1 BAB I PENDAHULUAN Tesis ini mengambil tema mengenai pasukan keamanan internasional di Afghanistan, dengan fokus pada keputusan Perancis untuk segera menarik pasukannya dari Afghanistan empat tahun sebelum mandat penarikan pasukan bersama seluruh negara di bawah kendali NATO. Keputusan itu ditolak oleh NATO (North Atlantic Treaty Organization) dan Amerika Serikat (AS) karena kesepakatan soal penarikan pasukan telah dibuat, yaitu pada akhir tahun 2014. Menarik kemudian untuk menganalisis keputusan Perancis tersebut. Latar Belakang Perubahan peta politik internasional yang semakin kompleks pasca Perang Dingin ditunjukkan dengan munculnya berbagai isu baru dalam politik global. Adanya pergeseran persoalan politik dunia yang lebih bervariasi seperti isu terorisme internasional, konflik etnis, pelanggaran hak asasi manusia, masalah lingkungan dan isu lainnya semakin mempengaruhi dinamika politik internasional. Amerika Serikat muncul sebagai aktor unipolar yang mendominasi politik dunia setelah berakhirnya Perang Dingin, sehingga berbagai peristiwa yang terjadi dapat dipahami sebagai menunjukkan hubungan dengan kepentingan ekonomi dan politik AS. Salah satu tragedi besar pasca Perang Dingin ialah peristiwa yang terjadi pada tanggal 11 September 2001, yaitu pengeboman gedung kembar World Trade Center (WTC) dan markas Departemen Pertahanan AS (Pentagon) yang merupakan kebanggaan AS. Isu terorisme kemudian menjadi agenda utama yang difokuskan oleh AS menjelang abad ke-21. Dapat dikatakan isu tersebut menjadi titik sentral kebijakan luar maupun dalam negeri AS. Selang beberapa waktu setelah hancurnya dua menara kembar WTC, Presiden George W. Bush berpidato di Joint Session of Congress mengenai kebijakan “war against terorism”. 1 Munculnya aktor non-negara, dalam hal ini kelompok teroris, yang berhadapan langsung 1 „President Bush Declares "War on Terror”,‟ Middle East Issues, <http://middleeast.about.com/od/usmideastpolicy/a/bush-war-on-terror-speech.htm>, diakses pada 17 Desember 2012.
16
Embed
BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75156/potongan/S2-2014... · Tesis ini mengambil tema mengenai pasukan keamanan internasional di Afghanistan, ... kawan” atau
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
Tesis ini mengambil tema mengenai pasukan keamanan internasional di Afghanistan,
dengan fokus pada keputusan Perancis untuk segera menarik pasukannya dari Afghanistan
empat tahun sebelum mandat penarikan pasukan bersama seluruh negara di bawah kendali
NATO. Keputusan itu ditolak oleh NATO (North Atlantic Treaty Organization) dan
Amerika Serikat (AS) karena kesepakatan soal penarikan pasukan telah dibuat, yaitu pada
akhir tahun 2014. Menarik kemudian untuk menganalisis keputusan Perancis tersebut.
Latar Belakang
Perubahan peta politik internasional yang semakin kompleks pasca Perang Dingin
ditunjukkan dengan munculnya berbagai isu baru dalam politik global. Adanya pergeseran
persoalan politik dunia yang lebih bervariasi seperti isu terorisme internasional, konflik etnis,
pelanggaran hak asasi manusia, masalah lingkungan dan isu lainnya semakin mempengaruhi
dinamika politik internasional. Amerika Serikat muncul sebagai aktor unipolar yang
mendominasi politik dunia setelah berakhirnya Perang Dingin, sehingga berbagai peristiwa
yang terjadi dapat dipahami sebagai menunjukkan hubungan dengan kepentingan ekonomi
dan politik AS.
Salah satu tragedi besar pasca Perang Dingin ialah peristiwa yang terjadi pada
tanggal 11 September 2001, yaitu pengeboman gedung kembar World Trade Center (WTC)
dan markas Departemen Pertahanan AS (Pentagon) yang merupakan kebanggaan AS. Isu
terorisme kemudian menjadi agenda utama yang difokuskan oleh AS menjelang abad ke-21.
