4 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daging Ayam Broiler Daging ayam broiler banyak diminati masyarakat disebabkan oleh teksturnya yang elastis, artinya jika ditekan dengan jari, daging dengan cepat akan kembali seperti semula. Jika ditekan daging tidak terlalu lembek dan tidak berair. Warna daging ayam segar adalah kekuning-kuningan dengan aroma khas daging ayam broliler tidak amis, tidak berlendir dan tidak menimbulkan bau busuk (Kasih dkk. 2012). Mutu daging ayam yang baik dapat dilihat pada Gambar 1. Menurut Kasih dkk. (2012), saat ini masyarakat Indonesia lebih banyak mengenal daging ayam broiler sebagai daging ayam potong yang biasa dikonsumsi karena kelebihan yang dimiliki seperti kandungan atau nilai gizi yang tinggi sehingga mampu memenuhi kebutuhan nutrisi dalam tubuh, mudah di peroleh, dagingnya yang lebih tebal, serta memiliki tekstur yang lebih lembut dibandingkan dengan daging ayam kampung dan mudah didapatkan di pasaran maupun supermarket dengan harga yang terjangkau. Namun selain kelebihan, daging ayam broiler, mempunyai kelemahan. Kandungan gizi daging ayam broiler yang cukup tinggi menjadi tempat yang baik untuk perkembangan mikroorganisme pembusuk yang akan menurunkan kualitas daging sehingga berdampak pada daging menjadi mudah rusak. Ciri – ciri daging broiler yang baik menurut (SNI 01-4258-2010), antara lain adalah sebagai berikut : a) Warna putih kekuningan cerah (tidak gelap, tidak pucat, tidak kebiruan, tidak terlalu merah).
20
Embed
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daging Ayam Broilereprints.umm.ac.id/52054/3/BAB 2.pdf4 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daging Ayam Broiler Daging ayam broiler banyak diminati masyarakat disebabkan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Daging Ayam Broiler
Daging ayam broiler banyak diminati masyarakat disebabkan oleh
teksturnya yang elastis, artinya jika ditekan dengan jari, daging dengan cepat akan
kembali seperti semula. Jika ditekan daging tidak terlalu lembek dan tidak berair.
Warna daging ayam segar adalah kekuning-kuningan dengan aroma khas daging
ayam broliler tidak amis, tidak berlendir dan tidak menimbulkan bau busuk (Kasih
dkk. 2012). Mutu daging ayam yang baik dapat dilihat pada Gambar 1.
Menurut Kasih dkk. (2012), saat ini masyarakat Indonesia lebih banyak
mengenal daging ayam broiler sebagai daging ayam potong yang biasa
dikonsumsi karena kelebihan yang dimiliki seperti kandungan atau nilai gizi yang
tinggi sehingga mampu memenuhi kebutuhan nutrisi dalam tubuh, mudah di
peroleh, dagingnya yang lebih tebal, serta memiliki tekstur yang lebih lembut
dibandingkan dengan daging ayam kampung dan mudah didapatkan di pasaran
maupun supermarket dengan harga yang terjangkau. Namun selain kelebihan,
daging ayam broiler, mempunyai kelemahan. Kandungan gizi daging ayam broiler
yang cukup tinggi menjadi tempat yang baik untuk perkembangan
mikroorganisme pembusuk yang akan menurunkan kualitas daging sehingga
berdampak pada daging menjadi mudah rusak.
Ciri – ciri daging broiler yang baik menurut (SNI 01-4258-2010), antara lain
adalah sebagai berikut :
a) Warna putih kekuningan cerah (tidak gelap, tidak pucat, tidak kebiruan,
tidak terlalu merah).
5
b) Warna kulit ayam putih kekuningan, cerah, mengkilat dan bersih. Bila
disentuh, daging terasa lembab dan tidak lengket (tidak kering).
c) Bau spesifik daging (tidak ada bau menyengat, tidak berbau amis, tidak
berbau busuk).
d) Konsistensi otot dada dan paha kenyal, elastis (tidak lembek). Bagian
dalam karkas dan serabut otot berwarna putih agak pucat, pembuluh darah dan
sayap kosong (tidak ada sisa – sisa darah).Persyaratan mutu karkas ayam bisa
dilihat pada Tabel 1.
