BAB I Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS) Sebagai Alternatif Kebijakan Pembangunan di Indonesia 1. Latar Belakang Studi ini mengkaji pengembangan kewenangan pemerintah dalam penyediaan air bersih melalui kerjasama pemerintah-swasta. Dalam tradisi pembuatan kebijakan yang mainstream terdapat adanya pembedaan peran aktor, yakni peran aktor publik (pemerintah) dengan aktor private (masyarakat dan bisnis) melalui logika division of labor. 1 Pembedaan peran aktor tersebut lebih menitikberatkan kepada fokus tugas yang dihasilkan. Artinya, tugas dari pemerintah adalah menyediakan barang publik, sedangkan tugas dari sektor swasta lebih kepada menyediakan barang privat. Dalam pemisahan konsentrasi peran aktor tersebut, diharapkan tercipta kerja yang optimal dan efisien karena masing-masing aktor fokus terhadap perannya. Hal tersebut dikarenakan terdapat kelebihan yang menganggap pemerintah sebagai aktor yang dapat menyediakan anggaran yang besar dalam penyediaan infrastruktur dan barang publik, terlebih jika melihat pada fungsi pemerintah sebagai provider. Dengan demikian, pemerintah fokus terhadap jenis pekerjaan yang menghasilkan barang publik, sedangkan sektor swasta berfokus pada jenis pekerjaan yang menghasilkan barang privat. Pembedaan peran aktor tersebut dalam fokus tugas yang dihasilkan sering disebut dengan logic of complementary. 2 Pada perkembangannya, pola pemisahan peran masing-masing aktor memiliki konsekuensinya. Hal itu dikarenakan peran aktor, terutama pemerintah, tidak dapat diharapkan dalam memenuhi fokus tugas yang dihasilkan dari masing-masing aktor tersebut. 1 Nanang Pamuji Mugasejati, Bab 5 Basis Kerjasama dalam Modul Mengelola Dinamika Politik dan Sumberdaya Daerah (Yogyakarta: S2 PLOD UGM, 2004). Hal. 95 2 Ibid.
23
Embed
BAB I Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS) Sebagai Alternatif ...etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/99060/potongan/S2-2016...barang publik, sedangkan sektor swasta berfokus pada jenis
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS)
Sebagai Alternatif Kebijakan Pembangunan di Indonesia
1. Latar Belakang
Studi ini mengkaji pengembangan kewenangan pemerintah dalam penyediaan air
bersih melalui kerjasama pemerintah-swasta. Dalam tradisi pembuatan kebijakan yang
mainstream terdapat adanya pembedaan peran aktor, yakni peran aktor publik (pemerintah)
dengan aktor private (masyarakat dan bisnis) melalui logika division of labor.1 Pembedaan
peran aktor tersebut lebih menitikberatkan kepada fokus tugas yang dihasilkan. Artinya, tugas
dari pemerintah adalah menyediakan barang publik, sedangkan tugas dari sektor swasta lebih
kepada menyediakan barang privat. Dalam pemisahan konsentrasi peran aktor tersebut,
diharapkan tercipta kerja yang optimal dan efisien karena masing-masing aktor fokus
terhadap perannya. Hal tersebut dikarenakan terdapat kelebihan yang menganggap
pemerintah sebagai aktor yang dapat menyediakan anggaran yang besar dalam penyediaan
infrastruktur dan barang publik, terlebih jika melihat pada fungsi pemerintah sebagai
provider. Dengan demikian, pemerintah fokus terhadap jenis pekerjaan yang menghasilkan
barang publik, sedangkan sektor swasta berfokus pada jenis pekerjaan yang menghasilkan
barang privat. Pembedaan peran aktor tersebut dalam fokus tugas yang dihasilkan sering
disebut dengan logic of complementary.2
Pada perkembangannya, pola pemisahan peran masing-masing aktor memiliki
konsekuensinya. Hal itu dikarenakan peran aktor, terutama pemerintah, tidak dapat
diharapkan dalam memenuhi fokus tugas yang dihasilkan dari masing-masing aktor tersebut.
1 Nanang Pamuji Mugasejati, Bab 5 Basis Kerjasama dalam Modul Mengelola Dinamika Politik dan Sumberdaya
Daerah (Yogyakarta: S2 PLOD UGM, 2004). Hal. 95 2 Ibid.
Sebagaimana yang terjadi pada pelaksanaan penguasaan negara atas sumber daya air demi
kesejahteraan masyarakat tentu memiliki hambatan dan konsekuensi dalam pelaksanaannya.
Pada audit BPKP tahun 2013 terhadap laporan BPPSPAM tahun 2012 menunjukkan hampir
dari 50% PDAM yang ada kurang sehat, meskipun pemerintah memiliki program untuk
mewujudkan 100 persen akses air minum di seluruh wilayah Indonesia pada akhir tahun
2019. Hal tersebut menunjukkan ketidaksiapan PDAM, sebagai penyelenggara teknis dari
pemerintah, dalam penyediaan air bersih.
Lebih lanjut, muncul juga hambatan yang dihadapi oleh PDAM di daerah. Pertama,
tidak ada dukungan dari kepala daerah sehingga tarif yang diterapkan tidak full cost recovery.
Artinya, tarif yang diterapkan dibawah biaya produksi. Kedua, sumber pendanaan bagi
PDAM tidak mencukupi. Hal tersebut dikarenakan internal generating PDAM kurang. Oleh
karena itu, tinggal bagaimana PDAM memanfaatkan sumber pendanaan lainnya seperti
APBD, APBN, swasta, serta perbankan. Ketiga, tantangan laju urbanisasi yang cukup cepat.
Ketiga hal tersebut yang selama ini menyebabkan kapasitas pelayanan PDAM lambat,
diskriminasi pelayanan, dan laju pertambahan pelanggan lambat. Tentunya tanggungjawab
besar dan ketidaksiapan dalam penyediaan air bersih yang menjadi kebutuhan masyarakat
dapat membawa konsekuensi membesarnya anggaran pengeluaran yang kemudian
mengakibatkan defisitnya anggaran pemerintah. Dengan demikian, perlu adanya transformasi
agar kapasitas dan laju kebutuhan pelanggan dapat teratasi.
