Top Banner
18 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian mengenai spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi menjadi sebuah fenomena yang sangat menarik dilihat dari perspektif kajian budaya yang bersifat kritis. Hal tersebut terjadi akibat tradisi lisan mengenai upacara gendang kematian yang menyangkut beberapa unsur termasuk ensambel gendang lima sendalanen mulai diabaikan, bahkan ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap gendang lima sendalanen sebagai warisan leluhur yang tidak bernilai dan telah ketinggalan zaman. Penelitian ini mencoba untuk memahami berkembangnya fenomena upacara gendang kematian pada etnik Karo dengan fokus kajian lebih diarahkan pada tiga pokok permasalahan, yaitu (1) wujud spiritulitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi, (2) faktor-faktor yang mempengaruhi spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi, dan (3) makna dan strategi pewarisan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisai. Untuk menunjukkan penelitian ini berbeda dengan penelitian lain, maka diperlukan penelusuran bahan-bahan pustaka, baik hasil- hasil penelitian terdahulu maupun yang berkaitan dengan bahan-bahan pustaka buku-buku teks. Langkah-langkah yang dilakukan adalah dengan penetapan
43

BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

Mar 21, 2019

Download

Documents

dinhkhanh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

18

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Kajian mengenai spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo

pada era globalisasi menjadi sebuah fenomena yang sangat menarik dilihat dari

perspektif kajian budaya yang bersifat kritis. Hal tersebut terjadi akibat tradisi

lisan mengenai upacara gendang kematian yang menyangkut beberapa unsur

termasuk ensambel gendang lima sendalanen mulai diabaikan, bahkan

ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas

dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap gendang lima sendalanen

sebagai warisan leluhur yang tidak bernilai dan telah ketinggalan zaman.

Penelitian ini mencoba untuk memahami berkembangnya fenomena

upacara gendang kematian pada etnik Karo dengan fokus kajian lebih diarahkan

pada tiga pokok permasalahan, yaitu (1) wujud spiritulitas upacara gendang

kematian etnik Karo pada era globalisasi, (2) faktor-faktor yang mempengaruhi

spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi, dan (3)

makna dan strategi pewarisan spiritualitas upacara gendang kematian etnik

Karo pada era globalisai. Untuk menunjukkan penelitian ini berbeda dengan

penelitian lain, maka diperlukan penelusuran bahan-bahan pustaka, baik hasil-

hasil penelitian terdahulu maupun yang berkaitan dengan bahan-bahan pustaka

buku-buku teks. Langkah-langkah yang dilakukan adalah dengan penetapan

Page 2: BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

19

pustaka-pustaka yang penjelasannya ditujukan untuk menyatakan bahwa

masalah-masalah penelitian yang dilakukan belum pernah dikerjakan oleh para

peneliti/ penulis terdahulu.

Studi yang dianggap relevan dengan penelitian ini adalah Prikuten

Tarigan dalam tesisnya berjudul “ Perubahan Alat Musik dalam Kesenian

Tradisi Karo Sumatera Utara” (2004) pada Program Kajian Budaya Program

Pascasarjana Universitas Udayana. Permasalahan yang diangkat mencakup

perubahan alat musik dalam konteks upacara muda-mudi (guro-guro aron),

perkawinan (nereh-empo), dan upacara memasuki rumah baru (mengket jabu).

Dalam penelitian itu, Prikuten menemukan realitas perubahan alat musik dan

pengaruhnya terhadap adat istiadat Karo. Teori yang digunakan adalah teori

akulturasi, sebagai proses kebudayaan yaitu terjadi ”peningkatan keserupaan”

antara dua kebudayaan dari Kroaber, teori perubahan, menunjukkan bagaimana

cara teknologi sebagai pendorong perubahan dari Velben dan Ogburn dan teori

fungsi musik tentang hubungan musik dengan perilaku masyaraktnya dari

Merriam. Penelitian ini sangat relevan sebagai acuan dalam disertasi ini karena

membahas perubahan alat musik dalam kesenian tradisi Karo yang merupakan

salah satu permasalahan yang dibahas dalam disertasi ini. Perbedaannya adalah

Tarigan seolah-olah merayakan pengaruh globalisasi dalam konteks upacara

muda-mudi (guro-guro aron), sedangkan penelitian ini menangguhkan atau

menunda makna untuk menemukan makna baru dalam konteks upacara

gendang kematian.

Page 3: BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

20

Milala Terang Malem (2008) meneliti utang dalam upacara kematian

yang diberi judul “Utang Adat Kematian dalam Adat Karo”. Penelitian ini

menguraikan nilai-nilai budaya Karo dalam utang adat kematian etnik Karo

yang tersirat dalam nama dan jenis barang yang digunakan. Misalnya, berupa

dagangen (kain kafan) yang berwarna putih untuk yang meninggal dan

keperluan hidup sehari-hari kepada keluarga yang ditinggalkan berupa beras

dan ayam. Panelitian ini memberikan kontribusi kepada peneliti terkait dengan

jenis barang yang digunakan dalam upacara gendang kematian. Di pihak lain

disertasi ini meneliti musik gendang lima sendalanen dan nilai-nilai yang

terkandung di dalamnya serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Pulumun P. Ginting (2012) meneliti tentang “Gendang Kematian dan

Kematian Gendang pada Masyarakat Karo” disampaikan pada Seminar

Pemberdayaan Masyarakat Adat: Aktualisasi Nilai-nilai Budaya Konunitas

Adat dalam Memperkokoh Identitas Lokal. 2--3 Agustus 2012 di Berastagi.

Makalah ini menunjukkan gendang kematian adalah salah satu ritual kematian

yang terdapat pada etnik Karo yang di dalamnya terdiri dari berbagai unsur

(peristiwa) yang merupakan satu kesatuan, yaitu (1) Gendang lima sendalanen

(musik), (2) landek (tari), (3) ngerana (petuah), (4) ngandung (ratapan), (5)

rende (nyanyian). Salah satu unsur yang paling penting dalam upacara gendang

kematian, gendang lima sendalanen sebagai iringan musik pada upacara

gendang kematian sebagai ”perekat” dari semua unsur upacara. Gendang lima

sendalanen digunakan sepanjang upacara tersebut dilaksanakan. Secara

Page 4: BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

21

simbolis Gendang lima sendalanen merepresentasikan spiritualitas kehidupan

etnik Karo melalui berbagai unsur-unsurnya, seperti instrumen yang digunakan,

para pemain termasuk juga prosesi ritualnya. Namun penggunaan gendang lima

sendalanen mengalami pergeseran pada instrumen yang digunakan. Jika

dahulu menggunakan instrumen tradisional seperti, sarunei (kayu), gendang

singindungi/singanaki (kulit), maupun gung/penganak (logam), digantikan oleh

teknologi elektronik organ tunggal atau keyboard. Makalah ini adalah sebagai

awal untuk penelitian disertasi ini. Persamaan penelitian dengan disertasi ini

yaitu memaknai upacara gendang kematian etnik Karo secara denotatif

sedangkan disertasi ini melihat fenomena secara konotatif.

Merriam, Alan P. (1964) dalam buku yang berjudul “The Anthropology

of Music”, mengemukakan fungsi dan penggunaan (used and function) musik,

yaitu (1) pengungkapan estetis, (2) pengungkapan emosional, (3) hiburan, (4)

perlambangan atau simbol, (5) komunikasi, (6) reaksi jasmani, (7) norma-

norma sosial, (8) pengesahan lembaga sosial, (9) kesinambungan kebudayaan,

dan (10) pengintegrasian masyarakat. Fungsi (function) dan penggunaan (use)

adalah merupakan masalah yang sangat penting dalam etnomusikologi, karena

hal ini menyangkut makna musik, tidak hanya fakta-fakta mengenai musik

tetapi lebih dari itu, ingin mengetahui implikasi musik terhadap manusia, dan

bagaimana implikasi tersebut dihasilkan. Selanjutnya Merriam mengemukakan

bahwa musik rakyat, menyampaikan pesan yang terkandung di dalam teksnya

dan musik tanpa teks juga mampu memberikan komunikasi. Menurut Merriam

Page 5: BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

22

musik bukan suatu bahasa universal yang dapat dimengerti oleh siapa saja,

karena setiap jenis musik lahir dan tumbuh pada suatu masyarakat tertentu

dengan kebudayaannya. Dalam beberapa hal, musik merupakan simbol dari

aspek kehidupan dan organisasi sosial masyarakat pendukungnya. Dari fungsi

dan kegunaan musik yang di tawarkan oleh Merriam dalam buku ini, sangat

membantu penulis untuk menelaah makna secara konotatif dan memberikan

peluang tentang strategi pewarisan upacara gendang kematian etnik Karo dari

makna yang telah tergali.

Darwan Prinst (2004) meneliti adat Karo secara umum. Buku ini

dirangkai dari hasil kongres kebudayaan Karo tahun 1995 yang diberi judul

“Adat Karo”. Darwan menguraikan panjang lebar tentang adat istiadat dan

kesenian Karo. Selain itu, berbagai perilaku budaya Karo juga dijelaskan.

