17 BAB II DIALOG AGAMA, DIPLOMASI BILATERAL DAN DIPLOMASI KEBUDAYAAN 2.1 Pengantar Pada bab sebelumnya, penulis telah menjelaskan permasalahan yang akan diteliti, yakni global interreligious dialogue: diplomasi kultural dalam kebijakan dialog agama bilateral Indonesia. Dialog agama bagian dari studi interdisipliner. Studi interdisipliner adalah pendekatan dalam pemecahan suatu masalah dari pendekatan beragam disiplin. Hubungan dialog agama tidak hanya dilihat sebagai persoalan teologi, tapi juga isu sosial, budaya, ekonomi, politik. Hubungan bilateral merupakan hubungan antara dua negara atau lebih dalam forum diskusi internasional untuk meningkatkan hubungan kerja sama dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, politik dan agama. Diplomasi dilakukan untuk terciptanya kelangsungan hidup umat beragama yang rukun dan damai termasuk untuk mengatasi isu global yang terindikasi mengancam keamanan dunia. Diplomasi kebudayaan, kebudayaan yang dimiliki Indonesia merupakan elemen yang harus digali, dikaji karena esensinya yang begitu penting dalam penguatan fondasi jati diri bangsa dalam menghadapi berbagai tantangan globalisasi. Tulisan ini akan melihat hubungan dialog agama dari perspektif sosiologis, tetapi juga diplomasi bilateral dan budaya dalam kehidupan dalam sebuah pertunjukkan, interaksi komunitas. Tulisan ini akan menyimpulkan bahwa dialog agama yang dilakukan melalui cara diplomasi kebudayaan tidak hanya penting
19
Embed
BAB II DIALOG AGAMA, DIPLOMASI BILATERAL DAN DIPLOMASI ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
17
BAB II
DIALOG AGAMA, DIPLOMASI BILATERAL DAN DIPLOMASI
KEBUDAYAAN
2.1 Pengantar
Pada bab sebelumnya, penulis telah menjelaskan permasalahan yang akan
diteliti, yakni global interreligious dialogue: diplomasi kultural dalam kebijakan
dialog agama bilateral Indonesia. Dialog agama bagian dari studi interdisipliner.
Studi interdisipliner adalah pendekatan dalam pemecahan suatu masalah dari
pendekatan beragam disiplin. Hubungan dialog agama tidak hanya dilihat sebagai
persoalan teologi, tapi juga isu sosial, budaya, ekonomi, politik. Hubungan
bilateral merupakan hubungan antara dua negara atau lebih dalam forum diskusi
internasional untuk meningkatkan hubungan kerja sama dalam bidang ekonomi,
sosial, budaya, politik dan agama.
Diplomasi dilakukan untuk terciptanya kelangsungan hidup umat
beragama yang rukun dan damai termasuk untuk mengatasi isu global yang
terindikasi mengancam keamanan dunia. Diplomasi kebudayaan, kebudayaan
yang dimiliki Indonesia merupakan elemen yang harus digali, dikaji karena
esensinya yang begitu penting dalam penguatan fondasi jati diri bangsa dalam
menghadapi berbagai tantangan globalisasi.
Tulisan ini akan melihat hubungan dialog agama dari perspektif sosiologis,
tetapi juga diplomasi bilateral dan budaya dalam kehidupan dalam sebuah
pertunjukkan, interaksi komunitas. Tulisan ini akan menyimpulkan bahwa dialog
agama yang dilakukan melalui cara diplomasi kebudayaan tidak hanya penting
18
karena pesan verbal tetapi juga tindakan. Dalam bab ini penulis juga akan menulis
tentang teori yang digunakan permasalahan tersebut memiliki beberapa konsep
yang akan dianalisis dengan menggunakan teori tentang dialog agama, diplomasi
bilateral dan diplomasi kebudayaan. Oleh sebab itu, penulis akan menguraikan
teori-teori tersebut sebagai berikut:
2.2 Dialog Agama
Konsep dari sebuah ajaran agama ialah untuk menganjurkan sebuah
keharmonisan, kerukunan, kedamaian, saling menghormati, menjunjung tinggi
prinsip kebersamaan, namun pada kenyataan konsep tersebut belum dapat bisa
terlaksana seperti yang diharapkan oleh masing-masing penganut agama. Oleh
karena itu, untuk mewujudkan konsep-konsep agama perlu adanya instrumen
tepat yaitu “dialog”. Dialog dikatakan sebagai sebuah keterbukaan pandangan
yang berbeda, tetapi memiliki kepedulian terhadap satu dan yang lainnya. Dialog
yang dilakukan antar umat beragama adalah wujud dari sebuah keharmonisan.
