Top Banner
7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Telinga dan Fisiologi Pendengaran Telinga terdiri dari tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam, seerti yang terlihat pada gambar 2.1. Telinga luar terdiri dari aurikula atau pinna dan kanalis auditori eksterna. Telinga luar ini terbentuk dari kartilago fleksibel dan tulang, yang melekat pada kulit dengan perikondrium dan perios- teumnya(Probst dkk, 2006). Gambar 2.1 Anatomi telinga (Probst dkk, 2006) Telinga tengah terdiri dari kavitas berisi udara yang dibagi menjadi kavum timpani dan sel-sel mastoid. Kavitas ini berkomunikasi dengan nasofaring melalui tuba Eustachius dan dilapisi oleh epitel respiratorik bersilia. Berbagai struktur
24

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Telinga dan Fisiologi ... II.pdfAnatomi Telinga dan Fisiologi Pendengaran Telinga terdiri dari tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan

Oct 04, 2019

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Telinga dan Fisiologi ... II.pdfAnatomi Telinga dan Fisiologi Pendengaran Telinga terdiri dari tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Telinga dan Fisiologi Pendengaran

Telinga terdiri dari tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga

dalam, seerti yang terlihat pada gambar 2.1. Telinga luar terdiri dari aurikula atau

pinna dan kanalis auditori eksterna. Telinga luar ini terbentuk dari kartilago

fleksibel dan tulang, yang melekat pada kulit dengan perikondrium dan perios-

teumnya(Probst dkk, 2006).

Gambar 2.1 Anatomi telinga (Probst dkk, 2006)

Telinga tengah terdiri dari kavitas berisi udara yang dibagi menjadi kavum

timpani dan sel-sel mastoid. Kavitas ini berkomunikasi dengan nasofaring melalui

tuba Eustachius dan dilapisi oleh epitel respiratorik bersilia. Berbagai struktur

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Telinga dan Fisiologi ... II.pdfAnatomi Telinga dan Fisiologi Pendengaran Telinga terdiri dari tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan

8

penting berbatasan dengan atau meliputi telinga tengah, diantaranya adalah nervus

fasialis, arteri karotis interna, sinus venosus yang berasal dari kranium, dura, dan

telinga dalam. Kavum timpani dipisahkan dengan telinga luar oleh membran

timpani dan berisi osikel atau tulang-tulang pendengaran. Tulang-tulang pende-

ngaran ini terdiri dari maleus, inkus dan stapes (Probst dkk, 2006).

Telinga dalam terletak di pars petrosus tulang temporal dan terdiri dari

banyak duktus yang saling terhubung yang secara kolektif disebut labirin. Labirin

dibagi dua yaitu labirin membranosa dan labirin oseus. Labirin membranosa

terletak di da-lam labirin oseus yang terdiri dari organ keseimbangan dan

pendengaran. Koklea adalah struktur berbentuk rumah siput yang berisi organ

sensori pendengaran, dan pada manusia memiliki sekitar dua setengah putaran

(Norton dkk, 2010; Probst dkk, 2006).

Koklea dibagi menjadi skala vestibuli, skala media dan skala timpani. Skala

media terletak di tengah koklea, dipisahkan dari skala vestibuli oleh membran

Reissner dan dari skala timpani oleh membran basilaris. Skala vestibuli dan skala

timpani mengandung perilimfe, suatu cairan ekstraseluler dengan konsentrasi

kalium 4 mEq/L dan konsentrasi natrium 139 mEq/L. Skala media dibatasi oleh

membran Reissner, membran basilar dan lamina spiral osseus, dan dinding lateral.

Skala media berisi endolimfe, yaitu cairan intraseluler dengan konsentrasi kalium

144 mEq/L dan konsentrasi natrium 13 mEq/L. Skala media menyempit ke arah

apeks koklea, berakhir sedikit dari akhir apikal labirin tulang. Bukaan dekat apikal

berakhirnya labirin tulang, disebut helikotrema, memungkinkan hubungan antara

skala vestibuli dan skala timpani, pada manusia luasnya sekitar 0,05 mm2.

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Telinga dan Fisiologi ... II.pdfAnatomi Telinga dan Fisiologi Pendengaran Telinga terdiri dari tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan

9

Membran basilaris memisahkan suara sesuai dengan frekuensi atau spektrum dan

organ Corti yang terletak di sepanjang membran basilar, mengandung sel-sel

sensorik atau sel rambut yang mengubah getaran membran basilaris menjadi

impuls saraf (Moller, 2006; Probst dkk, 2006).

Gambar 2.2. Penampang koklea (Moller, 2006).

Organ Corti terdiri dari bermacam-macam sel. Salah satunya adalah sel-sel

rambut, yang merupakan sel-sel sensorik dan berbentuk seperti kumpulan rambut

yang terletak dan tersusun berbaris di bagian atas membran basilaris. Sel-sel

rambut memiliki kumpulan stereosilia pada bagian atasnya. Sel-sel rambut terdiri

dari dua jenis utama yaitu sel-sel rambut luar dan sel-sel rambut dalam. Koklea

manusia memiliki sekitar 12.000 sel rambut luar yang teratur dalam 3-5 baris

sepanjang membran basilar, dan sekitar 3.500 sel-sel rambut dalam yang teratur

dalam satu baris. Pada setiap sel rambut luar terdapat 50-150 stereosilia yang

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Telinga dan Fisiologi ... II.pdfAnatomi Telinga dan Fisiologi Pendengaran Telinga terdiri dari tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan

10

disusun dalam 3-4 baris berbentuk W atau V sedangkan pada sel-sel rambut

dalam terdapat stereosilia dalam formasi berbentuk U datar (Moller, 2006).