Terdapat asumsi bahwa setiap pekerjaan bisa dikategorikan secara murni sebagai
pekerjaan publik dan pekerjaan private, namun ada juga beberapa jenis pekerjaan yang
merupakan campuran antara public goods dan private goods.3 Jenis pekerjaan yang
merupakan campuran antara public goods dan private goods dapat membuka ruang kerjasama
bagi antar aktor yang kemudian berupaya menciptakan sinergi dalam penyediaan jenis
3 Ibid. Hal. 96
pekerjaan tersebut. Adanya sinergi atau kerjasama dalam fokus tugas yang dihasilkan sering
disebut dengan logic of embededness.4 Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan
keterlibatan bersama antara sektor swasta dan pemerintah dalam jenis pekerjaan campuran
tersebut. Selanjutnya, sebagaimana yang telah dijelaskan, dalam penyediaan air bersih
tersebut tidak dapat diharapkan bahwa penyediaan air bersih dapat dilakukan dengan
sempurna oleh pemerintah. Dengan demikian, diperlukan kerjasama dan sinergi antara
pemerintah dan swasta dalam penyediaan air bersih.
Kerjasama antara pemerintah dan swasta dalam penyediaan air bersih dapat dilakukan
melalui 2 skema, yakni Business to Business (B to B) dan juga Kerjasama Pemerintah-Swasta
(KPS). Kedua cara tersebut merupakan bagian transformasi yang juga diterapkan dalam
penyediaan pelayanan air bersih dengan melibatkan peran pihak swasta. Skema B to B
merupakan skema dimana PDAM langsung bekerjasama dengan pihak swasta, pemerintah
hanya sebagai fasilitator, sebagaimana PP 15 tahun 2005. Pada skema kerjasama pemerintah-
swasta, pemerintah daerah yang bekerjasama dengan pihak swasta. Meskipun kedua skema
tersebut berbeda, pihak swasta yang diajak kerjasama dalam kedua skema tersebut haruslah
membentuk badan khusus untuk pengelolaan spam. Pihak swasta bisa berasal dari luar negeri
maupun dalam negeri, hanya saja jika pihak swasta tersebut berasal dari luar negeri haruslah
menggandeng pihak swasta dalam negeri dan kepemilikannya maksimal hanya 95 persen
dalam badan khusus yang dibentuk untuk pengelolaan spam.
Terdapat tiga manfaat penting dalam pelaksanaan kerjasama pemerintah-swasta dalam
perekonomian.5 Pertama, memperbesar mobilisasi kapital privat dalam mendukung
pelaksanaan kerjasama mendorong deregulasi pengelolaan ekonomi yang semakin luas.
4 Ibid.
5 Asian Development Bank (2008) dalam Agus Eko Nugroho, Bab 2 Kerja Sama Pemerintah dan Swasta dalam
Mendukung Pembangunan Infrastruktur di Indonesia dalam Analisis Model Kebijakan Kerja Sama Pemerintah-Swasta dalam Pembangunan Infrastruktur (Jakarta: Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, 2014). Hal. 18-20
Artinya, skema kerjasama dapat memberikan kontribusi kepada peningkatan sumber
pembiayaan, inovasi yang diciptakan oleh sektor swasta, serta peningkatan kualitas
pembangunan proyek dan juga pemeliharaan oleh swasta.
Dalam penelitian ini, menunjukkan skema kerjasama yang terjadi adalah skema
kerjasama pemerintah-swasta. Kerjasama tersebut terdapat pada penyediaan suplai air bersih.
Skema kerjasama yang dilakukan menggunakan skema Build-Own-Transfer (BOT) selama
27 tahun. Menariknya, ada pembagian pelanggan dan sumber mata air yang digunakan antara
PT. STU dengan PDAM Kabupaten Semarang. Pelanggan PT. STU merupakan pelanggan
non-domestik yang menggunakan sumber air yang terdapat di Sungai Tuntang, sedangkan
pelanggan domestik tetap menjadi kewenangan dari PDAM Kabupaten Semarang yang
menggunakan sumber mata air Ngembat.
Kerjasama pemerintah-swasta yang terjadi di Kabupaten Semarang masih tetap
berlangsung. Hal yang membuat tetap berlangsungnya kerjasama tersebut adalah adanya
pembagian pelanggan dan sumber mata air. Selain itu, juga terdapat adanya jaminan
keuntungan dan jaminan pembagian wewenang dari masing-masing aktor. Artinya, masing-
masing sektor dapat fokus melaksanakan tugasnya masing-masing, sebagaimana PDAM tetap
memberikan pelayanan dan juga sektor swasta dapat tetap fokus terhadap profitabilitas.
Adanya pembagian keuntungan dan wewenang yang diakibatkan dari adanya
pembagian pelanggan dan sumber mata air dan menjadi kunci keberhasilan dalam pola
kerjasama pemerintah-swasta tersebut, membuat pola kerjasama ini dapat dikatakan
mempunyai kelebihan dibandingkan dengan pola kerjasama pemerintah-swasta yang telah
ada sebelumnya. Pertama, jika dibandingkan dengan kerjasama yang dilakukan oleh PDAM
Kota Makasar dan pihak swasta. Dalam kerjasama yang dilakukan oleh PDAM Kota Makasar
dengan pihak swasta tersebut tidak terdapat adanya pembagian pelanggan dan juga
pembagian kewenangan. Hal tersebut kemudian menjadikan terbatasnya aksestabilitas
masyarakat terhadap sumber daya air. Idris beranggapan bahwa telah terjadi komodifikasi air
minum yang diakibatkan proses investasi dari pihak swasta tersebut.6 Masuknya peran swasta
kemudian mengurangi campur tangan pemerintah dalam mekanisme kerja PDAM. Kedua, hal
tersebut yang juga terjadi pada klausul pola kerjasama antara Pamjaya dengan PT. Thames
Pam Jaya dan PT. Pam Lyonnaise Jaya. Dalam kerjasama tersebut, pay off yang diberikan
begitu banyak kepada mitra asing, antara lain di dalam menggantikan peran pamjaya sebagai
operator tunggal sektor air di wilayah DKI Jakarta dan juga mengeksploitasi seluruh aset
pamjaya tanpa memberikan kompensasi.7 Ketiga, jika dibandingkan dengan kerjasama yang
dilakukan pada Terminal Giwangan. Dalam kerjasama Pemerintah dan PT. Perwita Karya
Pembangun tersebut, perhitungan yang dilakukan sesuai dengan pendapatan rupiah yang
diterima oleh kedua belah pihak, bukan dilakukan dengan secara prosentase. Hal tersebut
menjadikan proyek tersebut tidak layak dikerjasamakan karena jika melihat perimbangan
resiko antara pihak swasta dan pemerintah.8
Meskipun demikian, pola kerjasama pemerintah-swasta dalam penyediaan air bersih
di Kabupaten Semarang tersebut bukannya tanpa mengalami beberapa kendala. Sebagaimana
proses kerjasama pemerintah dengan swasta yang terjadi di daerah lain, kerjasama
pemerintah-swasta di Kabupaten Semarang juga merupakan produk dari kompromi antar
pihak yang bertujuan untuk bagaimana memenangkan permainan dalam pembuatan aturan
kerjasama tersebut. Hal tersebut yang kemudian dapat menimbulkan pertentangan dan juga
konsensus dalam aturan kerjasama yang dibuat. Tentunya, hal ini terkait dengan penguasaan
dan pengelolaan sumberdaya air.
