Page 1
ASPEK PENDAPATAN PADA SISTEM AGROFORESTRI
DI AREAL KERJA HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm)
KABUPATEN LAMPUNG BARAT, PROVINSI LAMPUNG
(Tesis)
Oleh
ENY PUSPASARI
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2017
Page 2
ABSTRAK
ASPEK PENDAPATAN PADA SISTEM AGROFORESTRI
DI AREAL KERJA HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm)
KABUPATEN LAMPUNG BARAT, PROVINSI LAMPUNG
Oleh
ENY PUSPASARI
Hutan Kemasyarakatan (HKm) merupakan salah satu skema Perhutanan Sosial,
dimana dalam pengelolaan areal kerjanya menerapkan sistem agroforestri.
Penelitian yang dilaksanakan pada bulan Juni-Agustus 2016 ini bertujuan untuk
mengetahui struktur pendapatan dan tingkat kesejahteraan petani, kontribusi
agroforestri terhadap pendapatan petani dan faktor-faktor yang mempengaruhi
pendapatan petani yang melakukan agroforestri di areal kerja HKm. Lokasi
penelitian dilakukan di Kawasan Hutan Lindung Register 45 B Bukit Rigis,
Kabupaten Lampung Barat, yang merupakan wilayah kerja KPH II Liwa.
Responden penelitian berasal dari Kelompok HKm Bina Wana, Rigis Jaya II dan
Mitra Wana Lestari Sejahtera, Kabupaten Lampung Barat. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kegiatan agroforestri berkontribusi terhadap pendapatan
petani sebesar 66 % dan sisanya dari sektor lain. Berdasarkan pendapatan dari
kegiatan agroforestri diketahui bahwa 93% petani yang menggarap di dalam
Kawasan Hutan Lindung Register 45 B Bukit Rigis masuk dalam kategori
sejahtera (hidup layak). Faktor yang berpengaruh nyata terhadap pendapatan
Page 3
petani adalah luas lahan garapan, jumlah jenis tanaman yang sudah berproduksi
dan pelatihan yang diikuti petani. Sesuai ketentuan maka luas lahan garapan
petani dalam areal HKm tidak memungkinkan lagi untuk diperluas, oleh
karenanya sebaiknya petani memperkaya dengan lebih banyak jenis tanaman
multi guna dan mengikuti pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan
sehingga pengelolaan lahan lebih optimal untuk meningkatkan pendapatan.
Kata kunci : agroforestri, pendapatan, kontribusi pendapatan, faktor pendapatan,
tingkat kesejahteraan
Page 4
ABSTRACT
REVENUE ASPECTS AGROFORESTRY SYSTEM
IN THE FOREST COMMUNITY WORK AREA (HKm)
DISTRICT WEST LAMPUNG, LAMPUNG PROVINCE
By
ENY PUSPASARI
Community Forest (HKm) is one of the schemes of Social Forestry, in which the
management of its working area implements the agroforestry system. This study
aims to determine the structure of income and farmer welfare, agroforestry
contribution to farmer income and the factors that influence the income of farmers
who do agroforestry in HKm working area. The location of the research was
conducted in Protected Forest Area Register 45 B Bukit Rigis, West Lampung
District, which is the working area of KPH II Liwa. The respondents were from
HKm Bina Wana, Rigis Jaya II and Mitra Wana Lestari Sejahtera, West Lampung.
The results show that agroforestry activities contribute to farmer income of 66%
and the rest from other sectors. Based on income from agroforestry activities it is
known that 93% of farmers at Protected Forest Area Register 45 B are in the
prosperous category (live worthy). Factors that significantly affect farmers'
income are the area of cultivated land, the number of plant species that have been
produced and the training followed by the farmers. In accordance with the
provisions of the farmers' land area within the HKm area is no longer possible to
Page 5
be expanded, therefore farmers should enrich with more types of multi-use plants
and follow training to increase knowledge so that land management is more
optimal to increase revenue.
Keywords : agroforestry, income, the contribution of income, income factors,
welfare level
Page 6
ASPEK PENDAPATAN PADA SISTEM AGROFORESTRI
DI AREAL KERJA HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm)
KABUPATEN LAMPUNG BARAT, PROVINSI LAMPUNG
Oleh
ENY PUSPASARI
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
MAGISTER SAINS
Pada
Program Studi Magister Ilmu Kehutanan
Fakultas Pertanian Universitas Lampung
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2017
Page 7
Judul Tesis
NamaMahasiswa
Nomor Pokok Mahasiswa
Program Studi
Jurusan
Fakultas
ASPEK PENDAPATAI\I PADA SISTEMAGROFORESTRI DI AREAL KERJAHUTAI\I I@MASYARAKATAN (IIKn)KABUPATEN LAMPT]NG BARATOPROVINSI LAMPT]NG
EFTY PUSPASARI
1324151006'''----.--
Magister Ilmu Kdhu.tanan
Pertauian.-1,
Dr. Arief Darmawan, S.Hut., M.Sc.NIP. 19790701200801 1009
2. KetlraProgram Studi Magister Ilmu Kehutanan
Dr.rr.frh[***M.F.NIP. 1 964 1 226t993032001
-\:' 'r. --IIBNYETUJTII
l. Komisi Pembimbing
Dn Ir. Christine Wulandari, M.P.NIP. I 964 r 22619%A32AA1
Page 8
1. Tim Penguji
Ketua
Sekretaris
MENGESAHKAN
,t-
: Dr.Ir. Christine Wnlandari' M.P.
: Dr. Arief Darmawan, S.Hut.n M.Sc.
qkh"h'
fM$-PengujiBukan Pembimbing : Prof. Dr. lr. Irwan Sukri Banuwa, M.Si.
Fakultas Pertanian
.--
r. Irwan Sukri Banuwa, ilI.Si.I 1020198603 1002
ffi:"fR
Program Pascasarjana Universitas Lampung
arwo, M.S.r 98103 1002
ulus Ujian Tesis :26 Juli2017
Page 9
1.
LEMBAR PER}TYATAAT{
Dengan ini saya menyatakan dengan sebenainya bahwa :
Tesis dengan judul "ASPEK PEF{I}APATAN,PAI}A SISTE*I
AGROFERESTRI I}T AREAL KERJA TTTMAN KEMAS}'ARAKATAFtr
(IIKm) KABilPATEN LAMPUNG BARffi, PROVINSI LAMPIJNG.
adalah karya sendiri dan saya tidak melala:kan penjiptska* ataupen$*ipas
aras karya penulis lain dengan cara yang tidak s€suai dengm tata s,tika itnriah
yang berlaku dalam masyarakat akadernik atau yang dlsebut plagiarisme.
Penrbimbi*g penulisan tesis ini berfrak arempublikasikm sebagian atau
selumh isi tesis ini pada junral ilmiah dengan rnencanttunk:ln nama saya
sebagai salah satu penulisnya
Hak inlelekfual karya ilmiah ini diserahkan sepenuhnya kepada Unila.
Apabita dikemudian hari ternyata ditem'lkan adaaya keddakbenaraa, sf&bersedia srenffiiggung akibnt dan sar*si yang dikrikan kepada saya, dan say,a
bersedia dan sa*ggup ditm*ut sesuai dengalr h*kum yang berlaku.
Bandar La:npung, Desember 2017
iny PuspasariNPM. 1324151006
3.
Page 10
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama : Eny Puspasari, dilahirkan di Desa Harjowinangun,
Belitang, OKU-Sumsel, pada tanggal 07 Oktober 1974, merupakan anak
kedelapan dari sepuluh bersaudara dari pasangan Bapak H. Suwito Rejo dan Ibu
Hj. Sumirah. Penulis menikah dengan Asnuri Hadi Broto, S.Si, M.Si. pada
tanggal 23 Desember 2001 dan telah dikaruniai tiga orang putri yaitu : Hanifa
Rahma Hadi, Aliya Ayesha Rahma Hadi dan Jasmine Nafisa Rahma Hadi.
Jenjang pendidikan formal penulis dimulai pada tahun 1980 di SD
Muhammadiyah Belitang dan selesai pada tahun 1986. Di tahun yang sama,
penulis melanjutkan pendidikan pada SMPN 4 Bengkulu dan lulus pada tahun
1989, kemudian melanjutkan di SMAN 2 Bengkulu dan lulus pada tahun 1992.
Pada tahun yang sama, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Kehutanan
Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Penulis tercatat sebagai mahasiswa
Magister Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung pada tahun
2013.
Penulis pernah mengikuti kegiatan ASEAN-Swiss Partnership in Social
Forestry and Climate Change (ASFCC) Second Learning Group Workshop, pada
tanggal 16-21 Agustus 2015 bertempat di Provinsi Krabi, Thailand. Penulis juga
menjadi peserta Kongres Agroforestry Internasional Ke-2, pada tanggal 28
November s.d 1 Desember 2016, bertempat di Universitas Tay Nguyen, Provinsi
Daklak, Vietnam. Sejak tahun 2000 hingga saat ini penulis bekerja sebagai
Pegawai Negeri Sipil di Dinas Kehutanan Provinsi Lampung.
Page 11
MOTTO
Dalam kesulitan pasti ada kemudahan
Selalu menebar kebaikan agar bisa memberi manfaat bagi sesama
Page 12
Persembahan
Kupersembahkan dengan setulus kasih kepada :
Belahan jiwaku Asnuri Hadi Broto, M.Si.,
Matahari kecilku Hanifa Rahma Hadi, Aliya Ayesha
Rahma Hadi dan Jasmine Nafisa Rahma Hadi,
Bapak dan Ibuku serta Ibu Mertua,
Saudara dan teman-temanku, di semua aktivitas
kehidupanku.
Page 13
SANWACANA
Assalamualaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, Puji syukur kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-
Nya jualah penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis dengan
judul “ Aspek Sosial Ekonomi Pada Sistem Agroforestri Di Areal Kerja Hutan
Kemasyarakatan (HKm) Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung. Tesis ini
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada program
studi Magister Ilmu Kehutanan, Fakultas Pertanian,Universitas Lampung.
Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak akan selesai tanpa bantuan, dukungan dan
kemurahan hati dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis
ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada :
1. Ibu Dr. Ir. Christine Wulandari, MP. selaku Pembimbing Akademik dan
Pembimbing Pertama dalam penyusunan tesis ini, yang dengan penuh kasih
telah memberikan arahan, bimbingan dan saran-saran perbaikan kepada
penulis dari awal penyusunan proposal penelitian hingga selesainya tesis ini.
2. Bapak Dr. Arief Darmawan, S. Hut., M.Sc. selaku Pembimbing Kedua, yang
telah memberikan bimbingan, arahan dan saran-saran perbaikan dari awal
penyusunan proposal penelitian hingga tesis ini dapat diselesaikan.
Page 14
iii
3. Bapak Prof. Dr. Irwan Sukri Banuwa, M.S. selaku pembahas dan penguji,
yang meski sangat sibuk sebagai Dekan Fakultas Pertanian UNILA, namun
telah berbaik hati berkenan meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan,
arahan dan saran-saran perbaikan kepada penulis.
4. Ibu Rommy Qurniati, S.P., M.Si. dan Bapak Dr. Indra Gumay Febryano,
S.Hut., M.Si. yang selalu memberi semangat dan membantu memberikan
masukan dan saran-saran perbaikan dalam penyusunan jurnal.
5. Bapak Drs. Afif Bintoro, M.P. selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu
Kehutanan dan segenap Bapak Ibu Dosen serta staf Program Studi Magister
Ilmu Kehutanan.
6. Bapak Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P., selaku Rektor Universitas
Lampung.
7. Bapak Prof. Dr. Sujarwo, M.S., selaku Direktur Pascasarjana Universitas
Lampung.
8. Suamiku : Asnuri Hadi Broto, M.Si. dan tiga gadis kecilku : Hanifa Rahma
Hadi, Aliya Ayesha Rahma Hadi dan Jasmine Nafisa Rahma Hadi, kalianlah
penyemangatku, terima kasih untuk semua perhatian, cinta dan keceriaan.
