1 BAB I PENGANTAR 1. Latar Belakang Permasalahan Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Plasmodium sp. Parasit ini bersifat intraseluler, yang ditularkan oleh gigitan nyamuk Anopheles betina. Ada lima spesies yang dapat menginfeksi manusia, yaitu : Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium malariae, Plasmodium ovale dan Plasmodium knowlesi. Spesies yang banyak ditemui di Indonesia adalah P. falciparum dan P. vivax (Markell et al., 1986; Garcia dan Bruckner 1997; Biggs dan Brown 2001; Heelan dan Ingersoll 2002; Kemenkes RI 2011a; Centers for Disease Control and Prevention 2012). Malaria merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang dapat menyebabkan kematian terutama pada kelompok risiko tinggi, yaitu : bayi, balita, dan ibu hamil. Menurut profil kesehatan Indonesia tahun 2010, diperkirakan 45% penduduk Indonesia tinggal di daerah endemis malaria. Dari seluruh kabupaten/kota yang ada di Indonesia, 80% merupakan daerah endemis malaria (Kemenkes RI 2011b). Propinsi Lampung merupakan salah satu wilayah endemis malaria di wilayah barat Indonesia. Malaria di Propinsi Lampung dari tahun 2007 sampai 2010 dilaporkan memiliki Anual Parasite Incidence (API) masing-masing sebesar 0,33; 0,33; 0,78 dan 0,32 per 1000 penduduk. Nilai API Propinsi Lampung secara
21
Embed
BAB I PENGANTAR 1. Latar Belakang Permasalahanetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75151/potongan/S3-2014... · 1. Latar Belakang Permasalahan Malaria adalah penyakit infeksi yang
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENGANTAR
1. Latar Belakang Permasalahan
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Plasmodium sp.
Parasit ini bersifat intraseluler, yang ditularkan oleh gigitan nyamuk Anopheles
betina. Ada lima spesies yang dapat menginfeksi manusia, yaitu : Plasmodium
falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium malariae, Plasmodium ovale dan
Plasmodium knowlesi. Spesies yang banyak ditemui di Indonesia adalah P.
falciparum dan P. vivax (Markell et al., 1986; Garcia dan Bruckner 1997; Biggs
dan Brown 2001; Heelan dan Ingersoll 2002; Kemenkes RI 2011a; Centers for
Disease Control and Prevention 2012).
Malaria merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang dapat
menyebabkan kematian terutama pada kelompok risiko tinggi, yaitu : bayi, balita,
dan ibu hamil. Menurut profil kesehatan Indonesia tahun 2010, diperkirakan 45%
penduduk Indonesia tinggal di daerah endemis malaria. Dari seluruh
kabupaten/kota yang ada di Indonesia, 80% merupakan daerah endemis malaria
(Kemenkes RI 2011b).
Propinsi Lampung merupakan salah satu wilayah endemis malaria di
wilayah barat Indonesia. Malaria di Propinsi Lampung dari tahun 2007 sampai
2010 dilaporkan memiliki Anual Parasite Incidence (API) masing-masing sebesar
0,33; 0,33; 0,78 dan 0,32 per 1000 penduduk. Nilai API Propinsi Lampung secara
2
umum masih dibawah angka rata-rata nasional tahun 2010 yaitu 1,96. Nilai API
ini, sesuai dengan kategori endemisitas yang dikeluarkan oleh Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia maka Propinsi Lampung secara keseluruhan
dikategorikan endemis rendah (Kemenkes RI 2011b). Beberapa lokasi di Propinsi
Lampung masih menunjukkan tingkat endemisitas sedang sampai tinggi seperti
kecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan, Kecamatan Padang Cermin
dan Punduh Pidada Kabupaten Pesawaran (Dinas Kesehatan Kabupaten
Pesawaran 2012; Dinas Kesehatan Kabupaten Lampung Selatan 2012).
Kabupaten Pesawaran merupakan salah satu daerah endemis malaria
dengan kategori sedang di Propinsi Lampung. Dinas Kesehatan Kabupaten
Pesawaran telah menetapkan penggunaan API sebagai indikator untuk melihat
kondisi malaria. Nilai API untuk Kabupaten Pesawaran pada tahun 2010 dan 2011
masing-masing adalah 2,77 dan 4,76 (Dinas Kesehatan Kabupaten Pesawaran
2012). Kabupaten Pesawaran, secara geografi merupakan daerah pesisir pantai
yang memiliki banyak genangan air, yang merupakan tempat yang cocok untuk
perindukan nyamuk Anopheles.
