BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan Industri biofuel yang terjadi lima tahun terakhir pada dasarnya dipicu oleh tiga hal penting, yaitu ketahanan energi, perubahan iklim dan pengembangan perdesaan. Pertumbuhan industri bahan bakar nabati tersebut ternyata membuka peluang bisnis sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1.1. Gambar 1.1. Pemicu Pertumbuhan Industri Biofuel Ketahanan energi menjadi perhatian penting terutama didorong oleh semakin mahalnya harga-harga energi akibat pertumbuhan ekonomi dunia dan menurunnya kemampuan pasok energi-energi konvensional. Perubahan iklim yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca, terutama karena penggunaan energi fosil mendorong penggunaan energi-energi hijau yang relatif lebih baik dalam hal dampak terhadap lingkungan. Pengembangan perdesaan mengacu kepada pembangunan pertanian yang banyak melibatkan kawasan dan penduduk perdesaan untuk perbaikan taraf ekonomi dan sosial. Meskipun demikian, pengembangan industri biofuel harus memperhatikan kesinambungan (sustainability) aspek-aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial dengan banyak variabel-variabel seperti diperlihatkan pada Gambar 1.2. Pemicu Pertumbuhan Biofuel Ketahanan Energi Perubahan Iklim Pengembangan Pedesaan Peluang Bisnis
20
Embed
BAB I PENDAHULUAN - repository.sb.ipb.ac.idrepository.sb.ipb.ac.id/1571/5/2DM-05-Hamdan-Pendahuluan.pdf · Pemicu Pertumbuhan Industri Biofuel Ketahanan energi menjadi perhatian penting
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan Industri biofuel yang terjadi lima tahun terakhir pada
dasarnya dipicu oleh tiga hal penting, yaitu ketahanan energi, perubahan iklim dan
pengembangan perdesaan. Pertumbuhan industri bahan bakar nabati tersebut
ternyata membuka peluang bisnis sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1.1.
Gambar 1.1. Pemicu Pertumbuhan Industri Biofuel Ketahanan energi menjadi perhatian penting terutama didorong oleh
semakin mahalnya harga-harga energi akibat pertumbuhan ekonomi dunia dan
menurunnya kemampuan pasok energi-energi konvensional. Perubahan iklim
yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca, terutama karena penggunaan energi
fosil mendorong penggunaan energi-energi hijau yang relatif lebih baik dalam
hal dampak terhadap lingkungan. Pengembangan perdesaan mengacu kepada
pembangunan pertanian yang banyak melibatkan kawasan dan penduduk
perdesaan untuk perbaikan taraf ekonomi dan sosial.
Meskipun demikian, pengembangan industri biofuel harus memperhatikan
kesinambungan (sustainability) aspek-aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial
dengan banyak variabel-variabel seperti diperlihatkan pada Gambar 1.2.
PemicuPertumbuhan
Biofuel
Ketahanan
Energi
Perubahan Iklim
Pengembangan
Pedesaan
Peluang Bisnis
2
Gambar 1.2. Kesinambungan Industri
Pada aspek ketahanan energi, b
terhadap permasalahan pasokan energi pada satu sisi dan kebutuhan energi yang
terus meningkat pada sisi lainnya
harga energi semakin mahal.
Harga minyak bumi misalnya
2008, batubara untuk pembangkit listrik menyentuh harga $14
harga impor gas bumi mencapai $6/mmbtu,
Gambar 1.3, 1.4, dan 1.5.
Untuk konteks Indonesia misalnya,
minyak, gas bumi dan batubara masing
TSCF, dan 21 miliar ton. Dengan laju produksi sebesar
TSCF/tahun dan 254 juta ton/tahun, maka ketersediaan
alam dan batubara berturut-
2010). Oleh karena itu pemenuhan kebutuhan energi alternatif, antara lain
bakar nabati, termasuk biodiesel
Tabel 1.1.Cadangan
Sumber: Kementerian Energi dan Sumber Daya
2. Kesinambungan Industri Biofuel dan Aspek-aspek Sosial, Lingkungan dan Ekonomi
Pada aspek ketahanan energi, berbagai ragam faktor berkontribusi
terhadap permasalahan pasokan energi pada satu sisi dan kebutuhan energi yang
terus meningkat pada sisi lainnya. Resultan faktor-faktor tersebut mendorong
energi semakin mahal. Saat ini dunia sudah meninggalkan era energi murah.
Harga minyak bumi misalnya, pernah mencapai level US$135/barrel di akhir
2008, batubara untuk pembangkit listrik menyentuh harga $140/ton, sementara
harga impor gas bumi mencapai $6/mmbtu, sebagaimana ditunjukkan pada
Untuk konteks Indonesia misalnya, Tabel 1.1 memperlihatkan
dan batubara masing-masing adalah sebesar 8 miliar barrel,
miliar ton. Dengan laju produksi sebesar 346 juta barel/tahun, 2,9
ta ton/tahun, maka ketersediaan cadangan minyak, gas
-turut adalah 23, 55 dan 83 tahun (Kementerian ESDM,
itu pemenuhan kebutuhan energi alternatif, antara lain
biodiesel menjadi semakin relevan.
