Top Banner
BAB II ALASAN-ALASAN MENGAPA PEMERINTAH PUSAT MELAKUKAN PEMBATALAN TERHADAP PERATURAN DAERAH A. Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Membentuk Peraturan Daerah 1. Peraturan Daerah Dalam Perspektif Hubungan Kekuasaan Pusat dan Daerah Dalam perspektif ketatanegaraan, dikenal adanya 2 (dua) bentuk pemencaran (pembagian) kekuasaan negara: yakni (1) pemencaran kekuasaan secara horizontal, dan (2) pemencaran secara vertikal. Pemencaran secara horizontal menunjukkan bahwa kekuasaan negara itu dibagi atas tiga cabang kekuasaan, yaitu: (a) kekuasaan legislatif, (b) kekuasaan eksekutif, dan (c) kekuasaan legislatif. 82 Sementara itu, pemencaran kekuasaan secara vertikal akan melahirkan pemerintah pusat dan daerah otonom yang memikul hak desentralisasi. Pentingnya pembangian kekuasaan secara vertikal, di samping pembagian secara horizontal, diakui oleh J.H. Waaren dengan pernyataannya sebagai berikut: “Above everything, however, Local Government is a fundamental institution because of its educative effect upon the mass of ordinary citizens”. 83 Berdasarkan uraian singkat tentang pemencaran kekuasaan secara vertikal tersebut dapat diketengahkan bahwa eksistensi otonomi dan desentralisasi itu berangkat dari pemerintah pusat. Pemencaran kekuasan vertikal demikian 82 Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah; Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah, (Bandung: Alumni, 2004), hlm. 12-16. 83 J.H. Warren (1952) The Local Government Service, (London: George Allen & Unwin Ltd, 19520), hlm. x. Lihat dalam Juanda, Ibid. hlm. 16. Universitas Sumatera Utara
29

BAB II ALASAN-ALASAN MENGAPA PEMERINTAH …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31395/3/Chapter II.pdf · 84 Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, ... lokal.

May 16, 2018

Download

Documents

dodiep
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB II ALASAN-ALASAN MENGAPA PEMERINTAH …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31395/3/Chapter II.pdf · 84 Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, ... lokal.

BAB II

ALASAN-ALASAN MENGAPA PEMERINTAH PUSAT MELAKUKAN PEMBATALAN TERHADAP PERATURAN

DAERAH

A. Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Membentuk Peraturan Daerah

1. Peraturan Daerah Dalam Perspektif Hubungan Kekuasaan Pusat dan Daerah

Dalam perspektif ketatanegaraan, dikenal adanya 2 (dua) bentuk pemencaran

(pembagian) kekuasaan negara: yakni (1) pemencaran kekuasaan secara horizontal,

dan (2) pemencaran secara vertikal. Pemencaran secara horizontal menunjukkan

bahwa kekuasaan negara itu dibagi atas tiga cabang kekuasaan, yaitu: (a) kekuasaan

legislatif, (b) kekuasaan eksekutif, dan (c) kekuasaan legislatif.82

Sementara itu, pemencaran kekuasaan secara vertikal akan melahirkan

pemerintah pusat dan daerah otonom yang memikul hak desentralisasi. Pentingnya

pembangian kekuasaan secara vertikal, di samping pembagian secara horizontal,

diakui oleh J.H. Waaren dengan pernyataannya sebagai berikut: “Above everything,

however, Local Government is a fundamental institution because of its educative

effect upon the mass of ordinary citizens”.

83

Berdasarkan uraian singkat tentang pemencaran kekuasaan secara vertikal

tersebut dapat diketengahkan bahwa eksistensi otonomi dan desentralisasi itu

berangkat dari pemerintah pusat. Pemencaran kekuasan vertikal demikian

82 Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah; Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah, (Bandung: Alumni, 2004), hlm. 12-16.

83 J.H. Warren (1952) The Local Government Service, (London: George Allen & Unwin Ltd, 19520), hlm. x. Lihat dalam Juanda, Ibid. hlm. 16.

Universitas Sumatera Utara

Page 2: BAB II ALASAN-ALASAN MENGAPA PEMERINTAH …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31395/3/Chapter II.pdf · 84 Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, ... lokal.

terimplementasikan karena dilandaskan pada prinsip demokrasi. Dalam perspektif

yang demikian, Moh. Mahfud MD menegaskan bahwa prinsip otonomi daerah dan

desentralisasi dalam hubungan kekuasaan (gezagverhouding) antara pemerintah pusat

dan daerah merupakan salah satu cara untuk mengimplementasikan prinsip

demokrasi. Maksudnya, prinsip demokrasi itu harus diimplementasikan melalui

pemencaran kekuasaan baik secara horizontal maupun secara vertikal.84

Di samping dilihat dari perspektif pemencaran kekuasaan yang vertikal

tersebut, adanya desentralisasi dan otonomi daerah dapat juga dipandang sebagai

bagian penting dari prinsip negara hukum. Hal ini dikarenakan dengan desentralisasi

dan otonomi daerah dengan sendirinya ada pembatasan kekuasaan seperti yang

dituntut dalam negara hukum dan penganut paham konstitusionalisme. Hal ini dapat

dikonfirmasi melalui ciri-ciri negara hukum, yang antara lain, menyebut adanya tiga

prinsip pokok, yaitu adanya Undang-Undang Dasar yang mengatur hubungan antara

pemerintah dan rakyatnya, adanya pembagian kekuasaan yang dapat menjamin

kemerdekaan kekuasaan kehakiman, dan adanya pemencaran kekuasaan negara dan

pemerintahan.

85

Para founding father yang merancang sistem ketatanegaraan menjelang

kemerdekaan Indonesia tahun 1945 juga telah memilih demokrasi sebagai salah satu

prinsip bernegara yang fundamental. Oleh karenanya, pemikiran tentang pemencaran

kekuasaan secara vertikal dalam bentuk desentralisasi dan otonomi daerah juga tidak

84 Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media, 1999), hlm. 185.

85 Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), hlm. 39.

Universitas Sumatera Utara

Page 3: BAB II ALASAN-ALASAN MENGAPA PEMERINTAH …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31395/3/Chapter II.pdf · 84 Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, ... lokal.

lepas dari perhatian mereka. Sebagai misal pemikiran Muhmmad Yamin bahwa di

dalam susunan negara demokratis diperlukan pemencaran kekuasaan bagian pusat

sendiri (horizontal) dan pemencaran kekuasaan antara pusat dan daerah (vertikal).

Dengan asas demokrasi dan desentralisasi jelas hal itu berlawanan dengan asas yang

hendak menghimpun segalanya pada pusat kekuasaan.86

Kaitan antara otonomi dengan demokrasi tersebut seperti yang dinyatakan

Soewargono bahwa filosofi, formulasi, dan implementasi otonomi daerah haruslah

berorientasi pada : (1) realisasi dan implementasi demokrasi, (2) realisasi

kemandirian secara nasional dan mengembangkan sensivitas kemandirian daerah, (3)

membiasakan daerah untuk mendewasakan diri dalam me-manage permasalahan dan

kepentingannya sendiri, (4) menyiapkan political schooling untuk masyarakat, (5)

menyediakan saluran bagi aspirasi dan partisipasi daerah, dan (6) membangun

efisiensi dan efektivitas.