6 Syaharuddin Idris, Tesis, Kasus Privatisasi Pengelolaan Air Minum di PDAM Kota Makasar; dari Investasi ke
komodifikasi (Yogyakarta : UGM, 2013). Hal. xiii 7 Isnan Rahmanto, Tesis, Ekonomi Politik Kebijakan Publik Sektor Air Minum : Studi Kasus Privatisasi Pamjaya
(Yogyakarta : UGM, 2009). Hal. 269 8 Irvan Amirullah, Tesis, Penyediaan Infrastruktur Perkotaan Melalui Kerjasama Pemerintah dan Swasta pada
Terminal Tipe A Giwangan Yogyakarta (Yogyakarta : UGM, 2009). Hal. 135
Pihak pemerintah daerah Kabupaten Semarang yang menjadi penguasa atas
sumberdaya air di Kabupaten Semarang dihadapkan pada permasalahan kebutuhan air untuk
industri yang belum bisa dilayani oleh jaringan PDAM, sehingga kebutuhan air untuk industri
tersebut dipenuhi oleh air bawah tanah yang diusahakan oleh masing-masing industri. Selain
permasalahan kondisi kebutuhan Industri akan air bersih dan juga permasalahan yang
dikhawatirkan akibat dari pengambilan air bawah tanah, kegagalan proyek P3KT terkait
dengan pengembangan air bersih, sebagaimana dalam Keputusan Bupati Kepala Daerah
Tingkat II Semarang No.050/01451/1996 tanggal 25 Maret 1996 tentang pemberian
pekerjaan, juga menjadi kendala bagi penyediaan dan pengembangan air bersih.
Permasalahan macetnya proyek P3KT menjadikan tanggungan pengembalian pinjaman dari
proyek tersebut cukup berat. Oleh karena itu, pemerintah daerah Kabupaten Semarang
berupaya mengatasi permasalahan tersebut dengan cara mengadakan kerjasama dengan PT.
Sarana Tirta Ungaran. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh kepentingan dari pemerintah
daerah Kabupaten Semarang berupa terpenuhinya suplai air bersih terhadap industri dan juga
permasalahan tanggungan dari pengembalian pinjaman dari proyek P3KT, dengan
memaksimalkan sumberdaya air yang dimiliki oleh pemerintah daerah Kabupaten Semarang.
Di sisi lain, PT. Sarana Tirta Ungaran yang memiliki sumberdaya berupa modal yang
besar berupaya untuk mendapatkan keuntungan dalam proses kerjasama tersebut. Hal
tersebut dikarenakan PT. Sarana Tirta Ungaran bersifat profit oriented. Namun demikian,
kerjasama yang dilakukan oleh PT. Sarana Tirta Ungaran di Kabupaten Semarang merupakan
kerjasama dalam penyediaan air bersih yang baru pertama kali dilakukan oleh PT. Sarana
Tirta Ungaran. Dalam kerjasama tersebut, PT. Sarana Tirta Ungaran merupakan perusahaan
yang sengaja dibentuk oleh perusahaan PT. Apac Inti Corpora, selaku perusahaan paling
besar pada saat itu di Kabupaten Semarang, yang bertujuan untuk membantu pemerintah
daerah Kabupaten Semarang dalam penyediaan air bersih.9 Oleh karena itu, masih terdapat
kendala terkait dengan perjanjian kerjasama yang telah disepakati. Kendala tersebut terkait
dengan masih diperbolehkannya industri menggunakan air bawah tanah melalui sumur
artetis, sebagaiamana di dalam aturan kerjasama tersebut tidak adanya aturan yang melarang
indutri untuk menggunakan air bawah tanah. Oleh karenanya, masih terdapat industri yang
belum menjadi pelanggan dari PT. Sarana Tirta Ungaran dan juga dalam kuota yang
diberikan kepada PT. Sarana Tirta Ungaran dalam kerjasama tersebut tidak habis.10
Hal
tersebut dapat menjadi penghambat bagi keberhasilan kerjasama pemerintah-swasta yang
terjadi di Kabupaten Semarang. Namun, aturan pelarangan pengambilan air bawah tanah oleh
industri tidak dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Semarang.
Lebih lanjut, proses masih diperbolehkannya penggunaan air bawah tanah melalui
sumur artetis oleh industri dimana merupakan bagian dari kewenangan pemerintah daerah
merupakan fenomena yang menarik untuk diketahui. Tentunya, hal ini tidak dapat dilepaskan
dari bagaimana kewenangan pemerintah daerah dalam kerjasama ini. Selain itu, proses
bagaimana pembagian keuntungan yang didapatkan oleh masing pihak-pihak yang kemudian
menjadi insentif dalam kerjasama ini juga menjadi fenomena yang menarik untuk diketahui.
Hal tersebut dimaksudkan untuk mengetahui kepentingan (interest goal) yang
memungkinkan dapat didapatkan PT. Sarana Tirta Ungaran dan juga pemerintah daerah
Kabupaten Semarang dari keterlibatannya dalam kerjasama tersebut.
9 Hasil diskusi dengan Asisten Manager Administrasi Pers, Umum dan Purchase PT. Sarana Tirta Ungaran,
November 2014. 10 Hasil diskusi dengan Direktur Utama PT. Sarana Tirta Ungaran, November 2015.
