Top Banner

of 87

BAB I (MPK 2) Dramaturgi (Roni&Lebay)

Jul 18, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Konteks PenelitianPada dasarnya manusia diciptakan secara berpasangan, yaitu laki-laki dan perempuan. Mereka diciptakan untuk salaing melengkapi, termasuk dalam orientasi seksual dimana secara fitrah akan tertarik terhadap lawan jeninya. Akan tetapi jika kita melihat pada kenyataan yang ada, tidak semua orang memiliki orientassi seksual pada lewan jenis yang berbeda, namun ada juga orang yang memiliki orientasi seksual pada sesama jenis. Secara umum, orientasi seksualitas manusia sendiri dibagi atas empat kelompok besar. Yang pertama, heterokseksual yaitu manusia yang memiliki ketertarikan dengan lawan jenis. Artinya, laki-laki tertarik secara seksual pada perempuan, demikian juga sebaliknya. Mereka inilah yang disebut laki-laki atau perempuan tulen. Laki-laki atau perempuan yang dianggap normal yang merupakan golongan terbesar alias mayoritas. Kelompok kedua adalah homoseksual, yaitu laki-laki atau perempuan yang memiliki ketertarikan pada jenis kelamin sama. Istilah ketertarikan laki-laki kepada laki-laki sering disebut dengan istilah homo/gay, sementara pada ketertarikan perempuan kepada perempuan disebut lesbian. Jumlah kelompok ini dapat dipastikan minoritas, tapi tampak dan sekarang cenderung makin tampil dalam komunitas sosial,

-1-

meskipun di sejumlah tempat, karena kultur, kebiasaan dan sikap politik, cenderung diam-diam dan tertutup. Oleh kelompok masyarakat mayoritas heteroseksual, kelompok homoseksual ini dianggap sebagai penyimpangan dan tidak normal. Kelompok ketiga adalah kelompok yang berada diantara kedua kelompok ini, yaitu tidak dapat dikategorikan sebagai heterokseksual maupun homoseksual, karena mereka dilahirkan dengan genitalia ambiguous atau kegamangan genital dan penentuan jenis kelamin tersebut harus dilakukan kemudian dengan memperhitungkan berbagai faktor. Secara fisik, kelompok ini berbentuk laki-laki, tapi secara psikis adalah perempuan sehingga memiliki kecenderungan berprilaku perempuan. Dalam istilah seksologi, kelompok ini dikategorikan sebagai transeksual yang dalam keseharian populer disebut waria, meskipun ada juga sentimen terhadap kelompok ini yang sering melecehkan mereka dengan sebutan banci/bencong. Dalam terapi teknologi terhadap kelompok ini telah ditemukan salah satu solusi perubahan jenis kelamin dalam bentuk operasi genital, dari fisik laki-laki menjadi perempuan. Kelompok ketiga ini kemudian seolah menjadi popular dengan kemajuan teknologi tersebut. Seperti halnya legitimasi yang diberikan oleh pemerintah di suatu negara tertentu, yang bahkan menjadikan kelompok ini sebagai salah satu kategori kelompok yang layak untuk diperhitungkan dalam sebuah bisnis hingga pariwisata, seperti dalam pendayagunaannya dalam lapangan kerja, bahkan yang terbaru adalah mereka difasilitasi untuk menjadi pramugari dari maskapai penerbangan tertentu di negara tersebut.

-2-

Sedangkan kelompok keempat adalah kelompok gabungan heteroseksual dan homoseksual. Kelompok ini juga bisa disebut serakah, karena meskipun secara fisik maupun orientasi heteroseksual atau homoseksual, tapi juga memiliki ketertarikan pada sejenis (bagi hetero) dan berbeda jenis (bagi homo). Istilah yang melekat pada kelompok ini di kalangan masyarakat adalah biseksual atau sering disebut acdc dalam bahasa pop. Pada penelitian kali ini peneliti cenderung tertarik dengan kelompok yang kedua yakni kelompok homoseksual. Namun berhubung sangat kentalnya nuansa gender dalam kelompok tersebut yang tentunya akan berimbas pada tujuan penelitian yakni perihal perilaku komunikasi pelaku, maka yang akan menjadi sorotan dalam penelitian ini adalah kelompok homoseksual pada perempuan atau disebut lesbian. Lesbian adalah istilah bagi perempuan yang mengarahkan orientasi seksualnya kepada sesama perempuan atau disebut juga perempuan yang mencintai perempuan baik secara fisik, seksual, emosional atau secara spiritual. Istilah ini dapat digunakan sebagai kata benda jika merujuk pada perempuan yang menyukai sesama jenis, atau sebagai kata sifat apabila bermakna ciri objek atau aktivitas yang terkait dengan hubungan sesama jenis antar perempuan.

Ada beberapa terminologi yang sering dihubungkan dengan menjadi seorang lesbian:

Butch merupakan istilah dalam komunitas lesbian untuk mendeskripsikan sifat, gaya, perilaku, ekspresi, persepsi diri dan sebagainya yang bersifat maskulin dalam

-3-

diri seorang perempuan. Dalam konteks sebuah hubungan, butch seringkali dipakai sebagai pasangan dari femme, yang pada umumnya lebih bersifat feminin, walaupun terdapat beberapa kasus dimana butch berpasangan dengan butch, dan femme dengan femme. Butch seringkali mempunyai stereotip sebagai pasangan yang lebih dominan dalam hubungan seksual. Bahkan kadang-kadang hubungan seksual antara butchfemme terjadi secara satu arah sehingga butch lebih digambarkan sebagi sosok yang tomboy, agresif, aktif, melindungi dan sifat-sifat maskulinitas lainnya.

Femme merupakan istilah dalam komunitas lesbian sebagai lawan dari butch yang mendeskripsikan sifat, gaya, perilaku, ekspresi, persepsi dan lain sebagainya lebih kepada feminim, istilah ini lebih mengadopsi peran sebagai feminim dalam suatu hubungan dengan pasangannya. Femme yang berpenampilan feminim selalu digambarkan mempunyai rambut yang panjang berpakaian serta bertingkah laku lemah lembut atau gemulai yang kental nuansa feminim lengkap dengan kemanjaannya. Sven-Axel Mansson, seorang profesor sosiologi Universitas Malmo dan rekannya, Kristian Daneback, berpendapat perempuan muda lebih cenderung mengejar aktivitas seksual dengan sesama jenis. Mansson menjelaskan, "Ada keterbukaan yang lebih besar di kalangan kaum muda, terutama di kalangan perempuan muda. Terdapat peningkatan minat bereksperimen dan mendorong batas-batas, dan meningkatnya perlawanan untuk mendefinisikan diri mereka sebagai heteroseksual, homoseksual atau biseksual." Kemudian menurut Hurlock masa muda atau yang disebut dengan masa remaja merupakan masa dimana seseorang akan mengalami proses pencarian

-4-

identitas, yaitu proses mengembangkan suatu identitas personal atau sense of self yang unik, berbeda dari orang lain dan mengalami banyak tekanan sosial dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep diri (Josselson dalam Mar'at, 2005). Dengan kata lain, setiap orang berusaha mencari identitas "siapakah" dirinya saat ini dan akan menjadi "siapakah" atau menjadi "apakah" dirinya pada masa yang akan datang. Perkembangan identitas selama masa remaja sangat penting karena memberikan suatu landasan bagi perkembangan psikososial dan relasi interpersonal pada masa dewasa (Jones & Hartman dalam Mar'at, 2005). Maka dalam penelitian ini, peneliti lebih berorientasi pada remaja perempuan, dalam hal ini seperti yang telah diungkapkan oleh Mansson. Selain itu, remaja juga cenderung lebih ekspresif dalam perilakunya. Apabila dilihat dari hubungan antara kaum gay, lesbian maupun biseksual, sangatlah penting untuk diketahui bahwa ada kecenderungan iklim sosial yang kurang berkenan untuk menerima keberadaan mereka yang dianggap sebagai kaum minoritas (Walter & Curran dalam Peplau & Spalding, 1997) Definisi masyarakat akan apa yang normal, layak, benar dan alami memiliki pengaruh besar atas bagaimana perilaku lesbian tentang orientasi seksual mereka di kalangan masyarakat. Jika dipandang dalam fakta sosial, maka kaum lesbian sering disebut sebagai sampah masyarakat, manusia terkutuk, orang gila(sakit jiwa), dan lain sebagainya karena definisi masyarakat tadi. Oleh karena pandangan negatif terhadap lesbian, tidak heran bila perempuan dengan kecenderungan lesbian merasa terasing dan tertekan oleh komunitas heteroseksual. Dengan faktor sosial dari lingkungan masyarakat itulah yang kemudian akan mempengaruhi konsep diri seorang

-5-

remaja lesbian yang pastinya akan berimbas pada perilaku yang mereka tampilkan di lingkungan sosial masyarakat sebagai panggung sandiwara dengan peran yang harus mereka mainkan sesuai harapan. Meskipun demikian, dalam pandangan subjektif dari pelaku lesbian, yakni bagaimana mereka melihat kehidupan mereka sendiri, tentu saja mereka memiliki harapan pada kehidupan sendiri yang unik dengan apa yang mereka rasakan dan alami sendiri. Berbagai kajian dapat digunakan untuk mengungkapkan fenomena lesbian, termasuk dalam hal ini adalah kajian komunikasi. Suatu kehidupan yang unik dan subkultur yang khas, dapat ditinjau dari proses interaksi simbolik diantara mereka. Hubungan budaya dengan komunikasi demikian erat, sehingga seperti dua sisi dari satu mata uang. Menurut Yoshikawa, Hall mengingatkan bahwa budaya dan komunikasi memiliki hubungan timbal balik. Manusia mengorganisasikan hidup(disebut budaya) sebagai bagian dari perwujudan perilaku komunikasi manusia dalam satu jaringan tertentu, dan kemudian komunikasi ditentukan dan dikembangkan menurut karakteristik budayanya. Dalam kaitannya dengan dunia lesbian, para lesbian yang terikat dan berinteraksi dengan sesamanya dapat menunjukkan karakteristik yang unik. Mereka dapat menciptakan dunianya sendiri, struktur sosialnya sendiri, termasuk dunia symbol dan proses komunikasinya. Pendekatan interaksi simbolik sebagai suatu pendekatan komunikasi dapat digunakan untuk menjelaskan bagaimana fenomena lesbian berinteraksi dengan sesama lesbian dan lesbian dengan masyarakat umum diluar komunitasnya. Apa yang

-6-

ditampilkan oleh lesbian agar diterima dikalangan lesbian dan tentunya di kalangan masyarakat umum, melalui bahasa verbal dan nonverbal, serta bagaimana perilaku komunikasi yang terjadi diantara lesbian, penuh dengan simbol-simbol yang khas. Maka melalui penelitian kajian komunikasi, peneliti merasa tertarik untuk mengangkat fenomena mengenai bagaimana perilaku komunikasi lesbian baik dalam kalangan komunitasnya maupun di lingkungan sosial masyarakat sekitarnya.

1.2 Fokus PenelitianPenelitian ini dilakukan untuk memberikan gambaran yang faktual dan objektif bagi pembacanya. Melalui penelitian ini, diharapkan dapat ditarik sebuah gambaran yang lebih mendalam dan aktual terhadap konsep diri remaja lesbian yang kemudian berdampak pada perilaku komunikasinya secara umum dalam proses interaksi simbolik di kalangan komunitasnya serta di lingkungan sosial masyarakat sekitarnya. Penelitian ini mengambil fokus penelitian sebagai berikut: bagaimana perilaku komunikasi remaja lesbian di Kota Bandung?

1.3 Pertanyaan PenelitianBerdasarkan fokus penelitian, maka peneliti memiliki pertanyaan penelitian untuk dapat menggambarkan secara umum perilaku komunikasi remaja lesbian di Kota Bandung. Berikut pertanyaan penelitian tersebut: 1. Bagaimana konsep diri remaja lesbian? 2. Bagaimana perilaku komunikasi remaja lesbian di kalangan komunitasnya?

