Top Banner
Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Modernisasi dan globalisasi merupakan fenomena sosial yang pada saat ini sedang melanda bangsa-bangsa di dunia. Modernisasi merupakan produk dari aliran filsafat modern. Filsafat abad modern dimulai dengan tiga aliran yaitu empirisme dengan tokohnya Francis Bacon (1220 M), rasionalisme dengan tokohnya Rene Decartes (1596 M) dan kritisisme yang dipelopori oleh Immanuel Kant (1724). Ketiga aliran ini menghasilkan pemikiran-pemikiran modern yang bersifat positivistik, teknosentrik, dan rasionalistik, serta grand narrative yang dimaknai sebagai suatu kebenaran yang bersifat universal. Lahirnya ilmu pengetahuan dan teknologi modern, menghasilkan peradaban modern. Menurut Soekanto (2001. Hlm.387) , untuk menjadi modern masyarakat harus memiliki, cara berpikir ilmiah (scientific thinking), sistem pengumpulan data yang baik dan teratur, terciptanya iklim yang favourable, terciptanya sistem administrasi yang baik, tingkat organisasi yang tinggi, serta sentralisasi perencanaan sosial (social planning). Apabila syarat-syarat tersebut terpenuhi maka masyarakat sedang memasuki peradaban modern. Syarat tersebut mendorong terjadinya transformasi sosial budaya di kalangan masyarakat dari masyarakat tradisional yang mendambakan menjadi masyarakat modern. Mereka meyakini bahwa melalui modernitas dan globalisasi, masyarakat dapat mengembangkan atau mengadopsi pola berpikir orang modern. Peradanan modern inilai yang akhirnya melahirkan globalisasi. Barchuk dan Harkins (2010, hlm.1) bahwa: Globalization enable a better understanding of the modern world and inspires responsible actions that will change our future for the better”. Fenomena globalisasi merupakan bagian yang diawali pada abad 17 dengan terjadinya revolusi industri sehingga bangsa Eropa berlomba-lomba untuk mencari sumber bahan mentah dan pemasaran, Giddens (1990, hlm. 64) memaknai globalisasi „…as the intensification of worldwife social relations which
22

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.upi.edu/21088/4/D_IPS_1007242_Chapter1.pdf · A. Latar Belakang Penelitian Modernisasi dan globalisasi merupakan fenomena

Feb 07, 2018

Download

Documents

vuongdang
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.upi.edu/21088/4/D_IPS_1007242_Chapter1.pdf · A. Latar Belakang Penelitian Modernisasi dan globalisasi merupakan fenomena

Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Modernisasi dan globalisasi merupakan fenomena sosial yang pada saat ini

sedang melanda bangsa-bangsa di dunia. Modernisasi merupakan produk dari

aliran filsafat modern. Filsafat abad modern dimulai dengan tiga aliran yaitu

empirisme dengan tokohnya Francis Bacon (1220 M), rasionalisme dengan

tokohnya Rene Decartes (1596 M) dan kritisisme yang dipelopori oleh

Immanuel Kant (1724). Ketiga aliran ini menghasilkan pemikiran-pemikiran

modern yang bersifat positivistik, teknosentrik, dan rasionalistik, serta grand

narrative yang dimaknai sebagai suatu kebenaran yang bersifat universal.

Lahirnya ilmu pengetahuan dan teknologi modern, menghasilkan

peradaban modern. Menurut Soekanto (2001. Hlm.387) , untuk menjadi modern

masyarakat harus memiliki, cara berpikir ilmiah (scientific thinking), sistem

pengumpulan data yang baik dan teratur, terciptanya iklim yang favourable,

terciptanya sistem administrasi yang baik, tingkat organisasi yang tinggi, serta

sentralisasi perencanaan sosial (social planning). Apabila syarat-syarat tersebut

terpenuhi maka masyarakat sedang memasuki peradaban modern.

Syarat tersebut mendorong terjadinya transformasi sosial budaya di

kalangan masyarakat dari masyarakat tradisional yang mendambakan menjadi

masyarakat modern. Mereka meyakini bahwa melalui modernitas dan

globalisasi, masyarakat dapat mengembangkan atau mengadopsi pola berpikir

orang modern. Peradanan modern inilai yang akhirnya melahirkan globalisasi.

Barchuk dan Harkins (2010, hlm.1) bahwa: “Globalization enable a better

understanding of the modern world and inspires responsible actions that will

change our future for the better”.

Fenomena globalisasi merupakan bagian yang diawali pada abad 17

dengan terjadinya revolusi industri sehingga bangsa Eropa berlomba-lomba untuk

mencari sumber bahan mentah dan pemasaran, Giddens (1990, hlm. 64)

memaknai globalisasi „…as the intensification of worldwife social relations which

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.upi.edu/21088/4/D_IPS_1007242_Chapter1.pdf · A. Latar Belakang Penelitian Modernisasi dan globalisasi merupakan fenomena

2

Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

link distant localities in such a way that local happening are shaped by events

occurring many miles away and vice versa”. Melalui globalisasi terjadi interaksi

sosial dan budaya yang sangat inten antar bangsa-bangsa di dunia. Sebagaimana

dikemukakan oleh Kellnes, 2002 (dalam Ritzer dan Goodman, 2003, hlm. 590)

bahwa:

Globalisasi melibatkan pasar kapitalis dan seperangkat relasi sosial dan

aliran komuditas, kapital, teknologi, ide-ide, bentuk-bentuk kultur, dan

penduduk yang melewati batas-batas nasional via jaringan masyarakat

global...Transmutasi teknologi dan kapital bekerja sama menciptakan

dunia baru yang mengglobal dan saling terhubung. Revolusi teknologi

yang menghasilkan jaringan komunikasi komputer, transportasi dan

pertukaran merupakan praanggapan (presupposition) dari ekonomi global,

bersama dengan perluasan dari sistem pasar kapitalis dunia yang menarik

lebih banyak area dunia dan ruang produksi, perdagangan dan konsumsi ke

dalam orbitnya.

Relasi modernisasi dan globalisasi dengan kebudayaan menurut Scholte

(dalam Mubah, 2011,hal. 302-308) dapat diamati melalui lima faktor yaitu

intenasionalisasi, liberalisasi ekonomi, westernisasi, demokratisasi dan

deteritorialisasi. Internalisasi mengglobalnya berbagai fenomena dan peristiwa

yang terjadi di dunia, liberalisasi ekonomi, menunjukkan tanda-tanda dimana

ekonomi sepenuhnya diserahkan kepada pasar sehingga peran pemerintah dan

masyarakat menjadi tereduksi. Westernisasi ditandai terjadinya difusi budaya dan

gaya hidup dari masyarakat barat sebagai sumber masyarakat modern. Faktor

demokratisasi mentranformasi pola kehidupan sosial dan politik yang memberi

kekuatan seluas-luasnya kepada masyarakat, sedangkan deteritorialiasi ditandai

dengan berkurangnya peran negara sebagai pelaku yang tergantikan oleh

kekuatan-kekuatan opini dan persepsi yang dibangun melalui teknologi informasi

dan komunikasi yang bersifat kecenderungan-kecenderungan dan syarat dengan

kepentingan.

