ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN TRAUMA KEPALA DI IGD DAN ICP
MONITORING
OLEH:
KELOMPOK 3
DEWI AGUSTINA 131311123014
TIA KUMALA DEWI 131311123015
ANIS CANDRA 131311123016
RINA WAHYUNINGSIH 131311123017
WILDA KHARISMA 131311123019
STEFANI ANGEL K 131311123020
YOSINA MARTA 131311123021
MUBAROKAH ISNAENI 131311123059
PROGRAM STUDI NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN UNAIR
SURABAYA
2014
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayahnya yang telah diberikan sehingga dapat menyelesaikan makalah Keperawatan Kritis
tentang Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Trauma Kepala dan Monitoring ICP .
Makalah ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak yang telah
memberikan dukungan, bimbingan serta arahan baik secara moral maupun materil. Untuk itu
kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya di sampaikan kepada :
1. Ibu Erna Dwi Wahyuni,S.kep,Ns.,M.Kep selaku fasilitator mata ajar Keperawatan Kritis.
2. Teman-teman satu kelompok 3 yang bekerjasama dalam membantu menyelesaikan makalah
ini.
Dari pembuatan makalah ini kami menyadari masih jauh dari kesempurnaan, sehubungan
dengan hal tersebut kami sangat mengharap kritik dan saran dari pembaca untuk penyusunan
makalah selanjutnya yang lebih baik sehingga dapat bermanfaat untuk kita semua.
Surabaya, April 2014
Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau
tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak (Muttaqin, 2008).
Cedera kepala meliputi trauma kepala, tengkorak, dan otak. Secara anatomis otak
dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit kepala, serta tulang dan tentorium atau helem yang
membungkusnya. Tanpa perlindungan ini otak akan mudah sekali terkena cedera dan
mengalami kerusakan. Selain itu, sekali neuron rusak tidak dapat diperbaiki lagi. Cedera
kepala dapat mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada
kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas, selain
penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah sakit, penilaian dan
tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis
selanjutnya (.
Efek-efek ini harus dihindari dan ditemukan secepatnya oleh perawat untuk
menghindari rangkaian kejadian yang menimbulkan gangguan mental dan fisik, bahkan
kematian. Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologis yang paling serius diantara
penyakit neurologis, dan merupakan proporsi epidemic sebagai hasil kecelakaan jalan raya.
Diperkirakan 2/3 korban dari kasus ini berusia dibawah 30 tahun dengan jumlah laki-laki
lebih banyak dari wanita. Lebih dari setengah dari semua klien cedera kepala berat
mempunyai signifikan cedera terhadap bagian tubuh lainnya. Adanya syok hipovolemik pada
klien cedera kepala biasanya karena cedera pada bagian tubuh lainnya. Resiko utama klien
yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan
otak sebagai responds terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intracranial.
50 % dari kematian karena trauma berhubungan dengan trauma kepala, dan lebih dari
60 % kematian trauma kendaraan bermotor akibat injury pada kepala. Cedera kepala adalah
penyebab yang paling bermakna meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Diperkirakan 1,4
juta cedera kepala terjadi setiap tahun, dengan >1,1 juta yang datang ke Unit Gawat Darurat.
Angka kematian trauma kepala akibat terjatuh lebih tinggi pada laki laki dibanding
perempuan yaitu sebanyak 26,9 per 100.000 dan 1,8 per 100.000. Bagi lansia pada usia 65
tahun keatas, kematian akibat trauma kepala mencatat 16.000 kematian dari 1,8 juta lansia di
Amerika yang mengalami trauma kepala akibat terjatuh.
Indonesia sebagai negara berkembang ikut merasakan kemajuan teknologi,
diantaranya bidang transportasi. Dengan majunya transportasi, mobilitas penduduk pun ikut
meningkat. Namun akibat kemajuan ini, juga berdampak negatif yaitu semakin tingginya
angka kecelakaan lalu lintas karena ketidak hati hatian dalam berkendaraan. Sehingga
dapat mengakibatkan berbagai cedera. Salah satu cedera yang sering terjadi pada saat
kecelakan lalu lintas adalah cedera kepala.
Tujuan utama penanganan intensif cedera kepala adalah untuk mencegah dan
mengobati cedera kepala sekunder seperti iskemik serebral menggunakan berbagai strategi
neuroprotektif untuk mempertahankan perfusi serebral untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme otak berupa oksigen dan glukosa. Karena otak terletak di dalam tengkorak,
peningkatan TIK akan mengganggu aliran darah ke otak dan mengakibatkan iskemik
serebral. Peningkatan TIK adalah penyebab penting terjadinya cedera kepala sekunder,
dimana derajat dan lamanya berkaitan dengan outcome setelah cedera kepala. Pemantauan
TIK adalah pemantauan intrakranial yang paling banyak digunakan karena pencegahan dan
kontrol terhadap peningkatan TIK serta mempertahankan tekanan perfusi serebral (Cerebral
Perfusion Pressure/CPP) adalah tujuan dasar penanganan cedera kepala.
Cedera kepala menduduki tingkat morbiditas dan mortalitas tertinggi, oleh karena itu
diperlukan pemahaman dan pengelolaan yang lebih baik terutama tentang penanganan,
pencegahan cedera otak sekunder dan cara merujuk penderita secepat mungkin oleh petugas
kesehatan yang berada digaris depan. Maka dari itu pada kesempatan ini akan dibahas
mengenai asuhan keperawatan pada klien dengan trauma kepala di unit gawat darurat yang
terkait dengan monitoring ICP.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan trauma kepala di unit gawat
darurat dan monitoring ICP.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Memahami dan menjelaskan Anatomi dan Fisiologi Trauma Kepala.
2. Memahami dan menjelaskan Definisi Trauma Kepala.
3. Memahami dan menjelaskan Etiologi Trauma Kepala.
4. Memahami dan menjelaskan Klasifikasi Trauma Kepala.
5. Memahami dan menjelaskan Patofisiologi Trauma Kepala.
6. Memahami dan menjelaskan Manifestasi Klinis Trauma Kepala.
7. Memahami dan menjelaskan Pemeriksaan Penunjang Trauma Kepala.
8. Memahami dan menjelaskan Penatalaksaan Trauma Kepala.
9. Memahami dan menjelaskan Komplikasi Trauma Kepala.
10. Memahami dan menjelaskan Prognosis Trauma Kepala.
11. Memahami dan menjelaskan WOC Trauma Kepala.
12. Memahami dan menjelaskan Asuhan Keperawatan Trauma Kepala di UGD dan
monitoring ICP.