Menurut Paul Knitter1 cara efektif dalam melaksanakan sebuah dialog antaragama
adalah dengan mengupayakan dialog itu menjadi dialog yang bertanggungjawab
secara global.
Dialog bukan untuk saling mengalahkan akan tetapi untuk saling
memahami antara satu pihak lain dengan baik, untuk mencapai kesepakatan penuh
secara universal. Dialog berorientasi sebagai sebuah sarana komunikasi untuk
menjembatani kesalahpahaman dalam budaya yang berbeda, mengungkapkan
1 Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama: Agama dan Tanggug Jawab Global (Jakarta:
Gunung Mulia, 2010), 23.
19
pandangan dalam bahasa masing-masing2. Dialog bukan hanya sebagai sebuah
orientasi hidup bersama secara damai dengan cara toleransi dengan pemeluk
agama lain, melainkan berpartisipasi secara aktif terhadap keberadaan pemeluk
agama lain3. Yang terkenal satu hal yaitu masyarakat Indonesia adalah negara
yang pluralisme agama, dialog ini merupakan pilihan alternatif ideal dalam
sebuah penyelesaian konflik antar umat beragama. Konflik antar umat beragama
bisa berdampak negatif dalam kehidupan sosial masyarakat. Dialog juga bisa
dijadikan sebagai sebuah solusi untuk menyelesaikan fenomena, dan bisa
dijadikan sebagai upaya pencegahan sebelum terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan.
Dalam buku Etik Global, Hans Kung mengungkapkan “Tak ada
perdamaian dunia tanpa perdamaian antaragama”4. Tidak ada perdamaian dunia
tanpa perdamaian tanpa perdamaian bangsa-bangsa, tidak ada bangsa-bangsa
tanpa perdamaian agama-agama, tidak ada perdamaian agama-agama tanpa dialog
antaragama. Dari apa yang telah disampaikan Hans Kung dampak suatu dialog
sangat besar dan tidak hanya bagi umat beragama saja tetapi juga manusia di
seluruh penjuru dunia. Kalimat ini penulis pakai untuk menjadi acuan dalam
pemikiran Paul Knitter dalam bukunya “Satu Bumi banyak Agama”, Knitter
menyertakan pemikiran atau pandangan Hans Kung dalam bukunya tersebut. Bagi
Hans Kung, dalam situsi global saat ini, umat manusia memerlukan visi mengenai
2 Raimundo Panikar, “The Intra Religius Dialogue”, dalam A. Sudiarja (ed), Dialog Intra
Religius (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 33. 3 Ahmad Zarkasi, Idrus Ruslan, Agustam, et.al., “Dialog Antar Umat Beragama Dalam
Upaya Pencegahan Konflik”. (Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung Indonesia, 2019). 4 Hans Kung, Karl-Josef Kuschel, Etik Global (Yogyakarta: Sisiphus bekerjasama dengan
Pustaka Pelajar, 1999), xvii.
20
kehidupan bersama secara damai, hidup bersama diantara berbagai macam
budaya, agama bagi perawatan bumi5.