9. Tim Sie Pemberdayaan Masyarakat Dinas Kehutanan Provinsi Lampung yang
hebat dan handal (Teh Arie, Dede dan Asri)
10. Semua pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung
baik ketika penelitian maupun dalam penyusunan tesis ini, yang tidak dapat
saya sebutkan satu persatu
Page 15
iii
Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan Bapak Ibu semua dengan sebaik-
baik balasan, aamiin YRA.. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu kritik dan saran untuk perbaikan yang akan datang
sangat penulis harapkan. Penulis mengharapkan tesis ini akan bermanfaat bagi
siapapun yang membacanya, meski masih sangat sederhana dan penuh
keterbatasan.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Bandar Lampung, 2017
Eny Puspasari
Page 16
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ..................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. vii
I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Tujuan Penelitian ........................................................................... 7
C. Manfaat Penelitian ......................................................................... 7
D. Kerangka Pemikiran ....................................................................... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 11
A. Keadaan Umum Daerah Penelitian ................................................ 11
1. Sejarah UPTD KPH II Liwa ......... .......................................... 11
2. Letak, Luas dan Batas Wilayah UPTD KPH II Liwa . ............ 12
3. Lokasi Fokus Penelitian ……………………………………… 14
a. Kelompok HKm Bina Wana……….. ................................ 14
b. Kelompok HKm Rigis Jaya II.. .......................................... 14
c. Kelompok HKm Mitra Wana Lestari Sejahtera (MWLS) . 15
B. Hutan Lindung ............................................................................... 16
C. Agroforestri ……………………………………………………… 18
D. Hutan Kemasyarakatan (HKm) ..................................................... 21
1. Pengertian Hutan Kemasyarakatan......... ................................. 21
2. Pelaksanaan Hutan Kemasyarakatan . ...................................... 22
E. Pendapatan Rumah Tangga Petani . ............................................... 25
F. Tingkat Kelayakan Hidup Petani . ................................................. 28
G. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Petani ………… 29
1. Luas Lahan ......... ..................................................................... 29
2. Jumlah Jenis Tanaman . ........................................................... 30
3. Pendidikan …………………………………………………… 31
4. Etnis/Suku ……………………………………………………. 31
5. Jumlah Tenaga Kerja …………………………………………. 32
6. Jarak dari Rumah ke Kebun …………………………………… 37
7. Pelatihan ……………………………………………………….. 38
III. METODE PENELITIAN .................................................................. 41
A. Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................... 41
B. Alat dan Objek Penelitan ............................................................... 41
C. Metode ........................................................................................... 41
1. Batasan Penelitian .................................................................... 41
Page 17
v
2. Jenis Data yang Dikumpulkan ................................................. 42
a. Data Primer . ...................................................................... 42
b. Data Sekunder. ................................................................... 43
3. Metode Pengumpulan Data ...................................................... 43
4. Metode Pengambilan Sampel ................................................... 44
5. Metode Pengolahan dan Analisis Data..................................... 46
a. Struktur Pendapatan Petani. ............................................... 46
b. Tingkat Kelayakan Hidup Petani. ...................................... 47
c. Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi Pendapatan
Petani .................................................................................. 48
D. Pelaksanaan. ............................................................................... 50
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 52
A. Penyelenggaraan HKm di Kabupaten Lampung Barat ……………… 52
B. Pemanfaatan Hutan di UPTD KPH II Liwa …………………………. 53
C. Karakteristik Responden ................................................................ 54
1. Umur ………………………………………………………….. 54
2. Pendidikan ……………………………………………………… 55
3. Jumlah Tanggungan Keluarga …………………………………. 56
4. Luas Lahan Garapan …………………………………………… 57
5. Etnis ……………………………………………………………. 58
6. Pelatihan/Pertemuan Kelompok ……………………………….. 59
D. Struktur Pendapatan Anggota Kelompok HKm ............................ 60
1. Pendapatan Responden dari Kegiatan Agroforestri di Areal
Kerja HKm …………………………………………………… 60
2. Pendapatan Responden dari Kegiatan Non Agroforestri (Non
HKm) …………………………………………………………. 61
3. Kegiatan Non Agroforestri (Non HKm) ………………………. 62
4. Pendapatan Total Responden …………………………………… 63
E. Tingkat Kelayakan Hidup Petani ................................................... 64
F. Hasil Analisis Data Kuantitatif ...................................................... 66
1. Analisis Pengaruh Luas Garapan terhadap Pendapatan ........... 66
2. Analisis Pengaruh Jumlah Jenis Tanaman yang Produktif
terhadap Pendapatan ................................................................. 67
3. Analisis Pengaruh Pendidikan terhadap Pendapatan ............... 68
4. Analisis Pengaruh Etnis/Suku terhadap Pendapatan ................ 70
5. Analisis Pengaruh Jumlah Tanggungan Keluarga
terhadap Pendapatan ................................................................. 71
6. Analisis Pengaruh Jarak terhadap Pendapatan ......................... 72
7. Analisis Pengaruh Pelatihan terhadap Pendapatan................... 73
8. Analisis Pengaruh Luas, Jumlah Jenis, Etnis/Suku, Tanggungan,
Jarak dan Pelatihan terhadap Pendapatan ................................. 74
V. SIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 76
A. Simpulan ........................................................................................ 76
B. Saran .............................................................................................. 77
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 78
Page 18
v
LAMPIRAN ............................................................................................... 83
Page 19
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Kisaran Umur Responden .............................................................................. 54
2. Tingkat Pendidikan Responden ..................................................................... 55
3. Jumlah Tanggungan Keluarga ....................................................................... 56
4. Luas Lahan Garapan ...................................................................................... 57
5. Etnis Responden ............................................................................................. 58
6. Pelatihan/Pertemuan Kelompok ..................................................................... 59
7. Pendapatan Responden dari Kegiatan Agroforestri di Areal Kerja HKm ..... 61
8. Pendapatan Responden dari Kegiatan Non Agroforestri (Non HKm) ........... 62
9. Kegiatan Non Agroforestri (Non HKm) ....................................................... 63
10. Pendapatan Responden dari Kegiatan Agroforestri dan Non Agroforestri
(Non HKm) ................................................................................................... 64
11. Tingkat Kelayakan Hidup Responden dari Kegiatan Agroforestri dan Non
Agroforestri (Non HKm) ............................................................................... 65
12. Analisis Regresi Linier Berganda Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Pendapatan Agroforestri ................................................................................ 74
Page 20
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Diagram Alir Kerangka Pemikiran Aspek Pendapatan pada Sistem
Agroforestri di Areal Kerja HKm Kabupaten Lampung Barat, Provinsi
Lampung …………………………………………………………….... 10
Page 21
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Karakteristik responden ................................................................................. 84
2. Jenis tanaman dan pendapatan dari pengusahaan agroforestri di lahan
HKm .............................................................................................................. 86
3. Pendapatan responden dari kegiatan non agroforestri ……………………… 88
4. Pendapatan total responden…………………. ................................................ 91
5. Tingkat kelayakan hidup responden………………….................................... 93
6. Data untuk uji regresi linier berganda…………………. ................................ 95
7. Kuisioner…………………. ............................................................................ 97
8. Gambar lokasi penelitian ……………………………………………………. 99
Page 22
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan
No.256/Kpts-II/2000 tanggal 23 Agustus 2000, luas hutan pada berbagai
fungsi di Provinsi Lampung adalah ± 1.004.735 ha. Luas kawasan hutan
tersebut terdiri dari ± 462,030 ha kawasan hutan konservasi, ± 317.615 ha
merupakan kawasan hutan lindung dan ± 225,090 ha adalah kawasan hutan
produksi. Total luas kawasan hutan di Provinsi Lampung merupakan 28,47
% dari total daratan Provinsi Lampung yang luasnya 3.528.835 ha (Dinas
Kehutanan Provinsi Lampung, 2016).
Kerusakan kawasan hutan di Provinsi Lampung saat ini ± 53,34% (Dinas
Kehutanan Provinsi Lampung, 2016), yang antara lain disebabkan oleh illegal
logging, perambahan dan okupasi lahan, kebakaran hutan dan lain-lain.
Jumlah penduduk yang terus bertambah sementara lahan yang tersedia tetap
menyebabkan tekanan terhadap hutan. Masyarakat membuka hutan dan
menjadikannya lahan untuk bercocok tanam/berkebun. Pengusiran atau
penurunan paksa para petani penggarap di dalam kawasan atau yang sering
disebut perambah tidak menjadikan hutan menjadi lebih baik, justru semakin
rusak karena setelah diturunkan masyarakat akan merambah lagi dengan
Page 23
2
jumlah yang semakin besar (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, 2016). Di
sisi lain masyarakat sekitar kawasan tetap saja miskin dan menggantungkan
hidupnya pada kawasan hutan. Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung
(2016) menyebutkan bahwa angka kemiskinan Lampung dari penghitungan
hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) September 2016 mencapai
13,86 persen. Dibandingkan kondisi semester sebelumnya (Maret 2016)
angka kemiskinan Lampung mengalami penurunan 0,43 poin, dari 14,29
persen. Sejalan dengan penurunan persentase, jumlah penduduk miskin di
Lampung pada September 2016 juga berkurang sebanyak 29,82 ribu jiwa
menjadi 1,140 juta jiwa dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret
2016 yang sebesar 1,170 juta jiwa. Konsentrasi kemiskinan ada di pedesaan
dimana 15,24 persen penduduknya berkategori miskin, setara dengan 912,34
ribu jiwa. Di perkotaan penduduk miskinnya sebanyak 10,15 persen atau
227,44 ribu jiwa (Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung, 2016). Selama
periode Maret 2016 – September 2016, baik perkotaan maupun perdesaan
mengalami penurunan persentase dan jumlah penduduk miskin. Di daerah
perkotaan berkurang sekitar 5,95 ribu jiwa (3,55%), sementara di daerah
perdesaan berkurang sekitar 23,87 ribu jiwa (2,88%).
Yusran et al. (2017) menyatakan bahwa konflik yang terjadi antara
kepentingan masyarakat dan konservasi tetap sama selama empat puluh
tahun, walaupun peraturan dan kebijakan pemerintah telah berubah. Di sisi
lain, orientasi pembangunan kehutanan saat ini telah mengalami pergeseran,
semula berorientasi pada produksi kayu dan kurang melibatkan masyarakat,
Page 24
3
menjadi lebih berorientasi pada pengelolaan ekosistem sumberdaya hutan
yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat.
Untuk mengurangi kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan
pengelolaan/pemanfaatan kawasan hutan, maka diperlukan kegiatan
Perhutanan Sosial melalui upaya pemberian akses legal kepada masyarakat
setempat. Pemberian akses legal tersebut dapat berupa Hak Pengelolaan
Hutan Desa (HPHD), Ijin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan
(IUPHKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Kemitraan Kehutanan atau
pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat untuk kesejahteraan
masyarakat dan kelestarian sumberdaya hutan (Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan, 2016).
Hutan Kemasyarakatan (HKm) adalah program di hutan negara dengan
pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat
setempat. Penyelenggaraan HKm dimaksudkan untuk pengembangan
kapasitas dan pemberian akses terhadap masyarakat setempat dalam
mengelola hutan secara lestari guna menjamin ketersediaan lapangan kerja
bagi masyarakat setempat untuk memecahkan persoalan ekonomi dan sosial
yang terjadi di masyarakat. Kaskoyo et al. (2017) menjelaskan bahwa tujuan
program HKm untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui
pemanfaatan sumber daya hutan secara optimal, adil dan berkelanjutan
dengan tetap menjaga kelestarian fungsi hutannya. Studi yang dilakukan
Febryano et al. (2015) menunjukkan bagaimana pemanfaatan sumberdaya
yang tidak adil antar pihak telah menimbulkan degradasi sumberdaya hutan
Page 25
4
dan marjinalisasi masyarakat lokal. Sejalan dengan hal tersebut, Kaskoyo et
al. (2014) berpendapat bahwa insentif yang diberikan kepada masyarakat
untuk berpartisipasi dalam pengelolaan hutan negara dapat meminimalkan
konflik pemanfaatan lahan hutan.
Sampai awal tahun 2017, akses pemanfaatan kawasan hutan dengan skema
HKm di Provinsi Lampung berkembang cukup baik, terbukti dengan 39,55 %
dari hutan lindung yang ada telah mendapat akses HKm yaitu seluas ±
125.610,34 ha, dengan rincian sebagai berikut : IUPHKm seluas ± 99.455,61
ha, Penetapan Areal Kerja HKm oleh Menteri Kehutanan seluas ± 16.013 ha,
usulan yang telah diverifikasi Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan seluas ± 7.112,62 ha dan usulan yang telah masuk ke Kementerian
LHK seluas ± 3.029,11. Ijin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan
(IUPHKm) yang telah terbit di dalam wilayah kerja KPH Unit II Liwa seluas
± 24.795,46 ha yang tersebar pada 50 Gabungan Kelompok Tani/Gapoktan,
dengan total jumlah anggota 11.950 KK (Dinas Kehutanan Provinsi
Lampung, 2016).
Keberhasilan program HKm dapat dilihat dari 3 (tiga) aspek, yaitu aspek
kelola kawasan, kelola kelembagaan dan kelola usaha. Ketiga aspek tersebut
bermuara pada bagaimana hutan dapat berfungsi sesuai fungsinya dan
masyarakat dapat meningkatkan kesejahteraannya.
Aspek kelola usaha dapat didekati dengan pengelolaan areal kerja HKm yang
menerapkan agroforestri. Menurut Mbow et al. (2014) dalam pengelolaan
hasil yang kompleks ini, praktik pertanian dan pengelolaan lahan merupakan
Page 26
5
kunci bagi agroforestri berkelanjutan. Agroforestri didefinisikan sebagai
system penggunaan lahan (usaha tani) yang mengkombinasikan pepohonan
dengan tanaman pertanian untuk meningkatkan keuntungan, baik secara
ekonomis maupun lingkungan (Olivi, 2014). Coe et al. (2014)
mengemukakan tentang pilihan-pilihan dalam pengelolaan agroforestri yang
harus sesuai dengan konteks ekologi dan sosial yang beragam di berbagai
tempat. Hal ini didukung oleh Wulandari et al. (2014) yang menyatakan
bahwa keterlibatan masyarakat di sekitar hutan hendaknya mengoptimalkan
lahan hutan dengan menerapkan agroforestri berbasis kondisi sosial ekonomi
masyarakat, missal berdasarkan preferensi masyarakat dan adopsi pola
agroforestri.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999, Hutan
Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah
banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara
kesuburan tanah. Masyarakat yang mendapatkan akses pemanfaatan melalui
program HKm di kawasan hutan lindung tidak diperkenankan menanam
dengan sistem monokultur seperti pada areal perkebunan (karet, sawit, tebu
dan nanas), tetapi ditekankan untuk menanam berbagai jenis tanaman dengan
strata tajuk lengkap seperti pada kebun campuran atau agroforestri,
Wulandari et al. (2009). Menurut Wulandari et al. (2009), strata tajuk yang
terbentuk dari sistem agroforestri memberikan keuntungan ekologi dan
ekonomi. Keuntungan ekologi yaitu dapat mengurangi terjadinya banjir
karena air hujan yang jatuh akan menimpa tajuk yang tinggi terlebih dahulu
Page 27
6
baru kemudian ke tajuk sedang dan terakhir ke tajuk rendah sehingga sampai
ke permukaan tanah hanya berupa tetesan saja. Secara ekonomi, agroforestri
dapat meningkatkan pendapatan dan mengoptimalkan produktivitas lahan.
