1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Permasalahan Manusia adalah makhluk hidup yang membutuhkan lingkungan, oleh karena itu manusia memiliki kewajiban untuk menghormati, menghargai dan menjaga nilai-nilai yang terkandung di dalam lingkungan. Tingkah laku manusia sangat mempengaruhi alam karena manusia adalah bagian alam yang tidak dapat dipisahkan. Perilaku positif manusia dapat menyebabkan lingkungan lestari begitu juga dengan perilaku negatifnya dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Etika menjadi panduan untuk apa hukum seharusnya. Tokoh-tokoh filsafat dan etika berharap bahwa hukum yang diterima masyarakat akan mewujudkan beberapa pendapat tentang apa yang secara etis dianggap benar dan salah dan mendistribusikan hukuman yang sesuai. Ruang lingkup etika jauh lebih luas daripada ranah hukum. Etika tidak hanya peduli dengan kasus-kasus yang merugikan secara ekstrim. Etika meluas ke semua tugas dan kewajiban, kebajikan dan keburukan, sebagaimana manusia berinteraksi satu sama lain (Light, 2007:2- 3). Etika lingkungan menimbulkan pertanyaan mendalam tentang apa yang dihitung secara moral dan mengapa spesies yang terancam punah, hutan tua, hutan
26
Embed
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. …etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/75875/potongan/4.S1-2014... · Lumba-lumba adalah salah satu contoh hewan yang ... kritis terhadap
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
1. Permasalahan
Manusia adalah makhluk hidup yang membutuhkan lingkungan, oleh
karena itu manusia memiliki kewajiban untuk menghormati, menghargai dan
menjaga nilai-nilai yang terkandung di dalam lingkungan. Tingkah laku manusia
sangat mempengaruhi alam karena manusia adalah bagian alam yang tidak dapat
dipisahkan. Perilaku positif manusia dapat menyebabkan lingkungan lestari begitu
juga dengan perilaku negatifnya dapat menyebabkan kerusakan lingkungan.
Etika menjadi panduan untuk apa hukum seharusnya. Tokoh-tokoh
filsafat dan etika berharap bahwa hukum yang diterima masyarakat akan
mewujudkan beberapa pendapat tentang apa yang secara etis dianggap benar dan
salah dan mendistribusikan hukuman yang sesuai. Ruang lingkup etika jauh lebih
luas daripada ranah hukum. Etika tidak hanya peduli dengan kasus-kasus yang
merugikan secara ekstrim. Etika meluas ke semua tugas dan kewajiban, kebajikan
dan keburukan, sebagaimana manusia berinteraksi satu sama lain (Light, 2007:2-
3).
Etika lingkungan menimbulkan pertanyaan mendalam tentang apa yang
dihitung secara moral dan mengapa spesies yang terancam punah, hutan tua, hutan
2
belantara memerlukan pengkajian ulang untuk lebih diperhatikan dan dilestarikan.
Etika lingkungan hidup memiliki banyak perdebatan tentang nilai-nilai yang
dimiliki alam. Apakah alam itu bernilai sejauh alam berguna bagi kepentingan
manusia atau alam mempunyai nilai sendiri terlepas bernilai atau tidaknya bagi
manusia (Light, 2007: 6)
Etika lingkungan hidup memfokuskan tentang perilaku manusia
terhadap alam serta hubungan antara semua kehidupan alam semesta. Etika
lingkungan melakukan pendekatan terhadap lingkungan yang melihat pentingnya
memahami lingkungan sebagai keseluruhan kehidupan yang saling menopang,
sehingga semua unsur kehidupan mempunyai nilai dan arti yang sama. Prinsip
etika lingkungan hidup adalah semua bentuk kehidupan memiliki nilai bawaan
dan karena itu memiliki hak untuk menuntut penghargaan karena harga diri, hak
untuk hidup, dan hak untuk berkembang (Rahim, 2013:1).