Angka kejadian malaria yang masih tinggi pada beberapa lokasi di
Indonesia termasuk di Kabupaten Pesawaran sangat berkaitan erat dengan
beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut meliputi : perubahan lingkungan, mobilitas
penduduk yang cukup tinggi, perubahan iklim, status gizi masyarakat, program
pengendalian yang dilakukan dan faktor resistensi terhadap obat anti malaria
(Depkes RI 2009). Faktor-faktor ini baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-
3
sama akan mempengaruhi proses penularan malaria. Adanya perubahan pada
salah satu atau lebih faktor tersebut akan berpengaruh pada keseimbangan
ekosistem antara manusia, vektor, lingkungan dan parasit.
Pemerintah telah melakukan berbagai program pengendalian malaria
untuk mengatasi tingginya angka kejadiaan malaria saat ini. Pengendalian malaria
terus dikembangkan, mulai dari pengendalian vektor sampai pengendalian
parasite malaria. Program pengendalian malaria di Indonesia tertuang dalam
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
293/MENKES/SK/IV/2009 tanggal 28 April 2009 tentang Eliminasi Malaria di
Indonesia secara bertahap sampai tahun 2030 (Kemenkes RI 2011b).
Salah satu faktor yang dapat menghambat pengendalian malaria adalah
resistensi Plasmodium terhadap obat antimalaria. Sejak dilaporkan resistensi
terhadap klorokuin yang terus menyebar ke seluruh daerah di Indonesia,
pemerintah membuat kebijakan-kebijakan baru dalam pengobatan malaria
(Depkes RI 2008). Salah satu kebijakan tersebut adalah menetapkan standar
pengobatan malaria dengan menggunakan kombinasi berbasis artemisinin
(artemisinin based combination theraphy/ACT). Kebijakan pengobatan
menggunakan ACT ini dimulai sejak tahun 2004 dan saat ini telah
diimplementasikan di seluruh propinsi. Implementasi penggunaan ACT di
Kabupaten Pesawaran / Kabupaten Lampung Selatan telah dilaksanakan sejak
tahun 2004 tersebut. (Depkes RI 2008; Kemenkes RI 2011a; Kemenkes RI
2011b). Kajian tentang efektivitas berbagai obat antimalaria telah banyak
4
dilakukan. Hal ini karena suseptibilitas Plasmodium terhadap obat antimalaria
akan berpengaruh pada keberhasilan terapi yang pada akhirnya akan
mempengaruhi kejadian malaria tesebut.
Suseptibilitas Plasmodium terhadap antimalaria di Kabupaten Pesawaran
saat ini telah ditemukan dugaan kegagalan terapi, walaupun publikasi secara
ilmiah belum dilaporkan. Dugaan ini muncul dengan adanya kunjungan penderita
malaria secara berulang setelah mendapat pengobatan malaria. Kasus-kasus
malaria yang timbul di Kabupaten Pesawaran sebagian besar disebabkan oleh P.
falciparum dan P. vivax. Pengobatan pada penderita malaria yang dilakukan oleh
Dinas Kesehatan Kabupaten Pesawaran mengacu pada standar pengobatan yang
dikeluarkan oleh kementerian Kesehatan. Seiring dengan perjalanan waktu
penggunaan ACT yang sudah cukup lama maka tidak menutup kemungkinan telah
ditemukan penurunan efektivitas ACT atau peningkatan resistensi Plasmodium
terhadap ACT. Kejadian malaria yang tetap tinggi dari tahun ketahun (API > 1)
(Dinas Kesehatan Kabupaten Pesawaran 2012) merupakan salah satu alasan untuk
mengkaji efektivitas antimalarial tersebut.
Artemisinin combination theraphy merupakan terapi kombinasi malaria
lini pertama dengan kombinasi AAQ atau DHP dalam sedian fix dose yang
digunakan di Indonesia. Penggunaan kedua obat ini dikombinasikan dengan
primakuin untuk mengatasi parasit fase gametosit pada P. falciparum dan fase
hepatik pada P. vivax. Penggunaan kina, doksisiklin dan tetrasiklin ditetapkan
sebagai obat lini kedua (Kemenkes RI 2011a).
