Top Banner
15 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener (2009) mendefinisikan subjective well-being sebagai penilaian global dari semua aspek kehidupan individu. Senada dengan pernyataan tersebut, Diener, dkk (2003) menerjemahkan subjective well-being sebagai suatu bidang dalam ilmu perilaku mengenai evaluasi individu terhadap kehidupan yang dipelajarinya. Subjective well-being memiliki beragam konsep mulai dari suasana hati sebagai penilaian global terhadap kepuasan hidup, dan dari depresi ke euforia. Compton (2005) menjelaskan subjective well-being merupakan suatu proses kognitif individu mengenai penilaian yang global tentang penerimaan hidup individu. Sedangkan Pinquart & Sorenson (2000) mendefinisikan subjective well-being sebagai evaluasi positif dari kehidupan individu terkait dengan perasaan yang baik. Diener, dkk (dalam Snyder & Lopez, 2008) subjective well-being diartikan sebagai evaluasi kognitif dan afektif individu dari dirinya sendiri. Evaluasi ini meliputi reaksi emosional terhadap kejadian serta penilaian kognitif terhadap kepuasan dan pemenuhan kebutuhan. Dengan demikian, subjective well-being merupakan suatu konsep umum yang mencakup Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015
44

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

Sep 11, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

15

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Subjective Well-Being

1. Pengertian Subjective Well-Being

Diener (2009) mendefinisikan subjective well-being sebagai penilaian

global dari semua aspek kehidupan individu. Senada dengan pernyataan

tersebut, Diener, dkk (2003) menerjemahkan subjective well-being sebagai

suatu bidang dalam ilmu perilaku mengenai evaluasi individu terhadap

kehidupan yang dipelajarinya. Subjective well-being memiliki beragam

konsep mulai dari suasana hati sebagai penilaian global terhadap kepuasan

hidup, dan dari depresi ke euforia.

Compton (2005) menjelaskan subjective well-being merupakan suatu

proses kognitif individu mengenai penilaian yang global tentang penerimaan

hidup individu. Sedangkan Pinquart & Sorenson (2000) mendefinisikan

subjective well-being sebagai evaluasi positif dari kehidupan individu terkait

dengan perasaan yang baik.

Diener, dkk (dalam Snyder & Lopez, 2008) subjective well-being

diartikan sebagai evaluasi kognitif dan afektif individu dari dirinya sendiri.

Evaluasi ini meliputi reaksi emosional terhadap kejadian serta penilaian

kognitif terhadap kepuasan dan pemenuhan kebutuhan. Dengan demikian,

subjective well-being merupakan suatu konsep umum yang mencakup

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

16

pengalaman emosi yang menyenangkan, rendahnya tingkat pengalaman

negatif yang terdapat dalam tingkat subjective well-being yang tinggi adalah

konsep inti dari psikologi positif karena mereka membuat hidupnya

bermanfaat.

Diener, dkk (2003) menjelaskan lebih lanjut bahwa subjective well-being

merupakan suatu analisis ilmiah tentang bagaimana individu mengevaluasi

kehidupan, baik pada saat ini dan pada masa lalunya, seperti kehidupannya di

tahun lalu. Evaluasi ini meliputi reaksi emosional individu terhadap peristiwa,

suasana hati individu, dan penilaian individu tentang kepuasan hidup mereka,

pemenuhan, dan kepuasan dengan domain seperti perkawinan dan pekerjaan.

Senada dengan pernyataan tersebut, Mc Gillivray & Clarke (2006)

menyatakan bahwa subjective well-being melibatkan evaluasi

multidimensional kehidupan, termasuk penilaian kognitif dari kepuasan hidup

dan evaluasi afektif emosi dan suasana hati. Area subjective well-being terdiri

dari analisis ilmiah tentang bagaimana individu mengevaluasi kehidupan

individu tentang suatu peristiwa, suasana hati, penilaian mereka tentang

bentuk kepuasan hidup, pemenuhan kebutuhan kepuasan pada domain seperti

pernikahan dan pekerjaan.

Subjective well-being adalah penilaian individu terhadap kehidupan yang

positive dan berjalan dengan baik. Individu dikatakan memiliki subjective

well-being tinggi jika individu tersebut memiliki kepuasan hidup dan lebih

sering merasakan kebahagiaan, serta jarang mengalami emosi yang tidak

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

17

menyenangkan seperti kesedihan atau kemarahan. Sebaliknya, individu

dikatakan memiliki subjective well-being rendah jika individu merasa tidak

puas dengan kehidupannya, mengalami sedikit kebahagiaan dan kasih sayang

serta lebih sering merasakan emosi yang negatif seperti kemarahan atau

kecemasan (Diener, dalam Eid, & Larnsen 2008).

Sedangkan Eid & Larnsen (2008) mendefinisikan subjective well-being

dengan membuat perbedaan antara penilaian kehidupan secara kognitif dan

afektif. Kepuasan hidup bukan sekedar penilaian kognitif semata tetapi

merupakan penilaian keseluruhan hidup yang mengacu pada dua sumber

informasi yakni penilaian kognitif yang merupakan standar kehidupan yang

baik (kepuasan) dan informasi afektif merupakan bagaimana individu

merasakan kehidupannya atau kebahagiaan secara keseluruhan.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

subjective well-being adalah suatu penilaian umum individu terhadap

kehidupannya yang penuh dengan kepuasan dan kebahagiaan sehingga

individu mampu merasakan emosi yang positif yang melimpah dan sedikit

emosi yang negatif.

2. Teori Subjective Well-Being

Ada beberapa teori yang dikemukakan oleh para ahli untuk menjelaskan

tentang subjective well-being. Berikut ini adalah gambaran singkat mengenai

beberapa teori subjective well being sebagaimana dijelaskan oleh Diener

(2009) yakni:

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

18

a. Teori Telic

Teori telic menjelaskan bahwa subjective well-being terdiri dari

kebahagiaan yang diperoleh dari beberapa keadaan seperti tujuan atau

kebutuhan yang telah dicapai.

b. Teori Aktifitas

Teori aktifitas memandang kebahagiaan sebagai hasil samping dari

aktifitas individu. Individu akan mendapatkan kebahagiaan melalui

kegiatan yang dilakukan dengan baik.

c. Teori Top-Down Versus Bottom-Up

Teori bottom-up memandang kebahagiaan berasal dari banyaknya

kebahagiaan atau peristiwa-peristiwa kecil yang dialami individu. Sebuah

kebahagiaan dalam pandangan ini merupakan akumulasi dari peristiwa-

peristiwa bahagia yang dialami individu. sedangkan teori top-down

memandang kebahagiaan yang dialami individu tergantung dari cara

individu tersebut mengevaluasi dan penginterpretasi suatu peristiwa atau

kejadian dalam sudut pandang yang positif.

d. Teori Asosiasi

Salah satu pendekatan kognitif terhadap kebahagiaan mempunyai

keterkaitan dengan jaringan dalam memori. Penelitian mengenai jaringan

memori menunjukkan bahwa individu dapat mengembangkan banyak

jaringan memori yang positif, dan terbatas, serta terisolasi dari yang

negatif. Pada individu tersebut, banyak peristiwa dapat memicu afeksi dan

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

19

pemikiran positif. Sehingga individu dengan suatu jaringan yang dominan

positif akan cenderung bereaksi terhadap peristiwa dengan cara yang lebih

positif.

e. Teori Judgement

Teori ini mengatakan kebahagiaan merupakan hasil dari sebagian

perbandingan antara beberapa kondisi standar dan aktual. Jika keadaan

aktual melebihi standar individu maka individu akan mendapatkan

kebahagiaan.

Di dalam penelitian ini teori yang dipakai adalah teori top-down versus

buttom up. Teori tersebut dipakai karena menurut Diener (dalam Compton,

2005) kepuasan dalam hidup dan kebahagiaan dapat dijelaskan dengan

menggunakan dua pendekatan umum yaitu teori buttom up dan teori top down.

