Page 1
BAB I
PENDAHULUAN
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan
oleh virus (40-60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, toksin dan lain-lain.
Faringitis dapat merupakan gejala infeksi umum dari saluran nafas bagian atas
atau merupakan suatu infeksi local yang spesifik pada laring. Ditandai oleh
adanya nyeri tenggorokan, faring eksudat dan hiperemis, demam, pembesaran
kelenjar getah bening leher dan malaise. Faringitis akut dan tonsillitis akut sering
ditemukan bersama-sama dan dapat menyerang semua umur. Penyakit ini ditular
melalui kontak dari sekret hidung dan ludah.1,2
Faringitis akut memberikan kontribusi 40 juta kunjungan penderita ke
tenaga kesehatan setiap tahunnya. Sebagian besar anak-anak dan orang dewasa
mengalami 3-5 infeksi saluran nafas atas termasuk faringitis akut setiap tahunnya,
dan agen spesifik penyebabnya adalah streptococcus group A.1,2
Faktor resiko lain penyebab faringitis akut yaitu udara yang dingin,
turunnya daya tahan tubuh yang disebabkan infeksi virus influenza, konsumsi
makanan yang kurang gizi, konsumsi alkohol yang berlebihan, merokok, dan
seseorang yang tinggal di lingkungan yang menderita sakit tenggorokan atau
demam.3
Gold standar untuk faringitis akut adalah swab tenggorokkan.2
1
Page 2
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Desi Aulia Alfain
Tempat tanggal lahir : Tegal, 20 Desember 2001
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 14 Tahun
Status pernikahan : Belum menikah
Alamat : Jl. Mangga Raya No.06 RT.01 RW.04 Kel.
Majesem Barat. Kec. Kramat. Kab. Tegal. Jawa
Tengah.
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Islam
Suku bangsa : Jawa
No. RM : 504554
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis pada tanggal
12 Februari 2016 pada pukul 12.00 WIB, bertempat di Lantai 2 bangsal
Lavender Atas Wanita RSUD Kardinah Tegal.
1) Keluhan Utama :
Sulit menelan sejak 2 hari sebelum datang berobat kerumah sakit.
2
Page 3
2) Keluhan Tambahan :
Demam, nyeri kepala, nyeri menelan, bibir pecah-pecah dan
sariawan, lidah kotor.
3) Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke poliklinik THT RSUD Kardinal Tegal, dengan
keluhan sulit menelan sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit
(SMRS). Selain itu pasien juga mengeluh nyeri saat menelan dan
demam serta pusing. 4 hari sebelumnya pasien mengeluhkan
muncul ruam pada kulit disertai bibir pecah, sariawan, dan lidah
tampak kotor. Pasien mengatakan bahwa pasien mengalami
kesulitan makan makanan padat.
4) Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien tidak memiliki riwayat keluhan serupa. Tidak ada riwayat
alergi dan asthma. Riwayat TB paru, dan diabetes mellitus
disangkal.
5) Riwayat Keluarga :
Keluarga pasien tidak memiliki keluhan serupa. Riwayat penyakit
hipertensi, diabetes mellitus, asthma, alergi maupun tumor pada
keluarga disangkal.
6) Riwayat Pengobatan :
Pasien sedang mendapatkan terapi penitoin capsul, defokene syrup,
injeksi ranitidine, injekis clinimic, neurosanbe, paracetamol tablet,
candesartan drop, injeksi ceftriaxone, metilprednisolon, ranitidine,
ceftirizine, kenalog.
7) Riwayat Kebiasaan :
Pasien memiliki kebiasaan mengkonsumsi mie instan dan makanan
pedas.
3
Page 4
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. Keadaan Umum
a. Kesan Sakit : tampak sakit ringan
b. Kesadaran : compos mentis
c. Kesan Gizi : gizi baik
d. BB : 50 kg
e. TB : 160cm
f. BMI : BB/TB (m2) = 50/(1,62) = 19,53 (normal)
g. Tanda Vital
i. Suhu : 36,50 C
ii. Nadi : 60 x/menit
iii. Tekanan darah : 90/60 mmHg
iv. Pernafasan : 16 x/menit
B. Status Generalis
Kepala : Normosefali
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Telinga : Status lokalis
Hidung : Status lokalis
Mulut : Status lokalis
Leher : jejas (-), oedem (-), hematom (-), pembesaran
kelenjar getah bening (-) dan tiroid(-), nyeri tekan (-).
4
Page 5
Thorax
Jantung
Inspeksi : Pulsasi iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Pulsasi iktus kordis teraba di ICS V linea
midklavikularis sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan : ICS IV linea
sternalis dextra
: Batas jantung kiri : ICS V linea
midklavikularis sinistra
: Pinggang jantung : ICS III linea
parsternalis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I, II regular, murmur (-),
gallop (-)
Paru
Inspeksi : simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : vocal fremitus teraba di kedua lapang paru
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : suara nafas vesikuler, wheezing (-/-), rhonki
(-/-)
Abdomen
Inspeksi : supel
Palpasi : nyeri tekan (-), hepar dan limpa tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
5
Page 6
C. Status lokalis
Telinga
KANAN KIRI
Normotia, nyeri tarik
(-), yeri tekan tragus(-)
Daun Telinga Normotia, nyeri tarik
(-), yeri tekan tragus(-)
Hiperemis (-), fistula
(-), oedem (-),
sikatriks (-).
Preaurikuler Hiperemis (-), fistula
(-), oedem (-),
sikatriks (-).