87

Menurut Sunyoto Usman, demokrasi sebagai sistem politik dalam

kaitannnya dengan otonomi daerah sedikitnya bertumpu pada dua hal, yaitu: (1)

berkembangnya orientasi segenap institusi di daerah pada upaya untuk

memberdayakan masyarakat di daerah, dan (2) berkembangnya mekanisme checks

and balances di antara institusi-institusi di daerah tersebut. Orientasi dalam konteks

ini adalah arah kepada siapa mereka berpihak ketika menyusun dan

mengimplementasikan kebijakan. Manakala orientasi tersebut tidak berpihak pada

86 Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 145, sebagaimana dikutip oleh Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik… Op.Cit. hlm. 188-189.

87 Soewargono, The Local Government System in Indonesia, Makalah dalam Seminar On Financing Local Development, Kuala Lumpur, Malaysia, 1996, sebagaimana dikutip Moh. Mahfud MD (1999) Pergulatan Politik… Ibid. hlm. 188.

Universitas Sumatera Utara

Page 4: BAB II ALASAN-ALASAN MENGAPA PEMERINTAH …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31395/3/Chapter II.pdf · 84 Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, ... lokal.

kepentingan masyarakat atau untuk memberdayakan masyarakat, maka kebijakan

yang disusun akan bersifat elitis dan menyumbat proses demokratisasi di daerah.88

Sedangkan mekanisme checks and balances dalam hal ini adalah terkait dengan

seberapa jauh kebijakan yang disusun bersifat transparan, ada akuntabilitas publik,

dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Apabila checks and balances

tersebut lemah, maka demokrasi yang dibayangkan akan berkembang dengan

desentralisasi menjadi sulit diwujudkan.89

Selanjutnya, otonomi daerah adalah bagian dari politik desentralisasi. Dalam

perspektif hubungan antara pusat dan daerah, tujuan politik desentralisasi adalah

menciptakan hubungan yang lebih adil dan terbuka antara pemerintah pusat dengan

pemerintah daerah. Sementara itu, pemerintah daerah dengan melalui

desentralisasinya juga dimaksudkan untuk melakukan demokratitasi pemerintahan

lokal. Oleh karenanya, desentralisasi harus diterapkan dengan cara-cara yang

menjunjung tinggi nilai-nilai hakiki demokrasi.

90

Dengan demikian, antara otonomi daerah dan desentralisasi dengan demokrasi

tidak dapat dipisahkan. Sebab, esensi otonomi daerah itu sendiri tidak lain adalah

demokratisasi atau bertaut erat dengan ekspresi nilai-nilai demokrasi.

91

88 Sunyoto Usman, Otonomi Daerah, Desentralisasi dan Demokratisasi, dalam Edy Suardi Hamid dan Sobirin Malian, Memperkokoh Otonomi Daerah, Kebijakan, Evaluasi dan Saran, (Yogyakarta: UII Press, 2004), hlm. 114-115.

M. Ryass Rasyid,

89 Ibid. 90 Tim Simpul Demokrasi, Reformasi Birokrasi dan Demokratisasi Kebijakan Publik,

(Malang: PLaCID’s Averroes dan Averroes Press, 2006), hlm. 144. 91 Abdur Rozaki, Memperkuat Kapasitas Desa dalam Membangun Otonomi, Naskah

Akademik dan Legal Drafting, (Yogyakarta: IRE Press, 2004), hlm. 3, Lihat juga dalam Suryo Adi Pramono, Eksperimentasi Model Perencanaan Pembangunan Partisipatif dalam Konteks Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah, Studi Kasus Peran IPGI di Surakarta, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005), hlm. 282.

Universitas Sumatera Utara

Page 5: BAB II ALASAN-ALASAN MENGAPA PEMERINTAH …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31395/3/Chapter II.pdf · 84 Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, ... lokal.

sebagai tokoh terpenting dibalik lahirnya Undang-Undang Pemerintahan Daerah, juga

menegaskan bahwa salah satu sendi utama diterbitkannya otonomi adalah untuk

membantu menciptakan tercapainya prinsip pemerintahan yang demokratis dengan

menjamin partisipasi, kesetaraan, dan keadilan yang lebih besar.92

Terkait dengan hal tersebut, maka keberadaan Perda dalam otonomi daerah

sangat penting artinya, sebab Perda merupakan konsekuensi logis dari wewenang

daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

93 Dengan demikian,

Perda merupakan conditio sine quanon (syarat mutlak/syarat absolut) dalam rangka

melaksanakan kewenangan otonomi daerah tersebut. Ada dua hal yang terjalin antara

Perda dengan otonomi daerah, yaitu: (1) Perda harus dijadikan pedoman bagi daerah

otonom dalam melaksanakan semua urusan-urusan daerah, dan (2) Perda juga harus

dapat memberikan perlindungan hukum bagi rakyat daerah.94

Sebelum UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diamandemen,

masalah kewenangan daerah untuk membentuk Perda ini tidak diatur. Setelah UUD

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diamandemen, baru diatur tentang

kewenangan pemerintah daerah dalam membentuk Perda, yakni berdasarkan pada

Pasal 18 Ayat (6) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (amandemen) yang

berbunyi: “Pemerintahan Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-

92 M. Mas’ud Said, Arah Baru Otonomi Daerah Di Indonesia, (Malang: UMM Press, 2005), hlm. 76, yang dikutip dari M. Ryass Rasyid, The Policy of Decentralization in Indonesia, Makalah disampaikan dalam USINDO Open Forum bertema “Decentralization Revisited: Indonesia’s Experiment in Regional Autonomy”, 10 Juli 2002 di Amerika Serikat.

93 Buchari Zaenun, Administrasi dan Manajemen Pemerintah Negara Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Haji Mas Agung, 1990), hlm. 5.

94 Mahendra Putra Kurnia, Pedoman Naskah Akademik (Urgensi, Strategi, dan Proses Bagi Pembentukan Perda yang Baik), (Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2007), hlm. 18.

Universitas Sumatera Utara

Page 6: BAB II ALASAN-ALASAN MENGAPA PEMERINTAH …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31395/3/Chapter II.pdf · 84 Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, ... lokal.

peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Berdasarkan

rumusan Pasal 18 Ayat (6) ini dapat diketengahkan bahwa dalam hal menetapkan

Perda itu bukan merupakan kewajiban daerah, namun merupakan hak dari

pemerintahan daerah. Karena merupakan sebuah hak hukum, maka pelaksanaannya

tergantung pada daerah yang bersangkutan.

