1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak Undang-Undang No.14 Tahun 2008 mengenai Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dipublikasikan, maka timbul tantangan baru bagi badan publik di Indonesia. Undang-undang tersebut merangsang masyarakat untuk menuntut ketersediaan informasi dari badan publik yang dapat diakses dan digunakan. Pada dasarnya, UU KIP ini memiliki tiga sumbu utama yaitu transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas publik. 1 Ketiga sumbu utama tersebut kemudian dijadikan indikator yang komprehensif untuk menilai implementasi UU KIP pada badan publik dalam memberikan akses informasi yang terbuka dan efisien kepada masyarakat. Salah satu syarat dalam melaksanakan UU KIP ini adalah melalui dibentuknya sebuah unit kerja dalam badan publik yang dapat digunakan sebagai “media” untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Beberapa di antaranya adalah melalui pembentukan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID), pembuatan website, call center, dan lain sebagainya. Perangkat-perangkat tersebut yang nantinya akan digunakan untuk menjalin komunikasi yang bersifat dua arah dengan publiknya maupun dengan masyarakat luas. Berbicara mengenai keterbukaan informasi publik maka akan erat kaitannya dengan isu good governance. Seperti yang kita ketahui bahwa negara kita pun sedang berjuang untuk dapat menerapkan good governance dalam proses penyelenggaraan pemerintah. Namun tentu saja hal ini tidak semudah yang dibayangkan. Banyak upaya yang masih harus dilakukan agar dapat menciptakan sebuah pemerintahan yang lebih baik ke depan. UU KIP menjadi salah satu bentuk nyata yang saat ini sedang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Pada akhirnya, isu good governance ini kemudian terus dikembangkan dalam rangka berpartisipasi untuk mewujudkan Open Government Relationship (OGP). Upaya ini merupakan inisiatif dari delapan negara di dunia (Brasil, Indonesia, 1 Undang-Undang No.14 Tahun 2008 mengenai Keterbukaan Informasi Publik PERAN HUMAS DALAM IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI BANK INDONESIA: Studi Kasus pada Bank Indonesia CAll & InteRAction (BICARA) ARDWITYA TIRZA KRISANTARI Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
29
Embed
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/78364/potongan/S1-2014-299277-chapter1.pdfnantinya akan digunakan untuk menjalin komunikasi yang bersifat
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak Undang-Undang No.14 Tahun 2008 mengenai Keterbukaan Informasi
Publik (KIP) dipublikasikan, maka timbul tantangan baru bagi badan publik di
Indonesia. Undang-undang tersebut merangsang masyarakat untuk menuntut
ketersediaan informasi dari badan publik yang dapat diakses dan digunakan. Pada
dasarnya, UU KIP ini memiliki tiga sumbu utama yaitu transparansi, partisipasi,
dan akuntabilitas publik.1 Ketiga sumbu utama tersebut kemudian dijadikan
indikator yang komprehensif untuk menilai implementasi UU KIP pada badan
publik dalam memberikan akses informasi yang terbuka dan efisien kepada
masyarakat.
Salah satu syarat dalam melaksanakan UU KIP ini adalah melalui dibentuknya
sebuah unit kerja dalam badan publik yang dapat digunakan sebagai “media”
untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Beberapa di antaranya adalah melalui
pembentukan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID), pembuatan
website, call center, dan lain sebagainya. Perangkat-perangkat tersebut yang
nantinya akan digunakan untuk menjalin komunikasi yang bersifat dua arah
dengan publiknya maupun dengan masyarakat luas.
Berbicara mengenai keterbukaan informasi publik maka akan erat kaitannya
dengan isu good governance. Seperti yang kita ketahui bahwa negara kita pun
sedang berjuang untuk dapat menerapkan good governance dalam proses
penyelenggaraan pemerintah. Namun tentu saja hal ini tidak semudah yang
dibayangkan. Banyak upaya yang masih harus dilakukan agar dapat menciptakan
sebuah pemerintahan yang lebih baik ke depan. UU KIP menjadi salah satu
bentuk nyata yang saat ini sedang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
Pada akhirnya, isu good governance ini kemudian terus dikembangkan dalam
rangka berpartisipasi untuk mewujudkan Open Government Relationship (OGP).
Upaya ini merupakan inisiatif dari delapan negara di dunia (Brasil, Indonesia,
1Undang-Undang No.14 Tahun 2008 mengenai Keterbukaan Informasi Publik
PERAN HUMAS DALAM IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI BANK INDONESIA:Studi Kasus pada BankIndonesia CAll & InteRAction (BICARA)ARDWITYA TIRZA KRISANTARIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
2
Meksiko, Norwegia, Filipina, Afrika Selatan, Inggris, Amerika Serikat) untuk
menciptakan pemerintahan yang lebih terbuka, transparan, dan akuntabel. Untuk
mewujudkannya dibutuhkan upaya yang berkelanjutan dan juga investasi jangka
panjang. Selain itu juga tentunya dibutuhkan kerjasama yang baik di antara
pemerintah dan masyarakat sipil.
Hal tersebut kemudian juga menjadi tantangan tersendiri bagi Bank Indonesia
sebagai bank sentral di negara ini. Bank Indonesia yang tergolong sebagai
Lembaga Negara Independen –selanjutnya akan disebut dengan LNI- menjadi
salah satu lembaga yang harus turut mengimplementasikan kebijakan UU KIP ini.
Bank Indonesia dituntut untuk mampu menyediakan informasi publik yang
memadai.2 Pemikiran tersebut muncul sebagai jawaban atas keresahan masyarakat
terkait keterbukaan informasi dari bank sentral Indonesia. Oleh karena itu timbul
sebuah gagasan untuk membuat sebuah media yang dapat menjalankan fungsi
tersebut. Pada akhirnya, Bank Indonesia memutuskan untuk membuat sebuah
contact center yang disebut dengan BICARA (Bank Indonesia Call &
Interaction).
BICARA merupakan layanan contact center yang ada di bawah kendali
Departemen Komunikasi Bank Indonesia.3 Layanan ini diresmikan pada tanggal
28 Oktober 2013. BICARA dibuat dengan tujuan mengedepankan keterbukaan
informasi publik. Melalui hal tersebut, Bank Indonesia dapat menunjukan dirinya
sebagai LNI yang peduli akan transparansi, efektivitas, dan akuntabilitas.
Contact center BICARA dibagi menjadi dua bagian yakni visitor center dan
call center. Visitor center digunakan untuk menangani layanan informasi bagi
masyarakat yang ingin bertanya dan datang langsung ke Bank Indonesia.
2Pada Undang Undang Keterbukaan Informasi Publik No.14 Tahun 2008, Bab I
Pasal I diungkapkan mengenai definisi dari informasi publik, yakni informasi yang
dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu Badan Publik yang
berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara
atau penyelenggaraan Badan Publik lainnya yang sesuai Undang-Undang ini, serta
informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik 3Departemen Komunikasi Bank Indonesia merupakan departemen yang
menjalankan fungsi sebagai PR atau pun humas dari Bank Indonesia itu sendiri. Sehingga
selanjutnya Departemen Komunikasi Bank Indonesia akan disebut dengan humas Bank
Indonesia dalam penelitian ini.
PERAN HUMAS DALAM IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI BANK INDONESIA:Studi Kasus pada BankIndonesia CAll & InteRAction (BICARA)ARDWITYA TIRZA KRISANTARIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
3
Sementara call center dimanfaatkan untuk menjawab pertanyaan, keluhan, dan
permohonan informasi yang disampaikan masyarakat melalui line telepon
BICARA yakni 500-131. Sampai saat ini layanan contact center BICARA masih
terus memublikasikan diri agar masyarakat aware terhadap keberadaan layanan
informasi tersebut. Melalui layanan contact center ini diharapkan dapat membantu
pencapaian reputasi bank sentral yang kredibel dan terpercaya. Selain itu, layanan
ini juga menjadi salah satu sarana untuk meningkatkan efektivitas implementasi
kebijakan Bank Indonesia itu sendiri. Pada prosesnya, BICARA menjadi
instrumen yang digunakan Bank Indonesia untuk mengintegrasikan seluruh
layanan informasi publik, yakni sebagai single point of contact.