13. Memahami dan menjelaskan cara monitoring ICP.
1.3 Manfaat
1.3.1 Bagi mahasiswa
Makalah ini hendaknya memberikan masukan dalam pengembangan diri untuk
pengembangan pengetahuan mahasiswa/ mahasiswi mengenai pentingnya memahami
askep trauma kepala dan monitoring ICP secara menyeluruh.
1.3.2 Bagi penulis
Dengan makalah ini, di harapkan mampu memberikan pemahaman yang lebih
tentang askep trauma kepala dan monitoring ICP.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Trauma Kepala
2.1.1Anatomi Fisiologi
Otak merupakan organ tubuh yang sangat penting karena merupakan pusat dari semua
organ tubuh. Otak terdapat dalam rongga tengkorak yang melindungi otak dari cedera dan
terbungkus oleh kulit.
A. Kulit
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau
kulit, connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea
aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan pericranium
(Price, 2006).
Kulit kepala/skin tebal dan merupakan bantalan rambut yang mengandung banyak
kelenjar sebaseus.
Connective tissue adalah lapisan lemak yang menghubungkan kulit aponeurosis,
mendasari otot occipitofrontalis dan menyediakan lorong untuk saraf dan pembuluh darah.
Pembuluh darah yang melekat pada jaringan ikat fibrosa ini. Jika pembuluh dipotong,
lampiran ini mencegah vasospasme, yang dapat menyebabkan perdarahan hebat setelah
cedera.
Aponeurosis Galea (A : fascia) lapisan ini merupakan lapisan terkuat, berupa fascia
yang melekat pada tiga otot yaitu ke anterior m. frontalis , Ke posterior m. occipitalis, Ke
lateral m. temporoparietalis. Loose areolar tissue (L: jaringan areolar longgar), lapisan ini
mengandung vena emissary yang menghubungkan SCALP, vena diploica, dan sinus vena
intracranial (mis. Sinus sagitalis superior). Jika terjadi infeksi pada lapisan ini, akan dengan
mudah menyebar ke intracranial. Dan Perikranium (P: periosteum), merupakan periosteum
yang melapisi tulang tengkorak, melekat erat terutama pada sutura karena melalui sutura ini
periosteum akan langsung berhubungan dengan endostium (yang melapisi permukaan dalam
tulang tengkorak) (Fais, 2004).
B. Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak
terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya
diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii
berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses
akselerasi dan deselerasi (Little, 2008).
C. Selaput meningen
Selain dilindungi oleh tengkorak otak juga dilindungi oleh selaput yang disebut
meningen berupa jaringan serabut penghubung yang melindungi, mendukung dan
memelihara otak. Meningen terdiri dari 3 lapisan menurut Smeltzer, 2002 yaitu:
1. Durameter
lapisan paling luar, menutup otak dan medulla spinalis. Sifatnya yang liat, tebal, dan
tidak elastis. Duramater melekat erat dengan permukaan dalam tengkorak oleh karena
bila dura robek dan tidak segera diperbaiki dengan sempurna maka akan timbul berbagai
masalah. Dura mempunyai aliran darah yang kaya. Bagian tengah dan posterior di suplay
oleh arteri meningen yang bercabang dari arteria karotis interna dan menyuplay fasa
arterior arteria meningen yaitu cabang dari arteria oksipitalis menyuplay darah ke fasa
posterior.
2. Araknoid
Merupakan membran bagian tengah yang bersifat tipis, halus, elastis dan menyerupai
sarang laba-laba. Membran ini berwarna putih karena tidak dialiri darah. Pada dinding
araknoid terdapat pleksus khoroid yang bertanggung jawab memproduksi cairan
serebrospinal (CSS). Terdapat juga membran araknoid villi yang mengabsorbsi CSS.
Pada orang dewasa normal CSS yang diproduksi 500 ml perhari, tetapi 150 ml diabsorbsi
oleh villi. CSS dalam darah yang masuk dalam sistem akibat trauma, pecahnya
aneurisma, strok dan lain-lain juga diabsorpsi oleh villi. Jika villi pada araknoid
tersumbat dapat menyebabkan hidrosefalus oleh karena peningkatan ukuran ventrikel.
3. Piamater
Merupakan membran yang paling dalam, berupa dinding yang tipis, transparan yang
menutupi otak dan meluas ke setiap lapisan daerah otak dan sangat kaya dengan
pembuluh darah.
D. Otak
Otak merupakan organ kompleks yang di dominasi cerebrum. Otak merupakan
struktur kembar yaitu lateral simetris dan terdiri dari 2 bagian yang disebut hemisferium.
Belahan kiri dari cerebrum berkaitan dengan sisi kanan tubuh dan belahan kanan cerebrum
berkaitan dengan sisi kiri tubuh.
Otak terbagi menjadi 3 bagian besar :
1. Cerebrum (otak besar)
Serebrum terdiri dari dua hemisfer dan empat lobus. Substansia grisea terdapat pada
bagian luar dinding serebrum dan substansia alba menutupi dinding serebrum bagian
dalam. Pada prinsipnya komposisi substansia grisea yang terbentuk dari badan-badan sel
saraf memenuhi kortex serebri, nukleus dan basal gangglia. Substansia alba terdiri dari
sel-sel syaraf yang menghubungkan bagianbagian otak yang lain. Sebagian besar
hemisfer serebri (telesefalon) berisi jaringan SSP. Area inilah yang mengontrol fungsi
motorik tertinggi yaitu terhadap fungsi individu dan intelegensia. Keempat bagian lobus
antara lain :
a. Frontalis merupakan lobus terbesar, terletak pada fossa anterior sulkus frontalis.
Lobus ini mengontrol perilaku individu, membuat keputusan, kepribadian dan
menahan diri. Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung
kepada ukuran dan lokasi kerusakan fisik yang terjadi.
Kerusakan yang kecil, jika hanya mengenai satu sisi otak, biasanya tidak
menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang menyebabkan
kejang. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa
menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas yang
mengarah ke bagian depan atau samping lobus frontalis menyebabkan perhatian
penderita mudah teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar
dan kejam, penderita mengabaikan akibat yang terjadi akibat perilakunya.
b. Temporalis terletak disebelah lateral, berfungsi mengintegrasikan sensasi kecap, bau
dan pendengaran. Ingatan jang pendek sangat berhubungan dengan lobus ini.
Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan
akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan
gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari dalam dan
menghambat penderita dalam mengekspresikan bahasanya. Penderita dengan lobus
temporalis sebelah kanan yang non-dominan, akan mengalami perubahan kepribadian
seperti tidak suka bercanda, tingkat kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan
kehilangan gairah seksual.
c. Parietalis terletak disulkus sentralis, merupakan lobus sensori. Berfungsi untuk
mengintegrasikan sensasi. Sensasi rasa yang tidak berpengaruh adalah bau. Lobus ini
mengatur individu mampu mengetahui posisi dan letak bagian tubuhnya.
Kerusakan kecil di bagian depan lobus parientalis menyebabkan mati rasa pada sisi
tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya
kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan (keadaan ini disebut apraksia)
dan untuk menentukan arah kiri-kanan. Kerusakan yang luas bias mempengaruhi
kemampuan penderita dalam mengenali bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya
atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan bentuk yang sebelumnya dikenal
dengan baik (misalnya bentuk kubus atau jam dinding). Penderita bisa menjadi
linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan
sehari-hari lainnya. Kerusakan pada daerah ini dapat menyebabkan sindrom
hemineglect.
d. Oksipitalis terletak pada lobus posterior hemisfer serebri. Berfungsi untuk
menginterpretasikan penglihatan (Smeltzer, 2002).
2. Batang otak (trunkus serebri) terletak pada fossa anterior, terdiri dari :
a) Diensefalon, bagian batang otak paling atas terdapat di antara serebelum dan
mesensepalon. Diensepalon berfungsi untuk vasokontruktor (mengecilkan pembuluh
darah), respiratory (membantu proses pernapasan), mengontrol kegiatan reflek dan
membantu pekerjaan jantung.
Istilah yang digunakan untuk menyatakan struktur-struktur disekitar vertikel dan
membentuk inti bagian dalam serebrum. Diensefalon memproses rangsang sensorik
dan membantu memulai atau memodifikasi reaksi tubuh terhadap rangsang-rangsang
tersebut.
Diensefalon dibagi menjadi 4 wilayah yaitu :
1) Talamus
Berada pada salah satu sisi pada sepertiga ventrikel dan aktivitas primernya
sebagai pusat penyambung sensasi bau yang diterima. Berfungsi sebagai pusat
sensorik primitif (dapat merasakan nyeri, tekanan, rabaan getar dan suhu yang
ekstrim secara samar-samar). Berperan penting dalam integrasi ekspresi motorik
oleh karena hubungan fungsinya terhadap pusat motorik utama dalam korteks
motorik serebri, serebelum dan gangglia basalis.
2) Hipotalamus
Terletak pada anterior dan inferior talamus. Hipotalamus berkaitan dengan
pengaturan rangsangan dari sistem susunan saraf otonom perifer yang menyertai
ekspresi tingkah laku dan emosi. Berperan penting dalam pengaturan hormon
(hormon anti diuretik dan okstoksin disintesis dalam nukleus yang terletak dalam
hipotalamus). Pengaturan cairan tubuh dan susunan elektrolit, suhu tubuh, fungsi
endokrin dari tingkah laku seksual dn reproduksi normal dan ekspresi ketenangan
atau kemarahan, lapar dan haus.
3) Subtalamus
Merupakan nukleus ekstrapiramidal diensefalon yang penting fungsinya belum
dapat dimengerti sepenuhnya, tetapi lesi pada subtalamus dapat menimbulkan
diskinesia dramatis yang disebut hemibalismus.
4) Epitalamus
Berupa pita sempit jaringan saraf yang membentuk atap diensefalon. Epitalamus
berhubungan dengan sistem limbik dan agaknya berperan pada beberapa
dorongan emosi dasar dan ingarasi informasi olfaktorius.
b) Mesensefalon (midbrain) terletak tepat dibawah diensefalon, menghubungkan pons
dan serebelum dengan hemisfer serebrum. Bagian ini berisi jalur sensorik dan
motorik sebagai pusat refleks pendengaran dan penglihatan.
c) Pons varoli terletak didepan serebelum antara otak tengah dan medula. sebagai
penghubung antara kedua bagian serebellum dan juga medula oblongata dengan
serebrum pusat saraf nervus trigeminus. Pons berisi jaras sensorik dan motorik.
d) Medula oblongata meneruskan serabut-serabut motorik dari otak ke medulla spinalis
dan serabut-serabut sensorik dari medula spinalis ke otak. Medulla oblongata
merupakan bagian batang otak yang paling bawah yang berfungsi untuk mengontrol
pekerjaan jantung, mengecilkan pembuluh darah, pusat pernapasan dan mengontrol
kegiatan refleks (McQuillan, 2009).
3. Serebelum
Terletak dalam fosa posterior dan ditutupi oleh duramater yang menyerupai atap tenda
yaitu tentoreum yang memisahkan dari bagian posterior serebrum.
Semua aktivitas serebrum berada dibawah kesadaran fungsi utamanya adalah sebagai
pusat refleks yang mengkoordinasi dan memperhalus gerakan otot, serta mengubah
tonus-tonus kekuatan kontraksi untuk mempertahankan keseimbangan dan sikap tubuh
(Smeltzer, 2002).
E. Cairan serebrospinal
Normal produksi cairan serebrospinal adalah 0,2-0,35 mL per menit atau sekitar
500 mL per 24 jam . Sebagian besar diproduksi oleh oleh pleksus koroideus yang
terdapat pada ventrikel lateralis dan ventrikel IV. Kapasitas dari ventrikel lateralis dan
ventrikel III pada orang sehat sekitar 20 mL dan total volume cairan serebrospinal pada
orang dewasa sekitar 120 mL Cairan serebrospinal setelah diproduksi oleh pleksus
koroideus akan mengalir ke ventrikel lateralis, kemudian melalui foramen
interventrikuler Monro masuk ke ventrikel III , kemudian masuk ke dalam ventrikel IV
melalui akuaduktus Sylvii, setelah itu melalui 2 foramen Luschka di sebelah lateral dan 1
foramen Magendie di sebelah medial masuk kedalam ruangan subaraknoid, melalui
granulasi araknoidea masuk ke dalam sinus duramater kemudian masuk ke aliran vena.
Tekanan Intra kranial meningkat karena produksi cairan serebrospinal melebihi
jumlah yang diabsorpsi. Ini terjadi apabila terdapat produksi cairan serebrospinal yang
berlebihan, peningkatan hambatan aliran atau peningkatan tekanan dari venous sinus.