Pembahasan tentang kesenian lebih pada deskripsi seni pertunjukan seperti tari

dan musik untuk kebutuhan upacara ritual. Meskipun penelitian ini lebih

difokuskan pada bidang deskripsi adat istiadat, cukup memberikan wawasan

dalam penyusunan disertasi ini. Informasi penting dalam penelitian yang

relevan dengan penyusunan disertasi ini adalah uraian mengenai berbagai jenis

upacara kematian pada masyarakat Karo.

Masri Singarimbun (1975) dalam disertasinya “Kinship, Descent, and

Alliance Among the Karo Batak” meneliti sistem kemasyarakatan dan

kekerabatan pada masyarakat Karo. Penelitian ini merupakan sumber yang

penting yang terkait dengan makna simbol dalam sistem kekerabatan

Page 6: BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

23

masyarakat Karo. Dalam buku ini Singarimbun menjelaskan keberadaan rumah

adat dalam sistem kekerabatan, aspek-aspek simbolisnya, dan penyelenggaraan

ritual-ritual. Kerangka berpikir Singarimbun dalam penelitian ini dapat

digunakan untuk menganalisis simbol yang terdapat dalam upacara gendang

kematian etnik Karo. Simbol yang terdapat dalam rumah adat yang dimaknai

berhubungan dengan sistem kekerabatan, dalam penelitian ini dijadikan acuan

untuk memaknai unsur-unsur yang terdapat dalam upacara gendang kematian

dengan sistem kekerabatan sangkep nggeluh.

Kumalo (2007) meneliti mangmang nyanyian guru (dukun) untuk

memanggil roh-roh yang sudah meninggal dunia. Tesis ini berjudul

”Mangmang: Analisis dan Perbandingan Seni Kata dan Melodi Nyanyian Ritual

Karo di Sumatra Utara.” Kumalo menjelaskan Mangmang adalah sejenis

nyanyian yang terdapat pada etnik Karo. Orang yang menyajikan mangmang

adalah bomoh. Bomoh menyajikan mangmang pada masa menjalankan upacara

ritual tertentu dengan cara bernyanyi. Terdapat dua jenis upacara ritual sebagai

konteks penyajian mangmang, yaitu erpangir ku lau (upacara ritual penyucian

diri) dan raleng tendi (upacara ritual memanggil roh manusia). Upaya

menjalankan kedua upacara ritual di atas merupakan keyakinan bagi etnik

Karo. Penelitian ini memberikan informasi bahwa etnik Karo sangat kuat terikat

dengan kesenian, khususnya musik. Hasil penelitian ini sangat membantu

dalam penyusunan disertasi ini karena di dalamnya dibahas mengenai

Page 7: BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

24

etnomusikologi dan jenis-jenis seni di luar konteks gendang kematian. Dengan

demikian, penelitian ini relevan digunakan sebagai acuan dalam disertasi ini.

Pasaribu (2004) menulis buku “Pluralitas Musik Etnik Batak Toba,

Mandailing, Melayu, Pakpak-Dairi, Angkola, Karo, Simalungun”. Buku ini

berisi karangan beberapa penulis dan masing-masing dikenal sebagai peneliti

dan pemerhati kesenian yang ada di Sumatera Utara. Pasaribu menyimpulkan

bahwa semua penelitian penulis yang menemukan musikalitas + etnisitas =

pluralitas. Dari penelitian ini dapat dikatakan bagaimana pentingnya musik

pada suatu tradisi. Penelitian ini memberikan wawasan dan informasi terkait

dengan sinkronisasi musik tradisi yang ada di Sumatera Utara. Persamaannya

dengan penelitian penulis, yaitu sama-sama meneliti musik tradisi,

kegunannya, sampai perubahannya. Perbedaannya, buku ini tidak menjelaskan

musik tradisi dan spiritualitas, sedangkan penelitian penulis meneliti

spiritualitas di balik ansambel musik yang digunakan pada upacara ritual,

khususnya upacara gendang kematian.

Achim Sibeth dalam bukunya The Batak (1991) lebih memusatkan

perhatian pada aspek historis atau sejarah Batak. Dokumentasi foto kebudayaan

masyarakat Batak Karo yang dibuat pada tahun 1910 merupakan data yang

sangat berharga bagi penelitian ini. Foto-foto yang dibuat Achim Sibeth

memberikan gambaran tentang alat musik yang digunakan dalam upacara ritual

tradisi Karo. Ini sangat berbeda dengan keadaan sekarang yang terjadi pada

upacara ritual Karo. Oleh karena itu, buku karya Achim ini sangat membantu

Page 8: BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

25

untuk melacak jejak makna instrumen musik tradisi yang ada pada masyarakat

Karo.

Brahma Putro (1999) membahas tentang “sejarah Karo dari zaman ke

zaman”. Putro meneliti perjuangan orang Karo sejak zaman kolonial hingga

kemerdekaan. Buku ini juga menggambarkan kehidupan sosial masyarakat

Karo dan Melayu ketika pemerintah kolonial Belanda masuk ke daerah Deli

Serdang, Langkat, Tanah Tinggi Karo, dan sepanjang lembah sungai Renun.

Kehidupan masyarakat Karo di tiga daerah ini memberikan informasi kepada

penulis terkait dengan upacara gendang kematian yang diteliti. Persamaan

penelitian ini dengan penelitian penulis adalah meneliti masyarakat Karo yang

ada di Tanah Tinggi Karo. Perbedaannya Putro membahas sejarah, sedangkan

penelitian penulis tentang spiritualitas upacara gendang kematian.

J.H. Neumann (1972) meneliti tentang sejarah Batak Karo dengan judul

“Sedjarah Batak Karo: Sebuah Sumbangan”. Neumann meneliti dan

menerangkan asal usul dan arah penyebaran dari kelima merga (klan) yang

terdapat pada masyarakat Karo, yaitu merga Karo-karo, merga Ginting, merga

Sembiring, merga Perangin-angin, dan merga Tarigan dengan cara

menganalisis dongeng-dongeng folklor orang Karo sendiri. Berdasarkan

penelitian ini, Neumann berkesimpulan bahwa daerah asli dari orang Karo

adalah di Dataran Tinggi Karo. Disebutkan juga bahwa Dataran Tinggi Karo,

kira-kira tiga abad yang lalu dimasuki oleh orang-orang Batak dari daerah lain,

seperti orang Batak dari daerah Pakpak di sebelah baratnya, yang menjadi

Page 9: BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

26

nenek moyang dari merga Karo-karo. Kemudian ada juga migrasi ke daerah

dataran tinggi Karo dari sebelah timur dan selatan yang menyebabkan

terjadinya merga-merga lain di Dataran Tinggi Karo. Terlepas benar atau

tidaknya pendapat Neumann di atas, akan tetapi memberikan inspirasi bagi

penelitian penulis dalam hal menggali mitos atau dongeng yang terdapat pada

gendang kematian. Relevansi penelitian ini dengan penelitian penulis adalah

berawal dari mitos. Perbedaannya adalah Neumann menguraikan merga-

merga melaui mitos, sedangkan penelitian penulis meneliti kaitan gendang

lima sedalanen dalam upacara gendang kematian dengan sistem

kemasyarakatannya dan semua unsur yang ada di dalamnya.

Masri Singarimbun (1960) meneliti perumpamaan yang ada pada

masyarakat Karo dengan judul “Seribu Perumpaman Karo”. Buku ini

membahas perumpaman tahap kehidupan bagi masyarakat Karo, yaitu

kelahiran, perkawinan, dan kematian. Dalam upacara gendang kematian

perumpaman tidak terlepas dari pelaksanaannya. Buku ini memberikan

informasi dan wawasan untuk menggali makna yang ada pada perumpaman

yang diungkapkan dalam upacara gendang kematian. Perbedaannya, penelitian

penulis tentang perumpaman dengan cara dinyanyikan dan kecenderungannya

sambil menangis/meratap.

Bob King Ginting (2010) dalam tesisnya ”Analisis Komunikasi

Transendental pada Upacara Ritual Erpangir Ku Lau di Lau Debuk-debuk,

Desa Daulu, Kecamatan Brastagi, Kabupaten Karo” membahas tentang

Page 10: BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

27

spiritualitas yang terkait dengan gendang pada upacara erpangir ku lau. Sasaran

utama tesis ini untuk mengetahui bagaimana komunikasi yang terjadi pada saat

upacara ritual erpangir ku lau, mengetahui alasan-alasan penganut kepercayaan

tradisi tersebut melaksanakan upacara erpangir ku lau, dan cara masyarakat

pendukung kepercayaan tradisi dalam melakukan hubungan komunikasi

transendental dengan roh gaib (jinujung). Berkaitan dengan penelitian ini Bob

King memberikan informasi bagi penulis terkait dengan spiritualitas upacara

ritual erpangir ku Lau pada masyarakat Karo. Relevansi penelitian ini dengan

penelitian penulis adalah dalam meneliti menggunakan metode kualitatif.

Perbedaannya adalah penelitian ini tidak sampai meneliti nilai-nilai dari materi

gendang pada upacara, sedangkan penelitian penulis menggali sampai sedalam-

dalamnya.

Arlin Dietrich Jansen (2003) dalam bukunya yang berjudul “Gondrang

Simalungun” membahas struktur dan fungsi dalam masyarakat Simalungun.