Teori bottom-up memandang individu dapat merasakan kebahagiaan dan

kepuasan hidup dengan adanya peristiwa-peristiwa kecil yang dialami dalam

kehidupan individu. Sedangkan teori top-down melihat subjective well-being

yang dialami individu tergantung dari cara individu tersebut mengevaluasi dan

menginterpretasi suatu peristiwa atau kejadian dalam sudut pandang yang

positif. Pendekatan ini mempertimbangkan jenis kepribadian, sikap, dan cara-

cara yang digunakan untuk menginterpretasi suatu peristiwa. Sehingga untuk

meningkatkan subjective well-being diperlukan usaha yang terfokus pada

mengubah persepsi, keyakinan dan sifat kepribadian individu.

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

20

3. Komponen Subjective Well-Being

Komponen-komponen subjective well-being menurut Diener (dalam

Lopez & Snyder, 2008) adalah sebagai berikut:

a. Kepuasan Hidup

Kepuasan hidup merupakan penilaian individu mengenai

kehidupannya, apakah kehidupan yang diajalaninya berjalan dengan baik.

kepuasan hidup dapat diukur dengan melihat derajat kepuasan individu

terhadap hidupnya.

b. Afeksi Positif

Individu dapat dikatakan memiliki subjective well-being yang tinggi

jika individu sering kali merasakan emosi yang positif seperti penuh

perhatian, tertarik, waspada, bersemangat, antusias, terinspirasi, bangga,

ditentukan, kuat dan aktif.

c. Afeksi Negatif

Individu dapat dikatakan memiliki subjective well-being yang tinggi

jika individu jarang sekali mengalami emosi yang negatif seperti sedih,

bermusuhan, mudah marah-marah, takut, malu, bersalah, dan gelisah.

Berdasarkan poin-poin di atas maka dapat disimpulkan bahwa subjective

well-being memiliki 3 komponen yakni kepuasan hidup, afeksi positif, dan

afeksi negatif.

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

21

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Subjective Well-Being

Eddington & Shuman (2005) menemukan faktor-faktor yang

mempengaruhi subjective well-being individu yang meliputi faktor demografis

dan faktor lingkungan. Adapun uraian faktor-faktor tersebut adalah sebagai

berikut:

a. Perbedaan Jenis Kelamin

Wanita lebih banyak mengungkapkan afek negatif dan depresi

dibandingkan dengan pria, dan lebih banyak mencari bantuan terapi untuk

mengatasi gangguan ini; namun pria dan wanita mengungkapkan

tingkat kebahagiaan global yang sama.

b. Usia

Usia diketahui mempunyai hubungan dengan keadaan sekitar dengan

subjective well-being yang dimeditasi oleh harapan-harapan. Meskipun

demikian, beberapa studi sepakat bahwa usia hanya sedikit mempengaruhi

kepuasan hidup.

c. Pendidikan

Hubungan antara pendidikan dan subjective well-being merupakan

hasil dari korelasi antara pendidikan dengan status pekerjaan dan

pendapatan. Namun pengaruh antara pendidikan dan subjective well-being

adalah kecil meskipun signifikan.

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

22

d. Pendapatan

Pendapatan dengan standar pendapatan nasional dan strata individu,

menunjukkan sangat sedikit pengaruh subjective well-being. Beberapa

teori mencoba menjelaskan mengapa materi merupakan prediktor negatif

subjective well-being, dalam pencapaian materi terkadang menjadi tidak

produktif karena mengganggu tindakan pro-sosial dan aktualisasi diri.

e. Perkawinan

Individu yang menikah memiliki subjective well-being lebih tinggi

dibandingkan dnegan individu yang tidak pernah menikah, bercerai,

berpisah, atau janda.

f. Kepuasan kerja

Individu yang bekerja akan mempunyai subjective well-being

dibandingkan dengan individu yang tidak bekerja. Individu yang tidak

bekerja memiliki tingkat stress yang lebih tinggi, kepuasan hidup yang

lebih rendah dan kemungkinan bunuh diri yang lebih tinggi dibandingkan

dengan individu yang bekerja.

g. Kesehatan

Hubungan yang kuat antara kesehatan dan subjective well-being

muncul pada pengukuran kesehatan melalui self-report, tidak pada

penilaian secara objectif oleh ahli. Maka dapat disimpulkan bahwa

persepsi akan kesehatan menjadi lebih penting daripada kesehatan secara

objektif dalam mempengaruhi subjective well-being.

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

23

h. Agama

Banyak survey yang menunjukkan bahwa subjective well-being

berkorelasi secara signifikan dengan agama, hubungan individu dengan

Tuhan, pengalaman doa dan partisipasi di dalam aspek keagamaan.

i. Waktu Luang

Veenhoven (dalam Eddington & Shuman, 2005) menunjukkan bahwa

kebahagiaan berkorelasi cukup tinggi dengan kepuasan waktu luang dan

tingkatan aktifitas di waktu luang. Kegiatan yang dilakukan di waktu

luang dapat meningkatkan subjective well-being, seperti aktifitas

menyenangkan bersama teman, kegiatan olah raga, dan hiburan.

Sedangkan kegiatan menonton televisi di waktu luang terutama tontonan

yang berat kurang dapat meningkatkan kebahagiaan (Eddington &

Shuman, 2005).

Berbagai penelitian lain telah menemukan beberapa faktor-faktor

subjective well-being, faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

a. Kepribadian

Di dalam penelitian yang dilakukan oleh Lucas (dalam Eid &

Lanrsen, 2008) menemukan faktor internal yang stabil jelas memainkan

peran penting dalam subjective well-being. Pengaruh positif, pengaruh

negatif, dan kepuasan hidup yang cukup stabil dari waktu ke waktu sangat

berkorelasi dengan indikator psikofisiologis dan ciri-ciri kepribadian

seperti sebagai extraversion dan neurotisisme. Hal ini didukung oleh

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

24

Diener (2009) beberapa variabel kepribadian menunjukkan hubungan yang

konsisten dengan subjective well-being. Harga diri yang tinggi adalah

salah satu prediktor terkuat subjective well-being.

b. Penerimaan Diri

Studi yang dilakukan yang dimulai di akhir tahun 1940-an, sebagian

besar di bawah pengaruh perspektif humanistik pada penerimaan diri,

telah menegaskan bahwa tingkat penerimaan diri yang tinggi terkait

dengan emosi positif, memuaskan hubungan sosial, prestasi, dan

penyesuaian terhadap peristiwa kehidupan negatif (Szentagotai & David

dalam Bernard, 2013). Ryff, dkk (2002) menjelaskan penerimaan diri

adalah faktor yang terkait dengan subjective well-being. Apabila individu

menerima dirinya maka dapat menyesuaikan diri dan merasa diri berharga

sehingga merasakan emosi negatif yang sedikit, dapat merasakan emosi

positif yang lebih banyak sehingga individu merasa puas dengan

kehidupannya dan mendukung kesejahteraan.

c. Status Pekerjaan

Winkelmann dan Winkelmann (dalam OECD, 2013) menyatakan

status pekerjaan dikenal memiliki pengaruh besar pada subjective well-

being, pada pengangguran khususnya memiliki kaitan yang kuat dengan

dampak negatif pada ukuran kepuasan hidup individu.

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

25

d. Status kesehatan

Dolan, Peasgood dan Putih (dalam OECD, 2013) mengemukakan

Status kesehatan baik kesehatan fisik dan mental berkorelasi dengan

ukuran subjective well-being, dan ada bukti bahwa perubahan status

kecacatan menyebabkan perubahan dalam kepuasan hidup individu (Lucas

dalam OECD, 2013).

e. Hubungan sosial

Kontak sosial adalah salah satu pengendali yang paling penting untuk

subjective well-being, karena kontak sosial individu memiliki dampak

yang besar baik pada evaluasi hidup maupun afek positif dan afek negatif

(Helliwell Dan Wang; Kahneman Dan Krueger; Boarini dkk, dalam

OECD, 2013).

Berdasarkan uraian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi subjective

well-being dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempergaruhi subjective

well-being adalah perbedaan jenis kelamin, usia, pendidikan, pendapatan,

perkawinan, kepuasan kerja, kesehatan, agama, waktu luang, kepribadian,

penerimaan diri, status pekerjaan, dan hubungan sosial. Penerimaan diri

merupakan faktor penting dalam meningkatkan subjective well-being karena

tingkat penerimaan diri yang tinggi terkait dengan emosi positif, memuaskan

hubungan sosial, prestasi, dan penyesuaian terhadap peristiwa kehidupan

negatif, sehingga individu akan memiliki subjective well-being.