Kelompok HKm di Kabupaten Lampung Barat khususnya dan di Provinsi
Lampung pada umumnya, secara umum sudah menerapkan sistem
agroforestri di areal kerjanya, meski tidak dipungkiri masih ada anggota
HKm yang areal kerjanya masih dominan dengan satu atau dua jenis tanaman
saja. Ijin HKm di Lampung Barat merupakan salah satu pionir di Provinsi
Lampung dan Indonesia, diterbitkan pada tahun 2007 untuk 5 (lima)
kelompok di Kabupaten Lampung Barat yaitu : kelompok Bina Wana, Mitra
Wana Lestari Sejahtera, Setia Wana Bakti, Rimba Jaya dan Rigis Jaya II, 1
(satu) kelompok di Kabupaten Lampung Utara yaitu kelompok Karya Maju
dan 5 (lima) kelompok di Kabupaten Tanggamus yaitu : kelompok Tri Buana,
Harapan Sentosa, KPPM, Sumber Rejeki dan Sedia Maju.
Dipilihnya kelompok Bina Wana, Mitra Wana Lestari Sejahtera dan Rigis
Jaya II sebagai lokasi dan sampel penelitian ini dikarenakan ketiga kelompok
tersebut memiliki sejarah pengelolaan HKm yang sama, mengelola di
hamparan yang sama yaitu di kawasan hutan lindung Register 45B Bukit
Rigis dan ketiganya pernah mendapatkan juara dalam lomba wana lestari
kategori pemegang IUPHKm. Dalam pengelolaan lahannya, ketiga kelompok
tersebut juga mengembangkan sistem agroforestri dengan perpaduan tanaman
yang relatif sama.
Page 28
7
Sistem agroforestri yang dilakukan oleh Kelompok HKm Bina Wana, Rigis
Jaya II dan Mitra Wana Lestari Sejahtera (MWLS) sampai saat ini belum
diketahui apakah mampu memulihkan fungsi hutan sekaligus berkontribusi
nyata dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani anggota
kelompok tersebut. Penelitian ini diperlukan untuk mengetahui struktur
pendapatan dan tingkat kelayakan hidup petani, kontribusi agroforestri
terhadap pendapatan petani dan faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan
petani yang melakukan agroforestri di areal kerja HKm.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengklasifikasikan struktur pendapatan petani.
2. Mengukur tingkat kelayakan hidup petani berdasarkan pendapatan petani.
3. Menganalisis kontribusi agroforestri di areal kerja HKm terhadap
pendapatan petani HKm.
4. Menganalisis faktor yang mempengaruhi pendapatan petani yang
melakukan kegiatan agroforestri di areal kerja HKm.
C. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini antara lain sebagai berikut:
1. Bagi masyarakat, sebagai informasi dan bahan pertimbangan terkait
kegiatan agroforestri yang dilakukan agar dapat meningkatkan
pendapatannya.
Page 29
8
2. Bagi dunia pendidikan, diharapkan dapat menjadi informasi dan referensi
terkait kegiatan agroforestri di areal kerja HKm.
3. Bagi pemerintah, sebagai bahan masukan dalam menentukan kebijakan
untuk mengembangkan program HKm yang lebih baik.
D. Kerangka Pemikiran
Sesuai dengan tujuan diberlakukannya program HKm, maka HKm dikatakan
berhasil apabila secara ekologi kondisi hutan semakin baik sesuai fungsinya
dan secara ekonomi kesejahteraan petani HKm juga membaik. Untuk
mewujudkan itu, petani HKm memanfaatkan kawasan hutan dengan
menanami berbagai jenis tanaman dalam satu lahan garapan. Penerapan
sistem kebun campuran atau agroforestri di areal kerja HKm terbukti
memberikan dampak positif baik secara ekologi maupun ekonomi (Wulandari
et al. 2009).
Kelompok HKm Bina Wana, Rigis Jaya II dan MWLS merupakan 3 (tiga)
dari 5 (lima) kelompok HKm di Kabupaten Lampung Barat yang
mendapatkan IUPHKm pertama (pionir) pada tahun 2007. Dalam
pemanfaatan kawasan hutan, ketiga kelompok tersebut juga menerapkan
sistem agroforestri. Oleh karena itu untuk mengetahui dampak positif dari sisi
ekonomi terhadap pelaksanaan sistem agroforestri yang dilakukan oleh ketiga
kelompok tersebut, dilakukan perhitungan jumlah pendapatan petani baik
yang berasal dari kegiatan agroforestri di areal kerja HKm maupun kegiatan
non HKm yang mengacu pada Sahara (2004) dan persamaan Koswara (2006),
sehingga diperoleh struktur pendapatan petani. Khusus untuk pendapatan
Page 30
9
yang berasal dari kegiatan agroforestri, beberapa variabel yang diduga
mempengaruhi akan dianalisis menggunakan regresi linier berganda.
Salah satu indikator untuk mengukur kesejahteraan seseorang atau masyarakat
dapat dilihat dari pendapatan (Lumintang, 2013). Banyaknya indikator untuk
mengukur tingkat kesejahteraan petani, tidak hanya berdasarkan pendapatan
saja, maka pada penelitian ini yang akan diukur adalah tingkat kelayakan
hidup petani yang akan diukur berdasarkan pendapatan yang disetarakan
dengan harga beras per kg di tempat pada waktu penelitian yang mengacu
pada kriteria miskin (Sajogyo, 1997).
Page 31
10
Diagram alir kerangka pemikiran disajikan seperti pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram Alir Kerangka Pemikiran Aspek Pendapatan pada Sistem
Agroforestri di Areal Kerja HKm Kabupaten Lampung Barat, Provinsi
Lampung.
Kawasan Hutan Lindung
Bukit Rigis Reg. 45 B
Kabupaten Lampung Barat
Hutan Kemasyarakat (HKm)
Kelompok HKm Bina Wana
Kelompok HKm Rigis Jaya II
Kelompok HKm MWLS
Faktor Produksi :
1. Luas lahan
2. Jumlah jenis tanaman produksi
3. Jumlah tanggungan keluarga
4. Jarak
5. Pelatihan
6. Pendidikan
7. Suku/ etnis
Agroforestri HKm Non HKm
Pendapatan Total Petani
Analisis Kualitatif &
Kuantitatif
Struktur pendapatan, tingkat kelayakan hidup, kontribusi
agroforestri dan faktor yang mempengaruhi pendapatan
petani yang melakukan agroforestri di areal kerja HKm
Page 32
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Keadaan Umum Daerah Penelitian
1. Sejarah UPTD KPH II Liwa
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI No. 6 Tahun 2007, kawasan hutan
dikelola berdasarkan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Kesatuan
Pengelolaan Hutan adalah wilayah pengelolaan hutan berdasarkan fungsi
pokok dan peruntukkannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari.
Kementerian Kehutanan telah menetapkan KPH di Provinsi Lampung
dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.68/Menhut-II/2010 tanggal
28 Januari 2010 tentang Penetapan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan
Lindung (KPHL) dan Penetapan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan
Produksi (KPHP) Provinsi Lampung. Salah satu KPHL tersebut adalah
KPH II Liwa, yang berada di Kabupaten Lampung Barat, Provinsi
Lampung. Berdasarkan Dinas Kehutanan Provinsi Lampung (2014),
pembentukan UPTD KPH II Liwa didasarkan pada :
1. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 6/Menhut-II/2009 tentang
Pembentukan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan.
Page 33
12
2. Surat Gubernur Lampung Nomor 522/4577/III.16/2009 tanggal 14
Desember 2009 perihal Usulan Penetapan Wilayah Kesatuan
Pengelolaan Hutan (KPH) Provinsi Lampung.
3. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.68/Menhut-II/2010 tentang
Penetapan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL)
dan Penetapan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi
(KPHP) Provinsi Lampung.
4. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2010 tentang
Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Kesatuan Pengelolaan Hutan
Lindung dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi di Daerah.
5. Peraturan Bupati Lampung Barat Nomor 29 Tahun 2014 tentang Unit
Pelaksana Teknis Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Liwa.
6. Peraturan Gubernur Lampung Nomor 3 Tahun 2017 tentang
Pembentukan, Organisasi dan Tatakerja Unit Pelaksana Dinas Daerah
Provinsi Lampung, tanggal 1 Februari 2017.
2. Letak, luas dan batas wilayah UPTD KPH II Liwa
Unit Pengelola Teknis Dinas Kesatuan Pengelolaan Hutan (UPTD KPH) II
Liwa secara geografis berada 105°08'00" - 105°27’00" Bujur Timur dan
04°01’00" - 04°12'00" Lintang Selatan. Secara administrasi berada di
Kabupaten Lampung Barat dan terdapat 15 (lima belas) kecamatan yang
terkait yaitu Kecamatan Balik Bukit, Sukau, Lumbok Seminung, Batu
Brak, Belalau, Batu Ketulis, Sumberjaya, Kebun Tebu, Gedung Surian,
Way Tenong, Air Hitam, Sekincau, Pagar Dewa, Suoh dan Bandar Negeri
Page 34
13
Suoh. Berdasarkan Surat Menteri Kehutanan Nomor SK.68/Menhut-
II/2010 tanggal 28 Januari 2010, KPHL Unit II Liwa memiliki areal kelola
seluas 42.074 ha (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, 2016).
Adapun batas-batas wilayah KPHL Unit II Liwa Kabupaten Lampung
Barat adalah sebagai berikut:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten OKU Selatan (Provinsi
Sumatera Selatan) dan Kabupaten Way Kanan.
2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Lampung Utara,
Kabupaten Tanggamus, dan Kabupaten Lampung Tengah.
3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Pesisir Barat dan
Kabupaten Tanggamus.
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Pesisir Barat.
Berdasarkan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 3 Tahun 2017 tentang
Pembentukan, Organisasi dan Tatakerja Unit Pelaksana Dinas Daerah
Provinsi Lampung, UPTD KPH II Liwa mempunyai tugas : a)
melaksanakan kegiatan operasional dan/atau kegiatan teknis penunjang
Dinas dibidang pengelolaan hutan dalam wilayah kerja KPH yang telah
ditetapkan dengan wilayah kerja meliputi KHL Krui Utara Register 43 B,
KHL Gunung Seminung Reg. 9 B, KHL Palakiah Reg. 48 B, KHL Bukit
Serarukuh Reg. 17 B, KHL Way Tenong Kendali Reg. 44 B dan KHL
Bukit Rigis Reg. 45 B, dan b) melaksanakan tugas urusan bidang
kehutanan di luar kawasan hutan meliputi wilayah administrasi Kabupaten
Lampung Barat.
Page 35
14
3. Lokasi fokus penelitian
a. Kelompok HKm Bina Wana
Kelompok HKm Bina Wana beranggotakan 478 KK dan berada di
Pekon Tribudisyukur Kecamatan Kebun Tebu Kabupaten Lampung
Barat. Mendapatkan IUPHKm dari Bupati Lampung Barat seluas ±
645 ha di Kawasan Hutan Lindung Bukit Rigis Register 45 B, sesuai
dengan keputusan Bupati Lampung Barat Nomor
B/1454/KPTS/III.05/2007 tanggal 13 Desember 2007.
Batas-batas areal kerja kelompok HKm Bina Wana sebagai berikut:
Sebelah Utara : berbatasan langsung dengan hutan lindung
Register 34 Tangkit Tebak
Sebelah Selatan : berbatasan langsung dengan hutan lindung
Register 45 B Bukit Rigis
Sebelah Barat : berbatasan langsung dengan hutan lindung
Register 45 B (kanan jalan) dan Register 34
(kiri jalan)
Sebelah Timur : berbatasan langsung dengan Pekon Purajaya
b. Kelompok HKm Rigis Jaya II
Kelompok HKm Rigis Jaya II beranggotakan 74 KK dan berada di
Pekon Rigis Jaya Kecamatan Air Hitam Kabupaten Lampung Barat.
Page 36
15
Mendapatkan IUPHKm dari Bupati Lampung Barat seluas ± 205,92
ha di Kawasan Hutan Lindung Bukit Rigis Register 45 B, sesuai
dengan keputusan Bupati Lampung Barat Nomor
B/1452/KPTS/III.05/2007 tanggal 13 Desember 2007.
