11 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semenjak berakhirnya perang dingin dunia internasional kemudian mengalami perubahan yang sangat signifikan, salah satunya ditandai dengan munculnya Globalisasi. Globalisasi merupakan sebuah fenomena sosial yang ditandai dengan adanya kerjasama global yang intens antara aktor-aktor (State maupun non state ) dalam berbagai aspek politik, ekonomi, sosial dan budaya hingga lingkungan. Kerjasama tersebut membuat batas-batas seakan tidak lagi menjadi penghalang.Seiring dengan terjadinya globalisasi yang didukung juga oleh aspek teknologi yang telah berkembang pesat, interdependensi dankerjasama antarnegara menjadi suatu hal yang sangat esensial dan tidak terelakkan. Kerjasama antar Negara menjadi suatu hal yang mutlak bagi Negara-negara tersebut. Hal tersebut dijalani karena setiap Negara berkeyakinan bahwa dengan kerjasama internasional dapat memberikan manfaat atau keuntungan bersama, norma yang disepakati bersama, dan adanya share belief. 1 Untuk mewujudkan tujuan masing- masing, dalam rangka mewujudkan kerjasama yang memberikan dampak positif bagi Negara-negara tersebut, tercetuslah ide untuk meremuskan kerjasama tersebut kedalam lembaga yang lebih formal, yakni melalui sebuah institusi yang disepakati bersama. 1 F. Kratochwil, E. D Mansfield, International Organization A Reader “ International Institutions Two Approach”, New York : Harper Collin College Publisher, 1994, hal 45.
17
Embed
BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63469/potongan/S2-2013... · Semenjak berakhirnya perang dingin dunia internasional kemudian mengalami
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Semenjak berakhirnya perang dingin dunia internasional kemudian mengalami
perubahan yang sangat signifikan, salah satunya ditandai dengan munculnya
Globalisasi. Globalisasi merupakan sebuah fenomena sosial yang ditandai dengan
adanya kerjasama global yang intens antara aktor-aktor (State maupun non state )
dalam berbagai aspek politik, ekonomi, sosial dan budaya hingga lingkungan.
Kerjasama tersebut membuat batas-batas seakan tidak lagi menjadi
penghalang.Seiring dengan terjadinya globalisasi yang didukung juga oleh aspek
teknologi yang telah berkembang pesat, interdependensi dankerjasama antarnegara
menjadi suatu hal yang sangat esensial dan tidak terelakkan.
Kerjasama antar Negara menjadi suatu hal yang mutlak bagi Negara-negara
tersebut. Hal tersebut dijalani karena setiap Negara berkeyakinan bahwa dengan
kerjasama internasional dapat memberikan manfaat atau keuntungan bersama, norma
yang disepakati bersama, dan adanya share belief.1Untuk mewujudkan tujuan masing-
masing, dalam rangka mewujudkan kerjasama yang memberikan dampak positif bagi
Negara-negara tersebut, tercetuslah ide untuk meremuskan kerjasama tersebut
kedalam lembaga yang lebih formal, yakni melalui sebuah institusi yang disepakati
bersama.
1F. Kratochwil, E. D Mansfield, International Organization A Reader “ International Institutions Two Approach”, New York : Harper Collin College Publisher, 1994, hal 45.
12
ACFTA (ASEAN-Cina Free Trade Area) adalah sebuah persetujuan kerjasama
ekonomi regional yang mencakup perdagangan bebas antara negara anggota ASEAN
(Assosiation of South East Asian Nation) dengan China. Persetujuan ini telah disetujui
dan ditandatangani oleh negara-negara ASEAN dan Cina pada November 2002
ASEAN dan Cina berkeyakinan bahwa dengan kerjasama ini maka hubungan kedua
belah pihak akan semakin intens.
Kesepakatan ACFTA yang disepakati oleh ASEAN dan Cina memiliki alasan
yang berbeda-beda.Cinamelihat ASEAN memiliki sumber daya alam yang kaya, dan
dikarenakan pertumbuhan ekonomi yang pesat, maka mereka membutuhkan pasokan
energi dan bahan mentah yang cukup. Pada prakteknya ekspor Cina masih sering
mengalami hambatan non tariff di pasar Amerika Serikat dan Uni Eropa, meskipun
Cina sudah masuk ke WTO. Oleh karena itu Cina dengan kekuatan manufakturnya
ingin memperluas pasar ekspornya untuk mengurangi resiko dan ASEAN menjadi
pasar yang makin penting bagi ekspor China.
Selain motivasi ekonomi, dalam hal membangun kerjasama yang lebih kuat
dengan ASEAN, strategi Cina juga mencakup pertimbangan politik dan
keamanan.Cina menggunakan kebijakan “good neighbor policy” untuk menciptakan
lingkungan strategi regional yang aman dan juga untuk menepis kecurigaan negara-
negara lain atas kebangkitan china.
Alasan ASEAN mau bekerjasama dengan Cina adalah ACFTA akan
membuka jalan bagi ASEAN untuk menjual lebih banyak lagi produknya ke Cina.
ASEAN berharap dengan kerjasama ini Cina sebagai negara raksasa yang memiliki
perekonomian yang kuat akan mendorong Cina untuk melakukan investasi langsung
13
ke Asia Tenggara.2ACFTA berlaku bagi enam negara ASEAN untuk tahun 2010,
yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, dan Brunei Darussalam.
Sementara untuk Laos, Kamboja, Myanmar, dan Vietnam akan berlaku 2015
mendatang.
Penurunan tariff di dalam kesepakatan ACFTA dibedakan dalam tiga kategori.