Kepedulian terhadap lingkungan hidup akhir-akhir semakin gencar
dikampanyekan demi menekan dampak dari kerusakan lingkungan yang telah
terjadi dan salah satunya yaitu melalui film. Film merupakan salah satu media
yang paling ampuh untuk mempengaruhi manusia dengan tujuan yang baik
maupun buruk (Pratista,208:181).
Film tidak hanya dipahami sebagai suatu karya seni maupun barang
dagangan melainkan juga dimaknai sebagai media penyampai informasi. Manusia
memiliki berbagai macam naluri atau kebutuhan dasar yang tertanam di dalam
3
dirinya dan salah satunya yaitu naluri untuk mengetahui apa yang terjadi di luar
pengalaman langsung dalam diri manusia (Irwansyah, 2009:10).
Film dokumenter merupakan film yang mempunyai konsep realisme
(nyata). Film dokumenter tidak menciptakan suatu peristiwa namun film ini
merekam peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi. Film dokumenter tidak
memiliki plot namun memiliki suatu struktur yang didasarkan oleh tema atau
argumen dari sineas pembuat film. Objek dari film dokumenter berhubungan
dengan orang-orang, tokoh, peristiwa, dan lokasi nyata. Penokohan seperti halnya
dalam film fiksi tidak terdapat dalam film dokumenter (Pratista, 2008:4).
The Cove adalah film dokumenter tahun 2009 yang menyoroti praktek
perburuan lumba-lumba di Teluk Taiji, Jepang. Film The Cove adalah sebuah
panggilan untuk bertindak menghentikan pembunuhan lumba-lumba massal,
mengubah praktik perikanan Jepang, dan untuk menginformasikan dan mendidik
masyarakat tentang risiko bahaya keracunan merkuri dari daging lumba-lumba.
Film yang dibuat oleh sekelompok penyelamat lingkungan ini mengisahkan
bagaimana perjuangan para tim OPS (oceanic preservation society) membuat
sebuah rekaman video pembantaian lumba-lumba yang dilakukan oleh para
nelayan di Teluk Taiji, Jepang (Kaori, 2010:1).
Lumba-lumba adalah salah satu contoh hewan yang dewasa ini sangat
gencar diberitakan oleh media massa baik di televisi, media cetak, dan media
sosial seperti twitter, blog, dan facebook. Ada banyak sekali berita tentang lumba-
lumba yang keberadaannya sangat menyedihkan karena adanya eksploitasi oleh
4
manusia. Lumba-lumba merupakan salah satu mamalia laut yang terancam
kelestariannya. Satwa cerdas ini terancam mengalami kepunahan karena
banyaknya pembunuhan. Lumba-lumba selain terancam punah, lumba-lumba juga
rentan terhadap tindak eksploitasi. Wahana hiburan, seperti sirkus, yang
memanfaatkan lumba-lumba demi kepentingan manusia adalah sebuah bentuk
eksploitasi terhadap lumba-lumba. Lumba-lumba disuruh mengemis untuk
memenuhi kebutuhan manusia, dijadikan sebagai bisnis. Dengan menempatkan
lumba-lumba di kolam, bukan pada habitat aslinya, menjadikan satwa ini
kehilangan fungsinya. Selain kemampuan sonarnya menjadi rusak, satwa ini juga
akan mengalami stres. konservasi sering kali menjadi salah satu alasan yang
menyertai tindak esploitasi, juga alasan wahana hiburan sebagai sarana
pembelajaran. Padahal manusia tetap bisa mempelajari hewan ini dari alam bebas.
manusia tidak akan pernah belajar mencintai lumba-lumba dari cara-cara seperti
tersebut (Den Haas, 2014:1).
Eksploitasi secara besar-besaran pada lumba-lumba akan menyebabkan
kepunahan yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan ekosistem laut, yang
lebih luas mengakibatkan terjadinya krisis lingkungan hidup global yang
bersumber pada perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab, tidak peduli, dan
mementingkan kesenangan pribadinya. Manusia keliru memandang alam,
kekeliruan ini bersumber dari etika antroposentrisme, yang memandang manusia
sebagai pusat dari alam semesta, dan hanya manusia yang mempunyai nilai,
sementara alam dan segala isinya sekadar alat bagi pemuasan kepentingan dan
5
kebutuhan hidup manusia. Bahkan manusia dipahami sebagai penguasa atas alam
yang boleh melakukan apa saja terhadap alam (Keraf, 2010:3).