Stria vaskularis merupakan struktur penting yang terletak antara ruang

perilimfatik dan endolimfatik sepanjang dinding koklea. Stria vaskularis memiliki

banyak suplai darah dan sel-sel yang banyak pada mitokondria, menunjukkan

bahwa stria vaskularis terlibat dalam aktivitas metabolik. Membran basilar terdiri

dari jaringan ikat dan membentuk dasar dari skala media. Membran basiler ini

memiliki lebar sekitar 150 µM di dasar koklea dan lebar sekitar 450 µM di apeks.

Jika suara telah memasuki koklea akan terjadi kekakuan yang bergantian mulai

dari dasar menuju ke apeks. Akibat perubahan kekakuan yang bertahap ini, suara

yang sampai ke telinga membuat gelombang pada membran basilar yang bergerak

dari dasar menuju puncak koklea. Gerak gelombang berjalan ini adalah dasar

pemisahan frekuensi sebelum suara mengaktifkan sel sensorik yang terletak di

sepanjang mem-bran basilar. Analisis frekuensi pada koklea sangat kompleks,

melibatkan interaksi antara membran basilar, cairan sekitarnya dan sel sensorik

(Moller, 2006).

Terdapat tiga jenis serat saraf yang mempersarafi koklea, yaitu serat saraf

aferen pendengaran, serat eferen pendengaran atau berkas olivokoklearis dan serat

saraf otonom. Serat aferen saraf pendengaran merupakan sel bipolar, terletak di

ganglion spiralis dalam kanal tulang yang disebut Rosenthal’s canal. Saraf

pendengaran manusia memiliki sekitar 30.000 serabut saraf aferen. Dua jenis serat

aferen telah diidentifikasi, yaitu tipe I dan tipe II. Tipe I merupakan serat saraf

bermyelin, memiliki badan sel yang besar dan merupakan 95% dari serat-serat

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Telinga dan Fisiologi ... II.pdfAnatomi Telinga dan Fisiologi Pendengaran Telinga terdiri dari tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan

11

saraf pendengaran. Serat aferen tipe II merupakan serat saraf tak bermyelin dan

memiliki badan sel yang kecil (Moller, 2006).

Nervus VIII terdiri dari tiga komponen yang berbeda. Ada dua saraf vestibu-

laris yaitu superior dan inferior dan saraf koklearis. Saraf-saraf tersebut bersama-

sama melalui tulang kepala di meatus auditori internal. Kanal ini juga berisi N VII

dan pasokan darah ke telinga bagian dalam yaitu arteri auditori internal. Saraf

melewati meningen menuju ke batang otak. Saraf vestibularis menuju ke nukleus

vestibularis dan saraf koklearis menuju ke nukleus koklearis (Mutton, 2006).

Proses pendengaran akan dimulai saat gelombang suara ditangkap oleh

pinna dan diarahkan oleh KAE untuk menggetarkan membran timpani.

Selanjutnya, gelombang suara akan dikonduksikan dari membran timpani

melewati tulang-tulang pendengaran menuju tingkap lonjong. Perjalanan

gelombang suara dari telinga luar menuju telinga tengah akan melewati perubahan

medium, yaitu dari udara di telinga luar menuju cairan di telinga dalam yang

memiliki perbedaan impedans. Perbedaan impedans ini akan menyebabkan

penurunan energi suara yang melaluinya. Telinga tengah berperan sebagai

impedance-matching device untuk menjaga agar tidak terjadi penurunan energi

tersebut. Proses ini diperoleh dari efek perbandingan luas membran timpani

terhadap luas footplate stapes, aksi tuas tulang-tulang pendengaran, dan bentuk

membran timpani. Bentuk membran timpani berkontribusi minor terhadap proses

impedance-matching (Lee, 2003).

Luas membran timpani sebesar 85-90 mm2 dengan area vibrasi optimal

sebesar 55 mm2

sedangkan luas footplate stapes sebesar 3,2 mm2, sehingga

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Telinga dan Fisiologi ... II.pdfAnatomi Telinga dan Fisiologi Pendengaran Telinga terdiri dari tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan

12

memberikan peningkatan energi suara sebesar 17:1. Saat membran timpani

bervibrasi, tulang-tulang pendengaran akan ikut bergerak. Manubrium maleus

yang panjangnya 1,3 kali dibandingkan prosesus longus inkus akan membuat

tekanan yang diterima oleh footplate stapes lebih besar dibandingkan tekanan

yang diterima oleh maleus sebesar 1,3:1. Jika efek tuas tulang-tulang pendengaran

dan efek luas area membran timpani, telinga tengah menghasilkan peningkatan

energi suara sebesar 22 kali, yaitu kira-kira sebesar 25 dB (Lee, 2003).

Saat gelombang suara mencapai tingkap lonjong, koklea mengubah energi

mekanik suara menjadi energi hidrolik, lalu menjadi energi bioelektrik saat men-

capai sel-sel rambut. Saat footplate stapes bergerak masuk-keluar pada tingkap

lon-jong, suatu gelombang akan terbentuk dan berjalan di dalam koklea dari basal

me-nuju apeks. Gelombang tersebut akan menggerakkan membran basilaris dan

tekto-rial. Kedua membran ini memiliki perbedaan titik-titik perlekatan sehingga

perge-rakannya akan menekuk stereosilia sel-sel rambut, kemudian

mengakibatkan depo-larisasi sel-sel rambut dan menghasilkan impuls elektrik

saraf aferen (Lee, 2003).

Begitu impuls saraf terbentuk, implus ini akan berjalan sepanjang jaras

auditori dari sel ganglion spiralis di dalam koklea menuju modiolus, letak serat-

serat cabang koklearis dari nervus VIII. Serat-serat ini kemudian berjalan menuju

nukleus koklearis di batang otak secara ipsilateral, lalu menuju kompleks olivarius

superior kontralateral. Perjalanan serat-serat ini berlanjut menuju lemniskus

lateralis, kolikulus inferior dan ganglion genikulatum sebelum akhirnya mencapai

korteks auditori (Lee, 2003).