5
Identifikasi resistensi Plasmodium terhadap obat anti malaria, dapat
dilakukan dengan pendekatan in vitro maupun in vivo. Resistensi Plasmodium
terhadap obat antimalaria juga berkaitan dengan adanya polimorfisme gen
penyandi protein yang berhubungan dengan mekanisme kerja obat tersebut. Studi
dengan pendekatan molekuler telah dilakukan untuk mengidentifikasi beberapa
mutasi gen yang bertanggungjawab terhadap resistensi. Polimorfisme pada gen
Plasmodium falciparum chloroquine resistance transporter (PfCRT) berhubungan
dengan resistensi P. falciparum terhadap klorokuin dan amodiakuin. Gen lain
yang juga telah diteliti adalah gen Plasmodium falciparum multi drug resistance 1
(PfMDR1) yang berhubungan dengan resistensi terhadap klorokuin, amodiakuin,
meflokuin, halofantrin dan kuinin. Polimorfisme pada gen penyandi enzim
dihydrofolate reductase (DHFR) berhubungan dengan resistensi terhadap
pirimetamin. Resistensi terhadap sulfadoksin berhubungan dengan polimorfisme
pada gen penyandi enzim dihydropteroate synthase (DHPS) (Syafruddin et al.,
2005).
Pola genetik yang dihubungkan dengan resistensi terhadap komponen
ACT pada P. falciparum sudah banyak dilaporkan namun masih belum banyak
dimengerti. Artemisinin merupakan antimalaria yang efek kerjanya berhubungan
dengan penghambatan sarcoendoplasmic reticulum calcium-dependent ATPase
(SERCA) Ca2+
-pump ATPase6. Mutasi pada gen PfATPase6 di Amerika Selatan
terbukti dan telah dihubungkan dengan peningkatan IC50 dari artemeter. Bukti
penelitian langsung tentang hubungan mutasi pada gen ATPase6 masih belum
6
banyak dilakukan. Di Kamboja terdapat penurunan efektivitas artesunat walaupun
tidak ditemukan mutasi pada gen ini (Tahar et al., 2009; Rodrigues et al., 2010).
Penelitian yang dilakukan oleh Rodrigues et al., (2010) menunjukkan
bahwa efektivitas ACT dapat berubah dengan pemberian obat yang terus menerus,
sekalipun obat tersebut diberikan dalam bentuk kombinasi. Penelitian ini
merupakan penelitian eksperimen dengan menggunakan mencit. Mencit yang
terinfeksi malaria diberi pengobatan dengan ACT, dan diamati sampai beberapa
generasi. Hasil penelitian ini menunjukkan peningkatan dosis yang digunakan
agar dapat membunuh parasit.
Beberapa kajian mengenai pola mutasi gen yang berhubungan dengan
resistensi Plasmodium terhadap antimalaria di wilayah Sumatera Bagian Selatan
sudah pernah dilakukan. Penelitian yang telah dilakukan tersebut diantaranya
adalah polimorfisme gen PfCRT, PfMDR1, PfDHPS dan PfDHFR pada isolat
Plasmodium dari penderita malaria di Propinsi Lampung oleh Syafruddin et al.,
(2005). Penelitian lain tentang gen PfCRT di Propinsi Lampung (Kamelia 2010)
dan Kabupaten Lahat (Suwandi 2011a) juga telah dilakukan. Pada penelitian-
penelitian tersebut ini telah ditemukan polimorfisme pada gen-gen yang
berhubungan dengan resistensi terhadap antimalaria selain artemisinin. Penelitian
tentang gen PfATP6 sampai saat ini belum pernah dilakukan pada daerah ini,
sedangkan artemisinin sebagai kombinasi dalam ACT telah lama digunakan
(Depkes RI 2008; Kemenkes RI 2011a; Kemenkes RI 2011b). Kondisi ini
memungkinkan adanya perubahan genetik pada gen-gen yang berhubungan
7
dengan resistensi terhadap ACT. Melihat kondisi tersebut maka perlu dikaji gen
yang berhubungan dengan resistensi P. falciparum terhadap ACT, yaitu gen
PfMDR1 yang berhubungan dengan amodiakuin, primakuin dan artemisinin serta
PfATP6 yang berhubungan dengan artemisinin.