Mekanisme kompensasi yang terjadi adalah transventricular absorption, dural
absorption, nerve root sleeves absorption dan unrepaired meningocoeles. Pelebaran
ventrikel pertama biasanya terjadi pada frontal dan temporal horns, seringkali asimetris,
keadaan ini menyebabkan elevasi dari corpus callosum, penegangan atau perforasi dari
septum pellucidum, penipisan dari cerebral mantle dan pelebaran ventrikel III ke arah
bawah hingga fossa pituitary (menyebabkan pituitary disfunction) (McQuillan, 2009).
F. Tentorium
Tentorium sereberi membagi rongga tengkorak menjadi ruang :
1. Supratentorial terdiri fosa kranii anterior dan media
2. Infratentorial berisi fosa kranii posterior
Mesensefalon (midbrain) menghubungkan hemisfer serebri dan batang otak (pons dan
medulla oblongata) berjalan melalui celah tentorium sereberi disebut insisura tentorial.
Nervus okulomotorius (NVII) berjalan sepanjang tentorium, bila tertekan oleh masa atau
edema otak akan menimbulkan herniasi. Serabut2 parasimpatik untuk kontraksi pupil
mata berada pada permukaan n. okulomotorius. Paralisis serabut ini disebabkan
penekanan mengakibatkan dilatasi pupil. Bila penekanan berlanjut menimbulkan deviasi
bola mata kelateral dan bawah.
Dilatasi pupil ipsilateral disertai hemiplegi kontralateral dikenal sindrom klasik herniasi
tentorium. Umumnya perdarahan intrakranial terdapat pada sisi yang sama dengan sisi
pupil yang berdilatasi meskipun tidak selalu (Smeltzer, 2002).
G. Sirkulasi
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat
arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk circulus Willisi.
Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan
tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus
venosus cranialis. Sirkulasi otak menerima sekitar 20% dari curah jantung atau 750 ml
per menit. Kurangnya suplai darah ke otak dapat menyebabkan jaringan rusak ireversibel
(Smeltzer, 2002).
H. Sistem persyarafan
1. Nervus Alfaktorius (Nervus Kranialis I)
Nervus alfaktorius menghantarkan bau menuju otak dan kemudian diolah lebih lanjut.
Dengan mata tertutup dan pada saat yang sama satu lubang hidung ditutup, penderita
diminta membedakan zat aromatis lemah seperti vanila, cau de cologne, dan cengkeh.
Fungsi saraf pembau.
2. Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)
Nervus optikus menghantarkan impuls dari retina menuju plasma optikum, kemudian
melalui traktus optikus menuju korteks oksipitalis untuk dikenali dan
diinterpretasikan. Fungsi: Bola mata untuk penglihatan.
3. Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III)
Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot orbital (otot penggerak bola mata). Fungsi
sebagai penggerak bola mata.
4. Nervus Troklearis (Nervus Kranialis IV)
Sifatnya motorik, fungsi memutar mata, sebagai penggerak mata.
5. Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)
Nervus Trigeminus membawa serabut motorik maupun sensorik dengan memberikan
persarafan ke otot temporalis dan maseter, yang merupakan otot-otot pengunyah.
Nervus trigeminus dibagi menjadi 3 cabang utama:
- Nervus oftalmikus sifatnya motorik dan sensorik. Fungsi: Kulit kepala dan
kelopak mata atas.
- Nervus maksilaris sifatnya sensorik. Fungsi : Rahang atas, palatum dan hidung.
- Nervus mandibularis sifatnya motorik dan sensorik. Fungsi : Rahang bawah dan
lidah.
6. Nervus Abdusen (Nervus Kranialis VI)
Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot orbital. Fungsi: Sebagai saraf penggoyang bola
mata.
7. Nervus Facialis (Nervus Nervus Kranialis VII)
Sifatnya motorik dan sensorik, saraf ini membawa serabut sensorik yang menghantar
pengecapan bagian anterior lidan dan serabut motorik yang mensarafi semua otot
ekspresi wajah, termasuk tersenyum, mengerutkan dahi dan menyeringai. Fungsi:
Otot lidah menggerakkan lidah dan selaput lendir rongga mulut.
8. Nervus Auditorius (Nervus Kranialis VIII)
Sifatnya sensorik, mensarafi alat pendengar membawa rangsangan dari pendengaran
dari telinga ke otak. Fungsinya: Sebagai saraf pendengar.
9. Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX)
Sifatnya majemuk, mensarafi faring, tonsil dan lidah.
10. Nervus Vagus (Nervus Kranialis X)
Sifatnya majemuk, fungsinya: Sebagai saraf perasa.
11. Nervus Assesoris (Nervus Kranialis XI)
Sifatnya motorik, fungsinya: Sebagai saraf tambahan.
12. Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII)
Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot lidah (Price A Sylvia, 2006).
I. Fisiologi
1) Tekanan intrakranial adalah hasil dari sejumlah jaringan otak, volum darah
intrakranial, dan cairan serebrospinal didalam tengkorak pada suatu waktu. Keadaan
normal dari tekanan intrakranial bergantung pada posisi pasien dan berkisar kurang
atau sama dengan 15 mmHg. Ruang kranial yang kaku berisi jaringan otak (1400g),
darah (75 ml) dan cairan serebrospinal (75 ml). Volum dan tekanan pada ketiga
komponen ini selalu berhubungan dengan keadaan keseimbangan (Smeltzer, 2002).
TIK normal bervariasi menurut umur, posisi tubuh, dan kondisi klinis. TIK normal
adalah 7-15 mmHg pada dewasa yang berbaring, 3-7 mmHg pada anak-anak, dan 1,5-
6 mmHg pada bayi cukup umur. Ambang TIK bervariasi pada anak-anak dan telah
direkomendasikan bahwa penanganan sebaiknya dimulai selama ketika TIK >15
mmHg pada bayi, 18 mmHg pada anak
darah serebral (cerebral blood flow, CBF). Normalnya, autoregulasi memastikan
aliran darah konstan yang melalui pembuluh serebral selama kisaran tekanan perfusi
dengan mengubah diameter pembuluh sebagai respons terhadap perubahan tekanan
arteri. Mekanisme ini adalah alat pelindung otak terhadap perubahan tekanan darah
yang terus berfluktuasi. Ketika ada gangguan autoregulasi, CBF ditentukan oleh dan
berfluktuasi sesuai dengan tekanan darah sistemik. Pada pasien yang mengalami
gangguan autoregulasi, aktivitas apapun yang menyebabkan peningkatan tekanan
darah seperti batuk, pengisapan, atau kegelisahan dapat menyebabkan peningkatan
CBF yang juga dapat meningkatkan TIK.