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Telinga dan Fisiologi ... II.pdfAnatomi Telinga dan Fisiologi Pendengaran Telinga terdiri dari tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan

13

2.2. Pemeriksaan Fungsi Pendengaran

Pemeriksaan telinga dan fungsi pendengaran dimulai dengan anamnesis

yang meliputi riwayat gangguan pendengaran herediter, vertigo, tinitus, riwayat

penyakit telinga sebelumnya, paparan bising dan obat ototosik. Pemeriksaan

dilanjutkan dengan inspeksi menyeluruh daun telinga dan sekitarnya serta

pemeriksaan otos-kopi untuk memeriksa liang telinga dan membran timpani.

Pemeriksaan hidung dan tenggorok juga dilaksanakan (Probst dkk, 2006).

Evaluasi fungsi pendengaran dapat dilakukan dengan beberapa cara, mulai

dari pengukuran sederhana sampai pengukuran dengan alat khusus. Contoh alat

pengukuran sederhana atau kualitatif adalah garpu tala, sedangkan pengukuran

kuantitatif dapat dilakukan dengan audiometri nada murni, Oto Acoustic Emission

atau OAE, Auditory Brainstem Response atau ABR dan Auditory Steady State

Response atau ASSR (Probst dkk, 2006).

2.2.1. Audiometri Nada Murni

Audiometri nada murni merupakan pengukuran fungsi pendengaran pada

berbagai frekuensi. Pemeriksaan ini dilaksanakan memakai audiometer dalam

ruang kedap suara dan dapat digunakan untuk memeriksa seluruh sistem

auditorius mulai dari telinga luar hingga korteks auditorius (Sweetow dan Bold,

2004).

Ambang dengar diukur pada konduksi udara dan konduksi tulang. Saat

mengukur konduksi udara, stimulus nada murni yang berbeda-beda

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Telinga dan Fisiologi ... II.pdfAnatomi Telinga dan Fisiologi Pendengaran Telinga terdiri dari tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan

14

ditransmisikan melalui earphone. Ambang konduksi udara menggambarkan

mekanisme integritas auditorius perifer. Sedangkan pengukuran konduksi tulang,

sinyal ditransmisikan melalui getaran tulang yang biasanya diletakkan pada

prominensia mastoid. Nada murni akan merangsang koklea setelah melewati liang

telinga dan telinga tengah. Hasil audiometri berupa audiogram dalam bentuk

grafik yang menggambarkan am-bang pendengaran dalam berbagai frekuensi

(Bess dan Humes, 2008). Satuan stimulus diberikan dalam satuan desibel hearing

level (dBHL). Rerata ambang de-ngar frekuensi bicara yang umum digunakan

didapatkan dari rerata frekuensi 500, 1000, 2000, dan 4000 Hz. Selanjutnya

berdasarkan ambang dengar ini gangguan pendengaran dapat dikategorikan

menjadi tidak ada gangguan atau normal (<25 dBHL), derajat ringan (26-40

dBHL), derajat sedang (41-60 dBHL), derajat berat (61-80 dBHL), dan profound

(>81 dBHL) (Mathers dkk, 2000).

2.3. Fungsi ginjal

Fungsi ginjal secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu fungsi

ekskretorik dan fungsi metabolik. Sebagai organ ekskretorik, ginjal berfungsi

mengekskresikan sisa metabolisme protein (ureum, kalium, fosfat, sulfur

anorganik dan asam urat), regulasi volume cairan tubuh melalui aktivitas hormon

anti-diuretik (ADH) yang akan mempengaruhi volume urin yang akan dikeluarkan

tubuh, dan menjaga keseimbangan asam dan basa (Hall, 2015; Pranawa dkk,

2007).

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Telinga dan Fisiologi ... II.pdfAnatomi Telinga dan Fisiologi Pendengaran Telinga terdiri dari tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan

15

Sebagai fungsi metabolik ginjal memiliki tiga fungsi, yaitu berpartisipasi

dalam eritropoesis yaitu sebagai penghasil eritropoetin yang dibutuhkan dalam

pembentukan sel darah merah, ikut mengatur tekanan darah dengan menghasilkan

renin yang merangsang pembentukan angiotensinogen, dan menjaga

keseimbangan kalsium dan fosfor dengan berperan dalam metabolisme vitamin D.

Selain itu, ginjal juga berperan dalam metabolisme beberapa hormon, diantaranya

hormon paratiroid atau PTH (Hall, 2015; Pranawa dkk, 2007).

2.4. Penyakit ginjal kronik

Penyakit ginjal kronik atau PGK didefinisikan sebagai abnormalitas struktur

atau fungsi ginjal yang muncul lebih dari tiga bulan dan berdampak pada

kesehatan. Berdasarkan penyebabnya, PGK dikelompokkan menjadi tiga

kelompok besar, yaitu penyakit ginjal diabetik, penyakit ginjal non diabetik dan

penyakit pada transplantasi (Bargman dan Skorecki, 2015; KDIGO, 2013).

Kriteria diagnosis PGK adalah jika terdapat penanda kerusakan ginjal dan/

atau penurunan glomerular filtration rate/ GFR (<60 ml/menit/1,73m2) yang telah

berlangsung tiga bulan atau lebih. Penanda-penanda kerusakan ginjal adalah

albuminuria, abnormalitas sedimen urin, elektrolit, dan abnormalitas lain akibat

gangguan tubulus, abnormalitas struktural yang terdeteksi melalui pemeriksaan

radiologi, abnormalitas yang terdeteksi secara histopatologik, dan riwayat trans-

plantasi ginjal (KDIGO, 2013). Klasifikasi stadium PGK didasarkan atas GFR dan

dibagi menjadi lima stadium seperti yang tercantum pada tabel 2.1.