Dapat dikatakan isu tersebut menjadi titik sentral kebijakan luar maupun dalam negeri AS.
Selang beberapa waktu setelah hancurnya dua menara kembar WTC, Presiden George W.
Bush berpidato di Joint Session of Congress mengenai kebijakan “war against terorism”.1
Munculnya aktor non-negara, dalam hal ini kelompok teroris, yang berhadapan langsung
1 „President Bush Declares "War on Terror”,‟ Middle East Issues,
<http://middleeast.about.com/od/usmideastpolicy/a/bush-war-on-terror-speech.htm>, diakses pada 17
dengan aktor negara (AS) menyebarluaskan retorika tentang musuh bersama yang harus
diberantas: terorisme. Bush menyampaikan juga pernyataan “either you are with us or you
are with the terrorists,” seolah-olah AS memilah dunia ke dalam dua sisi,yaitu bersama-
sama AS memerangi teroris berarti menjadi “kawan” atau tidak ingin melawan teroris yang
berarti akan menjadi “lawan”. Bush mengajak seluruh rakyat AS untuk berperang sekuat
tenaga melawan terorisme. “Perang yang tidak akan usai sampai seluruh kelompok teroris
berjangkauan global itu kalah dan bertekuk lutut,” demikian kata Bush dengan penuh
percaya diri.2
Dalam serangan bom 11 September itu, yang dituduh sebagai pelaku utama adalah
mereka yang berasal dari Timur Tengah. Setelah diidentifikasi lebih lanjut, AS
mengindikasikan keterlibatan Osama bin Laden, pemimpin Al Qaeda, sebuah kelompok
Islam yang memiliki tujuan menetapkan dasar-dasar agama yang konservatif sebagai dasar
untuk menjalankan dunia. Sebelumnya, Osama pernah melakukan penyerangan terhadap
warga AS baik didalam maupun di luar negeri. Berbagai peristiwa tersebut menguatkan
tuduhan AS mengenai keterlibatan Osama dan Al-Qaeda dalam peristiwa 9/11.3 Selain itu,
kelompok Taliban di Afghanistan juga masuk dalam daftar bidikan karena diyakini
melindungi keberadaan Osama bin Laden. Taliban sendiri lahir di Afghanistan pada tahun
1996 sebagai sebuah kekuatan baru yang beranggotakan lulusan sekolah-sekolah Islam
tradisional dan menginginkan Afghanistan berdiri sebagai negara Islam. Pada awalnya
Taliban disambut baik oleh rakyat Afghanistan karena telah berhasil mengakhiri kekerasan
dan konflikpasca invasi Uni Soviet, tetapi paham „fundamentalis‟-nya kemudian telah
mengasingkan ia dari banyak warga suku tradisional di negara tersebut.4
Merespon isu terorisme, AS melancarkan aksi militer ke Afghanistan, yang disebut
sebagai negara sarang teroris dan markas utama pelatihan jaringan terorisme. Pada 7 Oktober
2001 AS menjatuhkan lima rudal jelajah di Kabul, ibu kota Afghanistan.5 AS menginginkan
jatuhnya pemerintahan Afghanistan yang memiliki kedekatan terhadap Al-Qaeda dan
digantikan oleh pemerintahan baru yang diharapkan dapat menjadi sekutu AS. Penyerangan
2 J.D. Gray, Fakta Sebenarnya Tragedi 11 September, Sinergi Publishing, Jakarta, 2004, p. 37.
3 A. Wachtel, 11 September: Kisah Yang Terlewatkan, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2009, p. 22.
4 R.W. Mansbach & K.L.Rafferty. Introduction to Global Politics, edisi Bahasa Indonesia Pengantar
Politik Global, diterjemahkan oleh Amat Asnawi, Nusamedia, Bandung, 2012, p. 271. 5 A.H. Mahally, Membongkar Ambisi Global Amerika Serikat, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2003, p. 48.