Saat ini, BICARA sendiri berada di bawah Departemen Komunikasi yang
dalam hal ini berperan sebagai humas Bank Indonesia. Humas menjadi bagian
yang bertanggung jawab penuh dalam upaya implementasi keterbukaan informasi
publik melalui contact center BICARA. Oleh karena itu maka peran humas dalam
hal ini menjadi menarik untuk diperbincangkan.
Melalui latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk menganalisis lebih lanjut
mengenai peran humas dalam implementasi UU KIP di Bank Indonesia, terutama
pada contact center BICARA. Bagaimana peran humas dalam menjalankan proses
implementasi keterbukaan informasi melalui media tersebut? Hal inilah yang
kemudian akan menjadi persoalan inti dari penelitian ini. Peneliti berharap
penelitian ini dapat memperkaya kajian mengenai ranah kehumasan dalam upaya
implementasi keterbukaan informasi publik di dunia perbankan.
B. Rumusan Masalah
Berdasar latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang diajukan dalam
penelitian ini adalah:
Bagaimana peran humas dalam praktik implementasi Undang-Undang No. 14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik di Contact Center Bank
Indonesia “BICARA”?
PERAN HUMAS DALAM IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI BANK INDONESIA:Studi Kasus pada BankIndonesia CAll & InteRAction (BICARA)ARDWITYA TIRZA KRISANTARIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
4
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan untuk mencapai tujuan-tujuan berikut:
1. Untuk mendeskripsikan peran humas dalam implementasi keterbukaan
informasi publik pada Bank Indonesia melalui contact center Bank Indonesia
“BICARA” (Bank Indonesia Call & Interaction).
2. Untuk menganalisis peran humas dalam implementasi keterbukaan informasi
publik pada Bank Indonesia melalui contact center Bank Indonesia “BICARA”
(Bank Indonesia Call & Interaction).
D. Manfaat Penelitian
Setelah mengetahui rumusan dan tujuan dari penelitian ini maka manfaat dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi peneliti, penelitian ini dapat menjadi wadah untuk memperluas
pengetahuan di bidang implementasi keterbukaan informasi publik dalam dunia
perbankan.
2. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk
penelitian lebih lanjut mengenai implementasi dari Undang-Undang
Keterbukaan Informasi Publik No.14 Tahun 2008.
3. Bagi badan publik, hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan (input) untuk
kebijakan implementasi keterbukaan informasi publik di dalamnya.
E. Kerangka Pemikiran
1. Hubungan Masyarakat
1.1. Definisi Hubungan Masyarakat
Dalam sebuah perusahaan, fungsi hubungan masyarakat (humas) atau Public
Relation (PR) memiliki peran yang penting. Untuk mendeskripsikannya kita
dapat melihat melalui pandangan yang termuat dalam definisi “Public
Relations” oleh The Public Relations Society of America (PRSA)4:
4Lihat “PRSA’s Widely Accepted Definition”, dalam http://www.prsa.org/about
prsa/publicrelationsdefined/#.Uu3BaH--JTc. diakses pada tanggal 2 Februari 2014
PERAN HUMAS DALAM IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI BANK INDONESIA:Studi Kasus pada BankIndonesia CAll & InteRAction (BICARA)ARDWITYA TIRZA KRISANTARIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
5
“Public relations is a strategic communication process that builds
mutually beneficial relationships between organizations and their
publics.”
Pada tataran idealita, setiap perusahaan berkepentingan untuk membangun
hubungan baik dengan publik internal dan eksternalnya. Bahkan, Berger dan
Park (dalam Fortunato, 2005: 137) menyebutkan bahwa humas memiliki
kemampuan untuk memengaruhi opini, persepsi, perilaku, bahkan ideologi
pemangku kepentingan (stake holders) perusahaan. Oleh karena itu, peran
humas dalam perusahaan menjadi penting untuk mendukung pencapaian tujuan
tersebut.
Selain memiliki fungsi teknis, humas juga memiliki fungsi dalam ranah
manajemen (Cutlip, 2000: 4). Hal ini melibatkan manajemen problem atau
masalah, membantu manajemen untuk selalu mendapat informasi dan
merespon pendapat umum, mendefinisi dan menekankan tanggung jawab
manajemen dalam melayani kepentingan masyarakat. Sedangkan Grunig dan
Hunt, seperti dikutip Putra (1999: 3), lebih memfokuskan kegiatan humas
sebagai kegiatan komunikasi dengan mengemukakan pengertian humas sebagai
“the management of communication between an organization and its public”.
Jadi mereka melihat humas sebagai kegiatan pengelolaan komunikasi antara
sebuah organisasi dengan berbagai publiknya. Grunig dan Hunt tidak
menjelaskan untuk apa kegiatan komunikasi antara organisasi dan publiknya
dilakukan.
Definisi lain yang cukup tajam merumuskan fungsi dari humas adalah
definisi dari Baskin, Aronof, & Lattimore (dalam Putra, 1999: 5). Ketiga ahli
ini mendefinisikan humas sebagai berikut:
“Public relations is a management function that helps achieve
organizational objectives, define philosophy, and facilitate
organizational change. Public relations practitioners communicate with
all relevant internal and external publics to develop positive relationship
and to create consistency between organizational goals and societal
expectations. Public relations practitioners develop, execute, and
evaluate organizational programs that promote the exchange of influence
and understanding among an organization’s constituent parts and
publics.”
PERAN HUMAS DALAM IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI BANK INDONESIA:Studi Kasus pada BankIndonesia CAll & InteRAction (BICARA)ARDWITYA TIRZA KRISANTARIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
6
Dalam definisi tersebut memang menekankan fungsi humas dengan lebih
kompleks dan terperinci. Pada dasarnya, Baskin, Aronof, & Lattimore ingin
menyampaikan bahwa humas merupakan usaha untuk membangun hubungan
yang harmonis antara organisasi dengan publik-publiknya.
Selain itu, humas dalam sebuah perusahaan atau organisasi juga perlu
melihat keseimbangan keuntungan bagi semua pihak. Hal tersebut
diungkapkan dalam konteks menjalin hubungan yang baik antara perusahaan
dengan publik. Dalam melayani kepentingan berbagai macam kelompok
publik, manajemen perusahaan harus mampu memelihara keseimbangan
keuntungan informasi yang adil bagi setiap kelompok. Dengan begitu tidak ada
kelompok yang menerima keuntungan lebih besar dibandingkan yang lainnya.
Suatu perusahaan yang berhasil dalam memenuhi kepentingan publiknya
secara umum dapat dikatakan sebagai perusahaan yang berhasil menjalankan
fungsi humas dengan baik (Moore, 2004: 9).
Setelah melihat beberapa definisi yang muncul maka kita dapat melihat
betapa pentingnya keberadaan humas dalam suatu perusahaan ataupun institusi.
Salah satu unsur penting yang juga harus dimiliki oleh bagian humas adalah
sikap openness atau keterbukaan. Hal tersebut tentu saja menjadi tantangan
yang luar biasa bagi humas. Humas harus mampu memilih dan memilah secara
cerdas mengenai informasi yang hanya dapat diakses oleh perusahaan dengan
informasi yang harus dibagikan kepada publik. Untuk menjalankan hal
tersebut, dibutuhkan dukungan dan keterlibatan dari proses manajemen yang
baik di dalamnya (Lamb & Mckee, 2005: 2).