Dampak yang perlu dicermati dan dikritisi dari modernisasi dan globalisasi

adalah homogeneity bidang sosial, budaya dan ekonomi bahkan ideologi bangsa-

bangsa di dunia. Dari aspek budaya, karena kekuatan globalisasi ini dikendalikan

oleh negara-negara yang memiliki peradaban yang lebih maju baik dari segi

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.upi.edu/21088/4/D_IPS_1007242_Chapter1.pdf · A. Latar Belakang Penelitian Modernisasi dan globalisasi merupakan fenomena

3

Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

teknologi, finasial maupun manajerial, maka homogeneity didominasi oleh

kekuatan negara-negara modern yang efeknya terjadi proses transformasi lokal

yang mengarah pada melunturnya nilai sosial budaya lokal itu sendiri.

Sebagaimana diingatkan oleh Giddens,1990 (dalam Ritzer and Goodman,

2005, hlm. 553), yang menganalogikan modernitas dengan istilah Juggernaut atau

panser raksasa…

yang tengah melaju hingga taraf tertentu bisa dikemudikan, tetapi juga

terancam akan lepas kendali hingga menyebabkan dirinya hancur lebur.

Panser raksasa ini akan menghancurkan orang yang menentangnya dan

meski kadang-kadang menempuh jalur yang teratur, namun juga

sewaktu-waktu dapat berbelok kearah yang tak terbayangkan

sebelumnya. Perjalanannya bukan sama sekali tak menyenangkan atau

tak bermanfaat; ada kalanya memang menyenangkan dan berubah

sesuai dengan yang diharapkan. Tetapi sepanjang institusi modernitas

ini terus berfungsi, kita takkan pernah mampu mengendalikan

sepenuhnya baik arah maupun kecepatan perjalanannya. Kitapun takkan

pernah merasa aman sama sekali karena kawasan yang dijelajahinya

penuh dengan bahaya.

Kuatnya daya tarik dan propaganda yang luar biasa tentang modernisasi

dan globalisasi, berujung pada saling berlombanya bangsa-bangsa di dunia

termasuk Indonesia untuk bertransformasi dari masyarakat tradisional menuju

bangsa modern. Gambaran masyarakat modern yang identik dengan kemajuan di

bidang ilmu pengetahuan, teknologi, sosial, ekonomi dan politik menjadi daya

tarik tersendiri bagi bangsa-bangsa baik di negara-negara terbelakang maupun

negara berkembang. Ditambah dengan hadirnya organisasi-organisasi dunia yang

dirancang oleh negara barat/negara maju hal ini memberi kekuatan tersendiri

untuk menyeret bangsa-bangsa di dunia ke dalam arena modernisasi dan

globalisasi yang dirancang mereka yang notabene sebagai negara maju.

Sadar atau tidak harus diakui bahwa aktor utama proses modernisasi dan

globalisasi dipelopori oleh negara-negara maju alias negara-negara barat seperti

Amerika, Australia, Jepang, China dan negara-negara di Eropa Barat. “Mereka

berupaya mengeksport nilai-nilai lokal di negaranya untuk disebarkan di seluruh

dunia sebagai nilai-nilai global” (Mubah, 2011, hlm 320-308). Padnan sosial dan

kebudayaan, maka budaya modernisasi dan globalisasi akan berhadapan dengan

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.upi.edu/21088/4/D_IPS_1007242_Chapter1.pdf · A. Latar Belakang Penelitian Modernisasi dan globalisasi merupakan fenomena

4

Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

budaya dan peradaban lokal. Konsekwensinya adalah terjadi difusi, akulturasi,

asimilasi atau hegemoni dari bangsa-bangsa yang lebih kuat. Menurut Faqih

(dalam Lutfiana 2014, hlm, 69) bahwa “globalisasi merupakan krisis sejarah

dominasi dan eksploitasi manusia atas manusia lain”. Sudah barang tentu bangsa

Indonesia tidak ingin kalah dalam pertarungan pengaruh antar budaya tersebut.

Untuk itu bangsa Indonesia perlu memperkuat ketahanan budaya agar tidak

mudah tergusur oleh budaya asing

Sebagai bangsa yang besar, bangsa Indonesia harus mewaspadai

sekaligus menangkal dampak negatif modernisasi dan globalisasi. Karena

apabila keliru dalam mengsikapinya dan mengantisipasinya taruhannya adalah

eskistensi bangsa dan negara. Homogeneity tidak saja berakibat pada hilangnya

budaya lokal, tetapi menurut Tilaar (2007, hlm. 14) globalisasi akan melahirkan

“dunia tanpa batas (Keniche Ohmae), dunia yang rata (Friedman) menunjukkan

gejala-gejala melunturnya peranan etnisitas di dalam kehidupan global

millennium ketiga”

Dalam situasi seperti ini modernisasi dan globalisasi harus disikapi dari

dua perspektif. Pertama, menjadikan modernisasi dan globalisasi sebagai sarana

meningkatkan kesejahteran. Kedua, modernisasi dan globalisasi dianggap

sebagai suatu ancaman yang harus disikapi dengan hati-hati. Kedua hal tersebut

sejalan dengan pandangan Setiadi dan Kolip, (2011, hlm. 703) bahwasanya:

Modernisasi dan globalisasi melahirkan fenomena media bidang kultur

yang memiliki empat ciri yaitu: Sekularisasi: merosotnya arti penting

keyakinan agama, kekuatan gaib, nilai, dan norma dan diganti oleh

gagasan dan aturan yang disahkan oleh argumen dan pertimbangan

duniawi. Peran sentral ilmu yang membuka jalan untuk mendapatkan

pengetahuan yang benar dan selanjutnya dimanfaatkan dalam bentuk

teknologi atau kegiatan produktif. Demokratisasi pendidikan, yang

menjangkau lapisan penduduk yang makin luas dan tingkat pendidikan

yang makin tinggi. Munculnya kultur massa, produk estetika,

kesusastraan, dan artistik berubah menjadi komuditas yang tersebar luas di

pasar dan menarik semua lapisan.

Sekularisasi merupakan salah satu ciri para penggagas modernism, yang

menjauhkan diri dari nilai-nilai kebenaran yang bersumber dari transendental. Hal

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.upi.edu/21088/4/D_IPS_1007242_Chapter1.pdf · A. Latar Belakang Penelitian Modernisasi dan globalisasi merupakan fenomena

5

Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

ini bertentangan dengan watak kebangsaan Indonesia yang bersifat religious dan

berke-Tuhanan. Peran sentral ilmu yang berbasis pada metode ilmiah dengan

landasan rasionalistik, empiristik dan universalitas pada masyarakat modern

menapikkan nilai-nilai kearifan lokal serta meminimalisir dimensi transsendental

spiritualitas keagamaan dalam kehidupan, sehingga menimbulkan kegamangan

akan nilai yang dianutnya. Kegamanangan tersebut menurut Sauri (2013, hlm. 1)

“…merupakan akibat manusia lebih mengutamakan kemampuan akal,

memarginalkan peranan nilai-nilai transendental serta tunduk pada paham

individualism dan kapitalisme”. Kondisi ini diperparah dengan sistem demokrasi

pendidikan mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai ke perguruan tinggi

dengan mengadopsi sistem pendidikan barat yang sekuler, yang menjauhkan dan

meminimalisir nilai-nilai kearifan lokal.

Dari aspek budaya munculnya kultur massa sebagai produk dari

modernisasi dan globalisasi, ditenggarai akan mengakselerasi kematian atau

eksistensi budaya lokal. Sebagaimana dikemukakan oleh Mubah (2011, hlm. 302-

308) bahwa: “ Situasi yang kemudian muncul adalah Indonesia menjadi salah satu

pasar potensial berkembangnya budaya asing milik negara maju berkekuatan

besar. Situasi ini mengancam budaya-budaya lokal yang telah lama mentradisi

dalam kehidupan sosiokultural masyarakat Indonesia”.