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

26

B. Penerimaan Diri

1. Pengertian Penerimaan Diri

Secara umum penerimaan diri dikonseptualisasikan sebagai penegasan

atau penerimaan diri individu meskipun individu memiliki kelemahan atau

kekurangan (Bernard, 2013). Penerimaan diri adalah sikap yang pada dasarnya

merasa puas dengan diri sendiri, kualitas-kualitas dan bakat-bakat sendiri, dan

pengakuan akan keterbatasan-keterbatasan sendiri (Chaplin, 2011)

Pannes (dalam Sari dan Nuryoto, 2002) menjelaskan lebih lanjut bahwa

penerimaan diri adalah suatu tingkatan kesadaran individu tentang

karakteristik pribadinya dan adanya kemauan untuk hidup dengan keadaan

tersebut. Senada dengan pernyataan tersebut Jahoda (dalam Ardilla dan

Herdiana, 2013) mengungkapkan bahwa individu yang dapat menerima

dirinya adalah individu yang sudah mampu belajar untuk dapat hidup dengan

dirinya sendiri, dalam arti individu dapat menerima kelebihan dan kekurangan

yang ada dalam dirinya.

Jersild (dalam Sari dan Reza, 2013) mengatakan individu yang menerima

dirinya sendiri adalah yakin akan standar-standar dan pengakuan terhadap

dirinya tanpa terpaku pada pendapat orang lain, dan memiliki perhitungan

akan keterbatasan dirinya, serta tidak melihat dirinya sendiri secara irasional.

Shepard (dalam Bernard, 2013) melengkapi penjelasan tersebut bahwa

penerimaan diri dapat dicapai dengan berhenti mengkritik dan memcahkan

kecacatan dalam diri sendiri, dan kemudian menerima semua kekurangan diri

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

27

untuk menjadi bagian dalam diri individu; yaitu, toleransi diri untuk menjadi

sempurna di beberapa bagian.

Penerimaan diri ialah suatu kemampuan seorang individu untuk dapat

melakukan penerimaan terhadap keberadaan diri sendiri. Hasil analisa,

evaluasi atau penilaian terhadap diri sendiri akan dijadikan dasar bagi seorang

individu untuk dapat mengambil suatu keputusan dalam rangka penerimaan

terhadap keberadaan diri sendiri (Dariyo, 2011). Individu yang dapat

menerima keadaan dirinya dapat menghormati diri mereka sendiri, dapat

menyadari sisi negatif dalam dirinya, dan mengetahui bagaimana untuk hidup

bahagia dengan sisi negatif yang dimilikinya, selain itu individu yang dapat

menerima dirinya memiliki kepribadian yang sehat, kuat, sebaliknya, orang

yang mengalami kesulitan dalam menerima diri tidak menyukai karakteristik

mereka sendiri, merasa diri mereka tidak berguna dan tidak percaya diri

(Ceyhan & Ceyhan, 2011).

Penerimaan diri sangat penting untuk kesehatan mental. Tidak adanya

kemampuan untuk menerima diri sendiri dapat menyebabkan berbagai

kesulitan emosional, termasuk kemarahan yang tidak terkontrol dan depresi

(Carson & Ellen, 2006). Sedangkan menurut Supratiknya (1995), penerimaan

diri adalah memiliki penghargaan yang tinggi terhadap diri sendiri, atau tidak

bersikap sinis terhadap diri sendiri. Penerimaan diri berkaitan dengan kerelaan

membuka diri atau mengungkapkan pikiran, perasaan dan reaksi kepada

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

28

individu lain, kesehatan psikologis individu, serta penerimaan terhadap

individu lain.

Carson & Ellen (2006) menjelaskan salah satu aspek penting dari

penerimaan diri adalah kemampuan dan kemauan untuk membiarkan orang

lain melihat seseorang diri sejati. Hidup penuh kesadaran memerlukan hidup

kehidupan sehari-hari tanpa kepura-puraan dan tanpa kekhawatiran bahwa

orang lain menilai satu negatif. Salah satu hambatan utama untuk penerimaan

diri adalah ketidakmampuan untuk menerima kesalahan masa lalu, yang nyata

atau yang dirasakan.

Jadi berdasarkan pengertian-pengertian yang telah dipaparkan di atas

dapat disimpulkan bahwa penerimaan diri adalah kemampuan individu dalam

menerima segala hal yang ada di dalam dirinya dan apapun yang menimpa

dirinya baik kejadian buruk maupun kejadian baik sehingga individu akan

senantiasa merasakan perasaan yang menyenangkan dan tetap bertahan untuk

menjalani hidupnya.

2. Aspek-Aspek Penerimaan Diri

Sheerer (dalam Sari & Nuryoto, 2002) mengemukakan beberapa aspek-

aspek penerimaan diri sebagai berikut:

a. Individu mempunyai keyakinan akan kemampuannya untuk menghadapi

persoalan.

b. Individu menganggap dirinya berharga sebagai seorang manusia dan

sederajat dengan orang lain

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

29

c. Individu tidak menganggap dirinya aneh atau abnormal dan tidak ada

harapan ditolak orang lain.

d. Individu tidak malu atau hanya memperhatikan dirinya sendiri.

e. Individu berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya.

f. Individu dapat menerima pujian atau celaan secara objektif.

g. Individu tidak menyalahkan diri atas keterbatasan yang dimilikinya

ataupun mengingkari kelebihannya.

Menurut Supratiknya (1995) penerimaan diri tidak bisa lepas dari aspek

konsep diri dan harga diri sehingga membentuk suatu konsep yang diyakini

yaitu segala hal yang berkaitan dengan diri sendiri. Aspek-aspek individu

yang memiliki penerimaan diri adalah:

a. Mempunyai keyakinan akan kemampuan untuk menghadapi kehidupan.

b. Menganggap diri berharga sebagai manusia sederajat dengan individu lain.

c. Berani memikul tanggungjawab atas perilakunya.

d. Menerima kritik dan pujian secara objektif.

e. Tidak mengingkari kesalahan dan menyalahkan keterbatasan yang

dimiliki.

Berdasarkan uraian aspek-aspek tersebut dapat disimpulkan bahwa aspek-

aspek dari penerimaan diri yaitu keyakinan akan kemampuan individu untuk

menghadapi persoalan, harga diri sebagai seorang manusia dan sederajat

dengan orang lain, tidak menganggap diri sendiri aneh atau abnormal, tidak

malu atau hanya memperhatikan diri sendiri, berani memikul tanggung jawab

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

30

terhadap perilakunya, menerima pujian atau celaan secara objektif, dan tidak

menyalahkan diri atas keterbatasan yang dimilikinya.

3. Ciri-ciri Penerimaan diri

Jersild (dalam Sari & Nuryoto, 2002) mengemukakan beberapa ciri

penerimaan diri untuk membedakan antara individu yang menerima keadaan

diri dengan individu yang menolak keadaan diri (denial). Berikut ini adalah

ciri dari individu yang menerima keadaan diri :

a. Individu yang menerima dirinya memiliki harapan yang realistis terhadap

keadaannnya dan menghargai dirinya sendiri.

b. Individu yakin akan standar-standar dan pengakuan terhadap dirinya tanpa

terpaku pada pendapat individu lain.

c. Memiliki perhitungan akan keterbatasan dirinya dan tidak melihat pada

dirinya sendiri secara irasional.

d. Menyadari aset diri yang dimilikinya, dan merasa bebas untuk menarik

atau melakukan keinginannya.

e. Menyadari kekurangannya tanpa menyalahkan diri sendiri.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri

individu yang memiliki penerimaan diri adalah individu yang memiliki

harapan yang realistis terhadap keadaannya dan menghargai dirinya sendiri,

individu akan senantiasa yakin akan standar-standar dan mengakui dirinya

tanpa terpaku pada pendapat individu lain, memiliki perhitungan akan

keterbatasan dirinya dan tidak melihat pada dirinya sendiri secara irasional,

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

31

menyadari aset diri yang dimilikinya, dan merasa bebas untuk menarik atau

melakukan keinginannya, serta menyadari kekurangannya tanpa menyalahkan

diri sendiri.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri

Hurlock (2013) mengemukakan tentang faktor-faktor yang berperan

dalam meningkatkan penerimaan diri adalah sebagai berikut:

a. Aspirasi Realistis

Supaya individu dapat menerima dirinya, individu harus realistis

tentang dirinya dan tidak mempunyai ambisi yang tidak mungkin tercapai.