Hiperemis (-), fistula
(-), oedem (-),
sikatriks (-), nyeri
tekan mastoid (-).
Retroaurikuler Hiperemis (-), fistula
(-), oedem (-),
sikatriks (-), nyeri
tekan mastoid (-).
Lapang (-), hiperemis
(-), oedem (-),
discharge (-).
Kanalis Akustikus
Eksternus
Lapang (-), hiperemis
(-), oedem (-),
discharge (-).
Hiperemis (-), warna
putih mengkilat, reflex
cahaya (+).
Membrane Timpani Hiperemis (-), warna
putih mengkilat, reflex
cahaya (+).
Hidung
KANAN KIRI
Bulu hidung (+),
hiperemis (-),benjolan
(-), nyeri (-), secret (-).
Vestibulum Bulu hidung (+),
hiperemis (-),benjolan
(-), nyeri (-), secret (-).
Tidak terlihat. Konka superior Tidak terlihat
Livid (-), hipertrofi (-),
hiperemis (-),
Konka media Livid (-), hipertrofi (-),
hiperemis (-),
6
Page 7
discharge (-). discharge (-).
Livid (-), hipertrofi (-),
hiperemis (-),
discharge (-).
Konka inferior Livid (-), hipertrofi (-),
hiperemis (-),
discharge (-).
Tidak dapat dinilai Meatus nasi medius Tidak dapat dinilai
Tidak dapat dinilai Meatus nasi inferior Tidak dapat dinilai
Lapang Cavum nasi Lapang
Devaisi (-) Septum nasi Devaisi (-)
Sinus paranasal
Sinus frontalis Nyeri tekan (-), nyeri ketuk (-)
Sinus ethmoidalis Nyeri tekan (-), nyeri ketuk (-)
Sinus maksilaris Nyeri tekan (-), nyeri ketuk (-)
Pemeriksaan bibir dan kavum oris
Simetris, sianosis (-), anemis (-), mukosa hiperemis (+), gigi (-), gusi
normal, lidah tampak plak putih, karies (-).
Orofaring
Mulut Trismus (+)
Palatum Simetris, deformitas (-)
Arkus faring Simetris, hiperemis (+)
Mukosa faring Hiperemis (+), oedem (+), secret (-)
Dinding faring posterior Hiperemis (+), post nasal drip (-)
7
Page 8
Uvula Simetris ditengah, hiperemis (-).
Tonsil Ukuran : T1
Warna : hiperemis (-)
Kripta : dalam batas normal
Destritus : -/-
Perlekatan : -/-
Massa : -/-
Kemampuan menelan Makanan padat (-), makanan lunak
(+), air (+)
Pemeriksaan nervus kranialis : tidak dilakukan
Laringioskop indirek : tidak dilakukan
Leher : kelenjar getah bening dan tiroid tidak teraba
membesar
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Foto thorak
Kesan : cor dan pulmo dalam batas normal
2. Kultur swab trachea
Hasil : staphylococcus aureus
8
Page 9
Hasil Sensitivitas
V. DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
1. Diagnosis Kerja
Faringitis akut et cause staphylococcus aureus
2. Diagnosis Banding
Faringitis akut et cause candida
Faringitis akut et cause virus
Faringitis akut et cause streptococcus grop a.
3. Rencana pemeriksaan penunjang tambahan : faringioskopi
9
Page 10
4. Penatalaksanaan
a) Penatalaksanaan farmakologi
Amikasin 2 x 500mg
Infus RL 20
b) Penatalaksanaan non farmakologi
Diet lunak
c) Operatif : -
Saran : konsul ke dokter spesialis kulit, saraf dan penyakit dalam
VI. PROGNOSI
Ad vitam : ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
10
Page 11
BAB III
PEMBAHASAN
Diagnosis pada kasus ini ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang mendukung. Dari hasil
anamnesis didapatkan bahwa pasien mengalami kesulitan menelan, nyeri saat
menelan, nyeri kepala dan demam sejak 2 hari SMRS. Gejala yang pasien rasakan
disebabkan karena reaksi inflamasi yang menyebabkan nyeri, edema mukosa,
hiperemis mukosa yang dapat menyebabkan pasien kesulitan menelan sehingga
berdampak pada gangguan nutrisi.1 Selain itu pasien juga mengeluhkan bibir
pecah-pecah dan sariawan yang disertai lidah tampak kotor 4 hari sebelumnya,
yang menunjukkan bahwa infeksi berasal dari daerah bibir dan lidah.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan hasilnya adalah mukosa bibir
hiperemis, lidah tampak plak putih, arcus faring hiperemis, mukosa faring
hiperemis dan oedem, dan dinding faring posterior hiperemis. Hasil pemeriksaan
penunjang berupa swab trachea menunjukkan hasilnya adalah kuman
staphylococcus aureus, dan hasil sensitivitas antibiotic menunjukkan pasien
resisten terhadap cefotaxime, ampicillin sulbactam, ceftazidine, dan erytromicin.
Hasil swab yang menunjukkan kuman staphylococcus aureus menunjang
diagnosis faringitis sebagai gold standard.2
Berdasarkan data yang dikumpulkan diatas, dapat disimpulkan bahwa
diagnosis pasien ini adalah faringitis akut et cause staphylococcus aureus. Dengan
diagnosis banding faringitis et causa candida, faringitis akut et cause virus, dan
faringitis akut et cause streptococcus group A. Seperti yang diketahui etiologi dari
faringitis dapat disebabkan oleh mikroorganisme seperti streptococcus group A,
candida dan virus. Dengan angka kejadian terbanyak etiologinya disebabkan oleh
bakteri dan virus.