3
terhadap kelompok Taliban dengan tujuan membasmi terorisme juga mendapat respon dari
negara-negara yang berada dalam satu payung NATO. AS mendapatkan keuntungan berupa
dukungan NATO setelah Pasal 5 Traktat NATO mengatur bahwa serangan atau ancaman
terhadap salah satu negara anggota NATO dapat dianggap sebagai ancaman terhadap seluruh
anggota.6 Dengan berdasar kesepakatan tersebut pasukan dari berbagai negara anggota
ditempatkan di Afghanistan dengan alasan untuk membasmi sarang teroris internasional. Uni
Eropa menekankan bahwa balasan AS untuk penyerangan teror 9/11 ini harus “proporsional”
dan perlu berkonsultasi dengan sekutu-sekutunya sebelum mengambil tindakan.7
Di tahun 2001 NATO mulai menempatkan pasukannya di Afghanistan. Sekitar
130.000 personel International Security Assistance Force (ISAF) dibawah pimpinan NATO
yang berasal dari puluhan negara berada di Afghanistan untuk memerangi Taliban. ISAF
didirikan atas mandat Dewan Keamanan PBB pada 20 Desember 2001 sebagaimana disebut
dalam Perjanjian Bonn.8 ISAF pada awalnya ditugaskan untuk mengamankan Kabul dan
wilayah sekitarnya dari Taliban, Al-Qaeda dan faksi perang lainnya, sehingga
memungkinkan untuk pembentukan Pemerintahan Transisi Afghanistan yang dipimpin oleh
Hamid Karzai. Pada bulan Oktober 2003, Dewan Keamanan PBB memerintahkan perluasan
misi ISAF pada seluruh wilayah Afghanistan.9 Berdasarkan perintah itu ISAF kemudian
memperluas misinya dalam empat tahap utama. Sejak tahun 2006, ISAF terlibat dalam
operasi tempur yang lebih intensif di Afghanistan Selatan, yang diteruskan pada tahun 2007
dan 2008. Sebagai konsekuensinya, serangan terhadap ISAF di bagian lain Afghanistan juga
meningkat dan ranah perangnya semakin melebar hingga saat ini (lihat Gambar 1).
6 S.M.Walt, America and the World, Debating the New Shape of International Politics, edisi Bahasa
Indonesia Amerika dan Dunia: Memperdebatkan bentuk baru politik Internasional, diterjemahkan oleh Y.A.
Pareanom & A.Z. Rofiqi, Yayasan Obor Indonesia, 2005, Jakarta,p. 373. 7 Walt, p. 373.
8 Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa,Document 1154 Annex I - International Security Force,
2001, p. 9. 9 United Nations Security Council (UNSC) Resolution No. 1510 (2003), 13 October 2003.
4
Gambar 1. Perluasan Pasukan ISAF di Afghanistan10
Dalam misi menggempur Taliban tersebut, AS menjadi negara penyumbang pasukan
terbanyak dalam ISAF dengan total mencapai 94 ribu personel militer.11
Pasukan AS
mempunyai wilayah penyebaran paling luas di berbagai provinsi di Afghanistan. Perancis,
salah satu kekuatan utama NATO, adalah penyumbang terbesar keempat bagi personel ISAF
setelah AS, Inggris, dan Jerman. Pada awalnya terdapat sekitar 2.550 tentara Perancis di
Afghanistan, mengalami peningkatan hingga pada tahun 2011 berjumlah 4.000 orang.
Di akhir tahun 2012, Perancis mengambil keputusan untuk mempercepat penarikan
tentaranya dari Afghanistan, setahun lebih awal dari rencana Paris dan dua tahun sebelum
tenggat kesepakatan NATO. Perancis telah kehilangan banyak pasukan selama ditugaskan ke
negara terkoyak perang tersebut. Disisi lain, Afghanistan merupakan pengalaman yang tidak
terlupakan bagi negara-negara Eropa. Mayoritas rakyat Eropa ingin mengakhiri tiga dekade
perang serta kekerasan, tetapi pengiriman pasukan NATO ke Kabul dianggap telah berubah
10
„International Security Assistance Force,‟ North Atlantic Treaty