BAB IPENDAHULUAN
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak
dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia. Hampir 60 % tumor
ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring, kemudian
diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring
(16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam
persentase rendah. Karsinoma nasofaring dapat terjadi pada segala
usia, tapi umumnya menyerang usia 30-60 tahun, hingga 75-90%.
Proporsi laki-laki dan perempuan adalah 2-2,8-1. Tumor ini berasal
dari fossa Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah
transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa.
1,2,3
Di Indonesia frekuensi pasien ini hampir merata di setiap
daerah. Di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta saja ditemukan
lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung rata rata
60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Palembang 25 kasus, 15 kasus
setahun di Denpasar dan 11 kasus di Padang dan Bukittinggi.1,2
Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih
merupakan suatu problem, hal ini karena etiologi yang masih belum
pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak nasofaring yang
tersembunyi, sehingga diagnosis sering terlambat. Pada stadium
dini, radioterapi masih merupakan pengobatan pilihan yang dapat
diberikan secara tunggal dan memberikan angka kesembuhan yang cukup
tinggi. Pada stadium lanjut, diperlukan terapi tambahan yakni
kemoterapi yang dikombinasikan dengan radioterapi.2
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi
Nasofaring merupakan tabung fibromuskular yang terletak di
belakang hidung pada faring bagian atas. Batas superior nasofaring
adalah dasar sinus sphenoid dan clivus, anterior dibatasi choanae,
inferior dibatasi orofaring, posterior dibatas muskulature
prevertebral dan sebelah lateralnya oleh spasium parapharyngeal.4
Dinding lateral meliputi tuba eustachius, torus tubarius dan fossa
Rosemuller. Secara anatomis, nasofaring berhubungan dengan cavum
nasi dan berperan sebagai saluran udara saat pernapasan, karena
strukturnya yang dibangun dari tulang, nasofaring bersifat paten
dalam keadaan normal KNF merupakan karsinoma sel skuamosa yang
berasal dari epitel nasofaring. Neoplasma ini dapat berasal dari
semua bagian nasofaring. Biasanya KNF dimulai dari fossa
Rosenmuller.5,6
Fossa Rosenmuller atau resessus pharyngeus lateral terletak
superior dan posterior dari torus tubarius. Konfigurasi J terbalik
dari torus tubarius menjadi dasar mengapa fossa Rosenmller tampak
posterior pada potongan axial dan superior pada koronal dari
orifisium tuba eustachius. Tuba eustachius masuk ke nasofaring
melalui sinus Morgagni, sebuah defek pada fascia pharyngobasilar
yang merupakan perluasan kranial dari muskulus konstriktor
superior. Spasium parapharyngeal memisahkan spasium viseral
nasofaringeal dari spasium mastikasi. KNF biasanya meluas
menyeberangi Spasium parapharyngeal sehingga dapat menginfiltrasi
otot mastikasi dan menyebar perineural ke nervus mandibular dan
kavum intrakranial. Selain itu dalam spasium parapharyngeal
retrostyloid juga terdapat spasium karotid yang juga dapat diinvasi
KNF.4
Faring menerima aliran darah dari sistem arteri karotis eksterna
terutama arteri pharyngeal ascendens. Vena dari faring akan
mengalir ke vena jugularis interna. Persarafan dari otot dan mukosa
faring didapatkan dari pleksus pharyngeal yang menerima serat dari
nervus glossopharyngeal dan nervus vagus. Plexus itu sendiri
terletak diluar dari otot konstriktor pharyngeus medius.7
Antara nasofaring dengan corpus vertebra terdapat spasium
retrofaring dan spasium prevertebralis. Di dalam spasium
retropharyngeal ada nodus retropharyngeal lateral Rouviere. Nodus
ini merupakan nodus pertama pada aliran limfatik nasofarik dan
dapat diidentifikasi sebagai nodul berukuran 3-5 mm akan tetapi,
pada 35% pasien dengan KNF, limfadenopati servikal dapat ditemukan
tanpa adanya pembesaran nodus retropharyngeal lateral.3 Aliran
limfatik dari nasofaring mengalir dalam arah anteroposterior menuju
ke basis krani dimana nervus IX dan XII berada. Jalur aliran
limfatik lainnya meliputi drainase ke limfonodus servikal posterior
dan jugulodigastrik.5
Foramen laserum dan ovale merupakan jalur yang potensial untuk
penyebaran tumor ke intrakranial. Foramen laserum terletak
superolateral dari fossa Rosenmller dan terletak pada perlekatan
fascia pharyngobasilar pada basis cranii. Kartilago mengisi bagian
inferior foramen laserum dan foramen ovale terletak di lateral dari
perlekatan fascia pharyngobasilar terhadap basis cranii.4
Pembuluh darah arteri utama yang memperdarahi daerah nasofaring
adalah arteri faringeal asendens, arteri palatina asendens, arteri
palatina desendens, dan cabang faringeal arteri sfenopalatina.