Ini tidak berarti bahwa individu harus mengurangi ambisi atau

menentykan saran di bawah kemampuan individu. sebaliknya mereka

harus mentapkan sasaran yang di dalam batas kemampuan mereka,

walaupun batas ini lebih rendah dari apa yang individu cita-citakan.

b. Keberhasilan

Bila tujuan itu realistis, kesempatan berhasil sangat meningkat. Lagi

pula, agar individu menerima dirinya, individu harus mengembangkan

faktor peningkat keberhasilan suapaya potensinya berkembang secara

maksimal. Faktor peningkat keberhasilan ini mencakup keberanian

mengambil inisiatif dan meninggalkan kebiasaan menunggu perintah apa

yang harus dilakukan, teliti dan bersungguh-sungguh dalam apa saja yang

dilakukan, bekerja sama dan mau melakukan lebih dari semestinya.

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

32

c. Wawasan Diri

Kemampuan dan kemajuan menilai diri secara realistis serta

mengenal dan menerima kelemahan serta kekuatan yang dimiliki, akan

meningkatkan penerimaan diri.

d. Wawasan Sosial

Kemampuan melihat diri seperti orang lain melihat individu dapat

menjadi suatu pedoman untuk perilaku yang memungkinkan individu

memenuhi harapan sosial. Sebagai kontras, perbedaan mencolok antara

pendapat orang lain dan pendapat individu tentang dirinya akan menjurus

ke perilaku yang membuat orang lain kesal, dan menurunkan penilaian

orang lain tentang dirinya.

e. Konsep Diri yang Stabil

Bila individu melihat dirinya dengan satu cara pada satu saat dan cara

lain pada saat yang lain kadang-kadang menguntungkan dan kadang-

kadang tidak individu menjadi ambivalen tentang dirinya. Untuk mencapai

kestabilan seperti halnya dengan konsep diri yang menguntungkan, orang

yang berarti dalam hidupnya harus menganggap individu secara

menguntungkan sebagian besar waktu. Pandangan mereka membentuk

dasar bayangan cermin individu tentang dirinya.

Selain itu Jersild (dalam Anggraini, 2012) mengemukakan beberapa

faktor yang mempengaruhi peneriman diri individu, faktor-faktor tersebut

adalah sebagai berikut:

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

33

a. Usia

Peneriman diri individu cenderung sejalan dengan usia individu

tersebut. Semakin matang dan dewasa individu semakin tingi pula tingkat

penerimaan dirinya.

b. Pendidikan

Individu dengan tingkat pendidikan yang lebih tingi tentu akan

memilki kesempatan lebih banyak untuk mengembangkan potensi dan

kemampuan yang dimilki, sehinga semakin tingi kepuasan diri yang

diraih. Seseorang yang merasa puas akan dirinya, tentu dapat menerima

dirinya secara realistis.

c. Keadan Fisik

Menurut Fuhrman (dalam Anggraini, 2012), keadan fisik individu

akan mempengaruhi tingkat peneriman diri.

d. Dukungan Sosial

Peneriman diri juga lebih mudah dilakukan oleh individu yang

mendapat perlakuan yang lebih baik dan menyenangkan.

e. Pola Asuh Orang Tua

Hurlock (dalam Anggraini, 2012) menyebutkan bahwa pola asuh

demokratik membuat individu merasa dihargai sebagai manusia dalam

keluarga. Individu yang merasa dihargai sebagai manusia cenderung akan

menghargai dirinya sendiri dan memperkirakan sendiri tangung jawab

yang harus dipikulnya, sehinga individu akan mengendalikan perilakunya

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

34

sendiri dengan kerangka aturan yang dibuat dengan berpedoman pada

norma-norma yang ada di masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa

faktor yang mempengaruhi penerimaan diri yaitu aspirasi realistis,

keberhasilan, wawasan diri, wawasan sosial, konsep diri yang stabil, usia,

pendidikan, keadaan fisik, dukungan sosial, dan pola asuh orang tua.

5. Cara Penerimaan Diri

Menurut Supratiknya (1995), cara individu dapat menerima diri ada lima,

antara lain:

a. Reflected Self Acceptance (Penerimaan Diri Tercermin)

Jika orang lain menyukai diri kita maka kita akan cenderung untuk

menyukai diri kita juga.

b. Basic Self Acceptance (Penerimaan Diri Mendasar)

Perasaan yakin bahwa dirinya tetap dicintai dan diakui oleh orang lain

walaupun seseorang tersebut tidak mencapai patokan yang diciptakannya

oleh orang lain terhadap dirinya.

c. Conditional Self Acceptance (Penerimaan Diri Kondisional)

Penerimaan diri yang berdasarkan pada seberapa baik seseorang

memenuhi tuntutan dan harapan orang lain terhadap dirinya.

d. Self Evaluation (Evaluasi Diri)

Penilaian seseorang tentang seberapa positifnya berbagai atribut yang

dimilikinya dibandingkan dengan berbagai atribut yang dimiliki orang lain

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

35

yang sebaya dengan seseorang, atau dengan kata lain membandingkan

keadaan dirinya dengan keadaan orang lain yang sebaya dengannya.

e. Real Ideal Comparison (Perbandingan Diri Ideal)

Derajat kesesuaian antara pandangan seseorang mengenai diri yang

sebenarnya dan diri yang diciptakan yang membentuk rasa berharga

terhadap dirinya sendiri.

Berdasarkan uraian di atas maka diketahui bahwa cara penerimaan diri

ada lima yaitu reflected self scceptance, basic self acceptance, conditional self

acceptance, self evaluation, dan real ideal comparison.

C. Stroke

1. Pengertian Stroke

Stroke menurut WHO adalah gejala-gejala penurunan fungsi susunan

saraf yang diakibatkan oleh penyakit pembuluh darah otak dan bukan oleh

yang lain dari itu. Sedangkan menurut Lingga (2013) stroke adalah suatu

kondisi yang ditandai dengan serangan otak akibat pukulan telak yang terjadi

secara mendadak. Stroke juga didefinisikan sebagai gangguan saraf permanen

akibat terganggunya peredaran darah ke otak, yang terjadi sekitar 24 jam atau

lebih. Sindrom klinis ini terjadi secara mendadak serta bersifat progresif

sehingga menimbulkan kerusakan otak secara akut dengan tanda klinis.

Stroke merupakan penyakit yang menyerang jaringan otak yang

disebabkan berkurangnya aliran darah dan oksigen ke dalam otak.

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

36

Berkurangnya aliran darah dan oksigen ini disebabkan karena adanya

sumbatan, penyempitan, atau pecahnya pembuluh darah di dalam otak tersebut

(Junaidi, 2011). Lingga (2013) menjelaskan bahwa kebutuhan oksigen yang

banyak tersebut diperlukan untuk berfungsinya seluruh aktifitas otak yang

sangat berat. Oksigen diperlukan untuk aktifitas jutaan sel saraf yang ada pada

otak. Sel saraf otak bertugas mengatur seluruh proses biologi yang

berlangsung di dalam tubuh, termasuk untuk memelihara keseimbangan

emosi. Jika pasokan darah yang membawa oksigen dan nutrisi tidak dapat

mencapai otak, maka fungsi otak akan terhenti yang akhirnya berujung pada

kematian.

2. Pasca Stroke

Keadaan penderita pasca stroke dalam perjalanannya sangat beragam,

bisa pulih sempurna bisa sembuh dengan cacat ringan, sedang, dan cacat berat

khususnya pada kelompok umur di atas 45 tahun. Setelah serangan stroke

berlalu maka sel-sel otak yang mati dan bekuan darah akan diserap kembali,

lalu diganti dengan kista yang mengandung cairan otak. Proses di atas akan

berlangsung sekitar 3 bulan, dan 30 persennya akan tergantung pada alat atau

mungkin mengalami komplikasi yang dapat menimbulkan kematian (Junaidi,

2011).

