Top Banner
1 ASPEK BUDAYA PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN NAMA KELOMPOK : GILBER PAYUNG (D52112251) CHRISTIAN WILLIAM (D52112252) DYENTI (D52112253) ANDI AWISTI AKRAR (D52112254) GITA YERSICHA TANDEPADANG (D52112255) PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA JURUSAN ASRITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS HASANUDDIN 2013
25

Aspek Budaya Perumahan Dan Permukiman

Jan 01, 2016

Download

Documents

Gylkeed Junichi

Culture aspect of Housing and settlement
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Aspek Budaya Perumahan Dan Permukiman

1

ASPEK BUDAYA PERUMAHAN DAN

PERMUKIMAN

NAMA KELOMPOK :

GILBER PAYUNG (D52112251)

CHRISTIAN WILLIAM (D52112252)

DYENTI (D52112253)

ANDI AWISTI AKRAR (D52112254)

GITA YERSICHA TANDEPADANG (D52112255)

PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA

JURUSAN ASRITEKTUR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2013

Page 2: Aspek Budaya Perumahan Dan Permukiman

2

KATA PENGANTAR

Terpujilah Tuhan sumber segala pengetahuan dan kasih setia. Segala

puji syukur dari segenap hati, penulis haturkan kehadirat Tuhan yang maha kuasa,

atas rahmat karunia-nya yang senantiasa mengasihi, melindungi, dan membimbing

penulis di dala menyelesaikan penyusunan laporan ini.

Adapun maksud dan tujuan penulisan laporan ini adalah untuk

mengetahui dan mengidentifikasi aspek budaya pada sistem perumahan dan

permukiman, khususnya di Indonesia.

Penulis telah berupaya semaksimal mungkin, agar penulisan laporan ini

dapat memenuhi harapan semua pihak. Namun demikian, penulis menyadari

sepenuhnya bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,

dengan senang hati penulis bersedia menerima kririk dan saran yang sifatnya

membangun dari semua pihak demi kesempurnaan laporan ini.

Akhirnya penulis berharap, semoga penulisan ini ada manfaatnya bagi

para pembaca. Dan semoga Tuhan senantiasa menyertai kita semua. Amin.

Gowa, September 2013

Page 3: Aspek Budaya Perumahan Dan Permukiman

3

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………… 2

DAFTAR ISI………………………………………………….. 3

BAB 1 PENDAHULUAN…………………………………….. 4

1.1 Latar belakang…………………………………………….. 4

1.2 Rumusan Masalah…………………………………………. 5

1.3 Tujuan……………………………………………………… 5

1.4 Manfaat ……………………………………………………. 5

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA.....……………………………….. 6

2.1 Pengertian Rumah………………………………………….. 6

2.2 Pengertian Perumahan……………………………………… 7

2.3 Pengertian Permukiman……………………………………. 7

2.4 Fungsi Rumah……………………………………………… 8

2.5 Lingkungan Permukiman………………………….……….. 9

2.6 Pengertian Budaya…………………………………………. 10

BAB 3 PEMBAHASAN……………………………………….. 11

3.1 Aspek Budaya………………………………………………. 11

3.2 Budaya dalam Struktur Ruang Perumahan dan Permukiman. 12

3.3 Studi Kasus: Permukiman Tradisional Toraja……………… 15

BAB 4 PENUTUP……………………………………………… 24

4.1 Kesimpulan…………………………………………………. 24

DAFTAR PUSTAKA……………………...…………………… 25

Page 4: Aspek Budaya Perumahan Dan Permukiman

4

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Permukiman merupakan wujud dari ide pikiran manusia dan

dirancang semata-mata untuk memudahkan dan mendukung setiap

kegiatan atau aktifitas yang akan dilakukannya. Permukiman merupakan

gambaran dari hidup secara keseluruhan, sedangkan rumah adalah bagian

dalam kehidupan pribadi. Pada bagian lain dinyatakan bahwa rumah

adalah gambaran untuk hidup secara keseluruhan, sedangkan permukiman

sebagai jaringan pengikat dari rumah tersebut. Oleh karena itu,

permukiman merupakan serangkaian hubungan antara benda dengan

benda, benda dengan manusia, dan manusia dengan manusia. Hubungan

ini memiliki suatu pola dan struktur yang terpadu (Rapoport dalam

Sudirman Is, 1994).

Dalam aspek budaya yang turut mempengaruhi sistem

permukiman, dapat dijumpai pola atau tatanan yang berbeda-beda sesuai

dengan tingkat kesakralannya atau nilai-nilai adat dari suatu tempat

tertentu. Hal tersebut diatas memiliki pengaruh cukup besar dalam

pembentukan suatu lingkungan hunian atau permukiman, khususnya pada

permukiman tradisional. (Rapoport, 1985).

Terdapat suatu elemen utama dari hal yang sakral tersebut

pada permukiman tradisional. Jika permukiman dianggap sebagai suatu

lingkungan yang diperadabkan, maka bagi kebanyakan masyarakat

tradisional di lingkungan tersebut, menurut ketentuan, merupakan

lingkungan yang sakral atau disucikan. Alasan pertama adalah karena

orang-orang banyak berpandangan bahwa masyarakat-masyarakat

tradisional selalu terkait dengan hal-hal yang bersifat religius. Agama dan

kepercayaan merupakan suatu hal yang sentral dalam sebuah permukiman

tradisional. Hal tersebut tidak dapat terhindarkan, karena orang-orang akan

terus berusaha menggali lebih dalam untuk mengetahui makna suatu

lingkungan yang sakral atau disucikan, karena hal itu menggambarkan

Page 5: Aspek Budaya Perumahan Dan Permukiman

5

suatu makna yang paling penting. Kedua, sebuah pandangan yang lebih

pragmatik, adalah bahwa hal yang sakral tersebut serta ritual keagamaan

yang menyertainya dapat menjadi efektif untuk membuat orang-orang

melakukan sesuatu di dalam sesuatu yang disahkan atau dilegalkan.