Semua pembuluh darah tersebut berasal dari arteri karotis eksterna
dan cabang-cabangnya. Pembuluh darah vena berada di bawah membran
mukosa yang berhubungan dengan pleksus pterigoid di daerah superior
dan fasia posterior atau vena jugularis interna di bawahnya.8
Gambar 1. Perdarahan nasofaring
Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal yang
terdapat di atas otot konstriktor faringeus media. Pleksus
faringeus terdiri dari serabut sensoris saraf glossofaringeus (IX),
serabut motoris saraf vagus (X) dan serabut saraf ganglion
servikalis simpatikus. Sebagian besar saraf sensoris nasofaring
berasal dari saraf glossofaringeus, hanya daerah superior
nasofaring dan anterior orifisuim tuba yang mendapat persarafan
sensoris dari cabang faringeal ganglion sfenopalatina yang berasal
dari cabang maksila saraf trigeminus (V1).8
Gambar 2. Persarafan nasofaring
Gambar 3. Anatomi Nasofaring
B. Epidimiologi
Setiap tahunnya diperkirakan terdapat 11.000 kasus karsinoma
nasofaring baru dengan rasio pria berbanding wanita 2,5 : 1. Lebih
banyak ditemukan di bagian selatan China.3,4 KNF biasanya menyerang
anak dan orang dewasa namun sering ditemukan pada usia menengah
menurut pemaparan Seow et al di tahun 2004.4
Karsinoma nasofaring merupakan penyakit keganasan dengan
insidensi kurang dari 1 per 100.000 orang pada orang kulit putih
3,5 Penyakit ini banyak ditemukan di Alaska dan China terutama
bagian selatan dengan insidensi mencapai 15-30 kasus per 100.000
orang.4 Bahkan menurut Parkin et al tahun 1997, insidensi KNF dapat
mencapai 50 per 100.000 penduduk di selatan China dan Hongkong,
serta Singapura dan China-Amerika. Insidensi yang lebih rendah
ditemukan pada suku Eskimo, Polinesia dan Afrika Utara.4 KNF juga
ditemukan pada etnis Afrika Timur.9 Namun hal yang perlu
diperhatikan adalah insidensi KNF tetap tinggi pada etnis China
yang berpindah ke Asia Tenggara atau ke Amerika Utara namun lebih
rendah pada etnis China yang lahir di Amerika Utara. Hal ini
menunjukkan adanya pengaruh genetik, etnis dan faktor lingkungan
dalam etiologi penyakit ini.7
Angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) di Indonesia cukup
tinggi, yakni 4,7 kasus/tahun/100.000 penduduk atau diperkirakan
7000 8000 kasus per tahun di seluruh Indonesia (Survei yang
dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara
pathology based). Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%)
penderita KNF berdasarkan data patologi yang diperoleh di
Laboratorium Patologi anatomi FK Unair Surabaya (1973 1976)
diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian THT
Semarang mendapatkan 127 kasus KNF dari tahun 2000 2002. Di RSCM
Jakarta ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin
Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Denpasar 15
kasus, dan di Padang dan Bukit tinggi (1977-1979). Dalam pengamatan
dari pengunjung poliklinik tumor THT RSCM, pasien karsinoma
nasofaring dari ras Cina relatif sedikit lebih banyak dari suku