Junaidi (2011) juga mengatakan bahwa banyak perubahan yang akan

terjadi pada diri penderita pasca stroke. Perubahan yang terjadi untuk

penderita yang mengalami stroke yang mengenai otak bagian kanan adalah

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

37

penderita akan memperlihatkan tingkah laku yang aneh, salah satunya adalah

menabrak barang-barang pada bagian kiri tubuh, walaupun tidak ada fungsi

tubuh yang hilang. Bila membaca hanya pada bagian kanan, mengetik,

memakai baju hanya dengan tangan kanan, dan makan hanya bagian kanan

piring. Serta terjadi kesulitan dengan oerientasi dan jarak meskipun dalam

lingkungan yang sudah biasa.

Penderita pasca stroke juga akan mengalami perubahan pikiran berupa

hilangnya semangat, ingatan, konsentrasi, dan fungsi kecerdasan. Penderita

juga akan mengalami gangguan indera perasa sehingga tidak dapat merasakan

panas, dingin, sakit pada satu sisi tubuh, termasuk kehilangan sensori yang

mengakibatkan ketidakmampuan untuk bicara atau mengerti bahasa (Junaidi,

2011).

Tidak hanya perubahan secara fisik saja, penderita pasca stroke juga akan

mengalami perubahan secara Psikologis. Hal ini dijelaskan oleh Lingga

(2013) kondisi tidak berdaya akibat stroke yang dialami penderita pasca

stroke membuat penderita mengalami perubahan mental yang sulit ditutupi.

Perubahan-perubahan fisik yang telah dijelaskan sebelumnya menyebabkan

penderita akhirnya mengalami stress, depresi, mudah tersinggung, mudah

marah, dan sedih. Ada pula yang putus asa dan kehilangan semangat hidup.

Junaidi (2011) juga berpendapat bahwa penderita pasca stroke akan

mengalami perubahan kepribadian dimana umumnya terjadi kejengkelan

karena hanya berbaring di tempat tidur sehingga dapat mengalami

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

38

ketidaktenangan, halusinasi dan atau delusi. Rangsangan yang berlebihan

karena bising dan banyak pengunjung. Individu yang baru mengalam stroke

memiliki daya memperhatikan amat singkat. Penderita juga menjadi galak dan

umumnya sulit hidup bersama mereka dan memperlihatkan sifat kekanak-

kanakan. Perubahan emosi juga akan dialami penderita pasca stroke yaitu

berupa gampang tertawa atau menangis silih berganti dengan sebab yang tidak

jelas. Penjelasan yang senada juga dikemukakan oleh Lingga (2013) sebagian

besar penderita pasca stroke tidak dapat menerima kehidupan baru yang

dialaminya. Penderita merasa gelisah, sedih, takut, dan stress atas kekurangan

fisik dan mental yang serba berubah. Kondisi seperti ini menyebabkan mereka

mudah tersinggung, cenderung marah tanpa sebab yang jelas, lesu, apatis dan

minder. Penderita juga tidak menyadari terjadinya gangguan emosi yang oleh

orang lain terasa sangat nyata.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan secara umum

bahwa penderita pasca stroke adalah kondisi dimana individu telah

mengalami mengalami stroke atau terserang stroke, sehingga mengakibatkan

penderita mengalami perubahan secara fisik yang akan berpengaruh pula pada

kondisi psikologis seperti stress, depresi, mudah tersinggung, mudah marah,

sedih, putus asa, takut, mudah marah, dan mudah tersinggung.

3. Jenis-Jenis Stroke

Menurut Lingga (2013) berdasarkan penyebabnya, stroke dibagi menjadi

dua, yaitu stroke iskemik atau stroke non-hemoragik dan stroke hemoragik.

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

39

Stroke iskemik terjadi karena tersumbatnya pembuluh darah otak oleh plak

(materi yang terdiri atas protein, kalsium, dan lemak) yang menyebabkan

aliran oksigen yang melalui liang arteri terhambat. Adapun stroke hemoragik

adalah stroke yang terjadi karena perdarahan otak akibat pecahnya pembuluh

darah otak.

a. Stroke Iskemik

Sekitar 82% stroke merupakan stroke iskemik. Penggumpalan darah

yang bersirkulasi melalui pembuluh darah arteri merupakan penyebab

utama stroke iskemik. Ketika lemak terutama kolesterol, sel-sel arteri yang

rusak, kalsium serta materi lain bersatu dan membentuk plak, maka plak

tersebut akan menempel di bagian dalam dinding arteri terutama di bagian

pencabangan arteri. Pada saat yang bersamaaan sel-sel yang menyusun

arteri memproduksi zat kimia tertentu yang menyebabkan plak tersebut

menebal dan akhirnya liang arteri menyempit. Penyempitan liang arteri

menyebabkan aliran darah yang akan melalui liang tersebut terhambat.

Lokasi penyumbatan tersebut dapat terjadi pada pembuluh darah besar,

dan pembuluh darah sedang atau pembuluh darah kecil.

Proses penyumbatan berawal dari luka pada pembuluh darah yang

dipicu oleh radikal bebas, toksin yang berasal dari rokok, dan lemak tak

sehat yang bercampur dengan darah serta akibat infeksi patogen tertentu

pada dinding pembuluh darah. Penyebab lainnya adalah penyumbatan

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

40

pembuluh darah jantung yang menyebabkan darah yang berasal dari

jantung tidak dapat disalurkan ke otak.

Berdasarkan lokasi penggumpalan darah, stroke iskemik dibagi

menjadi dua, yaitu stroke iskemik trombolitik dan stroke iskemik embolitik.

1) Stroke Iskemik Trombolitik

Jenis stroke ini ditandai dengan pengumpalan darah pada pembuluh

darah yang mengarah menuju otak. Biasa pula disebut selebral

thrombosis. Proses thrombosis dapat terjadi di dua lokasi yang berbeda

yaitu pembuluh darah besar dan pembuluh darah kecil.

2) Stroke Iskemik Embolitik

Stroke iskemik embolitik merupakan jenis stroke iskemik dimana

penggumpalan darah bukan terjadi pada pembuluh darah otak melainkan

pada pembuluh darah yang lainnya. Menurunnya pasokan darah dari

jantung yang kaya oksigen dan nutrisi ke otak adalah faktor utama yang

menjadi penyebabnya. Stroke iskemik embolitik sering dipicu oleh

penurunan tekanan darah yang berlangsung secara drastis, misalnya ketika

seseorang melakukan aktifitas fisik berat sehingga mengalami kelelahan

fisik yang luar biasa.

b. Stroke Hemoragik

Stroke Hemoragik terjadi akibat pembuluh darah yang menuju ke

otak mengalami kebocoran (perdarahan). Kebocoran tersebut diawali

karena adanya tekanan yang tiba-tiba meningkat ke otak sehingga

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

41

pembuluh darah yang tersumbat tersebut tidak dapat lagi menahan

tekanan, akhirnya pecah dan menyebabkan perdarahan. Perdarahan

umumnya terjadi pada batang otak, selaput otak, dan serebrum.

Kebocoran tersebut menyebabkan darah tidak dapat mencapai sasarannya,

yaitu sel otak yang membutuhkan sel darah. Jika suplai darah terhenti,

dapat dipastikan suplai oksigen dan nutrisi yang diperlukan otak akan

terhenti pula dan akhirnya sel otak mengalami kematian.

Ada sejumlah faktor yang memicu terjadinya stroke hemoragik. Salah

satu penyebab stroke hemoragik adalah penyumbatan pada dinding

pembuluh darah yang rapuh mudah menggelembung, dan rawan pecah

terutama pada kelompok berusia lanjut. Hipertensi merukapan faktor

resiko terkuat yang menyebabkan terjadi perdarahan otak. Selain itu,

trauma fisik yang terjadi di kepala atau leher serta tumor di kepala juga

dapat mendorong perdarahan otak.

Berdasarkan lokasi perdarahan, stroke hemoragik dibedakan menjadi

dua, yaitu stroke hemoragik intraserebral dan stroke hemoragik

subaraknoid.