Ritual-ritual yang mengandung nilai-nilai keagamaan adalah

suatu cara ampuh untuk baik mengesahkan maupun memelihara

kebudayaannya. Elemen-elemen fisik yang dipergunakan dapat membantu

untuk mengingatkan orang-orang akan ritual keagamaan, sebagai wadah

yang dapat menunjang untuk hal-hal yang berkaitan dengan ritual

keagamaan, dan mengungkapkan baik ritual keagamaan maupun bagan-

bagan dan kosmologi yang mendasarinya dalam bentuk yang permanen,

dan sering mengesankan.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana pengaruh aspek budaya pada pola dan sistem perumahan dan

permukiman?

1.3. Tujuan

Untuk mengetahui hubungan dan keterkaitan antara aspek budaya dengan

sistem perumahan dan permukiman

1.4. Manfaat

Memberikan gambaran hubungan keterkaitan antara aspek budaya dengan

sistem perumahan dan permukiman.

Page 6: Aspek Budaya Perumahan Dan Permukiman

6

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Rumah

Menurut UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan

Permukiman, rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat

tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga.

Menurut John F.C Turner, 1972, dalam bukunya Freedom To

Build mengatakan, “Rumah adalah bagian yang utuh dari permukiman,

dan bukan hasil fisik sekali jadi semata, melainkan merupakan suatu

proses yang terus berkembang dan terkait dengan mobilitas sosial ekonomi

penghuninya dalam suatu kurun waktu. Yang terpenting dan rumah adalah

dampak terhadap penghuni, bukan wujud atau standar fisiknya.

Selanjutnya dikatakan bahwa interaksi antara rumah dan penghuni adalah

apa yang diberikan rumah kepada penghuni serta apa yang dilakukan

penghuni terhadap rumah”.

Menurut Siswono Yudohusodo (Rumah Untuk Seluruh Rakyat,

1991: 432), rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal

atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Jadi, selain berfungsi sebagai

tempat tinggal atau hunian yang digunakan untuk berlindung dari

gangguan iklim dan makhluk hidup lainnya, rumah merupakan tempat

awal pengembangan kehidupan.

Kebijakan dan strategi nasional penyelenggaraan perumahan

dan permukiman menyebutkan bahwa rumah merupakan salah satu

kebutuhan dasar manusia disamping pangan, sandang, pendidikan dan

kesehatan. Selain berfungsi sebagai pelindung terhadap gangguan

alam/cuaca dan makhluk lainnya, rumah juga memiliki peran sosial

budaya sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya dan nilai

kehidupan, penyiapan generasi muda, dan sebagai manifestasi jati diri.

Dalam kerangka hubungan ekologis antara manusia dan lingkungannya

maka terlihat jelas bahwa kualitas sumber daya manusia di masa yang akan

datang sangat dipengaruhi oleh kualitas perumahan dan permukimannya.

Page 7: Aspek Budaya Perumahan Dan Permukiman

7

(Sumber: Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman

Departemen Permukiman dan Prasarana Permukiman )

2.2. Pengertian Perumahan

Menurut UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan

Permukiman, perumahan berada dan merupakan bagian dari permukiman,

perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan

tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana

dan sarana lingkungan (pasal 1 ayat 2).

Pembangunan perumahan diyakini juga mampu mendorong

lebih dari seratus macam kegiatan industri yang berkaitan dengan bidang

perumahan dan permukiman (Sumber: Kebijakan dan Strategi Nasional

Perumahan dan Permukiman Departemen Permukiman dan Prasarana

Permukiman )

2.3. Pengertian Permukiman

Menurut Undang-Undang No 4 Tahun 1992 Pasal 3,

Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung,

baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi

sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat

kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Satuan

lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam berbagai

bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana

lingkungan yang terstruktur (pasal 1 ayat 3).

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 menyebutkan

bahwa penataan perumahan dan permukiman berlandaskan asas manfaat,

adil dan merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kepercayaan pada diri

sendiri, keterjangkauan, dan kelestarian lingkungan hidup.

Jadi, pemukiman adalah suatu wilayah atau area yang

ditempati oleh seseorang atau kelompok manusia. Pemukiman memiliki

kaitan yang cukup erat dengan kondisi alam dan sosial kemasyarakatan

sekitar.

Page 8: Aspek Budaya Perumahan Dan Permukiman

8

2.4. Fungsi Rumah

Menurut Turner (1972:164-167), terdapat tiga fungsi yang

terkandung dalam rumah:

1. Rumah sebagai penunjang identitas keluarga, yang diwujudkan dalam

kualitas hunian atau perlindungan yang diberian rumah. Kebutuhan

tempat tinggal dimaksudkan agar penghuni mempunyai tempat

tinggal atau berteduh secukupnya untuk melindungi keluarga dari

iklim setempat.

2. Rumah sebagai penunjang kesempatan keluarga untuk berkembang

dalam kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi atau fungsi

pengembangan keluarga. Fungsi ini diwudkan dalam lokasi tempat

rumah itu didirikan. Kebutuhan berupa akses ini diterjemahkan dalam

pemenuhan kebutuhan sosial dan kemudahan ke tempat kerja guna

mendapatkan sumber penghasilan.

3. Rumah sebagai penunjang rasa aman dalam arti terjaminnya

kehidupan keluarga di masa depan setelah mendapatkan rumah,

jaminan keamanan lingkungan perumahan yang ditempati serta

jaminan keamanan berupa kepemilikan rumah dan lahan.

