BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Koloid Dalam larutan sejati, seperti larutan gula atau larutan garam,partikel zat terlarut mengandung ion atau molekul tunggal. Pada sisi lain ada yang disebut dengan suspensi,yang mana partikelnya mengandung lebih dari satu molekul dan cukup besar untuk dilihat oleh mata atau dibawah mikroskop .Diantara keduanya akan ditemukan suatu koloid,yang mana partikelnya mungkin mengandung lebih dari satu molekul tetapi tidak cukup besar untuk dapat dilihat dengan mikroskop biasa (Laider,1982). Partikel – paritkel yang terletak dalam jarak ukuran koloidal mempunyai luas permukaan yang sangat besar dibanding dengan luas permukaan partikel – partikel yang lebih besar dengan volume yang sama. (Moechtar,1989) Diameter partikel dalam larutan sejati lebih kecil dari 1 mμ. Bila diameter partikel – partikel dalam larutan terletak diantara 1- 100 mμ ,sistem disebut campuran kasar atau dispersi kasar (Sukardjo,1997). Sistem dispersi adalah sistem dimana suatu zat terbagi halus atau terdispersi dalam zat lain, koloid merupakan suatu sistem dispersi, karena terdiri dari dua fasa, yaitu fasa terdispersi (fasa yang tersebar halus) dan fasa pendispersi. Fase terdispersi umumnya memiliki jumlah yang lebih kecil atau mirip dengan zat terlarut dan fasa pendispersi jumlahnya lebih besar atau mirip pelarut dalam suatu larutan(Yazid,2005). Zat yang terdispersi tersebut berjarak ukuran antara dimensi partikel – partikel atomik dan molekular sampai partikel – partikel yang berukuran milimeter, ukurannya dapat diklasifikasikan baik yang sebagai membentuk dispersi molekular maupun dispersi koloidal. Beberapa suspensi dan emulsi dapat mengandung suatu jarak ukuran partikel sedemikian sehingga partikel – partikel nya yang kecil masuk dalam jarak koloidal,sedangkan yang besar – besar dapat diklasifikasikan sebagai partikel – partikel kasar (Moechtar,1989). Universitas Sumatera Utara
18
Embed
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - repository.usu.ac.idrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33774/4/Chapter II.pdf · larutan terletak diantara 1- 100 mµ ,sistem disebut campuran kasar
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Koloid
Dalam larutan sejati, seperti larutan gula atau larutan garam,partikel zat terlarut
mengandung ion atau molekul tunggal. Pada sisi lain ada yang disebut dengan
suspensi,yang mana partikelnya mengandung lebih dari satu molekul dan cukup besar
untuk dilihat oleh mata atau dibawah mikroskop .Diantara keduanya akan ditemukan
suatu koloid,yang mana partikelnya mungkin mengandung lebih dari satu molekul
tetapi tidak cukup besar untuk dapat dilihat dengan mikroskop biasa (Laider,1982).
Partikel – paritkel yang terletak dalam jarak ukuran koloidal mempunyai luas
permukaan yang sangat besar dibanding dengan luas permukaan partikel – partikel
yang lebih besar dengan volume yang sama. (Moechtar,1989) Diameter partikel
dalam larutan sejati lebih kecil dari 1 mµ. Bila diameter partikel – partikel dalam
larutan terletak diantara 1- 100 mµ ,sistem disebut campuran kasar atau dispersi kasar
(Sukardjo,1997).
Sistem dispersi adalah sistem dimana suatu zat terbagi halus atau terdispersi
dalam zat lain, koloid merupakan suatu sistem dispersi, karena terdiri dari dua fasa,
yaitu fasa terdispersi (fasa yang tersebar halus) dan fasa pendispersi. Fase terdispersi
umumnya memiliki jumlah yang lebih kecil atau mirip dengan zat terlarut dan fasa
pendispersi jumlahnya lebih besar atau mirip pelarut dalam suatu larutan(Yazid,2005).
Zat yang terdispersi tersebut berjarak ukuran antara dimensi partikel – partikel atomik
dan molekular sampai partikel – partikel yang berukuran milimeter, ukurannya dapat
diklasifikasikan baik yang sebagai membentuk dispersi molekular maupun dispersi
koloidal. Beberapa suspensi dan emulsi dapat mengandung suatu jarak ukuran partikel
sedemikian sehingga partikel – partikel nya yang kecil masuk dalam jarak
koloidal,sedangkan yang besar – besar dapat diklasifikasikan sebagai partikel –
partikel kasar (Moechtar,1989).