Cara berpikir etika antroposentrisme yang dijadikan paham secara
sengaja ataupun tidak sengaja oleh manusia ini seakan melegalkan untuk
menjadikan lumba-lumba sekehendak hatinya sesuai yang diinginkan manusia.
Manusia menganggap dirinya sebagai penguasa alam semesta dan bisa
memanfaatkan alam dengan semaksimal mungkin, termasuk juga lumba-lumba.
Penulis menjadikan salah satu cabang teori etika lingkungan hidup hak
asasi alam yaitu hak asasi hewan untuk mengkritisi fenomena tersebut. Mengingat
kelemahan cara pandang etika antroposentrisme yang hanya memandang etika
hanya berlaku pada manusia saja, maka konsep mengenai perlakuan etis terhadap
alam, apalagi ide mengenai hak asasi hewan merupakan sesuatu yang dianggap
aneh dan tidak masuk akal. Aneh dan tidak masuk akal bahwa hewan dan
tumbuhan mempunyai hak asasi yang sama dengan manusia (Keraf, 2010: 5).
Hak asasi hewan dikenal juga sebagai kebebasan hewan (animal
liberation) adalah ide bahwa hak-hak dasar hewan harus dianggap sederajat
sebagaimana hak-hak dasar manusia. Para pendukung mendekati masalah ini dari
posisi filosofis yang berbeda, mulai dari gerakan proteksionis yang dicetuskan
oleh filsuf Peter Singer dengan fokus utilitarian terhadap penderitaan dan
konsekuensi, daripada konsep hak itu sendiri, sampai gerakan abolisionis yang
dicetuskan Gary Francione yang menyatakan bahwa hewan hanya butuh satu hak,
yaitu hak untuk tidak dijadikan benda atau properti. Pandangan dan pendapat
6
mengenai hak asasi hewan bermacam-macam dan mempunyai berbagai macam
pendekatan, semua setuju bahwa hewan harus dipandang sebagai “orang” non-
manusia dan anggota komunitas moral, serta tidak digunakan sebagai makanan,
pakaian, subyek penelitian, atau hiburan (Scruton, 2000: 1).
Tom Regan seorang pendukung hak hewan mempunyai pendapat yang
berbeda dengan Peter Singer dalam memandang hak asasi hewan. Regan tidak
setuju dengan program utilitarian Peter Singer untuk gerakan kebebasan hewan,
baginya penolakan tersebut karena utilitarianisme tidak cukup mewakili hakikat
dari kebebasan hewan. Regan memposisikan hewan dan manusia hakikatnya
mempunyai derajat yang sama dimana hewan berhak untuk hidup dan inilah dasar
perhatian Regan (Pojman, 2008: 82-83).
Richard O’ Barry pemimpin dalam pembuatan film dokumenter The
Cove sekaligus aktivis penyelamat lumba-lumba, berpendapat bahwa lumba-
lumba layaknya manusia yang juga mempunyai hak asasi untuk tidak disakiti,
untuk hidup bebas, tidak dibantai, dan tidak untuk diperlakukan sekehendak hati
manusia. pengalamannya melatih lumba-lumba menjadikan Richard O’Barry
sadar bahwa hakikat hidup lumba-lumba bukan di kolam-kolam buatan manusia
untuk menyenangkan manusia akan tetapi lumba-lumba harus hidup di habitat
asalnya dan tidak berpisah dengan kelompoknya. Richard O’Barry beranggapan
lumba-lumba layaknya manusia, lumba-lumba bernafas secara sadar,
berkomunikasi, mempunyai emosional, dan mempunyai keinginan untuk
mempertahankan hidup, hal ini mendorong Richard O’Barry untuk
7
menyelamatkan lumba-lumba diseluruh dunia salah satunya adalah di Teluk Taiji,
Jepang dimana ribuan lumba-lumba dibantai setiap tahunnya (O’barry, 2012:1).