Walaupun para pemikir kritis seperti (Gidden, 1990), Tilaar (2007), Ali,

(dalam Laode, 2013) , Lee and Leung ( 2006), Setiadi dan Kolip (2011), Ritzer

(2003), menyadari akan bahaya modernisasi dan globalisasi. Namun bangsa-

bangsa di dunia termasuk Indonesia tidak dapat mengelaknya. Karena kondisi

sekarang setiap negara di dunia satu sama lain memiliki tingkat ketergantungan

yang tinggi, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan ekonomi.

Namun demikian fenomena tersebut harus disikapi dengan kritis dan hati-hati.

Strategi dan langkah penting yang harus dilakukan dalam menghadapi

dampak negatif modernisasi dan globalisasi adalah upaya meningkatkan daya

tahan budaya lokal agar mampu bertahan bahkan dapat bersaing dengan budaya

luar. Mubah (2011) menggagas ada empat strategi untuk meningkatkan daya

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.upi.edu/21088/4/D_IPS_1007242_Chapter1.pdf · A. Latar Belakang Penelitian Modernisasi dan globalisasi merupakan fenomena

6

Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

tahan budaya lokal, yaitu (1) pembangunan jatidiri bangsa, (2) pemahaman

falsafah bangsa, (3) penerbitan peraturan daerah, dan (4) pemanfaatan teknologi

informasi.

Strategi pertama, yaitu pembangunan jati diri bangsa, mengandung arti

pentingnya internalisasi nilai-nilai budaya lokal sedini mungkin di kalangan

generasi muda. Internalisasi nilai-nilai budaya lokal dapat masuk melalui

pendidikan informal seperti di kalangan keluarga, pendidikan nonformal di

kalangan masyarakat dan pendidikan formal seperti di sekolah-sekolah.

Kedua perlunya pemahaman falsafah budaya di kalangan generasi muda

Indonesia. Menurut teori strukturalism “aktivitas sosial seperti mitos/dongeng,

ritual-ritual, sistem kekerabatan dan perkawinan, pola tempat tinggal dan

sebagainaya secara formal dapat dilihat sebagai bahasa yakni sebagai tanda dan

simbol yang menyampaikan pesan tertentu. Budaya menurut pandangan

strukturalisme merupakan simbol, yang pada tataran lokal di dalamnya

mengandung nilai-nilai kearifan. Mempelajari budaya lokal akan menjadi tidak

bermakna dan tidak menarik tanpa mengetahui dan memahami ide dan gagasan

yang terkandung di dalamnya. Tetapi apabila nilai-nilai sosial budaya

ditransformasikan dengan baik, maka akan tercipta internalisasi nilai-nilai

kearifan lokal di kalangan generasi muda.

Ketiga adalah penerbitan peraturan daerah, bahwasanya daya tahan budaya

lokal akan menjadi lemah manakala tidak didukung dengan perangkat regulasi

yang memproteksi unsur-unsur budaya lokal dari kepunahan. Melalui regulasi

dimungkinkan segenap lapisan masyarakat dituntut untuk secara sadar dan

sukarela bahkan dipaksa untuk menghidupkan unsur-unsur budaya lokal yang

pernah hidup atau yang masih eksis di masyarakat.

Strategi yang terakhir adalah memanfaatkan teknologi informasi. Menurut

Mubah (2011, hlm. 302 – 308) “budaya lokal yang khas dapat menjadi suatu

produk yang memiliki nilai tambah tinggi apabila disesuaikan dengan

perkembangan media komunikasi dan informasi”. Menurut pandangan aliran

kritis bahwa transformasi sosial terjadi, “asalkan proses komunikasi dilakukan

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.upi.edu/21088/4/D_IPS_1007242_Chapter1.pdf · A. Latar Belakang Penelitian Modernisasi dan globalisasi merupakan fenomena

7

Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

oleh pelaku-pelaku sadar diri secara terbuka dan terus menerus, dengan

mempertajam dialog-dialog, mempertemukan kepentingan-kepentingan pribadi

dengan komunikasi aktif untuk mengambil konsensus-konsensus titik-titik temu

kepentingan bersama. Melalui pemanfaatan teknologi informasi tidak saja

memperkuat daya tahan budaya lokal tetapi diharapkan mampu mengangkat

derajat budaya from locally to globally.

Masyarakat Cirebon secara administratif berada di wilayah Provinsi

Jawa Barat, tetapi secara kultural berbeda dengan masyarakat Pasundan, dan

masyarakat di Indonesia lainnya. Perbedaan yang nampak adalah pada bahasa

lokal. Penduduk asli Cirebon menggunakan bahasa lokal (basa Cerbon) sebagai

alat komunikasi sehari-hari. Walaupun menurut Noer (2014) bahasa Cirebon “

belum dapat dikategorikan bahasa yang mandiri, tapi masih merupakan

dialek/bagian dari bahasa Jawa Tengah dan Yogyakarta serta Jawa Timur”,.

namun masyarakat Cirebon mengganggapnya sebagai bahasa Cerbon yang

mandiri, sehingga di sekolah ada kurikulum muatan lokal Basa Cerbon.

Selain dari segi bahasa, perbedaan yang menonjol antara budaya Pasundan

dengan budaya Cirebon adalah pada sistem kesenian, lukisan kaca, ragam hias

batik Cirebon, golek cepak, jaran lumping, topeng Cirebon, macapat, tarling,

sandiwara/marses, brai. Kesenian tersebut memiliki perbedaan baik dari aspek

bentuk keindahannya maupun makna ide dan gagasannya.

Perbedaan lain adalah dari sisi budaya sistem kepercayaan. Masyarakat

Cirebon maupun Pasundan sebagian besar memeluk agama Islam. Tetapi budaya

ke-Islaman di Cirebon berbeda dengan budaya ke-Islaman Pasundan pada

umumnya. Di kalangan masyarakat Cirebon dikenal ada tradisi panjang jimat

(untuk memperingati kelahiran nabi Muhammad), kliwonan Gunung Jati, rasulan,

sedekah humi, grebeg syawal, nadran, apeman, sebrah, bubur Syura, yang

kekhasannya tidak ditemukan di tempat lain.

Budaya artefact, yang cukup menonjol adalah arsitektur bangunan khas

Cirebon. Struktur bangunan pada keraton-keraton di Cirebon, seperti bentuk atap

Limasan, teknik Cukit pada kaso bangunan, struktur kuta kosod, dan gapura.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.upi.edu/21088/4/D_IPS_1007242_Chapter1.pdf · A. Latar Belakang Penelitian Modernisasi dan globalisasi merupakan fenomena

8

Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Satu-satunya masjid di Indonesia yang atapnya berbentuk Limasan hanya di

jumpai pada Masjid Agung Sangciptarasa di Cirebon. Bahkan bentuk limasan

dan teknik cukit ini telah diadopsi pada bangunan atap pendhapa Museum

Sonobudoyo Yogyakarta.

Cirebon merupakan kawasan yang memiliki ragam kekayaan budaya lokal

yang tinggi. engidentifikasi ada banyak jenis cabang seni tradisional terdapat di

wilayah Cirebon, yang merupakan warisan para leluhur terutama di era

kejayaan kerajaan Islam Cirebon. Sedangkan di Pemerintah Kota Cirebon (2014)

bahwa:

Kota Cirebon memiliki enam kawasan yang dilindungi eksistensinya yaitu:

Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Keraton Kacirebonan, Kawasan

Gua Sunyaragi, Kawasan Etnik Arab (Panjunan) dan Kawasan Etnis

China (Pecinan), dan 52 cagar budaya dalam bentuk bangunan yang

mendapat perlindungan khusus.