-7-

3. Bagaimana perilaku komunikasi remaja lesbian di lingkungan sosial masyarakat sekitarnya?

1.4 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.4.1 Maksud PenelitianMaksud dari penelitian ini adalah ingin mengetahui bagaimana perilaku komunikasi remaja lesbian di Kota Bandung.

1.4.2 Tujuan PenelitianTujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Mengetahui konsep diri remaja lesbian. 2. Mengetahui perilaku komunikasi remaja lesbian di kalangan komunitasnya. 3. Mengetahui perilaku komunikasi remaja lesbian di lingkungan sosial masyarakat sekitarnya.

1.5 Kegunaan Penelitian 1.5.1 Kegunaan TeoritisSecara spesifik, penelitian ini menyentuh dua konteks komunikasi, yaitu konteks komunikasi interpersonal dan komunikasi kelompok. Penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan teoritis dalam memberikan pengetahuan maupun wawasan baru tentang studi komunikasi dalam konteks komunikasi interpersonal dan kelompok.

-8-

Penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan manfaat bagi studi interaksi simbolik dan dramaturgis, yang berkaitan dengan hadirnya interaksi-interaksi yang terjadi pada perilaku komunikasi remaja lesbian. Selain itu juga diharapkan dapat memberi kontribusi terhadap khazanah pemikiran mengenai perkembangan dunia lesbian di lingkungan sosial masyarakat khususnya Kota Bandung.

1.5.2 Kegunaan PraktisDalam hal praktis, penelitian ini diharapkan mampu menambahkan sebuah warna bagi setiap orang yang membacanya, terlebih bagi pembaca yang menaruh minat lebih pada fenomena perilaku komunikasi remaja lesbian di Kota Bandung. Selain itu, semoga penelitian ini dapat menjadi inspirasi bagi penelitian-penelitian lanjutan di sekitar isu yang sama. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman bersama mengenai perilaku komunikasi lesbian dalam kehidupan sosial masyarakat di lingkungan sekitar kita, sehingga kita mampu memahami ruang eksistensi mereka. Terlepas dari berbagai paradigma tentang fenomena lesbian yang berkembang di kalangan masyarakat umum, semoga tidak menutup kemungkinan agar tetap terjalin komunikasi yang baik dan efektif di kalangan masyarakat secara umum.

-9-

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Review Hasil Penelitian Sejenis 2.1.1 Engkus Kuswarno (2003): Manajemen Komunikasi Pengemis 2.1.2 Lely Arrianie (2006): Sandiwara di Senayan (Studi

Dramaturgis; Komunikasi Politik di DPR RI) 2.1.3 Gena Bijaksana (2009): Perilaku Komunikasi Aktivis Dakwah Fikom Unpad 2.1.4 Febrian Arief Kalastyas dan Nuroni (2012): Perilaku Komunikasi Remaja Lesbian di Kota Bandung

- 10 -

Tabel 2.1 Penelitian-Penelitian Sejenis Peneliti No Item Kuswarno (2003) Arrianie (2006) Sandiwara Di Senayan (Studi Manajamen Dramaturgis 1. Judul Komunikasi Komunikasi Pengemis Politik di DPR RI) Motif para Bagaimana para pengemis melakukan pengelolaan Fokus 2. Kajian menjalani peran kehidupannya sebagai seorang pengemis dalam melakukan pertukaran pesan-pesan politik di DPR di kalangan mereka dan orang-orang yang ada di sekitarnya serta dalam menampilkan diri di lingkungan sosial masyarakat kesan untuk management berkomunikasi komunitasnya politisi di DPR dan cara mereka melakukan impression Perilaku Aktivis Dakwah Kampus di FIkom Unpad dalam Perilaku komunikasi remaja lesbian di kalangan Fikom Unpad di Kota Bandung Aktivis Dakwah Remaja Lesbian Komunikasi Komunikasi Perilaku Perilaku Bijaksana (2009) Kalastyas & Nuroni (2012)

- 11 -

Metode Studi ini pendekatan menggunakan penelitian paradigma fenomenologi, interpretif dengan (fenomenologis), 3. Metode menggunakan khususnya paradigma pendekatan interaksionisme interaksi simbolik serta simbolik dan dramaturgis dramaturgis Goffman Bahwa pengemis dapat diibaratkan sebagai seorang aktor 4. Hasil kehidupan. menggunkan konsep diri positif dalam memandang pekerjaannya Bahwa ada kekacauan yang terjadi dalam panggung politik di DPR-RI. Tidak hanya seperti yang dikatakan Goffman dalam Dramaturgis, penelitian ini Bahwa aktivis dakwah kampus memiliki konsep diri yang positif terhadap diri dan aktivitas dakwah yang mereka jalani. Aktivis dakwah kampus Bahwa remaja lesbian memiliki konsep diri yang terbagi menjadi negatif dan positif, karena faktor lingkungan sosial yang dirasakan menekan kebebasan mereka dramaturgis simbolik dan dan dramaturgis interaksi interaksi simbolik pendekatan pendekatan dengan dengan studi kasus studi kasus menggunakan menggunakan Studi ini Penelitian

- 12 -

sebagai pengemis; dan melakukan manajemen komunikasi untuk memperkuat kesan dan menghayati perannya sebagai seorang pengemis.

menyampaikan bahwa para politisi bermain dalam satu panggung lagi selain panggung depan dan belakang, yakni panggung tengah.

melibatkan simbol-simbol verbal dan nonverbal dalam perilaku komunikasinya.

dalam setiap aktivitasnya, meskipun kepribadian mereka sendiri cenderung labil. Remaja lesbian memiliki simbolsimbol verbal dan nonverbal dalam perilaku komunikasinya, baik secara khusus maupun umum.

- 13 -

2.2 Landasan Teoritis 2.2.1 Interaksi SimbolikInterakasi simbolik merupakan teori yang memiliki konsep utama yang menyatakan bahwa makna tercipta dan terpelihara berkat adanya interaksi dalam suatu kelompok sosial. Makna adalah inti/core dari pengalaman, yang merupakan produk dari interaksi, dimana komunikasi sangat berperan penting dalam pengalaman seseorang. Interaksilah yang akan membentuk, menjaga, dan mengubah kaidah-kaidah tertentu, berbagai peranan, norma, aturan, selain tentu saja makna dalam sebuah kelompok sosial atau kebudayaan dan pada gilirannya kaidah-kaidah tersebut akan melahirkan kebudayaan itu sendiri. Dalam pengembangan pengetahuan, suatu teori atau model sering diilhami dari teori atau model sebelumnya, meskipun teori muncul kemudian hingga derajat tertentu juga menampakkan orisinalitasnya. Banyak pakar setuju bahwa pemikiran George Herbert Mead, sebagai tokoh sentral teori ini, berlandaskan beberapa cabang filsafat. Pragmatisme, Behaviorisme, Teori Evolusi Darwin. Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka

- 14 -

dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Bagi penganut interaksi simbolik, masyarakat adalah proses interaksi simbolik. Menurut Mead, orang bertindak berdasarkan makna simbolik yang muncul dari suatu situasi tertentu. Interaksi simbolik menekankan pada hubungan antara simboli dan interaksi. Sementara Larossa dan Reitzes mengungkapkan bahwa interaksi simbolik merupakan referensi untuk memahami bagaimana manusia bersama dengan orang lainnya menciptakan dunia simbolik dan sebaliknya bagaimana dunia membentuk perilaku manusia. Ada juga pandangan dari Liska Belgrave yang menyebutkan jika interaksi simbolik membuat masyarakat menjadi nyata, berkat adanya interaksi antar individu yang hidup dan bekerja untuk membuat dunia sosial mereka bermakna. Secara ringkas, interaksionisme simbolik didasarkan premis-premis berikut. Pertama, individu merespons suatu situasi simbolik. Mereka merespons lingkungan, termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial (perilaku manusia) berdasarkan makna yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Kedua, makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Negosiasi itu dimungkinkan karena manusia mampu menamai segala sesuatu. Akan tetapi, nama atau simbol yang digunakan untuk menandai objek, tindakan, peristiwa, atau gagasan itu bersifat arbitrer(sembarang).

- 15 -

Ketiga, makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial. George Ritzer meringkaskan teori interaksi simbolik ke dalam prinsip-prinsip berikut: 1. Manusia, tidak seperti hewan lebih rendah, diberkahi dengan kemampuan berpikir. 2. Kemampuan berpikir itu dibentuk oleh interaksi sosial. 3. Dalam interaksi sosial orang belajar makna dan simbol yang

memungkinkan mereka menerapkan kemampuan khas mereka sebagai manusia yakni berpikir. 4. Makna dan simbol memungkinkan orang melanjutkan tindakan dan interaksi khas manusia. 5. Orang mampu memodifikasi atau mengubah makna dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan intepretasi mereka atas situasi. 6. Orang mampu melakukan modifikasi dan perubahan ini karena, antara lain, kemampuan mereka berinteraksi dengan diri sendiri, yang memungkinkan mereka memeriksa tahapan-tahapan tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relatif dan kemudian memilih salah satunya. 7. Pola tindakan dan interaksi yang jalin-menjalin ini membentuk kelompok dan masyarakat.1

Inti dari teori interaski simbolik adalah teori tentang diri (self) dari George Herbert Mead, yang juga dapat dilacak hingga ke definisi diri dari Charles Horton Cooley. Cooley mendefinisikan diri sebagai sesuatu yang dirujuk dalam pembicaraan1

(Mulyana, 2008: 73)

- 16 -

biasa melalui kata ganti orang pertama tunggal, yaitu aku (I), daku (me), milikku (mine), dan diriku (myself). Menurut pandangan Mead tentang diri terletak pada konsep pengambilan peran orang lain (taking the role of the other). Kosep Mead tentang diri merupakan penjabaran diri sosial (social self) yang dikemukakan William James dan pengembangan dari teori Cooley tentang diri. Bagi Mead dan pengikutnya, individu bersifat aktif, inovatif yang tidak saja tercipta secara sosial, namun juga menciptakan masyarakat baru yang perilakkunya tidak dapat diramalkan. Bagi Cooley dan Mead, diri muncul karena komunikasi. Tanpa bahasa, diri tidak akan berkembang. Manusia unik karena mereka memiliki kemampuan memanipulasi simbol-simbol berdasarkan kesadaran. Menurut Mead, hanya apabila kita memiliki simbol-simbol yang bermakna, kita berkomunikasi dalam arti yang sesungguhnya. Mead menunjukkan bahwa perkembangan diri bergantung pada komunikasi dengan orang lain, terutama sejumlah kecil orang penting (significant other) yang membentuk atau mempengaruhi diri sebagaimana orang-orang itu dipengaruhi kehadiran diri tersebut. Penggunaan bahasa atau isyarat simbolik oleh manusia dalam interaksi sosial mereka pada gilirannya memunculkan pikiran (mind) dan diri (self). Mead mendefinisikan berpikir (thinking) sebagai suatu percakapan terinternalisasikan atau implisit antara individu dengan dirinya sendiri dengan menggunakan isyarat-isyarat demikian. Pikiran mengisyaratkan kapasitas dan sejauh mana manusia sadar akan diri

- 17 -

mereka sendiri, siapa dan apa mereka, objek di sekitar mereka dan makna objek tersebut bagi mereka. Menurut Mead, sebagai suatu proses sosial, diri terdiri dari dua fase, yaitu Aku (I) dan Daku (Me). Aku adalah diri yang subjektif, diri yang bersifat spontan, impulsif dan kreatif, refleksif yang mendefinisikan situasi dan merupakan kecendrungan implusif individu. Daku adalah pengambilan peran dan sikap orang lain, termasuk suatu kelompok tertentu yang bersifat hati-hati, reflektif dan peka secara sosial. Dalam pandangan interaksi simbolik, manusia menggunakan simbol-simbol yang merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya, dan juga pengaruh yang ditimbulkan penafsiran atas simbol-simbol ini terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial. Peneliti memandang beberapa poin yang ada dalam teori interaksi simbolik dari referensi buku Metode Penelitian Kualitatif: Mulyana, yakni: 1. Teori tentang diri 2. Pentingnya simbol dan komunikasi 3. Pikiran 4. Perkembangan diri Interaksionisme simbolik telah mengilhami perspektif lainnya, seperti teori penjulukan (labeling theory) dalam studi penyimpangan perilaku (deviance), perspektif dramaturgis dari Erving Goffman, dan etnometodologi dari Harold

- 18 -

Garfinkel. Ketiga pendekatan tersebut dapat dianggap varian-varian interaksionisme simbolik (Mulyana, 2001:68). Pendekatan interaksi simbolik sebagai suatu pendekatan komunikasi dapat digunakan untuk menjelaskan bagaimana fenomena remaja lesbian dalam berinteraksi dengan sesama di kalangan komunitasnya dan interaksi remaja lesbian dengan lingkungan sosial masyarakat sekitarnya.