1.2. Fungsi dan Peran Hubungan Masyarakat
Di dalam setiap institusi maupun organisasi, fungsi dan peran dari humas dapat
memiliki dinamika yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut menurut Canfield
(1968: 4), dapat ditentukan oleh beberapa faktor yang memengaruhi. Beberapa
di antaranya adalah jumlah, ukuran dan publik-publik penting yang terlibat;
sikap publik terhadap institusi atau organisasi; ukuran dan sumber daya
PERAN HUMAS DALAM IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI BANK INDONESIA:Studi Kasus pada BankIndonesia CAll & InteRAction (BICARA)ARDWITYA TIRZA KRISANTARIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
7
keuangan yang dimiliki; dan yang terakhir juga terkait dengan iklim politik,
sosial, dan ekonomi dimana institusi atau organisasi tersebut beroperasi.
Meskipun memiliki dinamika yang berbeda-beda, namun pada dasarnya
fungsi humas di segala macam bentuk organisasi memiliki kesamaan, yakni
terdiri dari fungsi teknis dan fungsi manajemen. Fungsi teknis terkait dengan
instrumen-instrumen yang digunakan oleh humas dalam rangka menjalin
hubungan baik dengan publiknya. Instrumen tersebut dapat berupa press
release, press conference, media relation, investor relation, pemanfaatan
media baru sebagai media perusahaan, dan lain sebagainya.
Sedangkan fungsi manajemen dari humas terkait dengan keterlibatan
humas dalam mengelola hubungan, baik di internal perusahaan maupun dengan
pihak eksternal. Hal itu terkait dengan manajemen konflik ataupun manajemen
krisis dalam perusahaan, kemudian juga merujuk pada tanggung jawab
manajemen dalam melayani kepentingan masyarakat, seperti pada pembuatan
program Corporate Social Responsibility (CSR).
Sementara itu, Cutlip dan Center (2000: 6) mengelompokkan fungsi dari
humas ke dalam tiga kategori:
a. To facilitate and ensure an inflow of representative opinions from the
organization’s constituent publics so that policies an operations maybe in
tune with the needs and views of these publics.
b. To councel senior officials on ways and means of maintaining or
reshaping operations or communications policies to gain maximum public
acceptance.
c. To devise and carry out programs that will gain wide and favorable
interpretation of the organization’s policies and operations.
Salah satu hal yang menarik dan relevan dari ketiga fungsi di atas terletak pada
poin kedua. Dikatakan bahwa humas juga memiliki fungsi serta peran dalam
melaksanakan serta mempertahankan suatu kebijakan komunikasi yang ada
dalam perusahaan atau institusi. Selanjutnya humas juga dituntut untuk dapat
mengaplikasikannya dengan tepat sehingga tercipta public acceptance.
PERAN HUMAS DALAM IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI BANK INDONESIA:Studi Kasus pada BankIndonesia CAll & InteRAction (BICARA)ARDWITYA TIRZA KRISANTARIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
8
Public acceptance adalah proses penerimaan publik terhadap suatu
kebijakan –dalam hal ini adalah kebijakan komunikasi- yang diterbitkan oleh
suatu perusahaan atau institusi. Hal tersebut menjadi indikator yang sangat
penting apakah humas berhasil menjadi bridge yang baik antara perusahaan
dengan masyarakat, apakah masyarakat memahami kebijakan tersebut, apakah
masyarakat mau menjalankan kebijakan tersebut, sampai kepada sejauh mana
pengaruh kebijakan tersebut pada masayarakat. Ketika public acceptance
sudah berada pada level yang cukup tinggi maka dapat dikatakan bahwa humas
telah mampu menjalankan salah satu fungsinya dengan baik. Maka dari itu
menciptakan public acceptance selalu menjadi tantangan tersendiri bagi
seorang humas
Sedangkan Public Relations Society of America (PRSA) menggambarkan
fungsi humas sebagai berikut: Programming, Relationship, Writing and
Editing, Information, Production, Special Event, Speaking, Research and
Evaluating (Putra, 2008: 10). Putra juga menegaskan bahwa seorang humas
harus memiliki kemampuan teknis sekaligus manajerial yang baik agar peran-
peran yang disebutkan di atas dapat dijalankan dengan maksimal.
Melalui paparan fungsi yang diungkapkan oleh Putra sebelumnya kita juga
dapat melihat bahwa fungsi humas dalam sebuah perusahaan sangatlah penting
dan bersifat menyeluruh. Humas tidak saja berfungsi sebagai sumber informasi
dari sebuah perusahaan namun lebih daripada itu. Humas harus menjadi sebuah
bagian yang mau terus menggali kebutuhan perusahaan sekaligus masyarakat
agar dapat tercipta sinkronisasi di antara keduanya. Tentu saja hal tersebut
bermuara pada terjalinnya hubungan yang harmonis di antara perusahaan dan
juga masyarakat.
Berbicara mengenai fungsi maka kita juga tidak akan lepas dari
perbincangan mengenai peran. Seorang humas yang baik perlu memiliki
beberapa keahlian dan kelihaian dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Layaknya fungsi dari humas, maka peran humas pun pada dasarnya juga
terbagi atas dua bagian yakni peran secara teknis dan peran manajerial.
Seorang humas idealnya memiliki dua hal yang paling dibutuhkan, yakni
PERAN HUMAS DALAM IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI BANK INDONESIA:Studi Kasus pada BankIndonesia CAll & InteRAction (BICARA)ARDWITYA TIRZA KRISANTARIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
9
managerial skill dan technical management. Kedua hal tersebut menjadi modal
utama untuk memeroleh kinerja yang maksimal dari seorang humas.
Peran humas dalam hal manajemen dan teknis juga diperkuat oleh teori
yang dikemukakan oleh Dozier & Broom (1995). Seiring dengan hal tersebut
penegasan peran humas juga diungkapkan oleh Ekachai (1995: 325) dalam
tulisannya yang berjudul “Applying Broom’s Scale to Thai Public Relations
Practitioner”. Berikut merupakan konsep peran humas yang dipaparkan oleh
Dozier & Broom:
a. The Expert Prescribers adalah sebutan bagi praktisi public relations yang
menjalankan peran sebagai penanggung jawab perencana program, ia
mendiagnosa masalah dan mengajukan solusi atas masalah-masalah
tersebut.
b. The Communication Facilitators adalah sebutan bagi praktisi public
relations yang menjalankan peran sebagai mediator informasi antara
perusahaan dengan publiknya. Fungsi utama yang mereka jalankan adalah
memfasilitasi pertukaran informasi sehingga pihak-pihak yang terlibat
memiliki keseimbangan informasi.
c. The Problem-Solving Process Facilitators adalah sebutan bagi praktisi
public relations yang menjalankan peran sebagai pembantu organisasi
dalam mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah-masalah melalui
proses penyelesaian yang sistematis.
d. The Communication Technicians adalah sebutan bagi praktisi public
relations yang menjalankan perannya dengan kemampuan komunikasi
yang mereka miliki untuk menjalankan program-program public relations.
Untuk peran yang pertama sampai dengan yang ketiga kita dapat melihat
bahwa peran-peran tersebut tergolong dalam peran manajemen (managerial
skill). Sedangkan peran yang terakhir merupakan peran yanng cenderung
membutuhkan kemampuan teknis (technical management).
Dalam pengklasifikasiannya, Ekachai ingin menunjukkan bahwa humas
terlibat dalam sebuah proses yang cukup kompleks dalam dinamika suatu
perusahaan. Mulai dari proses mendiagnosa permasalah atau krisis, kemudian
PERAN HUMAS DALAM IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI BANK INDONESIA:Studi Kasus pada BankIndonesia CAll & InteRAction (BICARA)ARDWITYA TIRZA KRISANTARIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
10
menjadi mediator untuk mencapai information balance di antara perusahaan
dan masyarakat, sampai kepada perannya sebagai problem solver. Tugas
tersebut tentu saja tidak dapat diremehkan mengingat kestabilan suatu
perusahaan ketika menghadapi suatu krisis merupakan tantangan yang paling
besar.
2. Implementasi Kebijakan di Lembaga Negara Independen
2.1. Implementasi Kebijakan
Berbicara mengenai implementasi, tidak sekedar menyinggung mengenai
penerapan sesuatu saja namun juga melihat pada dampak atau pun efek yang
terjadi setelahnya. Oleh karenanya ketika kita berbicara mengenai
implementasi tentu saja kita juga akan melihat mengenai bagaimana penerapan
kebijakan tersebut dilaksanakan dan apakah ada efek-efek tertentu yang
muncul kemudian.