Perda sebagai salah satu wujud dari kebijakan daerah yang cukup penting itu

kemudian ditegaskan dalam Penjelasan angka 7 Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa: “Penyelenggaraan pemerintahan daerah

dalam melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan tanggung jawabnya serta atas

kuasa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat menetapkan kebijakan

daerah yang dirumuskan antara lain dalam peraturan daerah, peraturan kepala daerah,

dan ketentuan daerah lainnya”.

Dengan demikian, Perda pada dasarnya merupakan salah satu bingkai

hukum atas rumusan kebijakan publik di tingkat daerah. Oleh karena hanya

merupakan “salah satu” bingkai hukum, maka hal ini bermakna bahwa tidak semua

rumusan kebijakan daerah harus ditempatkan dalam Perda, namun juga bisa dibingkai

dalam peraturan-peraturan lain, seperti peraturan kepala daerah dan keputusan kepala

daerah. Perda, peraturan kepala daerah, dan keputusan kepala daerah tersebut

menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur

Penyusunan Produk Hukum Daerah termasuk dalam pengertian produk hukum

daerah (locale wet).

Dalam sistem negara kesatuan Indoinesia, menurut Jimly Asshiddiqie,

kekuatan berlakunya Perda (yang setara dengan locale wet) yang dibentuk oleh

Universitas Sumatera Utara

Page 7: BAB II ALASAN-ALASAN MENGAPA PEMERINTAH …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31395/3/Chapter II.pdf · 84 Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, ... lokal.

lembaga legislatif lokal tersebut adalah hanya dalam lingkup wilayah kesatuan

pemerintahan lokal (pemerintahan daerah) tertentu saja. Hal ini agak sedikit berbeda

dengan locale wet dalam lingkungan negara federal, di mana undang-undang lokal

tersebut dibentuk dan berlaku di negara bagian sebagai bentuk local legislation.95

Meski masing-masing daerah otonom memiliki kewenangan untuk

membentuk Perda, namun pembentukan Perda tidak dapat dilakukan sesuka hati

daerah yang bersangkutan. Ada rambu-rambu hukum tertentu dari Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 yang harus dipenuhi dalam pembentukan Perda, yang jika

rambu-rambu tersebut dilanggar akan menyebabkan suatu Perda bisa dibatalkan atau

dimintakan pembatalan. Rambu-rambu tersebut termaktub dalam Pasal 136 Ayat (4)

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang berbunyi: “Perda sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”.

Rumusan Pasal 136 Ayat (4) tersebut berimplikasi pada adanya kontrol

(pengawasan) terhadap Perda. Ada dua jalur pengawasan terhadap Perda agar tetap

sesuai dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi, yakni pengawasan melalui jalur eksekutif (executive review) dan pengawasan

melalui jalur yudikatif (judicial review). Pengawasan melalui jalur eksekutif

dilakukan oleh Presiden melalui Menteri terkait maupun oleh Gubernur.

Executive review dilakukan secara preventif dan secara represif. Ini artinya

pengawasan terhadap Perda dilaksanakan sebelum dan sesudah Perda disahkan.

95 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 24.

Universitas Sumatera Utara

Page 8: BAB II ALASAN-ALASAN MENGAPA PEMERINTAH …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31395/3/Chapter II.pdf · 84 Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, ... lokal.

Pengawasan secara preventif dilaksanakan melalui instrumen hukum yang disebut

dengan “evaluasi” terhadap 4 (empat) jenis Rancangan Peraturan Daerah (Raperda)

yaitu : Raperda APBD, Raperda tentang Pajak Daerah, Raperda tentang Retribusi

Daerah, dan Raperda tentang Tata Ruang Daerah. Yang mengevaluasi Raperda

Provinsi adalah Menteri Dalam Negeri (Mendagri), sedangkan yang mengevaluasi

Raperda Kabupaten/Kota adalah Gubernur (Penjelasan Angka 9 Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004). Setelah dilakukan evaluasi, barulah Raperda tersebut dapat

disahkan menjadi Perda.

Pengawasan secara represif dilakukan terhadap Perda di luar empat jenis

Perda tersebut (biasanya lazim disebut dengan Perda Umum) yang sudah ditetapkan,

melalui instrumen hukum yang namanya “klarifikasi” yang bias berakibat pada

pembatalan Perda. Maksudnya, Perda ditetapkan terlebih dahulu, setelah itu baru

disampaikan ke Mendagri untuk Perda Provinsi, dan ke Gubernur untuk Perda

Kabupaten/Kota untuk memperoleh klarifikasi. Terhadap Perda yang bertentangan

dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,

maka Presiden dengan Peraturan Presiden (Perpres) dapat membatalkan Perda yang

bersangkutan (Pasal 145 jo Penjelasan Angka 9 Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004). Jika Presiden tidak mengeluarkan Perpres dalam waktu 60 (enam puluh) hari

setelah Perda disampaikan kepadanya, maka Perda tersebut secara otomatis berlaku

(Pasal 145 Ayat 7 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004).

Dalam hal pengawasan melalui jalur judikatif atas Perda dilakukan melalui

judicial review (uji materi) ke Mahkamah Agung (MA) yang bisa diajukan oleh

masyarakat atau pihak-pihak lain yang berkepentingan. Judicial review ini mengacu

Universitas Sumatera Utara

Page 9: BAB II ALASAN-ALASAN MENGAPA PEMERINTAH …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31395/3/Chapter II.pdf · 84 Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, ... lokal.

pada kesesuaian antara peraturan peruandang-udangan yang lebih rendah terhadap

perarturan perundang-undangan yang lebih tinggi sesuai dengan hierarkinya.

Menurut Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, hierarki peraturan perundang-

undangan adalah sebagai berikut: (1) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945;

(2) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu); (3)

Peraturan Pemerintah (PP); (4) Peraturan Presiden (Perpres); (5) Peraturan Daerah:

Perda Provinsi, Perda Kabupaten/Kota, Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat.

Jadi, judicial review ini tidak dapat digunakan masyarakat untuk menguji apakah

Perda bertentangan dengan kepentingan umum.

Kendatipun ada peluang hukum bahwa suatu Perda dapat dibatalkan, namun

menurut Bagir Manan, kedudukan Perda relatif kuat, sehingga tidak semua Perda

yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dapat dibatalkan melalui

judicial review, kecuali bertentangan dengan UUD Tahun 1945 atau UU/Perpu. Jika

Perda bertentangan dengan PP atau Perpres, bisa saja tetap berlaku sementara yang

dibatalkan adalah PP atau Perpres yang bersangkutan, dikarenakan PP atau Perpres

tersebut mengatur masalah yang oleh undang-undang telah diserahkan sebagai urusan

daerah, seperti otonomi dan tugas pembantuan. Hal ini disebabkan PP atau Perpres itu

mengandung ultra vires (mengatur hal-hal yang di luar kewenangannya).96

96 Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, (Jakarta: LP3ES, 2006), hlm. 242-244.

Universitas Sumatera Utara

Page 10: BAB II ALASAN-ALASAN MENGAPA PEMERINTAH …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31395/3/Chapter II.pdf · 84 Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, ... lokal.