Batas-batas areal kerja kelompok HKm Rigis Jaya II sebagai berikut:
Sebelah Utara : berbatasan langsung dengan hutan tua
Sebelah Selatan : berbatasan langsung dengan lahan marga (hak
milik masyarakat)
Sebelah Barat : berbatasan langsung dengan areal kawasan
kelompok Hijau Kembali Dusun Buluh Kapur
Sebelah Timur : berbatasan langsung dengan Sungai Air Pauh
Dusun Lempaung Pekon Gedung Surian
c. Kelompok HKm Mitra Wana Lestari Sejahtera (MWLS)
Kelompok HKm MWLS beranggotakan 73 KK dan berada di Pekon
Simpang Sari Kecamatan Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat.
Mendapatkan IUPHKm dari Bupati Lampung Barat seluas ± 260,76
ha di Kawasan Hutan Lindung Bukit Rigis Register 45 B, sesuai
dengan keputusan Bupati Lampung Barat Nomor
B/1453/KPTS/III.05/2007 tanggal 13 Desember 2007.
Page 37
16
Batas-batas areal kerja kelompok HKm MWLS sebagai berikut:
Sebelah Utara : berbatasan langsung dengan Pekon Sukapura
Sebelah Selatan : berbatasan langsung dengan Pekon
Tribudisyukur dan hamparan Laksana
Kelurahan Tugusari
Sebelah Barat : berbatasan langsung dengan Lingkungan
Margalaksana II
Sebelah Timur : berbatasan langsung dengan sungai Air Abung
B. Hutan Lindung
Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, hutan lindung adalah
kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem
penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir,
mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan
tanah. Sementara itu, hutan lindung menurut Arief (2001) adalah kawasan-
kawasan resapan air yang memiliki curah hujan tinggi dengan struktur yang
mudah meresapkan air dan kondisi geomorfologinya mampu meresap air
hujan sebesar-besarnya. Hutan yang berfungsi sebagai pelindung merupakan
kawasan yang keberadaannya diperuntukkan sebagai pelindung kawasan air,
pencegah banjir, pencegah erosi dan pemeliharaan kesuburan tanah yang
berbeda untuk pengertian konservasi. Kawasan hutan dengan ciri khas
tertentu mempunyai fungsi perlindungan, sistem penyangga kehidupan,
Page 38
17
pengawetan keanekargaman hayati serta pemanfaatan secara lestari sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya.
Pengelolaan hutan lindung sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 2007 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor
3 Tahun 2008 meliputi kegiatan : tata hutan dan penyusunan rencana
pengelolaan hutan lindung, pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan
lindung, rehabilitasi dan reklamasi hutan lindung, perlindungan hutan dan
konservasi alam di hutan lindung. Pentingnya dilakukan pengelolaan kawasan
lindung karena upaya pengelolaan ini bertujuan untuk :
1. Meningkatkan fungsi lindung terhadap tanah, air, iklim, tumbuhan, satwa
serta nilai sejarah dan budaya bangsa.
2. Mempertahankan keanekaragaman tumbuhan, satwa, tipe ekosistem dan
keunikan alam.
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2004,
ada beberapa kriteria sebagai syarat penetapan kawasan sebagai kawasan
lindung, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah, dan
intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang
mempunyai jumlah nilai (score) 175 (seratus tujuh puluh lima) atau lebih.
2. Kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40% (empat puluh
perseratus) atau lebih.
3. Kawasan hutan yang berada pada ketinggian 2.000 (dua ribu) meter atau
lebih di atas permukaan laut.
Page 39
18
4. Kawasan hutan yang mempunyai tanah sangat peka terhadap erosi dengan
lereng lapangan lebih dari 15% (lima belas perseratus).
5. Kawasan hutan yang merupakan daerah resapan air.
6. Kawasan hutan yang merupakan daerah perlindungan pantai.
C. Agroforestri
Menurut Wardoyo (1997) agroforestri merupakan suatu bentuk hutan
kemasyarakatan yang memanfaatkan lahan secara optimal dalam suatu
hamparan, yang menggunakan produksi berdaur panjang dan berdaur pendek,
baik secara bersamaan maupun berurutan. Agroforestri merupakan system
pertanian yang kompleks, yang didominasi oleh pepohonan dan menyediakan
hampir semua hasil dan fasilitas hutan alam. Agroforestri dapat dilaksanakan
dalam beberapa model, antara lain tumpang sari (cara bercocok tanam antara
tanaman pokok dengan tanaman semusim), silvopasture (campuran kegiatan
kehutanan, penanaman rumput dan peternakan), silvofishery (campuran
kegiatan kehutanan dengan usaha perikanan), dan agroforestry (campuran
kegiatan pertanian dengan kehutanan).
Ciri dan karakteristik pemanfaatan lahan dengan sistem agroforestri antara
lain:
1. Usaha pemanfaatan lahan yang mengkombinasikan produksi dari berbagai
output dengan perlindungan bagi sumberdaya dasar,
2. Usaha pemanfaatan lahan sistem agroforestri umumnya lebih dari satu
tahun;
Page 40
19
3. Timbulnya interaksi dari beberapa aspek sosial, ekonomi, ekologi diantara
komponen-komponen tanaman pangan dengan tanaman pepohonan yang
berkayu,
4. Usaha pemanfaatan lahan dengan produk lebih dari dua macam, misalnya
tanaman pangan hortikultura meliputi sayuran, buah-buahan, obat-obatan,
pakan ternak ataupun kayu sebagai bahan energi dan atau sebagai bahan
industri perkayuan,
5. Mempunyai beberapa fungsi dari aspek lingkungan, misalnya konservasi
lahan terhadap kesuburan dan erosi/kelongsoran, penahan derasnya angin
yang akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman yang lain, sebagai tempat
peristirahatan keluarga untuk melakukan pekerjaan industri rumah tangga,
6. Usaha pemanfaatan lahan dengan sistem agroforestri yang sederhana pun
secara biologis maupun ekonomis lebih kompleks daripada usaha
pemanfaatan lahan monokultur,
7. Usaha pemanfaatan lahan diupayakan oleh seseorang maupun kelompok
secara terencana maupun tidak terencana menjadi tolok ukur keberhasilan
sistem agroforestri,
8. Usaha pemanfaatan lahan dengan sistem agroforestri melibatkan lebih
banyak nilai-nilai sosial budaya yang saling mempengaruhi, dibandingkan
dengan sistem pemanfaatan lahan lainnya,
9. Mempunyai strata tajuk yang bervariasi khususnya pada komunitas
vegetasi yang membentuk ekosistem setempat (Lahjie, 2004).
Page 41
20
Agroforestri memiliki beberapa keunggulan baik dari segi ekologi/
lingkungan, ekonomi dan sosial budaya yaitu sebagai berikut:
a. Memiliki stabilitas ekologi yang tinggi karena agrofrorestri memiliki :
Multi jenis : memiliki keanekaragaman hayati yang lebih banyak atau
memiliki rantai makanan/energi yang lebih lengkap.
Multi strata tajuk, dapat menciptakan iklim mikro dan konservasi tanah
dan air yang lebih baik
Kesinambungan vegetasi, sehingga tidak pernah terjadi keterbukaan
permukaan tanah yang ekstrim, yang merusak kesinambungan
ekologinya
Penggunaan bentang lahan secara efisien
b. Memiliki keunggulan ekonomi, yakni memberi kesejahteraan kepada
petani relatif lebih tinggi dan berkesinambungan, karena agroforestri
memiliki:
Tanaman yang ditanam lebih beragam, biasanya dipilih jenis-jenis
tanaman yang mempunyai nilai komersial dengan potensi pasar yang
besar.
Kebutuhan investasi yang relatif rendah, atau mungkin dapat dilakukan
secara bertahap.
c. Keunggulan sosial budaya yang berhubungan dengan kesesuaian
(adaptability) yang tinggi dengan kondisi pengetahuan, keterampilan dan
sikap budaya masyarakat petani, karena memiliki:
Page 42
21
Teknologi yang fleksibel, dapat dilaksanakan dari sangat intensif untuk
masyarakat yang sudah maju sampai kurang intensif untuk masyarakat
yang masih tradisional dan subsisten.
Kebutuhan input, proses pengelolaan sampai jenis agroforestri
umumnya sudah sangat dikenal dan biasa dipergunakan oleh
masyarakat setempat.
Filosofi budaya yang efisien, yakni memperoleh hasil yang relatif besar
dengan biaya atau pengorbanan yang relatif kecil.
Agroforestri dapat dan sangat cocok dilakukan oleh masyarakat luas,
adanya pemerataan kesempatan usaha dan menciptakan struktur supply
yang lebih kompetitif.
Kepercayaan yang diberikan masyarakat akan direspon dengan rasa
memiliki dan menjaga sumber daya hutan/lahan yang memberi manfaat
nyata kepada mereka.
D. Hutan Kemasyarakatan (HKm)
1. Pengertian hutan kemasyarakatan
Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial,
Hutan Kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya
ditujukan untuk memberdayakan masyarakat. Penyelenggaraan Hutan
Kemasyarakatan dimaksudkan untuk pengembangan kapasitas secara
lestari guna menjamin ketersediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat
Page 43
22
setempat untuk memecahkan persoalan ekonomi sosial yang terjadi di
masyarakat. Hutan Kemasyarakatan bertujuan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat setempat melalui pemanfaatan sumberdaya
hutan secara optimal, adil dan berkelanjutan dengan tetap menjaga
kelestarian fungsi hutan dan lingkungan hidup.
Pemberdayaan masyarakat setempat tersebut dilakukan melalui pemberian
Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm). Izin Usaha
Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) adalah izin usaha yang
diberikan kepada kelompok atau gabungan kelompok masyarakat setempat
untuk memanfaatkan hutan pada kawasan hutan lindung dan kawasan
hutan produksi. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor P.83 Tahun 2016 pasal 16 menyebutkan bahwa kawasan hutan
yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja HKm adalah kawasan hutan
lindung dan hutan produksi yang belum dibebani izin, hutan lindung yang
dikelola oleh Perum Perhutani dan wilayah tertentu dalam KPH.
2. Pelaksanaan hutan kemasyarakatan
Pelaksanaan hutan kemasyarakatan memiliki prinsip-prinsip dasar sebagai
berikut:
1. Masyarakat sebagai pelaku utama
Sejalan dengan pembangunan kehutanan yang ingin memberdayakan
masyarakat, maka dalam HKm, yang menjadi pelaku utama dalam
pelaksanaannya adalah masyarakat yang berada di dalam atau di sekitar
Page 44
23
kawasan hutan yang kawasannya ditetapkan sebagai areal kerja HKm
(Wardoyo, 1997). Pelaksanaan HKm diprioritaskan pada masyarakat
setempat yang kehidupannya tergantung pada sumberdaya hutan.
Hutan dan masyarakat sekitarnya merupakan satu kesatuan ekosistem
yang satu sama lain saling ketergantungan. Hutan bagi masyarakat
tradisional dianggap sebagai sumber penghasil makanan/kebutuhan,
seperti buah-buahan, berburu binatang, bahan bakar, dan lain-lain.
Sebaliknya masyarakat moderen lebih memandang hutan sebagai
sumber bahan mentah bagi proses manufaktur untuk mendapatkan nilai
tambah yang lebih lanjut. Atas dasar ini, semua diaktualisasikan dalam
bentuk pemberian hak pengusahaan kepada masyarakat lokal untuk
mengusahakannya (Wardoyo, 1997).
2. Memiliki kepastian hak dan kewajiban sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.83
Tahun 2016, pemegang IUPHKm berhak :
a. Mendapat perlindungan dari gangguan perusakan dan pencemaran
lingkungan atau pengambilalihan secara sepihak oleh pihak lain.
b. Mengelola dan memanfaatkan IUPHKm sesuai dengan kearifan
lokal antara lain sistem usaha tani terpadu.
c. Mendapat manfaat dari sumber daya genetik yang ada di dalam
IUPHKm.
d. Mengembangkan ekonomi produktif berbasis kehutanan.
e. Mendapat pendampingan dalam pengelolaan HKm serta
penyelesaian konflik.
Page 45
24
f. Mendapat pendampingan kemitraan dalam pengembangan usahanya.
g. Mendapat pendampingan penyusunan rencana kerja usaha dan
rencana kerja tahunan.
h. Mendapat perlakuan yang adil atas dasar gender ataupun bentuk
lainnya.
Adapun kewajiban pemegang IUPHKm adalah sebagai berikut:
a. Menjaga arealnya dari perusakan dan pencemaran lingkungan.
b. Memberi tanda batas areal kerjanya.
c. Menyusun rencana kerja usaha dan rencana kerja tahunan serta
menyampaikan laporan pelaksanaannya kepada pemberi hak atau
izin.
d. Melakukan penanaman dan pemeliharaan hutan di areal kerjanya.
e. Melaksanakan tata usaha hasil hutan.
f. Membayar provisi sumber daya hutan.
g. Mempertahankan fungsi hutan
h. Melaksanakan perlindungan hutan.
3. Keragaman komoditas (kayu dan non kayu), keadilan dan kelestarian,
sederhana dan dinamis. Komoditas tanaman yang digunakan dalam
HKm harus dipilih sesuai dengan karakteristik daerah dan lahan yang
akan ditanami. Sebelum melakukan pemilihan komoditas, harus
dilakukan inventarisasi dan identifikasi tanaman yang ada di daerah
tersebut. Pemilihan komoditas termasuk hal yang sangat penting.