Warisan budaya leluhur baik berupa warisan budaya benda maupun

bukan benda disamping memiliki nilai-nilai nyata (tangible values), juga memiliki

nilai-nilai makna kehidupan (intangible values), yang dapat dijadikan sebagai

nilai tuntunan dalam kehidupan yang bertatanan. Nilai-nilai kehidupan yang

terkandung di dalam warisan budaya leluhur tersebut, menumbuhkan kesadaran

masyarakat untuk melestarikannya melalui transformasi kepada generasi muda.

Upaya melestarikan budaya lokal dihadapkan pada dua tantangan besar.

Pertama tantangan dari luar dengan kuatnya arus modernisasi dan globalisasi yang

dapat mengeliminasi eksistensi budaya lokal sebagaimana diuraikan di atas.

Tantangan yang kedua, bersumber dari dalam yaitu mulai ditinggalkannya

tradisi-tradisi leluhur tersebut oleh para generasi muda Cirebon. Sebagaimana di

kemukakan pada Saresehan Seni Budaya Cirebon tanggal 5 Mei 2014 di Keraton

Kacirebonan, bahwa: “Ada kecenderungan para generasi muda Cirebon, sudah

kurang berminat untuk mempelajari atau mewarisi budaya sendiri”.

Perlu dilakukan studi yang komprehensif untuk mengetahui faktor

penyebab internal mengapa generasi muda cenderung meninggalkan budaya

leluhurnya. Namun salah satu isu yang kerap menjadi perdebatan di kalangan

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.upi.edu/21088/4/D_IPS_1007242_Chapter1.pdf · A. Latar Belakang Penelitian Modernisasi dan globalisasi merupakan fenomena

9

Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

masyarakat adalah masalah ideologi. Konflik ideologi yang berkenaan dengan

tradisi di keraton seperti kliwonan, panjang jimat, ziarah kubur hakekatnya terjadi

dalam konteks gagasan, tataran pemikiran atau pemahaman yang berbeda antara

kelompok masyarakat Islam yang pro dan kontra.

Fenomena konflik tersebut di atas tidak hanya pada tradisi kliwonan di

Astana Gunung Jati, tetapi terjadi juga pada tradisi-tradisi lainnya seperti ziarah

pada lokasi situs-situs peninggalan wali, upacara panjang jimat, syawalan,

nadran, sedekah bumi dan lain-lain. Karena pada umumnya tradisi dan budaya

tersebut bersinggungan dengan unsur kepercayaan dan nilai-nilai yang bersifat

subtansial.

Sampai saat ini Keraton Cirebon memposisikan dirinya sebagai

komunitas pemangku adat. Dengan demikian keaslian budaya Cirebon core-nya

ada pada komunitas keraton Cirebon. Keraton menjadikan dirinya sebagai benteng

pertahanan budaya Cirebon. Oleh sebab itu walaupun ada golongan masyarakat

yang pro maupun yang kontra terhadap tradisi keraton, mereka tetap

mempertahankan tradisi yang telah ada. Sepanjang tahun di keraton tidak luput

dari kegiatan yang sudah mentradisi. Bagi mereka melaksanakan tradisi

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya meneruskan ajaran leluhur

mereka. Para pendahulu mereka mengajarkan den hormat ing wong tua dan den

hormat ing leluhur, melestarikan tradisi dan ajaran leluhur merupakan bentuk

penghormatan dan penghargaan kepada pendahulu mereka.

Faktor eksternal dan internal ini memberi kontribusi terhadap

melunturnya budaya lokal di kalangan generasi muda. Transformasi kebudayaan

sendiri merupakan suatu keniscayaan dan kepastian. Namun demikian perubahan

sosial dan budaya yang lepas dari akar budaya lokal berdampak pada hilangnya

identitas etnik dan kebangsaan. Transformasi budaya dapat disetting sedemikian

rupa agar akar budaya lokal tidak terlepas dari induk budaya asalnya. Disisi lain

transformasi budaya juga harus mempertimbangkan sejauhmana nilai-nilai budaya

yang ada berkonstribusi terhadap kemajuan suatu bangsa.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.upi.edu/21088/4/D_IPS_1007242_Chapter1.pdf · A. Latar Belakang Penelitian Modernisasi dan globalisasi merupakan fenomena

10

Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Untuk mengantisipasi melunturnya budaya lokal yang berkepanjangan,

maka pendidikan berbasis budaya merupakan pilihan yang harus diambil.

Petama, melalui pendidikan transformasi dapat dilakukan rekonstruksi budaya

kepada generasi muda sedini mungkin. Kedua transformasi budaya yang terjadi

di masyarakat tetap masih berakar pada nilai-nilai kearifan lokal. Nilai-nilai

kearifan lokal ini merupakan bagian dari sistem sosial yang berfungsi mengatur

tata peri kelakuan anggota masyarakatnya. Oleh karena itu pendidikan harus

difungsikan sebagai upaya “… menggali, menemukan, membangun dan

mentransmisikan moral dan nilai berasal dari keunggulan lokal karena

kearifannya menjadi suatu kebutuhan” (Maryani, 2011, hlm. 6), di era masyarakat

yang terbuka dan demokratis.

Menurut Anthony D. Smith (dalam Tilaar, 2007, hlm. 143) , dalam dunia

pendidikan ada tiga asumsi dasar yang harus menjadi pemikiran, yaitu…

pertama, adanya unsur-unsur sentral seperti simbolik, mitos, memori,

tradisi, nilai-nilai, ritus-ritus dan simbol, yang berfungsi di dalam

terbentuknya suatu bangsa. Kedua, unsur-unsur simbol tersebut di atas

diambil dari simbol-simbol etnis dan simbol-simbol etno religious, mitos,

memori dan tradisi dari penduduk yang mempunyai hubungan satu dengan

yang lainnya. Ketiga unsur-unsur etno simbolik tersebut meskipun dapat

berubah dari beresonasi diantara penduduk untuk waktu yang lama bahkan

sebelum lahirnya nasionalisme modern.

Cirebon sebagai masyarakat multi etnik, maka budaya memiliki

kontribusi yang nyata dalam membangun jiwa nasionalisme/kebangsaan. Untuk

itu perlu upaya penggalian terhadap apa yang disebut nilai-nilai kearifan lokal

(local wisdom). Sebagaimana dikemukakan Maryani, (2011, hlm.1) bahwa:

“Dalam penjelajahan jaman untuk mencapai tujuan „kesejahtaeraan dan kebesaran

suatu bangsa‟, Indonesia membutuhkan energi dalam bentuk jati diri (sense of

identity), solideritas (sense of solidarity), rasa saling memiliki (sense of

belonging), dan kebanggaan bangsa (sense of pride)”.

Sikap dan rasa serta dorongan untuk mempertahankan identitas diri suatu

bangsa sehingga memiliki jati diri yang akan menjadi kepribadian bangsa,

merupakan modal sosial (social capital) yang sangat potensial untuk

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.upi.edu/21088/4/D_IPS_1007242_Chapter1.pdf · A. Latar Belakang Penelitian Modernisasi dan globalisasi merupakan fenomena

11

Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

pembangunan suatu bangsa yang beridentitas dan bermartabat. Dengan

menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan seperti patriotisme dan nasionalisme,

tanggung jawab, kejujuran serta kerja keras, maka Indonesia akan menjadi negara

yang eksistensinya dihormati oleh bangsa-bangsa di dunia.