Usaha Kung untuk menyusun etika global mempunyai tujuan yaitu untuk
menjalin sebuah perdamaian antara agama-agama dan untuk “mengobati” dunia
yang sedang mengalami krisis mengenai makna nilai dan norma. Dalam dunia
yang masih harus menciptakan sebuah perdamaian, agama berbagi pada satu
tanggungjawab bersama, yaitu menciptakan sebuah perdamaian. Inilah yang
tanggungjawab bersama yang harus menjadi pemikiran setiap kelompok agama
atau agama secara keseluruhan. Dalam buku “Etika global” dibutuhkan manusia
yang dapat hidup dan bekerja sama dalam melindungi kemanusiaan dan
lingkungannya.
Menurut William Placher dan John Cobb salah satu hubungan dasar bagi
hubungan antar agama apa pun adalah semua umat beragama harus mengakui
perlunya sebuah nilai dari dialog tersebut. Dialog akan menghasilkan sebuah
pengukuhan keserasian dan saling pengertian6. Kita melihat bahwa perdamaian
antar agama adalah syarat utama bagi suatu perdamaian dunia. Asumsi mengenai
dunia dan agama, dalam arti dunia menjadi satu, multikultur dan multiregius.
Namun juga dipihak lain mengartikan bahwa perdamaian dunia tersebut sekaligus
merupakan lingkungan yang kondusif bagi perdamaian antara agama. Tidak
disangkal bahwa agama dan aspek dalam kehidupan bermasyarakat saling
tergantung, saling mempengaruhi yang lain, tidak bisa berdiri sendiri tanpa
subyek yang lain. Dalam kehidupan dunia ini satu-satunya jalan yaitu
5 Hans Kung, Etik Global, 16-20.
6 Nurcholis Majid, “Dialog Agama-agama dalam Perspektif Universalisme al-Islam”
dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, Passing Over – Melintasi Batas Agama
(Jakarta: Gramedia Pustaka, 1998), 6.
21
„persaudaraan antaragama‟. Dan sebuah kerjasama dari agama-agama yang
memiliki nilai-nilai etika harus disumbangkan pada umat manusia.
Menurut Leonard Swidler7 yang dikenal sebagai salah satu guru studi
dialog agama dunia, menjelaskan bahwa dialog merupakan percakapan antara dua
atau lebih dengan pandangan yang berbeda, tujuan utama dalam hal ini agar
peserta dapat belajar dari sesama. Oleh karena itu, mereka dapat berubah dan
tumbuh. Kalau kata agama dipahami sebagai hal yang kongkrit, bukan sebuah
metafisis, maka dialog antaragama berarti dialog antar orang-orang beragama.
Manusia mendapatkan tempat sentral dalam sebuah dialog, dengan syarat,
manusia tidak dipahami secara metafisis, malainkan manusia yang kongkrit.
Manusia yang kongkrit artinya, menunjuk kepada orang-orang beriman dalam
agama tertentu, dalam lingkungan budaya tertentu, dan dengan aspirasi tertentu
dan pada masa tertentu.
Mengenai arti dan praktik dialog, Swidler pernah menguraikannya yang
disebut sebagai “The Dialogue Decalogue”. Adapun rekomendasi Swidler
mengenai dialog antaragama yang sukses8 ada sepuluh titah dialog decalogue:
Pertama, tujuan utama dialog untuk belajar, untuk mengubah dan tumbuh dalam
persepsi dan pemahaman tentang realitas. Kedua, dialog antaragama, interideologi
harus merupakan dua sisi, komunitas agama atau ideologis dan komunitas agama
atau ideologis. Ketiga, berdialog dengan penuuh kejujuran dan ketulusan hati
dengan mitranya. Keempat, dalam dialog antaragama, interideologis tidak boleh
7 Izak Lattu, ”Performative Interreligious Engagement: Memikirkan Sosiologi Hubungan
Lintas Agama‟ dalam Sosiologi Agama Pilihan Berteologi di Indonesia: 25 Tahun Pascasarjana
Sosiologi Agama Universitas Kristen satya Wacana. (Salatiga: Universitas Kristen Satya
Wacana, 2016), 281-282. 8 Leonard Swidler, “The Dialogue Decalogue: Ground Rules for Interreligious,
Interideological Dialogue”. Diambil dari https://www.dialogueinstitute.org.html (diakses pada