Penatalaksansaan pada pasien terdiri dari medikamentosa dan non
medikamentosa. Terapi medikamentosa pada pasien adalah dengan pemberian
11
Page 12
amikasin 600 mg dengan infus RL 20 tetes per 12 jam. Pemberian obat diberikan
karena pasien telah resistensi terhadap golongan sephalosforin generasi 3,
kombinasi dan makrolit, sehingga dipertimbangkan untuk pemberian golongan
aminoglikosida. Resistensi yang terjadi pada pasien kemungkinan disebabkan
karena terjadi kegagalan kerja obat dalam mencapai target, terjadi inaktivasi obat
atau perubahan target kerja antibiotic.4 Untuk non medikamentosa adalah diet
makanan lunak.
12
Page 13
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
I. FARING-ESOFAGUS
1. Anatomi Faring
Faring adalah suatu kantong fibromuskular yang berbentuk seperti
corong, yang besar dibagian atas dan sempit dibagian bawah serta
terletak pada bagian anterior kolum vertebra. Kantong ini mulai dari
dasar tengkorak terus menyambung ke esophagus setinggi vertebra
servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung
melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui
ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan
melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esophagus.
Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14
cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang.
Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia
faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal.
Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring
(hipofaring). Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir
(mukosa blanket) dan otot.1
2. Mukosa & Palut Lendir (Mucous Blanket)
Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada
nasofaring, karena fungsinya untuk respirasi, maka mukosanya
bersilia, sedangkan epitelnya berlapis torak dengan sel goblet. Pada
orofaring dan laringofaring, karena fungsinya untuk saluran cerna,
epitelnya gepeng berlapis dan tidak bersilia.1
Dibagian atas, nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang terletak di
atas silia dan bergerak sesuai dengan arah gerak silia ke belakang.
Palut lendir ini berfungsi untuk menangkap partikel kotoran yang
13
Page 14
terbawa oleh udara yang diisap. Palut lendir ini mengandung enzim
Lyzozyme yang penting untuk proteksi.1
3. Otot
Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan
memanjang (longitudinal). Otot-otot yang sirkular terdiri dari
m.konstriktor faring superior, media dan inferior. Otot-otot ini terletak
di sebelah luar dan bekerja untuk mengecilkan lumen faring. Otot-otot
ini dipersafari oleh n.vagus (n.X).1
Otot-otot longitudinal terdiri atas m.stilofaring dan m.palatofaring.
Otot-otot ini terletak di sebalah dalam. Kedua otot ini berfungsi
sebagai elevator dimana m.stilofaring berguna untuk melebarkan
faring dan menarik laring, sedangkan m.palatofaring mempertemukan
ismus orofaring dan menaikkan bagian bawah faring dan laring. Kerja
kedua otot ini penting pada waktu menelan. M.stilofaring dipersafari
oleh n.IX, sedangkan m. Palatofaring dipersarafi oleh n.X.1
Pada palatum mole terdapat lima pasang otot yang dijadikan saatu
dalam satu sarung fasia dari mukosa yaitu m.levator veli palatini,
m.tensor veli palatini, m.palatoglosus, m.palatofaring dan m.aziogos
uvula. 1
4. Pendarahan
Faring mendapat darah yang utama berasal dari cabang a.karotis
eksterna (cabang faring ascendens dan cabang fausial) serta dari
cabang a.maksila interna yakni cabang palatina superior.1
5. Persarafan
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus
faring yang ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang faring dari
n.vagus, cabang dari n.glosofaring dan serabut simpatis.1
6. Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atasnya adalah
palatum mole, batas bawah adalah tepi atas epiglotis, ke depan adalah
rongga mulut, sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal. 14
Page 15
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior
faring, tonsil palatina, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan
posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum.1
7. Anatomi Esofagus
Makroskopis
Esofagus adalah suatu organ berbentuk silindris berongga dengan
panjang sekitar 25 cm terbentang dari hipofaring, kemudian melewati
diafragma melalui hiatus diafragma (vertebra torakal 10) hingga ke
daerah pertemuan esofagus dan lambung dan berakhir di orifisum
kardia lambung (vertebra torakal 11). Esofagus memiliki diameter
yang bervariasi tergantung ada tidaknya bolus makanan atau cairan
yang melewatinya. Lumen esofagus dapat melebar kurang lebih 2 cm
di bagian anterior dan posterior serta ke 3 cm ke lateral untuk
memudahkan dalam proses menelan makanan.5,6 (gambar 1)
Gambar 1. Anatomi Esofagus
Esofagus dibagi menjadi 3 bagian yaitu, servikal, torakal dan
abdominal. Esofagus servikal merupakan segmen yang pendek, dimulai
dari pertemuan faring dan esofagus menuju ke suprasternal notch sekitar
4-5 cm, di bagian depannya dibatasi oleh trakea, belakang oleh vertebra
dan di lateral dibatasi oleh carotid sheaths dan kelenjar tiroid. Kemudian
15
Page 16
dilanjutkan esofagus torakal yang memanjang dari suprasternal notch ke
dalam hiatus diafragma. Pada bagian torakal dapat dibagi lagi menjadi 3