4. Rumah sebagai kebutuhan dasar manusia, perwujudannya bervariasi

menurut siapa penghuni atau pemiliknya. Berdasarkan hierarchy of

need (Maslow, 1954:10), kebutuhan akan rumah dapat didekati

sebagai:

a. Physiological needs (kebutuhan akan makan dan minum),

merupakan kebutuhan biologis yang hampir sama untuk setiap

orang, yang juga merupakan kebuthan terpenting selain rumah,

sandang, dan pangan juga termasuk dalam tahap ini.

b. Safety or security needs (kebutuhan akan keamanan),merupakan

tempat berlindung bagi penghuni dari gangguan manusia dan

lingkungan yang tidak diinginkan.

c. Social or afiliation needs (kebutuhan berinteraksi), sebagai tempat

untuk berinteraksi dengan keluarga dan teman.

Page 9: Aspek Budaya Perumahan Dan Permukiman

9

d. Self actualiztion needs (kebutuhan akan ekspresi diri), rumah

bukan hanya sebagai tempat tinggal, tetapi menjadi tempat untuk

mengaktualisasikan diri.

2.5. Lingkungan Permukiman

Lingkungan permukiman merupakan suatu sistem yang terdiri

dari lima elemen, yaitu (K. Basset dan John R. Short, 1980, dalam

Kurniasih) :

1. Nature (unsur alami), mencakup sumber-sumber daya alam seperti

topografi, hidrologi, tanah, iklim, maupun unsur hayati yaitu vegetasi

dan fauna.

2. Man (manusia sebagai individu), mencakup segala kebutuhan

pribadinya seperti biologis, emosional, nilai-nilai moral, perasaan, dan

perepsinya.

3. Society (masyarakat), adanya manusia sebagai kelompok masyarakat.

4. Shells (tempat), dimana mansia sebagai individu maupun kelompok

melangsungkan kegiatan atau melaksanakan kehidupan.

5. Network (jaringan), merupakan sistem alami maupun buatan manusia,

yang menunjang berfungsinya lingkungan permukiman tersebut

seperti jalan, air bersih, listrik, dan sebagainya.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka pada dasarnya suatu

permukiman terdiri dari isi (contents) yaitu manusia, baik secara

individual maupun dalam masyarakat dan wadah yaitu lingkungan fisik

permukiman lingkungan fisik permukiman yang merupakan wadah bagi

kehidupan manusia dan merupakan pengejawantahan dari tata nilai, sistem

sosial, dan budaya masyarakat yang membentuk suatu komunitas sebagai

bagian dari lingkungan permukiman tersebut.

Page 10: Aspek Budaya Perumahan Dan Permukiman

10

2.6. Pengertian Budaya

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia dari W.J.S.

Poerwadarminta, budaya sama dengan pikiran, akal budi (penulis: intuisi);

kebudayaan = hasil kegiatan, dan penciptaan batin (akal budi) manusia,

seperti kepercayaan, kesenian, adat istiadat, dan sebagainya. Jadi,

kebudayaan dapat berarti benda abstrak atau non materi maupun benda

materil. Menurut kamus Poerwadarminta dan juga kamus Inggris –

Indonesia dari John M. Echols & Shadily: kebudayaan = culture = kultur.

Jadi norma-norma, kaidah kehidupan adat istiadat merupakan kebudayaan

juga (a man of culture = seorang yang baik tingkah lakunya, sopan santun,

beradat) (Budihardjo 1996:2-3). Menurut Budhisantoso dalam Krisna

(2005:15), kebudayaan adalah hasil karya manusia dalam usahanya

mempertahankan keturunan dan meningkatkan taraf kesejahteraan dangan

segala keterbatasan kelengkapan jasmaninya serta sumber–sumber alam

yang ada di sekitarnya. Kebudayaan juga dapat dikatakan sebagai

perwujudan tanggapan manusia terhadap tantangan–tantangan yang

dihadapi dalam proses penyesuaian diri mereka dengan lingkungan, baik

sebagai makhluk biologis maupun makhluk budaya.

Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan,

kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan kemampuan–

kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia

sebagai anggota masyarakat (Taylor dalam Soekanto 2003:172).

Page 11: Aspek Budaya Perumahan Dan Permukiman

11

BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Aspek Budaya

Amos Rapoport (1983) juga menyatakan bahwa permukiman

dapat dilihat sebagai suatu bentang lahan budaya (cultural landscape

feature) terutama permukiman tradisional yang wujud fisiknya sangat

besar kaitannya dengan budaya, dimana ciri-cirinya adalah:

1. Di dalamnya terdapat hubungan/kaitan antara berbagai elemen dan

juga sifat dan elemen-elemen tersebut, termasuk antara lingkungan

binaan dengan lingkungan alami.

2. Mempunyai ciri dan karakteristik yang khas, umumnya mengandung

budaya yang spesifik.

3. Tidak dirancang oleh seorang perancang. Perancangan merupakan

suatu konsep yang lebih luas yang merupakan perwujudan dan

keputusan-keputusan dan pilihan-pilihan manusia, sebuah pilihan

diantara berbagai alternatif yang memungkinkan.

4. Terdapat sifat-sifat spesifik dan pilihan-pilihan tersebut yaitu

didasarkan atas hukum yang berlaku, merefleksikan budaya pada

kelompoknya.

5. Merupakan sistem pilihan dan gaya hidup, meliputi pilihan-pilihan

bagaimana menentukan material, waktu dan sumber-sumber

simbolik.

6. Bentang budaya misalnya permukiman adalah merupakan sebuah

produk dan sistem pilihan tersebut.

7. Konservasi-preservasi dan bentang budaya yang merupakan suatu

tingkatan dan kualitas lingkungan. Konservasi dan prisip-prinsip

dalam bentang budaya tradisional dapat diterapkan dalam rancangan

yang baru.

8. Kualitas lingkungan, yang menyangkut persepsi (terkait dengan

psikologikal, sosio kultur) dan standar (terkait dengan studi fisik dan

lingkungan).