2.2.2 Interaksi Simbolik MeadPemikiran-pemikiran Geroge Herbert Mead mula-mula dipengaruhi oleh teori evolusi Darwin yang menyatakan bahwa organisme terus-menerus terlibat dalam usaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya. George Herbert Mead berpendapat bahwa manusia merupakan makhluk yang paling rasional dan memiliki kesadaran akan dirinya. Di samping itu, George Herbert Mead juga menerima pandangan Darwin yang menyatakan bahwa dorongan biologis memberikan motivasi bagi perilaku atau tindakan manusia, dan dorongan-dorongan tersebut mempunyai sifat sosial. Selanjutnya, George Herbert Mead juga sependapat dengan Darwin yang menyatakan bahwa komunikasi adalah merupakan ekspresi dari perasaan, Mead juga dipengaruhi oleh idealisme Hegel dan John Dewey. Gerakan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dalam hubungannya dengan pihak lain. Sehubungan dengan ini, George Herbert Mead berpendapat bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk menanggapi diri sendiri secara sadar, dan kemampuan tersebut memerlukan daya pikir tertentu, khususnya daya pikir reflektif. Namun, ada kalanya terjadi tindakan manusia

- 19 -

dalam interaksi sosial munculnya reaksi secara spontan dan seolah-olah tidak melalui pemikiran dan hal ini biasa terjadi pada binatang. Bahasa atau komunikasi melalui simbol-simbol adalah merupakan isyarat yang mempunyai arti khusus yang muncul terhadap individu lain yang memiliki ide yang sama dengan isyarat-isyarat dan simbol-simbol akan terjadi pemikiran(mind). Pikiran manusia berorientasi pada rasionalitas. Dengan pikiran itulah manusia bisa melakukan proses refleksi yang disebabkan pemakaian simbol-simbol oleh manusia yang berinteraksi, sebut saja sebagai aktor. Simbol-simbol yang digunakan adalah berbentuk gestur dan bahasa yang bagi Mead dianggap sebagai simbol-simbol signifikan. Ciri khas dari pikiran adalah kemampuan individu untuk tidak sekedar membangkitkan respons orang lain dari dalam dirinya sendiri, namun juga respons dari komunitas keseluruhan. Manusia mampu membayangkan dirinya secara sadar tindakannya dari kacamata orang lain, Mead menyebutnya cermin diri(looking glass self); hal ini menyebabkan manusia dapat membentuk perilakunya secara sengaja dengan maksud menghadirkan respon tertentu dari pihak lain. Tertib masyarakat didasarkan pada komunikasi dan ini terjadi dengan menggunakan simbol-simbol. Proses komunikasi itu mempunyai implikasi pada suatu proses pengambilan peran(role taking). Komunikasi dengan dirinya sendiri merupakan suatu bentuk pemikiran(thought), yang pada hakikatnya merupakan kemampuan khas manusia.

- 20 -

Pemikiran Mead mengenai cermin diri mengimplikasikan kekuasaan yang dimiliki oleh label terhadap konsep diri dan prilaku. Kekuasaan ini menggambarkan tipe kedua dari prediksi pemenuhan diri. Tipe kedua dari prediksi pemenuhan diri yang dihasilkan oleh pemberian sebuah label dinamakan efek Pygmalion(Pygmlaion effect), hal ini merujuk pada harapan-harapan orang lain yang mengatur tindakan seseorang. Ketika Mead berteori mengenai diri, ia mengamati bahwa melalui bahasa orang mempunyai kemampuan untuk menjadi subjek dan obejk bagi dirinya sendiri. Sebagi subjek, kita bertindak, dan sebagai objek, kita mengamati diri kita sendiri bertindak. Mead menyebut subjek, atau diri yang bertindak, sebagia I dan objek, atau diri yang mengamati, adalah Me. I bersifat spontan, impulsif, dan kreatif, sedangkan Me lebih reflektif dan peka secara sosial. I mungkin berkeinginan untuk pergi keluar dan berpesta, sementara Me mungkin lebih berhati-hati dan menyadari adanya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Mead melihat diri sebuah proses yang mengintegrasikan antara I dan Me. I dalam analisis Mead menempatkan diri sebagai individu yang sangat subjektif. Oleh karena itu, I akan memberikan reaksi yang berbeda-beda tiap individu akan suatu rangsangan atau stimulus. Nilai yang dianut oleh tiap individu menyebabkan beragamnya penafsiran dan intepretasi akan sesuatu. I juga membuat kehidupan baik individu dan sosial menjadi sangat dinamis. Pada taraf subjektivitas, perilaku individu akan menjadi spontan dan tidak teramalkan. Misalnya saja, untuk penafsiran tentang arti kecantikan akan berbeda dari tiap individu bahkan yang berada di suatu masyarakat yang sama.

- 21 -

Me lebih stabil daripada I, karena Me adalah kristalisasi dari serangkaian norma yang dibuat secara umum. Artinya, diri sebagai objek akan memberi ruang untuk pengaruh norma sosial atau dengan kata lain, konsep generalized other akan sangat mempengaruhi diri. Me membuat individu dalam bertindak penuh dengan kontrol, sehingga setiap tindakannya akan normatif. I dalam diri seorang seniman akan lebih kuat daripada pengaruh Me, karena nilai kreativitas yang menghancurkan nilai-nilai konservatif dalam diri seseorang. Lain halnya dengan seseorang yang berjiwa konservatif, orang desa misalnya, mereka akan tetap bertahan hidup di lingkungan pedesaan dengan gaya hidup yang cenderung sama dari waktu ke waktu. Sehingga dapat dikatakan jika faktor I dalam kehidupan individu sangat menentukan proses perubahan baik di level individu dan masyarakat pada umumnya. Diri sebagai subjek adalah kemampuan diri untuk memberikan tanggapan terhadap apa yang ia keluarkan atau tujukan kepada orang lain, dan tanggapan yang diberikan tadi juga termasuk dalam serangkaian dari tindakan. Sedangkan diri sebagai objek maksudnya adalah diri tidak hanya mendengarkan dirinya sendiri namun juga merespon tindakan yang telah dilakukan seperti individu lain merespon. Selanjutnya, Mead berargumen bahwa interaksi mengambil tempat di dalam sebuah struktur sosial yang dinamis-budaya, masyarakat, dan sebagainya. Individuindividu lahir dalam konteks sosial yang sudah ada. Mead mendefinisikan masyarakat(society) sebagai jejaring hubunagn sosial yang diciptakan oleh manusia. Individu-individu terlibat di dalam masyarakat keterhubungan yang mereka pilih

- 22 -

secara aktif dan sukarela. Jadi masyarakat menggambarkan keterhubungan beberapa perangkat perilaku yang terus disesuaikan oleh individu-individu. Masyarakat ada sebelum individu tetapi juga diciptakan dan dibentuk oleh individu, dengan melakukan sejalan dengan orang lainnya(Forte, 2004). Masyarakat, karenanya terdiri dari individu-individu, dan Mead berbicara mengenai dua bagian penting masyarakat yang mempengaruhi pikiran dan diri. Pemikiran Mead mengenai orang lain secara khusus(particular others) merujuk pada individu-individu dalam masyarakat yang signifikan bagi kita. Orang lain secara umum(generalized other) merujuk pada cara pandang dari sebuah kelompok sosial atau budaya sebagai suatu keseluruhan. Hal ini diberikan oleh masyarakat kepada kita, dan sikap dari orang lain secara umum adalah sikap dari keseluruhan komunitas(Mead, 1934,hal 154). Orang lain secara umum memberikan, menyediakan informasi mengenai peranan, aturan, dan sikap yang dimiliki bersama oleh komunitas. Orang lain secara umum juga memberikan kita perasaan mengenai bagaimana orang lain bereaksi kepada kita dan harapan sosial secara umum. Masyarakat bukanlah sesuatu yang statis di luar sana yang selalu mempengaruhi dan membentuk diri kita, namun pada hakekatnya merupakan sebuah proses interaksi. Individu bukan hanya memiliki pikiran(mind) dan

pemikiran(thought), namun juga diri(self) yang bukan sebuah entitas psikologis, namun sebuah aspek dari proses sosial yang muncul dalam proses pengalaman dan aktivitas sosial. Selain itu, keseluruhan proses interaksi tersebut bersifat simbolik, di mana makna-makna dibentuk oleh akal budi manusia.

- 23 -

2.3 Landasan Konseptual 2.3.1 Konsep DiriKonsep diri adalah pandangan kita mengenai siapa diri kita, dan itu hanya bisa kita peroleh lewat informasi yang diberikan orang lain kepada kita. Manusia yang tidak pernah berkomunikasi dengan manusia lainnya tidak mungkin mempunyai kesadaran bahwa dirinya adalah manusia. Cooley mendefinisikan diri sebagai sesuatu yang dirujuk dalam pembicaraan biasa melalui kata ganti orang pertama tunggal, yaitu aku (I), daku (me), milikku (mine), dan diriku (myself). Segala sesuatu yang dikaitkan dengan diri menciptakan emosi lebih kuat daripada yang tidak dikaitkan dengan diri, bahwa diri dapat dikenal hanya melalui perasaan subjektif. Cooley berpendapat bahwa konsep diri individu secara signifikan ditentukan oleh apa yang ia pikirkan tentang pikiran orang lain mengenai dirinya. Suatu konsep diri seperti ini agaknya mempunyai tiga unsur: imajinasi penampilan kita bagi orang lain; imajinasi penilainnya atas penampilan tersebut; dan sejenis perasaan diri (self-feeling), seperti kebanggan atau malu. William D. Brooks mendefinisikan konsep diri sebagai those physical, social, and psychological perceptions of ourselves that we have derived from experiences and our interaction with others(1974:40). Jadi, konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Persepsi tentang diri ini boleh bersifat psikologi, sosial. Dan fisis. Konsep diri bukan hanya sekedar gambaran deskriptif, tetapi juga merupakan penilaian kita terhadap diri kita. Maka dari itu, konsep diri meliputi apa yang kita pikirkan dan apa yang kita rasakan tentang diri kita. Oleh karena itu, Anita