bagian yaitu: esofagus torakal bagian atas yang memanjang pada level
margin superior dari manubrium sterni ke level margin inferior dari
percabangan trakea, esofagus torakal bagian tengah yang memanjang dari
level margin inferior percabangan trakea sampai dengan daerah
pertengahan antara percabangan trakea dan daerah pertemuan esofagus-
lambung, terakhir esofagus torakal bagian bawah yang memanjang dari
daerah pertengahan tersebut sampai level diafragma. Esofagus abdominal
memanjang dari hiatus diafragma hingga ke orifisium dari kardia
lambung.5 (gambar 2)
Gambar 2. Pembagian esofagus
Pada esofagus terdapat 2 daerah bertekanan tinggi yang berfungsi
untuk mencegah terjadinya aliran balik dari makanan yaitu: sfingter
esofagus atas dan bawah. Sfingter esofagus atas terletak diantara faring
dan esofagus servikal. Sedangkan sfingter esofagus bawah terletak pada
perbatasan antara esofagus dan lambung. Kedua sfingter tersebut selalu
dalam keadaan tertutup kecuali saat ada makanan yang melewatinya.5
16
Page 17
Esofagus servikal dan sfingter esofagus atas mendapatkan suplai
darah dari cabang arteri tiroid inferior, sedangkan esofagus torakal
mendapatkan suplai darah dari sepasang arteri esofageal aorta atau cabang
terminal dari arteri bronkial. Esofagus abdominal dan daerah esofagus
bagian bawah mendapatkan suplai darah arteri gastrika kiri dan arteri
phrenika kiri.5
Lapisan otot yang membentuk esofagus adalah serabut longitudinal
di bagian luar dan serabut sirkuler di bagian dalam. Serabut longitudinal
melapisi hampir keseluruhan bagian luar dari esofagus kecuali pada daerah
3-4 cm di bawah kartilago krikoid. Serabut longitudinal pada esofagus
lebih tebal daripada serabut sirkuler. Pada sepertiga atas esofagus, kedua
lapisan otot tersebut adalah otot bergaris, di bagian tengah adalah transisi
dari otot bergaris ke otot polos, dan pada sepertiga bawah keseluruhannya
terdiri dari otot polos. Otot bergaris dan polos pada esofagus terutama
diinervasi oleh cabang dari nervus vagus.5
8. Mikroskopis
Dinding esofagus terdiri dari 4 lapisan yaitu : mukosa, submukosa,
lapisan otot dan jaringan fibrous. Berbeda dengan daerah lain pada
saluran pencernaan, esofagus tidak memiliki lapisan serosa. Hal ini
menyebabkan esofagus lebih sensitif terhadap trauma mekanik.5
(gambar 3)
Mukosa
Mukosa esofagus terdiri dari 3 lapisan yaitu membran mukosa,
lamina propria dan mukosa muskularis. Membran mukosa dibentuk oleh
epitel skuamus bertingkat tidak berkeratinisasi yang merupakan kelanjutan
dari epitel di faring dan melapisi seluruh permukaan esofagus bagian
dalam kecuali pada daerah pertemuan esofagus dan lambung yang
dibentuk oleh epitel skuamus dan kolumnar. Epitel pada esofagus
memiliki fungsi utama untuk melindungi jaringan di bawahnya. Lamina
17
Page 18
propria merupakan jaringan ikat yang terdiri dari serat kolagen dan elastin
serta pembuluh darah dan saraf. Mukosa muskularis adalah lapisan tipis
otot polos yang terdapat pada seluruh bagian esofagus, semakin ke
proksimal semakin tipis dan semakin ke distal semakin tebal.5 (gambar 3)
Gambar 3. Histologi mukosa esofagus
Submukosa
Submukosa esofagus menghubungkan membran mukosa dan
lapisan muskularis yang terdiri dari limfosit, sel plasma, sel-sel saraf
(pleksus Meissner’s), jaringan vaskular (pleksus Heller) dan kelenjar
mukosa. Kelenjar mukosa ini menghasilkan mukus untuk lubrikasi
jalannya makanan di dalam esofagus. Selain itu sekresi dari kelenjar
esofagus ini sangat penting untuk pembersihan dan pertahanan jaringan
terhadap asam.5 (gambar 3)
Muskularis propria
Lapisan ini memiliki fungsi motorik, terdiri dari otot longitudinal
di bagian luar dan sirkuler di bagian dalam. Pada esofagus bagian atas
komposisinya sebagian besar terdiri otot bergaris dan bagian bawah
18
Page 19
sebagian besar terdiri dari otot polos. Di antaranya terdapat campuran dari
kedua macam otot tersebut yang disebut dengan zona transisi.5 (gambar 3)
Jaringan fibrous
Jaringan fibrous adalah jaringan yang melapisi esofagus dari luar
dan menghubungkan esofagus dengan struktur-struktur di sekitarnya.
Komposisinya terdiri dari jaringan ikat, pembuluh darah kecil, saluran
limfatik dan serabut-serabut saraf.5 (gambar 3)
II. FISIOLOGI MENELAN
Menurut kamus, deglutisi atau deglutition merupakan proses
menelan makanan. Menelan merupakan sebuah proses yang kompleks,
melibatkan memerlukan setiap organ bekerja secara terintegrasi dan
berkesinambungan. Secara garis besar pada proses menelan terjadi
pemindahan bolus makanan dari kavum oris kedalam lambung. Dalam
proses ini akan terjadi hal-hal sebagai berikut, (1) pembentukan bolus
makanan dengan ukuran dan konsistensi yang baik, (2) upaya sfingter
mencegar terhamburnya bolus ini dalam fase-fase menelan, (3)
mempercepat masuknya bolus makanan ke delam faring saat respirasi, (4)
mencegah masuknya makanan dan minuman ke dalam nasofaring dan
laring, (5) kerjasama yang baik dari otot-otot di rongga mulut untuk
mendorong bolus makanan ke arah lambung, (6) usaha untuk
membersihkan kembali esofagus. Proses ini terbagi menjadi 3 fase: fase
oral, fase faringeal dan fase esofageal.1,7
Fase Oral
Fase oral merupakan pemrosesan bolus makanan dari mulut
menuju faring1,7 Fase ini terjadi secara sadar.
