenaan dengan
negara (nation) ataupun masyarakat/rakyat (society). James E.
Anderson (Wijayanti, 2013: 3-4), mengelompokkan jenis-jenis
kebijakan publik sebagai berikut:
a) Substantive policy and Procedural Policies.
Substantive Policy adalah suatu kebijakan dilihat dari substansi
masalah yang dihadapi oleh pemerintah. Misalnya: kebijakan
pendidikan, kebijakan ekonomi, dan lain-lain. Sedangkan procedural policy adalah suatu kebijakan dilihat dari pihak-pihak yang terlibat
dalam perumusannya (Policy Stakeholder). Sebagai contoh: dalam
pembuatan suatu kebijakan publik, meskipun ada instansi/organisasi
pemerintah yang secara fungsional berwenang membuatnya,
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
68
misalnya undang-undang tentang pendidikan, yang berwenang
membuat adalah departemen pendidikan nasional, tetapi dalam
pelaksanaan pembuatannya, banyak instansi/organisasi lain yang
terlibat, baik instansi/organisasi pemerintah maupun organisasi
bukan pemerintah, yaitu antara lain DPR, Departemen Kehakiman,
Departemen Tenaga Kerja, Persatuan Guru Indonesia (PGRI), dan
Presiden yang mengesahkan undang-undang tersebut.
Instansi/organisasi-organisasi yang terlibat tersebut disebut policy stakeholder.
b) Distributive, Redistributive, and Regulatory Policies
Distributive policy merupakan suatu kebijakan yang mengatur
tentang pemberian pelayanan/keuntungan kepada individu-individu,
kelompok-kelompok, atau perusahaan perusahaan. Contoh: kebijakan
tentang tax holiday. Redistributive policy adalah suatu kebijakan yang
mengatur tentang pemindahan alokasi kekayaan, pemilikan, atau hak-
hak. Contoh: kebijakan tentang pembebasan tanah untuk kepentingan
umum. Sedangkan regulatory policy adalah suatu kebijakan yang
mengatur tentang pembatasan/pelarangan terhadap perbuatan ataupun
tindakan. Contoh: kebijakan tentang larangan memiliki dan
menggunakan senjata api.
c) Material Policy merupakan suatu kebijakan yang mengatur tentang
pengalokasian/penyediaan sumber-sumber material yang nyata bagi
penerimanya. Contoh: kebijakan pembuatan rumah sederhana.
d) Public Goods and Private Goods Policies.
Public goods policy adalah suatu kebijakan yang mengatur
tentang penyediaan barang-barang/pelayanan-pelayanan oleh
pemerintah, untuk kepentingan orang banyak. Contoh: kebijakan
tentang perlindungan keamanan, penyediaan jalan umum. Private goods policy adalah suatu kebijakan yang mengatur tentang
penyediaan barang-barang/pelayanan oleh pihak swasta, untuk
kepentingan individu-individu (perorangan) di pasar bebas, dengan
implementasi, evaluasi, reformulasi dan terminasi. Dari siklus tersebut
terlihat secara jelas bahwa implementasi hanyalah bagian atau salah
satu tahap dari proses besar bagaimana suatu kebijakan publik
dirumuskan (Purwanto, 2012:17).
Istilah implementasi oleh Laswell digunakan hanya untuk
menunjukkan bahwa implementasi merupakan salah satu tahapan
dalam proses besar kebijakan publik, Laswell belum memberi
penekanan secara khusus tentang arti pentingnya implementasi. Tetapi
dalam perkembangannya istilah implementasi kemudian menjadi suatu
konsep yang mulai dikenal dalam disipilin ilmu politik, ilmu
administrasi publik dan lebih khusus lagi dalam ilmu kebijakan publik
yang dikembangkan. Dalam perkembangan studi implementasi
kebijakan publik selanjutnya Jeffrey Pressman dan Aaron Wildavsky
(1973), merupakan dua ilmuwan pertama yang secara eksplisit
menggunakan konsep implementasi untuk menjelaskan fenomena
kegagalan suatu kebijakan dalam mencapai sasarannya. Hal inilah yang
menjadikan kedua ahli ini layak diberikan kredit besar sebagai pionir
dalam pengembangan studi implementasi kebijakan publik. Menurut
mereka, implementasi dimaknai dengan beberapa kata kunci sebagai
berikut: untuk menjalankan kebijakan (to carry out), untuk memenuhi
janji-janji sebagaimana dinyatakan dalam dokumen kebijakan (to fulfill), untuk menghasilkan output sebagaimana dinyatakan dalam
tujuan kebijakan (to produce), untuk menyelesaikan misi yang harus
diwujudkan dalam tujuan kebijakan (to complete) (Purwanto, 2012:17-
20).