Tabel 2.1. Stadium penyakit ginjal kronik (Pranawa dkk, 2007)

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Telinga dan Fisiologi ... II.pdfAnatomi Telinga dan Fisiologi Pendengaran Telinga terdiri dari tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan

16

GFR

mL/menit/1,73m2

Deskripsi

>90 Stadium I (kerusakan ginjal dengan GFR normal)

60-89 Stadium II (kerusakan ginjal dengan penurunan GFR ringan)

30-59 Stadium III (kerusakan ginjal dengan penurunan GFR sedang)

15-29 Stadium IV (kerusakan ginjal dengan penurunan GFR berat)

<15 Stadium V (kerusakan ginjal stadium akhir)

Penyakit ginjal kronik dapat disebabkan oleh berbagai kondisi, namun

secara umum dapat dibagi menjadi penyakit ginjal diabetik, hipertensi, penyakit

vaskular, penyakit glomerular primer maupun sekunder, penyakit ginjal kistik,

penyakit tubulointersisial, disfungsi atau obstruksi saluran kemih, batu ginjal,

kelainan kongenital, dan cidera ginjal akut yang tidak teratasi (Bargman dan

Skorecki, 2015; Pranawa dkk, 2007).

Penyakit ginjal kronik pada stadium 1 dan 2 umumnya tidak menimbulkan

gejala apapun dari penurunan GFR. Jika GFR telah menurun dan pasien

memasuki stadium 3 dan 4, komplikasi PGK akan terlihat lebih jelas baik secara

klinik maupun laboratorik (Bargman dan Skorecki, 2015; Pranawa dkk, 2007).

End-stage renal disease atau ESRD merupakan tahap akhir PGK yang ditandai

dengan akumulasi toksin, cairan dan elektrolit yang normalnya diekskresikan oleh

ginjal sehingga menimbulkan sindrom uremia. Kondisi ini dapat menyebabkan

kematian kecuali toksin tersebut diekskresikan melalui terapi pengganti ginjal,

baik melalui dialisis maupun transplantasi ginjal (Bargman dan Skorecki, 2015).

Gejala penyakit ginjal kronik akan ditunjukkan oleh semua organ, namun

yang umum ditemukan adalah kelelahan, mual, muntah, penurunan nafsu makan

dan berat badan, kulit pucat, rapuh dan gatal, sering kencing, dan haus. Gejala lain

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Telinga dan Fisiologi ... II.pdfAnatomi Telinga dan Fisiologi Pendengaran Telinga terdiri dari tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan

17

berupa edema pada tungkai atau seluruh tubuh, perdarahan cenderung sulit ber-

henti, penurunan libido, dan sesak nafas. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan

peningkatan fungsi ginjal, anemia, intoleransi glukosa, hiperlipidemia, penurunan

estrogen dan testoteron, abnormalitas kalsium, fosfor dan hormon yang mengatur

mineral, serta abnormalitas homeostasis sodium, potasium, air, dan asam-basa

(Pranawa dkk, 2007). Penderita PGK stadium 5 atau end-stage renal disease

(ESRD) mengalami gangguan bermakna dalam aktivitas sehari-hari,

kesehatannya, status nutrisi, dan gangguan keseimbangan air serta elektrolit, yang

menandai terjadinya sindrom uremik (Bargman dan Skorecki, 2015).

Penanganan PGK secara umum bertujuan untuk menghambat aatau

menghentikan progresivitas PGK, mendiagnosis dan menangani manifestasi pato-

logik PGK dan merencanakan terapi pengganti ginjal untuk jangka waktu panjang.

Dalam praktek klinik sehari-hari, penanganan PGK secara umum meliputi pengo-

batan penyakit dasar, pengendalian keseimbangan air dan garam, diet rendah pro-

tein tinggi kalori, pengendalian tekanan darah, keseimbangan elektrolit dan asam-

basa, pencegahan dan pengobatan osteoditrofi ginjal, pengobatan gejala uremia

spe-sifik, deteksi dini dan pengobatan infeksi, penyesuaian dosis obat-obatan,

deteksi dan pengobatan komplikasi, serta persiapan terapi pengganti ginjal, baik

melalui dialisis ataupun transplantasi (Bargman dan Skorecki, 2015; Pranawa dkk,

2007).

2.5. Neuropati Uremikum

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Telinga dan Fisiologi ... II.pdfAnatomi Telinga dan Fisiologi Pendengaran Telinga terdiri dari tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan

18

Neuropati uremikum atau uraemic neuropathy merupakan polineuropati saraf

sensorimotorik yang disebabkan oleh uremia. Kondisi ini lebih sering mengenai

saraf sensorik daripada motorik. Pemeriksaan histopatologik mendapatkan terjadi

retraksi aksonal, yang ditandai dengan berkurangnya diameter akson, reorganisasi

myelin dan degenerasi total akson. Hal ini akan menimbulkan penurunan

kecepatan konduksi saraf (Bargman dan Skorecki, 2015; Ramirez dan Gomez,

2012).

Manifestasi neuropati uremikum umumnya muncul saat GFR <12 ml/menit.

Senyawa uremik yang bersifat neurotoksin menguras suplai energi akson dengan

menghalangi kerja enzim serat saraf yang berfungsi dalam produksi energi

tersebut. Suplai enzim dari soma saraf tidak mencukupi kebutuhan enzim yang

diperlukan oleh akson yang akhirnya menyebabkan berbagai perubahan patologik

dan degenerasi saraf (Ramirez dan Gomez, 2012).