Secara teknis pemilihan jenis komoditas ini mempertimbangkan faktor
Page 46
25
fisik teknis/ekologi, faktor sosial ekonomi dan sosial budaya (Wardoyo,
1997).
Faktor fisik teknis/ekologi yang harus diperhatikan antara lain adalah
tinggi tempat, kemiringan (topografi), kesuburan tanah, iklim (curah
hujan dan suhu), kondisi vegetasi awal. Faktor-faktor yang harus
diperhatikan dari segi sosial ekonomi adalah komoditas memiliki nilai
ekonomi yang tinggi, disukai masyarakat setempat dan mempunyai
prospek pasar yang baik dan mempunyai fungsi Multi Purpose Tree
Species (MPTS). Selain faktor tersebut juga harus diperhatikan kondisi
sosial budaya masyarakat setempat, antara lain adat-istiadat, keberadaan
pemimpin masyarakat baik formal maupun tidak formal, serta
kelembagaan adat (Wardoyo, 1997).
E. Pendapatan Rumah Tangga Petani
Pendapatan atau keuntungan merupakan selisih antara penerimaan dengan
biaya. Penerimaan merupakan hasil berkaitan antara jumlah produksi dengan
harga, sedangkan biaya merupakan hasil perkalian antara jumlah faktor
produksi dengan harga faktor produksi tersebut, Soekartawi ( 2011).
Beberapa ukuran pendapatan sebagai berikut:
1. Pendapatan kerja petani (operator’s farm labor income). Pendapatan ini
diperhitungkan dari penerimaan hasil jualan, penerimaan diperhitungkan
dari yang dipergunakan untuk keluarga ditambah kenaikan nilai inventaris
Page 47
26
dikurangi dengan pengeluaran tunai, dikurangi dengan pengeluaran yang
diperhitungankan termasuk bunga modal.
2. Penghasilan kerja petani (operator’s farm labor income), diperoleh dari
pendapatan kerja petani ditambah penerimaan diperhitungkan dari yang
dipergunakan untuk keluarga misalnya tanaman dan hasilnya dikonsumsi
keluarga.
3. Penghasilan kerja keluarga (family farm labor incme), diperoleh dari
penghasilan dengan nilai tenaga keluarga. Ukuran terbaik jika usaha tani
dikerjakan dari berbagai sumber.
4. Penghasilan keluarga (family income), yaitu penghasilan total produk
pendapatan keluarga dari berbagai sumber (Hernanto, 1995).
5. Total pendapatan petani adalah jumlah pendapatan bersih dari seluruh
anggota yang bekerja sama selama satu tahun, yang dihitung dalam rupiah
(Prayitno, 1987).
Pendapatan kotor usaha tani adalah penerimaan total usaha tani dalam jangka
waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual. Sedangkan
pengeluaran total usaha tani adalah nilai-nilai semua masukan yang
dikeluarkan dalam produksi, tetapi termasuk tenaga kerja keluarga petani.
Selisih antara pendapatan kotor usaha tani dan pengeluaran total usaha tani
adalah nilai bersih dari pendapatan yang diperoleh petani (Soekartawi, 2005).
Pendapatan rumah tangga petani dapat mencerminkan keadaan ekonomi
rumah tangga. Tinggi rendahnya tingkat pendapatan rumah tangga petani
dapat memperlihatkan tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga, Khususiyah
et al. (2010). Secara agregat pendapatan rumah tangga petani agroforestri di
Page 48
27
HKm diperoleh dari dua sumber pendapatan, yaitu sumber pendapatan dari
pertanian dan non-pertanian.
Pendapatan sangat mempengaruhi perekonomian rumah tangga, pendapatan
yang rendah akan menimbulkan kemiskinan bagi tangga tersebut (Prayitno,
1987). Salah satu cara untuk mengetahui kemiskinan suatu rumah tangga
dapat menggunakan garis kemiskinan menurut bank dunia. Perkiraan garis
kemiskinan merupakan refleksi dari suatu konsep kemiskinan. Garis
kemiskinan merupakan dasar dalam mengukur tingkat kemiskinan. Bank
dunia menggunakan US $ 1 per hari perkapita dan dewasa ini dikembangkan
menjadi US $2 per hari per kapita (Susilowati, 2010).
Peningkatan pendapatan usaha dapat dilakukan dengan cara meningkatkan
skala usaha seperti peningkatan jumlah ternak, peningkatan luas lahan,
penggunaan pakan dari lahan sendiri secara intensif dan penggunaan pupuk
kandang (Hidayat, 2007). Hal tersebut sesuai dengan Mankiw (2003) yang
menyatakan bahwa tinggi rendahnya pendapatan yang diperoleh ditentukan
oleh modal fisik berupa peralatan, sumberdaya manusia dan pengetahuan
teknologi. Jika pekerja bekerja dengan peralatan atau struktur yang lebih
modern dan lengkap, maka output yang diproduksi akan lebih baik. Begitu
juga halnya jika pekerja lebih terdidik, produksinya akan lebih tinggi dan jika
pekerja memiliki akses ke teknologi yang lebih canggih, maka produksi yang
dihasilkan akan lebih tinggi. Produksi yang tinggi memiliki pengaruh
terhadap tinggi rendahnya pendapatan. Pendapatan usaha tani adalah
besarnya manfaat atau hasil yang diterima oleh petani yang dihitung
Page 49
28
berdasarkan dari nilai produksi dikurangi semua jenis pengeluaran yang
digunakan untuk produksi. Untuk itu pendapatan usaha tani sangat
dipengaruhi oleh besarnya biaya sarana produksi, biaya pemeliharaan, biaya
pasca panen, pengolahan dan distribusi serta nilai produksi (Soekartawi,
2005). Menurut Mandaka dan Hutagaol (2005) bahwa pendapatan
merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya selama kurun waktu
tertentu.
Pendapatan dari suatu usaha tani dapat dikatakan sukses jika memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1. Cukup untuk membayar semua sarana produksi, tingkat biaya angkutan,
dan biaya administrasi yang melekat pada pembelian tersebut.
2. Cukup untuk membayar bunga modal yang ditanamkan, termasuk sewa
tanah dan pembayaran depresiasi.
3. Cukup untuk membayar kerja yang dibayar atau upah lainnya untuk kerja
yang diupah (Soeharjo dan Patong, 1973).
F. Tingkat Kelayakan Hidup Petani
Tingkat kelayakan hidup suatu masyarakat dapat diukur, salah satunya
dengan mengetahui besarnya pengeluaran perkapita pertahun yang diukur
dengan harga atau nilai beras setempat. Menurut Sajogyo (1997), berikut
beberapa parameter kelayakan :
1. Paling miskin, apabila pengeluaran/kapita/tahun ˂ dari 180 kg setara nilai
beras/tahun.
Page 50
29
2. Miskin sekali, apabila pengeluaran/kapita/tahun 181-240 kg setara nilai
beras/tahun.
3. Miskin, apabila pengeluaran/kapita/tahun 241-480 kg setara nilai
beras/tahun.
4. Nyaris miskin, apabila pengeluaran/kapita/tahun 321-480 kg setara nilai
beras/tahun.
5. Cukup, apabila pengeluaran/kapita/tahun 481-960 kg setara nilai
beras/tahun.
6. Hidup layak, apabila pengeluaran/kapita/tahun/lebih > 960 kg setara nilai
beras/tahun.
G. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Petani
1. Luas lahan
Luas lahan yang dimiliki petani merupakan salah satu faktor yang
mempengaruh pendapatan petani, Zega et al. (2013). Semakin luas lahan
yang dimiliki petani, maka semakin banyak pula jenis tanaman yang
dapat ditanam dan dikelola di dalam lahan tersebut, dengan demikian
semakin besar pula pendapatan yang diperoleh petani. Menurut hasil
penelitian Patty (2010), luas lahan berpengaruh signifikan terhadap
pendapatan petani kopra. Kenaikan luas lahan sebesar 1% akan
meningkatkan pendapatan petani kopra sebesar 0,155%.
Page 51
30
2. Jumlah jenis tanaman
Jumlah jenis tanaman , terutama tanaman yang telah berproduksi
merupakan salah satu faktor produksi yang mempengaruhi pendapatan
petani. Sebelum memilih jenis tanaman yang akan ditanam, petani
melakukan identifikasi terhadap berbagai ragam produk yang
dikembangkan, kemudian dipilih salah satu jenis atau kombinasi jenis
yang paling sesuai ditinjau dari prospeknya di masa mendatang. Untuk
menjamin keberhasilan usaha maka komoditas yang dipilih selain
mempunyai keunggulan komperatif berupa kenaikan produk yang
dimiliki sesuai spesifik lokasi, juga harus memiliki keunggulan
kompetitif (daya saing) baik di lingkungan domestik/lokal maupun
internasional. Keunggulan kompetitif tersebut antara lain mencakup
baik mutu produk (quality), harga produk (price) maupun layanan yang
dapat diberikan (service) (Mile, 2007).
Pemilihan komoditas yang mempunyai keunggulan komperatif pada
gilirannya dapat dikembangkan menjadi komoditas yang mempunyai
keunggulan kompetitif, khususnya di era pasar global saat ini. Dida
(2002) menekankan pentingnya pemilihan jenis berdasarkan
pertimbangan teknis dan ekonomis dengan memperhitungkan
keuntungan dan kerugiannya karena faktor resiko selalu ada dalam setiap
pemilihan jenis tanaman tertentu. Karena itu dalam pengusahaannya
diperlukan dukungan pengembangan ilmu dan teknologi baru.
Page 52
31
3. Pendidikan
Menurut Zega et al. (2013) tingkat pendidikan dinilai dapat
mempengaruhi besar kecilnya pendapatan petani, hal ini disebabkan
tingkat pendidikan dapat mempengaruhi kemampuan berfikir seseorang.
Tingkat pendidikan yang paling banyak adalah lulusan SMA dan yang
paling sedikit adalah lulusan sarjana (S1). Tingkat pendidikan yang
masih rendah sangat berpengaruh terhadap keterampilan dan kemampuan
menyerap informasi dalam mengembangkan agroforestri sehingga
banyak masyarakat mengelola lahan hanya berdasarkan pengalaman dan
turun-temurun.
4. Etnis/suku
Sistem agroforestri dapat dengan mudah diterima dan dikembangkan
kalau manfaat sistem agroforestri itu lebih besar dari pada kalau
menerapkan sistem lain. Aspek ini mencakup atas perhitungan resiko,
fleksibilitas, terhadap peran gender, kesesuaian dengan suku budaya
setempat, agama, keselarasan dengan usaha lain, dan sebagainya.
Pengambilan keputusan petani dalam pengusahaan agroforestri tidak
selalu didasarkan kepada pertimbangan finansial atau dengan kata lain
pertimbangan finansial tidak selalu menjadi aspek nomor satu dalam
pengambilan keputusan tetapi ada aspek sosial budaya yang lebih
dominan dan latar belakang suku petani (Suharjito et al. 2003).
Page 53
32
Sistem penggunaan lahan yang diterapkan secara perorangan harus
selaras dengan budaya setempat dan visi masyarakat terhadap kedudukan
dan hubungan mereka dengan alam. Bentuk bentang lahan penggunaan
lahan dan perkembangannya merupakan bagian dari identitas masyarakat
yang hidup di dalamnya. Petani biasanya memiliki kebutuhan yang kuat
untuk memihak pada agama dan budaya setempat. Sejarah dan tradisi
memainkan peran penting dalam kehidupan, cara dan sistem penggunaan
lahan mereka (Reijntjes et al. 1992).
Perubahan yang tidak selaras dengan nilai-nilai sosial, budaya, spiritual
mereka, bisa menyebabkan stress dan menciptakan kekuatan yang
berlawanan. Kemampuan untuk memperoleh kehidupan yang layak
(termasuk mewariskan sesuatu kepada anak cucu) dan sesuai dengan
budaya setempat akan memberikan rasa harga diri pada individu atau
keluarga. Identitas suatu keluarga petani atau komunitas dipertahankan
dengan teknologi yang memungkinkan mereka menjadi mandiri dan
mampu mengendalikan pengambilan keputusan atas pemanfaatan sumber
daya dan produk setempat (Reijntjes et al. 1992).
5. Jumlah tenaga kerja
Pengelolaan agroforestri melibatkan suatu organisasi sosial. Pada tingkat
keluarga atau rumah tangga terwujud pembagian kerja antara laki-laki
dan perempuan, orang tua dan anak-anak. Pengelolaan agroforestri oleh
suatu keluarga atau rumah tangga merupakan bagian dari keseluruhan
Page 54
33
pengelolaan sumber daya keluarga atau rumah tangga. Ketersediaan
tenaga kerja dan pola pembagian kerja dalam keluarga atau rumah tangga
mempengaruhi pilihannya untuk mengembangkan agroforestri.
Menurut Nurmala et al. (2012) tenaga kerja merupakan faktor produksi
pertanian yang bersifat unik, baik dalam jumlah yang digunakan,
kualitas, maupun penawaran dan permintaan, demikian pula upah
perharinya antar satu daerah dengan daerah lainnya bervariasi. Tenaga
kerja manusia merupakan tenaga kerja yang pertama kali sebelum tenaga
ternak digunakan untuk membantu petani mengolah lahan atau
mengangkut hasil pertanian. Selama pekerjaan-pekerjaan dalam
pertanian dapat dikerjakan oleh tenaga manusia petani tidak akan
menggunakan tenaga ternak atau tenaga mesin. Umumnya petani
berlahan sempit selalu menggunakan tenaga manusia yang bersumber
dari keluarga sedangkan petani kaya lebih banyak menggunakan tenaga
buruh tani.