2. Rumusan Masalah
Berangkat dari permasalahan yang telah dipaparkan dalam latar belakang, peneliti
membangun dua pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana pembagian peran / wewenang dan juga pembagian keuntungan yang
didapat dari masing-masing pihak dalam kerjasama tersebut ?
2. Bagaimana implikasi kerjasama pemerintah-swasta terhadap penyediaan air bersih
di Kabupaten Semarang ?
3. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui dinamika penyelengaraan penyediaan air bersih di Indonesia.
2. Mengetahui kewenangan Pemerintah Kabupaten Semarang dalam kerjasama
pemerintah-swasta.
3. Mengetahui implikasi kerjasama pemerintah-swasta terhadap penyediaan air bersih di
Kabupaten Semarang.
4. Menyusun rekomendasi tentang kebijakan kerjasama pemerintah-swasta.
4. Manfaat Penelitian
1. Secara aplikatif, dapat menjadi wacana bagi pembuat kebijakan di masing-masing
pemerintah daerah dalam menentukan kebijakan pembangunan terkait dengan
pelayanan publik.
2. Secara khusus, hasil studi ini diharapkan dapat menjadi bahan untuk mendesain ulang
kebijakan kerjasama pemerintah-swasta yang telah pernah dilakukan dan juga memicu
munculnya kerjasama tersebut di daerah-daerah lain.
5. Kerangka Pikir
Pola kemitraan merupakan pola kerjasama antara pemerintah dengan swasta dalam
memberikan berbagai pelayanan terhadap masyarakat. Artinya, hal tesebut kemudian
merubah pola pikir pemerintah dengan cara berbagi peran dengan swasta dalam penyediaan
layanan publik. Pola kerjasama yang berjalan didasarkan pada pendefinisian ulang terhadap
lingkup intervensi pemerintah. Pola kerjasama tersebut berupaya menciptakan sinergi dalam
fokus tugas yang dihasilkan, dimana pada awalnya peran pemerintah tidak dapat diharapkan
untuk dapat memenuhi fokus tugas yang dihasilkan. Dengan demikian, pelayanan terhadap
masyarakat yang dihasilkan dari pola kerjasama tersebut kemudian diharapkan dapat
memainkan peranan penting dalam upaya peningkatan daya saing dan pembangunan
nasional.
Selain terbentuk dari pergeseran cara pandang dalam pembedaan peran aktor pada
tradisi pembuatan kebijakan penyedia layanan publik, kerjasama pemerintah swasta terbentuk
dikarenakan kondisi-kondisi yang terdapat di daerah tersebut dimana kerjasama tersebut
terbentuk. Artinya, kondisi tersebut membuat pemerintah tidak hanya melakukan apa yang
mereka suka, melainkan melakukan sesuatu yang seharusnya pemerintah memang lakukan
sehingga tercipta kerjasama tersebut. Hal tersebut kemudian yang dapat menjadikan
terbentuknya kelembagaan dalam kerjasama tersebut.
Selanjutnya, terbentuknya kelembagaan dalam kerjasama tersebut juga melahirkan
adanya pembagian peran atau wewenang dan juga pembagian keuntungan yang didapat dari
masing-masing pihak. Pembagian peran atau wewenang tersebut tentunya digunakan sebagai
aturan permainan dalam kerjasama. Artinya, aturan tersebut menjadi rambu yang tidak boleh
dilanggar sehingga kerjasama tersebut dapat berjalan efektif dan juga aturan tersebut pada
gilirannya dapat mengurangi unsur ketidakpastian dalam keberlangsungan kerjasama.
Dengan demikian, pembagian peran atau wewenang yang ada ditujukan kepada pemerintah
dan juga pihak swasta agar dapat mengoordinasi aktivitas ekonomi yang ada dalam kerjasama
tersebut.
Pada perkembangannya, kerjasama pemerintah-swasta dalam penyediaan air bersih di
Kabupaten Semarang mengalami kendala. Hal tersebut tentunya membutuhkan peran
pemerintah daerah. Oleh karena, pemerintah merupakan institusi yang dapat menentukan
perilaku masyarakat. Artinya, pemerintah daerah dapat memiliki kewenangan dalam
peraturan yang bersifat memaksa. Tentunya, tanpa kehadiran pemerintah daerah, maka salah
satu dampaknya adalah permasalahan supply dan demand dari kerjasama penyediaan air
bersih tersebut.
Selanjutnya, jika rumusan pemikiran tersebut disimpulkan maka terdapat 3 ide
pemikiran. Ide pemikiran tersebut adalah kelembagaan, aturan, dan juga perkembangan.
Berikut adalah rumusan pemikiran terhadap skema penyediaan air bersih dalam kerjasama
pemerintah-swasta di Kabupaten Semarang :
Gambar 1.
Kerangka pemikiran skema penyediaan air bersih dalam kerjasama pemerintah-swasta di
Kabupaten Semarang
- Tanah - Bangunan - Jaringan - Regulasi - pembagian pelanggan - Sosial - pembagian sumber mata air - Ekonomi - Finansial - SDM - Peralatan
Pemkab Semarang
PT. Sarana Tirta Ungaran
Penyediaan Air Bersih Kemitraan
6. Kerangka Teori
6.1. Transformasi Penyedia Layanan Publik
Dalam memahami keterlibatan bersama antara sektor swasta dan pemerintah dalam
layanan publik, diperlukan konstruksi teori yang memadukan pendekatan yang tepat. Hal
tersebut dikarenakan logika yang terdapat pada pemerintah berbeda dengan logika pihak
swasta. Logika yang terdapat pada pemerintah merupakan akibat dari kewajiban pemerintah
mengembangkan peran etis, disamping memiliki fungsi rasional.11
Artinya, terdapat suatu
pemahaman bahwa tidak dibenarkan sebuah upaya apapun yang dikerjakan dengan cara
menenggelamkan komunitas yang satu demi individu lainnya. Di lain pihak, logika yang
terdapat pada pihak swasta adalah profitabilitas.12
Hal ini menjadi rumit karena proses
ekonomi itu sendiri yang cenderung mendistribusikan kekuasaan dan kekayaan, juga
bersinggungan pada politik yang umumnya menentukan dari kerangka kegiatan ekonomi
tersebut.13
Namun, dari sini kemudian terjadi interaksi politik antara kedua logika tersebut.