Page 12: Aspek Budaya Perumahan Dan Permukiman

12

3.2. Budaya dalam Struktur Ruang Perumahan dan Permukiman

Rapoport dalam Wikantiyoso (1997:26) mengemukakan

bahwa permukiman tradisional merupakan manifestasi dari nilai sosial

budaya masyarakat yang erat kaitannya dengan nilai sosial budaya

penghuninya, yang dalam proses penyusunannya menggunakan dasar

norma–norma tradisi. Lawson dalam Sasongko (2002:119) menambahkan

bahwa beberapa norma–norma tersebut mungkin murni dari kesepakatan

warga, tetapi sebagian besar lainnya adalah dari kebutuhan dan karakter

masyarakatnya sendiri (sebelum perancangan disusun secara profesional),

perancangan dan kreatifitas ruang lebih bersifat sosial dan vernakular serta

terlihat lebih memperhatikan aspek budaya. Sejalan dengan pendapat

tersebut, Wikantiyoso (1997:26-29) juga menambahkan bahwa

permukiman tradisional adalah aset kawasan yang dapat memberikan ciri

ataupun identitas lingkungan. Identitas kawasan tersebut terbentuk dari

pola lingkungan, tatanan lingkungan binaan, ciri aktifitas sosial budaya

dan aktifitas ekonomi yang khas. Pola tata ruang permukiman

mengandung tiga elemen, yaitu ruang dengan elemen–elemen

penyusunnya (bangunan dan ruang di sekitarnya), tatanan (formation)

yang mempunyai makna komposisi serta pattern atau model dari suatu

komposisi.

Menurut Habraken dalam Wikantiyoso (1997:27), sebagai

suatu produk komunitas, bentuk lingkungan permukiman merupakan hasil

kesepakatan sosial, bukan merupakan produk orang per orang. Artinya

komunitas yang berbeda tentunya memiliki ciri permukiman yang berbeda

pula. Suatu rumah dirancang dan suatu permukiman di tata

menggambarkan hubungan antara individu, keluarga dan komunitasnya

yang tentu saja bergantung pada masing–masing budaya. Konsekuensinya

adalah organisasi ruang dirumah, tatanan permukiman dan akses ke

fasilitas umum dipengaruhi oleh pandangan hidup komunitas tesebut.

Pada bagian lain Yi-Fu Tuan (1977) menyatakan bahwa untuk

menjelaskan makna dari organisasi ruang dalam konteks tempat (place)

Page 13: Aspek Budaya Perumahan Dan Permukiman

13

dan ruang (space) harus dikaitkan dengan budaya. Budaya sifatnya unik,

antara satu tempat dengan tempat lain bisa sangat berbeda maknanya.

Selanjutnya manusia akan mengekspresikan dirinya pada lingkungan

tempat dia hidup, sehingga lingkungan tempat tinggalnya akan

diwujudkan dalam berbagai simbolisme sesuai dengan budaya mereka.

Bagaimana manusia memilih tempat tertentu dan menggunakan berbagai

kelengkapan, ataupun berbagai cara untuk berkomunikasi pada dasarnya

merupakan “bahasa” manusia. Pola ini tidaklah semata dilihat dalam

kaitan dengan lingkungan semata, akan tetapi pada waktu yang bersamaan

juga merupakan perwujudan budaya mereka (Locher 1978 dalam

Sasongko 2005:2-3).

Struktur ruang permukiman digambarkan melalui

pengidentifikasian tempat, lintasan, dan batas sebagai komponen utama,

selanjutnya diorientasikan melalui hirarki dan jaringan atau lintasan yang

muncul dalam lingkungan binaan mungkin secara fisik atau non fisik.

Untuk membentuk struktur ruang tidak hanya orientation yang terpenting,

tetapi juga objek nyata dari suatu identifikasi. Dalam suatu lingkungan

tempat suci berfungsi sebagai pusat yang selanjutnya menjadi orientasi dan

identifikasi bagi manusia, dan merupakan struktur ruang (Norberg-Schulz

1979 dalam Sasongko 2005:2-3).

Secara lebih nyata struktur ruang permukiman tradisional di

Korea menunjukkan tatanan ruang permukiman sangat dipengaruhi oleh

kepercayaan, mulai dari pemilihan lokasi sampai struktur ruang itu sendiri.

Pemilihan ruang untuk permukiman ditentukan dari falsafah feng-shui,

yakni lokasi terbaik adalah diantara gunung dan sungai (Han 1991).

Perumahan di Korea dalam satu desa bisa merupakan perumahan keluarga

atau clan houses. Dalam menempatkan rumah untuk keluarga memiliki

aturan: tempat yang paling atas digunakan untuk orang tua, selanjutnya

dibawahnya untuk anak laki laki dan selanjutnya cucu laki-laki. Lebih

lanjut dalam menentukan tatanan ruang permukiman ini, keterkaitan dan

pemaknaan lingkungan juga memiliki cakupan yang sangat luas, bukan

hanya dilihat dalam hal lingkungan sekitarnya saja, akan tetapi juga dalam

Page 14: Aspek Budaya Perumahan Dan Permukiman

14

lingkup yang sangat luas seperti kedudukan dalan jagad raya, di bumi

tempat seseorang bertempat tinggal. Masyarakat Bali dalam menata ruang

permukimannya sangat memperhatikan sistem orientasi. Pandangan hidup

dasar mereka adalah adanya oposisi antara gunung dan laut atau kaja dan

kelod. Gunung (Agung) merupakan tempat para dewa, sedangkan laut

tempat para setan. Pada masyarakat di wilayah selatan, maka arah utara

dan selatan seperti umumnya, akan tetapi masyarakat utara sebagai ‘utara’

adalah Gunung Agung di selatan, dan ‘selatan’ adalah laut di utaranya.

Demikian juga dengan pelaksanaan ritual, dilakukan di sekitar

pembangunan rumah atau penetapan lokasi dan penentuan kapan mulai

bisa ditempati. Kegiatan ini nampak mengambil dari ide kosmologi hindu.

Berbagai acara ini sudah tertulis, akan tetapi dalam prakteknya para tukang

kayu sudah paham tentang acara semacam ini (Waterson 1990 dalam

Sasongko 2005:2-3).