Dalam buku ini Jansen menguraikan ansambel musik gondrang, konteks

historis, dan struktur musik yang berhubungan dengan musik tersebut. Jansen

juga memperlihatkan peran dan fungsi musik gondrang pada masyarakat

Simalungun. Namun, menurut Jansen, kelangsungan tradisi musik ini pada

masa depan masih belum dapat dipastikan karena kurangnya minat dan

ketertarikan di kalangan masyarakat Simalungun. Penelitian ini memberikan

wawasan dan informasi pada penelitian penulis terkait dengan kekhawatiran

kelangsungan tradisi musik gendang lima sendalanen pada etnik Karo.

Page 11: BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

28

Persamaan penelitian ini dengan penelitian penulis adalah menguraikan peran

ensambel musik pada masyarakat. Perbedaannya adalah penelitian penulis tidak

hanya menganalisis peran ensambel, tetapi juga mencari makna yang implisit

dari materi yang menghasilkan wujud ensambel tersebut.

Sembiring (2010) mengadakan penelitian berjudul “Ambivalensi

Hubungan Terjajah dan Penjajah dalam Kristenisasi di Tanah Karo, Sumatera

Utara”. Sikap ambivalen orang Karo terhadap Kristenisasi yang beriringan

dengan kolonialisasi, menurut penelitian Sembiring, tidak serta merta terjadi

sejak awal perjumpaan antara kedua belah pihak. Bermula dari rasa terancam,

orang Karo memiliki sikap curiga terhadap segala kebaikan hati yang

ditawarkan pihak zending. Akan tetapi, setelah melalui proses historis yang

tidak mudah, terjadi sejumlah negosiasi kultural sehingga resepsi terhadap

kristenisasi. Esai ini memberikan informasi dan wawasan bagi penelitian

penulis yang terkait dengan gendang Karo, yaitu Raja Pa Mbelgah Purba, salah

seorang raja di desa tertarik dengan agama yang diajarkan misionaris dan

masuk agama Kristen dan dibaptis. Tidak lama setelah dibaptis ia menanyakan

kepada pendeta apakah sebagai orang Kristen ia dapat memakai gendang Karo.

Jawab pendeta itu ”tidak boleh!!”. Persamaan penelitian ini dengan penelitian

penulis adalah sama-sama melihat pengaruh perubahan kebudayaan etnik Karo

dari sisi kekristenan. Perbedaannya, Sembiring meneliti perubahan keyakinan

melalui kristenisasi sedangkan penelitian penulis melihat perubahan musik dan

Page 12: BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

29

spiritualitas upacara gendang kematian dari sudut kristenisasi, industri budaya

yang ditandai dengan komodifikasi.

Buku “Mengenal Seni Kerajinan Tradisional Karo” yang ditulis A.G.

Sitepu (1998) memberikan gambaran umum tentang ragam hias etnik Karo

yang terdapat dalam berbagai benda pakai, seperti kain, alat masak, dan alat-

alat musik. Informasi ini diperlukan untuk mengetahui organologis alat-alat

musik yang terdapat pada masyarakat Karo. Relevansi buku ini dengan

penelitian penulis hanya tentang alat musik dan organologisnya, sedangkan

perbedaaanya adalah penelitian penulis sampai pada bentuk bunyi dan

spiritualitas materi yang memproduksi bunyi tersebut.

Sumber-sumber pustaka dan tulisan di atas telah memberikan wawasan,

informasi, dan bahan yang sangat berharga bagi penelitian ini. Dari kajian

pustaka di atas diketahui bahwa penelitian tentang spiritualitas upacara

gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi belum pernah dilakukan.

Oleh karena itu, penulis yakin bahwa penelitian ini menambah wawasan yang

positif dalam rangka melestarikan dan mempertahankan tradisi lisan pada etnik

Karo. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

kajian budaya dan kajian tradisi lisan yang difokuskan pada wujud, faktor-

faktor, dan makna serta strategi pewarisan yang dimunculkan upacara gendang

kematian etnik Karo pada era globalisasi. Di samping ada persamaan dengan

kajian pustaka di atas juga jelas perbedaan dengan penelitian yang dilakukan

peneliti. Jadi, keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan.

Page 13: BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

30

2.2 Konsep

Penelitian ini membahas konsep-konsep yang terkait dengan penelitian

sehingga dapat digunakan sebagai pendukung analisis dan memberikan bingkai

sesuai dengan permasalahan penelitian . Terkait dengan itu, dikemukakan

empat satuan konsep yang mendukung penelitian, yaitu konsep spiritualitas,

upacara gendang kematian, etnik Karo, dan era globalisasi

2.2.1 Spiritualitas

Spritualitas berasal dari kata spiritus (roh) mengandung beberapa

pengertian yaitu, (1) imaterial, tidak jasmani, terdiri atas roh; (2) mengacu

kepada kemampuan-kemampuan lebih tinggi (mental, intelektual, estetik,

religius) dan nilai-nilai pikiran; (3) mengacu kepada nilai-nilai manusiawi yang

nonmaterial, seperti keindahan, kebaikan, sinta, kebenaran, belas kasihan,

kejujuran, kesudian, dan (4) mengacu kepada perasaan dan emosi-emosi

religius dan estetik (Bagus, 2002: 1034).

Spiritualitas sebenarnya sangat dekat dengan hidup keseharian manusia.

Spiritualitas bisa bermanifestasi dalam bentuk antusiasme terhadap hal-hal yang

imanen dan profan atau terhadap hal-hal yang transenden dan sakral.

Antusiasme itu sendiri adalah bentukan dari pengalaman dan lingkungan yang

membentuk dunia dan pandangan hidup seseorang selama sekian tahun

Page 14: BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

31

kehidupannya. Melalui bentukan itulah spiritualitas menemukan jalannya untuk

bermanifestasi dalam kehidupan manusia (Adlin, 2007: xxi).

Arkoun melihat bahwa ada hubungan antara spiritualitas dan hampir

semua hal yang acap ditemukan dalam hidup sehari-hari. Hubungan ini

tampaknya hubungan sebab akibat, yaitu satu hal menyebabkan munculnya hal

yang lain.

”The concept of spirituality is load with complex and different meanings; itis used loosely in context as different as religion, architecture, music,painting, literature, philosophy and alchemy, as well as in spiritualism,astrology, esoteric knowledge, et cetera” (Darmawan dalam Adlin (ed.),2007: 145).

Menurut Capra (1999: 17), kita dapat memiliki spiritualitas tanpa

agama, tetapi kita tidak dapat memiliki agama yang benar jika tanpa

spiritualitas. Kita dapat mempunyai agama tanpa teologi, tetapi kita tak akan

mempunyai teologi yang benar tanpa agama dan spiritualitas. Prioritasnya ialah

spiritualitas sebagai pengalaman, sebuah pengalaman langsung akan Roh

absoluts di sini dan kini, serta sebagai praksis, sebuah pengetahuan yang

mengubah cara saya menjalani hidup di dunia ini.

Saya menjadi bagian dari seluruh hewan dan juga tumbuhan. Dan menjadibagian (belonging) berarti saya betah (at home) bersama mereka, sayabertanggung jawab untuk dan pada mereka, Anda lihat saya menjadi bagiandari (belong to) mereka persis sebagaimana mereka menjadi bagian saya.Kita semua saling memiliki (belong together) di dalam kesatuan kosmisyang besar ini (Capra, 1999: 22).

Bagi banyak orang, istilah spiritualitas memiliki konotasi yang

mengarah ke sesuatu di luar dunia ini atau mengimplikasikan bentuk disiplin

Page 15: BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

32

religius tertentu. Namun, dalam penelitian ini istilah spiritualitas dipakai untuk

menunjuk pada nilai dan makna dasar yang melandasi hidup kita, baik duniawi

maupun yang tidak duniawi, entah secara sadar atau tidak meningkatkan

komitmen kita terhadap nilai-nilai dan makna tersebut.

Spiritualitas modern berawal sebagai suatu spiritualitas yang bersifat

dualistik dan supernaturalistis dan berakhir dengan suatu pseudospiritualitas

(spiritualitas semu) atau anti spiritualitas; postmodernisme kembali ke

spiritualitas asli yang memuat unsur-unsur spiritualitas pramodern. Walaupun

begitu, spiritualitas postmodern tidak hanya berarti kembali ke spiritualitas

pramodern dan masyarakat modern. Meskipun masyarakat postmodern ini

masih tetap memiliki dan mengembangkan banyak aspek yang ada dalam dunia

modern, masyarakat postmodern akan membalikkan unsur-unsur modernitas,

individualisme, dan nasionalisme, direndahkannya manusia oleh mesin,

direndahkannya keprihatinan manusia akan masalah-masalah sosial, moral,

religius, estetika, dan ekologis demi masalah-masalah ekonomi (Griffin, 2005:

16--17).

Spiritualitas postmodern mengakui bahwa manusia memiliki

kemampuan luar biasa untuk menentukan dirinya, yang bisa dipakainya demi

kebaikan atau kejahatan. Karena di seluruh alam terlihat adanya berbagai

tingkat pengalaman nilai yang berbeda-beda, penolakan bahwa manusia itu

adalah ”tuan segala ciptaan” yang bisa memanfaatkan semua makhluk lainnya

tidak berarti bahwa manusia tidak lebih bernilai secara intrinsik daripada seekor

Page 16: BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

33

ngengat. Oleh sebab itu, pandangan postmodern menyarankan suatu

spiritualitas yang di dalamnya digabungkan perhatian pada ekologi dengan

perhatian khusus pada kesejahtraan manusia (Griffin, 2005: 33).