Di era modernisasi dan globalisasi yang begitu hebat melanda bangsa-

bangsa di dunia, maka nilai kearifan lokal memiliki kedudukan yang sangat

penting dan strategis, oleh sebab itu perlu dilestarikan dan dijaga. Karena

menurut Wagiran (2012, hlm. 333) bahwa.

Kearifan lokal merupakan modal pembentukan karakter luhur. Karakter

luhur adalah watak bangsa yang senantiasa bertindak dengan penuh

kesadaran, purba diri, dan pengendalian diri. Pijaran kearifan lokal selalu

berpusat pada upaya menanggalkan hawa napsu, meminimalisir keinginan

dan menyesuaikan dengan empan papan. Kearifan lokal adalah suatu

wacana keagungan tata moral.

Melalui identifikasi nilai sosial budaya lokal, keluarga, masyarakat dan

sekolah dapat memformulasikan dengan tepat, teruji, dan terukur bagaimana

nilai-nilai kearifan lokal dapat dijadikan sebagai media atau sumber pembelajaran

di sekolah. Perlu pula disadari bahwa“..modal kultural bukanlah sesuatu yang

berkaitan dengan ras, biologis, tetapi merupakan sesuatu yang dilahirkan dan

dikembangkan dalam suatu komunitas, apakah komunitas etnis atau komunitas

suatu bangsa” (Tilaar, 2007, hlm.57).

Sudah sewajarnya lingkungan sosial budaya menjadi basis dalam

proses pendidikan dan pengajaran di sekolah. Institusi pendidikan di negeri ini

jangan sampai “tidak ada pelajaran yang menyebabkan si siswa mengenal

sumber budayanya. Tidak ada yang menganggap perlu anak-anak didik yang akan

menjadi pewaris negara dan bangsa Indonesia mengenal dengan baik sumber

budayanya.

Pada dasarnya pendidikan mencakup seluruh proses yang membantu

pembentukan pola pikir, dan karakter manusia sepanjang hidup. Dapatlah

dikatakan bahwa generasi muda secara kultur tidak matang dengan sendirinya

akan tetapi mereka perlu ditunjuki jalan untuk mencapai kematangan. Sudah

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.upi.edu/21088/4/D_IPS_1007242_Chapter1.pdf · A. Latar Belakang Penelitian Modernisasi dan globalisasi merupakan fenomena

12

Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

semestinya lingkungan sosial budaya menjadi bagian yang tidak terpisahkan

dalam sistem kurikulum dan pengajaran di sekolah.

Peletakan dasar-dasar nilai dan sikap (Values and attitude), yang didasari

pada nilai sosial budaya, baik pada tataran lokal, regional, nasional merupakan

suatu bagian yang tidak terpisahkan dalam pencapaian tujuan pendidikan.

Pendidikan dasar minimal memiliki empat fungsi, yaitu: fungsi pengembangan

pribadi, fungsi pengembangan kemampuan sosial, fungsi pembekalan untuk

melanjutkan studi dan fungsi persiapan untuk mengembangkan karier”.

Mata pelajaran IPS pada sistem pendidikan nasional memiliki kedudukan

(legal standing) yang strategis dalam membingkai kelangsungan pembangunan

dan kehidupan berbangsa dan bernegara. Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2003, pasal 37 menyatakan: „Pendidikan IPS bertugas untuk mengembangkan

pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis peserta didik terhadap kondisi

sosial masyarakat, untuk kemudian secara bertahap ikut mengurangi dan

mengatasi problem-problem sosial yang ada”.

Dalam konsteks kebangsaan (unity), pendidikan IPS harus dimaknai

sebagai pendidikan yang „tidak bebas nilai tetapi syarat dengan nilai‟.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat melahirkan

fenomena globalisme yang merasuk pada sendi-sendi kehidupan generasi muda

Indonesia. Pendidikan IPS dihadapkan pada banyak tantangan, oleh sebab itu

“pendidikan IPS akan memiliki kekuatan epistemologi yang kokoh, apabila

dikembangkan atas paradigma modern yang berbasis pada keterpaduan sains,

teknologi dan agama dalam situasi sosial kultural Indonesia didukung oleh

kekuatan epistemologi penelitian” (Al Muchtar, 2013,hlm.35). Pernyatan tersebut

dipertegas oleh Tilaar (2007, hlm. 210) yang mengkritisi sistem pendidikan pada

era Orde Baru dimana: “…pendidikan formal maupun non formal secara

sistematik mulai terasingkan dari kebudayaan, baik kebudayaan lokal maupun

kebudayaan nasional”. Dari perspektif ini pembelajaran IPS memiliki kedudukan

yang strategis, untuk meluruskan arah praktik pendidikan dan pengajaran di

sekolah agar pendidikan nasional Indonesia mampu membekali siswa pada

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.upi.edu/21088/4/D_IPS_1007242_Chapter1.pdf · A. Latar Belakang Penelitian Modernisasi dan globalisasi merupakan fenomena

13

Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

pengenalan, pemahaman, penyadaran, pewarisan, pengembangan dan

pengamanan terhadap nilai-nilai sosial budaya baik lokal maupun nasional.

Melalui pendidikan IPS berbasis nilai sosial budaya ini diharapkan ada

dua pencapaian yang dapat diraih. Pertama, pendidikan sebagai proses pewarisan

nilai-nilai tradisi budaya (transmisi nilai). Kedua, pendidikan sebagai proses

transformasi nilai. Menurut Sarjio dan Pannen (2005, hlm. 88) bahwa: “Dalam

pembelajaran berbasis sosial budaya, maka fenomena sosial budaya menjadi

sebuah media bagi siswa untuk mentransformasikan hasil observasi mereka ke

dalam bentuk dan prinsip yang kreatif tentang alam‟.

Implikasinya adalah pembelajaran berbasis nilai sosial budaya ini, tidak

hanya sebagai proses transmisi, tetapi juga untuk membangun ketrampilan

berpikir kritis pada siswa. Pembelajaran dapat menciptakan kebermaknaan dan

siswa memperoleh pemahaman akan informasi yang didapat tersebut sebagai

suatu landasan yang rasional dalam mensikapi suatu nilai budaya yang yang

dipelajarinya Lebih lanjut Sarjio dan Pannen (2005, hlm.86) menyatakan bahwa:

…proses pembelajaran berbasis budaya bukan sekedar mentransfer atau

menyampaikan budaya atau perwujudan budaya tetapi menggunakan

budaya untuk menjadikan siswa mampu menciptakan makna, menembus

batas imajinasi, dan kreativitas untuk mencapai pemahaman yang

mendalam tentang mata pelajaran yang dipelajarinya”.

Pendekatan pembelajaran berbasis nilai sosial budaya lokal, sangat relevan

untuk diterapkan pada pembelajaran IPS. Karena salah satu ruang lingkup dari

pembelajaran IPS adalah fenomena sosial dan budaya mulai dari lingkungan

sekitar sampai pada tataran yang lebih luas. Dengan sistem kurikulum yang

berbasis pada satuan pendidikan serta desentralisasi penyelenggaraan pendidikan,

maka pendidikan dan pengajaran IPS yang berbasis pada nilai sosial budaya lokal

sangat terbuka untuk mengakomodasi nilai-nilai sosial budaya tersebut ke dalam

kurikulum dan pembelajaran IPS di sekolah.