Universitas Sumatera Utara
2.1.1.Penggolongan Koloid
Menurut Bird (1993),cara penggolongan koloid yang lebih umum adalah:
1. Dispersi koloid, sistem ini terjadi secara termodinamik tidak stabil karena nisbah
permukaan volume yang sangat besar.
2 . Larutan koloid sejati, yang terjadi dari larutan dengan zat terlarut yang berat
Molekulnya tinggi (makromolekul seperti protein ,karbohidrat, dan sebagainya)
sistem ini secara termodinamik stabil.
3. Koloid asosiasi (Association colloid) (kadang-kadang dinamakan koloid elektrolit
(colloid electrolyte). Sistem ini terdiri dari molekul – molekul yang berat
molekulnya rendah yang beragreasi membentuk partikel berukuran koloid.Sistem
ini juga stabil secara termodinamik.
2.1.2. Sifat - sifat Koloid
2.1.2.1. Sifat Fisika
Sifat fisika koloid berbeda-beda tergantung jenis koloidnya. Pada koloid
hidrofob sifat-sifat seperti rapatan, tegangan permukaan dan viskositasnya hampir
sama dengan medium pendispersinya. Pada koloid hidrofil karena terjadi hidrasi,
sifat-sifat fisikanya sangat berbeda dengan mediumnya. Viskositasnya lebih besar dan
tegangan permukaannya lebih kecil.
2.1.2.2. Sifat Koligatif
Suatu koloid dalam medium cair juga mempunyai sifat koligaif. Sifat ini hanya
bergantung pada jumlah partikel koloid bukan pada jenisnya. Sifat-sifat koligatif
koloid umumnya lebih rendah daripada lautan sejati dengan jumlah partikel yang
sama (Yazid, 2005). Ini disebabkan karena butir-butir koloid terdiri atas beribu-ribu
molekul,sedangkan pengaruh terhadap sifat koligatif hanya ditentukan oleh jumlah
molekul (Sukardjo, 1997)
Universitas Sumatera Utara
2.1.2.3. Sifat Optis
Walaupun secara definisi partikel koloid terlalu kecil untuk dapat dilihat oleh
mikroskop biasa mereka dapat dideteksi secara optikal. Ketika cahaya dilewatkan
melalui medium yang mengandung partikel yang tidak lebih besar daripada 10-9 m,
berkas cahaya tersebut tidak dapat dideteksi dan medium tersebut disebut optically
clear. Ketika partikel koloid hadir, bagaimanapun, sebagian cahaya akan
dihamburkan, dan sebagian lagi akan diteruskan dalam intensitas yang rendah.
Penghamburan ini dikenal dengan nama efek Tyndall (Laider, 1982).
Efek Tyndall dapat digunakan untuk mengamati partikel-partikel koloid
dengan menggunakan mikroskop. Karena intensitas hamburan cahaya bergantung
pada ukuran partikel, maka efek Tyndall juga dapat digunakan untuk memperkirakan
berat molekul koloid. Partikel-partikel koloid yang mempunyai ukuran kecil,
cendrung untuk menghamburkan cahaya dengan panjang gelombang pendek.
Sebaliknya partikel-partikel koloid yang mempunyai ukuran besar cendrung untuk
menghamburkan cahaya dengan panjang gelombang yang lebih panjang (Bird, 1993).
2.1.2.4. Sifat kinetik
a. Gerak Brown
Partikel koloid bila diamati dibawah mikroskop ultra akan nampak sebagai
bitik-bintik bercahaya yang selalu bergerak secara acak dengan jalan berliku-liku.
Gerakan acak partikel koloid dalam suatu medium pendispersinya disebut gerak
Brown. Terjadinya gerakan ini disebabkan oleh banyaknya tabrakan molekul-
molekul medium pendispersi tidak sama (tidak setimbang) (Yazid, 2005).
b. Pengendapan (sedimentasi)
Partikel-partikel koloid mempunyai kecendrungan untuk mengendap karena
pengaruh gravitasi bumi. Hal tersebut bergantung pada rapat massa partikel
terhadap mediumnya. Jika rapat massa partikel lebih besar dari medium
Universitas Sumatera Utara
pendispersinya, maka partikel tersebut akan mengendap. Sebaliknya bila rapat
massanya lebih kecil akan mengapung.