2. Pembentukan Peraturan Daerah Dalam Perspektif Demokrasi

Pembentukan Perda sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan di

Indonesia- untuk saat ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2004. Pengertian pembentukan peraturan perundang-undangan (termasuk

juga pembentukan Perda) menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 10

Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah “proses

pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari

perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan,

pengundangan, dan penyebarluasan”.

Sebagai salah satu bingkai kebijakan daerah, menurut Pasal 136 Ayat (2) dan

Ayat (3), Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas

pembantuan yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.

Ketentuan demikian ini selaras dengan rumusan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 10

Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang

menyebutkan bahwa materi muatan dalam Perda yang dibentuk DPRD dan Kepala

Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah

dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih

lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Orientasi normatif kepentingan dalam pembentukan Perda adalah untuk

meningkatkan derajat kesejahteraan masyarakat. Hal ini tercermin dalam Alinea 1

Penjelasan Huruf b Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang di antaranya

Universitas Sumatera Utara

Page 11: BAB II ALASAN-ALASAN MENGAPA PEMERINTAH …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31395/3/Chapter II.pdf · 84 Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, ... lokal.

menyebutkan bahwa “Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah

untuk member pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan

masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat”. Dengan

penjelasan ini dapat diketengahkan bahwa secara yuridis masing-masing daerah

diberi keleluasaan untuk berimprovisasi dan berinovasi dalam membuat Perda yang

tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan publik di masing-masing daerah.

Atas dasar penelaahan yang demikian itu pada akhirnya muncul suatu

pemahaman bahwa dalam pembentukan Perda itu niscaya bersandar pada prinsip-

prinsip demokrasi. Dengan demikian, manakala hal itu diletakkan dan dikaji dari

perspektif demokrasi, maka proses pembentukan Perda setidaktidaknya harus

bersandar pada prinsip-prinsip demokrasi seperti : diimplementasikan asas

keterbukaan (openness principle), dihormatinya hak-hak kaum minoritas, terbukanya

ruang publik secara luas sehingga publik dapat berpartisipasi dalam proses tersebut,

terjaminnya aspirasi publik dalam rumusan Perda, dan sebagainya.

Pada dasarnya, fungsi membentuk Perda (legislasi Perda) ada pada DPRD.

Hal itu sesuai dengan rumusan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang

berbunyi: “DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan”. Rumusan

yang menempatkan fungsi legislasi disebut lebih dahulu dibanding dengan fungsi

DPRD lainnya tersebut menunjukkan bahwa fungsi legislasi merupakan fungsi utama

dari lembaga perwakilan daerah. Penjabaran dari fungsi legislasi ini ditindaklanjuti

dengan Pasal 42 Ayat (1) a. yang merumuskan bahwa DPRD mempunyai tugas dan

wewenang untuk membentuk Perda yang dibahas dengan kepala daerah untuk

mendapat persetujuan bersama. Pasal 7 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun

Universitas Sumatera Utara

Page 12: BAB II ALASAN-ALASAN MENGAPA PEMERINTAH …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31395/3/Chapter II.pdf · 84 Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, ... lokal.

2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga merumuskan bahwa

Perda dibuat oleh DPRD bersama kepala daerah (gubernur/bupati/walikota).

Ketentuan tersebut menunjukkan fakta normatif bahwa meski fungsi legislasi Perda

ada pada DPRD, namun fungsi ini tidak dapat diimplemetasikan secara mandiri oleh

DPRD. Fungsi legislasi Perda dijalankan secara bersama-sama oleh DPRD dengan

kepala daerah.

Walaupun fungsi legislasi hanya ada pada elite legislatif daerah dan

eksekutif daerah, namum Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan maupun Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah telah merumuskan prinsip dasar

demokrasi partisipatoris dalam proses pembentukan Perda. Hal ini terlihat dengan

dirumuskannya “asas keterbukaan”, “publikasi”, maupun “partisipasi masyarakat”

dalam proses pembentukan Perda dalam kedua peraturan tersebut. Asas keterbukaan

ini dirumuskan dalam Pasal 5 Huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang intinya menegaskan

bahwa dalam legislasi Perda harus bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian

seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk

memberikan masukan dalam proses pembuatan Perda.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juga

mengkonstatasi asas yang dapat dikatakan menunjang demokratisasi dalam legislasi

Perda, yakni “asas dapat dilaksanakan” dan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan”.

Penjelasan Pasal 5 Huruf (d) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang

Universitas Sumatera Utara

Page 13: BAB II ALASAN-ALASAN MENGAPA PEMERINTAH …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31395/3/Chapter II.pdf · 84 Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, ... lokal.

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan merumuskan: Yang dimaksud dengan

asas “dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-

udangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut

di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis. Sedangkan

Pasal 5 Huruf e merumuskan: Yang dimaksud dengan asas “kedayagunaan dan

kehasilgunaan” adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena

memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Terhadap asas-asas tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut melalui

ketentuan tentang publikasi dan partisipasi publik dalam proses pembentukan Perda.

Publikasi (penyebarluasan) dilakukan ketika Perda masih dalam bentuk draf

rancangan Perda (Raperda). Hal ini dapat dilihat pada rumusan Pasal 30 Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan dan Pasal 142 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menentukan

bahwa: (1) penyebarluasan Raperda yang berasal dari DPRD dilaksanakan oleh

sekretariat DPRD, dan (2) penyebarluasan Raperda yang berasal dari kepala daerah

dilaksanakan oleh sekretariat daerah.

Ketentuan tentang partisipasi politik dalam proses pembentukan Perda dapat

dilihat dari Pasal 53 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan dan Pasal 139 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 yang merumuskan bahwa “masyarakat berhak memberikan masukan”

secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Raparda. Dalam

penjelasan Pasal tersebut dirumuskan bahwa hak masyarakat untuk berpartisipasi

Universitas Sumatera Utara

Page 14: BAB II ALASAN-ALASAN MENGAPA PEMERINTAH …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31395/3/Chapter II.pdf · 84 Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, ... lokal.

dalam proses pembentukan Perda tersebut dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata

Tertib (Tatib) DPRD. Dengan demikian, eksistensi dari hak masyarakat untuk

berpartisipasi dalam proses pembentukan Perda sangat tergantung pada bagaimana

Tatib DPRD merumuskan hak tersebut.

Pembentukan Perda yang bersandar pada prinsip-prinsip demokrasi sudah

sepatutnya merupakan keniscayaan setiap daerah. Hal ini dikarenakan otonomi

daerah yang menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diselenggarakan

dengan menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya bergandeng erat dengan

prinsip-prinsip demokrasi. Hal itu menjadi sangat jelas manakala dilihat pada

rumusan Alinea ke-3 Penjelasan Huruf b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

yang di antaranya menyebutkan bahwa : “Seiring dengan prinsip itu penyelenggaraan

otonomi daerah harus berorientasi pada peningkatan kesejahteraan dengan selalu

memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat”.