Setelah dirintis oleh dua sarjana ini, konsep implementasi
kemudian mulai dikenal luas dan mulai didalami oleh para ilmuwan
kebijakan publik. Mazmanian dan Sabatier (Nugroho, 2006:119),
mengemukakan bahwa implementasi adalah upaya melaksanakan
Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik
75
keputusan kebijakan. Mereka berdua menyampaikan pemikirannya
dengan mengemukakan:
“implementation is the carrying out of basic policy decision, usually incorporated in a statute but which can also take the form of important executives oders or court decision. Ideally that decision identifies the problem(s) to be addressed, stipulates the objective(s) to be pursued, and, in a variety of ways, “structures” the implementation process.”
Berdasarkan pengertian tersebut implementasi dapat diartikan
sebagai pelaksanaan keputusan dasar yang biasanya dituangkan dalam
bentuk undang-undang, keputusan pemerintah/eksekutif ataupun
keputusan badan peradilan. Biasanya keputusan tersebut meng-
identifikasi masalah yang dihadapi, tuntutan dalam berbagai bentuk
yang ingin dicapai serta struktur dari proses implementasi.
Menurut Robert Nakamura dan Frank Smallwood (1980), hal-
hal yang berhubungan dengan implementasi kebijakan adalah
keberhasilan dalam mengevaluasi masalah dan kemudian
menerjemahkan ke dalam keputusan-keputusan yang bersifat khusus.
Sementara itu, Van Meter dan Van Horn membatasi implementasi
kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-
idividu atau kelompok-kelompok baik pemerintah maupun swasta
yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan
dalam keputusan kebijakan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini
mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan
menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu
maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai
perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-
keputusan kebijakan (Winarno, 2004: 102).
Agus Purwanto (2012), mengemukakan bahwa implementasi
intinya adalah kegiatan untuk mendistribusikan keluaran kebijakan (to deliver policy output) yang dilakukan oleh para implementer kepada
kelompok sasaran (target group) sebagai upaya untuk mewujudkan
tujuan kebijakan. Tujuan kebijakan diharapkan akan muncul manakala
policy output dapat diterima dan dimanfaatkan dengan baik oleh
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
76
kelompok sasaran sehingga dalam waktu jangka panjang hasil
kebijakan akan mampu diwujudkan (Purwanto, 2012: 21). Karena itu,
sebuah program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai
dampak atau tujuan yang diinginkan.
Implementasi merupakan tahap yang krusial dalam proses
kebijakan publik. Implementasi merupakan tahapan atau serangkaian
kegiatan setelah suatu kebijakan dirumuskan. Tanpa suatu
implementasi maka suatu kebijakan yang telah dirumuskan akan sia-sia
belaka. Implementasi kebijakan merupakan hal yang paling berat,
karena di sini masalah-masalah yang kadang tidak dijumpai dalam
konsep, muncul di lapangan (Nugroho, 2006: 119). Dengan demikian
maka tahapan ini sangat penting untuk dikaji secara mendasar karena
terkadang antara perencanaan dan implementasi di lapangan jauh
berbeda, sehingga tingkat keberhasilan sebuah kebijakan publik dapat
dicapai sesuai tujuannya.
Teori Fungsionalisme Struktural
Talcott Parsons merupakan tokoh yang mendominasi teori
sosial sejak perang dunia kedua sampai pertengahan 1960-an. Menurut
Talcott Parsons teori fungsionalisme struktural adalah sesuatu yang
urgen dan sangat bermanfaat dalam suatu kajian tentang analisa
masalah sosial. Hal ini disebabkan karena studi struktur dan fungsi
masyarakat merupakan sebuah masalah sosiologis yang telah
menembus karya-karya para pelopor ilmu sosiologi dan para ahli teori
kontemporer. Secara garis besar fakta sosial yang menjadi pusat
perhatian sosiologi terdiri atas dua tipe yaitu struktur sosial dan
pranata sosial. Menurut teori fungsionalisme struktural, struktur sosial
dan pranata sosial tersebut berada dalam suatu sistem sosial yang
berdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan
dan menyatu dalam keseimbangan.