1) Stroke Hemoragik Intraserebral

Perdarahan terjadi di dalam otak, biasanya pada ganglia, batang otak,

otak kecil, dan otak besar. Jenis stroke ini yang menimbulkan dampak

paling fatal. Sebagain besar menderita yang mendapatkan stroke jenis ini

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

42

tidak dapat tertolong jiwanya karena untuk mengatasinya memerlukan

tindakan operasi yang harus dilakukan sesegera mungkin.

2) Stroke Hemoragik Subaraknoid

Stroke hemoragik subaraknoid ditandai dengan perdarahan yang

terjadi di luar otak, yaitu di pembuluh darah yang berada di bawah oak

atau di selaput otak. Perdarahan tersebut menekan otak sehingga suplai

darah ke otak terhenti. Ketika darah yang berasal dari pembuluh darah

yang bocor bercampur dengan cairan darah yang ada di batang dan selaput

otak, maka darah tersebut akan menghalangi aliran cairan otak sehingga

menimbulkan tekanan.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dirangkum kesimpulan

bahwa stroke dibagi menjadi dua secara garis besar yaitu stroke iskemik atau

stroke non-hemoragik dan stroke hemoragik. Stroke iskemik dibagi lagi

menjadi dua macam yaitu stroke iskemik trombolitik dan stroke iskemik

embolitik. Sedangkan stroke hemoragik dibagi lagi menjadi dua yakni stroke

hemoragik intraserbral dan stroke hemoragik subaraknoid.

4. Faktor-Faktor Resiko Stroke

Menurut Lingga (2013) faktor resiko stroke secara garis besar dibagi

menjadi dua yaitu:

a. Faktor tidak Terkendali

Faktor tidak terkendali adalah faktor yang tidak dapat diubah yang

terdiri dari:

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

43

1) Faktor Genetik

Gen tertentu memiliki kecenderungan yang tinggi terhadap stroke.

Sifat genetik yang terbawa oleh bangsa berkulit hitam berisiko tinggi

terhadap stroke. Resiko yang hampir sama juga dimiliki oleh gen

keturunan Afrika-Amerika.

2) Cacat Bawaan

Individu yang memiliki cacat pada pembuluh darahnya (cadasil)

berisiko tinggi terhadap stroke. Jika individu mengalami kondisi seperti

ini, maka mereka umumnya akan mengalami stroke pada usia yang

terbilang masih muda.

3) Usia

Pertambahan usia meningkatkan resiko terhadap stroke. Hal ini

disebabkan melemahnya fungsi tubuh secara menyeluruh terutama terkait

dengan fleksibilitas pembuluh darah.

4) Gender

Pria lebih beresiko terhadap stroke disbanding wanita. Sejumlah

faktor turut memengaruhi mengapa hal tersebut dapat terjadi. Kebiasaan

merokok yang lebih banyak dilakukan oleh kaum pria menjadi salah satu

pemicu stoke pada sebagian besar kaum pria. Pola hidup tidak teratur yang

umumnya dilakukan oleh kaum pria tampaknya merupakan sebuah alasan

mengapa kaum pria lebih beresiko terhadap stroke disbanding kaum

wanita.

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015

Page 30: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

44

5) Riwayat penyakit dalam keluarga

Resiko terhadap stroke terkait dengan garis keturunan. Para ahli

menyatakan adanya gen resesif yang memengaruhinya. Gen tersebut

terkait dengan peyakit-penyakit yang merupakan faktor resiko pemicu

stroke. Penyakit terkait dengan gen tersebut antara lain diabetes,

hipertensi, hiperurisemia, hiperlipidemia, penyakit jantung koroner, dan

kelainan pada pembuluh darah yang bersifat menurun.

b. Faktor yang dapat Dikendalikan

Faktor-faktor yang bisa dikendalikan ini terdiri dari gaya hidup tidak

sehat yang memicu terjadinya penyakit-penyakit tertentu yang mendorong

serangan otak. Faktor-faktor resiko yang dapat dicegah ini diantaranya

adalah:

1) Kegemukan (obesitas)

2) Penyakit jantung, diabetes, tumor otak, hipertensi, hiperlipidemia

(kadar lemak dalam darah yang tinggi), hiperurisemia (kadar asam

urat dalam darah yang tinggi).

3) Gaya hidup seperti kebiasaan merokok, kebiasaan mengonsumsi

alkohol, malas berolahraga, konsumsi obat-obatan bebas dan

psikotropika, dan stres

4) Cedera pada leher dan kepala

5) Kontasepsi berbasis hormon dan terapi sulih hormon

6) Infeksi

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015

Page 31: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

45

7) Mengorok

Berdasarkan poin-poin yang telah dipaparkan di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa faktor resiko stroke secara garis besar dibagi menjadi dua

yaitu faktor tak terkendali, dan faktor yang tidak dapat dikendalikan. Faktor

terkendali diantaranya adalah faktor genetik, cacat bawaan, usia, gender, dan

riwayat penyakit dalam keluarga. Sedangkan faktor yang tidak dapat

dikendalikan meliputi kegemukan, penyakit jantung, diabetes, tumor otak,

hipertensi, hiperlipidemia (kadar lemak dalam darah yang tinggi),

hiperurisemia (kadar asam urat dalam darah yang tinggi), gaya hidup, cedera

pada leher dan kepala kontasepsi berbasis hormone dan terapi sulih hormone,

infeksi, dan mengorok.

5. Kelumpuhan Penderita Pasca Stroke

Lingga (2013) mengatakan bahwa kelumpuhan adalah cacat paling umum

dialami oleh penderita stroke. Stroke umumnya ditandai dengan cacat pada

salah satu sisi tubuh, jika dampaknya tidak terlalu parah hanya menyebabkan

anggota tubuh tersebut menjadi tidak bertenaga. Kelumpuhan dapat terjadi di

berbagai bagian tubuh, mulai dari wajah, tangan, kaki, lidah, dan tenggorokan.

Berikut adalah skala kelumpuhan akibat stroke menurut Neil F. Gordon

(dalam Lingga, 2013):

a. Skala 1: Penderita masih dapat melakukan hal-hal ringan yang sebelumnya

mampu dilakukannya.

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015

Page 32: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

46

b. Skala 2: Penderita tidak mampu melakukan semua pekerjaan seperti

semula, namun tanpa bantuan orang lain masih bisa berusaha

melakukannya sendiri.

c. Skala 3: Penderita memerlukan bantuan orang lain untuk melakukan

pekerjaan tertentu, namun masih dapat berjalan tanpa dibantu orang lain

meskipun harus menggunakan tongkat.

d. Skala 4: Penderita tidak dapat lagi berjalan tanpa dipapah oleh orang lain.

Mereka juga memerlukan bantuan orang lain untuk melakukan pekerjaan

yang sebelumnya dilakukannya sendiri, misalnya mandi, ke toilet dan

menyisir rambut.

e. Skala 5: Penderita tidak lagi dapat melakukan aktivitas fisik apa pun.

Semua aktivitas dan kebutuhan hidupnya bergantung bantuan orang lain

serta memerlukan perhatian seseorang yang merawatnya.

Dampak kelumpuhan tidak hanya diklasifikasikan ke dalam bentuk skala,

akan tetapi kelumpuhan penderita stroke juga dibedakan berdasarkan stroke

yang dialami mengenai otak kanan atau otak kiri. Seperti yang dijelaskan oleh

Lingga (2013) jika sisi tubuh yang mengalami kelumpuhan adalah sisi kiri

disebut stroke kiri, dan jika yang mengalami kelumpuhan sisi tubuh bagian

kanan maka disebut stroke kanan.

Kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh terkait dengan sisi otak yang

mengalami kerusakan. Stroke kiri disebabkan otak kanan mengalami

kerusakan, adapun stroke kanan disebabkan otak kiri yang mengalami

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015

Page 33: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

47

kerusakan, dalam istilah medis, stroke kiri disebut nondominan stroke dan

stroke kanan disebut dominan stroke. Selain ditandai oleh kelumpuhan pada

sisi tubuh yang berbeda, antara stroke nondominan dan stroke dominan juga

ditandai dengan gejala spesifik yang berbeda, yaitu:

a. Gejala spesifik stroke nondominan:

1) Penderita mengalami kesulitan melakukan aktivitas yang berhubungan

dengan ruang misalnya menggambar.

2) Penderita mengalami gangguan dalam menginterpretasikan apa yang

dilihatnya.