Dengan demikian, setiap daerah yang sedang melakukan pembentukan Perda

dalam perspektif demokrasi niscaya selalu bersandar pada prinsip kepentingan dan

aspirasi masyarakat. Hal ini hanya bisa terwujud apabila asas keterbukaan

diimplementasikan, yang pada gilirannya akan membuka akses yang cukup luas dan

lebih besar kepada masyarakat sipil (civil society) untuk berpartisipasi baik pada

setiap proses pengambilan keputusan publik di daerah termasuk juga dalam setiap

proses pembentukan Perda. Jadi, secara normatif Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan maupun Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 telah meletakkan prinsip-prinsip demokrasi partisipatif dalam

proses pembentukan Perda.

Universitas Sumatera Utara

Page 15: BAB II ALASAN-ALASAN MENGAPA PEMERINTAH …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31395/3/Chapter II.pdf · 84 Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, ... lokal.

3. Peraturan Daerah Sebagai Produk Legislasi Daerah

Perda merupakan bagian integral dari konsep peraturan perundang-undangan.

Dalam kepustakaan Belanda peraturan perundang-undangan dikategorikan sebagai

“wet in materiele zin” atau undang-undang dalam arti material (luas), sedangkan

“wet in formele zin” adalah undang-undang dalam arti formal.97 Undang-undang

dalam arti material atau lazim disebut dengan istilah “algemeen verbidende

voorschrift” ialah peraturan hukum tertulis yang mengikat secara umum, meliputi:

“de supra-nationale algemeen verbidende voorschriften, wet, AMVB, de mineteriele

verordeningen, de gemeentelike raadverordeningen, de provinciale staten

verordeningen”.98

Apabila dikaitkan dengan konsep negara hukum, maka eksistensi peraturan

perundang-undangan merupakan salah satu unsur fundamental bagi penyelenggaraan

pemerintahan negara berdasarkan atas hukum. Hal itu tercermin dari konsep Friedrich

Julius Stahl

Di Indonesia, bentuk-bentuk “wet in materile zin” telah ditetapkan

berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan.

99 dan Zippelius.100

97 Bagir Manan, Fungsi dan Materi Peraturan Perundang-undangan, (Jakarta: Makalah, 1994), hlm. 2.

Bedanya, jika Stahl menempatkan “penyelenggaraan

pemerintahan menurut undang-undang (wetmatig bestuur)” pada elemen yang ketiga

dari konsep negara hukum, sebaliknya Zippelius menempatkannya pada unsur

98 Ibid., hlm. 12. 99 Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya. Dilihat

dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Disertasi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 73.

100 A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I – Perlita IV, (Jakarta: Disertasi Universitas Indoensia, 1990), hlm. 311.

Universitas Sumatera Utara

Page 16: BAB II ALASAN-ALASAN MENGAPA PEMERINTAH …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31395/3/Chapter II.pdf · 84 Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, ... lokal.

pertama dengan pengertian yang agak luas, ialah “penyelenggaraan pemerintahan me-

nurut hukum (rechtsmatig bestuur)”.

Dalam negara hukum yang demokratis, asas pemisahan kekuasaan

(separation of power) yang kemudian berkembang menjadi asas pembagian

kekuasaan (division of power) dapat diterapkan secara vertikal dan horisontal.

Pembagian kekuasaan vertikal yang antara lain meliputi pembagian kekuasaan

teritorial (teritorial division of power) merupakan pembagian kekuasaan menurut

tingkatan pemerintahan. Pembagian kekuasaan secara vertikal ini menimbulkan

kekuasaan yang tidak sederajat antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Pembagian Kekuasaan secara horisontal merupakan pembagian kekuasaan menurut

fungsinya. Pembagian ini menunjukkan pembedaan antara fungsi pemerintahan yang

bersifat legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang (rule making function);

kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang (rule application

function); kekuasaan yudisial atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-un-

dang (rule adjudication function). Pembagian kekuasaan (division of power) di atas

disebut dengan Trias Politika yang menimbulkan kekuasaan-kekuasaan yang

sederajat di tingkat pusat.

Pembagian kekuasaan merupakan unsur penting dalam negara hukum yang

demokratis. Dengan adanya pembagian kekuasaan, kesewenang-wenangan

pemerintah dapat dicegah. Dengan pembagian kekuasaan, dapat dibendung

kecenderungan lembaga-lembaga kenegaraan untuk melampaui batas kekuasaannya,

paling tidak kecenderungan tersebut dapat diminimalisir, karena pembagian

kekuasaan pada dasarnya dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pemusatan

Universitas Sumatera Utara

Page 17: BAB II ALASAN-ALASAN MENGAPA PEMERINTAH …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31395/3/Chapter II.pdf · 84 Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, ... lokal.

kekuasaan dalam satu tangan. Berkait dengan hal tersebut, Sir W. Ivor Jennings

mengemukakan: “In the democratic countries the doctrine has been the subject of

analysis for well over a hundred years. The dangers of unified control, whether it is

called tyranny, despotism, leadership, or true liberty, are not denied. It is true also,

as a matter of constitutional analysis, that in democatic States the tripartite division

exists This in itself creates a division of power or functions.101

Selanjutnya telah disebutkan bahwa kekuasaan legislatif adalah merupakan

kekuasaan membuat undang-undang (rule making function), hal ini juga

dikemukakan oleh Sir W. Ivor Jennings

Oleh karena itu dalam

negara hukum yang demokratis pembagian kekuasaan merupakan suatu keniscayaan.

102 sebagai berikut: “The most obvious

function of parliament is to enact general laws”. Ia juga menambahkan “Nor is there

anything to prevent parliament from enacting special legislation for particular

individuals”. Dengan demikian, fungsi parlemen atau badan legislatif di samping

membuat hukum umum, juga membuat undang-undang yang khusus untuk individu

tertentu. Adapun yang membedakan legislasi yang dibuat oleh parlemen adalah dari

segi prosedur dan bentuknya. Berkait dengan hal ini Sir Ivor Jennings mengemu-

kakan “In general, all state Legislatures follow a similar procedure for passing bills

into laws. In addition, the ways their committees are structured and the roles the

political parties play in organizing the Legislatures closely resemble the pattern

found in Congress”.103

101 Sir W. Ivor Jennings , The Law and The Constitutions, (Works Wicle Square London: University of London Press, 1960), hlm. 281.

102 Ibid., hlm. 282-283. 103 Ibid., hlm. 283-284.

Universitas Sumatera Utara

Page 18: BAB II ALASAN-ALASAN MENGAPA PEMERINTAH …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31395/3/Chapter II.pdf · 84 Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, ... lokal.