Penurunan kecepatan konduksi saraf diduga diakibatkan oleh disfungsi

membran dan inhibisi aktivasi pompa Na+/K

+ ATPase. Disfungsi membran

ditemukan pada perineurium dan dalam endoneurium. Perineurium berfungsi

sebagai sawar difusi antara cairan intersisial dengan saraf, sedangkan

endoneurium berfungsi sebagai sawar antara darah dan saraf. Akibat disfungsi

tersebut, toksin-toksin uremik dapat memasuki ruang endoneural dan dapat

menyebabkan kerusakan saraf secara langsung. Inhibisi aktivasi pompa Na+/K

+

ATPase pada aksolemma, membran sel yang menutupi suatu akson, menyebabkan

akumulasi natrium intrasel dan mengubah potensial istirahat membran (membrane

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Telinga dan Fisiologi ... II.pdfAnatomi Telinga dan Fisiologi Pendengaran Telinga terdiri dari tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan

19

resting potential). Hal ini akan menyebabkan degenerasi aksonal dan

demyelinisasi seg-mental sekunder (Ramirez dan Gomez, 2012).

Neuropati uremikum lebih sering mengenai ekstremitas bawah dibandingkan

ekstremitas atas yang bermanifestasi sebagai defisit sensorik dan motorik. Nervus

kranialis yang dilaporkan paling sering mengalami neuropati uremikum adalah

nervus vestibulokoklear. Hal ini menyebabkan keluhan gangguan pendengaran

dalam berbagai derajat pada pasien PGK (Burn dan Bates, 1998; Ramirez dan

Gomez, 2012).

Penanganan neuropati uremikum meliputi berbagai modalitas, namun hanya

transplantasi ginjal yang efektif. Pasien yang menjalani transplantasi ginjal akan

menunjukkan perbaikan klinik secara umum dalam waktu tiga hingga enam bulan.

Modalitas lainnya adalah hemodialisis, penanganan nyeri dengan antidepresan

trisiklik dan obat antikonvulsi, suplemen vitamin serta restriksi asupan K+

(Ramirez dan Gomez, 2012).

Hemodialisis standar umumnya akan menghentikan progresivitas neuropati,

namun jarang memberikan perbaikan klinik yang bermakna. Sebelum menjalani

HD, berbagai parameter eksitabilitas aksonal saraf menunjukkan berbagai abnor-

malitas. Hemodialisis akan menyebabkan normalisasi parameter-parameter eksita-

bilitas tersebut dengan cepat dan signifikan, walaupun beberapa abnormalitas

minor akan menetap. Sebagian besar pasien PGK menunjukkan HD reguler dapat

mensta-bilkan neuropati yang dialami pasien PGK. Perburukan neuropati

mengindikasikan perlunya memulai terapi HD pada pasien PGK dan

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Telinga dan Fisiologi ... II.pdfAnatomi Telinga dan Fisiologi Pendengaran Telinga terdiri dari tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan

20

ketidakcukupan HD bagi pasien yang telah menjalani dialisis (Ramirez dan

Gomez, 2012).

2.6. Hemodialisis

Hemodialisis atau HD merupakan salah satu bentuk terapi pengganti ginjal

pada pasien PGK yang telah memasuki ESRD dan hanya menggantikan sebagian

kecil dari fungsi ekskresi ginjal (Daugirdas dkk, 2007). Indikasi pemberian HD

reguler pada pasien PGK adalah adanya sindrom uremik, hiperkalemia yang tidak

merespon terhadap penanganan konservatif, ekspansi volume ekstraseluler persis-

ten walaupun telah mendapat terapi diuretik, asidosis yang refrakter terhadap

terapi medikamentosa, diastesis perdarahan, dan klirens kreatinin atau perkiraan

GFR kurang dari 10 ml/menit/1.73 m2 (Liu dan Chertow, 2015).

Hemodialisis memiliki tiga komponen, yaitu dialiser, diasilat, dan sistem

penghantaran darah. Dialiser merupakan ruang plastik yang mampu

memperfusikan kompartemen darah dan diasilat secara simultan dengan

kecepatan tinggi. Diasilat merupakan cairan yang berfungsi untuk menarik sisa

produk metabolik dari sirkulasi. Sistem penghantaran darah terdiri dari dua

komponen, yaitu sirkuit ekstrakorporeal yang terdapat pada mesin dialisis dan

akses dialisis. Mesin dialisis memiliki pompa darah yang mengalirkan darah dari

lokasi akses dialisis melewati dialiser kemudian kembali ke tubuh pasien. Akses

dialisis merupakan fistula, graft atau kateter tempat darah diperoleh dari pasien

untuk keperluan hemodialisis (Liu dan Chertow, 2015).

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Telinga dan Fisiologi ... II.pdfAnatomi Telinga dan Fisiologi Pendengaran Telinga terdiri dari tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan

21

Kerja HD didasarkan atas prinsip difusi senyawa terlarut atau solutes

melewati membran semipermeabel. Prosedur hemodialisis berlangsung dengan

memompa darah yang terheparinisasi dengan laju 300-500 ml/menit, sedangkan

diasilat mengalir dari arah yang berlawanan dalam laju 500-800 ml/menit.

Transfer produk sisa metabolik berlangsung mengikuti gradien konsentrasi dari

sirkulasi menuju diasilat. Berdasarkan hukum difusi, molekul yang lebih besar

memiliki laju transfer yang lebih lambat melewati membran. Molekul kecil seperti

urea dengan ukuran 60 Da akan dibersihkan lebih efektif dibandingkan kreatinin

yang memiliki ukuran 113 Da (Liu dan Chertow, 2015).

2.6.1. Adekuasi hemodialisis

De Palma pada tahun 1971, seperti yang dikutip oleh Widiana (2013),

menyatakan dialisis dapat dianggap cukup bila pasien mengalami rehabilitasi

penuh, nafsu makan normal, tubuh dapat memproduksi sel darah merah yang

cukup, tekanan darah normal tercapai, dan dapat mencegah terjadinya neuropati.

Definisi tersebut cukup holistik dan valid, namun masih bersifat subjektif

sehingga diperlukan definisi yang lebih objektif memakai parameter laboratorik.