Pekerjaan-pekerjaan dibidang pertanian sifatnya bermusim karena itu
kebutuhan tenaga kerja sektor ini tidak dilakukan sepanjang tahun. Pada
saat pengolahan tanah musim hujan tenaga kerja buruh tani sangat
banyak dibutuhkan tetapi pada saat pemeliharaan tanaman tenaga kerja
yang dibutuhkan relatif sedikit kemudian pada saat panen kebutuhan
tenaga kerja bertambah lagi. Kondisi yang demikian sering
menimbulkan peningkatan jumlah buruh tani atau upah panen yang biasa
berlaku (Nurmala et al. 2012).
Page 55
34
Jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan persatuan luas lahan pertanian
tertentu dipengaruhi beberapa faktor antara lain.
1) Jenis tanaman yang diusahakan, misalnya usaha tani sayuran
memerlukan tenaga kerja yang lebih banyak dari pada tanaman padi
sawah atau tanaman tahunan.
2) Tingkat pengusahaan atau pengelolaan usaha tani, semakin intensif
pengelolaan usaha tani maka tenaga kerja yang diperlukan semakin
banyak meskipun tanaman yang diusahakan sama.
3) Jenis tanah dan sifat tanah, tanah yang berat akan memerlukan
tenaga yang lebih banyak daripada tanah yang ringan.
4) Musim tanaman dan sistem irigasi pada lahan sawah, sawah tadah
hujan, biasanya memerlukan tenaga kerja lebih banyakdari pada
sawah beririgasi teknis, karena pada sawah tadah hujan sering
kekurangan air jika telah diolah sehingga perlu diolah lagi.
5) Pola tanam, pola tanam diversifikasi lebih banyak membutuhkan
tenaga kerja dari pada pola tanaman spesialisasi (Nurmala et al.
2012).
Cara memenuhi tenaga kerja pada usaha tani pertanian rakyat dan
perkebunan besar negara dan swasta sangat berbeda. Pada pertanian
rakyat kebutuhan tenaga kerja sebagian besar dicukupi dengan tenaga
kerja keluarga, terutama petani yang berlahan sempit. Petani yang
berlahan luas kebutuhan usaha kerja sebagian besar seluruhnya dipenuhi
dengan tenaga buruh tani karena petani umumnya mempunyai usaha lain
Page 56
35
diluar sektor pertanian yang lebih memerlukan perhatiaanya (Nurmala et
al. 2012).
Pekerjaan-pekerjaan disektor pertanian sifatnya bermusim sehingga jarang
petani yang mempunyai tenaga buruh tani tetap kecuali untuk petani yang
berlahan luas biasanya mempunyai buruh tani yang tetap misalnya sebagai
pengangon ternak atau penjaga kebun. Beberapa sistem kerja yang sudah
biasa berlaku disektor pertanian yaitu:
1) Sistem kerja harian (tetap dan tidak tetap) yaitu buruh tani yang
bekerja seorang petani, kemudian setelah buruh tani tersebut selesai
bekerja maka pada hari itu juga dibayar upahnya. Pada hari
berikutnya buruh tani tersebut bekerja pada petani lainnya, tetapi
bagi buruh tani harian tetap ia tidak boleh pindah bekerja dipetani
lainnya, tetapi bagi buruh tani harian tetap ia tidak boleh pindah
kerja pada petani lain selama pekerjaan yang ditugaskan kepadanya
belum selesai.
2) Sistem kerja bulanan, pada sistem kerja bulanan ini buruh/karyawan
dibayar setiap sebulan sekali. Sistem kerja ini dipakai pada usaha
perkebunan dan peternakan yang bersifat agroindustri. Pada sistem
kerja ini tingkat upah buruh/karyawan ditentukan oleh masa kerja,
pendidikan, atau jabatan dan sudah diatur oleh perundang-undangan
tertentu. Oleh karena itu, sudah mempunyai standar upah tertentu
dalam bentuk upah minimum regional (UMR) yang pasti.
Page 57
36
3) Sistem kerja ceblokkan, pada sistem kerja ini buruh tani yang
bekerja pada seorang petani untuk mengerjakan semua pekerjaan
dalam usaha taninya sejak mulai bertanam sampai dengan panen.
Upahnya dibayar oleh usaha tani seperti sietem bagi hasil. Upah
kerja pada sistem ini berkisar antara 20-30% dari hasil kotor .
4) Sistem kerja borongan, pada sistem kerja borongan ini, buruh tani
upahnya dibayar pada saat semua pekerjaan selesai dikerjakan, yang
lainnya sesuai dengan perjanjian. Pekerjaan-pekerjaan yang biasa
diborongkan adalah mengolah tanah, menyiang atau memanen.
5) Sistem kerja gotong royang, sistem kerja ini biasanya digunakan
pada pekerjaan yang menyangkut kepentingan umum petani,
misalnya dalam perbaikan saluran irigasi tersier atau perbaikan
gorong-gorong yang menuju suatu petak percontohan atau petak
tersier kelompok tani. Pada sistem gotong royaong ini upah dan
besarannya pun tidak tentu. Sekarang sistem kerja gotong royong
mulai jarang ditemukan (Nurmala et al. 2012).
Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja buruh tani
adalah jenis kelamin, usia, kesehatan, waktu kerja, alat bantu kerja dan
upah kerja. Perlu diketahui bahwa yang termasuk angkatan kerja atau
usia kerja dalam pertanian adalah penduduk yang berusia antara 10
sampai dengan 64 tahun (Nurmala et al. 2012).
Page 58
37
Menurut Nurmala et al. (2012) satuan-satuan tenaga kerja yang biasanya
digunakan sebagai dasar untuk menghitung kebutuhan tenaga kerja
dalam pertanian adalah :
1) Hari kerja pria (HKP) atau HOK adalah waktu kerja seorang tenaga
laki-laki dewasa selama 6 jam per hari.
2) Hari kerja wanita (HKW) adalah waktu kerja tenaga seorang wanita
dewasa selama 6 jam kerja per hari.
3) Hari kerja anak (HKA) adalah waktu kerja anak 10 tahun ke atas
selama 6 hari kerja per hari.
4) Hari kerja ternak (HKT) adalah waktu kerja sepasang ternak 5-6 jam
per hari..
5) Hari kerja mesin (HKM) adalah waktu kerja mesin dalam
menyelesaikan suatu luas lahan pertanian per waktu tertentu
6. Jarak dari rumah ke kebun
Jarak rumah petani dengan lahannya secara nyata akan mempengaruhi
kunjungan petani terhadap lahan yang dikelolanya. Semakin jauh jarak
rumah petani dengan lahannya, akan semakin jarang dikunjungi.
Sehingga lahan tersebut cenderung ditana mi dengan jenis yang sama dan
kurang variatif. Sebaliknya untuk lahan yang berdekatan dengan rumah
akan cenderung mudah mengalami perubahan fungsi terkait jenis
tanaman yang diterima petani. Hal ini tentu akan sangat mempengaruhi
pendapatan petani yang diperoleh dari produktivitas yang dihasilkan dari
jenis-jenis tanaman yang dihasilkan (Diniyati dan Awang, 2010).
Page 59
38
7. Pelatihan
Kata pelatihan berasal berasal dari kata “latih” yang di tambah dengan
awalan pe dan akhiran an yang artinya telah biasa (Poerwadarminta,
1986). Keadaan telah biasa diperoleh seseorang setelah melalui proses
belajar atau diajar. Latihan berarti pelajaran untuk membiasakan diri atau
memperoleh kecakapan tertentu. Pelatihan adalah orang-orang yang
memberikan pelatihan. Kata pelatihan diberikan awalan pe dan akhiran
an. Bermakna pemberian sifat pada kegiatan pemberian latihan kepada
seseorang atau sekelompok orang sehingga memiliki sejumlah
keterampilan/kecakapan yang dibutuhkan. Pelatihan merupakan upaya
untuk mengembangkan sumber daya manusia. Pelatihan juga merupakan
bagian dari proses pendidikan yang tujuannya untuk mengingat
kemampuan atauketerampilan khusus seseorang atau sekelompok orang.
Pendidikan dan pelatihan saat ini sudah merupakan suatu keharusan
dilakukan oleh suatu organisasi dan tidak dapat diabaikan, karena hal ini
dapat dipandang sebagai penanaman modal. Pendidikan dan pelatihan
yang terencana, secara teratur akan dapat meningkatkan kemampuan dan
keterampilan kerja yang sekaligus mengarah kepada peningkatan
produktivitas kerja. Dalam istilah lain dapat dikatakan bahwa tingkat
penghasilan seseorang meningkat dengan bertambahnya tingkatan
pendidikan dan pelatihan (Tjiptoherijanto, 1989). Oleh karena itu sangat
masuk akal bila pendidikan dan pelatihan harus di perhatikan secara
serius.
Page 60
39
Menurut Simamora (2004) bahwa tujuan pemberian pelatihan adalah
sebagai berikut :
1) Memperbaiki kinerja
2) Memutahirkan keahlian seseorang sejalan dengan kemajuan
teknologi
3) Mengurangi waktu pembelajaran bagi orang baru agar kompeten
dalam bekerja
4) Membantu dalam memecahkan masalah operasional
5) Mempersiapkan karyawan untuk promosi
6) Mengorientasikan karyawan terhadap organisasi
7) Memenuhi kebutuhan pertumbuhan pribadi
Dari pendapat di atas, maka dapat diartikan bahwa pelatihan itu
sebenarnya untuk meningkatkan kecerdasan serta meningkatkan keahlian
seseorang pada masing-masing bidang pekerjaan agar nantinya dapat
bekerja secara efektif dan efisien. Jenis pelatihan menurut Simamora
(2004), jenis-jenis pelatihan yang dapat diselenggarakan didalam
organisasi adalah sebagai berikut:
1) Pelatihan keahlian, merupakan pelatihan yang sering dijumpai
didalam organisasi. Kriteria penilaian efektivitas pelatihan juga
berdasarkan pada sasaran yang didefinisikan dalam tahap penilaian
2) Pelatihan ulang, adalah subset pelatihan keahlian. Pelatihan ulang
berupaya memberikan para pegawai keahlian-keahlian yang mereka
butuhkan untuk menghadapi tuntutan kerja yang berubah-ubah.
Page 61
40
3) Pelatihan lintas fungsional. Melibatkan pelatihan pegawai untuk
melakukan aktivitas kerja dalam bidang lainnya selain pekerjaan
yang ditugaskan.
Adapun beberapa manfaat dari sebuah pelatihan diantaranya, menurut
Simamora (2004) adalah sebagai berikut :
1) Manfaat untuk karyawan
a. Membantu karyawan dalam membuat keputusan dan pemecahan
masalah yang lebih efektif
b. Membantu mendorong dan mencapai pengembangan diri dan
rasa percaya diri.
c. Membantu karyawan mengatasi stress, tekanan, frustasi dan
konflik
2) Manfaat untuk perusahaan
a. Mengarahkan untuk meningkatkan profitabilitas atau sikap yang
lebih positif terhadap orientasi profit
b. Membantu karyawan untuk mengetahui tujuan perusahaan
c. Menciptakan hubungan antara karyawan dan atasan.
3) Manfaat dalam hubungan SDM, antar grup dan pelaksanaan
kebijakan
a. Meningkatkan komunikasi antar grup dan individual
b. Memberikan iklim yang baik untuk belajar, pertumbuhan dan
koordinasi
c. Membuat perusahaan menjadi tempat yang lebih baik untuk
bekerja dan hidup
Page 62
III. METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni-Agustus 2016, bertempat di blok
pemanfaatan Kelompok Tani Bina Wana, Rigis Jaya II dan MWLS pada
KPHL Unit II Liwa, Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung. Ketiga
kelompok tersebut merupakan kelompok pionir yang mendapatkan IUPHKm
di Provinsi Lampung dan pernah mendapatkan juara pada Lomba Wana
Lestari baik tingkat provinsi maupun nasional.
B. Alat dan Objek Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian terdiri dari alat tulis, kamera, computer
dan kalkulator. Bahan yang digunakan yaitu kuisioner. Objek penelitian
adalah anggota kelompok HKm Bina Wana, Rigis Jaya II dan MWLS.
C. Metode
1. Batasan Penelitian
Dalam penelitian ini beberapa istilah yang digunakan didefinisikan sebagai
berikut :
Page 63
42
1. HKm adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan
untuk memberdayakan masyarakat setempat.
2. Petani HKm adalah petani anggota kelompok atau gabungan
kelompok yang telah mendapatkan IUPHKm.
3. Kegiatan agroforestri adalah kegiatan petani pada areal kerja HKm
yang mengkombinasikan tanaman kehutanan dan pertanian dengan
tujuan untuk menambah pendapatan.
4. Kegiatan non agroforestri (non HKm) adalah kegiatan lain yang
dilakukan petani di luar areal kerja HKm, dengan tujuan untuk
menambah pendapatan.