Kemudian berkaitan dengan wewenang legislatif, C.F. Strong seperti yang

dikutip oleh Miriam Budiardjo,104

Selain itu Maria Farida Indrati Soeprapto,

menyatakan bahwa negara kesatuan ialah bentuk

negara di mana wewenang legislatif tertinggi dipusatkan dalam suatu badan legislatif

nasional/pusat. Kekuasaan terletak pada Pemerintah Pusat dan tidak pada Pemerintah

Daerah, Pemerintah Pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian

kekuasaannya kepada Daerah berdasarkan hak otonomi (negara kesatuan dengan

sistem desentralisasi), tetapi pada tahap terakhir kekuasaan tertinggi tetap di tangan

Pemerintah Pusat. Dengan demikian, yang menjadi hakekat negara kesatuan ialah

bahwa kedaulatannya tidak terbagi, atau dengan perkataan lain, kekuasaan

Pemerintah Pusat tidak dibatasi. Oleh karena itu konstitusi negara kesatuan tidak

mengakui badan Legislatif lain, selain dari badan legislatif pusat. Jadi adanya

kewenangan untuk membuat peraturan bagi daerahnya sendiri tidaklah berarti bahwa

Pemerintah Daerah berdaulat, sebab pengawasan dan kekuasaan tertinggi masih tetap

terletak di tangan Pemerintah Pusat.

105

104 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (PT. Gramedia: Jakarta, 1977), hlm. 140.

membagi secara langsung jenis

peraturan perundang-undangan atas peraturan Perundang-undangan di tingkat pusat

dan perundang-undangan di tingkat daerah. Jika dianalisis, maka pemikiran Maria

tidak didasarkan pada isi, tetapi pada bentuk dan tingkat kewenangan pembentuk

perundang-undangan. Kemudian dalam kamus Black’s Law Dictionary, perundang-

undangan dibedakan antara “legislation dan regulation”. Legislation lebih diberi

makna sebagai pembentukan hukum melalui lembaga Legislasi (the making of laws

105 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan, Dasar-Dasar dan Pembentukannya, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 91-92.

Universitas Sumatera Utara

Page 19: BAB II ALASAN-ALASAN MENGAPA PEMERINTAH …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31395/3/Chapter II.pdf · 84 Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, ... lokal.

via Legislation).106 Regulation diberi pengertian aturan atau ketertiban yang

dipaksakan melalui ketentuan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah melalui

wewenang eksekutif (rule or order having force of law issued by executive authority

of government).107

Dari berbagai macam teori tersebut di atas, pendapat Maria Farida Indrati

Soeprapto yang membagi peraturan perundangan di tingkat pusat dan di tingkat

daerah serta perbedaan perundang-undangan seperti yang terdapat dalam Kamus

Black’s Law Dictionary lebih cocok dengan keadaan di Indonesia. Berarti, produk

hukum peraturan daerah masuk dalam kategori “legislation”, karena ditetapkan

melalui lembaga legislasi. Sedangkan Keputusan Kepala Daerah masuk dalam

kategori “regulation”. Dalam Pasal 18 Ayat (1) UUD 1945 amandemen, dinyatakan:

“Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah

provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan

kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”.

Selanjutnya dalam Pasal 18 Ayat (6) UUD 1945 dinyatakan: “Pemerintahan Daerah

berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk

melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Dari Ayat (1) Pasal 18 tersebut

nampak bahwa ada perintah untuk membuat undang-undang tentang pemerintahan

daerah, sedangkan isi Ayat (6) menunjukkan adanya kewenangan pemerintah daerah

untuk membuat peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain guna melaksanakan

otonomi dan tugas pembantuan.

106 Henry Black Campbell, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, (Co. ST. Paul. Minn: West Publishing, 1990), hlm. 899.

107 Ibid., hlm. 1286.

Universitas Sumatera Utara

Page 20: BAB II ALASAN-ALASAN MENGAPA PEMERINTAH …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31395/3/Chapter II.pdf · 84 Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, ... lokal.

Sebagai tindak lanjut dari Pasal 18 UUD 1945 sebelum amandemen,

disahkanlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Pasal 1 Point c Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa: “Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disebut DPRD adalah Badan Legislatif

Daerah. Demikian pula dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

pada bagian umum Point 1 tentang dasar pemikiran, dinyatakan bahwa: “Pelaksanaan

Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi Badan Legislatif

Daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawas, maupun fungsi anggaran atas

penyelenggaraan Pemerintah Daerah”.

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

yang dalam Pasal 18 Ayat (1) Huruf d dinyatakan: “DPRD mempunyai tugas dan

wewenang bersama dengan Gubernur, Bupati, atau walikota membentuk Peraturan

Daerah” kemudian dalam Pasal 69 dinyatakan: “Kepala Daerah menetapkan

Peraturan Daerah atas persetujuan DPRD dalam rangka penyelenggaraan Otonomi

Daerah dan penjabaran lebih lanjut dari peraturan Perundang-Undangan yang lebih

tinggi“. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah kemu-

dian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah yang dalam Pasal 41 menyatakan: “DPRD memiliki fungsi legislasi,

anggaran, dan pengawasan. Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah Pasal 136 Ayat (1) dinyatakan: “Perda ditetapkan oleh

Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD”.

Universitas Sumatera Utara

Page 21: BAB II ALASAN-ALASAN MENGAPA PEMERINTAH …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31395/3/Chapter II.pdf · 84 Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, ... lokal.

Sejalan dengan isi pasal di atas R. Joeniarto108 mengemukakan bahwa:

“Sebagai konsekwensi dari hak mengatur dan mengurus rumah tangga atas inisiatif

sendiri, maka kepada Pemerintah Lokal yang berhak mengatur dan mengurus rumah

tangga sendiri perlu dilengkapi dengan alat perlengkapan daerah yang dapat

mengeluarkan peraturan-peraturannya, yakni Peraturan Daerah”. Bahkan dalam Pasal

2 Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 yang kemudian digantikan dengan Pasal 7

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan, dengan tegas sebagai ketentuan hukum, peraturan daerah diakui sebagai

bagian integral dari peraturan perundang-undangan Republik Indonesia.109

Dengan demikian jelas bahwa keberadaan Perda merupakan conditio sine

quanon dalam rangka melaksanakan kewenangan otonomi tersebut. Peraturan

Daerah harus dijadikan pedoman bagi Pemerintah Daerah dalam melaksanakan

urusan-urusan di daerah. Di samping itu Perda juga harus dapat memberikan

perlindungan hukum bagi rakyat di daerah. Dari beberapa teori tersebut di atas dan

diperkuat dengan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia dapat disimpul-

kan bahwa semua produk hukum yang dibuat melalui DPRD sebagai lembaga

legislasi daerah adalah merupakan legislation dan bukan regulation.

Sebagai sebuah ketentuan hukum, Perda merupakan bagian dari peraturan

perundang-undangan sebagaimana dimaksud oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Karena Perda merupakan

ketentuan hukum bawahan, maka Perda perlu memperhatikan ketentuan perundangan

108 R. Joeniarto, Perkembangan Pemerintah Lokal, (Jakarta: Bumi Aksara,1992), hlm. 18. 109 Irawan Soejito, Peraturan Daerah, Dasar-Dasar Hukumnya dan Cara Membuatnya,

(Jakarta Groningen: J.B. Wolters,1952), hlm. 9.