Komponen pertama dari tiga komponen yang dapat mengalami perubahan saat tubuh
berupaya mempertahankan volume intakranial yang konsisten adalah CBF. CBF
normal disediakan oleh tekanan perfusi serebral (cerebral perfusion pressure, CPP)
pada kisaran 50 150 mmHg. Otak mendapatkan kira kira 750 ml/menit darah arteri
(15%-20% curah jantung total saat istirahat ). Untuk memfungsikan autoregulasi,
kadar karbon dioksida harus berada dalam kisaran yang dapat diterima dan tekanan
hemodinamik harus berada dalam kisaran berikut : CPP lebih dari 60 mmHg, tekanan
arteri rerata (mean arterial pressure, MAP) dibawah 160 mmHg, tekanan sistolik
antara 60 dan 140 mmHg, dan TIK dibawah 30 mmHg. Faktor yang mengubah
kemampuan pembuluh darah serebral untuk berkonstriksi atau berdilatasi seperti
hipoksia, hiperkapnia dan trauma otak juga mengganggu autoregulasi. Karbon
dioksida adalah vasodilator pembuluh darah serebral yang terkuat yang menyebabkan
peningkatan CBF serta peningkatan volume dan kemudian mengakibatkan
peningkatan TIK (McQuillan, 2009).
2.1.2 Definisi
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi
terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak (Pierce Agrace & Neil
R. Borlei, 2006).
Trauma atau cedera kepala adalah di kenal sebagai cedera otak gangguan fungsi
normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neurologis
terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan pengaruh masa karena hemoragik,
serta edema serebral do sekitar jaringan otak (Batticaca Fransisca, 2008).
Cedera kepala atau cedera otak merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi
otak yang di sertai atau tanpa di sertai perdarahan innterstiil dalm substansi otak tanpa di
ikuti terputusnya kontinuitas otak (Arif Muttaqin, 2008).
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu trauma yang mengenai struktur
kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional
jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009).
2.1.3 Etiologi
Cidera kepala dapat disebabkan oleh dua hal antara lain :
a. Benda tajam
Trauma benda tajam dapat menyebabkan cidera setempat.
b. Benda tumpul
Dapat menyebabkan cidera seluruh kerusakan terjadi ketika energi/kekuatan
diteruskan kepada otak.
Penyebab lain :
kecelakaan lalulintas
jatuh
pukulan
kejatuhan benda
kecelakaan kerja / industri
cidera lahir (Cholik dan Saiful, 2007)
2.1.4 Klasifikasi
Klasifikasi trauma kepala berdasarkan lokasi yang terkena beserta tanda dan gejala
yang dialami klien menurut Stillwell (2011) antara lain :
1. Cedera kulit kepala
Cedera kulit kepala sering kali menyebabkan perdarahan dalam jumlah besar
karena vaskularitas kulit kepala, dan sering menunjukkan adanya cedera lain pada
tulang tengkorak dan jaringan otak. Area tersebut harus secara cermat dipalpasi untuk
mengetahui adanya deformitas sebelum memberikan tekanan pelan guna menghentikan
perdarahan. Laserasi pada kulit kepala dapat dijahit disisi tempat tidur atau mungkin
memerlukan perbaikan bedah, bergantung pada ukuran dan luasnya cedera. Avulsi
(tindakan menarik dan merobek) area kulit kepala sering kali membutuhkan
reimplamtasi bedah karena struktur vaskular juga harus diperbaiki selama pembedahan
(Morton 2012).
a. Kontusio/Luka memar adalah cedera memar pada jaringan kulit kepala, apabila
terjadi kerusakan jaringan subkutan dimana pembuluh darah (kapiler) pecah
sehingga darah meresap ke jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak
dan berwarna merah kebiruan.
b. Abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini bisa
mengenai sebagian atau seluruh kulit. Bagian lapisan atas kulit pada kulit kepala
lecet. Luka ini tidak sampai pada jaringan subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri
karena banyak ujung-ujung saraf yang rusak.
c. Laserasi adalah luka robek tetapi disebabkan oleh benda tumpul atau runcing.
Dengan kata lain, pada luka yang disebabkan oleh benda bermata tajam dimana
lukanya akan tampak rata dan teratur. Luka robek adalah apabila terjadi kerusakan
seluruh tebal kulit dan jaringan bawah kulit. Luka ini biasanya terjadi pada kulit
yang ada tulang dibawahnya pada proses penyembuhan dan biasanya pada
penyembuhan dapat menimbulkan jaringan parut.
d. Avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas, tetapi sebagian
masih berhubungan dengan tulang kranial. Dengan kata lain intak kulit pada kranial
terlepas setelah kecederaan
2. Cedera pada tengkorak
a. Fraktur linear merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau stellata pada
tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala. Fraktur lenier
dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja pada tulang kepala cukup besar tetapi
tidak menyebabkan tulang kepala bending dan tidak terdapat fragmen fraktur yang
masuk kedalam rongga intrakranial. Fraktur pada bagian ini tidak bergeser pada
area cidera sehingga dapat ditemukan tanda dan gejala berikut ini :
- Udem
- Ekimosis
- Nyeri tekan pada kulit kepala
- Kontusio atau laserasi kulit bisa saja terjadi
b. Comminuted adalah jenis fraktur tulang kepala yang memiliki lebih dari satu
fragmen dalam satu area fraktur.
c. Depressed merupakan adanya pergeseran fragmen yang remuk, berkaitan dengan
laserasi dura dan cedera otak, oleh karenanya perlu pemeriksaan kebocoran cairan
serebrospinal dari telinga (otorea) atau hidung (rinorea), pembengkakan, ekimosis
dan cedera kulit kepala lainnya biasa terjadi.
d. Basis cranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang tengkorak,
fraktur ini seringkali diertai dengan robekan pada durameter yang merekat erat pada
dasar tengkorak. Fraktur dasar tulang tengkorak ditandai :
- Racoon eyes sign
- Battles sign
- Kebocoran CSS (rembesan cairan CSS di hidung atau di telinga)
- Paresis nervus fasialis
3. Cedera serebral
Menurut (Tobing, 2011) yang diklasifikasikan menjadi cedera otak fokal dan cedera
otak difus.
a. Cedera otak fokal yang meliputi:
- Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH) adalah adanya darah di ruang
epidural yaitu ruang potensial antara tabula interna tulang tengkorak dan
durameter. Epidural hematom dapat menimbulkan penurunan kesadaran, adanya
interval lusid selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit neorologis berupa
hemiparesis kontralateral dan gelatasi pupil bilateral. Gejala lain yang
ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan hemiparesis.
- Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut adalah
terkumpulnya darah di ruang subdural yang terjadi akut (6-3 hari). Perdarahan ini
terjadi akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan korteks cerebri. Perdarahan
subdural biasanya menutupi seluruh hemisfer otak. Biasanya kerusakan otak
dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk dibanding pada
perdarahan epidural.
- Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik adalah terkumpulnya darah diruang
subdural lebih dari 3 minggu setelah trauma. Subdural hematom kronik diawali
dari SDH akut dengan jumlah darah yang sedikit. Darah di ruang subdural akan
memicu terjadinya inflamasi sehingga akan terbentuk bekuan darah atau clot yang
bersifat tamponade. Dalam beberapa hari akan terjadi infasi fibroblast ke dalam
clot dan membentuk noumembran pada lapisan dalam (korteks) dan lapisan luar
(durameter). Pembentukan neomembran tersebut akan di ikuti dengan
pembentukan kapiler baru dan terjadi fibrinolitik sehingga terjadi proses
degradasi atau likoefaksi bekuan darah sehingga terakumulasinya cairan
hipertonis yang dilapisi membran semi permeabel. Jika keadaan ini terjadi maka
akan menarik likuor diluar membran masuk kedalam membran sehingga cairan
subdural bertambah banyak. Gejala klinis yang dapat ditimbulkan oleh SDH
kronis antara lain sakit kepala, bingung, kesulitan berbahasa dan gejala yang
menyerupai TIA (transient ischemic attack). Disamping itu dapat terjadi defisit
neorologi yang bervariasi seperti kelemahan otorik dan kejang.
- Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH) adalah area
perdarahan yang homogen dan konfluen yang terdapat didalam parenkim otak.
Intra cerebral hematom bukan disebabkan oleh benturan antara parenkim otak
dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi
akibat trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak lebih
dalam, yaitu di parenkim otak atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal.
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh ICH antara lain adanya penurunan kesadaran.
Derajat penurunan kesadarannya dipengaruhi oleh mekanisme dan energi dari
trauma yang dialami.
- Perdarahan subarahknoid traumatika (SAH) diakibatkan oleh pecahnya pembuluh
darah kortikal baik arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat
memasuki ruang subarahknoid dan disebut sebagai perdarahan subarahknoid
(PSA). Luasnya PSA menggambarkan luasnya kerusakan pembuluh darah, juga
menggambarkan burukna prognosa. PSA yang luas akan memicu terjadinya
vasospasme pembuluh darah dan menyebabkan iskemia akut luas dengan
manifestasi edema cerebri.
b. Cedera otak difus menurut (Sadewa, 2011):
Cedera kepala difus adalah terminologi yang menunjukkan kondisi parenkim
otak setelah terjadinya trauma. Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena
gaya akselerasi dan deselarasi gaya rotasi dan translasi yang menyebabkan
bergesernya parenkim otak dari permukaan terhadap parenkim yang sebelah dalam.
Fasospasme luas pembuluh darah dikarenakan adanya perdarahan subarahnoit
traumatika yang menyebabkan terhentinya sirkulasi diparenkim otak dengan
manifestasi iskemia yang luas edema otak luas disebabkan karena hipoksia akibat
renjatan sistemik, bermanifestasi sebagai cedera kepala difus.
Dari gambaran morfologi pencitraan atau radiologi menurut Sadewa (2011) maka
cedera kepala difus dikelompokkan menjadi.
- Cedera akson difus (difuse aksonal injury) DAI adalah keadaan dimana serabut
subkortikal yang menghubungkan inti permukaan otak dengan inti profunda otak
(serabut proyeksi), maupun serabut yang menghubungkan inti-inti dalam satu
hemisfer (asosiasi) dan serabut yang menghbungkan inti-inti permukaan kedua
hemisfer (komisura) mengalami kerusakan. Kerusakan sejenis ini lebih
disebabkan karena gaya rotasi antara initi profunda dengan inti permukaan .
- Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang disebabkan karena efek
gaya akselerasi dan deselerasi. Mekanisme lain yang menjadi penyebab kontosio
cerebri adalah adanya gaya coup dan countercoup, dimana hal tersebut
menunjukkan besarnya gaya yang sanggup merusak struktur parenkim otak yang
terlindung begitu kuat oleh tulang dan cairan otak yang begitu kompak. Lokasi
kontusio yang begitu khas adalah kerusakan jaringan parenkim otak yang
berlawanan dengan arah datangnya gaya yang mengenai kepala.
Selain dari klasifikasi diatas Cedara kepala juga dapat disebabkan karena adanya daya
/ kekuatan yang mendadak di kepala. Ada tiga mekanisme yang berpengaruh dalam trauma
kepala yaitu akselerasi, deselerasi dan rotasional (Morton, 2012)
a. Akselerasi yaitu jika benda bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada orang
yang diam kemudian dipukul atau terlempar batu.
b. Deselerasi yaitu jika kepala yang bergerak membentur benda yang diam, misalnya pada
saat kepala terbentur. Pada saat terjadinya deselerasi ada kemungkinan terjadi rotasi
kepala sehingga dapat menambah kerusakan. Mekanisme cedera kepala dapat
mengakibatkan kerusakan pada daerah dekat benturan (kup) dan kerusakan pada daerah
yang berlawanan dengan benturan (kontra kup). Contohnya, apabila seseorang dipukul
dengan objek tumpul pada bagian belakang kepalanya, maka perlu untuk dilakukan
pengkajian apakah terdapat cedera pada lobus frontalis dan lobus oksipitalis serta
serebelum.
c. Rotasional yaitu jika pukulan/benturan membuat otak berputar dalam rongga tengkorak,
yang menyebabkan perobekan atau regangan neuron dalam substansia alba serta
robeknya pembuluh darah yang memfiksasi otak dengan bagian dalam tengkorak.