19
Page 20
Kontraksi m.levator veli palatini
Ujung lidah terangkat ke bagian anterior palatum durum
Bolus makanan terdorong ke posterior, nasofaring menutup
akibat kontraksi m.levator veli palatini
Kontraksi m.palatoglosus sehingga isthmus faucium
tertutup dan kontraksi m.palatofaring sehingga bolus tidak
berbalik ke rongga mulut1
Fase Faringeal
Pada fase faringeal terjadi perpindahan bolus makanan dari faring
menuju esofagus. Fase ini terjadi secara refleks pada akhir fase oral.1,7
Faring dan laring bergerak ke atas oleh kontraksi m.stilofaring,
m.salfongofaring,m.tiroihioid, dan m.palatofaring
Aditus laring tertutup oleh epiglotis
Kontraksi m.ariepiglotika dan m.aritenoid obliqus. Plika ariepiglotika,
plika ventrikularis, dan plika vokalis tertutup
Penghentian udara ke laring karena reflex yang menghambat pernapasan
Bolus makanan tidak masuk ke dalam saluran napas,
20
Page 21
Bolus makanan ke arah esofagus karena valekula dan sinus
piriformis dalam keadaan lurus1
Gambar 4. Fase Faringeal
Fase Esofageal
Fase esofageal ialah fase perpindahan bolus makanan dari esofagus
ke dalam lambung. Dalam keadaan istirahat introitus esofagus selalu
tertutup. Akan tetapi, dengan adanya rangsangan bolus makanan pada
21
Page 22
akhir fase faringeal, maka m.krikofaring relaksasi, sehingga introitus
esofagus terbuka dan bolus makanan masuk ke dalam esofagus.1
Setelah bolus makanan lewat, maka sfingter akan berkontraksi
lebih kuat, melebihi tonus introitus esofagus pada waktu istirahat,
sehingga makanan tidak akan kembali ke faring dan refluks dapat
dihindari. Selanjutnya bolus makanan akan didorong ke distal oleh
gerakan peristaltik esofagus.1
Dalam keadaan istirahat sfingter esofagus bagian bawah selalu
tertutup sehingga tidak akan terjadi regurgitasi isi lambung. Sfingter akan
terbuka pada akhir fase esofageal secara refleks ketika dimulainya
peristaltik esofagus servikal untuk mendorong bolus makanan ke distal.
Sfingter akan kembali tertutup setelah bolus makanan lewat.1
III. FARINGITIS AKUT
A. DEFINIS
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat
disebabkan oleh virus (40-60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, toksin
dan lain-lain. Faringitis dapat merupakan gejala infeksi umum dari saluran
nafas bagian atas atau merupakan suatu infeksi local yang spesifik pada
laring. Ditandai oleh adanya nyeri tenggorokan, faring eksudat dan
hiperemis, demam, pembesaran kelenjar getah bening leher dan malaise.
Faringitis akut dan tonsillitis akut sering ditemukan bersama-sama dan
dapat menyerang semua umur. Penyakit ini ditular melalui kontak dari
sekret hidung dan ludah.1,2
B. ETIOLOGI
Penyebab tersering faringitis akut ialah kuman-kuman golongan
Streptococcus B hemoliticus, Streptococcus viridans serta golongan
pyogenes. Penyebab lain adalah oleh infeksi virus yaitu adenovirus,
22
Page 23
ECHO, virus influenza, serta Herpes. Cara infeksi ialah oleh percikan
ludah (droplet infektion).