Budaya lokal melahirkan kearifan lokal. Terdapat pada suatu masyarakat,

baik masyarakat dalam arti luas maupun masyarakat dalam konteks komunitas

sekalipun. Menurut Rahyono, (dalam Wahyuningsih, 2014, hlm. 172) dikatakan:

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.upi.edu/21088/4/D_IPS_1007242_Chapter1.pdf · A. Latar Belakang Penelitian Modernisasi dan globalisasi merupakan fenomena

14

Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki oleh

kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat.

Artinya kearifan lokal adalah hasil dari masyarakat tertentu melalui

pengalaman mereka dan belum tentu dialami oleh masyarakat lain. Nilai-

nilai tersebut akan melekat sangat kuat pada masyarakat tertentu dan nilai

itu sudah melalui perjalanan waktu yang panjang sepanjang keberadaan

masyarakat tersebut.

Dari pandangan tersebut di atas dapat dimaknai bahwa kurikulum dan

pembelajaran IPS hendaknya tidak melepaskan diri dari lingkungan sosial budaya.

Namun demikian dalam praktik di kelas pembelajaran IPS harus dapat

membangun kompetensi siswa terhadap pemahaman nilai-nilai sosial budaya di

lingkungannya. Dalam arti proses transformasi nilai melalui pembelajaran IPS

harus dapat membantu siswa agar memiliki wawasan, pengetahuan, kesadaran,

daya kritis serta tindakan yang tepat dalam mengsikapi nilai-nilai sosial budaya

lokal yang ada di lingkungannya. Sehingga siswa memiliki kesadaran nilai-nilai

mana yang harus dipertahankan, dikembangkan atau yang harus dihindarkan.

Adanya konflik antara kelompok masyarakat yang pro dan yang kontra

terhadap tradisi-tradisi yang ada di Cirebon, derasnya arus globalisasi,

melunturnya minat generasi muda terhadap budaya lokal, itu semua harus

mendapat perhatian di kalangan stakeholder pendidikan dan pembelajaran IPS

di sekolah. Artinya para stakeholder ke-IPS-an harus memiliki gagasan yang

konseptual bagaimana praksis pembelajaran IPS di sekolah mampu memberikan

konstribusi terhadap pemecahan masalah sebagaimana dikemukakan di atas.

Atas dasar kajian baik secara teoritis maupun kajian empirik tersebut di

atas, peneliti memiliki ide dan gagasan untuk melakukan studi etnopedagogis

pada Komunitas Keraton Kasepuhan Cirebon. Melalui studi etnopedagogis ini

diharapkan dapat memperkaya ontologi, epistemologi dan aksiologi

pembelajaran IPS di sekolah, utamanya pada pengembangan kurikulum dan

pembelajaran IPS yang berbasis pada kearifal lokal.

B. Identifikasi Masalah Penelitian

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.upi.edu/21088/4/D_IPS_1007242_Chapter1.pdf · A. Latar Belakang Penelitian Modernisasi dan globalisasi merupakan fenomena

15

Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Cirebon merupakan kawasan di Timur Laut Jawa Barat, yang memiliki

keragaman dan kekayaan sosial budaya. Keragaman dan kekayaan budaya

Cirebon, tidak lepas dari latar belakang geografis dan sejarah peradaban Cirebon

itu sendiri. Pengaruh budaya primordial (lokal) yang masih diwarnai dengan

nuansa anismisme dan dinamisme, serta munculnya peradaban Hindu dan Buddha

pada masa kekuasaan raja-raja di tatar Pasundan, masuk pula peradaban Islam

pada abad ke 15, serta bangsa Eropa pada abad ke 17 menjadikan Cirebon sebagai

„muara budaya‟ (meltingpot) dari berbagai peradaban, agama dan etnik. Namun

“seiring dengan adanya transformasi sosio-kultural dalam serbuan globalisasi

dewasa ini, menunjukkan rendahnya apresiasi masyarakat terutama kaum muda

terhadap budaya sendiri” (Dahuri,dkk, 2004, hlm. xi).

Mengkritisi hal tersebut di atas, peran pendidikan dan pengajaran IPS

menjadi sangat penting dalam mentransformasikan nilai-nilai sosial budaya lokal.

Ada dua alasan mengapa transformasi nilai sosial budaya dalam pembelajaran di

sekolah memiliki kedudukan yang strategis. Pertama, arus modernisasi dan

globalisasi berdampak terjadinya transformasi nilai budaya lokal yang dapat

mengeliminasi nilai-nilai kearifan budaya setempat. Kedua, transformasi nilai

sosial budaya juga dianggap penting, manakala terjadinya distorsi terhadap nilai-

nilai sosial budaya yang ada di masyarakat, seperti munculnya perilaku

totenisme, sinkretifisme, sikap pasrah/menyerah pada nasib, pemikiran mistis,

berorientasi pada masa lalu dan lain sebagainya.

Untuk menggali fenomena sosial budaya yang terjadi di Cirebon, peneliti

melakukan berbagai pendalaman melalui studi pendahuluan, maupun mengikuti

berbagai forum diskusi. Seperti (1) Diskusi Revitlisasi Keraton Sebagai Pusat

Budaya Lokal di Keraton Kesepuhan Pada tanggal 18 Juni 2012. (2) Forum

Diskusi Pembangunan Cirebon di Islamic Center Kota Cirebon pada tanggal 13

April 2013. (3) Forum diskusi Cirebon Menuju Era Keemasan di Jalan

Gerilyawan 12 Desember 2013. (4) Saresehan Seni Budaya Cirebon di Keraton

Kecirebonan pada tanggal 5 Mei 2014.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.upi.edu/21088/4/D_IPS_1007242_Chapter1.pdf · A. Latar Belakang Penelitian Modernisasi dan globalisasi merupakan fenomena

16

Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Dari berbagai kegiatan diskusi dan survey pendahuluan, teridentifikasi temuan

permasalahan sebagai berikut.

1. Ada kecenderungan terjadi demoralisasi di kalangan remaja Cirebon, seperti

meningkatnya tingkat kenakalan remaja, penyalahgunaan obat-obatan

terlarang, kematangan sexual sebelum waktunya, kurang sopan santun,

kurang menghormati orang tua, gaya hidup kebarat-baratan yang tidak selaras

dengan nilai-nilai lokal.

2. Menurunnya animo generasi muda Cirebon terhadap seni dan budaya lokal.

khususnya pada seni-seni tradisional, salah satu indikator adalah sedikitnya

animo masyarakat untuk menjadi siswa SMK Pakungwati Cirebon, yang

merupakan satu-satunya lembaga pendidikan seni dan budaya di Kota

Cirebon.

3. Adanya konflik antara kelompok masyarakat yang pro dan kontra terhadap

tradisi-tradisi budaya Cirebon, dapat mempercepat melunturnya budaya dan

tradisi Cirebon.

4. Nilai sosial budaya Cirebon belum teridentifikasi secara menyeluruh, hal ini

merupakan hambatan dalam proses internalisasi dan sosialisasi nilai-nilai

sosial budaya lokal Cirebon kepada generasi muda.

5. Kurangnya peran aktif masyarakat Cirebon, sehingga proses internalisasi,

enkulturasi dan transformasi nilai-nilai budaya Cirebon belum efektif.

6. Secara konseptual sekolah belum memasukkan nilai sosial budaya lokal

Cirebon ke dalam kurikulum dan pembelajaran sekolah.