bangsa lainnya.1
C. Etiologi
Ada tiga faktor yang memungkinkan terjadinya KNF yakni faktor
genetik, lingkungan dan, Epstein Barr Virus.4 Pengaruh lingkungan
yang dapat menyebabkan KNF dapat berupa zat zat kimia atau bahan
makanan yang biasa dimakan. Mediator di bawah ini dianggap
berpengaruh untuk timbulnya karsinoma nasofaring yaitu10a)Ikan
asin, makanan yang diawetkan dan nitrosaminb)gas kimia c)asap
industri d)asap kayu e)beberapa ekstrak tumbuhan f)ramuan herbal
cina g)Merokok
Konsumsi ikan asin merupakan salah satu faktor penyebab KNF yang
sering disebutkan. Hal ini tampaknya berhubungan dengan komponen
karsinogenik, nitrosamin yang banyak ditemukan pada ikan asin.
Sebuah studi case control menunjukkan adanya hubungan antara
konsumsi ikan asin dalam jumlah sering dimulai saat belum mencapai
usia 10 tahun dengan peningkatan resiko KNF.6 Seperti halnya kanker
pada kepala dan leher, merokok juga berhubungan dengan insidensi
KNF yang tinggi terutama pada pria ras Kaukasia.5
Epstein-Barr virus (EBV) juga diduga berperan dalam proses
onkogenik tumor ini, karena genom EBV sering dideteksi pada
spesimen biopsi KNF. Namun karena EBV sering ditemukan dalam jumlah
banyak pada populasi manusia maka peran EBV dalam menimbulkan KNF
masih diragukan.6
Pada pasien dengan riwayat keluarga KNF memiliki resiko terkena
KNF sebesar 6 kali lipat yang memberikan gambaran bahwa peran
genetik ada dalam patogenesis timbulnya KNF.6 Ada dugaan bahwa
predisposisi genetik pada keluarga lini pertama pada peranakan
China Amerika lebih tinggi daripada Kaukasia Amerika dan yang
diduga berperan dalam proses ini adalah Human Leucocyte Antigen
terutama HLA-BW46, and HLA-B17.5 Dalam studi lebih lanjut ditemukan
alterasi pada berbagai kromosom misalnya delesi area 14q, 16p, 1p,
dan amplifikas 12q dan 4q. Gen tumor supresif diketahui berada pada
kromosom 14q.6
D. Histopatologi
Sel epitel malignan dari KNF adalah sel poligonal raksasa dengan
karakter yang khas. Nukleusnya bulat atau oval dengan kromatin yang
tebal dan nukleoli yang dapat dibedakan. Sel biasanya ditemukan
bersama dengan sel limfoid sehingga terkadang timbul istilah
limfoepitelioma. Studi mikroskop elektron menunjukkan asal sel ini
dari sel skuamosa, termasuk pada karsinoma tidak
berdiferensiasi.6
Berdasarkan klasifikasi histopatologi menurut WHO, KNF dibagi 3
tipe, yaitu:
1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing
SquamousCell Carcinoma).
Ditemukan jembatan interseluler dan tampak serupa dengan saluran
aerodigestif atas.5 Tampak diferensiasi skuamosa dan tidak
berkaitan dengan EBV, prognosis lebih buruk dan kurang sensitif
terhadap radiasi.11
2. Karsinoma non-keratinisasi (Non-Keratinizing Carcinoma).
Pada tipe ini ada maturasi namun tidak dijumpai diferensiasi
squamosa yang jelas, tipe ini berkaitan dengan EBV, prognosis lebih
baik dan sensitif terhadap radiasi.11
Gambar 2. KNF Tipe I6
Gambar 3. KNF Tipe II6
3. Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated
Carcinoma).