Aktivitas melihat kemudian percaya adalah bagaimana seseorang

melihat objek visual. Namun, pengelihatannya ini dapat menembus batas-batas

fisik objek yang dilihat sehingga ia dapat mencerap muatan-muatan

nonfisiknya, seperti pesan, dan makna. Sesuatu yang koheren di sini pada

dasarnya bukan semata-mata sosok objek visual dengan kepercayaan. Namun,

muatan (content) di dalam objek visual yang memungkinkan hubungan antara

melihat, objek visual, dan kepercayaan itu terjalin. Muatan inilah yang menjadi

jiwa atau muatan spiritualitas objek visual. Sinkronisasi antara nilai fisik dan

nonfisik sebuah objek visual inilah yang kemudian dapat menimbulkan satu

wujud kepercayaan (Darmawan dalam Adlin (ed), 2007: 144).

Bagi masyarakat tradisional, perlakuan terhadap objek visual, mulai dari

proses penciptaan sampai penggunaannya sehari-hari perlu diperhatikan,

bahkan diatur. Hal ini penting karena mereka menyadari bahwa objek visual

tersebut memiliki nilai-nilai luhur yang masih perlu dijunjung tinggi

(Darmawan dalam Adlin (ed), 2007: 148).

Piliang mengemukakan bahwa posmodernisme lebih cenderung

mengembangkan agama-agama noninstitusi dan konsep-konsep baru tentang

spirit dan spiritualitas, yang terlepas dari konsep-konsep konvensional yang

bersumber dari agama-agama besar. Posmodernisme lebih cenderung menggali

Page 17: BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

34

dimensi-dimensi emosional, irasional, mistis, dan magis, yang digali dari spirit-

spirit masa lalu. Reinkarnasi, revitalisasi, dan restorasi menjadi konsep-konsep

yang sangat penting dalam menemukan apa yang disebut spiritualitas

posmodern (Piliang, 2004: 256).

2.2.2 Upacara Gendang Kematian

Upacara berasal dari kata Sanskerta, yaitu terdiri atas kata upa artinya

dekat dan kata acara yang berarti kebiasaan. Jadi, upacara mengandung arti

kebiasaan yang dekat atau kebiasaan yang mendekatkan. Maksudnya adalah

suatu kebiasaan untuk mendekatkan diri terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau

kebiasaan yang tersusun dengan urutan-urutan tertentu (Donder, 2007: 280).

Pengertian gendang secara umum adalah sebuah alat musik yang terbuat

dari kulit dan dipukul atau ditabuh sehingga menghasilkan bunyi sebagai

pengiring dalam ensambel musik. Akan tetapi, bagi masyarakat Karo

pengertian gendang tersebut bukan alat musik semata sebagaimana dalam

pengertian secara umum diatas. Kata gendang pada masyarakat Karo memiliki

beberapa pengertian. Selain sebagai sebuah ensambel musik, gendang bisa juga

berarti nama repertoar sebuah lagu ataupun alat musik tertentu. Biasanya

pengertian kata gendang tergantung dari kata yang mengikutinya. Misalnya (1)

gendang lima sendalanen, kata gendang di sini mengandung arti ensambel

musik tertentu, (2) gendang simalungun rayat, kata gendang mengandung arti

nama sebuah lagu, (3) gendang indung, kata gendang menunjukkan salah satu

Page 18: BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

35

jenis alat musik, (4) gendang guro-goro atau gendang kematian kata gendang

menjadi suatu upacara.

Kematian berasal dari kata ”mati” atau ”maut” yang artinya tidak ada,

gersang, tandus, kosong, berhenti, padam, buruk, kehilangan akal dan hati

nurani, serta lepasnya roh dari jasad. Dalam KBBI terbitan Balai Pustaka, kata

”mati” memiliki arti sudah tidak hidup lagi hilang nyawanya. Di pihak lain

pengertian mati yang sering dijumpai sehari-hari adalah (1) kemusnahan dan

kehilangan total roh dari jasad; (2) terputusnya antara roh dan badan, dan (3)

terhentinya budi daya manusia secara total (Yusuf, 2005: 55--56).

Kematian bagi manusia suatu hal biasa, tetapi bagi etnik Karo yang ada

di Sumatera Utara, kematian merupakan peristiwa penting. Manusia yang masih

hidup memiliki hubungan yang tak terpisahkan dengan roh orang yang sudah

meninggal dunia. Kematian bagi etnik Karo mendapat perhatian yang istimewa

dibandingkan dengan peristiwa lainnya. Etnik Karo sangat percaya pada

kehidupan baru pascakematian seseorang, bahkan roh orang yang meninggal

dunia diyakini masih berada di sekitar kehidupan mereka sampai ke anak cucu.

Hubungan dengan roh (pertendin) orang yang sudah meninggal dunia tersebut

terus dilestarikan dan diimplementasikan dalam berbagai ritual agar tidak

mengganggu kehidupan keluarga yang ditinggalkan. Bahkan, ritual yang

dilaksanakan diharapkan dapat membawa kebaikan bagi keluarga yang masih

hidup.

Page 19: BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

36

Upacara gendang kematian adalah salah satu kebiasaan yang tersusun

dengan urutan-urutan tertentu sebagai suatu ritual kematian yang terdapat pada

etnik Karo yang terdiri atas berbagai unsur (peristiwa) yang merupakan satu

kesatuan. Gendang kematian dalam hal ini terdiri atas lima unsur (peristiwa)

yang merupakan satu kesatuan, yaitu (1) gendang lima sendalanen (musik), (2)

landek (tari), (3) nuri-nuri (petuah), (4) ngandung (tangisan), dan (5) rende

(nyanyian).

Gendang Lima Sendalanen (sering juga disebut gendang telu sedalanen

lima sada perarih) merupakan ensambel musik yang paling dikenal dalam

khazanah musik tradisional Karo. Istilah gendang pada kasus ini dapat diartikan

dengan ”alat musik”, lima berarti ”lima” dan sendalanen berarti ”sejalan”.

Dengan demikian, gendang lima sendalanen mengandung pengertian ”lima

buah instrumen musik yang dimainkan secara bersama-sama”.

Berdasarkan jumlah alat musiknya, gendang lima sedalanen memang

terdiri atas lima buah alat musik, yaitu (1) sarunei, (2) gendang singindungi, (3)

gendang singanaki, (4) penganak, dan (5) gung. Tiap-tiap alat musik

dimainkan oleh seorang pemain dengan sebutan penarunei untuk pemain

sarunei, penggual untuk sebutan gendang singindungi dan gendang singanaki.

Lebih spesifik lagi, pemain gendang singindungi disebut penggual singindungi

dan pemain gendang singanaki disebut penggual singanaki. Orang yang

memainkan penganak disebut simalu penganak dan orang yang memainkan

gung disebut simalu gung. Ketika mereka bermain musik dalam suatu upacara

Page 20: BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

37

adat Karo, sebutan mereka menjadi satu, yaitu sierjabaten (yang memiliki

jabatan). Sebutan penggual dan penarune tetap melekat pada diri mereka

sepanjang masih beraktivitas dalam bidang musik, sementara sebutan

sierjabaten biasaya hanya muncul ketika mereka bermain dalam suatu konteks

upacara adat Karo.

Landek adalah menari secara berhadapan antara dua kelompok tertentu.

Konsep landek berhadap-hadapan dalam aktivitas menari Karo terbagi atas dua

bentuk, yaitu landek adat dan landek hiburan. Dalam landek adat, yang

berhadap-hadapan adalah kelompok sukut (kelompok sukut yang meninggal)

dengan salah satu pihak kekerabatan yang turut serta dalam upacara tersebut.

Dalam landek hiburan, yang landek berhadap-hadapan adalah kelompok

sunguda-nguda (wanita) dan kelompok anak perana (pria) yang dilakukan

dengan berpasang-pasangan. Tiap-tiap kelompok berjumlah persis sama,

sedangkan dalam landek adat (upacara kematian), tidak memperhatikan

kesamaan jumlah kedua kelompok.

Nuri-nuri adalah seseorang yang memberikan petuah-petuah, baik dari

kelompok yang mempunyai upacara maupun dari pihak kekerabatan yang turut

serta dalam upacara tersebut. Singerunggui (protokol) mengarahkan acara nuri-

nuri dengan sistem kekerabatan yang ada. Konsep nuri-nuri dalam konteks

gendang kematian umumnya tidak saja berbicara dengan keluarga yang

ditinggal, tetapi justru yang nuri-nuri memosisikan diri pada mayat yang

sedang diupacarai.

Page 21: BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

38

Ngandung adalah pengungkapan isi hati dengan cara menangis.

Ngandung dalam upacara gendang kematian adalah sebuah kewajiban yang

harus dilakukan pihak kelompok yang mempunyai hajatan. Ketika seseorang

nuri-nuri atau ngandung, kemudian pihak keluarga akan datang mendekat

sambil ngandung. Sukut dalam hal ini meratapi dan mengenang perilaku yang

meninggal ketika masih hidup dan terungkap dari keluarga yang ngandung.