7. Pengembangan kurikulum IPS di SMP belum menyentuh ranah sosial

budaya lokal, karena persepsi guru yang masih terlalu fokus pada pencapaian

target kurikulum dalam setiap pembelajaran.

8. Kurangnya sumber-sumber informasi tentang sosial budaya Cirebon seperti

buku bacaan, jurnal penelitian, artikel dan lain-lain, merupakan salah satu

kendala bagi guru dalam mengembangkan kurikulum berbasis sosial budaya

lokal Cirebon.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.upi.edu/21088/4/D_IPS_1007242_Chapter1.pdf · A. Latar Belakang Penelitian Modernisasi dan globalisasi merupakan fenomena

17

Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Persoalan budaya sebagaimana teridentifikasi di atas, merupakan masalah

tidak hanya bagi masyarakat lokal Cirebon, tetapi merupakan masalah yang

berskala nasional. Kalau dibiarkan akan berakibat pada makin berkurangnya

kekayaan budaya nasional. Untuk itu diperlukan studi empirik dan kajian kritis

terhadap kekayaan budaya lokal termasuk budaya Cirebon. Cara ini merupakan

sarana untuk menggunakan pendekatan etnopedagogi dalam pembelajaran IPS.

Atas dasar pemikiran tersebut diatas, penelitian ini fokus pada (1)

kehidupan sosial budaya komunitas Keraton Kasepuhan Cirebon, (2) identifikasi

nilai-nilai kearifan lokal yang dapat diangkat ke dalam kurikulum dan

pembelajaran IPS di SMP, (3) bagaimana mentransformasikan nilai-nilai tersebut

melalui pembelajaran IPS di sekolah.

C. Fokus Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Fokus penelitian adalah “Transformasi nilai sosial budaya komunitas

Keraton Kasepuhan Cirebon, ke dalam kurikulum dan pembelajaran IPS pada

Sekolah Menengah Pertama di Kota Cirebon”. Adapun rumusan pertanyaan

penelitian adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana kehidupan sosial budaya komunitas Keraton Kasepuhan Cirebon?

2. Nilai sosial budaya apa yang terdapat pada komunitas Keraton Kasepuhan

Cirebon yang dapat ditransformasikan ke dalam kurikulum dan

pembelajaran IPS pada jenjang pendidikan SMP di Cirebon ?

3. Bagaimana mentransformasikan nilai sosial budaya komunitas Keraton

Kasepuhan Cirebon ke dalam Kurikulum dan Pembelajaran IPS di

sekolah ?

D. Pembatasan Masalah

Karena terbatasnya waktu dan biaya, penelitian ini dibatasi pada.

1. Subjek dan situs studi sosial budaya dilakukan pada Komunitas Keraton

Kasepuhan Cirebon, yang terletak di Kampung Mandalangen Kelurahan

Kasepuhan Kecamatan Lemahwungkuk Kota Cirebon.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.upi.edu/21088/4/D_IPS_1007242_Chapter1.pdf · A. Latar Belakang Penelitian Modernisasi dan globalisasi merupakan fenomena

18

Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

2. Subjek atau situs penelitian pada benda artifacts difokuskan pada

baluwarti (bangunan) keraton, Masjid Agung Sangciptarasa dan Astana

Gunung Jati. Unsur mentifacts difokuskan pada petata-petiti leluhur keraton.

Unsur Sociofacts difokuskan pada tradisi muludan, tradisi kliwonan (ziarah

kubur), dan seni pertunjukkan topeng Cirebon.

3. Subjek penelitian untuk implementasi transformasi dalam pembelajaran IPS

adalah guru, dan siswa kelas VII A, SMP Negeri 3 Cirebon.

4. Sikap sosial yang bersumber dari nilai sosial budaya komunitas keraton

yang transformasikan melalui pembelajaran IPS di SMP Kota Cirebon

adalah fokus pada nilai-nilai toleransi, kepedulian atau gotong royong dan

tanggungjawab.

5. Pembelajaran menggunakan pendekatan terintegrasi (additive approach) ke

dalam Kurikulum IPS tahun 2013 kelas VII. Thema pembelajaran “Keadaan

Alam dan aktivitas penduduk Indonesia” sedangkan subthema “Kehidupan

sosial Masyarakat pada masa praaksara, Hindu-Buddha dan Islam”.

E. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian adalah: Untuk memperoleh pengetahuan

empirik bagaimana nilai-nilai sosial budaya lokal Cirebon dapat

ditransformasikan melalui desain pembelajaran nilai pada mata pelajaran IPS di

SMP”. Sedangkan tujuan khususnya adalah sebagai berikut:

1. Memperoleh gambaran umum tentang kehidupan sosial budaya komunitas

Keraton Kasepuhan Cirebon.

2. Mengidentifikasi nilai sosial budaya komunitas Keraton Kasepuhan

Cirebon yang dapat ditransformasikan ke dalam kurikulum dan

pembelajaran IPS pada SMP di Kota Cirebon.

3. Memvertifikasi bagaimana transformasi nilai-nilai sosial budaya komunitas

Keraton Cirebon ke dalam pembelajaran IPS pada SMP di Kota Cirebon.

F. Manfaat Penelitian

Transformasi nilai sosial budaya komunitas Keraton Kasepuhan Cirebon

akan dijadikan sebagai pendekatan etnopedagogi dalam pengembangan

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.upi.edu/21088/4/D_IPS_1007242_Chapter1.pdf · A. Latar Belakang Penelitian Modernisasi dan globalisasi merupakan fenomena

19

Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

kurikulum dan pembelajaran IPS di Sekolah Menengah Pertama. Tema penelitian

ini dipilih dengan harapan dapat memperkaya kajian pendidikan pembelajaran

IPS di sekolah, yaitu sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

Penelitian tentang Cirebon telah banyak dilakukan oleh para peneliti

dari berbagai disiplin ilmu. Mereka yang mengambil subjek penelitian tentang

sosial budaya Cirebon diantaranya adalah, Humaedi (2013), Haris,T. (2010),

Dadan Wildan (2002), Hendriyana (2007), Hasim,W. (2014), Dyah

Ayuningsih, (2010) dan Abdullah Ali (2007), Masduqi, (2012), Karim, M.,

dkk., (2012)

Penelitian mereka berlatar studi sosial dan humaniora. Adapun

penelitian ini fokus pada studi etnopedagogi tradisi sosial budaya komunitas

keraton Kasepuhan Cirebon. Setidak-tidaknya ada dua manfaat studi

etnopedagogis yang mengangkat nilai-nilai kearifan lokal ke dalam

pembelajaran IPS. Pertama, melalui pendekatan etnopedagogi dapat

ditemukan nilai-nilai kearifan lokal komunitas Kasepuhan Cirebon yang

relevan dengan kebutuhan pendidikan dan pengajaran IPS di sekolah. Kedua,

melalui studi etnopedagogi tersebut, dan hasilnya ditransformasikan melalui

pembelajaran IPS akan ditemukan teori pembelajaran IPS yang berbasis pada

nilai kearifan lokal, hal ini akan memperkaya ontologi, epistemologi dan

aksiologi pendidikan dan pembelajaran IPS.