Tabel 1. Etiologi faringitis akut
Pathogen
Viral
• Rhinovirus (100 types and 1 subtype)
• Coronavirus (3 or more types)
• Adenovirus (types 3, 4,7, 14 and 21)
• Herpes simplex virus (types 1 and 2)
• Parainfluenza virus (types 1-4)
• Influenzavirus (types A and B)
• Coxsackivirus A (types 2, 4-6, 8 and 10)
• Epstein-Barr virus
• Cytomegalovirus
• Human immunodeficiency virus type I
Bakteri
Streptococcus pyogenes (group A b-hemolytic streptococci)
• Group C b-hemolytic streptococci
• Neisseria gonorrhoeae
• Corynebacterium diphtheria
• Arcanobacterium haemolyticum
Chlamydial
23
Page 24
• Chlamydia penumoniae
Mycoplasmal
• Mycoplasma pneumonia
C. EPIDEMIOLOGI
Frekuensi
Faringitis akut memberikan konstribusi sebanyak 40 juta kunjungan
penderita berobat ke tenaga kesehatan tiap tahunnya. Sebagian besar anak-
anak dan orang dewasa mengalami 3-5 infeksi saluran nafas atas
(termasuk didalamnya faringitis akut) tiap tahunnya.2
Mortalitas
Faringitis akut merupakan salah satu penyebab terbesar absensi anak di
sekolah dan absensi di tempat kerja bagi orang dewasa karena dapat
mengganggu aktivitas.2
Ras
Faringitis akut dapat mengenai semua golongan ras dan suku bangsa
secara merata.2
Jenis Kelamin
Faringitis akut dapat mengenai kedua jenis kelamin dalam komposisi yang
sama.2
Usia
Faringitis akut mengenai semua golongan usia, terutama mengenai anak-
anak.2
24
Page 25
D. PATOFISIOLOGI
Pada faringitis yang disebabkan infeksi, bakteri ataupun virus
dapat secara langsung menginvasi mukosa faring dan akan menyebabkan
respon inflamasi lokal. Kuman akan menginfiltrasi lapisan epitel, lalu
akan mengikis epitel sehingga jaringan limfoid superfisial bereaksi dan
akan terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit
polimorfonuklear. Pada stadium awal mukosa faring akan hiperemis,
kemudian edema dan sekresi yang meningkat. Pada awalnya eksudat akan
bersifat serosa dan kemudian akan menebal dan cenderung menjadi kering
sehingga akan melekat pada dinding faring. Dengan keadaan hiperemis,
pembuluh darah dinding faring akan melebar. Bentuk sumbatan yang
berwarna kuning, putih atau abu-abu akan didapatkan di dalam folikel atau
jaringan limfoid. Tampak bahwa folikel limfoid dan bercak-bercak pada
dinding faring posterior atau yang terletak lebih ke lateral akan meradang
dan membengkak. Virus-virus seperti Rhinovirus dan Coronavirus dapat
menyebabkan iritasi sekunder pada mukosa faring akibat sekresi nasal.1,2
E. FAKTOR RESIKO
Faktor resiko penyebab faringitis akut yaitu udara yang dingin,
turunnya daya tahan tubuh yang disebabkan infeksi virus influenza,
konsumsi makanan yang kurang gizi, konsumsi alkohol yang berlebihan,
merokok, dan seseorang yang tinggal di lingkungan yang menderita sakit
tenggorokan atau demam.3
F. PENEGAKAN DIAGNOSIS
a) Diagnosis Klinis
Diagnosis faringitis ditegakkan berdasarkan anamnesis yang
cermat, pemeriksaan fisik mulai dari status general sampai status
local dan pemeriksaan penunjang bila diperlukan. Pada faringits
dapat dijumpai faring yang hiperemis, eksudat, tonsil yang
25
Page 26
membesar dan hiperemis, pembesaran kelenjar getah bening
dileher.1,2
Tabel 2. Perbedaan faringitis virus dan bakteri
Faringitis virus Faringitis bakteri
Tidak ditemukan nanah
ditenggorokan
Sering ditemukan nanah
ditenggorokan.
Demam ringan atau tanpa
demam
Demam ringan sampai sedang
Jumlah sel darah putih normal
atau agak meningkat
Jumlah sel darah putih
meningkat ringan sampai sedang
Kelenjar getah bening normal
atau sedikit membesar
Pembengkakkan ringan sampai
sedang kelenjar getah bening
Swab tenggorok memberikan
hasil negative
Swab tenggorokan menunjakkan
hasil positive
Biakan laboratorium tidak
ditemukan pertumbuhan kuman
Biakan laboratorium ditemukan
pertumbuhan bakteri
Pemeriksaan Penunjang
Faringitis didiagnosis dengan cara pemeriksaan
tenggorokan (kultur apus tenggorokan). Pemeriksaan kultur
memiliki sensitivitas 90−95% dari diagnosis, sehingga lebih
diandalkan sebagai penentu penyebab faringitis yang diandalkan.8
Kultur tenggorokan merupakan suatu metode yang
dilakukan untuk menegaskan diagnosis dari faringitis yang
disebabkan oleh bakteri Group A Beta-Hemolytic Streptococcus
(GABHS). Group A Beta-Hemolytic Streptococcus (GABHS)
26
Page 27
rapid antigen detection test merupakan suatu metode untuk
mendiagnosa faringitis karena infeksi GABHS. Tes ini akan
menjadi indikasi jika pasien memiliki risiko sedang atau jika
seorang dokter memberikan terapi antibiotik dengan risiko tinggi
untuk pasien. Jika hasil yang diperoleh positif maka pengobatan
diberikan antibiotik dengan tepat namun apabila hasilnya negatif
maka pengobatan antibiotik dihentikan kemudian dilakukan
follow-up.8
Untuk mencapai hasil yang akurat, pangambilan apus
tenggorok dilakukan pada daerah tonsil dan dinding faring
posterior. Spesimen diinokulasi pada agar darah dan ditanami
pada disk antibiotik. Kriteria standar untuk penegakan diagnosis
infeksi GABHS adalah persentase sensitifitas mencapai 90−99%.
Kultur tenggorok sangat penting bagi penderita yang lebih dari
sepuluh hari.8
G. PENATALAKSANAN
Terapi pada penderita faringitis viral dapat diberikan aspirin atau
asetaminofen untuk membantu mengurangi rasa sakit dan nyeri pada
tenggorokan. Penderita dianjurkan untuk beristirahat di rumah dan
minum yang cukup. Kumur dengan air hangat. Faringitis yang
disebabkan oleh virus dapat sembuh sendiri.1,2
Terapi untuk faringitis bakterial diberikan antibiotik terutama bila
diduga penyebab faringitis akut ini grup A Streptokokus β hemolitikus.
Dapat juga diberikan Penicilin G Banzatin 50.000 U/kgBB, IM dosis
tunggal, atau amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3 kali/hari selama
10 hari dan pada dewasa 3 x 500mg selama 6-10 hari, jika pasien
alergi terhadap penisilin maka diberikan eritromisin 4x500 mg/hari.