3) Penderita mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi atau kurang atensi

terhadap sesuatu.

4) Penderita mengalami kesulitan ketika berpakaian.

b. Gejala spesifik dominan stroke:

1) Penderita tidak bisa lagi melakukan pekerjaan yang sebelumnya dapat

dilakukan termasuk pekerjaan paling sederhana.

2) Penderita sulit memahami pembicaraan orang lain dan sulit berbicara.

D. Dinamika Psikologis

Penderita pasca stroke setelah mengalami stroke akan mengalami berbagai

perubahan di dalam kehidupannya. Perubahan tersebut dapat berupa perubahan

fisik dan perubahan psikologis. Perubahan fisik diantaranya adalah mengalami

kelumpuhan, kurangnya kemampuan berbicara, perubahana daya pikir,

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015

Page 34: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

48

perubahan perilaku dan emosi. Sedangkan perubahan fisik tersebut juga akan

memberikan kontribusi pada perubahan psikologis yaitu penderita akan menjadi

mudah marah, mudah tersinggung, emosinya mudah berubah, sulit mengontrol

emosi negatif, dan sedih.

Perubahan fisik maupun perubahan psikologis tersebut membuat penderita

menilai atau mengevaluasi kehidupannya secara negatif, karena kehidupan yang

dijalani sudah berubah tidak seperti yang diharapkan oleh penderita yaitu seperti

semula ketika sebelum mengalami stroke. Penilaian dan evaluasi yang negatif

terhadap hidup akan membuat penderita menjadi merasa tidak tidak puas dengan

kehidupannya.

Perubahan kondisi fisik, kondisi psikologis serta penilaian atau evaluasi

yang negatif terhadap kehidupannya tersebut, mengakibatkan penderita akan sulit

mengontrol emosi negatifnya. Hal ini dikarenakan perubahan kondisi psikologis

yang dialami penderita sudah mengarah pada sulitnya mengontrol emosi negatif

ditambah penilaian penderita terhadap hidupnya yang cenderung negatif. Kondisi

penderita yang sulit mengontrol emosi negatifnya membuat penderita menjadi

jarang merasakan emosi positif.

Kondisi tersebut menggambarkan permasalahan subjective well-being yang

dimiliki penderita pasca stroke setelah mengalami stroke dengan berbagai

perubahan yang terjadi di dalam kehidupannya. Permasalahan subjective well-

being tersebut akan dapat diminimalisir dengan cara penderita pasca stroke

menerima dirinya atau memiliki penerimaan diri.

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015

Page 35: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

49

Penderita pasca stroke yang dapat menerima dirinya tidak akan

menyalahkan dirinya atas keterbatasan yang dimiliki. Keterbatasan-keterbatasan

yang dialaminya tidak dianggap sebagai hal yang aneh atau abnormal sehingga

penderita tidak merasa ditolak oleh orang lain. Penderita pasca stroke yang tidak

menganggap dirinya aneh atau abnormal tidak akan merasa malu sehingga

penderita tidak hanya memperhatikan dirinya dengan melakukan segala cara

untuk kesembuhannya akan tetapi tetap memiliki harapan yang realistis untuk

kesembuhannya, sehingga penderita akan tetap bermanfaat bagi orang lain.

Penderita yang merasa rendah diri terhadap kekurangan dirinya akan memiliki

keyakinan akan kemampuan dalam menghadapi persoalan-persolan yang

dialaminya setelah mengalami stroke. Keyakinan penderita pasca stroke terhadap

kemampuannya dalam menghadapi permasalahan membuat penderita berani

dalam memikul tanggung jawab atas perilakunya di masa lalu yang

menyebabkan penderita mengalami stroke. Proses panjang yang dialami

penderita pasca stroke dalam menerima dirinya akan membawa penderita

menjadi merasa berharga sebagai seorang manusia dan sederajat dengan orang

lain.

Ketika penderita pasca stroke mengalami proses dalam menerima dirinya

dan merasa berharga sebagai seorang manusia, penderita akan mulai dapat

mengevaluasi kehidupannya secara lebih positif. Evaluasi yang positif tersebut

akan menumbuhkan emosi positif dalam diri penderita. Evaluasi positif terhadap

kehidupan juga akan membuat penderita mampu mengontrol emosi yang negatif.

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015

Page 36: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

50

Sehingga penderita pasca stroke akan senantiasa merasakan subjective well-

being.

E. Pengaruh Penerimaan Diri terhadap Subjective Well Being pada Penderita

Pasca Stroke

Stroke mengakibatkan berbagai perubahan di dalam diri penderitanya. Selain

dampak secara fisik yang sangat menonjol, stroke akan berdampak pada kondisi

sosial dan ekonominya. Selain itu, penderita juga akan mengalami perubahan

secara psikologis. Perubahan secara psikologis pada penderita pasca stroke

disebabkan oleh perubahan aktifitas keseharian dari penderita.

Penderita pasca stroke tetap harus menjalani kehidupannya dan bisa

berdampingan dengan penyakit yang dideritanya. Penderitaan yang dialami oleh

penderita pasca stroke bukan berarti penderita tidak bisa merasakan kesejahteraan

dan kebahagiaan. Karena rasa bahagia akan mampu membawa dampak positif

bagi kesembuhan penderita pasca stroke. Hal ini dijelaskan oleh Myers (2015)

bahwa keadaan jasmani individu yang bahagia lebih sehat, cepat sembuh dari

penyakit dan lebih tahan menghadapi penyakit dibandingkan individu yang tidak

bahagia. Kebahagiaan dapat ditemukan ketika seseorang individu memiliki

subjective well-being.

Individu dengan level subjective well-being yang tinggi, pada umumnya

memiliki sejumlah kualitas yang mengagumkan (Diener, 2000). Individu ini akan

lebih mampu mengontrol emosinya dan menghadapi berbagai peristiwa dalam

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015

Page 37: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

51

hidup dengan lebih baik. Sedangkan individu yang dikatakan memiliki subjective

well-being rendah individu merasa tidak puas dengan kehidupannya, mengalami

sedikit kebahagiaan dan kasih sayang serta lebih sering merasakan emosi yang

negatif seperti kemarahan atau kecemasan (Diener dkk, dalam Eid & Lanrsen,

2008). Penderita pasca stroke yang memiliki subjective well-being akan

senantiasa merasakan emosi yang positif dan mampu mengontrol emosinya serta

mampu menghadapi berbagai peristiwa dalam hidupnya meskipun pada

kenyataannya peristiwa yang dialami adalah hal yang tidak menyenangkan. Akan

tetapi jika penderita pasca stroke tersebut memiliki subjective well-being rendah,

maka penderita akan memandang bahwa peristiwa yang dialaminya adalah hal

yang tidak menyenangkan sehingga individu merasakan lebih banyak emosi-

emosi yang negatif.

Stroke adalah salah satu peristiwa yang tidak menyenangkan yang dialami

oleh penderitanya. Hal ini dikarenakan stroke dapat membuat perubahan yang

besar dalam kehidupan penderita. Perubahan tersebut membuat penderita pasca

stroke harus menjalani kehidupannya dalam kondisi yang tidak menyenangkan

setelah mengalami serangan stroke. Kondisi yang tidak menyenangkan ini akan

mempengaruhi subjective well-being penderita pasca stroke. Seperti penelitian

yang dilakukan oleh Wyller, dkk (1998) yang menunjukkan bahwa kondisi

subjective well-being pada penderita stroke lebih rendah dibandingkan penderita

non-stroke.

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015

Page 38: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

52

Tidak menutup kemungkinan bahwa dengan kondisi kehidupan yang

dialaminya, penderita pasca stroke dapat bangkit dari ketidakberdayaannya

dengan menerima kenyataan yang terjadi sehingga akan mendapatkan subjective

well-being. Penderita pasca stroke akan memandang kehidupannya lebih positif,

memiliki kepuasan hidup, kepuasan domain, seringkali merasakan emosi positif

dan jarang mengalami emosi negatif.