Secara khusus ritual ditunjukkan sebagai peristiwa publik

yang ditampilkan pada tempat khusus (sacred places) atau pada waktu

tertentu. Para ahli antropologi juga sering lebih mengkaitkan dengan ritual

keagamaan dan masyarakat preliterate (Norget 2000 dalam Sasongko

2005:2-3). Salah satu bagian penting dalam ritual adalah rites of passage

yang merujuk pada: kelahiran, puber, perkawinan, kematian, dan berbagai

peristiwa krusial lain sebagai perubahan atau transisi dalam kehidupan

seseorang. Dalam interaksinya dengan alam dan pemahaman atas

keseimbangan alam baik sebagai makro kosmos maupun mikro kosmos,

manusia melakukan berbagai rangkaian ritual yang dilakukan secara terus

menerus. Diantara ritual bagian yang sangat penting adalah terkait dengan

daur hidup.

Hoebel & Frost 1976 dalam Sasongko (2005:2-3) menyatakan

bahwa siklus hidup manusia pada dasarnya terdiri dari empat bagian,

yakni, kelahiran, dewasa, bereproduksi dan mati. Pada berbagai budaya

manusia acara ini selalu ada dengan berbagai variasi dan intensitas yang

berbeda. Bagaimana peristiwa ritual mempengaruhi aktifitas masyarakat

dan penggunaannya dalam ruang permukiman, salah satunya disampaikan

Page 15: Aspek Budaya Perumahan Dan Permukiman

15

oleh Hardie (1985) yang mempelajari masyarakat Tswana. Dalam hal ini

kelahiran dan kematian yang memiliki signifikansi terhadap kedatangan

dan kepergian ke dunia leluhur ini diamati memiliki hubungan dengan

ruang disekitar dimana peristiwa tersebut terjadi. Pola ini mempengaruhi

perilaku di dalam ruang pada saat tertentu, dan mengungkapkan

kepercayaan tentang alam raya dan tatanan kosmis yang dipahami oleh

masyarakat Tswana (Hardie 1985 dalam Sasongko 2005:2-3).

3.3. Studi Kasus: Permukiman Tradisional Toraja

3.3.1. Gambaran Umum Permukiman Tradisional Toraja

Menurut Jovak, dkk. (1988), permukiman tradisional Toraja

memiliki 3 tipe, yaitu permukiman yang berada di dataran tinggi (puncak

bukit atau gunung), permukiman yang berada di area yang terisolasi atau

terpencil, dan permukiman yang berada di dataran rendah.

Permukiman yang berada di dataran tinggi adalah permukiman

yang umum dijumpai di Toraja. Lokasi permukiman tradisional Toraja

pada umumnya berada di tempat ketinggian (puncak bukit atau gunung)

dan sangat sulit untuk dijangkau. Rumah-rumah dalam permukiman di

bangun berdekatan karena area yang sangat terbatas. Tongkonan dan

lumbung yang merupakan elemen utama yang tidak dapat dipisahkan

dalam permukiman tradisional Toraja dibangun melintang bersusun dari

utara ke selatan menyesuaikan dengan keadaan kontur tanah. Permukiman

di kelilingi oleh pohon-pohon bambu yang sangat lebat, sehingga tidak

terlihat dari luar. Pohon-pohon bambu ini secara tidak langsung berfungsi

sebagai benteng alami bagi area permukiman. Selain karena faktor

keamanan yaitu untuk melindungi diri dari serangan musuh atau hewan

liar, masyarakat toraja percaya bahwa semakin tinggi letak pembangunan

tongkonan maka semakin tinggi status atau derajat mereka.

Permukiman tradisional Toraja di area yang terisolasi atau

terpencil, biasanya dibangun di atas tebing-tebing yang curam dan terjal.

Sangat sulit untuk menjangkau permukiman tersebut. Tebing-tebing yang

Page 16: Aspek Budaya Perumahan Dan Permukiman

16

curam dan terjal menjadi benteng alami untuk melindungi Permukiman

dari serangan musuh dan hewan liar. Area permukiman dikelilingi oleh

pagar kayu (biasanya ujung kayu sangat runcing). Jumlah tongkonan dan

alang tidak banyak dan dibangun dengan jarak yang berdekatan.

Gambar 3.1. Deretan Alang

Kendala terbesar dari permukiman yang berada di area dataran

tinggi dan terisolasi ini adalah, jauh dan sulitnya jalan menuju sawah dari

lokasi permukiman. Hal ini tentunya menyulitkan orang-orang yang

memiliki sawah tersebut untuk mengawasi dan mempertahankan sawah

mereka dari musuh. Selain itu, mereka sulit untuk mengurus hewan-hewan

peliharaan. Hewan-hewan peliharan harus digiring dan digembalakan ke

lembah tempat padang berada, kemudian mereka harus menggiring

kembali hewan-hewan tersebut ke permukiman yang berada di dataran

yang lebih tinggi. Hal lain yang menyulitkan adalah cukup jauhnya lokasi

mata air. Lokasi mata air yang berada di lembah mengharuskan mereka

naik turun mengambil air untuk kebutuhan mereka sehari-hari, terutama

untuk memasak.

Setelah tahun 1905, pemerintah Belanda memerintahkan

masyarakat Toraja yang bermukim di dataran tinggi untuk memindahkan

permukiman masyarakat toraja ke lembah. Dengan pertimbangan semakin

berkurangnya bahaya terhadap serangan musuh, masyarakat Toraja juga

Page 17: Aspek Budaya Perumahan Dan Permukiman

17

merasa lebih cocok untuk bermukim di dataran rendah. Lokasi sawah dan

mata air menjadi lebih dekat dari lokasi permukiman.