Dalam hal ini, hasil dari interaksi politik adalah keseimbangan rasional agar memuaskan
berbagai kepentingan. Lebih lanjut, pada gilirannya hal ini akan menyebabkan perubahan
sistem politik, dan dengan demikian memunculkan suatu struktur hubungan ekonomi baru.14
Struktur hubungan ekonomi yang ada pada kerjasama pemerintah dan swasta
merupakan struktur hubungan ekonomi baru. Oleh karena, kerjasama pemerintah dan swasta
terjadi pada jenis pekerjaan campuran, yakni jenis pekerjaan yang menyediakan barang
publik, maka kerjasama pemerintah dengan swasta dapat terjadi dalam penyediaan layanan
publik. Perubahan pola dalam struktur hubungan ekonomi baru tersebut terdapat pada gambar
berikut :
11
Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Politik : Kajian Teoritis dan Analisis Empiris (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2014). Hal. vii 12
Profitabilitas disini kemampuan memperoleh keuntungan yang didapat dari keseragaman pasar sebagai mekanisme alokasi dan mekanisme distribusi terhadap tiap individu berdasarkan tarif harga. 13
Isnan Rahmanto, Op. Cit. Hal. 33 14 Mohtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966−1971 (Jakarta : LP3ES, 1989). Hal. xvi
Gambar 2.
Perubahan pola dalam struktur hubungan ekonomi
Artinya, kemunculan suatu struktur hubungan ekonomi baru membentuk konsep penyedia
layanan publik pada sisi supply-side.15
6.2. Kerjasama Pemerintah-Swasta di Indonesia
6.2.1. Motif Kerjasama Pemerintah-Swasta
Melaksanakan pembangunan merupakan pilihan yang tidak bisa ditawar.16
Namun,
pada perkembangannya, pemerintah tidak memiliki privilage untuk berperan secara optimal
dalam menyediakan dan membangun infrastruktur. Oleh karenanya, dibutuhkan sinergi
kerjasama antara pemerintah dengan swasta. Terdapat tiga alasan yang mendasari
dilakukannya kerjasama pemerintah-swasta.17
Pertama, kuantitas dan kualitas infrastruktur
yang tersedia sudah tidak memadai untuk mendukung akselerasi pembangunan. Kedua,
kemampuan keuangan negara untuk membangun dan memperbaiki infrastruktur sangat
15
Pada sisi supply-side ini, terdapat tiga aktor dalam penyedia layanan publik, yakni pemerintah, swasta, dan quasi. Quasi disini merupakan sinergi atau kerjasama antara pemerintah dan swasta. Sinergi atau kerjasama tersebut terjadi pada quasi-public goods, dimana terciptanya kondisi tertentu yang memaksa/membuat public goods tidak dapat memenuhi yang sifatnya secara absolut. 16
Eny Haryati, Disertasi, Konfigurasi Politik, Pembangunan Masyrakat Desa, dan Penanggulangan Kemiskinan : Suatu Kajian Diakronis (Yogyakarta : UGM, 2003). Hal. 1 17
Latif Adam, Bab 3 Public Private Partnership : Sebuah Alternatif Pemenuhan Kebutuhan Pembangunan Infrastruktur di Indonesia dalam Analisis Model Kebijakan Kerja Sama Pemerintah-Swasta dalam Pembangunan Infrastruktur (Jakarta : Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, 2014). Hal. 35-36
Pemerintah
Masyarakat
Pemerintah
Masyarakat
Swasta
terbatas. Ketiga, berbeda dengan pemerintah, sektor sawasta memiliki keahlian dan
profesionalisme yang lebih baik untuk membangun infrastruktur secara efektif dan efisien.
Dalam konteks ini, pelibatan sektor swasta menjadi krusial sebagai komplemen untuk
menambah anggaran pembangunan infrastruktur. Pada gilirannya, bertambahnya anggaran
infrastruktur karena keterlibatan swasta diasumsikan akan mendorong pembangunan ekonomi
ke arah yang lebih baik. Akan tetapi, kebayakan infrastruktur sebenarnya merupakan barang
publik yang membutuhkan investasi cukup besar dengan tingkat pengembalian investasi
sangat rendah, berdurasi panjang, dan memiliki tingkat eksternalitas relatif tinggi. Oleh
karena itu, perlu adanya tiga poin penting yang perlu mendapatkan perhatian pemerintah.18
Pertama, proyek infrastruktur termasuk kedalam kategori high risk maka pemerintah perlu
meberikan insentif kepada para investor untuk meng-offset munculnya risiko. Kedua, perlu
membentuk dan memperkuat kelembagaan untuk mengawasi aliran dana infrastruktur.
Ketiga, pemerintah juga perlu mensinkronisasikan beberapa peraturan yang menyebabkan
ketidakpastian.
6.2.2. Model Kerjasama Pemerintah-Swasta19
Terdapat beberapa model kerjasama pemerintah-swasta yang sering digunakan di
Indonesia. Berikut model kerjasama pemerintah-swasta tersebut, yakni:
a) Kontrak Pelayanan
1. Kontrak Operasional / Pemeliharaan
Kerjasama yang dilakukan lebih kepada penyerahan wewenang kepada
pihak swasta dalam memberikan jasa pada layanan tertentu. Artinya, pihak swasta
tersebut kemudian bertanggungjawab atas jasa yang diberikannya hingga jangka
waktu yang telah disepakati bersama.
18
Latif Adam (2009,b) dalam Latif Adam, Bab 1 Pendahuluan dalam Analisis Model Kebijakan Kerja Sama Pemerintah-Swasta dalam Pembangunan Infrastruktur (Jakarta : Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, 2014). Hal. 7 19
Bagian ini diadaptasi dari Awaluddin, Bab 7 Kerjasama Pemerintah dengan Swasta dalam Modul Mengelola Dinamika Politik dan Sumberdaya Daerah (Yogyakarta : S2 PLOD, 2004). Hal. 117-120
2. Kontrak Kelola
Kontrak kelola dilakukan untuk mengelola aset yang dimiliki oleh
pemerintah. Nantinya, pihak swasta berperan sebagai pihak yang menduduki
jabatan tertentu sehingga bertanggungjawab atas pengelolaan aset tersebut.