Kompleksitas masalah yang terjadi dalam fenomena pengeksploitasian
yang tidak wajar sampai dengan pembantaian ribuan lumba-lumba di Teluk Taiji,
Jepang dalam film dokumenter The Cove menjadikan penulis menginginkan
mengkaji permasalahan ini dari sudut pandang teori hak asasi hewan. Bagi
sebagian orang sangat tidak lazim memikirkan hak asasi alam apalagi hewan.
Secara nasional tanggal 15 0ktober diperingati sebagai hari hak asasi hewan akan
tetapi masyarakat tidak banyak tahu akan hal ini, hanya sebatas orang-orang atau
golongan tertentu saja yang mengetahuinya. Tanggal tersebut dipilih karena pada
tanggal 15 Oktober 1978 diproklamirkan naskah "The Universal Declaration of
Animal Rights" bertempat di markas UNESCO, Paris. Meskipun demikian sampai
saat ini masih banyak terjadi kontroversi mengenai hak asasi hewan, banyak yang
mempertanyakan apakah benar hewan mempunyai hak asasi layaknya manusia?
(Kabarnews, 2013:1). Apakah pantas hewan yang mempunyai intelegensia lebih
rendah dari manusia memiliki hak asasi? Dan masih banyak lagi. Bertitik tolak
pada pertanyaan-pertanyaan tersebut peniliti ingin mengkaji teori-teori mengenai
hak asasi hewan melalui pandangan dua tokoh besar yaitu Peter Singer dan Tom
Regan. Penulis berharap dapat lebih mempopulerkan teori hak asasi hewan ini
dengan memecahkan sebuah permasalahan tentang pentingnya pengakuan adanya
hak asasi hewan melalui film dokumenter “The Cove”. Penulis berharap hak asasi
hewan tidak lagi menjadi suatu teori yang dipandang sebelah mata bagi
masyarakat Indonesia khususnya.
8
2. Perumusan masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat
dirumuskan permasalahan yang akan dikaji sebagai berikut :
1. Apa problem-problem yang terjadi pada lumba-lumba di Teluk Taiji
Jepang dalam film dokumenter The Cove dalam kaitannya dengan hak
asasi hewan?
2. Apa inti teori etika lingkungan hidup hak asasi alam khususnya teori
hak asasi hewan?
3. Bagaimana analisis kritis terhadap hak asasi hewan (animal rights)
dalam film dokumenter The Cove ditinjau dari perspektif etika
lingkungan?
3. Keaslian penelitian
Fokus kajian dalam penelitian ini adalah tentang hak asasi hewan dalam
film dokumenter The Cove. Penelitian ini akan memaparkan bagaimana salah satu
cabang teori etika lingkungan hidup hak asasi alam yaitu teori hak asasi hewan
memandang pembantaian lumba-lumba dalam film dokumenter The Cove.
Sejauh penelusuran dan pengamatan mengenai karya-karya ilmiah di
lingkungan Fakultas Filsafat atau di luar fakultas. Penelitian yang membahas dan
mengulas mengenai film dan teori etika lingkungan hidup sudah banyak, namun
penulis tidak menemukan penelitian yang mengkaji film dokumenter The Cove
dari segi teori hak asasi hewan. Penulis menemukan beberapa karya yang
berhubungan dengan etika lingkungan hidup yaitu :
9
a. Arick Nur Rachman. 2005. Pemaknaan Etika dalam Film Telaah Etika
Politik dan Etika Lingkungan dalam Film The Lord of The Ring. Fakultas
Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Skripsi ini membahas tentang
pemaknaan etika politik dan etika lingkungan dalam film The Lord of The
Ring. Konsep etika politik yang terdapat di dalam sebuah film kemudian
dikaitkan dengan etika lingkungan yang menjadi pisau analisisnya.