Sebelum membahas teori fungsionalisme struktural Talcott
Parsons, ada baiknya bila kita membahas dahulu tentang asumsi-asumsi
dasar dari teori struktural fungsional yang menjadi dasar dari
Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik
77
pemikiran Talcott Parsons tersebut. Teori struktural fungsional berasal
dari pemikiran Emile Durkheim, dimana masyarakat dilihat sebagai
suatu sistem yang didalamnya terdapat sub-sub sistem yang masing-
masingnya mempunyai fungsi untuk mencapai keseimbangan dalam
masyarakat. Teori ini berada pada level makro yang memusatkan
perhatiannya pada struktur sosial dan institusi sosial berskala luas,
antar hubungannya, dan pengaruhnya terhadap masyarakat.
Sumbangsih Durkheim bagi struktur teoretis Parsons adalah pada
penyatuan sistem sosial, dimana masyarakat menjadi sebuah kesatuan
yang suci melalui keseimbangan dari masing-masing bagiannya.
Elemen-elemen dalam masyarakat menjadi saling tergantung dan
bersifat mengatur, untuk kebutuhan sistem.
Teori fungsionalisme struktural yang dibangun Talcott Parsons
dan dipengaruhi oleh para sosiolog Eropa menyebabkan teorinya itu
bersifat empiris, positivistis dan ideal. Pandangannya tentang tindakan
manusia itu bersifat voluntaristik, artinya karena tindakan itu
didasarkan pada dorongan kemauan, dengan mengindahkan nilai, ide
dan norma yang disepakati. Tindakan individu manusia memiliki
kebebasan untuk memilih sarana (alat) dan tujuan yang akan dicapai
itu dipengaruhi oleh lingkungan atau kondisi-kondisi, dan apa yang
dipilih tersebut dikendalikan oleh nilai dan norma. Prinsip-prinsip
pemikiran menurut Talcott Parsons, “tindakan individu manusia itu
diarahkan pada tujuan. Di samping itu, tindakan itu terjadi pada suatu
kondisi yang unsurnya sudah pasti, sedang unsur-unsur lainnya
digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan” (Ritzer, 2012: 178).
Secara normatif tindakan tersebut diatur berkenaan dengan
penentuan alat dan tujuan atau dengan kata lain dapat dinyatakan
bahwa tindakan itu dipandang sebagai kenyataan sosial yang terkecil
dan mendasar, yang unsur-unsurnya berupa alat, tujuan, situasi, dan
norma. Dengan demikian, dalam tindakan tersebut dapat digambarkan
yaitu individu sebagai pelaku dengan alat yang ada akan mencapai
tujuan dengan berbagai macam cara, yang juga individu itu
dipengaruhi oleh kondisi yang dapat membantu dalam memilih tujuan
yang akan dicapai, dengan bimbingan nilai dan ide serta norma. Selain
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
78
hal-hal tersebut di atas, tindakan individu manusia itu juga ditentukan
oleh orientasi subjektifnya, yaitu berupa orientasi motivasional dan
orientasi nilai. Perlu diketahui pula bahwa tindakan individu tersebut
dalam realisasinya terdapat berbagai macam karena adanya unsur-
unsur sebagaimana dikemukakan di atas.
Teori fungsionalisme struktural adalah sesuatu yang urgen dan
sangat bermanfaat dalam suatu kajian tentang analisa masalah sosial.
Hal ini disebabkan karena studi struktur dan fungsi masyarakat
merupakan sebuah masalah sosiologis yang telah menembus karya-
karya para pelopor ilmu sosiologi dan para ahli teori kontemporer.
Secara garis besar fakta sosial yang menjadi pusat perhatian sosiologi
terdiri atas dua tipe yaitu struktur sosial dan pranata sosial. Menurut
teori fungsionalisme struktural, struktur sosial dan pranata sosial
tersebut berada dalam suatu sistem sosial yang berdiri atas bagian-
bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan menyatu dalam
keseimbangan.
