Date post: | 05-Nov-2019 |
Category: | Documents |
View: | 6 times |
Download: | 1 times |
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Traumatic Brain Injury (TBI)
Traumatic Brain Injury (TBI) adalah cedera otak akut akibat energi
mekanik terhadap kepala dari kekuatan eksternal. Identifikasi klinis TBI meliputi
satu atau lebih kriteria berikut: bingung atau disorientasi, kehilangan kesadaran,
amnesia pasca trauma, atau abnormalitas neurologi lain (tanda fokal neurologis,
kejang, lesi intrakranial).
Klasifikasi Derajat Keparahan TBI berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS)
Berdasarkan derajat keparahannya dapat dibagi menjadi : Ringan dengan
GCS 13-15, durasi amnesia pasca trauma
14
Tipe - tipe Traumatic Brain Injury
1. Concussion yaitu cedera minor terhadap otak, penurunan kesadaran dengan
durasi yang sangat singkat pasca trauma kepala.
2. Fraktur depressed tulang kepala terjadi ketika bagian tulang kepala yang patah
atau retak menekan ke dalam jaringan otak.
3. Fraktur penetrating tulang kepala terjadi apabila terdapat benda yang
menembus tulang kepala (contoh: peluru) menyebabkan cedera lokal dan
terpisah pada jaringan otak.
4. Contusion, memar pada otak akibat fraktur tulang kepala. Kontusio dapat
berupa regio jaringan otak yang mengalami pembengkakan dan bercampur
darah yang berasal dari pembuluh darah yang rusak. Hal ini juga dapat
disebabkan oleh guncangan pada otak ke depan dan belakang (contrecoup
injury) yang sering terjadi saat kecelakaan lalu lintas.
5. Diffuse axonal injury atau shearing melibatkan kerusakan pada sel saraf dan
hilangnya hubungan antar neuron. Sehingga mampu menyebabkan kerusakan
seluruh komunikasi antar neuron di otak.
6. Hematoma, kerusakan pembuluh darah pada kepala. Tipe - tipe hematoma
yaitu (1) Epidural hematoma (EDH), perdarahan di antara tulang kepala dan
dura; (2) Subduralhematoma (SDH), perdarahan di antara dura dan membran
araknoid; dan (3) Intracerebral hematoma (ICH), perdarahan di dalam otak
(Beeker dkk., 2002).
15
2. 2 Decompressive Craniectomy dan Cranioplasty
Tujuan primer terapi adalah untuk mempertahankan aliran darah serebri
yang adekuat (diestimasi dari CPP = MAP-TIK, MAP = 1/3 tekanan sistolik + 2/3
tekanan diastolik) (Castillo dkk., 2008). Penghilangan operatif bagian kalvaria
untuk membentuk jendela pada atap tengkorak adalah intervensi yang paling
radikal untuk hipertensi intrakranial. DC telah digunakan untuk menangani
hipertensi kranial sekunder yang tidak dapat disembuhkan dengan obat-obatan
akibat trauma, infark cerebri, subarachnoid hemorrhage (SAH), maupun
perdarahan spontan. Edema otak pasca trauma yang menyebabkan hipertensi
intrakranial merupakan faktor prognosis terpenting pada pasien yang mengalami
cedera otak (Castillo dkk., 2008).
Edema otak malignan merupakan kondisi progresif serta edema cerebri
diffuse berat yang menyebabkan deteriorasi klinis yang cepat dan tidak respon
terhadap penanganan secara agresif. Hal ini sering dilihat pada pasien dengan
cedera kepala berat tipe III, aneurisma SAH, dan infark otak massif (Wani dkk.,
2009). Manifestasi klinis pasien ini yaitu sindrom hemisphere berat yakni
hemiplegi, deviasi mata dan kepala, dan penurunan kesadaran dalam 48 jam.
Pada CT Scan, kompresi ventrikel, obliterasi sisterna basalis, hilangnya pola
gyrus normal, dan diferensiasi materi alba dengan grasia yang buruk dapat
terlihat. Kematian terjadi akibat herniasi ketika TIK meningkat dan kapasitas
penyesuaian dengan pergeseran cairan dari cairan serebrospinalis dan
kompartemen vaskular telah mencapai maksimal (Wani dkk., 2009).
16
Peningkatan TIK sekunder sering ditemukan 3-10 hari setelah trauma,
disebabkan oleh pembentukan hematom yang tertunda (SDH dan traumatic
hemorrhage contusion) yang memerlukan evakuasi segera. Faktor lain yang
berkontribusi misalnya vasospasme cerebri, hipoventilasi, dan hiponatremi (Wani
dkk., 2009).
American Brain Trauma Foundation menyatakan untuk lesi intraparenkim
akibat trauma, tehnik dekompresif dipertimbangkan sebagai pilihan saat TIK
meningkat secara refraktori dan terdapat tanda radiologis (CT scan) herniasi
cerebri. DC bifrontal dipilih apabila lesi diffuse dan TIK meningkat secara
refraktori tanpa herniasi cerebri pada CT scan jika operasi dilakukan dalam 48
jam pertama. Namun, hasil ini masih kontroversi (Balan dkk., 2010). Di antara
banyak masalah yang timbul sebagai akibat TBI, hipertensi intrakranial (IHT)
merupakan penyebab utama komplikasi dan kematian. Salah satu upaya untuk
mengendalikan TIK pada pasien dengan TBI adalah dengan melakukan tindakan
DC (Alvis dkk., 2013). Studi yang sama pada anak menyebutkan DC pada anak
dengan TIK refraktori memberi hasil neurologis lebih baik, lama rawat lebih
singkat, TIK lebih terkontrol baik. Akan tetapi, karena keterbatasan jumlah
pasien yang diikutsertakan dalam studi ini, data ini masih belum signifikan secara
statistik (Balan dkk., 2010).