Pemaknaan RING dalam politik kekuasaan dan paradigma etika lingkungan
hidup dari sudut pandang antroposentris dan ekosentris yang terdapat di
dalam film The Lord of The Ring.
b. Muhammad Asa Bakti Ikwanto. 2011. Konsep Etika Lingkungan dalam Film
Avatar (Perspektif Etika Lingkungan Biosentrisme). Fakultas Filsafat
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Skripsi ini membahas tentang
pemaknaan film Avatar dalam kaitannya dengan telaah etika lingkungan
biosentrisme.
Penelitian ini mengkaji problem-problem hak asasi hewan dalam film
dokumenter The Cove. Penelitian yang dilakukan penulis berbeda dengan
beberapa penelitian lain yang memahami film dari segi makna filosofis khususnya
etika lingkungan. Perbedaan terletak pada penggunaan telaah etika lingkungan di
dalam sebuah film yang mengusung tema lingkungan guna menarik suatu
kesimpulan pesan moral. Hal ini yang menjadikan landasan objek formal yang
digunakan penulis lebih mengerucut terhadap objek material yang dituju. Penulis
berani mengutarakan bahwa analisis pembahasan dalam penulisan skripsi ini
dapat dipertanggungjawabkan keilmiahannya.
10
4. Manfaat penelitian
a. Bagi ilmu pengetahuan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan paradigma baru yang lebih
komprehensif mengenai hak asasi hewan melalui film dokumenter The
Cove. Pengetahuan bahwa tidak hanya manusia yang memiliki hak asasi
akan tetapi hewan dan makhluk hidup selain manusia juga memiliki hak
asasi sama dengan manusia.
b. Bagi Filsafat
Penelitian ini diharapkan mampu memperluas pengetahuan dalam
pemikiran terhadap ilmu filsafat terutama mengenai salah satu teori etika
lingkungan hidup hak asasi alam khususnya hak asasi hewan.
c. Bagi Bangsa Indonesia
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi masyarakat
Indonesia serta menyadarkan bahwa tidak hanya manusia yang
mempunyai hak asasi akan tetapi hewan. Penelitian ini diharapkan dapat
menumbuhkan kesadaran untuk tidak lagi mengeksploitasi secara
berlebihan bahkan membantai atau menganiaya hewan secara tidak perlu
yang diharapkan dapat terciptanya keseimbangan ekosistem dan
munculnya kasih sayang antara manusia dengan hewan sebagai sesama
makhluk ciptaan Tuhan.
11
B. Tujuan Penelitian
1. Memaparkan problem-problem hak asasi hewan yang terjadi pada lumba-
lumba di Teluk Taiji Jepang dalam film dokumenter The Cove.
2. Memaparkan teori etika lingkungan hidup hak asasi alam khususnya hak
asasi hewan (animal rights) melalui dua pandangan tokoh Peter Singer dan
Tom Regan
3. Menganalisis dan merefleksikan animal rights dalam film dokumenter The
Cove dalam perspektif etika lingkungan?
C. Tinjauan Pustaka
Film merupakan suatu perangkat yang memiliki pertentangan-
pertentangan besar dan cakupan luas yang saling berhubungan yaitu pembuatan
film dan subjek, film dan pengamat, tujuan konservatif dan sasaran pembebasan,
psikologi dan politik, gambar dan suara, dialog dan musik, dan susunan lakon,
kepekaan sastra dan kepekaan sistematika, lambang dan arti, kebudayaan dan
masyarakat, bentuk fungsi, desain dan kegunaan, seks dan kekerasan, citra dan
peristiwa, realisme ekspresionasime, bahasa dan fenomenologi. Film juga
merupakan suatu kelengkapan kode dan sub kode yang menghasilkan pertanyaan-
pertanyaan asasi hubungan antara kehidupan dan seni, realitas dan bahasa
(Monaco, 1985:47-48).