- 24 -

Taylor et al. mendefinisikan konsep diri sebagai all you think and feel about you, the entire complex of beliefs and attitudes you hold about yourself(1977:98). Dengan demikian, Rakhmat dalam bukunya mengungkapkan bahwa konsep diri memiliki dua komponen, yakni komponen kognitif dan komponen afektif. Dalam psikologi sosial, komponen kognitif disebut self image (citra-diri), sementara komponen afektif disebut self esteem (harga-diri). Menurut Willian D. Brooks dan Philip Emmert, kedua komponen tersebut berpengaruh besar pada pola komunikasi interpersonal. Dengan demikian, konsep diri tentu akan sangat berpengaruh dalam perilaku komunikasi seseorang, dalam hal ini remaja lesbian dalam interaksinya. Lingkungan masyarakat sebagai laboratorium sosial memang memiliki keragaman, baik dari aktivitas, pola pikir sampai dengan identitas. Kemudian dari perbedaan atau pluralitas itulah, lingkungan menjadi tempat berkembangnya maknamakna dalam kehidupan sosial masyarakat, termasuk tumbuhnya kelompok-kelompok yang dianggap pendobrak kebebasan, tak terkecuali dalam perihal orientasi seksual seperti remaja lesbian. Kebebasan memang seolah-olah menjadi sesuatu yang ditelan bulat-bulat oleh kalangan orang tertentu yang menurut mereka termasuk kebebasan ruang eksplorasi mereka. Oleh karena itu, munculah kelompok remaja lesbian yang merupakan buah dari kebebasan eksplorasi seksual. Meskipun sebenarnya lesbian tidak hanya sebatas orientasi seksual, melainkan dapat diorientasikan secara lebih luas lagi, misalnya mengenai harapan hidup yang aman dan nyaman serta tentram. Dalam melakukan segala kegiatannya, termasuk perilaku komunikasi, remaja lesbian tersebut tentu mempunyai landasan bagi dirinya, dalam hal ini adalah konsep

- 25 -

diri. Namun tentu saja konsep diri dari remaja lesbian tersebut sangat dipengaruhi oleh lingkungannya, baik internal (kalangan komunitas) maupun eksternal (kalangan sosial masyarakat). Meskipun demikian, tidak semua orang lain mempunyai pengaruh yang sama terhadap diri kita. Orang-orang yang dekat dengan diri kitalah yang diantaranya sangat berpengaruh. George Herbert Mead menyebutnya sebagai significant othersorang lain yang sangat penting. Sementara Dewey dan Humber menyebutnya affective others-orang lain yang memiliki ikatan emosional dengan kita. Selain itu peran masyarakat juga sangat penting dalam membentuk konsep diri. Masyarakat merupakan jejaring hubungan sosial yang diciptakan manusia, individuindividu terlibat dalam masyarakat melalui perilaku yang mereka pilih secara sukarela. Masyarakat menggambarkan keterhubungan beberapa perangkat perilaku yang terus disesuaikan oleh individu. Ada dua hal penting dari masyarakat yang mempengaruhi pikiran dan diri. Pertama, orang lain secara khusus/particular others yaitu individuindividu dalam masyarakat yang mlihat particular others untuk memperoleh rasa penerimaan sosial dan rasa mengenai diri. Kedua, orang lain secara umum/generalized others: merujuk pada cara pandang dari suatu kelompok sosial atau budaya sebagai suatu keseluruhan. Sikap dari orang lain secara umum adalah sikap dari keseluruhan komunitas. Generalized others akan menyediakan inforamasi mengenai peranan, aturan dan sikap bersama yang dimiliki komunitas. Selain memberikan perasaan mengenai bagaimana orang lain bereaksi terhadap seseorang dan harapan sosial secara umum. Perasaan tersebut berpengaruh dalam mengembangkan kesadaran sosial.

- 26 -

Konsep tersebut mendapat dua asumsi tambahan dari La Rossou dan Ritzes, yaitu; individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain serta kemudian konsep diri memberikan motif penting untuk perilaku. Asumsi tersebut menguraikan bahwa seseorang membangun perasaan akan dirinya/sence of self tidak selamanya melalui kontak dengan orang lain. Orang tidak terlahir dengan konsep diri, namun mereka harus belajar tentang diri mereka melalui interaksi. Mead berpendapat, karena manusia memiliki diri, maka mereka memiliki mekanisme untuk berinteraksi dengan dirinya sendiri. Mekanisme ini digunakan untuk menuntun sikap dan perilaku. Bagi Mead, diri sebagai suatu proses, bukan merupakan struktur. Bila seseorang merasa yakin akan suatu kemampuannya, maka ia akan amat mungkin berhasil dengan mewujudkannya tadi. Proses tersebut dinakaman pemenuhan diri/self fulfilling propchy yakni pengharapan akan diri yang menyebabkan seseorang untuk berperilaku sedemikian rupa sehingga harapannya terwujud. Pandangan Mead tentang diri terletak pada konsep pengambilan peran orang lain (taking the role of the other). Konsep Mead tentang diri merupakan penjabaran diri sosial (social self) yang dikemukakan William James dan pengembangan dari teori Cooley tentang diri. Bagi Mead dan pengikutnya, individu bersifat aktif, inovatif yang tidak saja tercipta secara sosial, namun juga menciptakan masyarakat baru yang perilakunya tidak dapat diramalkan. Goffman sering dianggap salah satu penafsir teori-diri dari Mead dengan menekankan sifat simbolik interaksi manusia, pertukaran makna di antara orang-orang melalui simbol. Untuk memelihara citra-diri yang stabil, orang melakukan

- 27 -

pertunjukan (performance) di hadapan khalayak. Sebagai hasil dari minatnya pada pertunjukan itu, Goffman memusatkan perhatian pada dramaturgi, atau pandangan atas kehidupan sosial sebagai serangkaian pertunjukan drama yang mirip dengan pertunjukan drama di panggung. Fokus dramaturgi bukan konsep-diri yang dibawa seorang aktor dari situasi ke situasi lainnya atau keseluruhan jumlah individu melainkan diri yang tersituasikan secara sosial yang berkembang dan mengatur interaksi-interaksi spesifik. Menurut Goffman, diri adalah suatu hasil kerjasama (collaborative manufacture) yang harus diproduksi-baru dalam setiap peristiwa interaksi sosial. Diri sebagai produk interaksi antarpribadi itulah, alih-alih sebagai milik sang aktor, yang dianalisis Goffman. Karena merupakan produk interaksi dramatik, diri bersifat rentan terhadap gangguan selama pertunjukan. Pendekatan daramturgis Goffman berkaitan dengan proses tentang bagaimanan gangguan-gangguan itu diatasi. Meskipun sebagaian besar kajiannya berkenaan dengan berbagai kemungkinan itu, Goffman menunjukkan bahwa kebanyakan pertunjukan itu berhasil baik. Hasilnya adalah bahwa dalam keadaan biasa diri yang tetap (fitm self) layak bagi pelaku (performer), dan ia tampak memancar dari pelaku. Harry Stack Sullivan(1953) menjelaskan bahwa jika kita diterima orang lain, dihormati, dan disenangi karena keadaan diri kita, kita akan cenderung bersikap menghormati dan menerima diri kita. Sebaliknya, bila orang lain selalu meremehkan kita, menyalahkan kita, dan menolak kita, kita akan cenderung tidak akan menyenangi

- 28 -

diri kita. Dalam hal ini, keberadaan remaja lesbian menjadi fenomena yang sangat relevan dengan apa yang dikatakan oleh Sullivan tersebut.

2.3.2 DramaturgiSuatu perkenalan dangan interaksionisme simbolik tidak akan tuntas tanpa membahas andil Erving Goffman terhadap teori tersebut. Goffman sangat berpengaruh bukan saja di lingkungan interaksionis simbolik, numun juga di kalangan ilmuwan sosial umumnya. Melalui buku-bukunya Goffman menunjukkan betapa rentannya citra-diri seseorang dalam kehidupan sehari-hari, bahkan terhadap isyarat-isyarat atau ritual-ritual kecil. Setiap pertemuan berisiko, dalam arti pemaknaan yang merusak dapat berlangsung, baik disengaja ataupun secara kebetulan. Goffman pada dasarnya seorang pengamat interaksi tatap-muka yang memiliki kemampuan luar biasa untuk mengapresiasi pentingnya aspek-aspek yang tamapk tidak penting dari perilaku sehari-hari. Ia memang seorang dramaturgis, tetapi juga memanfaatkan pendekatan interaksi simbolik, fenomenologi Schutzian, formalism Simmelian, analisis semiotic, dan bahkan fungsionalisme Durkhemian. Interaksionisme simbolik mengakui bahwa interaksi adalah suatu proses interpretif dua-arah. Salah satu fokus interaksi simbolik adalah efek dari interpretasi terhadap orang yang tindakannya sedang diinterpretasikan. Dalam kaitan ini, Goffman adalah apa yang ia sebut ketertiban interaksi (interaction order): struktur, proses, dan produk interaksi sosial. Ketertiban interaksi muncul untuk memenuhi kebutuhan akan pemeliharaan keutuhan-diri. Akan tetapi, seperti inti pemikiran kaum

- 29 -

interaksionis umumnya, inti pemikiran Goffman adalah diri (self), yang dijabarkan lebih jauh oleh Goffman dengan cara yang unik dan memikat. Lewat pendekatannya terhadap interaksi sosial, Goffman sering dianggap salah satu penafsir teori-diri dari Mead dengan menekankan sifat simbolik interaksi manusia, pertukaran makna di antara orang-orang melalui simbol. Untuk memelihara citra-diri yang stabil, orang melakukan pertunjukan (performance) di hadapan khalayak. Sebagai hasil dari minatnya pada pertunjukan itu, Goffman memusatkan perhatian pada dramaturgi, atau pandangan atas kehidupan sosial sebagai serangkaian pertunjukan drama yang mirip dengan pertunjukan drama di panggung. Misi kaum dramaturgis adalah memahami dinamika sosial dan menganjurkan kepada individu yang berpartisipasi dalam interaksi-interaksi tersebut untuk membuka topeng para pemainnya. Inti dari dramaturgi adalah menghubungkan tindakan dengan maknanya alih-alih perilaku dengan determinannya. Makna atas suatu simbol, penampilan atau perilaku sepenuhnya bersifat serba mungkin, sementara dan situasional. Maka fokus pendekatan dramaturgis adalah bukan apa yang individu lakukan, apa yang ingin individu lakukan, atau mengapa individu melakukan, melainkan bagaimana individu melakukannya. Berdasarkan pandangan Kenneth Burke bahwa pemahaman yang layak atas perilaku manusia harus bersandar pada tindakan, dramaturgi menekankan dimensi ekspresif/impresif aktivis manusia, yakni bahwa makna kegiatan manusia terdapat dalam cara mereka mengekspresikan diri dalam interaksi dengan individu lain yang juga ekspresif.

- 30 -

Pendekatan dramaturgis Goffman khususnya berintikan pandangan bahwa ketika manusia berinteraksi dengan sesamanya, ia ingin mengelola kesan yang ia harapkan tumbuh pada orang lain terhadapnya. Untuk itu, setiap individu melakukan pertunjukan bagi individu lainnya. Seperti kebanyakan karya tulis interaksionis simbolik, konsep terpenting dalam karya tulis Goffman adalah diri. Kaum interaksionis, dan khususnya lagi kaum dramaturgis, lebih senang menggunakan konsep diri (self) daripada konsep kepribadian (personality) untuk menghindari asumsi-asumsi yang implisit tentang individu, yakni sebagai entitas yang mengandung unsur-unsur sadar dan tidak sadar, sebagai struktur sikap, nilai, sifat, dan kebutuhan, dan sebagai sumber motivasi dan konsistensi perilaku. Fokus dramaturgi bukan konsep-diri yang dibawa seorang aktor dari situasi ke situasi lainnya atau keseluruhan jumlah individu melainkan diri yang tersituasikan secara sosial yang berkembang dan mengatur interaksi-interaksi spesifik. Menurut Goffman, diri adalah suatu hasil kerjasama (collaborative manufacture) yang harus diproduksi-baru dalam setiap peristiwa interaksi sosial. Diri dari Goffman jelas bersifat temporer dalam arti bahwa diri tersebut berjangak-pendek, bermain peran, karena selalu dituntut oleh peran-peran sosial yang berlainan yang interaksinya dengan masyarakat berlangsung dalam episode-episode pendek. Goffman mengasumsikan bahwa ketika individu-individu berinteraksi, mereka ingin menyajikan suatu gambaran-diri yang akan diterima individu lain. Goffman menyebut upaya itu sebagai pengelolaan kesan (impression management), yakni

- 31 -

teknik-teknik yang digunakan aktor untuk memupuk kesan-kesan tertentu dalam situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Goffman, kebanyakan atribut, milik atau aktivitas manusia digunakan untuk presentasi-diri ini, termasuk busana yang dipakai, tempat yang ditinggali, rumah yang dihuni, cara berjalan dan berbicara, pekerjaan yang dilakukan, dan cara menghabiskan waktu luang. Dalam perspektif dramaturgis, kehidupan ini ibarat teater, interaksi sosial yang mirip dengan pertunjukan di atas panggung, yang menampilkan peran-peran yang dimainkan para aktor. Untuk memainkan peran sosial tersebut, biasanya sang aktor menggunakan bahasa verbal dan menampilkan perilaku nonverbal tertentu serta mengenakan atribut-atribut tertentu, misalnya kendaraan, pakaian, dan aksesori lainnya, yang sesuai dengan perannya dalam situasi tertentu. Menurut Goffman, kehidupan sosial itu dapat dibagi menjadi wilayah depan (front region) dan wilayah belakang (back region)2. Wilayah depan ibarat panggung sandiwara bagian depan (front stage) yang ditonton khalayak penonton, sedangkan wilayah belakang ibarat panggung sandiwara bagian belakang (back stage) atau kamar rias tempat pemain sandiwara bersantai, mempersiapkan diri, atau berlatih untuk memainkan perannya di panggung depan. Goffman membagai panggung depan menjadi dua bagian: front pribadi (personal front), dan setting, yakni situasi fisik yang harus ada ketika aktor harus melakukakn pertunjukan. Tanpa setting, aktor biasanya tidak dapat melakukan pertunjukan.