Koagulasi endapan koloid dapat dipercepat oleh suhu tinggi dan pengadukan
serta dengan penambahan elektrolit tertentu. Dengan suhu tinggi berarti akan
menurunkan viskositas dan menaikkan selisih rapatan. Namun faktor-faktor ini
pengaruhnya relatif kecil terhadap kecepatan pengendapan (Yazid, 2005).
c. Difusi
Partikel zat terlarut akan mendifusi dari larutan yang konsentrasinya tinggi ke
daerah yang konsentrasinya lebih rendah. Difusi erat kaitannya dengan gerak
Brown, sehingga dapat dianggap molekul-molekul atau partikel-partikel koloid
mendifusi karena adanya gerak Brown. Kecendrungan dari zat untuk berdifusi
dinyatakan dengan koefisien difusi. Menurut Graham, butir-butir koloid berdifusi
sangat lambat karena ukuran partikelnya relatif besar (Yazid, 2005).
2.1.2.5. Sifat Listrik
Permukaan partikel koloid mempunyai muatan listrik karena terjadinya
ionisasi atau penyerapan ion-ion dalam larutan. Akibatnya partikel koloid dapat
bergerak dalam medan listrik. (Yazid, 2005). Bila partikel koloid yang bermuatan
ditempatkan pada medan listrik, maka partikel tadi akan bergerak ke arah salah satu
elektroda bergantung pada muatannya. Proses ini dikenal dengan nama elektroforesis.
Laju gerakan partikel (cm/det) dalam medan listrik dengan gradien potensial (volt/cm)
dikenal sebagai mobilitas partikel tersebut (Bird, 1993).
2.1.3. Kestabilan Koloid
Ada dua gaya pada sistem koloid yang menentukan kestabilkan koloid
tersebut.Gaya yang pertama adalah gaya tarik-menarik yang dikenaldengan nama gaya
London-van der waals. Gaya ini cenderung menyebabkan partikel-partikel koloid
berkumpul membentuk agregat dan kemudian mengendap.
Universitas Sumatera Utara
Gaya yang kedua adalah gaya tolak menolak yang disebabkan oleh
pertumpang tindihan lapisan ganda elektrik yang bermuatan sama.Gaya ini
menstabilkan dispersi koloid.
Sebenarnya ada gaya ketiga yang mempengaruhi kestabilan koloid.Gaya ini
kadang – kadang dapat menyebabkan terjadinya agregasi dan terkadan juga dapat
meningkatkan kestabilan koloid.Gaya tersebut adalah gaya tarik menarik antara
partikel koloid dengan medium pendispersinya.Biasanya gaya tarik ini cenderung
untuk menstabilkan partikel koloid dan dalam beberapa hal memegang peranan
penting dalam menentukan kestabilan sistem koloid secara keseluruhan.(Bird,1993).
2.2.Emulsi
Emulsi adalah suatu sediaan yang mengandung dua zat cair yang tidak tercampur,
biasanya air dan minyak cairan yang satu terdispersi menjadi butir-butir kecil dalam
cairan yang lain. Dispersi ini tidak stabil, butir-butir ini akan bergabung dan
membentuk dua lapisan air dan minyak yang terpisah. Dalam fase air dapat
mengandung zat-zat terlarut seperti pengawet, zat pewarna, dan perasa. Air yang
digunakan sebaiknya adalah air. Zat perasa dan pengawet yang berada dalam fase air
yang mungkin larut dalam minyak harus dalam konsentrasi cukup untuk memenuhi
yang diinginkan (Anief,M.,1999).
Pada emulsi biasanya terdapat tiga bagian utama, yaitu : pertama, bagian zat
yang terdispersi, biasanya terdiri dari butir-butir minyak. Kedua, medium pendispersi
yang dikenal sebagai fase bertahap, biasanya terdiri dari air. Bagian ketiga adalah
emulgator yang berfungsi sebagai penstabil koloid untuk menjaga agar butir-butir
minyak tetap terdispersi dalam air. Ada beberapa istilah yang sering digunakan untuk
zat pengemulsi diantaranya emulgator, emulsifier, stabilizer atau agen pengemulsi.