Ureum darah merupakan solut yang dipakai untuk mengukur efektivitas

dialisis karena urea diasumsikan terdistribusi merata dalam darah serta diproduksi

dan dibersihkan dengan kecepatan yang konstan. Untuk itu, pada orang dengan

fungsi ginjal yang dapat diabaikan, klirens urea dapat dipakai untuk mengukur

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Telinga dan Fisiologi ... II.pdfAnatomi Telinga dan Fisiologi Pendengaran Telinga terdiri dari tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan

22

adekuasi hemodialisis. Model ini disebut sebagai urea kinetic modeling atau

UKM (Mann dkk, 2008; Mehta dan Fenves, 2010).

Setiap pasien yang menjalani HD diberikan resep dosis HD. Persamaan

matematika untuk menghitung dosis HD yang didasarkan atas UKM adalah Kt/V.

Kt/V adalah parameter jumlah plasma yang dibersihkan terhadap urea (K*t)

dibagi dengan volume distribusi urea (V) dalam badan dan merupakan suatu rasio

tanpa satuan. Kt/V dibagi menjadi dua, yaitu Kt/V yang diresepkan atau

prescribed dan Kt/V yang terlaksana atau delivered (Widiana, 2013).

Dosis HD ditentukan dengan menetapkan nilai Kt/V yang diresepkan

terlebih dahulu. Target Kt/V untuk HD yang dilaksanakan dua kali seminggu

adalah 1,8 (Mann dkk, 2008; Mehta dan Fenves, 2010; Pernefri, 2003; Widiana,

2013).

Adekuasi hemodialisis didapatkan dengan menghitung Kt/V yang

terlaksana, yang dinyatakan sebagai nilai Kt/V. Formula yang digunakan untuk

menghitung Kt/V ini adalah formula Daugirdas, yaitu:

( ) ( )

ln merupakan log natural (e); R merupakan perbandingan konsentrasi urea predia-

lisis (BUNpre) dan paskadialisis (BUNpost), yaitu BUNpost/BUNpre; t adalah

du-rasi satu sesi dialisis; UF/W adalah perbandingan ultrafiltrat dan berat badan

pasien (BB), dihitung memakai rumus: (BB predialisis-BB paskadialisis)/ BB

paskadia-lisis (Mann dkk, 2008; Mehta dan Fenves, 2010; Pernefri, 2003;

Widiana, 2013).

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Telinga dan Fisiologi ... II.pdfAnatomi Telinga dan Fisiologi Pendengaran Telinga terdiri dari tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan

23

Nilai Kt/V yang terlaksana tidak selalu sama dengan nilai Kt/V yang

diresepkan. Jika nilai Kt/V yang terlaksana kurang dari nilai Kt/V yang

diresepkan, maka hemodialisisnya dikatakan tidak adekuat atau memiliki adekuasi

hemodialisis yang tidak cukup. Hemodialisis yang tidak adekuat dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti bersihan ureum yang tidak optimal,

waktu dialisis yang kurang, dan kesalahan dalam pemeriksaan ureum

darah(Laaksonen dkk, 2000; Mann dkk, 2008; Mehta dan Fenves, 2010).

Adekuasi hemodialisis memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kondisi

klinik pasien PGK yang menjalani hemodialisis reguler. Kt/V di bawah 1,2

diasosiasikan dengan peningkatan risiko mortalitas pada pasien HD reguler

(Jindal dkk, 2006). Pourfarziani dkk. (2008) berdasarkan pene-litian terhadap 338

pasien HD menyimpulkan bersihan urea yang tidak optimal pada HD yang tidak

adekuat akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas, menurunkan produktivitas

pasien HD, dan kerugian material akibat penurunan produktivitas tersebut.

2.7. Gangguan Pendengaran pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik

Prevalensi gangguan pendengaran ditemukan lebih tinggi dibandingkan

dengan populasi umum. Vilayur dkk. (2010) mendapatkan gangguan pendengaran

pada pasien PGK derajat sedang sebesar 54,4%, sedangkan pada populasi individu

dengan GFR >60 ml/menit/1,73m2 dilaporkan sebesar 28,3%. Lasisi dkk. (2007)

mendapatkan gangguan pendengaran sebesar 67% pada pasien PGK, sedangkan

pada kontrol sebesar 32%.

Tipe gangguan pendengaran pada pasien PGK yang dilaporkan sebagian

besar bersifat tuli sensorineural. Gangguan pendengaran yang diakibatkan oleh

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Telinga dan Fisiologi ... II.pdfAnatomi Telinga dan Fisiologi Pendengaran Telinga terdiri dari tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan

24

PGK memiliki predileksi pada frekuensi rendah (125-250 Hz) dan frekuensi tinggi

(4.000-8.000 Hz), sedangkan frekuensi 500-2.000 Hz dilaporkan dalam batas

normal atau terjadi sedikit peningkatan. Hal ini membuat gambaran audiometri

pada pasien PGK berbentuk seperti kubah atau dome (Gatland dkk, 1991; Sharma,

2011; Zeigelboim dkk, 2001).

Gambar 2.3. Audiogram pasien PGK yang berbentuk seperti kubah (Gatland dkk,

1991).

Lasisi dkk. (2007) melaporkan rerata ambang dengar pasien PGK sebesar

47,42 dBHL. Sharma dkk. (2011) juga melaporkan hal serupa, di mana derajat

ketulian berkisar antara derajat ringan hingga sedang seperti pada gambar 2.7.

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Telinga dan Fisiologi ... II.pdfAnatomi Telinga dan Fisiologi Pendengaran Telinga terdiri dari tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan

25

Gambar 2.4. Rerata ambang dengar pada pasien PGK pada masing-masing

frekuensi (Sharma dkk, 2011).

2.8. Patofisiologi Gangguan Pendengaran pada Penyakit Ginjal Kronik

Patofisiologi gangguan pendengaran pada PGK masih kontroversial.

Bebera-pa faktor yang diduga berperan dalam timbulnya gangguan pendengaran

pada pa-sien PGK adalah kemiripan antara ginjal dan koklea, gangguan elektrolit,

uremia, kondisi komorbid, obat-obat ototoksik, dan hemodialisis (Thodi dkk,

2006).