Tipe ini meliputi limfoepitelioma, anaplastik dan varian clear
cell. Tampak tepi sel yang berbatas tegas dengan stroma limfositik.
Biasa ditemukan nuklei hiperkormatik. Tipe ini berkaitan dengan
EBV, sensitif terhadap radiasi.11
Gambar 4. KNF Tipe III 6
Beberapa tipe jarang lain juga ditemukan antara lain, karsinoma
adenoid kistik, plasmasitoma, melanoma, rhabdomyosarkoma. Limfoma,
adenokarsinoma, myeloma sel plasma, dan silindroma. 5,11 Di Amerika
Utara sekitar 25% pasien memiliki tipe nomor 1, 12% pada tipe nomor
2, 63% tipe nomor 3. Pada pasien dengan ras Cina Selatan,
penyebaran histologi berturut turut adalah 3%, 2%, dan 95%.7
Klasifikasi alternatif lainnya dibagi menjadi dua jenis tipe
histologis yakni squamous cell carcinoma dan
undifferentiatedcarcinomas of the nasopharyngeal type (UCNT).
Klasifikasiberhubungan erat dengan kadar serology EBV. Pasien
dengan SCC memiliki titer EBV yang rendah dan sebaliknya pada
UCNT.6
E. Stadium Karsinoma NasofaringTerdapat beberapa cara untuk
menentukan stadium KNF. Di beberapa negara Asia digunakan penentuan
stadium yang dikemukakan oleh Ho pada tahun 1978 (Hos system),
sementara di Amerika dan Eropa lebih disukai penentuan stadium
sesuai dengan kriteria yang ditetapkan AJCC/UICC (American Joint
Committee on Cancer / International Union Against Cancer). Cara
penentuan stadium KNF yang terbaru adalah menurut AJCC/UICC tahun
2010.
Klasifikasi TNM menurut AJCC 2010:Tumor Primer (T) Tx Tumor
primer tidak dapat dinilai T0 Tidak terbukti adanya tumor primer
Tis Karsinoma in situ T1 Tumor terbatas di nasofaring atau tumor
meluas ke orofaring dan / kavum nasi tanpa perluasan ke parafaring.
T2 Tumor dengan perluasan ke daerah parafaring. T3 Tumor melibatkan
struktur tulang dasar tengkorak dan/atau sinus paranasal T4 Tumor
dengan perluasan intrakranial dan/atau terlibatnya saraf
kranial,hipofaring, orbita atau dengan perluasan ke fossa
infratemporal / ruang mastikator.
KGR Regional (N)NXKGB regional tidak dapat dinilai N0 Tidak ada
metastasis ke KGB regional N1Metastasis kelenjar getah bening leher
unilateral dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa
supraklavikular, dan/atau unilateral atau bilateral kelenjar getah
bening retrofaring dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang. N2
Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan diameter terbesar
6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular. N3 Metastasis pada
kelenjar getah bening diatas 6 cm dan/atau pada fossa
supraklavikular: N3aDiameter terbesar lebih dari 6 cm N3b Meluas ke
fossa supraklavikular
Metastasis (M)M0 Tanpa metastasis jauh M1 Metastasis jauhTable
1. Stadium KNF berdasarkan AJCC (2010)12
F. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis
dan pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Penegakan diagnosis didasarkan pada anamnesis dimana pasien
datang berbagai gejala yang dikeluhkan sesuai dengan penjalaran
kanker. Gejala-gejala dan tanda dari karsinoma nasofaring dapat
dibagi atas 2 macam berdasarkan metastasenya, yaitu:13
1. Gejala dini/gejala setempat, adalah gejala-gejala yang dapat
timbul di waktu tumor masih tumbuh dalam batas-batas nasofaring,
dapat berupa:
a. Gejala hidung: pilek lama yang tidak kunjung sembuh;
epistaksis berulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur
dengan lendir hidung sehinga berwarna merah jambu; lendir hidung
seperti nanah, encer/kental, berbau.
b. Gejala telinga: tinnitus (penekanan muara tuba eustachii oleh
tumor, sehingga terjadi tuba oklusi, menyebabkan penurunan tekanan
dalam kavum timpani), penurunan pendengaran (tuli), rasa tidak
nyaman di telinga sampai otalgia.