3. Kontrak Sewa
Kerjasama yang dilakukan yakni pihak swasta menyewakan aset yang
dimiliki kepada pemerintah. Pihak swasta tetap menyediakan modal kerja untuk
pengelolaan dan pemeliharaan aset tersebut. Nantinya, pemerintah tetap
mengembalikan aset tersebut kepada pihak swasta setelah jangka waktu yang
disepakati bersama telah habis.
4. Kontrak Konsensi
Bentuk kerjasama yang terjadi dimana pihak swasta diserahkan
tanggungjawab menyediakan jasa pengelolaan atas sebagian atau seluruh sistem
infrastuktur yang telah disepakati. Pengoperasian, pemeliharaan, penyediaan
modal kerja, dan pemberian layanan kepada masyarakat. Artinya, penyediaan
layanan tersebut mulai dari pengeloaan, distribusi, sampai kepada penagihan dari
pemberian layanan jasa tersebut.
b) Kontrak Bangun
1. Kontrak Bangun Guna Serah
Bentuk kerjasama yang terjadi adalah pihak swasta bertanggungjawab
membangun proyek infrastruktur yang akan dikelola, termasuk didalamnya
pembiayaan. Selanjutnya, saat infrastruktur tersebut jadi maka pengelolaannya
dioperasionalkan oleh pihak swasta. Nantinya, infrastruktur tersebut akan menjadi
milik pemerintah jika jangka waktu kerjasama telah habis.
2. Kontrak Bangun Serah Guna
Bentuk kerjasama yang terjalin disini hanya terdapat pada pihak swasta
yang bertanggungjawab membangun proyek infrastruktur, termasuk pembiayaan.
Setelah terbangunnya infrastruktur tersebut, infrastruktur diserahkan kepemilikan
dan penguasaannya kepada pemerintah.
3. Kontrak Bangun Sewa Serah
Bentuk kerjasama yang terjalin adalah pihak swasta bertanggungjawab
membangun infrastruktur. Pembiayaan berasal dari pihak swasta. Nantinya,
pemerintah menyewakan infrastruktur tersebut melalui perjanjian sewa beli
kepada pihak swasta selama jangka waktu tertentu. Setelah jangka waktu kontrak
berakhir, maka fasilitas infrastruktur tersebut diserahkan penguasaan dan
kepimilikannya kepada pemerintah.
c) Kontrak Rehabilitasi
1. Kontrak Rehabilitasi Kelola dan Serah
Bentuk kerjasama yang terjalin yakni dengan cara aset atau infrastruktur
milik pemerintah diserahkan kepada mitra swasta untuk diperbaiki, dioperasikan
dan dipelihara sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati. Pada saat
jangka waktu yang telah disepakati berakhir maka aset atau infrastruktur tersebut
tentunya diserahkan kembali kepada pemerintah.
2. Kontrak Bangun Tambah Kelola dan Serah
Bentuk kerjasama yang terjalin atas tujuan perluasan dan penambahan
tertentu atas fasilitas infrastuktur yang sudah ada. Nantinya, juga terdapat
tanggungjawab untuk melakukan rehabilitasi infrastruktur tersebut. Hal tersebut
menjadi tanggungjawab pihak swasta.
d) Kontrak Patungan
Bentuk kerjasama dengan membangun atau mengelola suatu aset yang
dimiliki oleh perusahaan patungan. Perusahaan patungan dibentuk dengan cara
pemerintah daerah bersama-sama bekerjasama dengan pihak swasta membentuk
perusahaan baru. Nantinya, ada pembagian deviden terhadap masing-masing
pemilik saham sesuai dengan besaran kepemilikan saham di perusahaan patungan
tersebut.
6.3. Kerjasama Pemerintah-Swasta dalam Pendekatan Ekonomi Politik
Kelembagaan20
Pendekatan ekonomi politik kelembagaan menolak anggapan yang selama ini
diutarakan dalam ekonomi politik, dimana menjadi anggapan klasik, bahwa pasar adalah
satu-satunya penggerak roda ekonomi. Dalam penganut pemikiran teori klasik, peranan
pemerintah dianggap given sehingga tidak masuk kedalam kerangka analisa mekanisme
pasar, dimana beranggapan tangan ghaib atau invisible hand sebagai faktor sentral.21
Pendekatan ekonomi politik kelembagaan beranggapan peran institusi, baik ekonomi maupun
politik, merupakan peran penting dalam pembangunan. Oleh karena, perlu adanya institusi
yang mendukung mekanisme pasar. Sebagaimana dalam analogi yang digunakan oleh pakar-
pakar kelembagaan yang menganalogikan bahwa ekonomi pasar tidak tercipta dengan
sendirinya, meskipun terdapat tujuan bagaimana memenangkan permainan. Ekonomi pasar
perlu memenuhi prasyarat tegaknya suatu institusi yang dapat mengatur pola interaksi
beberapa aktor dalam suatu arena transaksi yang disepakati bersama. Tentunya, tanpa
kehadiran institusi maka biaya transaksi menjadi tinggi. Hal tersebut karena institusi atau
kelembagaan menentukan dan juga dapat mewarnai transaksi, terutama melalui aturan main
20
Bagian ini diadaptasi dari Deliarnov, Ekonomi Politik (Jakarta : Erlangga, 2006). Hal. 95-100 21 Didik J Rachbini, Ekonomi Politik : Kebijakan dan Strategi Pembangunan (Jakarta : Granit, 2004). Hal. 9
yang berlaku, sekaligus juga mengatur kelompok atau agen ekonomi untuk mewujudkan
kontrol kolektif terhadap transaksi dalam ekonomi pasar.
Dalam literatur ekonomi politik kelembagaan, definisi kelembagaan yang
diungkapkan oleh Veblen yakni sebagai norma-norma yang membentuk perilaku masyarakat
dalam bertindak, baik dalam perilaku mengonsumsi maupun berproduksi. Teori kelembagaan
Veblen ini muncul sebagai kritik terhadap teori klasik dan neo-klasik yang menyerdehanakan
fenomena-fenomena ekonomi, dan mengabaikan peran aspek non-ekonomi seperti
kelembagaan dan lingkungan. Padahal pengaruh keadaan dan lingkungan sangat besar
terhadap perilaku ekonomi masyarakat, sebab struktur politik dan sosial yang tidak
mendukung dapat memblokir dan menimbulkan distorsi proses ekonomi. Adapun perilaku
masyarakat bisa berubah, disesuaikan dengan lingkungan dan keadaan. Bagi Veblen, keadaan
dan lingkungan inilah yang disebut “institusi”.