Bahan ini dapat berupa sabun, detergen, protein atau elektrolit. Jenis emulsi
tergantung dari zatnya dan emulgator yang dipakai misalnya emulsi minyak dalam air
emulgator yang baik adalah sabun atau logam-logam alkali. Berdasarkan jenisnya
emulsi dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1. Emulsi o/w yaitu Fase minyak ditambahkan ke dalam fase air, dimana
pengemulsinya mudah larut dalam air sehingga air dikatakan sebagai fase
eksternal. Teknik inverse: fase air dimasukkan ke dalam fase minyak, awalnya
terbentuk w/o, viskositas naik karena volume fase internal naik sampai titik
inverse terbentuk o/w.
2. Emulsi w/o Fase air ditambahkan ke dalam fase minyak dengan pengadukan
konstan, lalu dihomogenkan, digiling untuk mengecilkan ukuran partikel fase
internal untuk meningkatkan stabilitas dan memperbaiki kilatnya emulsi.
(http.staff.ui.ac.id/internal/material/Emulsion).
Faktor-faktor yang menentukan apakah akan terbentuk emulsi A/M atau M/A
tergantung pada dua sifat kritis:
1. Terbentuknya butir tetesan
2. Terbentuknya rintangan antarmuka.
Rasio fase volume, yaitu jumlah relatif minyak dan air, menentukan jumlah relatif
butir tetesan, dan menaikkan kemungkinan terjadinya benturan, makin besar jumlah
butir tetesan, makin besar kesempatan untuk benturan. Biasanya fase ekstern dalam
jumlah volume yang besar. Tipe emulsi ditentukan oleh sifat-sifat emulgator, dan
dapat disusun aturan sebagai berikut:
1. Bila emulgator hanya dapat larut atau lebih suka air (sabun natrium) maka
akan terbentuk tipe emulsi M/A. Tetapi bila emulgator hanya dapat larut atau
lebih suka minyak (sabun kalsium) akan terbentuk tipe emulsi A/M.
2. Bagian polar dari molekul emulgator umumnya lebih baik untuk melindungi
koalesen daripada bagian rantai hidrokarbon. Maka itu memungkinkan
membuat emulsi M/A dengan fase intern yang volumenya relatif tinggi.
Sebaliknya emulsi A/M akan terbatas, dan apabila jumlah air cukup banyak
akan mudah terjadi inversi.
Sebagai contoh sistem air-minyak untuk membentuk emulsi A/M dapat terjadinya
baik bila jumlah air di bawah 40%, bila lebih yang stabil adalah bentuk emulsi M/A.
Di samping itu untuk emulsi A/M dengan 20% dan 30% air akan terjadi bila air
ditambahkan pada minyak dengan diaduk. Hal itu perlu untuk kadar air > 10%. Jangan
dicampur dulu minyak dan air kemudian baru diaduk, karena akan sering gagal. Cara
Universitas Sumatera Utara
tersebut baik untuk tipe M/A. Tipe emulsi yang terbentuk juga dipengaruhi oleh
viskositas pada tiap fase, emulsi yang stabil.
Apabila mencampurkan campuran, dua zat cair yang tak tercampurkan akan
terjadi salah satu cairan terbagi menjadi butir-butir (tetesan) yang kecil dalam cairan
yang lain. Apabila pencampuran berhenti, maka butir-butir cairan tersebut akan
mengumpul menjadi satu, dan terjadi suatu pemisahan. Kegagalan dalam usaha
mencampur dua cairan tersebut disebabkan kohesif antarmolekul dari masing-masing
cairan terpisah adalah lebih besar daripada kekuatan adhesif antara dua cairan.
Kekuatan kohesif ini disebabkan adanya tegangan antarmuka pada batas antara dua
cairan tersebut.
Dengan mencampurkan, tegangan antarmuka dapat mudah dipecah, sehingga
terjadi butir-butir tetes yang halus. Dengan mengusahakan penurunan atau
pembebasan efek tegangan antar muka secara permanen, maka akan terbentuk emulsi
yang stabil. Terlihat bahwa efek kekuatan ini (tegangan antarmuka) dapat dibedakan
dengan tiga cara:
a. Dengan penambahan substansi yang menurunkan tegangan antarmuka antara
dua cairan yang tak tercampur.
b. Dengan penambahan substansi yang menempatkan diri (menyusun) melintang
di antara permukaan dari dua cairan,
c. Dengan penambahan zat yang akan membentuk lapisan film di sekeliling
butir-butir fase disfers, jadi secara mekanis melindungi mereka dari
penggabungan tetes-tetes (Anief,M.,1999).