Cadangan dan Sisa Umur Energi Fosil Indonesia
Sumber: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2010
aspek Sosial,
erbagai ragam faktor berkontribusi
terhadap permasalahan pasokan energi pada satu sisi dan kebutuhan energi yang
faktor tersebut mendorong
aat ini dunia sudah meninggalkan era energi murah.
pernah mencapai level US$135/barrel di akhir
0/ton, sementara
unjukkan pada
1 memperlihatkan cadangan
masing adalah sebesar 8 miliar barrel, 160
346 juta barel/tahun, 2,9
cadangan minyak, gas
Kementerian ESDM,
itu pemenuhan kebutuhan energi alternatif, antara lain bahan
3
Gambar 1.3. Harga Minyak Mentah Spot, $/Barrel Sumber: International Energy Agency (2010)
Gambar 1.4. Harga Batubara Pembangkit Listrik, $/ton
Sumber: International Energy Agency (2010)
Gambar 1.5. Harga Gas Alam, $/mmbtu Sumber: International Energy Agency (2010)
4
Pada aspek lingkungan terdapat kesadaran yang semakin tinggi mengenai
adanya perubahan iklim (climate change) yang dapat menimbulkan dampak serius
terhadap pertumbuhan dan pembangunan. Banyak negara dan lembaga
internasional menyadari bahwa biaya untuk menstabilisasi iklim adalah
signifikan. Meskipun demikian aksi yang terlambat dalam mengatasi masalah ini
akan menimbulkan bahaya yang akan jauh lebih mahal. Program aksi untuk
mengatasi masalah perubahan iklim diperlukan secara global. Beberapa opsi
tersedia untuk mengurangi kadar emisi yang memerlukan kebijakan aksi untuk
menstimulasi dan mempercepat pelaksanaannya. Salah satu elemen adalah
perdagangan karbon (Stern, 2007). Perdagangan karbon tersebut diharapkan juga
dapat menstimulasi pengembangan industri bodiesel.
Meskipun demikian, terdapat juga banyak kritik terhadap keberadaan
bahan bakar nabati sebagai energi alternatif. Beberapa isu utama adalah masalah
kompetisi antara pangan (food) dan bahan bakar (fuel), isu pembukaan hutan
untuk memasok bahan baku biofuel, dan isu sustainability dan besaran
kemampuan kontribusi biofuel terhadap bauran energi secara keseluruhan. Isu
kompetisi antara pangan dan energi di tahun 2008 mendorong harga minyak
nabati ke level yang tinggi, misalnya harga CPO menembus level $1000/ton. Hal
tersebut dikaitkan permintaan bahan baku biodiesel, sehingga menyebabkan
kritikan dari industri pangan yang juga menggunakan CPO sebagai bahan baku
(industri minyak goreng, mentega, oleokimia dan lain-lain).
Isu pembukaan lahan hutan untuk perkebunan bahan baku biofuel juga
mendapatkan kritikan yang tajam dari para environmentalist dengan argumen
bagaimana mungkin biofuel diposisikan sebagai energi yang ramah lingkungan
tetapi untuk memproduksinya justru merusak lingkungan (Sanusi, 2009). Besaran
kontribusi biofuel terhadap bauran energi secara keseluruhan juga menjadi
pertanyaan mendasar. Besar kebutuhan lahan yang harus dibuka untuk membuat
perkebunan bahan baku biofuel perlu dikaji dan disiapkan. Pemilihan bahan baku
yang terbaik untuk biodiesel juga perlu dikaji. Selain itu, saat ini belum terdapat
peraturan yang dapat dijadikan acuan pembagian bahan baku yang akan
digunakan untuk biodiesel dan bahan makanan. Jika peraturan semacam di atas
5
sudah ada, maka konflik mengenai isu lingkungan yang dapat menghambat
perkembangan industri biodiesel dapat diminimalkan.
Biodiesel, perdefinisi adalah mono alkyl ester dari asam lemak jenuh
berantai panjang yang dapat diproduksi dari minyak tumbuhan (vegetable oils),
lemak binatang (animal fats) atau minyak goreng bekas. Biodiesel juga dikenal
sebagai fatty acid methyl ester (FAME) yang diproduksi melalui proses
transesterifikasi, yaitu reaksi trigliserida dengan alkohol untuk membentuk esters
dan gliserol, biasanya dengan tambahan katalis (Frost & Sullivan, 2006).