Dalam penelitian ini kita akan melihat secara mendalam mengenai
implementasi kebijakan publik. Kebijakan publik merupakan sebuah instrumen
yang digunakan untuk mengatur beberapa ketentuan terkait dengan
penyelenggaraan pemerintahan dan hubungannya dengan masyarakat atau pun
publik. Dye (1987: 105) merumuskan kebijakan publik sebagai “pilihan
pemerintah untuk bertindak atau tidak bertindak”. Sehingga ketidakjelasan
kebijakan publik hanya akan mengakibatkan kebanyakan orang mengambil
asumsinya sendiri-sendiri. Oleh karena itu sebuah kebijakan publik harus
dibuat atas dasar yang kuat, dirumuskan dengan formula yang tepat, dan
diimplementasikan dengan segala instrumen yang tepat pula.
Untuk menelaah lebih lanjut mengenai proses implementasi kebijakan
publik maka kita tentu harus melihat terlebih dahulu beberapa model
implementasi kebijakan yang dapat dijadikan landasan atau pun pola berpikir.
Berikut merupakan beberapa model implementasi kebijakan yang nantinya
akan dielaborasi guna melihat fenomena yang muncul dewasa ini:
PERAN HUMAS DALAM IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI BANK INDONESIA:Studi Kasus pada BankIndonesia CAll & InteRAction (BICARA)ARDWITYA TIRZA KRISANTARIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
11
a. Model George C. Edwards III
Dalam teori implementasi kebijakan yang diungkapkan oleh Edwards (1980:
10), ada empat faktor penting yang yang dapat mendukung implementasi dari
suatu kebijakan:
1) Komunikasi (Communication)
Pada sebuah proses komunikasi dalam implementasi kebijakan terdapat
beberapa hal penting yang perlu diperhatikan, yakni transmisi,
konsistensi, dan kejelasan (clarity). Implementor harus paham betul
mengenai tujuan dan sasaran kebijakan sehingga tidak terjadi distorsi
implementasi. Dengan begitu nantinya akan menciptakan sebuah proses
komunikasi yang baik dan efektif. Dalam proses ini kita juga dapat
melihat apa saja media komunikasi yang digunakan, jenis permohonan
informasi, dan juga bagaimana proses komunikasi yang terjalin di
dalamnya.
2) Sumber Daya (Resourches)
Dalam pelaksaan implementasi kebijakan publik tentu saja dibutuhkan
sumber-sumber yang terpercaya dan dapat diandalkan. Hal tersebut
terkait dengan staf-staf yang ahli, fasilitas, dokumen, serta sumber daya
finansial yang dapat menunjang pelaksanaan implementasi tersebut.
3) Disposisi atau Tingkah Laku (Dispotition or Attitudes)
Kecenderungan tingkah laku dari para pelaksana memiliki konsekuensi-
konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif. Apabila
para pelaksana memiliki watak serta menunjukkan perilaku yang positif
dan baik, yang dalam hal ini berarti memberikan dukungan maka
pelaksanaan atau implementasi kebijakan pun diharapkan dapat
terlaksana sesuai dengan harapan awal dari para pembuat kebijakan.
4) Struktur Birokrasi (Bureaucratic Structure)
Struktur dan peran birokrasi, baik pemerintah maupun swasta, akan
memberikan efek yang signifikan bagi pelaksanaan suatu kebijakan.
Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah
PERAN HUMAS DALAM IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI BANK INDONESIA:Studi Kasus pada BankIndonesia CAll & InteRAction (BICARA)ARDWITYA TIRZA KRISANTARIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
12
Standard Operating Procedures atau SOP. SOP inilah yang menjadi
pedoman bagi implementor untuk melaksanakan tugasnya.
Untuk menggambarkan secara lebih jelas mengenai keterkaitan antara
faktor-faktor yang disebutkan oleh Edwards tersebut, maka dapat dilihat
melalui skema di bawah ini:
Skema 1.1. Teori Implementasi Kebijakan George C. Edwards III
b. Model Donald Van Meter dan Carel Van Horn
Menurut Van Meter dan Van Horn terdapat enam variabel yang dapat
3) Komunikasi antarorganisasi dan penguatan aktivitas
4) Karakteristik agen pelaksana
5) Lingkungan ekonomi, sosial, dan politik
6) Sikap para pelaksana
c. Model Merilee S. Grindle
Teori implementasi kebijakan dari Grindle menekankan tentang sebuah
proses politik dan administrasi (Wibawa, 1994: 127). Ia berpendapat bahwa
suatu implementasi sangat ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks
implementasinya. Selain itu, ia juga mengemukakan bahwa sebuah
implementasi dapat berjalan dengan baik apabila tujuan dan sasaran jelas dan
PERAN HUMAS DALAM IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI BANK INDONESIA:Studi Kasus pada BankIndonesia CAll & InteRAction (BICARA)ARDWITYA TIRZA KRISANTARIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
13
rinci, sudah terdapat rancangan program aksi, serta dana tersedia untuk
pengimplementasiannya.
Sementara itu dalam suatu kebijakan, Grindle juga mengungkapkan
beberapa hal pokok yang terkait, seperti berikut:
1) Kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan
2) Jenis manfaat yang akan dihasilkan
3) Derajat perubahan yang diinginkan
4) Kedudukan pembuat kebijakan
5) Pelaksana program
6) Sumber Daya yang dikerahkan
Setelah melihat dari beberapa teori implementasi kebijakan yang telah
dipaparkan sebelumnya, maka terlihat bahwa masing-masing teori memiliki
penekanan yang berbeda-beda. Dalam teorinya, Van Horn menekankan bahwa
kebijakan publik merupakan suatu proses politik. Sementara Edward
cenderung mengatakan bahwa kebijakan publik merupakan proses demokratis.
Sedangkan Grindle memilih jalan tengah, Ia berpendapat bahwa kebijakan
publik adalah perpaduan antara proses politik dan juga proses demokratis.
Pemahaman akan teori-teori implementasi kebijakan tersebut tentu akan
berujung pada penggunaan salah satu teori yang akan digunakan dalam
penelitian ini. Melihat keadaan dimana Undang-Undang Keterbukaan
Informasi Publik (UU KIP) sendiri dibuat dalam rangka menciptakan
keterbukaan pemerintah terhadap masyarakat, maka teori dari George C.
Edwards III dianggap paling kontekstual untuk digunakan. Edwards yang
berpendapat bahwa suatu kebijakan politik merupakan sebuah proses
demokratis tentu memiliki landasan yang sama akan tujuan awal dibentuknya
UU KIP itu sendiri.
Seperti yang telah dituliskan sebelumnya bahwa ada indikator-indikator
tertentu yang dapat digunakan ketika kita ingin melihat sebuah implementasi
kebijakan. Edwards (1980) sendiri menyebutkan bahwa indikator-indikator
pelaksanaan implementasi kebijakan dapat dilihat melalui empat hal yakni:
PERAN HUMAS DALAM IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI BANK INDONESIA:Studi Kasus pada BankIndonesia CAll & InteRAction (BICARA)ARDWITYA TIRZA KRISANTARIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
14
communication, resources, dispotition or attitudes, bureaucratic sructure.
Indikator-indikator tersebut kemudian akan digunakan untuk melandasi pola
berpikir dan menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian. Namun
begitu, untuk poin disposisi/attitude tidak akan dijadikan indikator dalam
penelitian ini karena dirasa sulit dalam menentukan tolok ukur yang tepat.
2.2. Lembaga Negara Independen
Pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia Tahun 1945, isu transparansi dan keterbukaan informasi publik
mulai bermunculan. Hal tersebut mendorong masyarakat untuk mengambil
peran lebih besar dalam merumuskan berbagai kebijakan negara maupun
kebijakan publik dan berperan dalam menentukan arah pemerintahan yang
lebih baik.