Nefron pada ginjal dan stria vaskularis pada koklea memiliki kemiripan

fisiologi, ultrastruktur dan antigen yang diduga sebagai kaitan antara gangguan

pendengaran dan penyakit ginjal kronik. Membran basilaris pada endotelium

kapiler kapsul Bowman dan tubular proksimal ginjal serta stria vaskularis koklea

pada pemeriksaan histologi sangat mirip. Sel epitel pada kedua organ ini berperan

dalam transpor aktif cairan dan elektrolit dan mengandung banyak mitokondria,

Na+/K

+ ion pump ATP-ase dan karbonik anhidrase. Ginjal dan koklea juga

memiliki kemiripan farmakologik, yaitu beberapa obat yang bersifat nefrotoksisk

juga bersi-fat ototoksik, seperti aminoglikosida. Perkembangan ginjal dan koklea

diduga dipe-ngaruhi oleh gen yang sama, seperti pada sindrom Alport yang

menunjukkan gangguan kongenital pada koklea dan ginjal. Kemiripan-kemiripan

ini menge-sankan faktor yang sama dapat menyebabkan gangguan pada koklea

dan ginjal. Selain itu gangguan pendengaran dan PGK memiliki faktor risiko yang

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Telinga dan Fisiologi ... II.pdfAnatomi Telinga dan Fisiologi Pendengaran Telinga terdiri dari tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan

26

sama, diantaranya usia tua, diabetes dan hipertensi (Muyassaroh dan Ulfa, 2013;

Thodi dkk, 2006; Vilayur dkk, 2010).

Gangguan keseimbangan elektrolit dalam darah yang terjadi pada pasien

PGK akan mengganggu keseimbangan elektrolit di dalam koklea. Komposisi

elektrolit cairan telinga dalam berperan untuk mempertahankan elektromotilitas

sel-sel rambut koklea. Rasio konsentrasi Na+/K

+ pada endolimfe dan perilimfe

berbeda dan tranduksi sensorik sel-sel rambut koklea terjadi sebagai hasil

pertukaran ion Na+ dan K

+. Gangguan pada keseimbangan konsentrasi elektrolit

ini akan meng-ganggu fungsi koklea dan menimbulkan gangguan pendengaran

(Govender dkk, 2013; Thodi dkk, 2006; Vilayur dkk, 2010). Pemeriksaan

histopatologik pada tulang temporal pasien PGK mendapatkan sedimentasi pada

stria vaskularis, berku-rangnya sel-sel rambut luar koklea, demyelinisasi serat-

serat preganglionik koklea dan kehilangan sel-sel pada ganglion spiralis (Thodi

dkk, 2006; Vilayur dkk, 2010).

Uremia dapat menimbulkan neuropati uremikum yang mengenai nervus

vestibulokoklear dan menyebabkan gangguan konduksi impuls saraf (Burn dan

Bates, 1998). Berbagai penelitian elektrofisiologi memakai auditory brainstem

response atau ABR membuktikan adanya perlambatan konduksi saraf. Penelitian

oleh Antonelli dkk. (1990) yang memakai ABR pada pasien PGK dan kontrol

tanpa PGK dengan gangguan pendengaran serupa mendapatkan kelompok PGK

memiliki interpeak latency gelombang I-III yang secara signifikan lebih panjang

dibanding-kan kelompok kontrol. Interpeak latency gelombang I-III mewakili

waktu konduksi dari koklea menuju nukleus koklearis, sehingga temuan ini

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Telinga dan Fisiologi ... II.pdfAnatomi Telinga dan Fisiologi Pendengaran Telinga terdiri dari tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan

27

diinterpretasikan seba-gai disfungsi subklinik nervus vestibulokoklear yang

diakibatkan oleh neuropati uremikum. Sharma dkk. (2012) mendapatkan adanya

perbedaan yang signifikan pemanjangan latensi absolut gelombang III dan V

ABR, interpeak latency ge-lombang I-III dan I-V pada pasien PGK tanpa

gangguan pendengaran dengan GFR <10 ml/menit/1,73m2 dibandingkan dengan

pasien PGK tanpa gangguan pende-ngaran dengan GFR <60 ml/menit/1,73m2

namun lebih dari 10 ml/menit/1,73m2.

Komorbiditas yang sering ditemukan pada pasien PGK adalah hipertensi dan

diabetes melitus. Kedua kondisi ini secara independen dihubungkan dengan terja-

dinya gangguan pendengaran. Pemeriksaan histopatologik koklea pada pasien

diabetes melitus menunjukkan penebalan dinding kapiler pada stria vaskularis,

ber-kurangnya jumlah serat dalam lamina spiralis, degenerasi organ Corti, dan

penurunan fungsi sel-sel rambut luar. Hormon natriuretik yang sering ditemukan

dalam aliran darah pasien hipertensi diduga menghambat aksi Na+/K

+ ion pump,

sehingga mengganggu fungsi stria vaskularis koklea (Govender dkk, 2013).

Penanganan PGK meliputi terapi konservatif dan terapi pengganti ginjal

yang lebih agresif memakai dialisis ataupun transpalantasi ginjal. Beberapa jenis

pengobatan dan metode yang digunakan memiliki efek terhadap fungsi pende-

ngaran pasien PGK. Salah satu obat yang paling sering digunakan oleh pasien

PGK adalah furosemide yang merupakan diuretik yang bersifat ototoksik.

Pemakaian furosemide diketahui dapat menimbulkan penurunan potensial

endokoklea dan aksi potensial N.VIII yang cepat namun reversibel, serta

penurunan konsentrasi K+ endolimfe yang perlahan. Gangguan ini diduga karena

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Telinga dan Fisiologi ... II.pdfAnatomi Telinga dan Fisiologi Pendengaran Telinga terdiri dari tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan

28

furosemide menghambat transport K+ pada stria vaskularis. Antibiotika golongan

aminoglikosida mening-katkan efek ototoksisitas furosemide (Rybak, 1985).