2. Gejala lanjut/gejala pertumbuhan atau penyebaran tumor, dapat
berupa:
a. Gejala mata: diplopia (penglihatan ganda) akibat perkembangan
tumor melalui foramen laseratum dan menimbulkan gangguan N. IV (N.
Trochlearis) dan N. VI (N. Abducens). Bila terkena chiasma opticus
akan menimbulkan kebutaan.
b. Gejala tumor: pembesaran kelenjar limfe pada leher, merupakan
tanda penyebaran atau metastase dekat secara limfogen dari
karsinoma nasofaring.
c. Gejala kranial, terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan
mencapai saraf-saraf kranialis, antara lain:
Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan
metastase secara hematogen. Sensitibilitas daerah pipi dan hidung
berkurang. Kesukaran pada waktu menelan Afoni Sindrom Jugular
Jackson atau sindrom retroparotidean mengenai N. IX (N.
Glossopharyngeus), N. X (N. Vagus), N. XI (N. Accessorius), N. XII
(N. Hypoglossus). Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada: lidah,
palatum, faring atau laring, M. Sternocleidomastoideus, M.
Trapezius.13
2. Pemeriksaan Fisis
Inspeksi dan palpasi : tampak benjolan pada leher (lateral)
dengan berbagai ukuran, biasanya berada di level II-III dengan
permukaan rata, terfiksir dan tidak nyeri tekan. Tampak massa di
dinding nasofaring berwarna kemerahan dengan permukaan tidak rata
yang tampak dengan pemeriksaan rinoskopi posterior. Untuk
mengetahui keadaan membran timpani dilakukan pemeriksaan otoskopi
sedangkan untuk mengetahui adanya penurunan pendengaran dapat
dilakukan tes garpu tala. Untuk mengetahui keadaan kavum nasi,
keadaan konka inferior, konka media serta sekret bila ada dapat
dilakukan pemeriksaan rinoskopi anterior. Pemeriksaan saraf kranial
untuk mengetahui adanya perluasan tumor ke jaringan
sekitarnya.14
Gambar 5. Tampak benjolan pada leher. Pada pasien ini ditemukan
pembesaran limfonodus servikal14
3. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Hitung darah lengkap dan fungsi hati juga harus dilakukan untuk
menghilangkan kemungkinan metastasis. Titer EBV perlu diperiksa
karena pada tumor nasofaring juga dapat meningkat.5 Virus
Epstein-Barr tergolong dalam herpes virus dan antigen spesifik EBV
dapat digolongkan menjadi antigen replikatif, fase laten, dan
antigen fase lanjutan. Pada pasien dengan KNF, imunoglobulin A
(IgA) berespon terhadap antigen awal dan viral capsid antigen (VCA)
dapat dijadikan dasar untuk diagnostik. IgA anti VCA lebih sensitif
tapi kurang spesifik dibandingkan IgA anti EA. Pada orang sehat
yang terdeteksi IgA anti VCA dapat memiliki KNF subklinis dan
deteksi KNF dapat mencapai 30 kali lebih tinggi dari populasi
normal.6
Immunoglobulin IgA anti-VCA dianggap berhubungan dengan tahapan
stadium penyakit dan kadarnya dapat berkurang dengan pemberian
terapi, sehingga dapat bernilai sebagai tumor marker dan deteksi
rekurensi. Selain itu DNA EBV juga dapat digunakan sebagai tumor
makrker namun sensitivitasnya sedang.6Biopsi
Diagnosis KNF dapat ditegakkan berdasarkan hasil biopsi.Biopsi
nasofaring dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau
dari mulut. Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas
tumornya (blindbiopsy).Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga
hidung menyusurikonka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan
ke lateral dan dilakukan biopsi.14
Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang
dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut
ditarik keluar dan diklem bersama sama ujung kateter yang di