Pada prinsipnya teori fungsionalisme struktural menekankan
kepada keteraturan dan mengabaikan konflik dan perubahan-
perubahan dalam masyarakat. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap
struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain tanpa ada
pertentangan, sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak
akan ada atau hilang dengan sendirinya. Sistem memiliki properti
keteraturan dan bagian-bagian yang tergantung. Sistem cenderung
bergerak ke arah mempertahankan keteraturan diri atau
keseimbangan. Sifat dasar bagian suatu sistemsberpengaruh terhadap
bentuk bagian-bagian lain. SistemSmemelihara batas-batas dengan
lingkungan. Alokasi dan integrasi merupakan dua proses fundamental
yang diperlukan untuk memelihara keseimbangan sistem. Sistem
cenderung menjaga keseimbangan meliputi: pemeliharaan batas dan
pemeliharaan hubungan antara bagian dengan keseluruhan sistem,
mengendalikan lingkungan yang berbeda dan mengendalikan
kecenderungan untuk merubah sistem dari dalam.
Asumsi dasar dari teori fungsionalisme struktural, yaitu bahwa
masyarakat terintegrasi atas dasar kesepakatan dari para anggotanya
Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik
79
akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu yang mempunyai kemampuan
mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut
dipandang sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi
dalam suatu keseimbangan. Dengan demikian masyarakat merupakan
kumpulan sistem-sistem sosial yang satu sama lain berhubungan dan
saling ketergantungan.
Alokasi dan integrasi merupakan dua proses fundamental yang
diperlukan untuk memelihara keseimbangan sistem. Sistem cenderung
menjaga keseimbangan meliputi: pemeliharaan batas dan pemeliharaan
hubungan antara bagian dengan keseluruhan sistem, mengendalikan
lingkungan yang berbeda dan mengendalikan kecenderungan untuk
merubah sistem dari dalam. Teori fungsionalisme struktural
merupakan integritas sistem yang bisa melibatkan sesuatu dari
ketergantungan total bagian-bagiannya terhadap satu sama lain kepada
ketidaktergantungan yang komparatif (Baut, 1992: 76).
Fungsionalisme struktural sering menggunakan konsep sistem
ketika membahas struktur atau lembaga sosial. Sistem ialah organisasi
dari keseluruhan bagian-bagian yang saling tergantung, yang
mengartikan bahwa fungionalisme struktural terdiri dari bagian yang
sesuai, rapih, teratur, dan saling bergantung. Seperti layaknya sebuah
sistem, maka struktur yang terdapat di masyarakat akan memiliki
kemungkinan untuk selalu dapat berubah. Karena sistem cenderung ke
arah keseimbangan maka perubahan tersebut selalu merupakan proses
yang terjadi secara perlahan hingga mencapai posisi yang seimbang dan
hal itu akan terus berjalan seiring dengan perkembangan kehidupan
manusia. Penganut teori fungsionalisme Struktural selalu menganggap
bahwa segala pranata sosial yang ada di masyarakat mempunyai fungsi
positif dan negatif.
Gans (1972) menilai bahwa kemiskinan mempunyai empat
kriteria fungsi yaitu fungsi sosial, kultural dan ekonomi. Implikasi dari
pendapat Gans tentang kemiskinan bahwa jika orang ingin
menyingkirkan kemiskinan, maka orang harus mampu mencari
alternatif untuk orang miskin berupa aneka macam fungsi baru. Dalam
hal ini kemiskinan akan lenyap melalui dua cara yaitu: pertama bila
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
80
kemiskinan itu sudah sedemikian tidak berfungsi lagi bagi
kemakmuran, kedua bila orang miskin berusaha sekuat tenaga untuk
mengubah sistem yang dominan dalam stratifikasi sosial. Dalam
perubahan tersebut orang miskin perlu cara yang benar-benar
Teori merupakan suatu usaha untuk menjelaskan pengalaman
sehari-hari kita mengenai dunia, pengalaman kita yang terdekat dalam
kaitannya dengan sesuatu yang tidak begitu dekat yang terjadi pada
orang lain, pengalaman masa lalu, serta emosi-emosi yang bisa kita
nalarkan. Dalam proses penjelasan, penerangan serta pemahaman
pengalaman, ide-ide serta masalah-masalah yang ada secara lebih
sistematis disebut teori sosial.
Teori Fungsionalisme Struktural milik Talcott Parsons
merupakan penilaian tentang masalah, kejadian, fakta serta
pengalaman-pengalaman yang menekankan pada keteraturan,
keseimbangan sebuah sistem yang ada di masyarakat atau lembaga.
Talcott Parsons menolak adanya konflik di dalam masyarakat. Karena
Talcott Parsons berpikir bahwa masalah-masalah sosial yang ada di
masyarakat merupakan masalah-masalah yang mempunyai fungsi
positif maupun fungsi negatif. Sehingga sistem-sistem yang ada di
masyarakat maupun lembaga-lembaga masyarakat mempunyai peran
serta fungsinya masing-masing.