Seperti permukiman yang berada di dataran tinggi,

permukiman di dataran rendah ini juga dikelilingi oleh pohon-pohon

bambu yang lebat. Di sekeliling permukiman juga terhampar sawah yang

luas. Pemandangan ini menjadikan permukiman nampak seperti pulau

yang dikelilingi oleh penghijauan. Rumah-rumah di dalam permukiman di

bangun tidak serapat seperti pada Permukiman di dataran tinggi, karena

permukiman memiliki area yang lebih luas. Letak tongkonan dan lumbung

dalam permukiman ini memiliki pola berjajar atau memanjang mengikuti

arah gerak matahari dari timur ke barat.

3.3.2. Elemen-Elemen dalam Permukiman Tradisional Toraja

Sebenarnya permukiman telah dibuat sedemikian rupa untuk

dapat didiami dan telah ada sebagai satu kesatuan yang telah tersusun

secara lengkap untuk mendukung setiap kegiatan, baik untuk upacara-

upacara adat ataupun tidak, bagi orang-orang yang bermukim di dalam.

Berbagai elemen-elemen di dalamnya dibuat dan disusun sedemikian rupa

(berdasarkan sistem kepercayaan atau kosmologi) untuk mendukung

setiap kegiatan yang dilakukan tersebut. Elemen-elemen tersebut sangat

menentukan dalam mengidentifikasi dan mengklasifikasikan “jiwa” dari

permukiman tersebut.

Peletakan setiap elemen-elemen dalam permukiman

tradisional toraja selalu berdasarkan sistem kepercayaan (aluk todolo)

yang mereka anut. Secara umum terdapat beberapa elemen penting dalam

permukiman tradisional Toraja, yaitu: tongkonan, lumbung (alang),

kandang, kebun (pa’la’), rante, sawah, dan liang (Palm, 1979). Tiap

elemen yang ada memiliki makna masing-masing dan merupakan suatu

sistem dari yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan orang Toraja.

Tongkonan bagi orang toraja merupakan rumah pusaka yang

melambangkan sumber keturunan atau tempat berdiamnya nenek moyang,

sehingga menjadi asal mula silsilah seseorang. Karena itulah tongkonan

Page 18: Aspek Budaya Perumahan Dan Permukiman

18

yang dimiliki secara turun-temurun oleh keluarga atau marga suku Toraja

dianggap sebagai simbol keluarga atau ikatan keluarga.

Kata Tongkonan berasal dari istilah dalam bahasa Toraja yaitu

"tongkon" yang berarti duduk. Hal ini dimungkinkan karena di tongkonan

inilah tempat bagi para keluarga duduk, bertemu, dan bermusyawarah

untuk membahas masalah-masalah penting misalnya saja tentang upacara

adat. Dalam pencatatan kebudayaan daerah, Tongkonan lebih banyak

diartikan rumah keturunan yang didirikan oleh seorang yang mula-mula

membangun sebuah permukiman bersama keluarganya. Dapat diartikan

bahwa tongkonan merupakan asal muasal berkembangnya sebuah

permukiman dan sekaligus menjadi pusat permukiman. Lingkungan alam

di sekeliling tongkonan merupakan wilayah yang menjadi tanah

tongkonan. Di tanah tongkonan inilah, menyusul dibangun rumah-rumah

kediaman bagi para pengikut tongkonan tersebut (Dep. P&K, 1983).

Dalam sebuah kelompok permukiman tidak selalu terdapat

sebuah tongkonan. Akan tetapi, sebuah kelompok permukiman selalu

terkait pada sebuah tongkonan yang menjadi sumber adat istiadatnya.

Demikian pula bentuk rumah penduduk tidak selalu mengikuti bentuk

tongkonan, tetapi bentuk tongkonan harus selalu megikuti ciri-ciri tertentu

sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh nenek moyang. Tongkonan dan

rumah kediaman penduduk di sekitar tongkonan selalu dibangun

menghadap ke Utara.

Di hadapan tongkonan, dibangun berbanjar dari timur ke barat

lumbung-lumbung padi atau dalam bahasa Toraja di sebut Alang. Bentuk

dasar lumbung atau alang mirip dengan bentuk tongkonan, hanya memiliki

ukuran lebih kecil. Jumlah alang menandakan kesejahteraan/ kekayaan

seseorang. Bagian bawah atau kolong Alang dapat digunakan sebagai

tempat untuk menerima tamu.

Salah satu elemen dalam permukiman tradisional adalah

kandang. Tidak ada aturan khusus dalam penempatan kandang bagi kerbau

(Bala) atau babi (Pangkung) dalam permukiman. Akan tetapi, kandang

biasanya diletakkan pada posisi yang mudah terlihat. Hal ini bertujuan agar

Page 19: Aspek Budaya Perumahan Dan Permukiman

19

kandang lebih mudah untuk diawasi. Awalnya kolong tongkonan juga

dapat berfungsi sebagai kandang babi atau kerbau. Saat ini kerbau maupun

babi dibuatkan kandang tersendiri terpisah dan tidak di bawah atau kolong

tongkonan lagi.

Lahan garapan yaitu sawah (uma) bagi orang Toraja, secara

simbolik merupakan hal yang paling penting dan sangat berharga dalam

kehidupan orang-orang di Toraja. Semakin banyak atau luas sawah yang

dmiliki seseorang, maka semakin tinggi pula status sosial orang tersebut

di kalangan orang-orang di Toraja. Lokasi sawah berada di lembah,

sedangkan Permukiman tradisional Toraja pada umumnya berada jauh di

atas sebuah bukit atau gunung. Butuh waktu dan tenaga ekstra untuk

mencapai sawah. Selain itu, dengan kondisi seperti ini, penduduk akan

sangat sulit untuk mengawasi sawahnya.

Kebun atau Pa’lak biasanya lokasinya tidak jauh dari lokasi

permukiman atau tongkonan. Bambu dan ketela merupakan tanaman yang

paling banyak terdapat di sekitar permukiman tradisional toraja. Kedua

tanaman tersebut mempunyai banyak manfaat bagi orang toraja. Pohon

bambu yang banyak tumbuh subur di hutan-hutan tongkonan banyak

dimanfaatkan sebagai salah satu bahan bangunan untuk rumah dan

dijadikan wadah untuk minuman tuak. Sedangkan ketela yang dalam

bahasa toraja disebut Utan Bai banyak di tanam di kebun Merupakan

tanaman buat makanan babi.