hidung. Demikian juga dengan kateter dari hidung disebelahnya,
sehingga palatum mole tertarik ke atas.Kemudian dengan kaca laring
dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor
melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan
melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi tumor
nasofaring umumnya dilakukan dengan analgesia topikal dan dalam
keadaan tertentu dapat dilakukan dengan anestesi general.14
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan CT Scan sangat membantu untuk menentukan lokasi dan
perluasan tumor. MRI juga dilakukan untuk mengevaluasi kepala dan
leher. Foto thorax, Pemeriksaan PET Scan dan bone scan juga
dilakukan untuk melihat apakah ada tanda metastasis. Endoskopi juga
dapat dipertimbangkan.5 Modalitas radiologi dapat dilakukan untuk
menilai invasi tumor ke ruangan sekitarnya. Invasi yang dapat
terjadi meliputi invasi ruang orbita.
Gambar 6. Modalitas CT scan menunjukkan invasi tumor ke fossa
pterygopalatina dextra (kiri) fissura orbitalis inferior dextra(
tengah) dan cavung orbita dextra (kanan)4
Hal yang paling penting diketahui adalah apakah terdapat
penyebaran ke daerah yang lebih jauh misalnya ke intrakranial.
Modalitas radiologi juga dapat membantu mengungkapkan hal
tersebut.
Gambar 7. Dengan MRI (kiri) ditemukan invasi ke otot
prevertebral (panah hitam) dan spasium karotid kiri (panah putih)
dan fossa cranial posterior (*) pada gambar kanan ditemukan
penyebaran tumor melalui foramen magnum ke fossa posterior.4G.
Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan karsinoma nasofaring meliputi terapi antara
lain Radioterapi, Kemoterapi, Kombinasi, Operasi, dan Terapi Gen
Dan Imunoterapi. Penatalaksanaan KNF berdasarkan stadiumnya terdiri
dari 13Stadium I: Radioterapi
Stadium II : Radioterapi
Stadium III : Kemoterapi + radiasi
Stadium IV : Kemoterapi + radiasi
1. Radioterapi
Karena sulitnya menentukan batas operasi, maka terapi utama
untuk KNF adalah terapi radiasi terutama pada stadiym awal. Cakupan
radiasi meliputi leher bilateral dan nodus supraklavikular juga
nodus retrofaringeal. Dosis profilkasis adalah 5040 cGy yang
diberikan ke area nodus dan 20003000 cGy ke tumor primer dan nodus
yang terlibat.5
Komplikasi radiasi yang dapat timbul adalah xerostomia, otitis
externa kronik, otitis media, gangguan pendengaran, gangguan gigi
geligi, disfungsi pituitari, trismus dan nekrosis jaringan lunak
atau tulang.5
2. Kemoterapi
Pemberian ajuvan kemoterapi yaitu Cis-platinum, bleomycin dan
5-fluorouracil. Sedangkan kemoterapi praradiasi dengan epirubicin
dan cis-platinum. Kombinasi kemo-radioterapi dengan mitomycin C dan
5-fluorouracil oral sebelum diberikan radiasi yang
bersifatRadiosensitisizer.13
Pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher (
benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran atau timbul
kembali setelah penyinaran, dan tumor induknya sudah hilang yang
terlebih dulu diperiksa dengan radiologik dan serologik), pemberian
tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi,
vaksin dan antivirus.13
3. Kombinasi
Studi acak terbaru menunjukkan pada stadium lanjut T3 dan T4
dapat dilakukan pemberian radiasi dan kemoterapi. Regimen
kemoterapi meliputi cisplatin tiga siklus (100 mg/m2) selama
radiasi dan tiga siklus cisplatin (80 mg/m2) dan 5-FU (1000 mg/m2)
setelah radiasi telah lengkap. Pada KNF yang rekuren, pemberian
radiasi 6000 cGy memberikan angka kesuksesan hingga 40%.54.
Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring dilakukan
untuk kasus rekurensi lokal dan regional. Tiga keadaan
kontraindikasi operasi adalah keterlibatan arteri karotis interna,
erosi basis krani dan keterlibatan intrakranial. Pendekatan operasi
meliputi tindakan transnasal, transmaksila, midfasial atau
transpalatal. Untuk penyakit dengan keterlibatan regional biasanya
dilakukan diseksi leher baik radikal ataupun
modifikasi.(cumming).5
5. Terapi Gen dan Imunoterapi
Karena KNF berhubungan erat dengan Virus Epstein-Barr virus maka
terbuka suatu kesempatan untuk melakukan terapi molekuler. Terapi
Gen menggunakan vektor defisien replikasi adenovirus untuk
meningkatkan sitotoksisitas melalui induksi apoptosis. Imunoterapi
pada KNF difokuskan pada peningkatan respon sel limfosit T
sitotoksis walapun perlu dilakukan studi lebih lanjut.5
H. Diagnosis Banding
1. Hiperplasia adenoid
Biasanya terdapat pada anak-anak, jarang pada orang dewasa.Pada
anak anak hiperplasia ini terjadi karena infeksi berulang.Pada foto
polos akan terlihat suatu massa jaringan lunak pada atap
nasofaring, umumnya berbatas tegas dan simetris serta
struktur-struktur sekitarnya tak tampak tanda tanda infiltrasi
seperti pada KNF.10
2. Angiofibroma Juvenilis
Biasanya ditemui pada usia relatif muda dengan gejala-gejala
menyerupai KNF yakni epsitaksis dan obstruksi nasal. Tumor ini
kayaakan pembuluh darah dan biasanya tidak infiltratif. Tumor ini
memiliki lokasi tipikal yang terletak di nasal choana dan di
nasofaring dan fossa pterygopalatina. Pada foto polos akan
didapatkan suatu massa pada atap nasofaring yang berbatas tegas.
Proses dapat meluas seperti pada penyebaran karsinoma.Walaupun
jarang menimbulkan destruksi tulang melainkan hanya erosi saja
karena penekanan tumor misalnya pada fossa subtemporal. Biasanya
aliran darah berasal dari arteri pharyngea ascendens. Karena tumor
ini kaya akan dinding vaskuler maka arteriografi karotis eksterna
sangat diperlukan sebab gambarnya sangat karakteristik.14
I. Komplikasi
Metastasis ke kelenjar limfa dan jaringan sekitar merupakan
suatu komplikasi yang selalu terjadi. Pada KNF, sering kali terjadi
komplikasi ke arah nervus kranialis yang bermanifestasi dalam
bentuk :
1. Petrosphenoid sindrom
Tumor tumbuh ke atas ke dasar tengkorak lewat foramen laserum
sampai sinus kavernosus menekan saraf N. III, N. IV, N.VI juga
menekan N.II. yang memberikan kelainan :
a. Neuralgia trigeminus (N. V) : Trigeminal neuralgia merupakan
suatu nyeri pada wajah sesisi yang ditandai dengan rasa seperti
terkena aliran listrik yang terbatas pada daerah distribusi dari
nervus trigeminus.
b. Ptosis palpebra ( N. III )
c. Ophthalmoplegia ( N. III, N. IV, N. VI )
2. Retroparidean sindrom
Tumor tumbuh ke depan kearah rongga hidung kemudian dapat
menginfiltrasi ke sekitarnya. Tumor ke samping dan belakang menuju
ke arah daerah parapharing dan retropharing dimana ada kelenjar
getah bening. Tumor ini menekan saraf N. IX, N. X, N. XI, N. XII
dengan manifestasi gejala :
a. N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor
superior serta gangguan pengecapan pada sepertiga belakang
lidah.
b. N. X : hiper / hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan
laring disertai gangguan respirasi dan saliva.
c. N XI : kelumpuhan / atrofi otot trapezius , otot SCM serta
hemiparese palatum mole
d. N. XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.