Rende adalah bernyanyi, sedangkan perkolong-kolong adalah orang

yang bernyanyi. Dalam upacara gendang kematian lagu katoneng-katoneng

(teks lagu yang dinyanyikan secara spontan) diiringi gendang lima sedalanen

yang dinyanyikan oleh seorang perkolong-kolong. Dalam hal ini perkolong-

kolong sebagai media untuk menyampaikan pesan yang meninggal kepada

kerabatnya. Sebaliknya, pesan dari kerabat kepada keluarga yang ditinggal.

2.2.3 Etnik Karo

Kata etnik berakar dari kata ethnos (Yunani) mengandung pengertian

bangsa atau kelompok orang atau juga sebagai kelompok sosial yang dibalut

oleh konstruksi ras, adat istiadat, tradisi, bahasa, perangkat nilai, dan norma

budaya lainnya (Mbete, 2009: 16). Etnik atau kelompok etnik merupakan (1)

suatu kelompok sosial yang mempunyai tradisi kebudayaan dan sejarah yang

sama. Adanya kesamaan itu menjadi suatu identitas sebagai suatu subkelompok

dalam suatu masyarakat yang luas (bangsa). Kelompok etnik bisa memiliki

bahasa sendiri, agama, tradisi, dan adat istiadat yang berbeda dengan kelompok

Page 22: BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

39

yang lain; (2) suatu kelompok individu yang memiliki kebudayaan yang

berbeda, tetapi di antara anggotanya merasa memiliki semacam subkultur yang

sama; (3) suatu kelompok yang memiliki domain tertentu yang disebut ethnic

domain (Liliweri, 2005: 11--12).

Karo merupakan salah satu etnik yang terdapat di Provinsi Sumatera

Utara. Selain etnik Karo, etnik yang tergabung dalam wilayah ini adalah Toba,

Simalungun, Pak-pak Dairi, Mandailing, dan sebagainya. Setiap etnik memiliki

wilayah daerah setingkat kabupaten. Meskipun etnik Karo menempati satu

kabupaten yang disebut Kabupaten Karo, wilayah geografis budaya etnik Karo

memiliki beberapa wilayah komunitas tertentu di luar wilayah Kabupaten Karo.

Etnik Karo seperti halnya bangsa lain, juga mempunyai sistem

kekerabatan keluarga dengan membuat nama keluarga. Nama keluarga tersebut

dipertahankan dengan cara mencamtumkannya di belakang nama. Nama

keluarga ini disebut merga (untuk laki-laki) dan beru (untuk perempuan), yang

diwarisi secara turun-temurun berdasarkan patrilineal (garis keturunan

berdasarkan ayah), tetapi etnik Karo juga tidak mengabaikan garis keturunan

ibu. Hal ini terlihat dalam sistem kekerabatan yang nantinya dibahas dalam bab

selanjutnya. Untuk memahami sistem kekerabatan masyarakat Karo mau tidak

mau harus memahami sangkep nggeluh (kinship) pada merga silima karena

dalam setiap pelaksanaan adat istiadat yang berperan adalah sangkep nggeluh.

Pusat dari Sangkep nggeluh adalah sukut/sembuyak, yaitu pribadi atau

keluarga/merga tertentu yang dikelilingi oleh senina, anak beru, dan kalimbubu

Page 23: BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

40

nya. Dalam melaksanakan upacara adat tertentu, seperti perkawinan, kematian,

memasuki rumah baru, dan lain-lain sangkap nggeluh akan diketahui apabila

sudah jelas siapa sukut dalam upacara tersebut. Misalnya dalam perkawinan,

sukut adalah orang yang kawin dan orang tuanya, dalam acara adat kematian

sukut adalah janda atau duda dan anak dari yang meninggal (keluarga dari

orang yang meninggal). Dalam upacara memasuki rumah baru (mengket

rumah) sukut adalah pemilik rumah baru tersebut.

2.2.4 Era Globalisasi

Dalam konteks penelitian ini era diberikan arti sebagai suatu kurun

waktu, zaman, atau periode tertentu. Istilah globalisasi dari kata globe atau

global artinya dunia atau mendunia. Istilah globalisasi kemudian menjadi

fenomena oleh sebagian pakar dalam berbagai disiplin ilmu termasuk dalam

kajian budaya. Globalisasi dapat dimaknai dengan banyak pengertian dan

konteks yang berbeda-beda dari berbagai latar belakang konsep, definisi dan

menjadi bahan pembicaraan dalam ilmu-ilmu humaniora.

Sekarang ini globalisasi sudah berubah menjadi kata biasa dengan

berbagai konotasinya. Tampaknya globalisasi merupakan akibat perkembangan

dalam ekonomi dunia. Dalam hal itu, batas-batas negara—secara ekomomi—

makin pudar dan mungkin hilang sama sekali. Globalisasi adalah suatu proses,

bukan suatu pengertian yang statis. Globalisasi juga bukan sesuatu yang

otonomis terjadi. Ia lahir dari perilaku manusia dan gagasan-gagasan yang lahir

Page 24: BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

41

dari berbagai interaksi antarmanusia, antarmasyarakat, dan antarnegara, yang

pada abad ke dua puluh yang lalu dimulai dari bidang ekonomi (Hoed, 2008:

101).

Globalisasi telah menghadirkan perbedaan-perbedaan yang

meruntuhkan totalitas, kesatuan nilai kepercayaan. Budaya global ditandai oleh

integral budaya lokal ke dalam suatu tatanan global. Nilai-nilai kebudayaan luar

yang beragam menjadi basis dalam pembentukan sub-subkebudayaan yang

berdiri sendiri dengan kebebasan-kebebasan ekspresi. Globalisaasi yang

ditandai oleh perbedaan-perbedaan dalam kehidupan telah mendorong

pembentukan definisi baru tentang berbagai hal dan memunculkan praktik

kehidupan yang beragam. Berbagai dimensi kehidupan mengalamai redefinisi

dan diferensiasi terjadi secara meluas yang menunjuukkan sifat relatif suatu

praktik sosial (Abdullah, 2006: 107).

Sebenarnya globalisasi bukanlah sekadar soal ekonomi. Globalisasi

adalah gejala budaya, yakni terbentuknya dan tersebarnya ”kebudayaan dunia”

di berbagai negara. Itu merupakan suatu sistem budaya dunia yang menguasai

kita semua. Artinya, suatu kebudayaan baru sedang merebak dan melanda dunia

(Barker, 2006: 115—116; Hoed, 2008: 102).

Perkembangan teknologi komunikasi dan mekanisme pasar budaya

kapitalisme menyebabkan produksi, penyebaran, dan pemasaran barang-barang

budaya atau seni pertunjukan menjadi sulit dikontrol dalam batas negara-

bangsa. Globalisasi korporat atau sering juga disebut dengan globalisasi ”atas”

Page 25: BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

42

merupakan transnasionalisasi ideologi kapitalisme negara-negara maju yang

mengeroposi ketahanan-ketahanan lokal negara-negara dunia ketiga. Tesis

homogenisasi budaya menyatakan bahwa globalisasi kapitalisme konsumen

menghilangkan keragaman budaya. Tesis ini menekankan pada pertumbuhan

’kesamaan’ dan dugaan akan hilangnya otonomi budaya yang dikonsepsikan

sebagai bentuk imperalisme budaya (Barker, 2004: 117).

Gagasan tentang globalisasi mengandaikan adanya kesalingterhubungan

dan kesalingtergantungan semua kawasan global yang terjadi secara kurang

disengaja. Ini muncul sebagai praktik budaya yang tidak diarahkan kepada

integrasi global, tetapi yang menghasilkannya. Lebih penting lagi, efek dari

globalisasi adalah melemahnya koherensi budaya di semua negara individual,

termasuk negara-bangsa yang kuat secara ekonomi, kekuasaan imperialis masa

sebelumnya (Barker, 2004: 123, Piliang, 2011: 3).

Identitas yang stabil jarang dipertanyakan. Ia tampak alamiah dan

diterima begitu saja. Namun, ketika kealamiahan mulai terlihat pudar, kita

cenderung menelaah identitas-identitas ini dengan cara baru. Identitas begitu

banyak diperdebatkan ketika ia sedang mengalami krisis. Globalisasi

menyediakan konteks bagi krisis semacam itu karena dia telah meningkatkan

cakupan sumber dan sumber daya yang ada bagi konstruksi identitas. Pola-pola

gerakan penduduk dan permukiman yang telah ada sejak kolonialisme dan

tahun-tahun sesudahnya dikombinasikan dengan percepatan terkini globalisasi,

Page 26: BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

43

khususnya komunikasi elektronik memungkinkan semakin meningkatnya

perbenturan, pertemuan, dan percampuran antarbudaya (Barker, 2004: 206).

Globalisasi adalah koneksi global ekonomi, sosial, budaya, dan politik

yang semakin mengarah ke berbagai arah di seluruh penjuru dunia dan merasuk

ke dalam kesadaran kita atas mereka. Produksi global atas produk lokal dan

lokalisasi produk global diasosiasikan dengan institusi modernitas dan

penyempitan ruang dan waktu atau tenggelamnya dunia ini (Barker, 2004: 405).