Klasifikasi cedera kepala berdasarkan GCS/Severity (Morton, 2012) :
1) Cedera kepala ringan/minor (kelompok resiko rendah)
a. Skor skala koma Glasglow 13-15
b. Dapat kehilangan kesadaran atau menunjukkan amnesia selama 5-60 menit
c. Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
d. Tidak ditemukan abnormalitas pada CT scan
2) Cedera kepala sedang (kelompok resiko sedang)
a. Skor skala koma glasgow 9-12
b. Kehilangan kesadaran
c. Amnesia 1-24 jam pasca trauma
d. Dapat ditemukan adanya abnormalitas pada CT scan
3) Cedera kepala berat (kelompok resiko berat)
a. Skor skala koma glasglow 3-8
b. Penurunan derajat kesadaran atau amnesia selama lebih dari 24 jam
c. Tanda neurologis fokal
2.1.5 Patofisiologi
Cedera kepala terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada
permukaan otak, laserasi, cedera robekan, hemoragi, akibatnya akan terjadi kemampuan
autoregulasi cerebral yang kurang atau tidak ada pada area cedera (Price, 2005).
Patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer dan proses
sekunder. Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang berkaitan dengan suatu
trauma yang relative baru terjadi dan bersifat irreversible untuk sebagian besar daerah otak.
Walaupun kontusio dan laserasi yang terjadi pada permukaan otak, terutama pada kutub
temporal dan permukaan orbital dari lobus frontalis, memberikan tanda-tanda jelas tetapi
selama lebih dari 30 tahun telah dianggap jejas akson difus pada substasi alba subkortex
adalah penyebab utama kehilangan kesadaran berkepanjangan, gangguan respon motorik
dan pemulihan yang tidak komplit yang merupakan penanda pasien yang menderita cedera
kepala traumatik berat.
a. Proses Primer
Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera primer biasanya
fokal (perdarahan, kontusi) dan difus (jejas akson difus). Proses ini adalah kerusakan
otak tahap awal yang diakibatkan oleh benturan mekanik pada kepala, derajat
kerusakan tergantung pada kuat dan arah benturan, kondisi kepala yang bergerak atau
diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala. Proses primer menyebabkan fraktur
tengkorak, perdarahan intrakranial, robekan regangan serabut saraf dan kematian
langsung pada daerah yang terkena.
b. Proses Sekunder
Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul kerusakan
primer. Dapat dibagi menjadi penyebab sistemik dari intrakranial. Dari berbagai
gangguan sistemik, hipoksia (kekurangan O2 dalam jaringan) dan hipotensi
merupakan gangguan yang paling berarti. Hipotensi merupakan menurunnya tekanan
perfusi otak sehingga mengakibatkan terjadinya iskemi (defisiensi darah pada suatu
bagian) dan infark otak. Perluasan kerusakan jaringan otak sekunder disebabkan
berbagai faktor seperti kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak,
metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan neurotrasmiter dan
radikal bebas. Trauma saraf proses primer atau sekunder akan menimbulkan gejala-
gejala neurologis yang tergantung pada lokasi kerusakan.
Cedera otak sekunder mencakup semua kejadian yang menyebabkan kerusakan
otak lebih lanjut setelah trauma. Oleh karenanya pencegahan cedera sekunder sangat
penting dalam memelihara fungsi otak dan mengoptimalkan hasil akhir fungsional.
Mekanisme yang membahayakan neuron yang berfungsi meliputi inflamasi, iskemia,
dan gangguan aliran darah serebral. Proses sekunder ini dapat mengakibatkan infark
serebral, koma dan herniasi. Selain itu, pencegahan terhadap hipoksemia, hipotensi,
hipokarbia dan kejang sangat penting untuk mencegah cedera lebih lanjut.
Edema serebral umumnya dialami pasien dengan cedera kepala saat 24 sampai
48 jam setelah gangguan primer dan terutama memuncak pada 72 jam. Edema serebral
dapat memperburuk kondisi pasien sebelumkondisinya membaik. Apabila edema
serebral tidak ditangani secara progresif, kondisi tersebut dapat menyebabkan sindrom
herniasi.
Sindrom herniasi menggambarkan kondisi dengan struktur serebral bergeser
didalam kranium karena tekanan yang tinggi. Trias cushing menggambarkan 3 tanda
akhir herniasi: 1) peningkatan tekanan darah sistolik, 2) penurunan frekuensi jantung
dan 3) pola nafas tidak teratur. Tekanan nadi yang melebar juga berhubungan dengan
herniasi.
Koma adalah perubahan kesadaran yang disebabkan oleh kerusakan hemisfer
otak. Koma terjadi akibat gangguan sistem yang mengaktivasi retikular (reticular
activating system, RAS). Koma dapat disebabkan oleh banyak hal dan harus
dipertimbangkan dalam pengobatan pasien cedera kepala untuk memberikan
kesempatan optimal kepada pasien untuk mendapatkan kesadarannya kembali.
2.1.6 Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala cidera kepala dapat dikelompokkan dalam 3 kategori utama:
Tanda dan gejala fisik
Nyeri kepala, dizziness, nausea, vomitus.
Tanda dan gejala kognitif
Gangguan memori, gangguan perhatian dan berpikir kompleks.
Tanda dan gejala emosional/kepribadian
Kecemasan, iritabilitas (Hoffman dkk, 1996).
Manifestasi lain yang mungkin pada pasien trauma kepala menurut Cholik dan Saiful, 2007 :
a. jika klien sadar akan mengeluh sakit kepala berat
b. muntah projektil
c. papil edema
d. kesadaran makin menurun
e. perubahan tipe pernapasan
f. anisokor
g. tekanan darah turun, bradikardia
h. suhu tubuh yang sulit dikendalikan
2.1.7 Pemeriksaan Penunjang
Penderita trauma/multi trauma memerlukan penilaian dan pengelolaan yang cepat dan
tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita. Waktu berperan sangat penting, oleh karena
itu diperlukan cara yang mudah, cepat dan tepat. Penilaian awal (initial assessment) yang
terpenting
1) Primary Survey
Merupakan deteksi cepat dan koreksi segera terhadap kondisi mengancam dan kemudian
dilakukan tindakan live saving
- Airway, dengan Kontrol Servikal (Cervical Spine Control)
Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas ( airway). Jika
penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan
adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang
dapat disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat
fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi
vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi,
fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Kemungkinan adanya cedera leher
ditandai dengan jejas atau tanda trauma didaerah atas os klavikula termasuk di kepala
harus diwaspadai. Pada korban trauma yang tidak sadar dan atau tidak diketahui
mekanisme terjadinya trauma dengan pasti, meskipun tidak ditemukan tanda-tanda
cedera leher, patut dicurigai adanya cedera leher. Tindakan yang menyebabkan
bergeraknya servikal pada cedera leher dapat menyebabkan henti napas dan henti
jantung seketika. Dalam hal ini, kita dapat melakukan chin lift atau jaw thrust sambil
merasakan hembusan napas yang keluar melalui hidung. Bila ada sumbatan maka
dapat dihilangkan dengan cara membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia.