Lain lanjut, negara dengan konsep kepentingan nasional, menyatakan negara
merupakan institusi atau sekumpulan institusi yang bertanggung jawab untuk menetapkan
nilai-nilai yang digunakan untuk menetukan kegunaan bagi masyarakat.22
Artinya, apabila
Veblen menganggap keadaan dan lingkungan sebagai “institusi”, maka menurut Krasner
bahwa “institusi” yang menentukan perilaku masyarakat adalah negara. Hal tersebut
dikarenakan negara akan menentukan apa yang menjadi kepentingan nasional dari sebuah
masyarakat dan memiliki kemampuan untuk mendefinisikan kepentingan nasional tersebut
yang kemudian akan menentukan mana yang dapat dikatakan sebagai negara dan mana yang
tidak sehingga ketika kepentingan nasional tidak ada, maka negara pun tidak ada. Dengan
demikian, negara dapat mendefinisikan kepentingan nasional sedemikian rupa sehingga
sesuai dengan jenis atau juga kebutuhan masyarakatnya.
22
Krasner (1978) dalam James A. Caporaso & David P. Levine, Teori-Teori Ekonomi Politik (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008). Hal. 468-483
Selain pendapat Veblen dan Krasner, terdapat teori ekonomi politik kelembagaan
yang dikemukakan oleh Douglas North. Menurut North, kelembagaan adalah aturan-aturan
dan norma-norma yang tercipta dalam masyarakat yang menentukan apa yang boleh dan
tidak boleh dilakukan, mana tugas dan kewajiban yang harus dilakukan atau tidak dilakukan.
Lebih lanjut, North tetap beranggapan bahwa institusi tetap sebagai peluang sekaligus sebagai
kendala ekternal bagi agen-agen ekonomi. Hal ini tentunya berbeda dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Veblen yang mengartikan institusi sebagai norma-norma, nilai-nilai,
tradisi dan budaya, dimana North beranggapan institusi adalah peraturan perundang-
undangan berikut dengan sifat-sifat memaksa (enforcement) dari peraturan-peraturan
tersebut.
Douglas North menganalogikan institusi sebagai aturan permainan, sedangkan
organisasi adalah sebagai tempat bermain bagi sekumpulan orang. Dalam sebuah permainan,
setiap pemain mempunyai tujuan yang sama, yaitu bagaimana memenangkan permainan.
Akan tetapi, dalam upaya memenangkan permainan tersebut ada rambu-rambu yang tidak
boleh dilanggar dan aturan-aturan yang harus diikuti. Hal yang sama berlaku dalam dunia
ekonomi dan bisnis, dimana ada aturan main yang mengoordinasi aktivitas-aktivitas ekonomi.
Pasar hanya dapat bekerja dengan efektif apabila ditopang oleh institusi yang tepat, dan
adanya institusi pada gilirannya akan mengurangi unsur ketidakpastian. Artinya, institusi
yang dapat mengurangi unsur ketidakpastian tersebut adalah peraturan perundang-undangan
berikut dengan sifat-sifat memaksa (enforcement), dimana jika dielaborasi dengan apa yang
dikemukakan oleh Krasner bahwa negara merupakan institusi yang bertanggung jawab untuk
menetapkan nilai-nilai yang digunakan untuk menetukan kegunaan bagi masyarakat, maka
yang dapat mengurangi unsur ketidakpastian tersebut adalah negara.
Meskipun terdapat ruang melalui peraturan, peran negara sebagai institusi juga
terdapat pada keputusan pemerintah apabila memutuskan untuk tidak mengurus
permasalahan yang muncul. Artinya, segala sesuatu yang dikerjakan dan yang tidak
dikerjakan pemerintah merupakan bagian dari kebijakan pemerintah.23
Namun demikian,
pemerintah memang harus bertindak dikarenakan pemerintah memiliki peran etis, dimana
biasanya pemerintah melakukan tindakan protektif untuk menjaga agar masyarakat tidak
tersisih dari program pembangunan, dan juga fungsi rasional dalam mengawal pembangunan
ekonomi. Evans24
, mengidentifikasi empat tipikal lagi jenis intervensi pemerintah untuk
mewujudkan peran pragmatis dan etisnya, yakni custodian, demiurge, midwife, dan
husbandry. Peran custodian mengacu pada fungsi negara untuk melindungi, mengawasi, dan
mencegah terjadinya perilaku ekonomi tertentu yang dipandang merugikan, seperti
perusahaan yang antikompetisi, produksi barang yang kurang bermutu atau tidak aman, dan
operasi firma yang merusak lingkungan. Peran demiurge mengharapkan negara berfungsi
maksimal dalam wujud keterlibatannya memproduksi barang dan jasa. Peran seperti ini
banyak dipraktikkan di negara-negara berkembang atau negara yang masih dalam tahap awal
industrialisasi, dimana peran swasta belum muncul. Peran midwife adalah menjadi mitra dari
sektor swasta karena dianggap sektor ini masih belum mampu mengidentifikasi kegiatan-
kegiatan ekonomi yang dapat menghasilkan keuntungan, khususnya untuk perusahaan-
perusahaan pemula agar tidak tergelincir dan kalah bersaing berhadapan dengan kompetitor
asing. Peran husbandry berkenaan dengan campur tangan negara untuk menjaga
kesinambungan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Keempat peran negara dalam
pembangunan ekonomi tersebut tentu saja masih menggambarkan negara sebagai institusi
rasional yang bisa mengawal seluruh proses pembangunan secara tepat.
23
Riant Nugroho, Public Policy (Jakarta : PT. Elex Media Komputindo, 2008). Hal. 56 24 Ahmad Erani Yustika, Op. Cit. Hal. viii-x
7. Definisi Konseptual
Dalam memberikan arahan pada variabel penelitian ini, maka perlu dilakukan
generalisasi atas fenomena yang abstrak secara empiris yang terdapat pada variabel tersebut.
Oleh karena itu, agar lebih mudah dipahami maka penulis membuat pembatasan dan
penegasan definisi konsep sebagai berikut :
1. Pelayanan publik adalah penyelenggaraan pelayanan dalam penyediaan air bersih.
2. Kerjasama pemerintah-swasta adalah kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah
daerah Kabupaten Semarang dengan PT Sarana Tirta Ungaran dalam pelayanan
penyediaan air bersih.