Dalam perkembangannya, maka dilakukan pemetaan kembali terkait
kewenangan pemerintah melalui proses menemukan kembali tugas-tugas yang
lebih tepat dan efektif untuk dilakukan oleh pemerintah atau pun pihak swasta
dan masyarakat. Pada implikasinya, hal ini kemudian memunculkan suatu
bentuk kelembagaan independen yang disebut dengan State Auxiliary
Institution.
State Auxiliary Institution atau yang biasa disebut dengan Lembaga
Negara Independen (LNI) adalah lembaga negara yang dibentuk di luar
konstitusi dan merupakan lembaga yang membantu dan menunjang
pelaksanaan tugas lembaga negara pokok (eksekutif, legislatif, dan yudikatif).
Status independen yang dimiliki lembaga-lembaga ini hanya dalam hal
menjalankan tugas dan fungsi amanah dari undang-undang, sehingga
independensi yang dimiliki tidak bersifat absolut.
Lembaga Negara Independen (LNI) pada umumnya muncul disebabkan
oleh beberapa faktor terkait. Insani (2005: 2) menyebutkan setidaknya ada dua
faktor utama pendorong munculnya LNI yakni sebagai berikut: Pertama,
perkembangan kewenangan bidang pemerintahan tertentu yang
diselenggarakan oleh organisasi pemerintahan yang semakin kompleks
PERAN HUMAS DALAM IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI BANK INDONESIA:Studi Kasus pada BankIndonesia CAll & InteRAction (BICARA)ARDWITYA TIRZA KRISANTARIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
15
sehingga tidak dimungkinkan lagi dikelola secara reguler dalam organisasi
yang bersangkutan. Kedua, tuntutan penyelenggaraan kepemerintahan yang
baik (good governance) yang mensyaratkan peran serta aktif swasta dan
masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan dari sejak proses
perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan pengawasan.
Nurtjahjo (2006) menyebutkan bahwa salah satu alasan yang
melatarbelakangi munculnya lembaga independen adalah alasan sosiologis.
Hal ini terkait dengan perkembangan kegiatan negara (moderen) yang makin
kompleks sehingga membutuhkan semakin banyak lembaga atau alat
perlengkapan yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas dan fungsi negara.
Selain itu, diperlukan independensi dan juga profesionalitas dalam
pelaksanaannya. Oleh karena itulah kehadiran LNI menjadi salah satu jalan
keluar yang diharapkan dapat membantu kinerja pemerintah.
Untuk membedakannya dengan lembaga-lembaga negara lain, ada
beberapa hal yang menjadi ciri-ciri dari LNI. Beberapa di antaranya adalah:
kepemimpinan yang bersifat kolegial, kepemimpinan tidak berasal dari partai
politik tertentu, dan masa jabatan pemimpin komisi tidak habis secara
bergantian, memiliki kemampuan atau otoritas atau kewenangan dalam
kaitannya dengan persoalan kebijakan negara.
Pada prosesnya, LNI memiliki peran dan juga fungsi yang cukup penting
dalam suatu negara. Insani menyebutkan setidaknya ada dua fungsi utama yang
menjadi tanggung jawab dari LNI. Pertama, LNI berfungsi untuk
mengakomodasi tuntutan dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara dalam proses penyelenggaraan negara yang didasarkan pada
paradigma good governance. Dimana dalam upaya good governance
mensyarakatkan adanya interaksi yang proporsional antara ketiga aktor
pemerintahan, yakni: pemerintah (government), sektor swasta (private sector),
dan masyarakat (society).
Sementara itu fungsi yang kedua terkait dengan penyelenggaraan
pemerintahan yang lebih efektif dan efisien. Melalui adanya LNI, akan
membantu menguatkan dan mengefektifkan beberapa fungsi kinerja
PERAN HUMAS DALAM IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI BANK INDONESIA:Studi Kasus pada BankIndonesia CAll & InteRAction (BICARA)ARDWITYA TIRZA KRISANTARIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
16
pemerintah yang sebelumnya belum dapat bekerja secara maksimal. Oleh
sebab itu, LNI yang muncul tersebut tidak selalu merupakan lembaga baru,
namun dapat juga merupakan pemberian empowering atau penguatan terhadap
lembaga yang sudah ada sebelumnya.
Melalui uraian di atas kita dapat menyimpulkan beberapa hal terkait
dengan kemunculan LNI dan urgensinya di tengah kehidupan berbangsa dan
bernegara. LNI menjadi angin segar di tengah riuhnya dinamika kinerja
pemerintah. Melalui LNI ini tentu saja diharapkan dapat memacu
penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang lebih ekfektif, efisien, adil,
dan juga akuntabel. Selain itu LNI dapat menjadi wadah nyata sebagai salah
satu bentuk interaksi yang proporsional di antara tiga pilar good governance
dalam proses penyelenggaraan pemerintahan.
2.3. Implementasi Kebijakan di Lembaga Negara Independen
Setelah mengetahui teori apa yang akan digunakan maka kita akan melihat
bagaimana proses penyusunan kebijakan dan pengimplementasian kebijakan
tersebut di Lembaga Negara Independen. Bromley (1989) menyebutkan
terdapat tiga level hierarki penyusunan kebijakan, yakni: policy level,
organizational level, dan operational level.
Pada tahapan policy level, akan menekankan mengenai peran lembaga
legislatif untuk merepresentasikan kebijakan negara yang demokratis. Dalam
hal ini, legislatif lah yang akan menentukan arah dari garis-garis besar sebuah
kebijakan. Diawali dengan penjaringan aspirasi masyarakat yang kemudian
dirapatkan, dimusyawarahkan, dan dicari formulasi yang tepat untuk
merumuskannya menjadi sebuah kebijakan yang representatif dan efektif.
Selanjutnya, yang akan berperan untuk menerapkannya dalam bentuk
peraturan-peraturan yang mendukung terselenggaranya kebijakan tersebut
adalah pihak eksekutif.
Setelah pihak legislatif selesai merumuskan formula kebijakan yang tepat
bagi kebutuhan masyarakat, maka tahapan selanjutnya adalah tahapan
organizational level. Di level ini maka kebijakan yang sudah diformulasikan
PERAN HUMAS DALAM IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI BANK INDONESIA:Studi Kasus pada BankIndonesia CAll & InteRAction (BICARA)ARDWITYA TIRZA KRISANTARIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
17
tersebut akan berpindah kewenangan pada pihak eksekutif. Pihak eksekutif
akan berperan dalam pembuatan kebijakan sesuai dengan visi dan misi yang
ditentukan sebelumnya pada tahapan policy level. Di tahapan ini juga eksekutif
akan mulai memilih, membuat, ataupun mengembangkan organisasi-organisasi
yang nantinya akan berfungsi sebagai penyelenggara kebijakan yang dibuat
tersebut.
Penentuan organisasi atau pun bentuk unit operasional yang akan dipilih
pada level selanjutnya menjadi langkah yang penting di sini. Pihak eksekutif
harus jeli melihat kebutuhan masyarakat dan menentukan organisasi atau pun
unit operasional yang cocok untuk mengimplementasikan kebijakan yang
nantinya akan dibuat. Hal tersebut nantinya akan berkaitan dengan efektivitas
dan efisiensi dari proses implementasi kebijakan tersebut.
Tahapan paling akhir dalam proses implementasi sebuah kebijakan adalah
tahapan operational level. Pada level inilah akan muncul unit-unit operasional
yang siap melaksanakan kebijakan tersebut secara riil. Operational level ini
juga merupakan perwujudan secara teknis dari kebijakan yang dibuat di level
sebelumnya. Hal tersebut bertujuan untuk memudahkan pelaksanaan dan
pencapaian tujuan dari kebijakan itu sendiri.