Bagi etnik Karo, era globalisasi adalah suatu era yang telah mengalami

suatu proses perjalanan, sebagaimana fase-fase sejarah yang disebutkan oleh

Hood dan Barker dalam konsep globalisasi. Sejak masa lampau intensitas

kontak budaya dengan asing, hubungan etnik Karo dengan dunia luar terus

berlanjut. Sentuhan budaya global membawa pengaruh tidak saja pada seni dan

budaya, tetapi juga merambah pada berbagai sendi kehidupan orang Karo. Pola

kehidupam etnik Karo cenderung sekuler dan komersial, dalam bidang seni

bergeser dari sakral menjadi sekular dan manusia hidup cenderung individual,

seperti berlomba mengejar yang ditinggalkan dan meninggalkan yang

seharusnya dikejar. Hal ini memengaruhi jati diri, kepribadian, dan identitas

etnik Karo itu sendiri.

2.3 Landasan Teori

Sesuai dengan latar belakang permasalahan dan perumusan masalah di

atas, maka diperlukan konsep pemikiran yang dibangun untuk memberikan

Page 27: BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

44

jawaban penelitian. Konsep pemikiran tersebut merupakan landasan teori

untuk menggali berbagai aspek dalam subjek penelitian, yang meliputi wujud,

faktor-faktor, makna dan strategi pewarisan spiritualitas upacara gendang

kematian etnik Karo pada era globalisasi.

Ritzer (2003: 18--20) menunjukkan karakteristik postmodern sebagai

berikut. Pertama, postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang

diasosiasikan dengan modernitas. Kedua, postmodern cenderung menolak apa

yang dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, dan totalitas.

Ketiga, postmodern cenderung menggembar-gemborkan fenomena besar

pramodern, seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman

personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos,

sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik. Keempat, postmodern menolak

kecenderungan modern yang meletakkan batas antara hal-hal tertentu, seperti:

disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, serta image dan

realitas. Kelima, postmodern menolak gaya dikursus akademis modern yang

elite dan bernalar. Keenam, postmodern tidak memfokuskan pada inti (core)

masyarakat modern, tetapi mengkhususkan perhatian pada bagian tepi

(periphery).

Dalam kaitan ini Danesi berpendapat bahwa seni posmodern

mengemuka untuk menstabilisasi pandangan atas dunia yang rasional dan

logosentris, yang telah menguasai masyarakat Barat sejak Renaisans. Akan

tetapi, dengan membuat budaya barat makin mendekonstruksi sistem

Page 28: BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

45

kepercayaannya, posmodernisme sekaligus mencetuskan semacam pembaruan

spiritual dalam diri kita (Danesi, 2010: 251). Penggunaan teori kritis dan teori

posmodern dalam kajian budaya, sesuai dengan perjuangan pendirinya di

Inggris, seperti Hoggart dan Williams, yaitu melawan ketidakadilan yang ada

dalam masyarakat kapitalis (Lubis, 2006: 138). Salah satu karakteristik teori

kritis, teori posmodern, dan kajian budaya adalah peningkatan kondisi

kemanusiaan, emansipasi manusia, dan perbaikan sosial budaya yang

berkeadilan dan manusiawi agar lebih mencerahkan dan emansipatoris (Lubis,

2006; Agger, 2006).

Salah satu pola pikir postmodernisme adalah merevisi pemikiran

modernisme yang tidak selaras dengan perkembangan budaya masyarakat tanpa

menolaknya mentah-mentah, tetapi melakukan perbaikan di sana-sini yang

dinilai perlu (Sugiartha, 2012: 34). Berdasarkan pokok permasalahan wujud,

faktor-faktor, dan makna spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo

pada era globalisasi, teori dekonstruksi Jacques Derrida digunakan sebagai teori

utama untuk mengkaji permasalahan secara umum. Tiga tiga teori lainnya,

yaitu etnomusikologi, komodifikasi, dan semiotika, digunakan sebagai teori

pendukung.

2.3.1 Teori Dekonstruksi

Dekonstruksi adalah sebuah teori yang dikemukakan oleh Derrida, yang

merupakan kritik dan penolakan terhadap pemikiran strukturalis filsafat

Page 29: BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

46

modern. Kritik dan penolakan ini didasarakan pada beberapa fakta bahwa

modernisme gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan sebagaimana yang

diinginkan oleh pendukungnya. Dalam hal ini muncul kontradiksi antara teori

dan fakta dalam ilmu pengetahuan modern yang berimplikasi pada terjadinya

kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan otoritas. Di samping itu, ilmu-ilmu

modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan metafisik eksistensi

manusia karena terlalu menekankan pada atribut fisik individu (Santoso, 2009:

248).

Dekonstruksi dapat diartikan sebagai pengurangan atau penurunan

intensitas bentuk yang sudah tersusun sebagai bentuk yang sudah baku.

Dekonstruksi sering diartikan sebagai teori pembongkaran, perlucutan,

penghancuran, penolakan, dan berbagai istilah dalam kaitannya dengan

penyempurnaan arti semula. Tujuan akhir yang hendak dicapai oleh

dekonstruksi adalah penyusunan kembali ke dalam tatanan dan tataran yang

lebih signifikan, sesuai dengan hakikat objek sehingga aspek-aspek yang

dianalisis dapat dimanfaatkan secara maksimal. Dekonstruksi berusaha untuk

memberikan arti kepada kelompok yang lemah, yang selama ini kurang

diperhatikan, bahkan diabaikan sama sekali (Ratna, 2005: 251).

Dekonsruksi menurut Jacques Derrida, di dalam Of Grammatologi

(1993) adalah satu strategi intelektual dalam menghancurkan, meruntuhkan,

membongkar, menguak, atau meleburkan setiap jenis struktur (bahasa, ideologi,

ekonomi, politik, hukum, dan kebudayaan), yang selama ini (dipaksa untuk)

Page 30: BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

47

diterima sebagai satu ’kebenaran’ sehingga tidak menyisakan ruang bagi

pertanyaan, gugatan, atau kritikan. Struktur yang telah didekonstruksi tersebut

kemudian direkonstruksi kembali untuk menghasilkan struktur baru yang lebih

segar, lebih demokratis, lebih terbuka. Inilah sebetulnya hakikat dekonstruksi

(Piliang, 2003: 116--117).

Menurut Derrida, deconstruction merupakan prosedur dalam menyusun

suatu teks dengan “membongkar” teks-teks lain serta berupaya melebihi teks-

teks lain itu dengan menyampaikan sesuatu yang tidak dikatakan di dalam teks-

teks lain tersebut. Derrida mengemukakan bahwa “teks” atau tenunan

merupakan jaringan atau rajutan tanda dan arti asli kata “teks” yang berasal dari

kata latin textere, yang artinya menenun. Pada paham Derrida segala sesuatu

yang ada merupakan teks dan tidak ada sesuatu di luar teks. Jadi, menurut

Derrida kata “teks” mempunyai arti yang jauh lebih luas daripada arti yang

biasanya dikenal orang. Suatu teks tidak pernah terisolasi, tetapi selalu

berkaitan dengan teks-teks lain sehingga Derrida menemukan adanya

intertekstualitas. Dikatakan pula oleh Derrida bahwa menerjemahkan adalah

mengganti teks satu dengan teks yang lain dan terjemahan adalah transformasi

(Alfian dalam Waridi (ed), 2005: 86).

Pemahaman atas makna globalisasi adalah pemahaman atas suatu

struktur pikiran, yakni kata ”globalisasi” dengan ”makna” yang seolah-olah

sudah dianggap ”baku”. Padahal, menurut Derrida, dalam kehidupan sehari-hari

tanda merupakan sesuatu yang dinamis, yang berperikehidupan sendiri.

Page 31: BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

48

Menurut Derrida, makna itu dihasilkan dari suatu proses yang menghasilkan

makna yang berbeda-beda menurut setiap individu. Proses ini terjadi dengan

”penundaan” hubungan antara penanda (ekspresi) dan petanda (isi) yang

memungkinkan adanya pemaknaan baru yang berbeda dari satu individu ke

individu yang lain. Hasil proses seperti itu disebutnya differance. Intinya adalah

bahwa dekonstruksi merupakan suatu proses penafsiran yang sistematis oleh

setiap individu atau kelompok masyarakat tertentu (Hoed, 2008: 103).

Spiritualitas selalu didekonstruksi atau merupakan aktivitas interpretasi

atas interpretasi secara tanpa henti. Spiritualitas bukanlah aktivitas menafsirkan

sumber-sumber masa lalu (logos, Oidos, Tuhan, wahyu) dengan orientasi ke

belakang (retospektive), melainkan sebuah interpretasi ke depan (prospective).

Spiritualitas adalah sebuah proses penjelajahan tanda-tanda secara tanpa henti

melalui proses dekonstruksi oposisi biner antara sakral/profan,

transenden/imanen, tidak dalam rangka mencari ketetapan makna, tetapi

merayakan permainan-permainan dan dunia kemungkinan yang disediakannya

(Piliang, 2007: 173).