(1) Tahap EHP (Early Harvest Programme); (2) Jalur Normal; dan (3) Jalur
Sensitif.Di bawah EHP, masing-masing Negara ASEAN diberikan kebebasan untuk
melakukan perdagangan bilateral awal dengan Cina di lima bidang, seperti pertanian,
teknologi informasi, pengembangan sumber daya manusia, penanaman modaldan
pengembangan suangai Mekong, apabila mereka memang mampu. Satu fitur unik
EHP adalah Cina sepakat untuk memebrikan konsensi uniteral terhadap 130 produk
pertanian dan manufaktur ke Negara anggota ASEAN yang gagal mendapatkan
keuntungan dari mekanisme ini.
Barang yang diperdagangkan antara Indonesia dan Cina didalam implementasi
penurunan atau penghapusan tarifnya sebanyak 5.250 kategori produk. Dilakukan
mengikuti skema dan waktu sebagai berikut :3
a. Early Harvest Program (EHP) yang diberlakukan per 1 Januari 2004
secara bertahap dalam kurun waktu 3(tiga) tahun. Tariff bea masuknya
produk yang mencakup EHP sejumlah 449 produk menjadi nol persen
(0persen).
b. Normal Track I, sejumlah 3913 kategori produk dengan penurunan tariff
bea masuk menjadi nol persen (0persen) mulai tahun 2005.
2B. Cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara “ Teropong Terhadap Dinamika Realitas dan
Masa Depan.Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007, hal 251.
3I.Wibowo & S.Hadi, Merangkul Cina “Hubungan Indonesia-Cina Pasca Soeharto, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2009, hal. 239
14
c. Normal Track II, sejumlah 490 kategori produk dengan penurunan bea
masuk mulai tahun 2012
d. Sensitive / Highly sensitive sebanyak 398 kategori produk penurunannya
masih dirundingkan lebih rinci.
Pada 2010 Indonesia mulai menerapkan secara penuh ketentuan yang telah
disepakati dalam ACFTA.Didalam kerjasama tersebut Indonesia berupaya
membangun kemitraan strategis dengan Cina untuk memperoleh keuntungan
maksimal bagi perdagangannya agar dapat meningkatkan posisi ekonomi Indonesia
menjadi lebih baik.Keikutsertaan Indonesia dalam ACFTA sangat menarik untuk
dikaji secara lebih mendalam, terutama kepentingan ekonomi dan politik Indonesia
terhadap Cina. Mengingat pertumbuhan perekonomiannya yang sangat pesat dan di
beri julukan sebagai a new raising star country.
Kesepakatan ACFTA oleh ASEAN dan Cina akan memberikan tambahan
sebesar 1 persen dan 0,3 persen terhadap tingkat pertumbuhan masing-masing antara
ASEAN dan Cina. Lebih dari itu, meskipun dalam jangka pendek ACFTA akan
menimbulkan peningkatan persaingan kedua belah pihak, untuk jangka panjang,
persaingan antara ASEAN dan Cina akan membantu merestrukturisasi ekonomi kedua
pihak guna mencapai efisiensi dan meningkatkan daya saing.4
Keikutsertaan Indonesia dalam ACFTA ini dengan segala potensinya
dihadapkan pada sebuah tantangan untuk dapat bertahan dan meningkatkan posisinya
di dalam perdagangan dan investasi.Sejak perjanjian EHP (Early Harvest Programe)
ditindak lanjuti pada 2004, perdagangan Indonesia-Cina mengalami
pertumbuhanyang cukup signifikan, dalam perkembangannnya bahwa total ekspor
4K.G. Cai, “The ASEAN-Cina Free Trade Agreement and East Asia Regional Grouping”,
dengan 10,96 persen, dan India dengan 10,34 persen.Yang mana Cina merupakan
negara tujuan ekspor terbesar dari semua Negara di dalam perdagangan dengan
Indonesia. Tetapi total keseluruhan perdagangan antara Indonesia dan Cina,
Indonesia mengalami defisit, dimana ekspor nonmigas Indonesia ke Cina sebesar US$
14,07 miliar. Sementara, impor dari Cina sebesar US$ 19,68 miliar. Artinya defisit
perdagangan nonmigas mencapai US$ 5,6 miliar.6
Dengan nilai impor yang besar dari Cina ke Indonesia, membuat beberapa
aktor yang kontra dengan ACFTA dalam hal ini KADIN ( Kamar Dagang Indonesia),
dan APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia )mengusulkan Indonesia untuk
membatalkan perjanjian ACFTA atau melakukan renegosiasi ulang dengan Cina.
Usulan renegosiasi tersebut karena mereka mengkhawatirkan banyaknya produk
manufaktur asal Cina yang memasuki pasar Indonesia akan melemahkanindustry
domestik.
Akan tetapi bagi aktor yang mendukung ACFTA dalam hal ini pihak
pemerintah diantaranya Kementrian Perdagangan, kementrian Koordinator Bidang
Perekonomian, Kementrian Luar Negeri, Badan Koordinator Penanaman Modal
(BKPM), Kementrian keuangan, kementrian BUMN, kementrian Tenaga Kerja, dan
Transmigrasi, dan Kementrian Riset dan Teknologi memaparkan bahwa Indonesia
tidak mungkin bisa membatalkan ACFTA, menurut pemerintah jika Indonesia
melakukan renegosiasi ACFTA, maka akan membutuhkan biaya yang sangat mahal
dan proses yang lama. Bahkan Citra Indonesia juga akan menjadi menurun di
6 Tempo.Co Bisnis, Defisit Perdagangan RI-Cina naik US$ 1 Miliar, 1 Februari 2011, <http://www.tempo.co/read/news/2011/02/01/090310525/Defisit-Perdagangan-RI---Cina-Naik-US-1-Miliar> di akses 18 Juni 2013