5. Pendapatan petani adalah pendapatan yang diterima petani dari hasil
kegiatan agroforestri di areal HKm dan non agroforestri (non HKm).
2. Jenis data yang dikumpulkan
a. Data primer
Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari observasi
dan pengamatan di lapangan pada anggota kelompok HKm Bina
Wana, Rigis Jaya II dan MWLS di KPH II Liwa. Data primer
meliputi:
1) Identitas responden, yang terdiri dari : nama, umur, jumlah anggota
keluarga, pendidikan terakhir, jumlah pelatihan/pertemuan dan
etnis.
Page 64
43
2) Komposisi tanaman yang terdiri dari jenis tanaman pertanian dan
perkebunan yang telah berproduksi dan tanaman kehutanan.
3) Data potensi ekonomi rumah tangga yang terdiri dari luas
penggunaan lahan HKm dan kegiatan non agroforestri responden.
b. Data sekunder
Data sekunder mencakup keadaan umum lokasi penelitian baik
lingkungan fisik, sosial ekonomi masyarakat serta data-data lainnya
yang berkaitan dengan penelitian yang bersumber dari pustaka
maupun instansi terkait.
3. Metode pengumpulan data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara :
1. Observasi
Data dikumpulkan melalui pengamatan langsung terhadap obyek
yang diteliti, baik untuk responden maupun kondisi areal kerja HKm.
2. Wawancara
Wawancara dilakukan untuk memperoleh data primer. Data
dikumpulkan melalui tanya jawab/wawancara yang dilakukan
langsung terhadap responden. Wawancara dilakukan dengan
menggunakan daftar pertanyaan umum atau kuisioner untuk
memperoleh informasi.
Page 65
44
3. Studi Pustaka
Studi pustaka merupakan salah satu cara pengumpulan data sekunder
dengan cara membaca atau mengutip teori-teori yang berasal dari
buku, jurnal dan instansi terkait.
4. Metode pengambilan sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah anggota kelompok HKm Bina
Wana, Rigis Jaya II dan MWLS pada UPTD KPH II Liwa yang telah
mendapatkan IUPHKm pertama kali di Provinsi Lampung. Adapun
sampel adalah perwakilan anggota kelompok HKm yang dipilih
berdasarkan teknik sampling /atau secara purposive sampling (Sugiyono,
2012). Jumlah populasi/anggota kelompok HKm Bina Wana, Rigis Jaya
II dan MWLS dalam penelitian ini berjumlah 625 (enam ratus dua puluh
lima) responden dengan rincian masing-masing kelompok sebagai
berikut :
1) Jumlah anggota kelompok HKm Bina Wana yaitu 478 KK dengan
luas lahan 645 ha
2) Jumlah anggota kelompok HKm Rigis Jaya II yaitu 74 KK dengan
luas lahan 205,92 ha
3) Jumlah anggota kelompok HKm MWLS yaitu 73 KK dengan luas
lahan 260,76 ha (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, 2016).
Jika populasi lebih dari 100 maka batas error yang digunakan adalah 10-
15% (Arikunto, 2006). Batas error yang digunakan dalam pengambilan
Page 66
45
sampel ini adalah 15%. Penentuan jumlah sampel berdasarkan formula
Slovin (Soewadji, 2012), berikut ini:
n = N
N (e)2 + 1
Keterangan:
n = jumlah sampel responden yang diambil dalam penelitian
N = jumlah populasi petani anggota kelompok yang ada di lokasi
penelitian
e = batas error (15 %)
1 = bilangan konstan
a. Perhitungan jumlah sampel kelompok HKm Bina Wana
n = 478
478 (0,15)2 + 1
n = 41 responden
b. Perhitungan jumlah sampel kelompok HKm Rigis Jaya II
n = 74
74 (0,15)2 + 1
n = 28 responden
c. Perhitungan jumlah sampel kelompok HKm MWLS
n = 73
73 (0,15)2 + 1
n = 27 responden
Page 67
46
Berdasarkan perhitungan di atas maka total sampel berjumlah 96
(sembilan puluh enam) orang. Pemilihan sampel dilakukan secara
purposive sampling yaitu pengambilan sampel berdasarkan kesengajaan
(Soekartawi, 1995) dengan pertimbangan responden adalah anggota
HKm yang mengelola areal kerja HKm dengan sistem agroforestri, yang
mewakili ketiga kelompok dengan suku/etnis yang berbeda, tingkat
pendidikan yang berbeda, pengurus dan bukan pengurus kelompok serta
kondisi perekonomian yang berbeda.
5. Metode Pengolahan dan Analisis Data
a. Struktur pendapatan petani
Data pendapatan petani pengelola HKm diperoleh dari pendapatan
dikurangi dengan biaya atau modal. Data yang diperoleh diolah dan
disajikan dalam bentuk tabel serta dijelaskan secara deskriptif.
Persamaan yang digunakan dalam pengolahan data yang diperoleh
berdasarkan Koswara (2006), sebagai berikut:
1. Pendapatan petani dari kegiatan agroforestri di areal kerja HKm
IHKm = ∑ RHKm - ∑CHKm
Keterangan:
IHKm = pendapatan dari kegiatan agroforestri (Rp/Tahun)
RHKm = penerimaan dari produk kegiatan agroforestri
(Rp/Tahun)
CHKm = pengeluaran untuk pengelolaan dari kegiatan agroforestri
(Rp/Tahun)
Page 68
47
2. Pendapatan dari kegiatan non agroforestri (non HKm)
InHKm = ∑ RnHKm - ∑CnHKm
Keterangan:
InHKm = pendapatan total dari kegiatan non agroforestri
(Rp/Tahun)
RnHKm = penerimaan masing-masing dari kegiatan non
agroforestri (Rp/Tahun)
CnHKm = pengeluaran untuk kegiatan non agroforestri (Rp/Tahun)
3. Pendapatan per kapita dihitung dengan menggunakan rumus
persamaan sebagai berikut:
IPK = Itrt
J
Keterangan:
IPK = pendapatan per kapita (Rp/Tahun)
Itrt = pendapatan total rumah tangga (Rp/Tahun)
J = total jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tangga
petani (Jiwa).
b. Tingkat kelayakan hidup petani
Tingkat kelayakan hidup petani didasarkan pada pendapatan petani
yang diukur berdasarkan besarnya pengeluaran per kapita per tahun
yang disetarakan harga atau nilai beras setempat menurut kriteria
Sajogyo (1997) dimodifikasikan sesuai kebutuhan penelitian.
1. Paling miskin, apabila pengeluaran per kapita < dari 180 kg setara
nilai beras/tahun.
Page 69
48
2. Miskin sekali, apabila pengeluaran per kapita 181-240 kg setara
nilai beras/tahun.
3. Miskin, apabila pengeluaran per kapita 241-320 kg setara nilai
beras/tahun.
4. Nyaris miskin, apabila pengeluaran per kapita 321-480 kg setara
nilai beras/tahun.
5. Cukup, apabila pengeluaran per kapita 481-960 kg setara nilai
beras/tahun.
6. Hidup layak, apabila pengeluaran per kapita > dari 960 kg setara
nilai beras/tahun.
c. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan petani
Metode yang digunakan dalam menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi pendapatan petani kelompok HKm Bina Wana, Rigis
Jaya II dan MWLS adalah dengan analisis deskriptif yaitu mengetahui
dan menganalisis data yang terkumpul dari kuisioner, wawancara
mendalam, observasi dan studi pustaka. Analisis regresi linier
berganda digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang diduga
mempengaruhi pendapatan petani yaitu luas lahan garapan, jumlah
jenis tanaman yang produksi, jumlah tanggungan keluarga, jarak dari
rumah ke lahan garapan, pertemuan/pelatihan anggota kelompok tani,
pendidikan responden dan etnis. Etnis yang dominan pada responden
adalah etnis sunda dan jawa, karenanya yang diuji adalah kedua etnis
Page 70
49
tersebut. Pengolahan dan analisis data diolah dengan program SPSS
Versi 16 dan disajikan dengan tabulasi.
Analisis regresi linier berganda dilakukan jika terdapat lebih dari satu
variabel independen (bebas). Pada analisis regresi linier berganda
dapat dilihat pengaruh beberapa variabel independen terhadap variabel
dependen (Santoso, 2014). Penelitian ini menggunakan analisis
regresi linier berganda untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi pendapatan petani dengan modifikasi rumus sebagai
berikut:
[Yi] = a + [bx1]i + [bx2]i + [bx3]i + ….. + [bx7]i + e
Keterangan:
Y = Pendapatan responden dari kegiatan HKm (Jt/Tahun)
a = Konstanta
b = Angka arah atau koefisien regresi
e = Standar eror
X1 = Luas lahan (ha)
X2 = Jumlah jenis tanaman yang diusahakan sudah berproduksi (Jenis)
X3 = Jumlah tanggungan keluarga (Jiwa/KK)
X4 = Jarak dari rumah ke lahan garapan (Km)
X5 = Pertemuan/Pelatihan Anggota kelompok tani (kali)
X6 = Pendidikan Responden (SD=0, SMP=1, SMA=2, D3/S2=3)
X7 = Etnis/Suku Sunda (mayoritas) dan dami suku jawa
Page 71
50
Untuk mengetahui pengaruh masing-masing variabel X terhadap
variabel Y dilakukan uji T parsial. Jika variabel X mendapatkan hasil
p value t parsial < 0,1 maka variabel X tersebut memberikan pengaruh
secara individu terhadap variabel Y dengan tetap memperhatikan
variabel lain.
Sementara itu dilakukan juga uji F regresi secara serentak (bersamaan)
semua variabel X, dan jika hasil regression Analysis of Variance
sebesar < 0,1 alpha maka dikatakan bahwa variabel X tersebut
memiliki pengaruh terhadap varibel Y.
D. Pelaksanaan
Penelitian dilaksanakan selama lebih kurang tiga bulan pada bulan Juni
sampai dengan Agustus 2016. Tahapan yang dilalui dalam pelaksanaan
penelitian sebagai berikut :
1. Survei awal lokasi penelitian
Survei awal lokasi penelitian dilakukan untuk mengetahui kondisi
umum lokasi penelitian, sekaligus penjajakan dengan para pengurus
kelompok dan pemilihan calon responden secara purposive sesuai
metode. Pada survey awal ini juga peneliti audiensi dengan pejabat
Kepala UPTD KPH II Liwa dan Kepala Desa terkait lokasi penelitian
untuk menjelaskan tentang rencana penelitian.
2. Penjelasan rencana penelitian kepada responden
Page 72
51
Seluruh responden terpilih dikumpulkan kemudian diberikan
penjelasan tentang rencana penelitian dan penjelasan khusus tentang
tata cara pengisian kuisioner penelitian.
3. Wawancara dan pengisian kuisioner
Peneliti dibantu oleh beberapa orang anggota tim pengambil data
melakukan wawancara langsung dengan para responden sekaligus
memandu dalam pengisian kuisioner.
4. Pengambilan data sekunder dan informasi pendukung
Data sekunder dan informasi pendukung diperoleh dari desa terkait,
UPTD KPH II Liwa dan Dinas Kehutanan Provinsi Lampung serta
studi pustaka melalui buku-buku dan jurnal-jurnal penelitian terdahulu.
5. Pengolahan dan analisis data
Data primer yang diperoleh dari hasil wawancara langsung dan
kuisioner direkapitulasi dan diolah kemudian dianalisa sesuai dengan
cara-cara yang telah dijelaskan pada sub bab metode pengolahan dan
analisis data.
Page 73
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Struktur pendapatan petani terdiri dari kegiatan agroforestri di areal
kerja HKm berkisar antara Rp. 1.880.000,-/tahun sampai dengan Rp.
92.000.000,- per tahun, dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp.
24.815.000/KK/Ha/tahun dan dari kegiatan Non Agroforestri (Non
HKm) berkisar antara Rp. 0,- per tahun (tidak ada pendapatan lain)
sampai dengan Rp. 88.800.000,- per tahun, dengan rata-rata
pendapatan sebesar Rp. 13.026.975/KK/Tahun.
2. Berdasarkan pendapatan total, sebagian besar petani berada dalam
kategori hidup layak yaitu 92,71 % sisanya sebesar 7,29 % masuk
dalam kategori belum layak.
3. Kegiatan agroforestri di areal HKm berkontribusi terhadap total
pendapatan petani sebesar 65,57%.
4. Faktor-faktor yng mempengaruhi pendapatan petani dari kegiatan
agroforestri di areal HKm adalah luas areal garapan, jumlah jenis
tanaman yang sudah berproduksi dan pelatihan yang diikuti oleh petani
Page 74
78
B. Saran
1. Petani sebaiknya mengkombinasikan lebih banyak jenis tanaman
khususnya tanaman bertajuk tinggi yang multi guna untuk
meningkatkan pendapatan sekaligus melestarikan fungsi hutan.
2. Untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan dalam pengelolaan
lahan, petani sebaiknya dapat lebih sering mengikuti pelatihan
sehingga dapat lebih mengoptimalkan pemanfaatan lahannya untuk
meningkatkan pendapatan dan melestarikan fungsi hutan.
3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menganalisis dari aspek
ekologi apakah sistem agroforestri yang diterapkan di areal kerja HKm
telah dapat memulihkan fungsi hutan.