Kumur dengan air hangat atau antiseptik beberapa kali sehari.1
27
Page 28
Faringitis yang disebabkan Candida dapat diberikan Nystasin
100.00 – 400.000 2 kali/hari dan faringitis yang disebabkan Gonorea
dapat diberikan Sefalosporin generasi ke-3, Ceftriakson 250mg secara
injeksi intramuscular.1
H. KOMPLIKASI
Komplikasi umum pada faringitis termasuk sinusitis, otitis media,
epiglottitis, mastoiditis, dan pneumonia. Faringitis yang disebabkan
infeksi streptokokus jika tidak diobati dapat menyebabkan demam
reumatik akut, peritonsillar abses, peritonsillar cellulitis, abses
retrofaringeal, toxic shock syndrome dan obstruksi saluran pernasafan
akibat dari pembengkakan laring. Demam reumatik akut dilaporkan
terjadi pada1 dari 400 infeksi GABHS yang tidak diobati.1,2
I. PROGNOSIS
Prognosis untuk faringitis akut sangat baik pada beberapa kasus.
Biasanya faringitis akut sembuh dalam waktu 10 hari, namun harus
berhati-hati dengan komplikasi yang berpotensi terjadi.2
IV. MEKANISME RESISTENSI ANTIBIOTIK
Obat-obat antimikroba tidak efektif terhadap semua
mikroorganisme. Spektrum aktivitas setiap obat merupakan hasil
gabungan dari beberapa faktor, dan yang paling penting adalah mekanisme
kerja obet primer. Demikian pula fenomena terjadinya resistensi obat tidak
bersifat universal baik dalam hal obat maupun mikroorganismenya.4
Perubahan-perubahan dasar dalam hal kepekaan mikroorganisme
terhadap antimikroba tanpa memandang faktor genetik yang mendasarinya
adalah terjadinya keadaan-keadaan sebagai berikut :
28
Page 29
1. Dihasilkannya enzim yang dapat menguraikan antibiotic seperti enzim
penisilinase, sefalosporinase, fosforilase, adenilase dan asetilase.
2. Perubahan permeabilitas sel bakteri terhadap obat.
3. Meningkatnya jumlah zat-zat endogen yang bekerja antagonis terhadap
obat.
4. Perubahan jumlah reseptor obat pada sel bakteri atau sifat komponen
yang mengikat obat pada targetnya.
Tabel 3. Mekanisme resistensi antibiotik
Perubahan target
Modifikasi menjadi insensitif
Penurunan fungsi fisiologik dari target
Sintesis enzim
Pencegahan mencapai target
Efflux obat
Kegagalan obat memasuki sel
Inaktivasi antibiotik
Destruksi obat
Modifikasi obat sehingga gagal berikatan dengan target
Kegagalan dalam mengubah bentuk prekursor inaktif menjadi aktif
Resistensi bakteri dapat terjadi secara intrinsik maupun didapat.
Resistensi intrinsic terjadi secara khromosomal dan berlangsung melalui
multiplikasi sel yang akan diturunkan pada turunan berikutnya. Resistensi
29
Page 30
yang didapat dapat terjadi akibat mutasi khromosomal atau akibat transfer
DNA.4
Sifat resistensi terhadap antibiotik melibatkan perubahan genetik
yang bersifat stabil dan diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya,
dan setiap proses yang menghasilkan komposisi genetik bakteri seperti
mutasi, transduksi (transfer DNA melalui bakteriofaga), transformasi
(DNA berasal dari lingkungan) dan konjugasi (DNA berasal dari kontak
langsung bakteri yang satu ke bakteri lain melalui pili) dapat menyebabkan
timbulnya sifat resisten tersebut. Proses mutasi, transduksi dan
transformasi merupakan mekanisme yang terutama berperan di dalam
timbulnya resistensi antibiotik pada bakteri kokus Gram positif, sedangkan
pada bakteri batang Gram negatif semua proses termasuk konjugasi
bertanggung jawab dalam timbulnya resistensi.4
Telah diketahui lebih dari dua dekade bahwa penyebaran sifat
resisten secara cepat dan luas dapat terjadi di antara spesies bakteri yang
sama maupun yang berbeda, bahkan juga di antara genus yang berbeda
melalui perantaraan plasmid (faktor R).4
Pada resistensi dengan perantaraan plasmid, mikroorganisme
mendapatkan kemampuan tambahan dalam bentuk produksi enzim dan
pada mutasi terjadi perubahan struktur di dalam sel bakteri.4
Resistensi akibat mutasi.
Seperti proses mutasi khromosom yang lain, mutasi yang
menimbulkan keadaan resisten terhadap antibiotik juga merupakan
peristiwa spontan, terjadi secara acak, tidak dipengaruhi frekuensinya oleh
kondisi seleksi atau antibiotik, kecuali antibiotik tersebut sendiri adalah
mutagen yang mampu meningkatkan angka mutasi.4
Perubahan yang terjadi pada mutasi biasanya mengenai satu
pasangan basa pada urutan nukleotida gen.4
30
Page 31
Mutasi khromosom mengakibatkan perubahan struktur sel bakteri
antara lain perubahan struktur ribosom yang berfungsi sebagai “target
site”, perubahan struktur dinding sel atau membran plasma menjadi
impermeabel terhadap obat, perubahan reseptor permukaan dan hilangnya
dinding sel bakteri menjadi bentuk L (“L-form”) atau sferoplast.
Penggunaan antibiotik secara luas dan dalam jangka waktu yang lama
merupakan proses seleksi, sehingga galur mutan akan bekembang biak
menjadi dominan di dalam populasi.