2

Mulyana (2008: 114)

- 32 -

Aspek lain dalam dramaturgi di panggung depan adalah bahwa aktor sering berusaha menyampaikan kesan bahwa mereka punya hubungan khusus atau jarak sosial lebih dekat dengan khalayak dari pada jarak sosial yang sebenarnya. Fokus perhatian Goffman sebenarnya bukan hanya individu, tetapi juga kelompok atau apa yang ia sebut tim. Selain membawakan peran dan karakter secara individu, aktor-aktor soisal juga berusaha mengelola kesan orang lain terhadap kelompoknya, baik itu keluarga, tempat bekerja, partai politik, atau organisasi lainnya yang mereka wakili. Semua anggota itu adalah apa yang Goffman sebut tim pertunjukan (performance team) yang mendramatisasikan suatu aktivitas. Unsur penting lain yang terdapat dalam perspektif Goffman adalah pandangan bahwa interaksi mirip dengan upacara keagamaan yang sarat dengan berbagai ritual. Bagi Goffman tampaknya hampir tidak ada isyarat nonverbal yang kosong dari makna. Isyarat yang tampak sepele pun, seperti berpaling ke arah lain atau menjaga jarak dengan orang asing yang dimaksudkan untuk menjaga privasi orang adalah ritual antarpribadi atau dalam istilah Goffman mengahargai diri yang keramat (sacred self), bukan sekedar adat-kebiasaan. Dalam buku metode penelitian kualitatif, Prof. Dr. Deddy Mulyana, M.A ada beberapa poin dalam menggambarakan teori dramaturgis, yaitu: 1. Presentasi diri, 2. Panggung depan dan panggung belakang, 3. Panggunaan tim, dan 4. Interaksi sebagai ritual.

- 33 -

Pendekatan dramaturgis Goffman terhadap interaksi sosial, sebagaimana dikatakan Burns, menawarkan suatu cara berguna untuk mengamati individu berusaha menjadi seseorang daripada berusaha melakkukan sesuatu. Proyeksi citra-diri ini dipandang sebagai bagian dari proses sosialisasi. Identitas sosial ini digunakan sebagai basis perilaku dalam suatu konteks tertentu, yang memberikan petunjuk kepada orang lain untuk memudahkan tugas mengkomunikasikan kepada orang lain tersebut siapa orang yang bersangkutan dalam situasi tertentu.

2.4 Kerangka Pemikiran 2.4.1 Perkembangan Interaksi SimbolikTeori interaksi simbolik seiring sejarah dan perkembangannya melibatkan beberapa orang ilmuwan punya andil utama sebagai perintis interaksi simbolik, diantaranya James Mark Baldwin, William James, Charles H. Cooley, John Dewey, William I. Thomas, dan George Herbert Mead. Akan tetapi Mead-lah yang paling populer sebagai perintis dasar teori tersebut. Mead mengembangkan teori interaksionisme simbolik pada tahun 1920-an dan1930-an ketika ia menjadi professor filsafat di Universitas Chicago. Namun gagasan-gagasannya mengenai interaksionisme simbolik berkembang pesat setelah para mahasiswanya menerbitkan catatan dan kuliah-kuliahnya, terutama melalui buku yang menjadi rujukan utama teori interaksi simbolik, yakni : Mind,Self , and Society (1934) yang diterbitkan tak lama setelah Mead meninggal dunia.

- 34 -

Penyebaran dan pengembangan teori Mead juga berlangsung melalui interpretasi dan penjabaran lebih lanjut yang dilakukan para mahasiswanya, terutama Herbert Blumer. Justru Blumer-lah yang menciptakan istilah interaksi simbolik pada tahun (1937) dan mempopulerkannya di kalangan komunitas akademis (Mulyana,2001 : 68) Interaksi simbolik merupakan suatu aktivitas yang merupakan cirri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Blumer menyatukan gagasan-gagasan tentang interaksi simbolik lewat tulisannya, dan juga diperkaya dengan gagasan-gagasan dari John Dewey, William I. Thomas, dan Charles H. Cooley (Mulyana, 2001 : 68). Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah perspektif yang lebih besar yang sering disebut perspektif fenomenologis atau perspektif interpretif. Maurice Natanson menggunakan istilah fenomenologis sebagai suatu istilah yang merujuk pada semua pandangan ilmu sosial yang menganggap kesadaran manusia dan makna subjektifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial. Menurut Natanson, pandangan fenomenologis atas realitas sosial menganggap dunia intersubjekif terbentuk dalam aktivitas kesadaran yang salah satu hasilnya adalah ilmu alam. Ia mengakui bahwa George Herbet Mead, William I.Thomas, dan Charles H. Cooley, selain mazhaberopa yang dipengaruhi Max Weber adalah representasi perspektif fenomenologis ini. Bogdan dan Taylor mengemukakan bahwa dua pendekatan utama dalam tradisi fenomenologis adalah interaksi simbolik dan etnometodologi (Mulyana, 2001:59).

- 35 -

Selama awal perkembangannya, teori interaksi simbolik seolah-olah tetap tersembunyi di belakang dominasi teori fenomenologisme dari Talcott Parsons. Namun kemunduran fungsionalisme tahun 1950-an dan 1960-an mengakibatkan interaksionisme simbolik muncul kembali ke [ermukaan dan berkembang pesat hingga saat ini. Selama tahun 1960-an tokoh-tokoh interaksionisme simbolik sperti Howard S.Becker dan Erving Goffman menghasilkan kajian-kajian interpretif yang menarik dan menawarkan pandangan alternatif yang sangat memilkat mengenai sosialisasi dan hubungan antara individu dan masyarakat(Mulyana, 2001:59). Menurut Meltzer, sementara interaksionisme simbolik dianggap relative homogen, sebenarnya perspektif ini terdiri dari beberapa mahzab berdasarkan akar historis dan intelektual mereka yang berbeda. Aliran-aliran interaksionisme simbolik tersebut adalah mahzab Chicago, Mahzab Iowa, Pendekatan Dramaturgis, dan Etnometodologi. Mazhab Chicago dan Dramaturgis tampaknya memberikan pemahaman lebih lengkap mengenai realitas yang dikaji. Kedua pendekatan itu tidak hanya menganalisis kehadiran manusia di antara sesamanya, tetapi juga motif, sikap, nilai yang mereka anut dalam privasi mereka (Mulyana, 2001:59-60). Sebagian pakar berpendapat, teori interaksionisme simbolik, khususnya dari George Herbert Mead, seperti teori etnometodologi dari Harold Garfinkel yang juga berpengaruh di Amerika, serta teori fenomenologi dari Alfred Schutz yang berpengaruh di eropa, sebenarnya berada di bawah teori tindakan sosial yang dikemukakan filsuf dan sosiolog Jerman, Max Weber (Mulyana, 2001:59-60).

- 36 -

Sebagaimana diakui Paul Rock, interaksionisme simbolik mewarisi tradisi dan posisi intelektual yang berkembang di eropa abad ke-19, meskipun interaksionisme simbolik tidak punya hak waris atasnya atau dianggap sebagai tradisi ilmiah tersendiri. Dengan kata lain, George Herbert Maead tidaklah secara harfiah mengembangkan teori Weber atau bahwa teori Mead diilhami oleh teori Weber. Hanya memang ada kemiripan dalam pemikiran kedua tokoh tersebut mengenai tindakan manusia. Pemikiran Mead sendiri diilhami beberapa pandangan filsafat, khususnya pragmatisme dan behaviorisme. Ada kemiripan antara pandangan Mead dengan pandangan Schutz. Sejumlah interaksionis memang menekankan dimensi fenomenologis dengan mensintesiskan karya mereka dengan gagasan Alfred Schutz dan para pengikutnya (Mulyana, 2001:59-60). Weber mendefinisikan tindakan sosial sebagai semua perilaku manusia ketika dan sejauh individu memberikan suatu makna subjektif terhadap perilaku tersebut. Tindakan disini bisa terbuka atau tersembunyi, bisa merupakan intervensi positif dalam suatu situasi atau sengaja berdiam diri sebagai tanda setuju dalam situasi tersebut. Menurut Weber, tindakan bermakna sosial sejauh berdasarkan makna subjektifnya yang diberikan individu atau individu-individu, tindakan itu

mempertimbangkan perilaku orang lain dan karenanya diorientasikan dalam penampilannya (Mulyana, 2001:61). Sedangkan interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu bersifat aktif, reflektif, dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit

- 37 -

diramalkan. Paham ini menolak gagasan bahwa individu adalah organism yang pasif yang perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan atau struktur yang ada diluar dirinya. Oleh karena individu terus berubah maka masyarakat pun berubah melalui interaksi. Jadi interaksi lah yang dianggap sebagai variable penting yang menentukan perilaku manusia bukan struktur masyarakat. Struktur itu sendiri tercipta dan berubah karena interaksi manusia, yakni ketika individu-individu berpikir dan bertindak secara stabil terhadap seperangkat objek yang sama. Senada dengan asumsi di atas, dalam fenomenologi Schutz, pemahaman atas tindakan, ucapan, dan interaksi merupakan prasyarat bagi eksistensi sosial siapa pun. Dalam pandangan Schutz, kategori pengetahuan pertama bersifat pribadi dan unik bagi setiap individu dalam interaksi tatap muka dengan orang lain (Mulyana, 2001:61-62). Interaksionisme simbolik Mazhab Iowa menggunakan metode

saintifik(positivistik) dalam kajian-kajiannya, yakni untuk menemukan hukum-hukum universal mengenai perilaku sosial yang dapat diuju secara empiris, sementara Mazhab Chicaga menggunakan pendekatan humanistik. Dan Mazhab yang populer digunakan adalah Mazhab Chicago (Mulyana, 2001:69). Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orag lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan bahkan diri mereka sendirilah yang menentukan perilaku mereka.