Menerima kenyataan yang dialami dalam kehidupan individu akan membuat

individu merasakan kenyamanan dalam hidupnya sehingga akan merasakan emosi

yang lebih positif. Hal ini dijelaskan dalam penelitian mengenai subjective well-

being dan penerimaan diri, seperti penelitian yang dilakukan oleh Nayana (2013)

yang menjelaskan walaupun individu memiliki kondisi diri yang tidak stabil

namun bila individu tersebut memiliki penerimaan diri, penyesuaian diri atau

adaptasi yang baik dengan lingkungannya juga akan membuatnya menjadi

nyaman dengan kondisi dirinya. Selain itu, Noviyanti (2014) dalam penelitiannya

menjelaskan bahwa ketika individu mampu berpikir positif dengan melihat

kelebihan dibalik kekurangannya, maka pada saat itu pula muncul usaha untuk

menyesuaikan diri. Pada penyesuaian diri tersebut secara tidak langsung, individu

akan mampu mengendalikan diri secara emosional. Jika individu mampu

mengendalikan emosinya maka individu tersebut akan mampu merasakan emosi

yang positif.

Kepuasan hidup yang dimiliki oleh individu merupakan salah satu komponen

subjective well-being. Kepuasan hidup adalah kondisi individuatif dari keadaan

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015

Page 39: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

53

pribadi individu sehubungan rasa senang atau tidak senang sebagai akibat dari

adanya dorongan atau kebutuhan yang ada dari dalam dirinya dan dihubungkan

dengan kenyataan yang dirasakan (Caplin, 2011). Rasa senang atau tidak senang

penderita pasca stroke dalam menghadapi kenyataan yang dirasakannya dapat

memperlihatkan apakah penderita memiliki subjective well-being. Penderita pacsa

stroke yang tetap merasa senang dengan kenyataan yang dialami maka

sebelumnya individu tersebut sudah menerima keadaan dirinya sehingga tetap

mampu merasakan perasaan senang.

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi subjective well-being pada

penderita pasca stroke baik yang berasal dari dalam dirinya maupun dari luar

dirinya. Faktor yang terdapat dari dalam diri salah satunya adalah penerimaan diri.

Di dalam studi yang dilakukan mulai akhir tahun 1940-an, sebagian besar di

bawah pengaruh perspektif humanistik pada penerimaan diri, telah menegaskan

bahwa tingkat penerimaan diri yang tinggi terkait dengan emosi positif,

memuaskan hubungan sosial, prestasi, dan penyesuaian terhadap peristiwa

kehidupan negatif (Szentagotai dan David dalam Bernard, 2013).

Banyak penelitian yang dilakukan mengenai dampak positif penerimaan diri

bagi kondisi psikologis individu. Penerimaan diri yang positif dapat

meningkatkan kebahagiaan pada diri penderita pasca stroke. Seperti yang

disampaikan oleh Rykman (2006) bahwa penerimaan diri yang positif akan

menumbuhkan perasaan bahagia dan nyaman, karena pada dasarnya salah satu

komponen yang dapat menimbulkan individu merasa bahagia adalah adanya

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015

Page 40: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

54

penerimaan diri, menerima apa adanya kelebihan dan kelemahan diri. Sedangkan

menurut Xu dkk (2014) telah ditemukan bukti-bukti kuat adanya hubungan antara

penerimaan diri dengan subjective well-being.

Oleh karena itu peneliti menduga penerimaan diri memberikan pengaruh

positif terhadap subjective well-being pada penderita pasca stroke. Penderita

pasca stroke yang dapat menerima dirinya akan berusaha untuk berpikir positif

tentang segala peristiwa yang terjadi di dalam kehidupannya. Penerimaan diri

akan membantu penderita pasca stroke untuk mengevaluasi dirinya secara positif,

tetap merasakan emosi yang positif dan dapat mengendalikan emosi negatif.

Berdasarkan kajian yang telah diuraikan peneliti menduga adanya pengaruh

positif antara penerimaan diri terhadap subjective well-being yang akan diujikan

pada penderita pasca stroke.

F. Kerangka Berpikir

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, dijelaskan bahwa setelah

mengalami stroke penderita pasca stroke akan mengalami berbagai perubahan

yang signifikan dalam kehidupannya baik perubahan secara fisik maupun

psikologis. Hal ini dijelaskan oleh Lingga (2013) kondisi tidak berdaya akibat

stroke yang dialami penderita pasca stroke membuat penderita mengalami

perubahan mental yang sulit ditutupi. Perubahan-perubahan fisik yang telah

dijelaskan sebelumnya menyebabkan penderita akhirnya mengalami stress,

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015

Page 41: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

55

depresi, mudah tersinggung, mudah marah, dan sedih. Ada pula yang putus asa

dan kehilangan semangat hidup.

Beban fisik maupun psikologis yang harus ditanggung, menimbulkan reaksi

yang berbeda bagi setiap penderitanya. Ada yang tetap dapat merasakan

kebahagiaan, merasa puas dengan kehidupan yang telah dijalani, memiliki

penilaian positif tentang dirinya, dan tidak banyak merasakan emosi yang negatif

sehingga individu tersebut memiliki subjective well-being. Akan tetapi ada pula

yang tidak mampu merasakan emosi yang positif, tidak memiliki kepuasan hidup,

menilai diri secara negatif, dan lebih banyak merasakan emosi yang negatif.

Banyak faktor yang mempengaruhi subjective well-being, diantaranya adalah

faktor dari dalam dan faktor dari luar individu.

Berdasarkan identifikasi permasalahan yang telah dilakukan dalam studi

pendahuluan, penderita pasca stroke setelah terserang stroke, mengalami

perubahan di dalam dirinya baik perubahan fisik maupun psikologis. Perubahan

fisik dan perubahan psikologis tersebut merupakan suatu permasalahan yang

diduga mengakibatkan penderita pasca stroke kurang dapat memiliki subjective

well-being. Akan tetapi di sisi lain ada penderita pasca stroke yang tetap dapat

merasakan subjective well-being karena penderita berusaha untuk berpikir bahwa

stroke yang diderita merupakan ujian dari Tuhan yang harus diterimanya. Peneliti

mengindikasikan bahwa penerimaan diri menjadi faktor yang dapat membantu

penderita pasca stroke untuk merasakan subjective well-being. Berdasarkan

pengakuan penderita pasca stroke yang telah diobservasi dan diwawancara,

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015

Page 42: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

56

penderita yang menunjukkan sikap menerima dirinya lebih memiliki penilaian

positif tentang dirinya, dan tidak banyak merasakan emosi yang negatif.

Oleh karena itu, penerimaan diri dianggap penting dalam membantu

penderita pacsa stroke untuk tetap merasakan subjective well-being. Penelitian ini

akan dilaksanakan dengan menguji pengaruh penerimaan diri terhadap subjektif

well-being penderita pasca stroke dan seberapa besar pengaruhnya. Jika

penerimaan diri yang dimiliki oleh penderita pasca stroke rendah maka subjective

well-being yang dialami oleh penderita pasca stroke rendah. Begitu pula

sebaliknya, jika penerimaan diri yang dimiliki oleh penderita pasca stroke tinggi

makan subjective well-being yang dialami oleh penderita pasca stroke tinggi pula.

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015

Page 43: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

57

Gambar 1. Kerangka Berpikir

Penderita Pasca Stroke

Psikologis

Penerimaan Diri:

1. Keyakinan akan kemampuan

individu untuk menghadapi

persoalan.

2. Harga diri sebagai seorang

manusia dan sederajat dengan

orang lain.

3. Tidak menganggap diri sendiri

aneh atau abnormal.

4. Tidak malu atau hanya

memperhatikan diri sendiri.

5. Berani memikul tanggung

jawab terhadap perilakunya.

6. Menerima pujian atau celaan

secara objektif.

7. Tidak menyalahkan diri atas

keterbatasan yang dimilikinya.

Subjective Well-Being:

1. Kepuasan hidup

2. Afeksi positif

3. Afeksi negatif

Rendah

Fisik

Tinggi Rendah Tinggi

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015

Page 44: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Diener

58

G. Hipotesis

Berdasarkan uraian permasalahan dan teori yang telah dijelaskan, maka

hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada pengaruh penerimaan diri

terhadap subjective well-being pada penderita pasca stroke di Puskesmas wilayah

Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas.

Pengaruh Penerimaan Diri..., Ika Fajriyati, Fakultas Psikologi UMP, 2015