Talcott Parsons dalam menguraikan teori ini menjadi sub-
sistem yang berkaitan menjelaskan bahwa di antara hubungan
fungsional-struktural cenderung memiliki empat tekanan yang berbeda
dan terorganisir secara simbolis: pencarian pemuasan psikis,
kepentingan dalam menguraikan pengertian-pengertian simbolis,
kebutuhan untuk beradaptasi dengan lingkungan organis-fisis, dan
usaha untuk berhubungan dengan anggota-anggota makhluk manusia
lainnya.
Sebaliknya masing-masing sub-sistem itu, harus memiliki
empat prasyarat fungsional yang harus mereka adakan sehingga bias
diklasifikasikan sebagai suatu sistem. Parsons menekankan saling
Kajian tentang PKL, Partisipasi dan Kebijakan Publik
81
ketergantungan masing-masing sistem itu ketika dia menyatakan
:“secara konkrit, setiap sistem empiris mencakup keseluruhan, dengan
demikian tidak ada individu kongkrit yang tidak merupakan sebuah
organisme, kepribadian, anggota dan sistem sosial, dan peserta dalam
sistem cultural.”
Walaupun Fungsionalisme Struktural memiliki banyak pemuka
yang tidak selalu harus merupakan ahli-ahli pemikir teori, akan tetapi
paham ini benar-benar berpendapat bahwa sosiologi adalah merupakan
suatu studi tentang struktur-struktur sosial sebagai unit-unit yang
terbentuk atas bagian-bagian yang saling tergantung.
Fungsionalisme struktural sering menggunakan konsep sistem
ketika membahas struktur atau lembaga sosial. Sistem ialah organisasi
dari keseluruhan bagian-bagian yang saling tergantung yang
mengartikan bahwa fungionalisme struktural terdiri dari bagian yang
sesuai, rapih, teratur, dan saling bergantung (Ritzer, 1992: 98). Seperti
layaknya sebuah sistem, maka struktur yang terdapat di masyarakat
akan memiliki kemungkinan untuk selalu dapat berubah. Karena
sistem cenderung ke arah keseimbangan maka perubahan tersebut
selalu merupakan proses yang terjadi secara perlahan hingga mencapai
posisi yang seimbang dan hal itu akan terus berjalan seiring dengan
perkembangan kehidupan manusia.
Teori Fungsionalisme Struktural meyakini bahwa perubahan
sosial yang terjadi dalam masyarakat merupakan upaya masyarakat
guna mencapai keseimbangan atau kestabilan baru. Dalam berbagai
kondisi, masyarakat berupaya beradaptasi dan menyusun kembali
dirinya hingga menemukan keseimbangan baru yang lebih mantap.
Merton dalam George Ritzer (2007: 139) mendefinisikan fungsi sebagai
berikut:
Fungsi sebagai konsekuensi-konsekuensi yang dapat diamati yang menimbulkan adaptasi atau penyesuaian dari sistem tertentu. Robert K. Merton juga menyatakan bahwa konsekuensi-konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku dapat bersifat fungsional dan dapat pula bersifat disfungsional. Konsekuensi tersebut dapat mengarah kepada integrasi dan keseimbangan yang bersifat fungsional namun
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
82
dapat juga bersifat disfungsional yang akan memperlemah integrasi.
Konsekuensi-konsekuensi objektif yang bersifat disfungsional
akan menyebabkan timbulnya ketegangan atau pertentangan dalam
sistem sosial. Ketegangan tersebut muncul akibat adanya saling
berhadapan antara konsekuensi yang bersifat disfungsional. Dengan
adanya ketegangan tersebut maka akan mengundang munculnya
stuktur dari yang bersifat alternatif sebagai subsistem untuk
menetralisasi ketegangan. Ketegangan-ketegangan yang
mengakibatkan adanya struktur-struktur baru akan berarti bahwa
konsekuensi objektif yang bersifat disfungsional itu akan
mengakibatkan adanya perubahan-perubahan sosial. Disamping itu
disfungsi juga akan menyebabkan timbulnya masalah sosial. Kenyataan
tersebut juga mengandung arti timbulnya struktur-struktur baru yang
pada hakikatnya menunjukkan adanya perubahan sosial yang