Universitas Sumatera Utara

Page 22: BAB II ALASAN-ALASAN MENGAPA PEMERINTAH …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31395/3/Chapter II.pdf · 84 Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, ... lokal.

yang ada di atasnya. Sehubungan dengan hal tersebut nampak bahwa lembaga

pembentuk hukum (Perda) di daerah mempunyai peranan yang sangat strategis dalam

rangka mendukung keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah.

Terkait dengan konsep di atas dan relevansinya dengan eksistensi Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, penulis berpendapat

bahwa produk legislasi tidak hanya ada di tingkat pusat, melainkan juga di tingkat

Daerah. Jika diuraikan persamaan dan perbedaannya adalah sebagai berikut :

a. Karakteristik Legislasi Pusat:

a. Undang-Undang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan Pemerintah;

b. Materi muatan Undang-Undang bersifat umum abstrak dan/atau umum

kongkret untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar;

c. Undang-Undang dapat mengatur norma sanksi pidana maupun sanksi

administrasi secara lebih leluasa;

d. Syarat sahnya pemberlakuan Undang-Undang wajib diundangkan dalam

Lembaran Negara;

e. Undang-Undang yang dinilai tidak memenuhi persyaratan hukum yang baik

dapat dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

b. Karakteristik Legislasi Daerah:

a. Perda dibentuk oleh DPRD bersama Kepala Daerah;

b. Materi muatan Perda bersifat umum abstrak dan/atau umum kongkret adalah

seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan

tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran

Universitas Sumatera Utara

Page 23: BAB II ALASAN-ALASAN MENGAPA PEMERINTAH …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31395/3/Chapter II.pdf · 84 Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, ... lokal.

lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Undang-

Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Keputusan Menteri);

c. Perda dapat mengatur norma sanksi pidana maupun sanksi administrasi secara

terbatas;

d. Syarat sahnya pemberlakuan Perda wajib diundangkan dalam Lembaran

Daerah;

e. Perda sebagai bagian integral dari peraturan perundang-undangan dapat

menjadi objek Judicial Review ke Mahkamah Agung;

f. Perda yang dinilai bertentangan dengan kepentingan umum, Peraturan

Perundang-undangan yang lebih tinggi, dan Perda lainnya menjadi objek

pengawasan preventif dan represif Pemerintah Pusat; dan

g. Atas dasar butir (f), putusan Pemerintah Pusat yang membatalkan Perda dapat

menjadi pokok pangkal sengketa dalam prosedur keberatan kepada

Pemerintah Pusat maupun Mahkamah Agung.

Dari karakteristik di atas, menunjukkan bahwa Perda secara teoritis, normatif

maupun empiris jelas termasuk kategori produk lembaga legislasi.

B. Alasan-Alasan Mengapa Pemerintah Pusat Melakukan Pembatalan Terhadap Peraturan Daerah.

Pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah disebutkan

dalam pasal 218 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana

Universitas Sumatera Utara

Page 24: BAB II ALASAN-ALASAN MENGAPA PEMERINTAH …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31395/3/Chapter II.pdf · 84 Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, ... lokal.

diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan

Daerah, yang terdiri dari:110

a. Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan didaerah.

b. Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.

Berkaitan dengan keberadaan Peraturan Daerah yang dibentuk oleh

pemerintahan daerah, mekanisme pengawasan yang berlaku adalah sebagai

berikut:111

1. Peraturan Daerah disampaikan kepada pemerintah paling lama 7 hari setelah ditetapkan.

2. Pemerintah Pusat dapat membatalkan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya.

3. Keputusan Pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud diatas ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 hari sejak diterimanya peraturan daerah tersebut.

4. Paling lama 7 hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana tersebut diatas, kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan peraturan daerah dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut peraturan daerah dimaksud.

5. Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan peraturan daerah sebagaimana tersebut diatas dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.

110 Dalam penjelasan Pasal 218 ayat (1) disebutkan bahwa pengawasan yang dimaksudkan adalah agar pelaksanaan berbagai urusan pemerintahan didaerah tetap dapat berjalan sesuai dengan standard dan kebijakan pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah alam hal ini meliputi peraturan daerah provinsi dan peraturan gubernur, peraturan daerah kabupaten/kota dan peraturan bupati/walikota serta peraturan desa dan peraturan kepala desa.

111 Perhatikan Pasal 145 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah.

Universitas Sumatera Utara

Page 25: BAB II ALASAN-ALASAN MENGAPA PEMERINTAH …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31395/3/Chapter II.pdf · 84 Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, ... lokal.

6. Apabila keberatan sebagaimana tersebut diatas dikabulkan sebahagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

7. Apabila pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan peraturan daerah sebagaimana tersebut diatas, maka peraturan daerah dimaksud dinyatakan berlaku.

Bahwa pedoman pengawasan terhadap penyelenggaraan Otonomi Daerah

ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, maka pemerintah telah menetapkan

Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan

Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Peraturan Pemerintah tersebut memiliki

korelasi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2001 tentang

Penyelenggaraan Dekonsentrasi berkaitan dengan wewenang Gubernur adalah hal

melaksanakan pengawasan represif terhadap kebijakan daerah dimana Gubernur

sebagai wakil pemerintah Pusat di Daerah dapat membatalkan Peraturan Daerah

Kabupaten dan Daerah Kota (Pasal 10 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 20

Tahun 2001).

Selanjutnya sebagai peraturan pelaksana, Menteri Dalam Negeri membentuk

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2001 tentang Pengawasan

Represif Kebijakan Daerah. Dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut

kebijakan daerah mencakup aturan, ketentuan dan pedoman dalam penyelenggaraan

pemerintahan daerah yang dituangkan dalam Peraturan Daerah, Keputusan Kepala

Daerah, Keputusan Dewan Perwakilah Rakyat Daerah, dan Keputusan Pimpinan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Pasal 1 ayat (7)). Dalam Pasal 4 Keputusan

tersebut sekali lagi ditegaskan tentang kewenangan Gubernur untuk membatalkan:

a. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang pajak dan retribusi daerah;

Universitas Sumatera Utara

Page 26: BAB II ALASAN-ALASAN MENGAPA PEMERINTAH …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31395/3/Chapter II.pdf · 84 Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, ... lokal.

b. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang pengelolaan pengawasan;

c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang penghapusan/perubahan asset

daerah;

d. Peraturan Darah Kabupaten/Kota tentang sumbangan pihak ketiga kepada

pemerintah daerah;

e. Keputusan Bupati dan Walikota tentang sumbangan pihak ketiga kepada

pemerintah daerah;

f. Keputusan Bupati/Walikota tentang penghapusan/perubahan asset daerah.