Gambaran klinis penderita malaria secara klasik ditunjukkan dengan
adanya tiga gejala/tanda dasar malaria (trias malaria), yaitu : demam intermiten,
anemia hemolitik dan hepatosplenomegali (Biggs dan Brown 2001). Perubahan
gambaran klinis penderita malaria dalam perjalanan penyakitnya akan dipengaruhi
oleh respon terapi yang dihasilkan pada pengobatan. Resistensi Plasmodium
terhadap antimalaria yang terjadi akan memperlambat penurunan parasitemia
bahkan menghambat eliminasi parasit dari dalam tubuh penderita. Hal ini
disebabkan karena pertumbuhan parasit tidak dapat dihambat oleh antimalaria
yang diberikan. Plasmodium falciparum dalam kurun waktu 24-72 jam dalam
siklus hidupnya dapat berkembang menjadi stadium skizon mature yang siap
melepaskan merozoit-merozoit baru. Parasitemia yang tinggi akan menyebabkan
tubuh penderita memberikan respon terhadap pirogen tersebut sehingga
memberikan manifestasi klinis (gejala klinis) pada penderita. Parasitemia yang
semakin tinggi akan memberikan gejala klinis yang lebih buruk dibandingkan
dengan parasitemia yang lebih rendah, walaupun respon imun penderita juga
berperan penting dalam menghambat pertumbuhan parasit (Markell et al., 1986;
Garcia dan Bruckner 1997; Biggs dan Brown 2001; Heelan dan Ingersoll 2002;
White 2004; Centers for Disease Control and Prevention 2012). Kajian tentang
8
gejala klinis pada penderita malaria di Kabupaten Pesawaran perlu untuk
dilakukan untuk mengetahui gambaran gejala klinis yang khas selain gejala-gejala
klinis yang telah di laporkan. Kajian gambaran gejala klinis malaria ini
bermanfaat dalam membantu mengarahkan untuk melakukan pemeriksaan
penunjang dalam rangka penegakkan diagnosis.
Penderita malaria falciparum yang mengandung Plasmodium dengan gen
bermutasi tentunya akan menjadi sumber infeksi yang perlu diwaspadai. Hal ini
karena penanggulangannya akan berbeda dengan strain yang masih sensitif
terhadap ACT. Kondisi seperti ini tentunya perlu untuk dipetakan untuk melihat
sebaran Plasmodium yang telah bermutasi. Pola pemetaan suatu penyakit
berdasarkan suatu wilayah sudah sering dilakukan untuk menentukan wilayah-
wilayah yang menjadi titik-titik sumber penularan. Analisis spasial dengan
pendekatan sistem informasi geografi (SIG) telah banyak dilakukan pada berbagai
penelitian dalam rangka pengendalian malaria. Abdullah (2008), Mendrofa
(2008), dan Sulistiowati (2011), telah melakukan penelitian tentang analisis
spasial penderita malaria terhadap lingkungan di berbagai daerah di Indonesia.
Pada penelitian tersebut telah dipetakan penderita malaria dan hubungannya
dengan faktor lingkungan yang mempengaruhi timbulnya malaria. Pada penelitian
ini pun akan dipetakan penderita yang mengandung P. falciparum yang telah
bermutasi untuk melihat sebaran P. falciparum yang telah mengalami mutasi.
Melihat kondisi malaria di Kabupaten Pesawaran, serta penggunaan ACT
yang sudah cukup lama, menjadikan hal yang menarik untuk dikaji. Penelitian ini
9
mengkaji polimorfisme gen PfMDR1 dan PfATP6 serta hubungannya dengan
respon terapi ACT, yang dilanjutkan dengan mengkaji gambaran gejala klinis
malaria serta melakukan pemetaan penderita malaria yang mengandung gen
PfMDR1 dan PfATP6 yang bermutasi untuk melihat sebarannya.
Kajian yang akan dilakukan dirumuskan dalam permasalahan yang akan
diteliti, sebagai berikut :
1. Bagaimana efikasi ACT yang digunakan pada penderita malaria falciparum di
Kabupaten Pesawaran ?
2. Apakah ada polimorfisme (single nucleotide polymorphism / SNPs) pada gen
PfMDR1 dari isolat Plasmodium dari penderita malaria falciparum di
Kabupaten Pesawaran ?
3. Apakah ada polimorfisme (single nucleotide polymorphism / SNPs) pada gen
PfATP6 dari isolat Plasmodium dari penderita malaria falciparum di
Kabupaten Pesawaran ?
4. Apakah terdapat hubungan polimorfisme (single nucleotide polymorphism /
SNPs) pada gen PfMDR1 dan PfATP6 terhadap respon pengobatan pada
penderita malaria falciparum di Kabupaten Pesawaran ?
5. Bagaimana gambaran gejala klinis penderita malaria falciparum di Kabupaten