Setelah penyembelihan (slaughtering), maka daging akan mengalami
masa post mortem. Tedapat perbedaan karakteristik fisikokimia dari daging
sebelum penyembelihan (pre mortem) dan setelah penyembelihan (post mortem).
Beberapa reaksi biokimia dan kimia akan menyebabkan terjadinya perubahan
fisikokimia dari daging ini (Lonergan, Zhang dan Lonergan, 2010). Daging terdiri
dari tiga jaringan utama yaitu jaringan otot, jaringan lemak dan jaringan ikat. Pada
awalnya setelah pasca pemotongan (slaughtering), dagingnya bersifat lentur dan
lunak namun demikian setelahnya terjadi perubahan-perubahan dimana jaringan
otot pada daging akan menjadi lebih keras, kaku (fase rigor mortis) dan juga sulit
untuk digerakan (Huff-lonergan dan Lonergan, 2005). Namun demikian, keadaan
ini tidak akan berlangsung lama, beberapa waktu kemudian daging akan menjadi
empuk lagi (fase pasca rigor).
Setelah hewan dipotong atau disembelih dan mati maka aliran darah akan
terhenti, hal ini menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada jaringan otot.
Setelah hewan mati, sirkulasi darah akan terhenti,hal ini akan menyebabkan
fungsi darah sebagai pembawa oksigen terhenti pula akibatnya proses oksidasi-
6
reduksi pun ikut terhenti. Peristiwa tersebut diikuti oleh terhentinya respirasi dan
berlangsungnya glikolisis anaerob. Selanjutnya daging hewan akan mengalami
serangkaian perubahan biokimia dan fisikokimia seperti perubahan pH, perubahan
struktur jaringan otot, perubahan kelarutan protein dan perubahan daya ikat air
(Muchtadi, 2010).
Rigormortis adalah suatu proses yang terjadi setelah ternak disembelih
diawali fase prarigor dimana otot-otot masih berkontraksi dan diakhiri dengan
terjadinya kekakuan pada otot. Pada saat kekakuan otot itulah disebut sebagai
terbentuknya rigor mortis sering diterjemahkan dengan istilah kejang mayat
(Abustam, 2009).Perubahan otot menjadi daging yang terjadi secara biokimia dan
biofisika yang ditandai dengan penurunan pH lewat pembentukan asam laktat dan
glikolisis secara anaerobik.Mekanisme anaerobik ini terjadi karena otot-otot tidak
mendapatkan lagi oksigen akibat terhentinya peredaran darah, sementara itu otot
masih tetap hidup dengan menghabiskan cadangan energinya (Abustam dan Ali,
2004). Proses kontraksi menyebabkan otot menjadi keras dan kaku sedangkan
proses relaksasimenyebabkan jaringan otot menjadi lunak dan empuk. Fase-fase
yang dialami jaringan otot hewan setelah dipotong adalah fase prerigor mortis,
rigor mortis, dan pascarigor mortis. Pada fase pre rigor mortis daging masih lunak
karena daya ikat air dari jaringan otot masih tinggi, lama fase pre rigor mortis
berkisar antara 5-8 jam, tergantung dari jenis hewan. Penemuan baru
menunjukkan bahwa ada penyusutan otot pada fase prerigor, oleh karena
itubertambah kerasnya otot dapat dikurangi dengan menyimpan daging pada
temperatur 20°C pada fase prerigor mortis (Abustam, 2009). Darah yang keluar
dari tubuh ternak mengakibatkan hilangnya mekanisme pengendalian temperatur
7
didalam otot oleh sistem sirkulasi. Panas dari dalam tubuh tidak ada lagi yang
diangkut ke paru-paru dan permukaan tubuh lain, sehingga terjadi kenaikan
temperatur didalam otot dan tubuh setelah pemotongan, kenaikan temperatur
dalam tubuh tergantung pada laju produksi panas metabolik dan lama produksi
serta pelepasan panas. Faktor yang menyebabkan kenaikan temperatur otot
postmortem, juga menyebabkan pH otot pascamerta (Soeparno, 2005).