Pada tahapan operational level akan sangat berkaitan dengan respon dari
masyarakat. Karena pada level ini merupakan level penerapan kebijakan maka
nantinya respon atau reaksi kolektif dari berbagai kalangan akan muncul pada
tahapan ini sehingga dapat memunculkan outcome tertentu. Tanggapan dari
masyarakat pun tentu menjadi outcome yang diharapkan untuk muncul pada
level ini sehingga dapat menjadi tolok ukur dari formula dan penerapan
kebijakan itu sendiri. Baik atau buruknya outcomes harus selalu dipantau agar
dapat menjadi dasar bagi pengembangan kebijakan yang lebih baik bagi
masyarakat.
Unit-unit yang terbentuk pada tahapan operational level di LNI dapat
terdiri dari beberapa macam jenis. Beberapa di antaranya adalah melalui
dibentuknya Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) dan unit-
unit khusus dalam LNI itu sendiri. Selain itu unit operasional yang digunakan
PERAN HUMAS DALAM IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI BANK INDONESIA:Studi Kasus pada BankIndonesia CAll & InteRAction (BICARA)ARDWITYA TIRZA KRISANTARIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
18
dalam pengimplementasian kebijakan publik ini juga dapat berupa call center,
website, pemanfaatan sosial media, dan lain sebagainya.
Namun begitu, dalam proses implementasi kebijakan di Lembaga Negara
Independen ini tentunya juga memiliki beberapa faktor penghambat. Sunggono
(1994: 151) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa faktor penghambat yang
dapat menghalangi proses implementasi kebijakan. Beberapa di antaranya
adalah sebagai berikut:
a. Isi Kebijakan
b. Informasi
c. Dukungan
d. Pembagian Potensi
Seperti hal lainnya, implementasi kebijakan tentu juga memiliki titik lemah
dimana dapat berubah menjadi penghambat dalam prosesnya. Namun hal yang
harus diperhatikan adalah bahwa dibutuhkan kerja yang luar biasa untuk
menghasilkan sebuah kebijakan yang representatif dengan kebutuhan
masyarakat, dan juga dibutuhkan formula yang tepat untuk menerapkannya.
Hal-hal yang berpotensi menjadi penghambat harus senantiasa dihindari agar
tidak mengganggu proses implementasinya kepada masyarakat.
Pada akhirnya, proses implementasi kebijakan di LNI memerlukan
keseriusan baik dari pihak eksekutif, legislatif, sampai pada unit
operasionalnya. Mulai dari proses penjaringan aspirasi masyarakat, pembuatan
kebijakan, hingga proses implementasi kebijakan itu sendiri. Karena walau
bagaimana pun proses implementasi kebijakan merupakan sebuah proses yang
terus berjalan tanpa akhir. Pembuatan kebijakan tidak berakhir setelah
kebijakan ditentukan atau disetujui. Seperti yang diungkapkan oleh Anderson
(dalam Parsons, 2001: 464), “Kebijakan dibuat saat ia sedang diatur dan diatur
saat dia sedang dibuat”. Untuk melihat hasilnya, sebuah kebijakan harus terus
diimplementasikan dengan baik dan terus dikembangkan agar dapat
memberikan dampak yang signifikan bagi sebuah negara.
PERAN HUMAS DALAM IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI BANK INDONESIA:Studi Kasus pada BankIndonesia CAll & InteRAction (BICARA)ARDWITYA TIRZA KRISANTARIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
19
3. Keterbukaan Informasi Publik
Informasi menjadi hal yang sangat penting untuk menjadi perbincangan di
tengah kehidupan berdemokrasi suatu negara. Seperti yang kita tahu bahwa
dalam sebuah negara yang memiliki asas demokrasi, maka kebebasan dalam
berpendapat sekaligus memeroleh informasi dengan mudah menjadi salah satu
hak yang layak diperjuangkan. Hal ini mendorong adanya tuntutan keterbukaan
informasi yang terus muncul di masyarakat.
Pada hakikatnya, hak untuk memeroleh informasi adalah hak yang dimiliki
setiap masyarakat di Indonesia. Seperti dikutip dari Pasal 28 F UUD 45 yang
menegaskan sebagai berikut:
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak
untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang
tersedia.”
Melalui pasal tersebut dapat dilihat bahwa masyarakat Indonesia memiliki
hak yang sama dalam hal memeroleh informasi yang dibutuhkan. Hal tersebut
kemudian mendorong pemerintah untuk menyusun peraturan perundangan yang
mengatur informasi yang dapat diakses oleh publik atau masyarakat.
Upaya mendorong lahirnya suatu Undang-Undang yang dapat mengatur
mengenai kebebasan memeroleh informasi publik ini pun terus dilakukan
masyarakat sejak bertahun-tahun lalu. Sampai pada akhirnya hal tersebut pun
membuahkan hasil yang signifikan. Pada tanggal 30 April 2008, Undang-
Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) pun
disahkan oleh Presiden, dan mulai berlaku dua tahun setelahnya. Hal ini tentu
saja menunjukkan kepada kita bahwa saat ini pemerintah mulai serius untuk
“membuka dirinya” terhadap masyarakat.
Di dalam UU KIP ini terdapat beberapa peraturan pokok terkait dengan
substansi yang ada di dalamnya:
a. Setiap badan publik wajib menjamin keterbukaan informasi publik
b. Setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh publik
PERAN HUMAS DALAM IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI BANK INDONESIA:Studi Kasus pada BankIndonesia CAll & InteRAction (BICARA)ARDWITYA TIRZA KRISANTARIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
20
c. Informasi publik yang dikecualikan bersifat ketat, terbatas, dan tidak
mutlak/tidak permanen
d. Setiap informasi publik harus dapat diperoleh dengan cepat, tepat waktu,
biaya ringan, dan cara sederhana
e. Informasi publik bersifat proaktif
f. Informasi publik harus bersifat utuh, akurat, dan dapat dipercaya
g. Penyelesaian sengketa secara cepat, murah, kompeten, dan independen
h. Ancaman pidana bagi penghambat informasi
Berdasarkan UU KIP, informasi publik dapat diartikan sebagai informasi yang
dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu Badan
Publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara
dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan Badan Publik lainnya yang sesuai
dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan
kepentingan publik.
Seperti sudah tercantum dalam peraturan pokok pada UU KIP, ada empat
prinsip utama yang perlu diperhatikan, yakni cepat, tepat waktu, biaya ringan,
dan cara sederhana. Dalam implementasi keterbukaan informasi publik, empat
prinsip ini harus dijunjung tinggi demi tercapainya tujuan yang diharapkan. Oleh
karena itu siapa pun pihak yang ingin berupaya mengimplementasikan UU KIP,
harus paham betul akan keempat prinsip tersebut.
a. Cepat
Salah satu prinsip yang harus dilaksanakan dalam implementasi
keterbukaan publik adalah kecepatan menjawab. Dalam hal ini pihak
terkait harus memiliki respon yang cepat melalui sistem yang digunakan.
Dengan begitu pemohon informasi dapat segera mendapatkan jawaban
dalam waktu yang sudah ditetapkan. Pada kasus call center hal tersebut
juga terkait dengan munculnya abandoned calls. Hal ini tentu saja perlu
dihindari dalam upaya mewujudkan pelayanan yang prima bagi
masyarakat.
PERAN HUMAS DALAM IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI BANK INDONESIA:Studi Kasus pada BankIndonesia CAll & InteRAction (BICARA)ARDWITYA TIRZA KRISANTARIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
21
b. Tepat Waktu
Ketepatan waktu menjawab juga menjadi prinsip pokok yang ditekankan
oleh UU KIP. Seperti yang sudah tercantum dalam Undang-Undang bahwa
batas waktu yang ditetapkan adalah 10 hari + 7 hari. Ketika permohonan
informasi tidak dijawab dalam batas waktu tersebut maka pemohon
memiliki hak untuk mengajukan gugatan pada Komisi Informasi. Hal
tersebut tentu dapat berpengaruh terhadap kredibilitas suatu lembaga.
c. Biaya Ringan
Konsep pelayanan informasi publik berpegang pula pada prinsip biaya
yang ringan. Masyarakat berhak mendapatkan informasi tanpa harus
mengeluarkan biaya yang tinggi. Melalui konsep tersebut diharapkan ada
respon yang tinggi dari masyarakat terhadap layanan-layanan informasi
yang ada di lembaga publik. Oleh karena itu lembaga publik harus
memberlakukan ketentuan dimana proses layanan informasi publik dapat
dilaksanakan dengan biaya yang ringan dan tidak memberatkan
masyarakat.
d. Cara Sederhana
Hal lain yang sering menjadi hambatan bagi masyarakat adalah proses
permohonan informasi yang rumit. Oleh karena itu UU KIP mengatur
prinsip pokok bahwasanya proses tersebut harus melalui proses yang
sederhana. Tidak perlu terlalu rumit agar masyarakat tidak bingung dan
kemudian enggan bertanya. Maka lembaga-lembaga publik yang ingin ikut
mengimplementasikan keterbukaan informasi publik juga harus jeli
memilih cara dan proses yang terbaik dan tidak membingungkan.