Film atau gambar bergerak (motion picture) termasuk seni yang lahir,
tumbuh dan berkembang dengan menyerap penemuan-penemuan yang telah ada
dalam sains, estetika, dan teknologi. Penemuan—penemuan yang berproses pada
12
film terwujud dalam sinematografi, yaitu sebuah mesin yang bisa difungsikan
sebagai kamera dan proyektor yang memungkinkan sebuah film dapat ditonton
oleh banyak orang dalam satu waktu (Biran, 2009: xv).
Film sebagai imitasi kehidupan, mempunyai tujuan untuk ditonton atau
disaksikan orang. Sebuah film ditonton oleh seseorang, orang kemudian
mengasosiasikan isi film dengan kenyataan sehari-hari. Kenyataan di dalam
sebuah film tetaplah kenyataan semu. Persoalan pembuatan film yakni bagaimana
membuat kenyataan semu itu punya makna dan dipahami penonton untuk
direfleksikan dalam kenyataan maupun kehidupan sehari-hari (Irwansyah,
2009:49).
Film dokumenter adalah dokumentasi dalam bentuk film mengenai
suatu peristiwa bersejarah atau suatu aspek seni budaya yang mempunyai makna
khusus agar dapat menjadi alat penerangan dan alat pendidikan (Kamus Besar
Bahasa Indonesia). Rekaman suatu peristiwa dalam bentuk audio visual yang
tercipta tanpa ada unsur rekayasa. Film dokumenter dapat dibuat oleh perorangan,
kelompok/organisasi, atau institusi pemerintah dan swasta dengan berdasarkan
maksud dan tujuan yang diinginkan.
Film dokumenter merupakan film yang mempunyai konsep realisme
(nyata). Film dokumenter tidak menciptakan suatu peristiwa namun film ini
merekam peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi. Film dokumenter tidak
memiliki plot namun memiliki suatu struktur yang didasarkan oleh tema atau
argumen dari sineas pembuat film. Objek dari film dokumenter berhubungan
13
dengan orang-orang, tokoh, peristiwa, dan lokasi nyata. Penokohan seperti halnya
dalam film fiksi tidak terdapat dalam film dokumenter (Pratista, 2008:4)
Beberapa proses yang harus dilakukan dalam pembuatan film
dokumenter adalah pra produksi, produksi, dan pasca produksi. Hasil terpenting
dalam proses produksi adalah riset, karena dokumenter membutuhkan data yang
valid untuk dituangkan dalam bentuk audio visual (VMS multimedia)
Film The Cove adalah film dokumenter buatan Amerika, yang
diproduksi tahun 2009. Film ini mengisahkan tentang perburuan dan pembunuhan
lumba-lumba setiap tahunnya di Taman Nasional di Taiji, Wakayama, Jepang.
Bintang utama film ini adalah Richard O’Barry, seorang mantan angkatan laut
yang kemudian bekerja melatih lumba-lumba yang digunakan untuk serial TV
Flipper. Film ini disutradari oleh Louie Psihoyos, seorang mantan fotografer
National Geographic. Richard O’Barry dan Psihoyos kemudian melakukan
perjalanan ke Jepang, apa yang dihasilkan oleh Psihoyos dan Timnya sangat
mencengangkan. Mereka mendapati sebuah industri yang menghasilkan lebih dari
dua milyar dollar per tahun dari lumba-lumba yang ditangkap. Ini merupakan
pembunuhan mamalia besar-besaran yang berlangsung secara sembunyi-sembunyi
(Bayu, 2010: 1).
Richard O'Barry was the man who captured and trained the dolphins
for the television show Flipper (1964). O'Barry's view of cetaceans in
captivity changed from that experience when as the last straw he saw
that one of the dolphins playing Flipper - her name being Kathy -
basically committed suicide in his arms because of the stress of being in
captivity. Since that time, he has become one of the leading advocates
against cetaceans in captivity and for the preservation of cetaceans in
the wild. O'Barry and filmmaker 'Louie Psihoyos go about trying to