Pada aspek pasar biodiesel, Uni Eropa merupakan pasar yang relatif paling
berkembang dibandingkan pasar lain. Beberapa hal pendorong utama pasar
(market driver) adalah dorongan untuk relatif menjadi lebih berkecukupan secara
energi (energy self sufficiency), biodiesel menghasilkan polutan yang lebih
rendah, peraturan perundang-undangan mempromosikan penggunaan biodiesel,
harga minyak yang tinggi mendorong industri biodiesel menjadi lebih kompetitif,
biodiesel dapat digunakan dengan infrastruktur dan teknologi kendaraan bermotor
yang ada sehingga penetrasi pasar dapat dilakukan dengan cepat. Meskipun
demikian, dari aspek ketersediaan bahan baku biodiesel, Uni Eropa memiliki
keterbatasan khususnya dalam aspek penyediaan bahan baku biodiesel untuk
mendukung target konsumsi biodiesel ke depan, sehingga kemungkinan besar
memerlukan impor dari kawasan lain, khususnya Asia Pasifik, yang memiliki
keunggulan kompetitif dalam memasok minyak nabati (Frost & Sullivan, 2006).
Negara-negara di Asia Pasifik memiliki peluang yang cukup menarik
untuk memainkan perannya di dalam industri pengolahan biodiesel ke depan.
Indonesia memiliki peluang besar, karena saat ini merupakan produsen CPO
terbesar di dunia dan juga memiliki banyak lahan potensial untuk perkebunan
jarak (Jatropha curcas), alternatif bahan baku biodiesel yang memiliki prospek
baik. Produksi minyak nabati yang terdiri dari kelapa sawit, kedelai, kanola,
bunga matahari, kelapa, dan lain-lainnya, selama dua dekade terakhir, yaitu pada
tahun 1993-2008, dapat dilihat pada Tabel 1.2. Bahkan, sejak tahun 1998,
produksi minyak kelapa sawit telah melampaui produksi minyak kedelai. Selain
itu, produksi minyak sawit selama periode tersebut mengalami pertumbuhan
6
tercepat, yaitu sebesar 7,98 persen per tahun atau di atas pertumbuhan rata-rata
minyak nabati dunia sebesar 4,33 persen per tahun (Oil world, 2010).
Tabel 1.2. Pangsa Produksi dan Konsumsi Minyak Nabati Dunia Tahun 1993-2008
No Uraian 1993-1997 1998-2002 2003-2007 2008-2012
I Total Produksi (‘000 ton) 70.788 83.680 95.624 108.512
1 M. Sawit 15.500 20.752. 25.340 29.949
2 M.Kedelai 17.765 19.915. 22.376 25.174
3 M. Kanola 10.121 11.966 12.526 15.517
4 M. Bunga matahari 8.351 9.790 12.526 12.044
5 M. Lainnya 19.039 21.254 22.854 25.825
II Total Konsumsi (‘000 ton) 90.501 104.281 118.061 132.234
1 M. Sawit 15.385 20.021 25.973 29.752
2 M.Kedelai 17.828 20.126 22.313 25.124
3 M. Kanola 10.045 11.783 13.577 15.471
4 M. Bunga matahari 8.326 9.593 10.861 12.033
5 M. Lainnya 38.915 42.755 45.335 49.852
Sumber : diolah dari Oil World, 2010.
Konsumsi minyak sawit dunia yang pesat selama periode tahun 1993 –
2008, seperti ditunjukkan pada Tabel 1.2 dan Tabel 1.3 serta Gambar 1.6
disebabkan oleh beberapa faktor utama. Selain pertumbuhan populasi penduduk
dunia dan permintaan bahan bakar nabati (BBN) mengalami peningkatan, juga
terjadi perubahan perilaku pasar menggantikan minyak kedelai dengan minyak
sawit karena minyak sawit memiliki kelebihan dari segi kesehatan dan nutrisi
dibandingkan minyak non-tropik seperti minyak kedelai dan minyak bunga
matahari. Kelapa sawit dinyatakan memiliki kandungan asam lemak tidak jenuh
tunggal yang tinggi, yang dapat menurunkan total kolesterol dalam darah. Selain
itu minyak sawit memiliki kandungan karoten, vitamin E yang tinggi, antioksidan,
dan bebas dari asam lemak tidak jenuh (Tyson, 2006). Dengan beberapa
keunggulan tersebut maka terjadi peningkatan konsumsi minyak sawit yang pesat
terutama di Eropa. Di Eropa, minyak sawit juga mulai digunakan sebagai bahan
baku biodiesel selain rapeseed karena harganya yang lebih kompetitif (Oil World,
2010).
7
Gambar 1.6. Konsumsi Minyak Sawit Dunia (Juta Ton) Sumber: Oil World, 2011
Tabel 1.3. Konsumsi Minyak Nabati dan Lemak Dunia Tahun 1997-2006