Pada 10-15% kasus hipertensi intrakranial disebabkan oleh CKB yang
dilaporkan tidak berespon terhadap pengobatan konvensional atau medikal. Pada
kasus ini, DC menawarkan kemampuan penanganan life-saving pengurangan
tekanan intrakranial. DC adalah standar pengobatan bedah untuk edema serebral
17
maligna dan herniasi otak yang terjadi karena infark serebri, perdarahan intra
kranial, dan CKB. Pasien dengan Skor GCS 8 ke bawah yang mempunyai lesi
yang luas pada gambaran CT Scan tanpa kontras adalah kandidat untuk evakuasi
surgical. Pembedahan harus dilakukan apabila status neurologis pasien memburuk
(Coralo dkk., 2015).
DC dilakukan untuk peningkatan TIK yang intractable setelah TBI atau
perdarahan. Walaupun sangat meningkatkan keuntungan/manfaat DC, namun
belum ada standar guidelines untuk melakukan DC. Banyak pilihan seperti hing
craniotomies dimana flap tulang di gantung di kranium, yang penting adalah
ukuran tulang yang dihilangkan. Kontroversi lainnya adalah tentang perlu dibuka
atau tidaknya duramater (Guresis dkk., 2011).
DC secara umum penting untuk pasien dengan peningkatan TIK yang
persisten dan adanya pergeseran garis tengah pada pasien TBI. DC adalah langkah
pertama dari dua langkah prosedur, dimana pasien yang selamat akan diperbaiki
defek tulangnya dengan tulang original atau implant prostetik. Risiko DC tidak
hanya terbatas pada operasi awal, tetapi juga bisa terjadi pada saat operasi
Cranioplasty yang kedua. Risiko saat cranioplasty seperti cedera pada kortek,
infeksi, CSF Fistula, Epidural hematoma atau Subdural hematoma, dan Intra
serebral hematoma. Hal ini disebabkan kesulitan pada saaat diseksi jaringan lunak
untuk mengekspos dan preparasi defek kranialnya. Dan signifikan berat pada
pasien dengan fibrosis atau perlengketan antara permukaan otak dengan galea
aponeuritika dan otot temporalis (Oladunjuve dkk., 2013).
18
2.2.1 Fisiologi Decompressive Craniectomy
Ilmuwan ternama, Monroe, menyatakan bahwa kranial merupakan ‘kotak
kaku’ yang diisi oleh ‘otak yang hampir tidak dapat dikompresi’ dan volume
totalnya cenderung tetap konstan (Farahvar dkk., 2012). Tulang kepala pada
dewasa normal menutupi total volume 1475 ml meliputi 1300 ml otak, 65 ml
cairan serebrospinal, dan 110 ml darah. Sehingga, setiap peningkatan volume
elemen-elemen dalam kranial (otak, darah, atau cairan serebrospinal), akan
menyebabkan peningkatan TIK pula. Terlebih lagi, apabila salah satu dari ketiga
elemen tersebut mengalami peningkatan volume, TIK terjadi dengan
mengorbankan volume kedua elemen lain. Ilmuwan lain, Kellie, mengkonfirmasi
pernyataan Monroe. Ketika otak mengalami cedera dan mulai mengembang atau
terdapat lesi seperti intracerebral hematom, terjadi kompensasi yang
mengorbankan volume darah dan cairan serebrospinal. Apabila otak secara
progresif membengkak atau ukuran lesi bertambah luas, mekanisme kompensasi
akan mengalami ‘kelelahan’, sehingga sedikit saja penambahan volume kranial
akan mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial yang lebih besar (Koerner
dan Brambrink, 2006; Sahuquillo dan Vilalta, 2006).
Prosedur DC secara teoritis memiliki keuntungan. Hal ini berdasarkan
teori Monroe-Kellie, yaitu dengan memperluas ‘kotak kaku’ maka TIK dapat
diturunkan tanpa mengorbankan volume darah cerebral, serta mampu memberi
perfusi cerebral yang lebih baik. DC merepresentasikan dekompresi dura dan
kranial yang besar, sering berhubungan dengan pengangkatan lesi seperti SDH
atau traumatic intracerebral hematom (Wani dkk., 2009).
19
Nilai normal tekanan intrakranial bervariasi sesuai usia, pada orang
dewasa, TIK normal yaitu 10 – 15 mmHg, pada bayi matur 1,5 – 6 mmHg, dan
bisa menjadi subatmosphere pada bayi baru lahir. Ambang batas TIK bervariasi
mulai dari anak-anak, yang mampu mentoleransi nilai lebih besar saat sutura
masih terbuka, hingga dewasa. Batas toleransi TIK dan penurunan CPP bervariasi
dari 18-20 mmHg untuk SAH; 20-22 mmHg untuk malignant sylvian stroke; 25
mmHg untuk trauma; serta 30 mmHg untuk tumor dan hidrosefalus (
Click here to load reader