Rante adalah dataran atau tempat untuk pelaksanaan upacara

pemakaman dan tempat penyembelihan hewan yang Merupakan salah satu

ritual dalam upacara pemakaman. Di area rante ini banyak terdapat batu-

batu besar yang disebut Menhir/ megalit, dalam bahasa Toraja disebut

simbuang batu. Terkadang di beberapa desa, rante dapat dijadikan tempat

untuk pasar regular. Secara umum lokasi rante berada di sebelah barat dari

tongkonan yang merupakan pusat permukiman tradisional.

Liang adalah kuburan yang berada di dinding tebing batu

karang. Letak liang biasanya tidak boleh dekat dengan permukiman

masyarakat atau tongkonan. Hal ini bertujuan agar mereka tidak bersedih

Page 20: Aspek Budaya Perumahan Dan Permukiman

20

jika melihat liang dari nenek moyang atau keluarga yang telah meninggal.

Lokasi liang sebelah barat dari lokasi Permukiman.

Selain elemen-elemen yang telah disebutkan di atas, dalam

permukiman tradisional Toraja terdapat bangunan yang bergaya bugis

(rumah panggung) dan rumah melayu yang cenderung modern yang

dibangun dan berada di sekitar areal tongkonan. Tidak ada persyaratan

khusus tentang arah dan bentuk bangunan untuk rumah kediaman

penduduk ini.

3.3.3. Tentang Permukiman Tradisional Kaero

Permukiman tradisional Kaero masuk dalam wilayah lembang

Kaero di Kecamatan Sanggalla. Lembang Kaero terdiri dari 4 dusun, yaitu

Kasean, Kaero Tengah, Galintua, Tiangka. Permukiman tradisional Kaero

termasuk dalam dusun Kaero Tengah.

Gambar 3.2. Permukiman di Toraja

Permukiman tradisional Kaero merupakan permukiman yang

berada di dataran tinggi. Lokasi permukiman berada di ketinggian lebih

kurang 1000 meter di atas permukaan laut. Jalanan yang terjal dan berbatu

sangat menyulitkan pencapaian ke arah tongkonan tersebut. Bagi

seseorang yang tidak terbiasa mendaki gunung, perjalanan menuju

permukiman ini cukup membuat nafas tersengal-sengal, beberapa kali

Page 21: Aspek Budaya Perumahan Dan Permukiman

21

harus berhenti untuk beristirahat kemudian baru dapat melanjutkan

kembali perjalanan. Jika tidak ingin berjalan kaki, disarankan untuk

menyewa ojek, sehingga perjalanan dapat lebih mudah dan praktis.

Jarak permukiman Kaero sekitar 30 km ke arah timur dari Kota

Makale. Perjalanan menuju tongkonan kaero, dapat ditempuh selama lebih

kurang 1 jam dari Kota Makale. Untuk mencapai permukiman tradisional

kaero dapat mengunakan angkutan umum ataupun ojek. Jika

menggunakan angkutan umum perjalanan hanya bisa sampai hingga di

bawah kaki Bukit Kaero, kemudian harus dilanjutkan dengan berjalan kaki

sekitar 20 menit.

Di sepanjang jalan menaiki bukit untuk menuju permukiman

Kaero, kita dapat jumpai banyak pohon coklat dan tanaman ketela atau

Utan Bai. Sebagian penduduk di permukiman Kaero memanfaatkan lahan

di lereng-lereng bukit untuk bercocok tanam. Pohon bambu dan pinus juga

banyak dijumpai tumbuh subur secara alami. Pohon-pohon ini tumbuh

dengan subur dan lebat menutupi pandangan ke arah permukiman.

Rumah-rumah penduduk di permukiman Kaero letaknya

berpencar, di lereng-lereng hingga di lembah-lembah. Jarak antara rumah

yang satu dengan rumah yang lain tidak begitu berjauhan. Hampir di setiap

rumah-rumah penduduk memiliki lumbung padi.

Bentuk rumah-rumah penduduk rata-rata rumah panggung

(rumah kayu). Bentuk rumah-rumah penduduk di areal permukiman

tradisional tidak selalu mengikuti bentuk tongkonan, tetapi bentuk

tongkonan harus selalu megikuti ciri-ciri tertentu sesuai dengan yang telah

ditetapkan oleh nenek moyang.

Arah rumah kediaman penduduk tidak menghadap ke utara.

Hal ini sangat berbeda dengan Tongkonan selalu dibangun menghadap ke

Utara. Lumbung untuk menyimpan padi hasil panen yang dapat dijumpai

hampir di setiap rumah penduduk letaknya tidak berhadapan dengan

rumah tinggal dan arahnya pun tidak menghadap ke Selatan.

Dalam permukiman tradisional kaero terdapat dua tongkonan,

yaitu: tongkonan Kaero dan Tongkonan Buntu Kaero. Kedua tongkonan

Page 22: Aspek Budaya Perumahan Dan Permukiman

22

tersebut merupakan bagian dari Permukiman tradisional Kaero. Lokasi

Tongkonan Kaero ini berada di lereng bukit, sedangkan Tongkonan Buntu

Kaero terletak di atas bukit sebelah selatan dan tidak jauh lokasinya dari

lokasi Tongkonan Kaero. Dalam bahasa Toraja, kata Buntu berarti gunung

atau bukit, sedang Kaero adalah nama tempat lokasi tongkonan tersebut

dibangun. Hal ini sesuai dengan lokasi Tongkonan Buntu Kaero yang

memang berada di puncak bukit.