- 38 -

Perilaku mereka tidak dapat digolongkan sebagai kebutuhan, dorongan impuls, tuntutan budaya atau tuntutan peran. Manusia bertindak hanyalah berdasarkan definisi atau penafsiran mereka atas objek-objek di sekeliling mereka. Tidak mengherankan bila frase-frase definisi situasi , realitas terletak pada mata yang melihat dan bila manusia mendefinisikan situasi sebagai riil, situasi tersebut riil dalam

konsekuensinya sering dihubungkan dengan interaksionisme simbolik (Mulyana, 2001:70). Mead mengembangkan teori interaksionisme simbolik pada tahun 1920-an ketika beliau menjadi profesor filsafat di Universitas Chicago. Namun

gagasangagasannya mengenai interaksionisme simbolik berkembang pesat setelah para mahasiswanya menerbitkan catatan dan kuliah-kuliahnya, terutama melalui buku yang menjadi rujukan utama teori interaksionisme simbolik, yakni mind, self and society (Mulyana, 2001: 68). Karya Mead yang paling terkenal ini menggarisbawahi tiga konsep kritis yang dibutuhkan dalam menyusun sebuah diskusi tentang teori interaksionisme simbolik. Tiga konsep ini saling mempengaruhi satu sama lain dalam term interaksionisme simbolik. Dari itu, pikiran manusia (mind) dan interaksi sosial (diri/self dengan yang lain) digunakan untuk menginterpretasikan dan memediasi masyarakat (society) di mana kita hidup. Makna berasal dari interaksi dan tidak dari cara yang lain. Pada saat yang sama pikiran dan diri timbul dalam konteks sosial masyarakat. Pengaruh timbal balik antara masyarakat, pengalaman individu dan interaksi menjadi bahan bagi penelahaan dalam tradisi interaksionisme simbolik (Elvinaro, 2007: 136)

- 39 -

Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah payung perspektif yang lebih besar lagi, yakni perspektif fenomenologis atau perspektif interpretif. Secara konseptual, fenomenologi merupakan studi tentang pengetahuan yang berasal dari kesadaran atau cara kita sampai pada pemahaman tentang objek-objek atau kejadian-kejadian yang secara sadar kita alami. Fenomenologi melihat objek-objek dan peristiwa-peristiwa dari perspektif seseorang sebagai perceiver. Sebuah fenomena adalah penampakan sebuah objek, peristiwa atau kondisi dalam persepsi individu (Rahardjo, 2005: 44). Interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu itu bukanlah sesorang yang bersifat pasif, yang keseluruhan perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan atau struktur-struktur lain yang ada di luar dirinya, melainkan bersifat aktif, reflektif dan kreatif, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Oleh karena individu akan terus berubah maka masyarakat pun akan berubah melalui interaksi itu. Struktur itu tercipta dan berubah karena interaksi manusia, yakni ketika individu-individu berpikir dan bertindak secara stabil terhadap seperangkat objek yang sama (Mulyana, 2001: 59). Jadi, pada intinya, bukan struktur masyarakat melainkan interaksi lah yang dianggap sebagai variabel penting dalam menentukan perilaku manusia. Melalui percakapan dengan orang lain, kita lebih dapat memahami diri kita sendiri dan juga pengertian yang lebih baik akan pesan-pesan yang kita dan orang lain kirim dan terima (West, 2008: 93)

- 40 -

Interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide tentang individu dan interaksinya dengan masyarakat. Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan bahkan diri mereka sendiri yang menentukan perilaku manusia. Sebagaimana ditegaskan Blumer, dalam pandangan interaksi simbolik, proses sosial dalam kehidupan kelompok yang menciptakan dan menegakkan aturan-aturan, bukan sebaliknya. Dalam konteks ini, makna dikonstruksikan dalam proses interaksi dan proses tersebut bukanlah suatu medium netral yang memungkinkan kekuatankekuatan sosial memainkan perannya, melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial dan kekuatan sosial(Mulyana, 2001: 68-70). Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Secara ringkas,

interaksionisme simbolik didasarkan pada premis-premis berikut: pertama, individu merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik dan sosial berdasarkan makna yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Kedua, makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa.

- 41 -

Ketiga, makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial. Teori ini berpandangan bahwa kenyataan sosial didasarkan kepada definisi dan penilaian subjektif individu. Struktur sosial merupakan definisi bersama yang dimiliki individu yang berhubungan dengan bentuk-bentuk yang cocok, yang

menghubungkannya satu sama lain. Tindakan-tindakan individu dan juga pola interaksinya dibimbing oleh definisi bersama yang sedemikian itu dan dikonstruksikan melalui proses interaksi. Mead adalah pemikir yang sangat penting dalam sejarah interaksionisme simbolik. Interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide mengenai diri dan hubungannya dengan masyarakat. Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993) mengatakan bahwa ada tiga tema besar yang mendasari asumsi dalam teori interaksi simbolik (West & Turner, 2008 : 98-104) : 1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia a. Manusia bertindak terhadap orang lain berdasarkan makna yang diberikan orang lain terhadap mereka. b. Makna yang diciptakan dalam interaksi antar manusia. c. Makna dimodofikasi melalui proses interpretif. 2. Pentingnya konsep mengenai diri a. Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain. b. Konsep diri memberikan sebuah motif penting untuk berperilaku.

- 42 -

3. Hubungan antara individu dan masyarakat a. Orang dan kelompok- kelompk dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial. b. Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial. Karya tunggal Mead yang amat penting dalam hal ini terdapat dalam bukunya yang berjudul Mind, Self dan Society. Mead megambil tiga konsep kritis yang diperlukan dan saling mempengaruhi satu sama lain untuk menyusun sebuah teori interaksionisme simbolik. Dengan demikian, pikiran manusia (mind), dan interaksi sosial (diri/self) digunakan untuk menginterpretasikan dan memediasi masyarakat (society) (Elvinaro, 2007:136).

2.4.2 Konstruksi SosialMenurut Schutz konstruksi sosial (social construction) adalah melihat individu pelaku proses komunikasi menafsirkan peristiwa dan membagi penafsiran-penafsiran tersebut dengan orang lain, dimana realitas dibangun secara sosial melalui komunikasi (Littlejohn, 2005:308). Fokus studi Sosiologi adalah interaksi antara individu dengan masyarakat, demikian menurut Peter Ludwig Berger. Lebih tepatnya, interaksi dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, menurut Berger, Sosiologi berbeda dengan ilmu alam. Ilmu alam mempelajari gejala alam, sedangkan Sosiologi mempelajari gejala sosial yang sarat oleh makna para aktor yang terlibat dalam gejala sosial itu (Samuel, 1993:19). Sosiologi pengetahuan Berger menekuni makna yang ada dalam masyarakat. Lalu,

- 43 -

makna yang bagaimana yang mesti ditekuni Sosiologi Berger? Tulisan ini mencoba untuk mengelaborasi teori makna Berger. Menurut Berger, kajian sosiologi adalah interaksi antara individu dengan masyarakat. Mempelajari gejala sosial yang sarat oleh makna para aktor yang terlibat dalam gejala sosial tersebut. Sosiologi pengetahuan Peter Ludwig Berger menekuni makna yang ada dalam masyarakat. Buku berjudul Tafsir Sosial atas Kenyataan: Sebuah Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan Berger dan Luckmann merumuskan teori konstruksi sosial atau sosiologi pengetahuannya. Buku yang terdiri dari tiga bab, yaitu: dasar-dasar pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat sebagai realitas objektif, masyarakat sebagai realitas subjektif. Metodologi Berger mengacu pada tiga poin, yakni: 1. Manusia memiliki makna dan berusaha hidup dalam dunia yang bermakna 2. Makna manusia tidak hanya dipahami dirinya sendiri, melainkan oleh orang lain 3. Beberapa kategorisasi makna Sosiolog menekuni dan memahami makna pada level interaksi sosial. Karena itu, Berger menjadikan interaksi sosial sebagai subject matter sosiologi. Interaksi ini melibatkan hubungan individu dengan masyarakat. Individu adalah subjek yang aktif, makhluk hidup yang senantiasa bertindak dalam kehidupan sehari-harinya. Tindakan individu dilandaskan pada makna-makna subyektif yang dimiliki aktor tentang tujuan yang hendak dicapainya, cara atau sarana untuk mencapai tujuan,

- 44 -

dan situasi serta kondisi yang melingkupi pada sebelum dan atau saat tindakan itu dilaksanakan. Interaksi sosial sebagai subject matter adalah interaksi sosial dengan dimensi horisontal & vertikal. Dimensi horisontal adalah interaksi antar individu dengan individu/kelompok/struktur sosial. Dimensi vertikal [sejarah] adalah meminjam data sejarah untuk meningkatkan pemahaman tentang realitas kekinian. Penelitian makna melalui sosiologi pengetahuan, mensyaratkan penekunan pada realitas dan pengetahuan. Dua istilah inilah yang menjadi istilah kunci teori konstruksi sosial Berger. Realitas adalah suatu kualitas yang terdapat dalam fenomena-fenomena yang memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak individu manusia (yang kita tidak dapat meniadakannya dengan angan-angan). Pengetahuan adalah kepastian bahwa fenomen-fenomen itu nyata (real) dan memiliki karakteristikkarakteristik yang spesifik. Kenyataan sosial adalah hasil (eksternalisasi) dari internalisasi dan obyektivasi manusia terhadap pengetahuan dalam kehidupan sehari-sehari. Atau, secara sederhana, eksternalisasi dipengaruhi oleh stock of knowledge (cadangan pengetahuan) yang dimilikinya. Untuk mengungkapkan kehidupan remaja lesbian dalam perihal perilaku komunikasinya dapat dilakukan dengan menggambarkan suatu konstruksi sosial lesbian dan bentuk-bentuk simbolis dengan penekanan pada proses komunikasi.

- 45 -

2.4.3 Pengaruh Kelompok pada Perilaku KomunikasiPenelitian ini membahas mengenai perilaku komunikasi remaja lesbian di Kota Bandung. Maka, dalam perilaku komunikasinya, remaja lesbian di Kota Bandung tentu saja dipengaruhi oleh kelompoknya, dalam hal ini baik komunitas lesbian maupun sosial masyarakat. Perubahan perilaku individu terjadi karena pengaruh sosial(social influence). Social influence occurs whenever our behavior, feelings, or attitudes are altered by what others say or do, begitu definisi Baron dan Byrne. (Rakhmat: 149). Dalam hal ini disebutkan tiga macam pengaruh kelompok, yakni konformitas, fasilitas sosial, dan polarisasi. Menurut Kiesler dan Kiesler (1969), konformitas adalah perubahan atau kepercayaan menuju(norma) kelompok sebagai akibat tekanan kelompok, baik secara realita atau yang dibayangkan. Deutsch dan Gerard (1955) menyebutkan, bahwa ada yang disebut dengan pengaruh sosial normatf, yaitu ketika dimana kita merasa tidak enak dan seakan-akan melanggar ekspektasi kelompok. Kita mengikuti kelompok karena menganggap kelompok sebagai petunjuk untuk memilih alternatif yang tidak jelas. Pengaruh sosial normatif sering sekali terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Cara individu menyatakan penilaian dan perilakunya juga berkaitan dengan konformitas. Umumnya, bila individu harus menyatakan responsnya secara terbuka, ia cenderung melakukan konformitas dari pada jika ia dapat mengungkapkannya secara rahasia. Pengaruh norma kelompok pada konformitas anggota-anggotanya bergantung pada ukuran mayoritas anggota kelompok yang menyatakan penilaian. Samapi tingkat tertentu, makin besar ukuran kelompoknya, makin tinggi tingkat konformitas.