Pada fase rigor mortis jaringan otot menjadi keras dan kaku.Fase ini sangat
tergantung pada kondisi penyimpanan.Penyimpanan pada suhu rendah dapat
menyebabkan fase rigor mortis berlangsung cukup lama.Sedangkan fase
pascarigor adalah fase pembentukan aroma, pada fase ini daging kembali menjadi
lunak dan empuk karena daya ikat air dalam otot kembali meningkat.Lama
pelayuan daging berhubungan dengan selesainya proses rigor mortis (proses
kekakuan daging), dalam hal ini apabila proses rigor mortis belum selesai dan
daging terlanjur dibekukan maka akan menurunkan kualitas daging atau daging
mengalami proses cold-shortening (pengkerutan dingin) ataupun thaw rigor
(kekakuan akibat pencairan daging) pada saat thawing sehingga akan
menghasilkan daging yang tidak empuk (alot).
Waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis tergantung pada
jumlah ATP yang tersedia pada saat ternak mati. Jumlah ATP yang tersedia
terkait dengan jumlah glikogen yang tersedia pada saat menjelang ternak mati.
Pada ternak yang mengalami kelelahan atau stress dan kurang istirahat menjelang
disembelih akan menghasilkan persediaan ATP yang kurang sehingga proses rigor
mortis akan berlangsung cepat. Demikian pula suhu yang tinggi pada saat ternak
8
disembelih akanmempercepat habisnya ATP akibat perombakan oleh enzim
ATPase sehingga rigor mortis akan berlangsung cepat (Abustam, 2009).
Fase postrigor daging menjadi lunak kembali, karena terjadinya penurunan
pH yang menyebabkan enzim katepsin akan aktif melonggarkan struktur protein
serat otot (aktin dan miosin), sehingga menyebabkan daya ikat air oleh otot
kembali meningkat (Tien dan Sugiyono, 1992). Menurut Herman Tabrany (2001)
fase ini adalah fase pembentukan aroma. Fase ini terjadi pemecahan ATP menjadi
asam inosinat, fosfat, dan amonia. Asam inosinat akan didegradasi menjadi fosfat,
ribose, dan hipoxantine (Lawrie, 2001). Hipoxantine atau prekursornya asam
inosinat dapat meningkatkat flavor cita rasa (Lawrie, 2001).
Daging ayam dapat dengan mudah terkontaminasi, baik oleh mikroba
pembusuk maupun mikroba patogen, karena memiliki berbagai kandungan zat
gizi (Hardjosworo dan Rukmiasih, 2000). Mikroorganisme dapat terbawa sejak
ternak masih hidup atau masuk di sepanjang rantai pangan hingga ke piring
konsumen.Selain mikroorganisme, cemaran bahan berbahaya juga mungkin
ditemukan dalam pangan asal ternak, baik cemaran hayati seperti cacing, cemaran
kimia seperti residu antibiotik, maupun cemaran fisik seperti pecahan kaca dan
tulang. Berbagai cemaran tersebut dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada
manusia yang mengkonsumsinya (Goris, 2005).
Sumber pencemaran pada daging ayam dapat berupa cemaran fisik, kimia,
maupun biologi.Cemaran biologi merupakan faktor pencemar yang berpotensi
paling besar dalam mencemari daging ayam.Salmonella dan Campylobacter sp.
merupakan dua sumber pencemar biologi yang paling banyak ditemukan pada
daging ayam (Mead, 2004). Selain Salmonella dan Campylobacter sp.,
9
Clostridium perfringens, Listeria monocytogenes, Arcobacter sp., dan E. Coli
O157:H7 adalah beberapa jenis mikroorganisme lainnya yang juga berpotensi
mencemari daging ayam (Mead, 2004; Baran dan Gulmez, 2000).Menurut Buckle
dkk, (2009) karkas ayam sesaat setelah dipotong mula-mula mengandung jumlah
bakteri antara 600-8.100 unit koloni/cm2 pada permukaan kulitnya. Setelah
mengalami berbagai proses jumlahnya dapat meningkat menjadi 11.000–93.000
unit koloni/cm2. Persyaratan maksimum mutu mikrobiologi daging ayam dapat