Pengawasan represif terhadap kebijakan daerah merupakan suatu kebutuhan

yang sangat penting untuk dilakukan dalam hal pencegahan dan penanggulangan

bentuk arogansi daerah dalam menerapkan kebijakan daerah yang dilakukan di luar

dari kewenangannya. Selain kesewenang-wenangan daerah yang seringkali

menyerobot kewenangan Pusat pengawasan ini juga dibutuhkan agar tidak

menimbulkan penyelenggaraan pemerintahan yang berdampak negatif bagi

pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Dalam perkembangannya, praktek

penyelenggaraan pemerintahan daerah sering memunculkan kerancuan kewenangan

yang menurut M. Solly Lubis dapat dikategorikan sebagai berikut:

1. Ketidaksiapan pihak ataupun kalangan legislatif dan eksekutif baik di pusat ataupun di daerah untuk memahami penerapan Undang-Undang secara benar dan seragam.

2. Munculnya sikap ekstrim pada pemerintah Kabupaten dan Kota yang menganggap tidak lagi memiliki hubungan administrasi dan fungsional dengan Propinsi hingga berhubungan dengan pusat secara langsung tanpa melalui atau memberitahukannya kepada Gubernur.

3. Adanya kecenderungan daerah untuk mengeruk sebanyak mungkin sumber-sumber pendapatan asli daerah yang penekanannya pada sektor

Universitas Sumatera Utara

Page 27: BAB II ALASAN-ALASAN MENGAPA PEMERINTAH …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31395/3/Chapter II.pdf · 84 Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, ... lokal.

pajak daerah dan retribusi/iuran yang pada akhirnya memberatkan masyarakat daerah serta memperburuk kondisi perekonomian daerah.

4. Munculnya kecenderungan pengkaplingan wilayah kekuasaan antar Kabupaten dan Kota terlepas dari campur tangan Pusat.

5. Kerancuan kewenangan pada urusan-urusan tertentu antara Pusat, Propinsi, ataupun Kabupaten/Kota seperti terhadap permasalahan pertanahan (M. Solly Lubis: 2002, hal. 21-22).

Sebelumnya, untuk mengantisipasi berbagai permasalahan di atas Menteri

Dalam Negeri juga telah mengeluarkan Surat Edaran pada tanggal 19 Oktober 1998

yang menginstruksikan kepada Kepala Daerah untuk melakukan pemetaan terhadap

ketentuan-ketentuan ataupun produk hukum yang materinya bertentangan ataupun

menimbulkan keragu-raguan dalam pelaksanaannya dengan indikator sebagai berikut:

a. Bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi

b. Duplikasi dengan ketentuan dan substansi yang sama

c. Melampui batas kewenangan

d. Menghambat pertumbuhan ekonomi daerah

e. Menambah simpul birokrasi

f. Bertentangan dengan jiwa dan semangat Otonomi Daerah

g. Tidak akomodatif terhadap tuntutan reformasi.

Indikasi diatas menjadi landasan secara luas terhadap pelaksanaan

pengawasan represif sebagaimana telah digariskan berdasarkan Keputusan Menteri

Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2001 di atas.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka mempunyai hubungan dengan

pendapat Philippus M. Hadjon, dkk dalam hal memberikan pengertian peraturan

Universitas Sumatera Utara

Page 28: BAB II ALASAN-ALASAN MENGAPA PEMERINTAH …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31395/3/Chapter II.pdf · 84 Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, ... lokal.

daerah,112

1. Tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.

yang dalam hal ini apabila pengertian tersebut tidak dijalankan maka dapat

dikategorikan sebagai alasan-alasan untuk membatalkan peraturan daerah, yaitu:

2. Tidak boleh mengatur sesuatu yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan atau peraturan daerah yang lebih tinggi tingkatannya.

3. Tidak boleh mengatur sesuatu hal yang termasuk urusan rumah tangga daerah tingkat bawahnya.

Oleh karena itu, alasan pembatalan peraturan daerah oleh pemerintah

sebagaimana diuraikan diatas, dapat disebutkan bahwa peraturan daerah yang

dibatalkan tersebut dalam proses pembentukannya tidak memperhatikan landasan

dasar berlaku yang baik dalam suatu peraturan perundang-undangan. Dalam ilmu

perundang-undangan dikenal adanya landasan yang mendasari keberlakuan suatu

peraturan perundang-undangan.

M. Solly Lubis menyatakan ada 3 (tiga) landasan pembuatan peraturan

perundang-undangan, yaitu:113

1. Landasan filosofis, yaitu dasar filsafat atau pandangan atau idee yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan kebijaksanaan (pemerintahan) kedalam suatu perencanaan atau draft peraturan negara. Misalnya Pancasila menjadi dasar filsafat perundang-undangan. Pada prinsipnya tidak dibuat suatu peaturan yang bertentangan dengan filsafat ini.

2. Landasan yuridis, ialah ketentuan hukum yang menjadi dasar hukum (rechtsground) bagi pembuatan suatu peraturan. Misalnya UUD 1945 menjadi landasan yuridis bagi pembuatan Undang-Undang organik.

112 Philippus M. Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia (Introduction To The Indonesian Administrative Law, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993), hlm. 60.

113 M. Solly Lubis, Paradigma Kebijakan Hukum Pasca Reformasi, Dalam Rangka Ulang Tahun Ke 80 Prof. Solly Lubis, (Jakarta: PT. Sofmedia, 2010), hlm. 190.

Universitas Sumatera Utara

Page 29: BAB II ALASAN-ALASAN MENGAPA PEMERINTAH …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31395/3/Chapter II.pdf · 84 Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, ... lokal.

Selanjutnya Undang-Undang itu menjadi landasan yuridis bagi pembuatan peraturan pemerintah, ataupun peraturan daerah.

3. Landasan politis, ialah garis kebijakan politik yang menjadi dasar selanjutnya bagi kebijakan-kebijakan dan pengarah ketatalaksanaan pemerintahan negara.

Berdasarkan landasan filosofis, landasan yuridis dan landasan politis tersebut

diatas, menurut penulis untuk menjawab alasan mengapa pemerintah pusat

melakukan pembatalan terhadap peraturan daerah, maka apabila dikaitkan dengan

Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Tanggal 19 Oktober 1998 sebagaimana

dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa:

1. Peraturan daerah yang dibuat bertentangan dengan jiwa dan semangat otonomi

daerah dan tidak akomodatif terhadap tuntutan reformasi serta menghambat

pertumbuhan ekonomi daerah adalah pengingkaran terhadap landasan filosofis

dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan.

2. Peraturan daerah yang dibuat bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi

serta duplikasi dengan ketentuan dan substansi yang sama adalah pengingkaran

terhadap landasan yuridis dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan.

3. Peraturan daerah yang dibuat dengan melampaui batas kewenangan serta

menambah simpul birokrasi adalah pengingkaran terhadap landasan politis dalam

pembuatan suatu peraturan perundang-undangan.

Artinya adalah bahwa alasan pemerintah pusat melakukan pembatalan

terhadap peraturan daerah adalah karena peraturan daerah tersebut tidak memenuhi

seluruh atau sebahagian landasan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan,

yaitu: landasan filosofis, landasan yuridis dan landasan politis.

Universitas Sumatera Utara