- 46 -

Menurut Allport, kehadiran kelompok dapat meningkatkan prestasi individu. Dalam hal ini kelompok mempengaruhi pekerjaan sehingga terasa lebih mudah. Hal itulah yang disebut sebagai fasilitas sosial. Fasilitas sosial sebetulnya bukan istilah yang tepat karena dalam beberapa hal, kehadiran kelompok malah menghambat pelaksanaan kerja. Penelitian-penelitian telah membuktikan dan menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Kadang-kadang kelompok bersifat fasiitatif, dan sewaktu-waktu bisa menjadi destruktif terhadap pelaksanaan kerja. Sementara polarisasi mengandung beberapa implikasi yang negatif. Pertama, kecenderungan ke arah ekstremisme menyebabkan peserta komunikasi menjadi lebih jauh dari dunia nyata, karena itu, semakin besar kemungkinan mereka untuk berbuat kesalahan. Produktivitas kelompok pun menjadi menurun. Gejala ini disebut Irving Janis sebagai groupthink, yaitu proses pengambilan keputusan yang terjadi pada kelompok yang sangat kohesif dimana anggota-anggota berusaha mempertahankan konsensus kelompok sehingga kemampuan kritisnya menjadi tidak efektif lagi. Kedua, polarisasi akan mendorong ekstremisme dalam kelompok gerakan sosial atau politik. Kelompok seperti ini biasanya menarik anggota-anggota yang memiliki pandangan yang sama. Pandangan yang sama tersebut akan semakin mereka yakini kebenarannya. Keyakinan ini disusul dengan merasa benar sendiri(self righteousness) dan cenderung menyalahkan kelompok lain. Proses yang sama pun terjadi pada kelompok lain yang memandang kelompok lainnya/saingannya.

- 47 -

BAB III METODOLOGI

3.1 Paradigma PenelitianParadigma dapat dipandang sebagai sistem teori, metode dan pendekatan yang mendasar dan atau mempengaruhi cara berpikir, cara pandang dan cara mengerjakan sesuatu. Menurut Kuhn (1970), paradigma menjadi acuan bagi komunitas ilmiah tertentu, yang isinya aturan-aturan, metodologi dan teori yang harus diikuti, instrumeninstrumen yang harus digunakan, masalah-masalah yang menjadi fokus kajian, dan patokan-patokan penilaian terhadap kegiatan-kegiatan penelitian. Metodologi merupakan proses, prinsip dan prosedur yang kita gunakan untuk mendekati problem dan mencari jawaban. Dengan kata lain, metodologi adalah suatu pendekatan umum yang digunakan untuk mengakaji suatu topik penelitian (Mulyana, 2008:145). Suatu paradigma adalah pandangan dunia dalam memandang segala sesuatu, paradigma mempengaruhi pendangan kita mengenai fenomena, yakni teori. Teori digunakan penelitian untuk menjustifikasi dan memandu peneltian mereka (Ticker dalam Mulyana 2008:16). Penelitian pada hakikatnya merupakan suatu upaya untuk menemukan kebenaran atau lebih membenarkan kebenaran. Usaha untuk mengejar kebenaran dilakukan oleh para filsuf, peneliti maupun oleh para praktisi melalui model tertentu. Model tersebut biasanya dikenal dengan paradigma.

- 48 -

Perspektif dalam bidang keilmuan sering juga disebut paradigm (paradigm), kadang-kadang disebut pula mazhab pemikiran (school of thought) atau teori. Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata (Mulyana, 2008:9). Istilah paradigma sendiri dipopulerkan oleh Thomas Kuhn dalam bukunya, The Structure of scientific Revolutions. Paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para penganut dan pengikutnya, hal ini mengakibatkan perkembangan terhadap paradigma (khususnya ilmu sosial) terus terjadi. Dalam bidang keilmuan dikenal dengan dua perspektif utama ilmu alam dan ilmu sosial. Ilmu alam harus menjelaskan ciri-ciri realitas fisik yang diamati dan hubungan di antara berbagai aspek realitas tersebut. Ilmu sosial harus menjelaskan bukan saja ciri-ciri dan tindakan manusia yang diamati tapi juga makna karakteristik dan tindakan tersebut bagi manusia. (Mulyana, 2008:11). Dalam perspektif ilmu sosial ada beberapa perspektif lagi (lazim disebut dengan pendekatan). Dalam memandang manusia terdapat dua pandangan yang berebeda yaitu pendekatan objektif (behavioristik dan struktural) dan subjektif (fenomenologis atau interpretif) (Mulyana, 2008:20). Komunikasi sebagai sebuah ilmu sosial menganggap kehidupan manusia sebagai objek studinya. Karena itu kajian dari komunikasi difokuskan pada pemahaman tentang bagaimana tingkah laku manusia dalam menciptakan, mempertukarkan dan menginterpretasikan pesan-pesan untuk tujuan tertentu. Objek dari ilmu ini adalah manusia, bukan sebagai individu belaka melainkan manusia sebagian dalam masyarakat (Effendy, 2003:79).

- 49 -

Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Kenneth Burke, perbedaan antara sesuatu (benda) dengan manusia adalah bahwa benda sekedar bergerak sedangkan manusia bertindak. Tindakan manusia dipengaruhi oleh keinginan, hasrat, pikiran, niat dan berbagai hal lainnya. Hal inilah yang mengakibatkan studi tentang persepsi menjadi kompleks. Pace dan Faules menekankan bahwa studi mengenai persepsi mendukung sifat yang sangat aktif dan selektif dari proses ini. Pendekatan subjektif mengasumsikan bahwa pengetahuan manusia tidak mempunyai sifat yang objektif melainkan interpretif. Kaum subjektivis cenderung memandang manusia yang mereka amati sebagai aktif, dinamis serta mampu melakukan perubahan lingkungan di sekeliling mereka. Pendekatan kaum subjektif (intepretivist) ini tentu saja ditentang oleh kaum objektif sebaliknya pun demikian. Kaum objektif (objectivist) menganggap hasil penelitian kaum subjektivis tidak lebih daripada karya jurnalistik. Selain itu ada struktur atau keteraturan dalam realitas sosial dan dalam perilaku manusia. Perdebatan di antara ilmuwan sosial ini telah berjalan dalam waktu yang relatif lama. Ilmuwan sosial saling melontarkan kritik terhadap paradigma lawan bahkan beberapa ilmuwan yang keras kepala bersikap inferior dengan menganggap bahwa paradigma yang mereka anutlah yang benar dan yang lainnya salah. Sebagian ilmuwan sosial menolak mempertentangkan kedua paradigm tersebut. George Gerbner, seorang ahli komunikasi, memandang bahwa kaum objektivis dan subjektivis itu sebenarnya

- 50 -

saling membutuhkan untuk memenuhi janji yang tidak dapat dipenuhi oleh suatu pendekatan. Penelitian ini tidak bermaksud untuk menolak pandangan kaum objektivis terhadap perilaku manusia. Penulis memilih pendekatan subjektif karena menyadari bahwa banyak sekali aspek-aspek (kualitas) perilaku manusia yang tidak terlihat, tidak dapat diubah menjadi sekedar angka-angka dan dihitung. Bahwa aspek-aspek tersebut tidak bisa dipahami dengan cara dikuantifikasikan. Penelitian ini berusaha mempelajari kualitas-kualitas kehidupan sosial tersebut dalam koridor tradisi penelitian kualitatif. Pendekatan subjektif mengasumsikan bahwa pengetahuan tidak mempunyai sifat yang objektif dan sifat yang tetap, melainkan bersifat interpretif. Sebagaimana dikatakan Jalbert (1995) realita sosial dianggap sebagai interaksi-interaksi sosial yang bersifat komunikatif. Sesuai yang ditegaskan Pace dan Faules, studi mengenai persepsi mendukung sifat yang sangat aktif dan selektif dari proses ini (Mulyana, 2008:33). Perilaku manusia dianggap sukarela dan aktif mengkonstruksikan

lingkungan mereka (mendefinisikan situasi). Dalam pandangan Pace dan Faules seseorang subjektivis memandang realitas sebagai suatu proses kreatif yang memungkinkan individu menciptakan apa yang ada di luar sana atau menciptakan keteraturan realitas alih-alih menemukan keteraturan tersebut (Mulyana, 2008:33-34). Menurut perspektif subjektif, realitas sosial adalah suatu kondisi yang cair dan mudah berubah melalui interaksi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Fenomena

- 51 -

sosial senantiasa bersifat sementara (arbitrer) dan multimakna (polisemik), dan tetap diasumsikan demikian hingga terjadi negosiasi untuk menetapkan makna realitas tersebut. Realitas dianggap nyata sejauh individu-individu bersepakat (berkonsensus) dan menyatakan bahwa realitas tersebut adalah nyata. Sebagaimana dikatakan Pace dan Faules (1994) sebagai berikut : Pandangan subjektif menekankan pada pencitaan makna. Menurut pandangan subjektif, lingkungan dikelola dengan mengelola makna. Bila lingkungan merupakan suatu penciptaan, maka amatlah bijaksana untuk meneliti proses kreatif itu sendiri alih-alih secara total mempercayai gagasan bahwa telah ada suatu penemuan lingkungan dan lingkungan itu menunggu untuk dikelola (dalam Mulyana, 2008:36). Fenomenologi memandang manusia hidup dalam dunia kehidupan yang dipersepsi dan diinterpretasi secara subjektif. Tiap orang mengalami dunia dengan caranya sendiri. Manusia bukan hanya pelaku dalam panggung masyarakat, bukan saja pencari identitas, tetapi juga pencari makna, manusia justru menjadi manusia ketika mempertanyakan apakah hidupnya bermakna.

Maurice Natason (1963) mengunakan istilah fenomenologi atau sebagai suatu istilah generik untuk merujuk kepada semua pandangan ilmu sosial yang mengungkapkan kesadaran manusia dan makna subjektifnya sebagai fokus untuk memahami tidakan sosial. Menurut Natason fenomenologis atas realitas sosial menganggap dunia intersubjektif sebagai terbentuk dalam aktivitas kesadaran yang salah satunya adalah ilmu alam. Oleh karena itu perspektif interaksi simbolik berada di bawah payung perspektif yang lebih besar yang sering disebut perspektif interpretif (Mulyana, 2008:59). White dan David Klein (2002) membahas mengenai tiga perbedaan filosofis dari ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ontologi berfokus pada sifat dari realita

- 52 -

yang di kaji. Ontologi memberikan cara pandang dunia dan pada apa yang membentuk karakteristik-karakteristik penting. Ontologi disebut sebagai filsafat pertama karena berfilsafat hingga sifat dari realitas (West dan Turner, 2008:55). Epistemologis berfokus pada bagaimana mencari tahu dan apa yang dapat dianggap sebagai pengetahuan. Epistemologi subjektivis menolak penekanan bahwa kebenaran ada di luar orang yang mencari kebenaran. Para subjektivis percaya bahwa dunia sosial bersifat relatif dan hanya dapat dipahami melalui sudut pandang individuindividu yang secara langsung terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang diteliti (West dan Turner, 2008:56). Posisi keilmuan pada aksiologis adalah bahwa ilmu pengetahuan harus bebas dari nilai. Banyak peneliti menerima unsur subjektivitas dalam bentuk nilai, mempengaruhi penelitaian (Bostrom, 2003 dalam West dan Turner, 2008:57). White dan Klein memberikan label pada tiga cara filosofis tersebut sebagai positivistik, interpretif, dan kritis. Dalam penelitian yang dilakuakan penulis menggunakan perspektif interpretif yang merupakan payung dari interaksi simbolik. Perspektif interpretif tumbuh berdasarkan ketidakpuasan dengan teori post-positivis. Perspektif interpretif mencari sebuah pemahaman bagaimana membentuk dunia pemaknaan melalui interaksi dan bagaimana kita berperilaku terhadap dunia yang telah dibentuk tersebut (Ardianto dan Q-Anees, 2007:124). Perspektif interpretif melihat kebenaran sebagai sesuatu yang subjektif dan diciptakan oleh partisipan.