Sementara itu Assegaf dan Khatarina (2005) menjelaskan bahwa suatu
informasi dapat dikatakan sebagai informasi publik apabila informasi yang
dikelola oleh negara -selain informasi mengenai pribadi seseorang atau badan
hukum privat- bukanlah milik negara, namun milik masyarakat. Oleh karena itu
diperlukan sistem klasifikasi yang tepat untuk memilih dan memilah informasi
yang hanya dapat diakses oleh negara dan informasi yang dapat diakses oleh
PERAN HUMAS DALAM IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI BANK INDONESIA:Studi Kasus pada BankIndonesia CAll & InteRAction (BICARA)ARDWITYA TIRZA KRISANTARIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
22
masyarakat umum. Berikut merupakan klasifikasi jenis informasi publik
berdasarkan UU KIP:
Bagan 1.1. Klasifikasi Jenis Informasi Publik
Mengimplementasikan keterbukaan informasi publik tentu tidak berarti
membuka semua informasi yang ada di organisasi atau perusahaan kepada
publik. Seperti bagan yang sudah dicantumkan sebelumnya, bahwa ada beberapa
klasifikasi jenis informasi publik yang tidak wajib diberikan, seperti rahasia
negara, rahasia pribadi, rahasia bisnis dan rahasia jabatan.
Terciptanya keterbukaan dalam memeroleh informasi publik juga
memberikan dampak yang positif bagi kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan
hukum. Hal tersebut terkait dengan proses penyelenggaraan pemerintah yang
saat ini sedang berlangsung. Jika pemerintah ingin memiliki “hubungan” yang
baik, transparan, dan lebih dekat dengan masyarakatnya, maka ini merupakan
salah satu jalan keluar terbaik yang harus dilakukan.
Selain itu, keterbukaan akses informasi bagi publik di sisi lain juga dapat
menjadi salah satu alat penunjang kontrol masyarakat atas kinerja pemerintah
Informasi Publik
Informasi yang wajib disediakan
& diumumkan
Berkala
Serta Merta
Setiap Saat
Informasi yang dikecualikan
Rahasia Negara
Persaingan Usaha Tidak Sehat
Rahasia Pribadi
Rahasia Jabatan
Informasi atas dasar permintaan
PERAN HUMAS DALAM IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI BANK INDONESIA:Studi Kasus pada BankIndonesia CAll & InteRAction (BICARA)ARDWITYA TIRZA KRISANTARIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
23
atau pun unit-unit kerjanya. Apabila hal tersebut dapat diimplementasikan
dengan baik, akan terjalin hubungan yang lebih baik di antara pemerintah,
swasta, dan masyarakat. Ini tentu saja akan memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap baik atau buruknya proses penyelenggaraan suatu negara.
Pada akhirnya, keterbukaan informasi publik akan sangat terkait dengan
upaya pemerintah untuk menciptakan good governance. United Nations
Development Programme (1997) mengungkapkan bahwa beberapa prinsip yang
harus terkandung dalam good governance meliputi: transparansi, partisipasi, dan
akuntabilitas. Ketiga hal tersebut nantinya dapat dijadikan indikator untuk
melihat apakah instrumen implementasi kebijakan UU KIP ini sudah berhasil
melangkahkan kaki demi mencapai good governance dalam proses
penyelenggaraan pemerintahan.
Masih terkait dengan upaya pencapaian good governance, Tjokroamidjojo
(2000: 34) juga mengungkapkan bahwa hal tersebut merupakan salah satu upaya
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Terciptanya good governance melalui
keterbukaan informasi juga diharapkan dapat menjadi salah satu instrumen
pencapaian good governance di Indonesia dan pada akhirnya dapat turut
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di dalamnya.
F. Kerangka Konsep
Berdasarakan kerangka pemikiran yang sudah dipaparkan di atas maka kita dapat
melihat bahwa implementasi suatu kebijakan merupakan sebuah proses yang
sangat dinamis dan kompleks. Banyak variabel dan konsep di dalamnya yang
akan sangat berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu di dalam
penelitian ini tidak akan digunakan variabel tunggal namun akan mengaitkan satu
variabel yang bersangkutan dengan variabel yang lainnya. Tentu saja variabel-
variabel yang akan digunakan akan dipilih secara selektif dan sesuai kebutuhan
dalam upaya menjawab pertanyaan penelitian.
Dapat kita lihat bahwa konsep awal yang muncul dalam penelitian ini adalah
terkait dengan peran humas dalam sebuah lembaga atau organisasi. Untuk
melakukan perannya dengan baik, seorang humas harus memiliki technical
PERAN HUMAS DALAM IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI BANK INDONESIA:Studi Kasus pada BankIndonesia CAll & InteRAction (BICARA)ARDWITYA TIRZA KRISANTARIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
24
management dan managerial skill. Hal tersebut terkait dengan peran humas yang
tidak hanya berkutat dalam kemampuan teknis namun juga kemampuan
manajerial. Karena walau bagaimana pun humas juga bertugas untuk menjadi
mediator sekaligus problem solver pada masalah ataupun krisis yang terjadi pada
organisasi tersebut.
Sedangkan model implementasi kebijakan yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah model implementasi kebijakan yang diungkapkan oleh
Edwards III. Seperti yang telah dijelaskan dalam bahasan sebelumnya bahwa
model ini terdiri dari empat variabel yang digunakan untuk melihat berjalannya
implementasi sebuah kebijakan. Empat hal tersebut adalah komunikasi, sumber
daya, disposisi/tingkah laku, dan struktur birokrasi. Keempatnya akan dilihat
untuk kemudian dijadikan indikator dalam penilaian pelaksaanaan implementasi
kebijakan dalam objek yang akan diteliti –dalam konteks penelitian ini adalah
Lembaga Negara Independen-.
Sementara itu dalam penelitian ini juga akan mendasarkan proses analisisnya
pada prinsip dasar dari UU KIP itu sendiri. Beberapa prinsip dasar implementasi
UU KIP adalah dapat diperoleh dalam waktu yang cepat, tepat waktu, berbiaya
ringan, dan dengan cara yang sederhana Apabila variabel-variabel tersebut sudah
dikaitkan maka nantinya ketiga indikator tersebut juga dapat digunakan untuk
melihat apakah dalam Lembaga Negara Independen tersebut telah menerapkan
pula sistem good governance yang dicanangkan pemerintah.