2. Manfaat praktis

a. Pendidikan karakter menjadi isu yang mengemuka dalam sistem

pendidikan nasional di Indonesia, utamanya pada dekade awal tahun 2010-

an. Isu ini direspon oleh Kementrian Pendidikan Nasional pada saat itu,

dengan menyisipkan (additive) pendidikan karakter ke dalam KTSP tahun

2006. Pada Kurikulum 2013 pendidikan karakter lebih diperkuat dengan

memasukkan Kompetensi Inti 2 (KI 2), yaitu kompetensi inti sikap sosial

ke dalam setiap mata pelajaran tidak terkecuali mata pelajaran IPS.

Dengan demikian hasil studi etnopedagogi pada komunitas Keraton

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.upi.edu/21088/4/D_IPS_1007242_Chapter1.pdf · A. Latar Belakang Penelitian Modernisasi dan globalisasi merupakan fenomena

20

Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Kasepuhan Cirebon, dapat diimplementasikan tidak hanya pada mata

pelajaran IPS tetapi dapat dimanfaatkan pula untuk mata pelajaran lain.

b. Hasil penelitian ini dapat memberi inspirasi bagi guru untuk

mengembangkan kurikulum dan pembelajaran IPS yang bersumber pada

lingkungan sosial budaya lokal (kearifan lokal).

c. Hasil penelitian ini, apabila diimplementasikan ke dalam kurikulum dan

pembelajaran, dapat memperkaya pengalaman belajar siswa. Hal ini

penting untuk menumbuhkan motivasi belajar serta menumbuhkan

kesadaran untuk memelihara, mewarisi nilai-nilai sosial budaya di

lingkungan tempat tinggalnya.

G. Struktur Organisasi Penulisan Disertasi

Ada lima bab penulisan laporan penelitian ini, yaitu bab pendahuluan,

tinjauan pustaka, metode penelitian, hasil penelitian dan pembahasan, serta bab

terakhir meliputi simpulan, implikasi hasil penelitian, rekomendasi dan

keterbatasan penelitian.

Bab pendahuluan berisi latar belakang masalah penelitian, identifikasi

masalah, fokus dan pertanyaan penelitian, pembatasan masalah penelitian, tujuan

dan manfaat penelitian serta organisasi struktur penulisan disertasi.

Bab dua, berisi tinjauan pustaka meliputi. Pertama, komunitas keraton

ditinjau dari teori sistem. Pada sub bab ini dibahas teori sistem sosial masyarakat

Indonesia, dan teori tentang keraton sebagai sistem masyarakat, berdasarkan

teori fungsional struktural dari Parson‟s. Termasuk penjelasan tentang konsep

sistem sosial, sistem budaya serta konsep dan teori masyarakat. Kedua, teori

transformasi nilai sosial budaya, berisi penjelasan konsep dan teori transformasi,

transformasi sebagai proses sosial budaya serta penjelasan konsep dan teori

nilai-nilai sosial budaya.

Tinjauan pustaka ketiga, berisi penjelasan konsep dan teori tentang

pendidikan nilai dalam kerangka pembelajaran IPS di sekolah. Meliputi

penjelasan tentang konsep dan teori ke-IPS-an, tujuan pendidikan dan

pembelajaran, materi dan sumber pembelajaran, serta teori pendidikan IPS

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.upi.edu/21088/4/D_IPS_1007242_Chapter1.pdf · A. Latar Belakang Penelitian Modernisasi dan globalisasi merupakan fenomena

21

Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

berbasis nilai sosial budaya. Tinjauan pustaka yang keempat, berisi kerangka

konseptual transformasi nilai sosial budaya dalam kurikulum pembelajaran IPS.

Pada sub judul ini dibahas tentang desain pembelajaran IPS berbasis kearifan

lokal, meliputi landasan filosofis, teori belajar, teknik klarifikasi nilai sebagai

pendekatan dalam pembelajaran nilai. Kelima, pada akhir bab diangkat beberapa

hasil peenelitian terdahulu yang relevan serta rumusan paradigma penelitian.

Bab tiga, penjelasan tentang metodologi penelitian yang digunakan

peneliti. Berisi lima penjelasan berturut-turut, penjelasan tentang motode dan

pendekatan penelitian, desain penelitian, situs dan subjek penelitian, sumber data

dan teknik pengumpulan data, instrument penelitian, serta analisis data dan teknik

men-validasi data.

Bab empat berisi deskripsi analisis hasil penelitian dan pembahasan. Pada

bab ini menyajikan lima thema atau sub judul. Thema pertama, yaitu deskripsi

kondisi sosial budaya Kota Cirebon, meliputi latar sejarah singkat, latar

georgrafis, struktur demografis, sosial ekonomi dan sosial politik di Kota

Cirebon. Thema kedua, yaitu deskripsi dan analisis data hasil studi sosial

budaya komunitas Keraton Kasepuhan Cirebon. Data yang disajikan dan

dianalisis meliputi situs bangunan atau benda cagar budaya, geneologi, sistem

keperibadian, sistem sosial dan sistem budaya, pada akhir thema diuraikan hasil

pembahasan.

Thema ketiga, yaitu deskripsi hasil penelitian tentang nilai-nilai kearifan

lokal yang dapat diangkat dalam kurikulum dan pembelajaran IPS di SMP.

Meliputi deskripsi dan interpretasi nilai-nilai simbolik pada cagar budaya

artifacts, deskripsi dan interpretasi nilai-nilai simbolik pada budaya mentifacts,

deskripsi dan interpretasi nilai-nilai simbolik pada budaya sociofacts. Pada akhir

analisis data dilakukan pembahasan dari ketiga wujud budaya tersebut.

Keempat, yaitu deskripsi analisis dan interpretasi hasil penelitian

implementasi transformasi nilai sosial budaya ke dalam kurikulum dan

pembelajaran IPS. Penyajian data diawali dengan pemetaan nilai sosial budaya

yang ditransformasikan ke dalam kurikulum IPS tahun 2013, dilanjutkan dengan

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitianrepository.upi.edu/21088/4/D_IPS_1007242_Chapter1.pdf · A. Latar Belakang Penelitian Modernisasi dan globalisasi merupakan fenomena

22

Iin Wariin B, 2015 TRANSFORMASI NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN IPS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

penjelasan singkat profil SMP Negeri 3 sebagai subjek penelitian. Selanjutnya

deskripsi singkat terhadap karakteristik kurikulum 2013 pada mata pelajaran IPS.

Sub bab selanjutnya menyajikan bagaimana pendekatan etnopedagogi

diimplementasi ke dalam pembelajaran IPS di sekolah. Pada sub bab ini diakhiri

dengan pembahasan hasil analisis interpretasi implementasi transformasi nilai-

nilai sosial budaya ke dalam pembelajaran IPS di subjek penelitian. Kelima, yaitu

men-identifikasi temuan dari ketiga fokus penelitian.

Bab lima merupakan bab yang terakhir dari rangkaian laporan hasil

penelitian. Ada empat poin yang diuraikan pada bab ini. Pertama, yaitu simpulan

hasil penelitian. Kedua, penjelasan tentang implikasi hasil penelitian. Ketiga,

berupa rekomendasi yang sasaarnnya adalah stakeholder insan pendidikan dan

pengajaran IPS, serta para peneliti pendidikan dan pembelajaran IPS. Pada akhir

bab lima disampaikan beberapa kelemahan yang disadari oleh peneliti.

Pada akhir penulisan dilaporkan pula daftar pustaka atau daftar literatur

sebagai rujukan. Serta lampiran penelitian berupa matrik penelitian, instrument

penelitian, transkrip hasil wawancara dengan nara sumber, dokumentasi catatan

hasil penelitian, administrasi penelitian, dan daftar riwayat hidup peneliti.