Dalam kaitan ini teori dekonstruksi digunakan sebagai teori utama

karena paradigma, konsep, dan cara kerjanya sesuai dengan wujud, faktor-

faktor, dan makna yang tersembunyi dalam spiritualitas upacara gendang

kematian etnik Karo pada era globalisasi dan didukung oleh teori-teori lain

secara eklektif. Agar kedalaman makna tidak tertangguh atau tertunda, maka

pemaknaan harus diulang dan dihasilkan kembali. Pencarian makna dilakukan

Page 32: BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

49

dengan pembongkaran sebagai proses secara terus-menerus. Melalui

dekonstruksi akan diperoleh segala sesuatu yang selama ini tidak mendapat

perhatian.

2.3.2 Teori Etnomusikologi

Istilah etnomusikologi berasal dari ethnomusicology (bahasa Inggris).

Ethnomusicology dibentuk dan berasal dari tiga kata, yaitu ”ethos”, ”mousike”,

dan ”logos” (bahsa Yunani); ethos berarti hidup bersama, yang kemudian

berkembang menjadi bangsa atau etnis, mosuike artinya musik, sedangkan

logos artinya bahasa atau ilmu. Tiga kata tersebut digabung menjadi

ethnomusicology atau etnomusikologi, artinya ilmu musik bangsa-bangsa

(Nakagawa, 2000: 1--2).

Istilah etnomusikologi pertama sekali dikemukakan oleh ahli musik

berkebangsaan Belanda bernama Jaap Kunst pada tahun 1950. Istilah ini

digunakan sebagai pengganti istilah sebelumnya, yaitu musikologi komparatif

yang memfokuskan kajian-kajian terhadap musik rakyat dari masyarakat

nonEropa dan musik yang diwariskan dengan tradisi lisan. Ilmu ini

dipopulerkan oleh Alan P. Merriam, Bruno Nettle, dan Mantle Hood

(Nakagawa, 2000: 1-2; Sugiartha, 2012: 41). Berbagai pandangan yang

dikemukakan oleh tokoh ini terkait dengan penyelamatan musik-musik timur,

musik rakyat, dan musik-musik dalam tradisi lisan. Upaya penyelamatan itu

dilakukan dengan mengedepankan isu-isu konseptual seperti asal mula musik,

Page 33: BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

50

perubahan musik, musik sebagai simbol universal, fungsi dan kegunaan musik

dalam masyarakat, perbandingan sistem musikal, dan dasar-dasar biologis

musik.

Etnomusikologi lahir dari semangat penolakan terhadap rasa superior

kebudayaan bangsa Barat yang merasa memiliki budaya musik yang lebih

tinggi. Di samping itu, menganggap musik Timur sebagai musik kuno, primitif,

dan tidak beradab karena tidak mempunyai sejarah, struktur, dan konsep, baik

musikal maupun sosial (Sugiartha, 2012: 41).

Menurut Merriam (1964: 33), etnomusikologi adalah sistem suara yang

selalu mempunyai struktur dan harus dipandang sebagai produk tingkah laku

yang menghasilkannya. Tingkah laku yang dimaksud, termasuk aspek-aspek

fisik, sosial, verbal, dan aspek belajar yang muncul dari konseptualisasi yang

mendasarinya. Karena musik tanpa konsep, tingkah laku tidak akan ada, dan

tanpa tingkah laku, suara musik tidak akan ada. Pernyataan ini mempunyai satu

implikasi pokok bahwa tujuan etnomusikologi adalah studi tentang musik, tidak

hanya mempelajari bunyi musik, tetapi juga bertujuan untuk mempelajari

materi yang menghasilkan bunyi musik.

Etnomusikologi mempunyai tugas pokok mengamati, mencari data,

menyiapkan perangkat analisis, dan membuat analisis tentang musik

sasarannya. Pokoknya melakukan penelitian, pencarian pengetahuan, dan teori

tentang musik tersebut. Mereka harus berada di lapangan dan bekerja dengan

narasumber dan melihat pertunjukan musik. Bila perlu, ikut memainkan musik

Page 34: BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

51

tersebut, menanyakan isu-isu yang relevan dengan penelitiannya, dan

berpartisipasi dengan kegiatan yang ada dalam masyarakatnya. Untuk itulah

kemampuan musikal diperlukan, yaitu dalam rangka mengikuti kegiatan

bermusik (bukan kegiatan bermasyarakat seperti apa adanya) dan

menggunakannya untuk keperluan mendapat data musikal (Santosa, 2007: 47;

Liembeng, 2009: 30).

Untuk menjelaskan musik harus disadari bahwa musik itu hidup dalam

masyarakat, musik dianggap sebagai cerminan sistem sosial atau sebaliknya.

Ketika kita pertama kali mengenal sebuah musik, biasanya kita mengamati

akustiknya, melodi (lagu), ritme, tempo, warna nada (tone colour), dan lain-

lain. Dalam hal ini kita diamati musik sebagai kejadian akustik saja. Dalam

studi etnomusikologi hal demikian tidak cukup, tetapi harus dihubungkan

dengan masalah kemasyarakatnnya. Kita dapat meneliti fungsi dan makna

musik itu dipelihara dalam masyarakat. Memang mencari struktur musik

menjadi tujuan utama peneliti, tetapi hal itu harus dihubungkan dengan struktur

sosial dan unsur-unsur kebudayaan yang lain yang ada di dalamnya, misalnya

masalah politik dan seni-seni yang lain. Pendek kata, objek penelitian bukan

semata-mata struktur musik itu sendiri, melainkan lebih luas lagi yang terkait

dengan teks dan konteks (Nakagawa, 2000: 6).

Teks berarti kejadian akustik, sedangkan konteks adalah suasana, yaitu

keadaan yang dibentuk oleh masyarakat pendukung musik tersebut. Kata teks

biasanya diterjemahkan dengan syair lagu. Dalam pembahasan ini bukan itu,

Page 35: BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

52

melainkan elemen-elemen yang lain, seperti bunyi, gerak, rupa, dan

sebagainya. Etnomusikologi menggunakan pengertian teks melalui analisis

konteks atau menghubungkan pengertian teks dengan konteks. Artinya, apabila

meneliti musik Sumatera dengan menganalisis strukturnya saja, itu bukan

kegiatan etnomusikologi. Kegiatan itu baru disebut kegiatan etnomusikologi

ketika kita menghubungkannya dengan unsur kebudayaan lain atau

menghubungkan teks dengan konteksnya (Nakagawa, 2000: 6--7).

Dalam penelitian ini teori etnomusikologi digunakan sebagai landasan

kajian wujud, makna dan strategi pewarisan spiritualitas upacara gendang

kematian etnik Karo pada era globalisasi yang berhubungan dengan wujud dan

makna bunyi, gerak, rupa, dan unsur-unsur lainnya. Analisis dalam penelitian

ini juga dilakukan dengan cara eklektik dengan teori pendukung yang lain.

2.3.3 Teori Komodifikasi

Komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme,

yaitu objek, kualitas, dan tanda berubah menjadi komoditas. Tampilan

permukaan barang-barang yang dijual di pasar mengaburkan asal usul

komoditas yang berasal dari hubungan eksploitatif yang disebut Marx dengan

fetisisme komoditas. Lebih jauh lagi, fakta bahwa para pekerja dihadapkan

dengan produk kerja mereka sendiri yang kini terpisah dari mereka

menimbulkan alienasi (Barker, 2004: 14).

Page 36: BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

53

Komodifikasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu yang sebelumnya

bukan komoditas, kemudian menjadi komoditas yang tujuan utamanya dapat

diperjualbelikan. Komodifikasi dipahami sebagai proses produksi komoditas

yang tidak hanya terbatas pada lingkup ekonomi yang sempit, yaitu penjualan

barang-barang kebutuhan hidup, tetapi juga mengacu pada rangkaian kegiatan

produksi, distribusi, dan konsumsi (Fairclough, 1985: 19). Selanjutanya,

menurut Kaunang, komodifikasi adalah menjadikan sesuatu secara langsung

dan sengaja, dengan penuh kesadaran dan penghitungan matang, sebagai

sebuah komoditas belaka. Dengan komodifikasi, setiap hal bisa menjadi produk

yang siap dijual, mulai dari benda-benda konkret sampai keabstrakan-

keabstrakan yang tersembunyi, dari kapal terbang sampai bagian-bagian tubuh

privat (Kaunang, 2010: 26).

Menurut Adorno (Piliang, 2003: 94--95), komodifikasi tidak saja

menunjuk pada barang-barang kebutuhan konsumerisme, tetapi juga telah

merambat ke bidang seni dan kebudayaan pada umumnya. Apa yang dilakukan

oleh masyarakat kapitalisme terhadap kebudayaan adalah menjadikannya patuh

pada hukum komoditas kapitalisme. Masyarakat seperti ini hanya menghasilkan

kebudayaan industri (culture industry) satu bentuk kebudayaan yang ditujukan

untuk massa dan produksinya berdasarkan mekanisme kekuasaan sang produser

dalam penentuan bentuk, gaya, dan maknanya. Perkembangan masyarakat

konsumen memengaruhi cara-cara pengungkapan nilai estetik. Perkembangan

tentang model konsumsi baru dalam konsep nilai estetik sangat penting karena

Page 37: BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

54

terjadi perubahan mendasar terhadap cara dan bentuk hasil produksi. Produsen

penghasil suatu produk dituntut kreativitasnya untuk merekayasa dan

menyesuaikan dengan selera pasar. Dalam membentuk masyarakat konsumen

yang mengarah pada budaya populer, setidaknya ada tiga kekuasaan yang

memengaruhinya, yaitu kekuasaan kapital, produser, dan media massa (Piliang,

1999:246).