Berdasarkan konsep-konsep yang sudah dijelaskan sebelumnya maka
disusunlah sebuah desain penelitian yang akan membantu pola berpikir dalam
pelaksanaan penelitian ini. Desain penelitian itu dapat digambarkan sebagai
berikut:
PERAN HUMAS DALAM IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI BANK INDONESIA:Studi Kasus pada BankIndonesia CAll & InteRAction (BICARA)ARDWITYA TIRZA KRISANTARIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
25
Skema 1.2. Konsep Penelitian
Untuk lebih memahami mengenai konsep penelitian yang tertera di atas maka
kita perlu tahu indikator-indikator yang terkandung di dalamnya pula. Berikut
akan disertakan indikator untuk setiap variabel yang muncul dalam bagan
tersebut:
VARIABEL INDIKATOR RUANG LINGKUP
ANALISIS
Komunikasi - Media komunikasi
yang digunakan
- Jenis informasi yang
diberikan
Komunikasi antara
BICARA sebagai
representasi BI dan
masyarakat umum
PERAN HUMAS:
- Manajemen - Teknis
MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN EDWARDS III:
- Komunikasi - Sumber Daya - Struktur Birokrasi
PRINSIP-PRINSIP UU KIP:
- Cepat - Tepat Waktu - Biaya Ringan - Cara Sederhana
IMPLEMENTASI UU KIP DI BANK INDONESIA
GOOD GOVERNANCE
PERAN HUMAS DALAM IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI BANK INDONESIA:Studi Kasus pada BankIndonesia CAll & InteRAction (BICARA)ARDWITYA TIRZA KRISANTARIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
26
- Jenis permintaan
informasi terbanyak
(isu dominan)
- Pencapaian sasaran
bisnis BICARA
Sumber Daya - Sumber Daya Manusia
yang cukup dan
kompeten
- Ketersediaan fasilitas
yang memadai
- Sumber dana yang
mencukupi
Identifikasi ketersediaan
dan kompetensi SDM
serta fasilitas yang ada
pada
BICARA. Anggaran
dan sarana prasarana
yang
mendukung
implementasi
UU KIP.
Struktur Birokrasi - Ada struktur birokrasi
yang jelas dalam
pelaksanaan fungsi
dan peran BICARA
- Ada SOP yang jelas
terhadap proses
implementasi
kebijakan UU KIP di
BICARA
Koordinasi antara
BICARA dengan
departemen-departemen
di Bank Indonesia,
petunjuk
pelaksana/teknis
pelayanan informasi
publik (SOP) di dalam
BICARA
Cepat - Ada respon yang cepat
oleh BICARA terkait
dengan permohonan
informasi dari publik
Sistem informasi dan
komunikasi di antara
BICARA dan publik
Tepat Waktu - Mampu menjawab
permohonan informasi
Sistem informasi dan
komunikasi di antara
PERAN HUMAS DALAM IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI BANK INDONESIA:Studi Kasus pada BankIndonesia CAll & InteRAction (BICARA)ARDWITYA TIRZA KRISANTARIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
27
yang diajukan oleh
publik dalam batas
waktu yang ditentukan
BICARA dan publik
Biaya Ringan - Biaya yang terjangkau
untuk proses
permohonan informasi
oleh publik kepada
BICARA
Sistem informasi dan
komunikasi di antara
BICARA dan publik
Cara Sederhana - Proses yang sederhana
dan tidak rumit dalam
upaya permohonan
informasi oleh publik
ke BICARA
Sistem informasi dan
komunikasi di antara
BICARA dan publik
Tabel 1.1. Indikator Penelitian
G. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini akan meneliti secara mendalam mengenai peran humas dalam
implementasi keterbukaan informasi publik di Bank Indonesia melalui aktivitas
layanan komunikasi pelanggan di contact center Bank Indonesia “BICARA”
(Bank Indonesia Call & Interaction). Selain itu penelitian ini ingin menjawab
pertanyaan “bagaimana” terkait dengan obyek yang akan dikaji. Oleh karenanya
jenis penelitian yang dinilai tepat untuk digunakan adalah jenis penelitian
eksplanatori dengan pendekatan kualitatif.
Penelitian eksplanatori adalah jenis penelitian yang memiliki kemampuan
untuk meneliti secara lebih rinci mengenai proses terjadinya sebuah fenomena
dan alasan-alasan di balik terjadinya fenomena tersebut. Karena penelitian ini
bertujuan untuk mencari tahu mengenai implementasi keterbukaan informasi
publik di Bank Indonesia melalui layanan contact center-nya, maka jenis
penelitian ini dirasa tepat untuk digunakan.
PERAN HUMAS DALAM IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI BANK INDONESIA:Studi Kasus pada BankIndonesia CAll & InteRAction (BICARA)ARDWITYA TIRZA KRISANTARIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
28
2. Metode Penelitian
Seperti yang sudah dituliskan sebelumnya bahwa penelitian ini akan fokus untuk
menjawab pertanyaan “bagaimana” terhadap obyek yang sudah ditetapkan
peneliti. Obyek yang akan menjadi fokus penelitian tersebut adalah aktivitas
layanan komunikasi publik melalui contact center Bank Indonesia “BICARA”
(Bank Indonesia Call & Interaction). Yin (2009: 13) berpendapat bahwa untuk
meneliti obyek yang kontekstual, relevan, dan kontemporer, maka studi kasus
dirasa menjadi metode penelitian yang tepat untuk digunakan dalam penelitian
ini.
Sedangkan Creswell (2007: 73) menyebutkan bahwa studi kasus merupakan
metode penelitian kualitatif yang digunakan untuk meneliti secara rinci sebuah
“bounded system”. Dalam hal ini bounded system dapat diartikan sebagai kasus
atau obyek. Nantinya, obyek tersebut akan diteliti secara terperinci dan
menyeluruh (komprehensif) sesuai dengan tahapan pada metode studi kasus.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam melakukan penelitian ini dibutuhkan beberapa teknik pengumpulan data
yang tepat dan relevan. Untuk mengetahui sejauh mana peran humas dalam
proses implementasi UU KIP melalui contact center BICARA tentu peneliti
harus melakukan observasi (baik langsung maupun partisipan) dan tinjuan
dokumentasi (documents review). Teknik pengumpulan data selanjutnya adalah
melakukan wawancara mendalam terhadap narasumber yang relevan. Nantinya
data-data yang dikumpulkan akan dianalisis untuk melihat bagaimana peran
humas dalam implementasi keterbukaan informasi publik di Bank Indonesia
melalui aktivitas layanan komunikasi pelanggan di contact center Bank
Indonesia “BICARA” (Bank Indonesia Call & Interaction).
4. Teknik Analisis Data
Menurut Yin (2009: 128), terdapat tiga teknik analisis yang dapat digunakan
dalam penelitian studi kasus, yaitu: penjodohan pola (pattern matching),
pembuatan eksplanasi (explanation building), dan analisis deret waktu (time-
PERAN HUMAS DALAM IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI BANK INDONESIA:Studi Kasus pada BankIndonesia CAll & InteRAction (BICARA)ARDWITYA TIRZA KRISANTARIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
29
series analysis). Ketiga teknik ini tentu memiliki keunikan masing-masing untuk
membedah suatu fenomena dalam penelitian. Di dalam penelitian ini peneliti
ingin mencari tahu mengenai peran humas dalam implementasi keterbukaan
informasi publik di Bank Indonesia melalui contact center Bank Indonesia
“BICARA” (Bank Indonesia Call & Interaction). Oleh karena itu akan
diperlukan sebuah teknik yang dapat memaparkan secara jelas mengenai proses
tersebut. Sebelumnya telah diungkapkan bahwa dalam penelitian ini akan
menggunakan jenis penelitian eksplanatori. Berdasarkan alasan tersebut maka
teknik analisis dengan pembuatan eksplanasi dirasa menjadi teknik analisis yang
paling tepat.
Teknik analisis penyusunan eksplanasi (explanation building) digunakan
untuk menganalisis data studi kasus dengan cara membuat suatu eksplanasi
tentang kasus yang bersangkutan. Dalam banyak kasus, teknik analisis jenis ini
dilakukan dengan bentuk naratif. Prosedur tersebut juga dipandang sebagai
bagian dari proses pengembangan hipotesis. Meski begitu tujuan dari teknik
analisis ini bukan untuk menyimpulkan suatu penelitian melainkan
mengembangkan gagasan-gagasan untuk penelitian selanjutnya (Yin, 2009:
141).
PERAN HUMAS DALAM IMPLEMENTASI KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI BANK INDONESIA:Studi Kasus pada BankIndonesia CAll & InteRAction (BICARA)ARDWITYA TIRZA KRISANTARIUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/