Sindrom horner : kelumpuhan N. simpaticus servicalis, berupa
penyempitan fisura palpebralis, onoftalmus dan miosis. Penyebaran
tumor ke anterior dan inferior dapat menyebabkan obstruksi nasi.
Penyebaran ke superior dapat mendestruksi sinus sphenoid hingga
destruksi basis cranii. Gangguan pendengaran terutama tuli
konduktif merupakan komplikasi yang dapat timbul pada pasien dengan
KNF.14
J. Prognosis
Prognosis keseluruhan tidak baik dan angka survival 5 tahunnya
hanya 30%. Hal ini biasa terjadi karena terlambat menegakkan
diagnosis. Dengan pengenalan tanda dan gejala sedini mungkin maka
prognosis dapat membaik.9
Stadium T1 dan T2 memiliki angka kontrol lokoregional yang
tinggi (> 95%) 5-year locoregional control rates. Angka survival
dapat mencapai 7075%. Pada stadium lanjut T3 dan T4, angka kontrol
lokoregionalmencapai secara berturut-turut 70% dan 50%. Angka
survival 5 tahun pasien dengan stadium lanjut yang ditangani
kemoterapi adalah 66% dan dengan radiasi 76%.5
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi, EA. Telinga hidung tenggorok Kepala dan Leher.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007.
2. Asroel, HA. Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma
Nasofaring. Available: 10 Januari 2013
3. Desen W. Buku Ajar Onkologi Klinis Edisi II. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. 2008.
4. Chong VFH, Neoplasm of the nasopharynx In.Hermans R. Head and
neck cancer imaging. Springer 2006 p.143-62
5. Lalwani AK. Chapter 22 benign and malignant lesions of the
oral cavity, oropharynx and nasopharynx In. Current diagnosis and
treatment otolaryngology.The McGraw-Hill Companies. 2007.
p22.1-16
6. Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Chapter 117
nasopharyngeal cancer in Head & neck surgery - otolaryngology,
4th edition. William Lipincot. 2006. p1657-71.
7. Probst R, Grevers G, Iro H. Anatomy, physiology and
immunology of the pharynx and esophagus In. Basic
otorhinolaryngology. Thieme. 2006. p 98-103.
8. Yokochi, Rohen, Decrof. Color atlas of anatomy 4th edition.
Thieme. 2005. p 140.
9. Bull TR. The pharynx and larynx In Color atlas of ENT
diagnosis. Thieme. 2003. p 166-235.
10. Tan L, Loh T. Chapter 99 Benign and malignant tumors of the
nasopharynx In. Flint PW, Haughey BH, Lund VJ. Cummings
otolaryngology head and neck surgery 5th ed. Mosby Elsevier. 2010.
p.1348-61.
11. Averdi Roezin, Aninda Syafril. 2001. Karsinoma Nasofaring.
Dalam: Efiaty A. Soepardi (Ed.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga
Hidung Tenggorok. Edisi kelima. Jakarta: FKUI. Hal.146-50.
12. American Joint Committee on Cancer (AJCC). Cancer Staging
Manual 7th Edition. 2010. VII: 345-76.
13. Pasha R, Yoo GH, Jacobs JR. Chapter 5 head and neck cancer
In. Otolarnygology head and neck surgery a clinical reference
guide. Thomson Learning. 2000. p 259-60.
14. Dhilon RS, East CA. Neoplasia of the nasopharynx In Ear and
nose and throat and head and neck surgery, an illustrated colour
text. Churcil Livingstone. 1999. p.108-9.
21