Resistensi dengan perantaraan plasmid.
Plasmid R ditemukan sekitar tahun 1960-an dan telah menyebar
luas pada populasi bakteri komensal maupun patogen. Plasmid adalah
elemen genetik ekstrakromosom yang mampu mengadakan replikasi
secara otonom. Pada umumnya plasmid membawa gen pengkode resisten
antibiotik. Resistensi yang diperantarai oleh plasmid adalah resistensi yang
umum ditemukan pada isolat klinik. Gen yang berlokasi pada plasmid
lebih mobil bila dibandingkan dengan yang berlokasi pada kromosom.
Oleh karena itu gen resistensi yang berlokasi pada plasmid dapat ditransfer
dari satu sel ke sel lain.4
Sifat resistensi dengan perantaraan plasmid biasanya berhubungan
dengan sintesis protein yang bekerja secara enzimatik merusak obat atau
memodifikasi obat menjadi bentuk yang tidak bersifat bakteriostatik-
bakterisid.4
Tabel 4. Beberapa antimikroba dan mekanisme resistensi dengan
perantaraan plasmid.
Jenis antimikroba Mekanisme resistensi perantaraan
plasmid
Antibiotik β-laktam : β- laktamase
31
Page 32
penisilin, sefalosporin
Aminoglikosida
Kloramfenikol
Streptomisisn, spektinomisin
Tetrasiklin
Eritromisisn
N-asetilase, fosforilase
Asetil transferase
Fosforilase
Perubahan sistem transport
Perubahan “ribosom binding site”
Resistensi dengan perantaraan transposon.
Transposon dapat berupa insertion sequence dan transposon
kompleks. Transposon adalah struktur DNA yang dapat bermigrasi
melalui genom suatu organisme. Struktur ini bisa merupakan bagian dari
plasmid dan bakteriofaga tapi dapat juga berasal dari khromosom bakteri.4
Insertion sequence = IS (simple transposon) adalah elemen DNA
yang bersifat mobile pada bakteri, biasanya hanya mengandung gen
transposase. Struktur ini dapat mengubah urutan DNAnya sendiri dengan
memotong dari lokasi DNA dan pindah ke tempat lain. Akibatnya IS
menyebabkan susunan genom berubah, terjadi delesi, inversi, duplikasi
dan fusi replikasi.4
Transposon kompleks dapat berupa bagian dari plasmid tetapi juga
dapat terjadi pada genom bakteri. Transposon terdiri dari gen yang
mengkode enzim yang dapat memotong DNAnya sendiri sehingga dapat
berpindah ketempat lain. Transposon kompleks mengandung satu gen atau
lebih dengan fungsi yang berbeda-beda.4
Bila transposon yang mengandung gen resisten mengadakan insersi
pada plasmid maka akan dipindahkan ke sel lain. Dengan demikian bila
plamid mampu bereplikasi sendiri pada inang yang baru atau bila
transposon pindah ke plasmid yang mampu mengadakan replikasi atau
32
Page 33
mengadakan insersi pada khromosom maka sel ini menjadi resisten
terhadap antibiotik4
33
Page 34
BAB V
KESIMPULAN
Faringitis akut adalah peradangan akut pada mukosa faring yang
disebabkan oleh mikroorganisme antara lain rhinovirus, streptococcus
group A, candida dan lain-lain. Gambaran klinis pada pasien faringitis
akut adalah tampak mukosa faring hiperemis dan edema. Gejala yang
sering muncul adalah rasa tidak nyaman pada tenggorokkan yang
disertai kesulitan menelan sampai demam. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Terapi
yang diberikan untuk mengatasi kausalnya adalah dengan antibiotic
dan simptomatiknya adalah analgesic. Komplikasi yang terjadi bisa
berupa otitis media, sinusitis, demam rematik sampai kelainan katub.
34
Page 35
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, Buku Ajar Ilmu
Kesehatan : Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. 7th ed.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Indonesia; 2012, p.212-25.
2. Acerra J, Pharyngitis. Available at:
http//emedicine.medscape.com/article/764304-overview#a1. Accessed
on : February 15, 2016.
3. Mayoclinic. Diseases and Conditions Sore Throat. Available at:
http//www.mayoclinic.org/disease-conditions/sore-throat/basics/risk-
factors/con-20027360. Accessed on: February 17, 2016.
4. Sudigdoadi S, Mekanisme Timbulnya Resistensi Antibiotik pada
Infeksi Bakteri. Available at:
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/09/mekanisme-
timbulnya-resistensi-antibiotik-pada-infeksi-bakteri.pdf. Acceseed on:
February 17, 2016.
5. Falerina R, Juniati SH. Mekanisme Pertahanan Mukosa Esofagus
Terhadap Asam. Jurnal THT-KL Universitas Airlangga. Jan 2001; 1(1)
6. Digestive Disorders Health Centre. Available at :
http://www.webmd.com/digestive-disorders/picture-of-the-esophagus.
Accessed on : July 29, 2015
7. Malagelada JR, Bazzoli F, Elewaut A, Fried M, Krabshuis JH et al.
World Gastroenterology Practice Guidelines : Dysphagia. Available
at :
http://www.worldgastroenterology.org/assets/downloads/en/pdf/guideli
nes/08_dysphagia.pdf. Accessed on : July 28,2015
8. Choby B.A. Diagnostic and Treatment of Streptococal Pharyngitis.
Available at: http://www.aafp.org/afp/2009/0301/p383.html. Accessed
on: February 18, 2016.
35