Efek HD terhadap fungsi pendengaran pasien PGK masih diperdebatkan.

Gangguan pendengaran pada pasien PGK yang dilakukan HD diduga terjadi

akibat perubahan cairan dan komposisi elektrolit endolimfe, serta kemungkinan

paparan membran selusosa asetat dari mesin hemodialisis yang digunakan,

sehingga produk degradasi asetat tersebut masuk ke dalam aliran darah

(Muyassaroh dan Ulfa, 2013). Pemeriksaan histopatologik pada tulang temporal

pasien PGK yang menjalani HD dan mengalami gangguan pendengaran

mendapatkan adanya kolaps sistem endolimfatik, edema dan atrofi sebagian sel-

sel di dalam koklea. Perubahan-perubahan ini diduga akibat gangguan osmotik

karena HD (Thodi dkk, 2006).

Mancini dkk. (1996) mendapatkan insiden tuli sensorineural pada pasien

anak-anak PGK yang mendapatkan terapi konservatif sebesar 29% dan HD

sebesar 28%. Angka ini didapatkan tidak signifikan dan mengambil kesimpulan

bahwa onset ketulian telah terjadi pada tahap awal perjalanan PGK dan tidak

disebabkan oleh terapi yang diberikan. Hasil serupa juga didapatkan oleh Ozturan

dan Lam. (1998), yaitu tidak terdapat hubungan bermakna antara tuli

sensorineural dan HD berdasarkan penelitian pada 15 subjek dan 10 kontrol

memakai audiometri nada murni dan DPOAE. Samir dkk. (1998) mendapatkan

insiden disfungsi koklea yang secara signifikan lebih tinggi pada pasien PGK

anak-anak yang menjalani HD dibandingkan dengan yang menjalani terapi

konservatif. Namun fungsi ginjal pada pasien HD lebih buruk dibandingkan

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Telinga dan Fisiologi ... II.pdfAnatomi Telinga dan Fisiologi Pendengaran Telinga terdiri dari tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan

29

dengan pasien yang menjalani terapi konservatif, sehingga hal ini dapat

mengaburkan interpretasi efek fungsi ginjal yang buruk dan efek terapi terhadap

fungsi pendengaran.

Penelitian oleh Aspris dkk. (2008) mendapatkan adanya perbaikan latensi

gelombang I dan V yang signifikan pada pasien PGK setelah HD dibandingkan

dengan sebelum HD. Namun semua latensi gelombang ini tetap mengalami

pemanjangan yang signifikan dibandingkan dengan subjek kontrol normal.

Mereka berkesimpulan HD dapat memperbaiki fungsi jaras auditorik secara

keseluruhan, tetapi tidak dapat mengembalikan fungsinya sampai normal. Gafter

dkk. (1989) mendapatkan perbaikan transien latensi gelombang III setelah HD.

Hal ini menunjukkan HD mungkin memiliki efek positif sementara, namun efek

HD jangka panjang tampaknya tidak mempengaruhi konduksi sepanjang jaras

saraf auditorik.

Jakic dkk. (2010) melaporkan 63,64% dari total 66 pasien yang menjalani

HD kronik mengalami peningkatan ambang dengar di atas 20 dBHL. Pasien HD

yang berusia di bawah 60 tahun memiliki rerata ambang dengar 23,60 dBHL

dengan simpang baku 10,95, sedangkan yang berusia di atas 60 tahun memiliki

rerata ambang dengar sebesar 30,30 dBHL dengan simpang baku 7,95. Rerata

ambang dengar ini didapatkan tidak berkorelasi dengan durasi HD dan hanya

berkorelasi signifikan dengan usia pasien. Etiologi yang diduga berperan dalam

terjadinya gangguan pendengaran ini adalah akibat neuropati uremikum dan

penuaan vaskular prematur, walaupun faktor-faktor lain juga diduga ikut

berkontribusi.

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Telinga dan Fisiologi ... II.pdfAnatomi Telinga dan Fisiologi Pendengaran Telinga terdiri dari tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan

30

2.9. Adekuasi Hemodialisis dan Ambang Dengar Pasien Penyakit Ginjal

Kronik dengan Hemodialisis Reguler

Penelitian yang meneliti mengenai pengaruh adekuasi hemodialisis terhadap

ambang dengar belum pernah dilakukan sebelumnya. Namun berdasarkan laporan

sebelumnya yang menyatakan adekuasi hemodialisis yang tidak cukup akan

meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas pada pasien PGK, salah satunya

adalah perburukan neuropati uremikum (Ramirez dan Gomez, 2012).

Laaksonen dkk (2000) meneliti hubungan antara adekuasi hemodialisis dan

fungsi nervus autonomik jantung, yang dinilai dari variabilitas detak jantung, pada

pasien PGK yang menjalani hemodialisis. Mereka mendapatkan adekuasi HD

merupakan prediktor terhadap fungsi nervus autonomik jantung. Hanya pasien

dengan Kt/V di atas 1,2 menunjukkan perbaikan variabilitas detak jantung,

sedang-kan pasien dengan Kt/V di bawah 1,2 tidak menunjukkan perbaikan,

bahkan beberapa menunjukkan perburukan.

Hasil serupa juga diharapkan terjadi pada nervus vestibulokoklear. Nervus

vestibulokeklear yang berperan dalam proses mendengar dan keseimbangan meru-

pakan nervus kranialis yang paling sering mengalami neuropati uremikum (Burn

dan Bates, 1998; Ramirez dan Gomez, 2012). Pasien dengan adekuasi HD yang

tidak cukup diduga memiliki ambang dengar yang lebih tinggi dibandingkan

dengan pasuien dengan adekuasi HD yang cukup.