Page 75
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman D., Rochmat A. dan Setiawan H I., 2015. Hubungan Luas Garapan
Hutan Rakyat dengan Pendapatan Petani (Kasus pada Kelompok Tani Alam
Raya Desa Pamedaran Kecamatan Ketanjungan Kabupaten Brebes). Jurnal
Agrijati Vol. 28 No. 1 April 2015.
Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan Kanisius Jogjakarta. 179 hlm.
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik , Ed Revisi VI,
Penerbit PT Rineka Cipta, Jakarta. 368 hlm.
Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung. 2016. Publikasi Perkembangan Indikator
Makro Sosial Ekonomi Triwulan-IV 2016.
Cahyono S Andy., Jariah N A. dan Indrajaya Y. 2011. Karakteristik Sosial
Ekonomi yang mempengaruhi Pendapatan Rumah Tangga Penyadap Getah
Pinus di Desa Somagede Kebumen Jawa Tengah. www. Forda-
Mof.org/indek php/content/download/info/651
Chuzaimah., Nopriyanto., Lastiawati, E. dan Febriyansyah, A., 2016. Pengaruh
Karakteristik Sosial Ekonomi Petani Terhadap Usaha Tani Lebak di Desa
Pemulutan Ulu. Prosiding Seminar Nasional Lahan Sub optimal 2016.
Universitas Sriwijaya. Palembang
Coe, R., Sinclair, F.L. dan Barrios, E. 2014. Scaling up agroforestry requires a
research ‘in’ rather than ‘for’ development paradigm. Current Opinion in
Environmental Sustainability. 6:73-77.
Darwis, V. 2008. Keragaan Penguasaan Lahan Sebagai Faktor Utama Penentu
Pendapatan Petani. Seminar Nasional Dinamika Pembangunan Pertanian
dan Pedesaan : Tantangan dan Peluang Bagi Peningkatan Kesejahteraan
Petani. Bogor, 19 November 2008. Pusat Analisis Sosial ekonomi dan
Kebijakan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor
Dida, S. 2002. Pemilihan jenis tanaman, Penanganan benih dan teknik persemaian
untuk pembangunan hutan rakyat, tekno benih. Puslitbang Bioteknologi
dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Balai Teknologi Perbenihan Bogor. 7(2).
Dinas Kehutanan Provinsi Lampung. 2014. Rencana Pengelolaan Jangka
Panjang KPHL Unit II Liwa Tahun 2014-2023. Lampung
Page 76
Dinas Kehutanan Provinsi Lampung. 2016. Buku Informasi Perhutanan Sosial di
Provinsi Lampung.
Diniyati, D dan Awang S.A. 2010. Kebijakan Penentuan Bentuk Insentif
Pengembangan Hutan Rakyat di Wilayah Gunung Sawal, Ciamis dengan
Metode AHP. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. 7.(2):129-143
Febryano, I. G ., Suharjito, D., Darusman, D., Kusmana, C., dan Hidayat, A.
2015. Aktor dan Relasi Kekuasaan dalam Pengelolaan Mangrove di
Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung. J. Analisis Kebijakan Kehutanan.
12(2): 125.
Gamin. 2006. Perubahan Pengetahuan, Sikap, Keterampilan Serta Perilaku
Petani Sesudah Pelatihan Tanpa Analisis Kebutuhan dan Pengaruhnya
Terhadap Keberhasilan GNRHL (Kasus Pada Masyarakat Tani Hutan di
Kabupaten Majalengka Jawa Barat) Tesis. Program Magister Agribisnis.
Program Pasca Sarjana. Universitas Wiyana Mukti. Bandung
Hakam, A. 2012. Usaha Menciptakan Generasi Muda yang Tangguh.
https://arifinhakam.wordpress.com. Diakses pada 2 November 2015
Hernanto, F. 1995, Ilmu Usahatani. Penerbit Swadaya. Jakarta. 309 hlm.
Hermawati, D. T. 2016. Kajian Ekonomi Antara Pola Tanam Monokultur dan
Tumpang Sari Tanaman Jagung.Kubis dan Bayam.Ivovasi.XVIII(1). 66-
71.
Hidayat, A. 2007. Modul Mata Kuliah Pengantar Ekonomi Kelembagaan.
Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Fakultas Ekonomi
Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kaskoyo, H., Mohammed, A. dan Inoue, M. 2014. Present state of community
forestry (Hutan Kemasyarakatan /HKm) program in a protection forest and
its challenges: case study in Lampung Province, Indonesia. Journal of
Forest Science. 30(1): 15.
Kaskoyo, H., Mohammed, A. dan Inoue, M. 2017. Impact of Community Forest
Program in Protection Forest on Livelihood Outcomes: A Case Study of
Lampung Province, Indonesia. Journal of Sustainable Forestry. 36. 250-
263.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2016. Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.83/2016 tentang Perhutanan
Sosial.
Khususiyah N, Buana Y. dan Suyanto. 2010. Hutan kemasyarakatan (HKm):
upaya meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pendapatan petani
miskin di sekitar hutan. Brief no. 06 policy analysis unit. World
Agroforerstry Centre - ICRAF. Bogor.
Koswara, E. 2006. Peranan Kontribusi Hutan Rakyat Terhadap Pendapatan
Rumah Tangga Petani (Studi Kasus Pekon Pahmungan Kecamatan Pesisir
Page 77
Tengah Kabupaten Lampung Barat). Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
Bogor. 62 hlm
Lahjie, A.B.M, 2004. Teknik Agroforestri. Universitas Mulawarman. Samarinda.
329 hlm.
Lumintang, F.M. 2013. Analisis Pendapatan Petani Padi di Desa Teep
Kecamatan Langowan Timur. Jurnal EMBA. 1(3):992.
Mailusiana, S.F. 2012. Analisis Faktor-Faktor Sosial Ekonomi Terhadap
Pendapatan Usaha Tani Padi pada Lahan Sawah Tadah Hujan di
Kabupaten Sukoharjo. Skripsi. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. 64 p.
Mandaka, S., dan M.P Hutagaol. 2005. Analisis Fungsi Keuntungan Efisiensi
Ekonomi dan Kemungkinan Skema Kredit Bagi Pengembangan Skala
Usaha Peternakan Sapi Perah Rakyat.J. Agro Eko. 23(2): 191-208
Mankiw, N.G. 2003. Teori Makroekonomi. Edisi kelima, Terjemahan, Penerbit
Erlangga. Jakarta.
Mbow, C., Smith, P., Skole, D., Duguma, L. dan Bustamante, M. 2014. Achieving
Mitigation and Adaptation to climate change through sustainable
agroforestry practices in Africa. Current Opinion in Environmental
Sustainability. 6:8-14.. Graha Ilmu. Yogjakarta.
Mile, M.Y,. 2007. Prinsip-prinsip Dasar dalam Pemilihan Jenis, Pola Tanam dan
Teknik Produksi Agribisnis Hutan Rakyat. Balai Penelitian Kehutanan
Ciamis. Bogor.
Nurmala, T., A.D.Suyono., A.Rodjak., T. Suganda., S. Natasaasmita., T.
Simarmata., E. H. Salim., Y. Yuwariah., T.P Sendjaja., S.N. Wiyono. dan
S. Hasani. 2012. Pengantar Ilmu Pertanian. Edisi Pertama.
Nurratni, L., Halidah. dan Tabba S, 2015. Pengaruh Etnis Terhadap Pola
Pemanfaatan Lahan dan Kontribusinya Bagi Pendapatan Masyarakat di
Taman Nasional Aketajawe Lolobata, Jurnal Wasian Vol. 2 No. 2 . Balai
Penelitian Kehutanan Manado
Olivi, R. 2014. Kontribusi agroforestri terhadap pendapatan petani di Desa
Sukoharjo I Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Pringsewu. Skripsi.
Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Lampung. 27
p.
Patty, Z. 2010. Kontribusi komoditi kopra terhadap pendapatan rumah tangga
tani di Kabupaten Halmahera Utara. Jurnal Agroforestri. 3(3):51—57.
Poerwadarminta, W.J.S. 1986, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta.
Pohan, A. R. 2008. Analisis Usahatani dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Pendapatan Petani Wortel di Desa Gajah, Kecamatan Simpang Empat,
Kabupaten Karo. (Skripsi). Fakultas Pertanian Universitas Sumatra Utara.
Medan
Page 78
Prayitno, H. 1987. Pembangunan Ekonomi Pedesaan.BPFE. Yogyakarta. 173
hlm.
Purwanti, R. 2007. Pendapatan Petani Dataran Tinggi Sub Das Malino (Studi
Kasus Kelurahan Gantarang Kabupaten Gowa). J. Penelitian Sosial dan
Ekonomi Kehutanan.4(3).257-269.
Rangkuti, K. 2014. Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi Terhadap Pendapatan
Petani Jagung. Jurnal Agrium ISSN 0852-1077 (Print) ISSN 2442-7306
(online) Oktober 2014 Volume 19 No.1. Program Studi Agribisnis
Fakultas Pertanian Universitas Muhamadiyah Sumatera Utara;
Reijntjes C, Haverkort B dan A. Water-Bayer. 1992. Pertanian Masa Depan:
Pengantar Untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah.
Terjemahan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Sahara, D., Z. Abidin., Dahya. 2004. Tingkat Pendapatan Petani terhadap
Komoditas Unggulan Perkebunan. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan
Agribisnis. 7(2):7.
Saihani, A. 2011. Analisis Faktor Sosial Ekonomi Terhadap Pendapatan Petani
Padi Ciherang di Desa Sungai Durait Tengah Kecamatan Baribik
Kabupaten Hulu Sungai Utara. Jurnal Zira’ah Vol. 31 No. 3 Oktober 2011
Hal. 219-225. Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian, Amuntai
Sajogyo. 1997. Garis Miskin dan Kebutuhan Minimum Pangan. Lembaga
Penelitian Sosiologi Pedesaan (LPSP). IPB. Bogor.
Santoso, S. 2014. Statistik Multivariat Edisi Revisi. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo. 224 hlm.
Simamora, H. 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi Kedua. Bagian
Penerbit STIE YKPN. Yogyakarta.
Soeharjo,A dan Patong. 1973 Sendi sendi Pokok Usahatani. Jurusan Ilmu Sosial
Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. UI Press. Jakarta. 155 hlm.
Soekartawi. 2005. Agroindustri Dalam Perspektif Sosial Ekonomi. Raja Grafindo
Persada. Jakarta. 140 hlm.
Soekartawi. 2011. Ilmu Usaha Tani. Universitas Indonesia : Jakarta. 218 hlm.
Soewadji, J. 2012. Pengantar Metodologi Penelitian. Mitra Wacana Media.
Jakarta
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R dan D. Alfabeta.
Bandung. 314 hlm.
Suharjito, D., Sudawati L., Suyanto dan Utami S.R. 2003. Aspek Sosial Ekonomi
dan Budaya Agroforestry. World Agroforestri Centre (ICRAF). Bogor.
Sumaryo., Listiana I. dan Gultom D.T. 2013. Dasar-dasar Penyuluhan dan
Komunikasi Pertanian. Anugra Utama Raharja. Lampung
Page 79
Susilowati, S.H. 2010. Pendekatan Skala Ekivalensi untuk Mengukur Kemiskinan.
Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 28 No.2, Desember 2010: 91-
105
Tjiptoherijanto, 1989. Untaian Pengembangan SDM dalam Era Globalisasi. PT.
Gresindo. Jakarta.
Wardoyo, E. 1997. Hutan Kemasyarakatan, Pengelolaan Hutan Partisipatif.
PUSKAP FISIP USU, WIM dan Yayasan Sintesa. Medan.
WHO. 2015. Kriteria Baru Kelompok Usia. http://erabaru.net Diakses pada 1
November 2015.
Winarni, S., Yuwono, S.B. dan Herwanti, S. 2016. Struktur Pendapatan, Tingkat
Kesejahteraan dan Faktor Produksi Agroforestry Kopi Pada Kesatuan
Pemangkuan Hutan Lindung (KPHL) Batu Tegi. J. Sylvalestari. 4(1).1-10.
Wulandari, C., Dinas Kehutanan Provinsi Lampung., E. Sulistiantoro., I. M.
Nuch., J. Syahrani., O. Saroso., P. Putro., R. Pahlawanti., Suhendri. dan
Warsito. 2009. Hutan Kemasyarakatan Melestarikan Hutan untuk
Kesejahteraan Rakyat-Catatan 10 Tahun Program HKm di Provinsi
Lampung. Watala dan Partnership For Governance Reform in Indonesia
(PGR Indonesia). Bandar Lampung.
Wulandari, C., Budiono, P., Yuwono, S.B. dan Herwanti, S. 2014. Adoption of
Agro-forestry Patterns and Crop Systems Around Register 19 Forest Park,
Lampung Province, Indonesia. J. Manajemen Hutan Tropika 20(2). 86-93.
Yusran, Y., Sahide, M.A.K., Supratman, S., Sabar, A., Krott, M. dan Giessen, L.
2017. The empirical visibility of land use conflicts: From latent to
manifest conflict through law enforcement in a national park in Indonesia.
Land Use Policy. 62. 302–315.
Zega, S.B., P. Agus. dan T. Martial. 2013, Analisis pengelolaan agroforestry dan
kontribusinya terhadap perekonomian masyarakat. Jurnal Peronema
Forestry Science. 2(2):152-162.