3. Kewenangan pemerintah adalah tindakan pemerintah yang diambil dari keputusan
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
8. Definisi Operasional
Dalam mempermudah proses analisa data yang diperoleh, maka definisi konsep yang
ada dioperasionalkan ke dalam indikator-indikator sehingga mampu menggambarkan dan
menjelaskan gejala-gejala yang dapat diuji kebenarannya. Adapaun operasionalisasi konsep
dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1.
Definisi operasional penyediaan air bersih dalam Kerjasama Pemerintah-Swasta
Variabel
Sub-variabel Indikator
Pelayanan publik Pelaku
Kerjasama
Sifat
Sosial-ekonomi
Tujuan
Sosial-ekonomi
Pembangunan Fisik
Kerjasama Pemerintah-
Swasta
Sifat kerjasama
Kolaboratif
Intensitas
Tinggi
Jangka waktu
Panjang / Lama
Kedudukan para pihak
Setara dan Otonom
Manfaat dan resiko Pembagian manfaat dan
resiko
Sumber daya untuk
pelaksanaan kegiatan
Penggabungan sumber daya
Kewenangan pemerintah Tindakan pemerintah Dilakukan atau tidak
dilakukan
9. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
pendekatan studi kasus. Tahapan awal penelitian dilakukan dengan memetakan
permasalahan, teori, dan regulasi yang berkaitan dengan isu kerjasama pemerintah-swasta
dalam penyediaan air bersih. Oleh karena itu, dalam tahapan ini meliputi diskusi internal
dengan pihak dari Pemerintah Daerah Kabupaten Semarang, PDAM Kabupaten Semarang,
dan juga PT. Sarana Tirta Ungaran. Hal tersebut bertujuan untuk mencari regulasi, dokumen
kerjasama, dan referensi lain yang berkaitan. Dengan demikian, tahapan awal penelitian ini
dapat menyumbangkan bagi tahapan selanjutnya berupa pengkajian secara mendalam atas
yang menjadi fokus dan rumusan masalah dalam penelitian ini, tentunya terkait dalam isu
kerjasama pemerintah-swasta dalam penyediaan air bersih, khususnya yang terdapat di
Kabupaten Semarang. Dalam pengumpulan data, penelitian ini menggunakan metode yang
bersifat triangulasi data dimana peneliti mengumpulkan data sekaligus menguji kredibilitas
data lewat penyilangan berbagai sumber data yang berasal dari studi literatur, observasi dan
wawancara. Selanjutnya, dilakukannya reduksi data atas data-data yang telah diperoleh
dengan cara merangkum data, memilah hal-hal pokok dan memfokuskan pada hal-hal yang
berkaitan dan juga penting terhadap penelitian ini. Hal tersebut sebagai bagian dari proses
pengkajian terhadap isu dalam penelitian ini. Pengkajian dilakukan dengan cara bertemu
Bagian Tata Pemerintahan Setda Kabupaten Semarang, Bagian Perekonomian Setda
Kabupaten Semarang, Direktur Teknik PDAM Kabupaten Semarang, Direktur PT. Sarana
Tirta Ungaran, Asisten Manager Administrasi Pers, Umum dan Purchase PT. Sarana Tirta
Ungaran, dan juga Kepala Finansial dan Accounting PT. Sarana Tirta Ungaran serta pihak-
pihak lainnya yang berkaitan dengan isu ini.
10. Struktur Penulisan
Penulisan kajian penelitian ini akan disajikan dalam lima bab. Bab Pertama,
menjelaskan landasan berpikir dalam melihat isu kerjasama pemerintah-swasta dan latar
belakang kajian dalam penyediaan air bersih agar dapat diketahui permasalahan dalam
penelitian ini. Hal tersebut kemudian dielaborasi dengan kerangka umum kerjasama
pemerintah-swasta dalam penyediaan air bersih, yakni penyediaan air bersih sebagai bagian
dari koridor pelayanan publik, kerjasama pemerintah dan swasta dalam penyediaan air bersih
terkait dengan motif, mekanisme, manfaat, hambatan, model, dan juga kerjasama pemerintah-
swasta dalam prespektif ekonomi politik. Selain itu, pada bab ini juga terdapat tujuan dan
manfaat dari penelitian ini, sebagai keluaran yang diharapkan dari penulis.
Bab kedua dalam penelitian ini menyajikan tentang dinamika kerjasama pemerintah-
swasta dalam penyediaan air bersih di Indonesia. Hal tersebut dilakukan dengan melakukan
identifikasi pilihan-pilihan kerjasama pemerintah dan swasta dalam penyediaan air bersih.
Hal tersebut diharapkan dapat mengetahui terkait dengan sejarah penguasaan dan
penyelenggaraan air bersih di Indonesia, serta pilihan skema kerjasama pemerintah-swasta
dalam penyediaan air bersih yang cocok dengan kondisi di Indonesia. Selain itu, dilakukan
juga analisis tentang posisi air bersih terkait posisinya yang sebagai barang publik ataukah
barang privat dan juga siapa yang dapat menyelenggarakan penyediaan air bersih tersebut.
Bab ketiga dalam penelitian ini berisi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi dan
juga kondisi penyediaan air bersih dalam kerjasama pemerintah-swasta di Kabupaten
Semarang. Hal tersebut diharapkan dapat dimulai dari mengetahui urgensi kerjasama dan
perkembangan penyediaan air bersih di Kabupaten Semarang, proses pembangunan dan
pengelolaan kerjasama, pembagian wewenang dan keuntungan dari kerjasama, dan juga
problematika kerjasama yang belum terpenuhi.
Bab keempat dalam penelitian ini berisi tentang pencapaian kerjasama pemerintah-
swasta dalam mewujudkan penyediaan air bersih sebagai fungsi pelayanan publik dan fungsi
komersil dalam kerjasama pemerintah-swasta di Kabupaten Semarang. Pencapaian dalam
kerjasama pemerintah-swasta tersebut tentunya diharapkan dapat menjelaskan implikasi
kerjasama pemerintah-swasta terhadap penyediaan air bersih di Kabupaten Semarang.
Bab kelima dalam penelitian ini berisi tentang kesimpulan dari proses dan temuan
dalam penelitian ini serta juga rekomendasi tentang kebijakan kerjasama pemerintah-swasta.