2.2.1. Kestabilan emulsi
Kestabilan dari emulsi farmasi berciri tidak adanya penggabungan fase dalam, tidak
adanya krim, dan memberikan penampilan, bau, warna dan sifat-sifat fisik lainnya
yang baik. Beberapa peneliti mendefinisikan ketidak stabilan suatu emulsi hanya
dalam hal terbentuknya penimbunan dari fase dalam dan pemisahannya dari produk.
Krim yang diakibatkan oleh flokulasi dan konsentrasi bola-bola fase dalam, kadang-
kadang tidak dipertimbangkan sebagai suatu tanda ketidakpastian. Tetapi suatu emulsi
adalah suatu sistem yang dinamis, dan flokulasi serta krim yang dihasilkan
Universitas Sumatera Utara
mengambarkan tahap-tahap potensial terhadap terjadinya penggabungan fase dalam
yang sempurna. Fenomena penting lainnya dalam pembuatan dan penstabilan dari
emulsi adalah inversi fase, yang dapat membantu atau merusak dalam teknologi
emulsi. Inversi fase meliputi perubahan tipe emulsi dari o/w menjadi w/o atau
sebaliknya. Begitu terjadi inversi fase setelah pembuatan, secara logis hal ini dapat
dipertimbangkan sebagai suatu pertanda dari ketidak stabilan (Martin,A.,1993).
Semakin tinggi viskositas dari suatu sistem emulsi, semakin rendah laju rata-
rata pengendapan yang terjadi, sehingga mengakibatkan kestabilan semakin tinggi.
Viskositas berkaitan erat dengan tahanan yang dialami molekul untuk mengalir pada
sistem cairan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sifat alir suatu emulsi,
diantaranya untuk ukuran partikel dan distribusi ukuran partikel. Emulsi dengan
globula berukuran halus lebih tinggi viskositasnya dibandingkan dengan emulsi yang
globulanya tidak seragam.
Prinsip dasar tentang kestabilan emulsi adalah kesetimbangan antara gaya
tarik-menarik dan gaya tolak menolak yang terjadi antar partikel dalam suatu sistem
emulsi. Apabila gaya ini dapat dipertahankan tetap seimbang atau terkontrol, maka
partikel-partikel dalam sistem emulsi dapat dipertahankan agar tidak bergabung.
2.3. Surfaktan
Surfaktan merupakan suatu molekul yang memiliki gugus hidrofil dan liofil
sekaligus, sehingga dapat menggabungkan cairan yang terdiri dari minyak dan air.
Aktifitas surfaktan diperoleh karena sifat ganda dari molekul-molekulnya,Molekul
surfaktan memiliki bagian polar suka air (hidrofilik) dan bagian nonpolar yang suka
minyak (lipofilik). Biasanya bagian non polar merupakan suatu rantai alkil yang
panjang, sedangkan bagian yang polar mengandung gugus hidroksil.(Rossen,1994).
Surfaktan merupakan suatu molekul yang memliki struktur kimia dimana
membuatnya secara khusus dapat bertahan di antar-muka. Oleh sebab itu, mereka
disebut surface active agents, atau disingkat menjadi surfaktan (Goodwin, 2004).
Penggunaan surfaktan sangat bervariasi, seperti bahan deterjen, kosmetik, farmasi,
Universitas Sumatera Utara
makanan, tekstil, plastik dan lain-lain. Beberapa produk pangan seperti margarin, es
krim, dan lain-lain menggunakan surfaktan sebagai satu bahannya. (Masyithah, 2010).
2.3.1.Klasifikasi Surfaktan
Surfaktan dapat dibagi dalam berbagai cara, tergantung pada kebutuhan dan tujuan
dari yang memakainya. Surfaktan dapat diklasifikasikan sebagai emulsifier, bahan
pembusa, bahan pebasah, pendispersi dan sejenisnya.
Klasifikasi Surfaktan yang paling umum Menurut Pratama (2008) adalah
sebagai berikut:
a. Surfaktan Anionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu anion.