Tongkonan Buntu Kaero dan Tongkonan Kaero tidak

dibangun dalam waktu yang bersamaan. Tongkonan yang mula-mula

dibangun di Kaero adalah Tongkonan Buntu Tongko yang merupakan

cikal bakal pusat permukiman di Kaero, baru kemudian dibangun

Tongkonan Kaero. Di sekitar kedua tongkonan tersebut terdapat rumah-

rumah kediaman oleh penduduk yang masih terikat secara kekeluargaan

atau keturunan dari pemilik tongkonan tersebut.

Elemen-elemen dalam permukiman tradisional Kaero masih

terbilang lengkap dan dapat dilihat, seperti pada permukiman tradisional

Toraja pada umumnya. Selain 2 buah tongkonan, elemen lain seperti

seperti lumbung, kandang, rante, kandang, padang, kebun, sawah, dan

liang masih dapat kita temui. Sayangnya, beberapa elemen tesebut dalam

kondisi yang kurang terawat bahkan sudah banyak beralih fungsi.

Saat ini tongkonan buntu kaero tidak ada yang menjaga

ataupun mendiaminya lagi. Kondisinya sudah sangat memprihatinkan.

Tongkonan, 3 alang, 1 buah kandang babi dibiarkan begitu saja dan

beberapa bagian bangunan sudah mulai lapuk dan telah runtuh. Berbeda

Tongkonan Buntu Kaero, kondisi Tongkonan Kaero yang sebelumnya

pernah terbakar, telah dibangun kembali pada tahun1981 (RBP. Charles,

DKK., 1992).

Beberapa elemen yang lainnya, seperti lumbung tidak lagi

digunakan sebagai tempat menyimpan padi/ gabah. Kondisi lumbung

sudah mulai rapuh karena kurang terawat. Pada awalnya lumbung yang

letaknya di depan tongkonan berjumlah 5 buah namun 2 buah lumbung

telah roboh karena rusak dimakan usia.

Page 23: Aspek Budaya Perumahan Dan Permukiman

23

Di sekitar tongkonan tidak tampak kandang kerbau, yang ada

hanya 5 kandang babi dan beberapa kandang ayam. Letak kandang tidak

beraturan.

Pekarangan dan Kebun yang berada di sekitar tongkonan

banyak di tanami Utan Bai sejenis ketela untuk makanan babi. Di sebelah

kebun banyak terdapat pohon bambu yang tumbuh dengan lebat dan subur.

Sebagian lahan kebun dan pekarangan di sekitar Tongkonan Kaero telah

dibangun rumah tinggal bagi keluarga yang masih keturunan dari

Tongkonan Kaero.

Sepertinya halnya lahan pekarangan dan kebun, lahan untuk

Rante pun sebagian telah dibangun sekolah dasar yang diperuntukkan bagi

anak-anak yang bertempat tinggal di Lembang Kaero. Rante ini berada di

sebelah barat Tongkonan Kaero. Lokasinya tidak jauh dari lokasi

tongkonan, sekitar 100 meter dari Lokasi Tongkonan Kaero.

Lokasi sawah penduduk yang bermukim di permukiman

tradisional Kaero ini sangat jauh dari lokasi permukiman. Penduduk harus

berjalan cukup jauh berjalan hingga mencapai kaki bukit untuk mencapai

sawah. Sawah dapat di jumpai dipinggir kiri dan kanan jalan utama

sebelum naik ke atas bukit menuju area permukiman penduduk. Lokasi

mata air pun cukup jauh. Untuk mengambil air, penduduk harus berjalan

sekitar 1 kilometer menuruni bukit.

Liang atau kuburan bagi keturunan yang berasal Tongkonan

Kaero terletak sangat jauh dari lokasi permukiman. Liang atau kuburan

dipahat pada dinding tebing berada di salah satu sisi dari bukit di Suaya.

Lokasi liang ini berada di sebelah Barat permukiman.

Page 24: Aspek Budaya Perumahan Dan Permukiman

24

BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Dalam sistem perumahan dan permukiman, unsur budaya

menjadi salah satu aspek yang penting untuk diteliti dan dibahas. Budaya

memegang peranan penting dalam perumahan dan permukiman, mulai dari

hal makro seperti struktur dan pola permukiman, hingga hal mikro seperti

gaya bangunan dan arsitektur sebuah rumah.

Aspek budaya pada perumahan dan permukiman tampak jelas

pada permukiman tradisional di setiap daerah. Jauh lebih jelas daripada

permukiman di kota. Hal ini karena aspek budaya sendiri erat kaitannya

dengan adat istiadat, kepercayaan, dan kekerabatan di suatu daerah.

Disamping memengaruhi struktur dan pola perumahan secara

fisik, budaya pun memengaruhi gaya hidup dan kebiasaan masyarakat

permukiman, yang mana gaya hidup sendirilah yang melahirkan suatu

kebudayaan. Dengan kata lain, aspek budaya memiliki hubungan timbal

balik dengan gaya hidup, tradisi dan kebiasaan masyarakat permukiman,

serta struktur ruang permukiman secara fisik.

Page 25: Aspek Budaya Perumahan Dan Permukiman

25

DAFTAR PUSTAKA

Rapoport, A. 1993. Development, Culture, Change and Supportive Design. USA:

University of Wisconsin-Milwaukee.

Sasongko, I. 2002. Transformasi Struktur Ruang pada Permukiman Sasak, Kasus:

Permukiman Desa Puyung. Jurnal ASPI.2 (1):117-125.

Sasongko, I. 2005. Pembentukan Struktur Ruang Permukiman Berbasis Budaya

(Studi Kasus: Desa Puyung - Lombok Tengah). Jurnal Dimensi Teknik

Arsitektur. 33 (1):1-8.

Sasongko, I. 2005. Struktur Ruang Permukiman Karangsalah dan Segenter di Desa

Bayan. Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur. 20 (1):16-25.

Wikantiyoso, R. 1997. Konsep Pengembangan: Transformasi Pola Tata Ruang

Tradisional Studi Kasus: Permukiman Tradisional Jawa di Kotagede

Yogyakarta – Indonesia. Science. 37:25-33.