- 53 -

Berdasarkan ketiga dimensi filosofis tersebut, maka (Ardianto & Q-Anees, 2007: 138-140) mengatakan bahwa paradigma Interpretif ini mempunyai ciri khusus sebagai hasil penjabaran ketiga point diatas yaitu: a) Menurut dimensi epistimologis, Interpretif memandang peneliti hanya sebagai fasilitator dengan objek yang diteliti. Nilai, etika dan pilihan moral merupakan bagian tidak terpisahkan dari penelitian ini. Peneliti bertindak sebagai passionate participant, yaitu seorang fasilitator yang menjembatani keragaman subjektivitas pelaku sosial. Teoretisi Interpretif mengajukan epistemologi yang subjektif. Tujuan penelitian adalah untuk memahami (understanding) tindakan sosial. b) Menurut dimensi ontologis, paradigma Interpretif memandang realitas sebagai sesuatu hal yang relatif. Kebenaran suatu realitas bersifat relatif, berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. Konsisten dengan ontologi atau kontruksionis sosial, epistemologi subjektif menyatakan bahwa tidak ada hukum universal atau hubungan kausal yang bisa dijadikan kesimpulan mengenai dunia sosial. Alih-alih para interpretivis berusaha keras untuk mendapatkan pemahaman lokal dari kelompok sosial yang khusus dan kejadian yang khusus pula. Karena realitas itu diciptakan secara sosial maka para interpretivis ini percaya bahwa pemahaman hanya bisa dicapai dari pandangan pelaku realitas tersebut. Temuan yang dihasilkan penelitian adalah sesuatu yang timbul dari interaksi antara peneliti dan komunitas. Ini membutuhkan dimana peneliti menceburkan dirinya ke dalam setting sosial, menggabungkan interview dan observasi dengan pengalaman pribadinya dilapangan. Teori diciptakan secara induktif melalui interaksi antara peneliti dan kolektif (kelompok) sosial. c) Menurut dimensi Aksiologis, Interpretif memandang bahwa peneliti dalam penelitian ini memiliki posisi tersendiri dalam memberikan nilai, etika dan pilihan moralnya terhadap penelitian yang diambil. Peneliti berusaha mendapatkan pemahaman lokal dari kelompok social yang khusus dan kejadian yang khusus pula. Peneliti menceburkan dirinya ke dalam setting sosial, menggabungkan interview dan observasi dengan pengalaman pribadinya dilapangan

Di dalam paradigma interpretif di kembangkan menjadi dua paradigma yaitu interpretif umum dan grounded theories. Interpretif umum mencoba untuk

- 54 -

menciptakan pemahaman mengenai proses dimana komunikasi berfungsi dalam interaksi intersubjektif. Paradigma ini mengemukakan bahwa proses konstruksi sosial dan interaksi bisa dibicarakan melewati batas-batas situasional. Grounded theories digunakan untuk membantu peneliti memahami situasi dan konteks-konteks khusus (Ardianto & Q-Anees, 2007:141). Pada penelitian ini penulis berusaha untuk menciptakan pemahaman mengenai proses dimana komunikasi berlangsung berfungsi dalam interaksi intersubjektif sehingga proses konstruksi sosial dan interaksi dapat dibahas melewati batas situasional. Dengan demikian pada penelitian ini penulis menggunakan paradigma interpretif umum atau general interpretive. Penelitian ini beranjak dari pendekatan kaum subjektif terhadap manusia sebagai objek dari studi komunikasi yang akan dibahas. Tanpa bermaksud mengesampingkan pandangan kaum objektivis, peneliti memandang bahwa banyak sekali aspek-aspek (kualitas) perilaku manusia yang tidak terlihat, tidak dapat diubah menjadi sekedar angka-angka dan dihitung. Bahwa aspek-aspek tersebut tidak bisa dipahami dengan cara dikuantifikasikan. Oleh karena itu pandangan subjektif mengarahkan peneliti untuk mempelajari konstruksi realitas sosial melalui metode penelitian kualitatif. Penelitian yang berjudul Perilaku Komunikasi Remaja Lesbian di Kota Bandung ini menggunakan Paradigma Interpretif, karena lebih mengutamakan pemahaman dan pengetahuan partisipan terhadap perkembangan dan perilaku remaja lesbian di Bandung, kemudian dari hasil pengumpulan data yang diperoleh dari

- 55 -

partisipan, penulis dapat menyimpulkan Perilaku Komunikasi Remaja Lesbian di Kota Bandung yang terbentuk dari komponen konsep diri, perilaku komunikasi dalam komunitas, dan perilaku komunikasi di lingkungan sosial masyarakat. Dalam penelitian ini penulis mengedepankan paradigma interpretif untuk menjawab rumusan (fokus penelitian) dan pertanyaan penelitian(sub fokus penelitian) pada penelitian ini.

3.2 Metode PenelitianUntuk mengungkapkan perilaku komunikasi remaja lesbian di Kota Bandung, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan interaksi simbolik. Metodologi adalah proses, pinsip, dan prosedur yang digunakan untuk mendekati masalah dan mencari jawaban. Dengan kata lain metodologi adalah suatu pendekatan umum untuk mengkaji topik penelitian (Mulyana, 2008:145). Pada penelitian ini peneliti menggunakan metode kualitatif dengan tradisi interaksi simbolik. Pada penelitian kualitatif, fokus penelitian yang diharapkan berkembang sesuai dengan kenyataan di lapangan. Maksudnya yakni bergerak dari fakta atau informasi menuju abstraksi yang lebih tinggi. Objek dalam penelitian kualitatif adalah objek yang alamiah, atau natural setting, sehingga penelitian ini sering disebut sebagai metode naturalistik. Objek yang alamiah merupakan objek yang tidak dimanipulasi oleh peneliti sehingga kondisi pada saat peneliti memasuki objek, setelah berada di objek dan setelah keluar dari objek relatif tidak berubah.

- 56 -

Metode kualitatif tidak tergantung pada analisis statistik untuk mendukung sebuah interpretasi tetapi lebih mengarahkan peneliti untuk pertanyaan retoris atau argument yang masuk akal mengenai temuannya. Metode penelitian kualitatif lebih tepat untuk penelitian yang memilki pandangan positivistik atau empiris dan juga lebih tepat untuk peneliti interpretif atau kritis (Lindlof & Taylor dalam West dan Turner, 2008:77). Metode penelitian kualitatif sering disebut sebagai metode penelitian yang digunakan meneliti pada kondisi objek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisa data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi. Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data tidak dipandu oleh teori, tetapi dipandu oleh fakta-fakta yang ditemukan pada saat penelitian di lapangan. Oleh karena itu analisa data yang dilakukan bersifat induktif berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan dan kemudian dapat dikonstruksikan menjadi hipotesis atau teori. Analisis data dilakukan sejak peneliti menyusun proposal, melaksanakan pengumpulan data, sampai peneliti mendapatkan seluruh data. Metode kualitatif untuk mendapatkan data yang mendalam, suatu data yang mengandung makna. Makna adalah data yang sebenarnya, data yang pasti yang merupakan suatu nilai di balik data yang tampak. Peneliti kualitatif dituntut dapat menggali data berdasarkan apa yang

diucapkan, dirasakan, dan dilakukan oleh partisipan atau sumber data. Peneliti sendiri merupakan alat pengumpul data utama. Dalam menganalisis data yang diperoleh

- 57 -

menggunakan analisis data yang bersifat induktif. Hal ini karena proses induktif lebih dapat menemukan kenyataan-kenyataan jamak yang terdapat dalam data, membuat hubungan peneliti dan responden menjadi lebih eksplisit dan akuntabel, serta mampu menguraikan latar secara penuh dan dapat membuat keputusan-keputusan tentang dapat dan tidaknya pengalihan pada suatu latar lainnya. Penelitian kulitatif diharapkan berkembang sesuai dengan kenyataan di lapangan. Selain itu penelitian kualitatif mementingkan perspektif emik, dan bergerak dari fakta, informasi atau peristiwa menuju ke tingkat abstraksi yang lebih tinggi (apakah itu konsep atau teori) serta bukan sebaliknya dari teori atau konsep ke data/informasi. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang memanfaatkan wawancara terbuka untuk menelaah dan memahami sikap, pandangan, perasaan dan perilaku individu atau sekelompok orang. Penelitian yang menggunakan pendekatan naturalistik untuk mencari dan menemukan pengertian dan pemahaman mengenai suatu fenomena dalam latar yang berkonteks khusus. Berikut ini sifat-sifat dasar penelitian kualitatif yang membedakannya dengan penelitian kuantitatif (Kuswarno, 2009: 36-37): 1. Menggali nilai-nilai dalam pengalaman dan kehidupan manusia. 2. Fokus penelitian adalah pada keseluruhannya, bukan pada per bagian yang membentuk keseluruhan itu.

- 58 -

3. Tujuan penelitian adalah menemukan makna dan hakikat dari pengalaman, bukan sekedar mencari penjelasana atau mencari ukuran-ukuran dari realitas. 4. Memperoleh gambaran kehidupan dari sudut pandang orang pertama, melalui wawancara formal dan informal. 5. Data yang diperoleh adalah dasar bagi pengetahuan ilmiah untuk memahami perilaku manusia. 6. Pertanyaan yang dibuat merefleksikan kepentingan, keterlibatan, dan komitmen pribadi dari peneliti. 7. Melihat pengalaman dan perilaku sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, baik itu kesatuan antara subjek dan objek, maupun antara bagian dan keseluruhannya.

3.3 Subjek dan Objek Penelitian 3.3.1 Subjek PenelitianSubyek penelitian adalah sesuatu, baik orang, benda, ataupun lembaga (organisasi), yang sifat keadaannya (atributnya) akan diteliti dengan kata lain subyek penelitian adalah sesuatu yang didalam dirinya melekat atau terkandung objek penelitian. (Tatang M, 2009) Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah beberapa orang remaja lesbian yang berdomisili dan masih menjadi siswi SMA di sekitar Kota Bandung. Subjek dipilih secara purposif berdasarkan aktivitas mereka dan kesediaan mereka untuk mengeksplorasi dan mengartikulasikan pengalaman mereka secara sadar. Subjek

- 59 -

penelitian tersebut dijadikan informan utama atau sumber data utama atau Creswell menyebutnya partisipan (Creswell, 1998 : 115). Penelitian ini menggunakan partisipan yang dipilih secara purposive sampling, yaitu penulis menentukan kriteria-kriteria tertentu untuk dijadikan acuan sebagai kategori pemilihan partisipan. Dalam hal ini kriteria tersebut secara umum meliputi usia(remaja) dan lamanya rentang waktu sejak partisipan menyadari dirinya seorang lesbian hingga kondisi terakhir. Adapun narasumber(subjek penelitian) yang terlibat menjadi partisipan dalam penelitian ini adalah: 1. Narasumber I Nama Tempat Tanggal Lahir Jenis Kelamin No. Kontak Motto : : : : : Mawar Bandung, 25 Desember 1994 Perempuan 081295102341 Be your self

2. Narasumber II Nama Tempat Tanggal Lahir Jenis Kelamin No. Kontak Motto : : : : : Melati Bandung, 12 Agustus 1995 Perempuan 081222654333 Selalu ceria jalani hidup

- 60 -

3. Narasumber III Nama Tempat Tanggal Lahir Jenis Kelamin No. Kontak Motto : : : : : Lilly Bali, 20 Mei 1996 Perempuan 08986034567 Biarkan hidup mengalir seperti apa adanya

4. Narasumber IV Nama Tempat Tanggal Lahir Jenis Kelamin No. Kontak Motto : : : : : Bunga Jakarta, 11 Januari 1996 Perempuan 08157320604 Nikmatilah hidup selagi bisa

3.3.2 Objek PenelitianObjek penelitian ini adalah mengenai perilaku komunikasi yang ditampilkan oleh remaja lesbian di kalangan komunitasnya serta di lingkungan sosial masyarakat sekitarnya. Hal itu tentu saja dipengaruhi oleh konsep diri yang melekat dalam diri subjek penelitian yang terbentuk dalam setiap interaksi simbolik yang dilakukannya. Dengan begitu, maka diharapkan akan memberikan gambaran umum mengenai perilaku komunikasi remaja lesbian di Kota Bandung.

- 61 -

3.4 Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data 3.4.1 Sumber DataSumber data dalam penelitian ini terbagi dalam dua kategori, dimana kategori pertama adalah hasil w