Teori komodifikasi dalam disertasi ini digunakan sebagai pisau bedah

untuk menelaah rumusan masalah kedua, yaitu faktor-faktor yang

mempengaruhi upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi, yang

dikaitkan dengan teknologi, relasinya dengan kebutuhan untuk dikonsumsi

penduduk asli, dan kebudayaan-kebudayaan mereka sebagai suatu trend global

yang sedang berkembang sekarang. Dalam kaitan dengan tema penelitian ini,

upacara gendang kematian dengan berbagai peralatannya telah muncul menjadi

barang dagangan atau diperdagangkan dengan suatu jaringan antara elemen-

elemen yang berkepentingan. Di sini peralatan upacara tidak lagi dikerjakan

secara gotong royong seperti sebelumnya, tetapi muncul dalam bentuk-bentuk

jasa yang diperdagangkan. Terjadinya perubahan-perubahan dalam rumusan ini

tidak terlepas dari komodifikasi sebagai proses yang diasosiasikan dengan

kapitalisme, yaitu objek, kualitas, dan tanda berubah menjadi komoditas.

Analisis dalam penelitian ini menggunakan teori secara eklektik dengan teori

semiotik dan teori lainnya sebagai pisau analisis menuju pada validitas temuan.

Page 38: BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

55

2.3.4 Teori Semiotika

Semiotika menurut Berger memiliki dua tokoh, yakni Ferdinan de

Saussure (1857--1913) dan Charles Sander Pierce (1839--1914). Kedua tokoh

tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak mengenal

satu sama lain. Saussure di Eropa dan Pierce di Amerika Serikat. Latar

belakang keilmuan adalah linguistik, sedangkan Pierce filsafat. Saussure

menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi. Semiologi menurut Saussure

didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia

membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda harus ada di belakangnya

sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada

tanda di sana ada sistem (Sumbo, 2008: 11--12).

Menurut Saussure, tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak

dapat dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Di mana ada tanda di sana ada

sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua

aspek yang ditangkap oleh indra yang disebut dengan signifier, bidang penanda

atau bentuk, sedangkan aspek lainnya yang disebut signified, bidang petanda

atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung dalam aspek pertama. Jadi,

petanda merupakan kinsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama

(Sumbo, 2008: 11--13; Marianto, 2006:135--138).

Menurut Pierce, tanda ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang

lain dalam batas-batas tertentu. Tanda akan selalu mengacu ke sesuatu yang

lain, yang oleh Pierce disebut objek. Mengacu berarti mewakili atau

Page 39: BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

56

menggantikan. Tanda baru dapat berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak

penerima tanda melalui interpretant. Jadi, interpretant ialah pemahaman makna

yang muncul dalam diri penerima tanda. Artinya, tanda baru dapat berfungsi

sebagai tanda apabila dapat ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground,

yaitu pengetahuan tentang sistem tanda dalam suatu masyarakat. Hubungan

ketiga unsur yang dikemukkan Pierce terkenal dengan nama segi tiga semiotik

(Sumbo, 2008: 13--14).

Selanjutnya dikatakan bahwa tanda dalam hubungan dengan acuannya

dibedakan menjadi tanda yang dikenal dengan ikon, indeks, dan simbol. Ikon

adalah tanda antara tanda dan acuannya ada hubungan kemiripan dan biasa

disebut metafora. Contoh ikon adalah potret. Indeks adalah ada hubungan

kedekatan eksistensi. Contoh tanda panah penunjuk bahwa di sekitar tempat itu

ada bangunan tertentu. Simbol adalah tanda yang diakui keberadaannya

berdasarkan hukum konvensi. Contoh simbol adalah bahasa tulisan (Sumbo,

2008: 14).

Barthes mengemukakan teorinya tentang makna konotatif. Ia

berpendapat bahwa konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara

kerja tanda dalam tatanan pertandaan kedua. Konotasi menggambarkan

interaksi berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi

penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Ini terjadi tatkala makna bergerak

menuju subjektif atau setidaknya intersubjektif. Semua ini berlangsung ketika

Page 40: BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

57

interpretant dipengaruhi sama banyaknya oleh penafsir dan objek atau tanda

(Hoed, 2008: 76; Sumbo, 2008: 15).

Bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam

tatanan pertama. Penanda tatanan pertama merupakan tanda konotasi. Jika teori

ini dikaitkan dengan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada

era globalisasi, maka setiap pesan yang ada di dalamnya merupakan signifier

(lapisan ungkapan) dan signified (lapisan makna). Lewat unsur verbal dan

visual diperoleh dua tingkatan makna, yakni makna denotatif yang terdapat

pada semiosis tingkat pertama dan makna konotatif yang didapat dari semiosis

tingkat berikutnya. Pendekatan semiotika terletak pada tingkat signified, maka

pesan dapat dipahami secara utuh (Sumbo, 2008: 15). Munculnya berbagai tipe

perubahan pada spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era

globalisasi disebabkan oleh terjadinya perkembangan konsep tanda dalam

musik Karo.

Page 41: BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

58

2.4 Model Penelitian

Penelitian spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era

globalisasi sebagai kajian budaya (cultural studies) dapat digambarkan seperti

model penelitian berikut ini.

Gambar 2.1 Model Penelitian

Keterangan: : Menunjukkan hubungan saling memengaruhi

: Menujukkan pengaruh searah (dominasi/pembinaan)

: Menunjukkan harapan/tujuan penelitian

- Kristenisasi- Industri Budaya- Media Elektronik

Spiritualitas UpacaraGendang Kematian Etnik Karo

pada Era Globalisasi

Wujud SpiritualitasUpacara

Gendang KematianEtnik Karo

Faktor-faktor yangmemengaruhi

Spiritualitas UpacaraGendang Kematian

Etnik Karo

Makna Spiritualitasdan Strategi Pewarisan

UpacaraGendang Kematian

Etnik Karo

- Masyarakat Pendukung- Kreativitas

Seniman/Budayawan-

PenguatanSpiritualitas Etnik Karo

Budaya Lokal Budaya Global

Page 42: BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

59

Dalam Gambar 2.1 tampak bahwa budaya global dan budaya lokal

saling memengaruhi. Relasi budaya global dan budaya lokal secara langsung

berpengaruh kepada spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada

era globalisasi. Di satu sisi budaya lokal upacara gendang kematian berusaha

mempertahankan ketradisiannya dan berusaha menghadapi arus pengaruh

globalisasi yang sulit dibendung kekuatannya. Akan tetapi, di sisi yang berbeda

globalisasi dalam wujudnya kristenisasi, industri budaya, dan media elektronik

memainkan peran penting dalam perubahannya. Wujud, faktor-faktor, dan

makna merupakan harapan atau temuan penelitian. Gendang kematian adalah

upacara kematian yang dilaksanakan dalam hubungan dengan tradisi, ritual

dalam berbagai aspek kehidupan etnik Karo yang dalam perkembangannya

dipengaruhi faktor-faktor intern dan ekstern.

Globalisasi menjadi suatu petanda zaman baru, yang tidak bisa

dibendung ataupun ditolak yang mengakibatkan banyak aspek dalam kehidupan

sosial dan budaya masyarakat mengalami perubahan. Pergeseran budaya lokal

ke arus budaya globalisasi menjadikan spiritualitas upacara gendang kematian

etnik Karo pada era globalisasi mengalami bentuk dan makna-makna baru.

Globalisasi dengan berbagai wujud spiritualitas upacara gendang

kematian disebabkan oleh faktor ekstern dan intern. Faktor ekstern dengan arus

utama kebudayaan global terkait dengan faktor kristenisasi, industri budaya,

dan media elektronik merupakan agen budaya populer. Pengaruh faktor intern

dengan kebudayaan lokal, relasinya dengan faktor etnik Karo sebagai

Page 43: BAB II DAN MODEL PENELITIAN - sinta.unud.ac.id II.pdfditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan tersebut tidak terlepas dari pandangan etnik Karo sendiri yang menganggap

60

pendukung budaya gendang kematian, kreativitas seniman/budayawan dan

konstruksi identitas Karo.

Fenomena di atas dalam paradigma keilmun dianalisis kritis dengan

persperktif kajian budaya dengan berbagai konsep dan landasan teori untuk

menjawab rumusan masalah yang diteliti. Adapun masalah yang dimaksud,

yaitu (1) wujud spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era

globalisasi, (2) faktor-faktor yang memengaruhi spiritualitas upacara gendang

kematian etnik Karo pada era globalisasi, dan (3) makna spiritualitas dan

strategi pewarisan upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi.

Data dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan teori yang mendukung

untuk mengungkapkan realitas yang terjadi di lapangan dan relasinya dengan

spiritualitas upacara gendang kematian. Dengan metode dan metodologi yang

jelas dalam domain kajian budaya diharapkan dapat diperoleh temuan-temuan

baru guna kemandirian tradisi dan adat istiadat etnik Karo pada era globalisasi.