Langkah-langkah :
a. Buka jalan nafas, yakinkan adekuat
b. Bebaskan jalan nafas dengan proteksi tulang cervikal
c. Cross finger untuk mendeteksi sumbatan
d. Finger swab untuk membersihkan sumbatan
e. Suctioning bila perlu
- Breathing
Setelah airway dipastikan baik, perlu dipastikan pula apakah pasien bernafas
dengan baik. Bila pernapasan tidak adekuat, langkah-langkah yang perlu dilakukan
adalah :
a. Look, listen and feel
b. Kaji frekuensi nafas
c. Kualitas nafas, dan
d. Keteraturan nafas
- Circulation dengan Kontrol Perdarahan
Pastikan sirkulasi darah penderita dengan melihat kesadaran, warna kulit dan nadi.
a. Lihat adanya perdarahan eksterna/interna
b. Hentikan perdarahan eksterna dengan rest, ice, kompres, elevation
c. Perhatikan tanda-tanda syok/gangguan sirkulasi : capilary refill time, nadi,
sianosis, pulsus arteri distal.
- Disability (Neurologic Evaluation)
a. Cek kesadaran (AVPU)
A : alert/awake (sadar penuh, respons bagus)
V : verbal (kesadaran menurun, berespon terhadap suara)
P : pain (kesadaran menurun, tidak berespon terhadap suara, berespon terhadap
ransangan nyeri)
U : unresponsif (kesadaran menurun, tidak berespon terhadap suara, tidak
berespon terhadap nyeri)
b. Periksa cedera kepala
c. Periksa adanya cedera leher
d. Perhatikan adanya cedera pada tulang belakang
- Exposure
Buka baju penderita, lihat adanya kemungkinan cedera yang timbul tetapi cegah
hipotermi.
2) Secondary Survey
Mengidentifikasi perubahan-perubahan yang dapat berkembang menjadi lebih gawat dan
mengancam jiwa apabila tidak segera di atasi dengan pemeriksaan dari kepala sampai kaki.
- Anamnesis : pemeriksaan Riwayat "AMPLE"
A alergi
M medikasi yaitu terkait obat yang diminum sebelumnya
P penyakit sebelumnya
L last meal yaitu makanan terakhir yang dimakan klien
E even/environment ialah lingkungan yang berhubungan dengan kegawatan
- Head to toe examination
- Pada kasus trauma, selalu diperlukan pemeriksaan adanya DECAPBLS
Deformitas, Ekskoriasi, Contusio, Abrasi, Penetrasi, Bullae/Burn, Laserasi,
Swelling/Sembab.
2.1.8 Penatalaksanaan
Pasien dengan trauma kepala berat sering mengalami gangguan pernapasan, syock
hipovolemik, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, tekanan intrakranial yang tinggi,
kejang-kejang, gangguan kardiovaskuler sehingga perlu mendapat penanganan yang tepat.
(1) Penatalaksanaan Medik
Cairan Intravena
Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar tetap
normovolemik. Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih.
Penggunaan cairan yang mengandung glucosa dapat menyebabkan hyperglikemia
yang berakibat buruk pada otak yang cedera. Cairan yang dianjurkan untuk
resusitasi adalah NaCl o,9 % atau Rl. Kadar Natrium harus dipertahankan dalam
batas normal, keadaan hyponatremia menimbulkan odema otak dan harus dicegah dan
diobati secara agresig
Hyperventilasi
Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, HV dapat menurunkan
PCo2 sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak. HV yang lama
dan cepat menyebabkan iskemia otak karena perfusi otak menurun PCo2 < 25mmHg,
HV harus dicegah. Pertahankan level PCo2 pada 25 30 mmHg bila TIK tinggi.
Manitol
Dosis 1 gram/kg BB bolus IV. Indikasi penderita koma yang semula reaksi cahaya
pupilnya normal, kemudian terjadi dilatasi pupil dengan atau tanpa hemiparesis.
Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada penderita hypotensi karena akan memperberat
hypovolemia
Furosemid
Diberikan bersamaan dengan manitol untuk menurunkan TIK dan akan meningkatkan
diuresis. Dosis 0,3 0,5 mg/kg BB IV
Steroid
Steroid tidak bermanfaat. Pada pasien cedera kepala tidak dianjurkan
Barbiturat
Bermanfaat untuk menurunkan TIK. Tidak boleh diberikan bila terdapat hypotensi
dan fase akut resusitasi, karena barbiturat dapat menurunkan tekanan darah
Anticonvulasan
Penggunaan anticonvulsan profilaksisi tidak bermanfaat untuk mencegaah terjadinya
epilepsi pasca trauma. Phenobarbital & Phenytoin sering dipakai dalam fase akut
hingga minggu ke I. Obat lain diazepam dan lorazepam.
Pembedahan.
(2) Non-Medik
a) Pengelolaan Pernapasan:
pasien ditempatkan dalam posisi miring atau seperti posisi koma.
periksa mulut, keluarkan gigi palsu bila ada.
jika banyak ludah atau lendir atau sisa muntahan lakukan penghisapan.
hindari flexi leher yang berlebihan karena bisa menyebabkan terganggunya jalan
napas/peningkatan TIK.
trakeostomi dilakukan bila lesi di daerah mulut atau faring parah.
Perawat mengkaji frekuensi dan upaya pernapasan pasien, warna kulit, bunyi
pernapasan dan ekspansi dada.
berikan penenang diazepam.
posisi pasien selalu diubah setiap 3 jam dan lakukan fisioterapi dada 2x/sehari.
b) Gangguan Mobilitas Fisik
posisikan tubuh pasien dengan posisi opistotonus; perawatan harus dilakukan
dengan tujuan untuk menghentikan pola refleksif dan penurunan tonus otot
abnormal.
perawat menghindarkan terjadinya kontraktur dengan melakukan ROM pasif
dengan merenggangkan otot dan mempertahankan mobilitas fisik.
c) Kerusakan Kulit
menghilangkan penekanan dan lakukan intervensi mobilitas.
d) Masalah Hidrasi
pada cidera kepala terjadi kontriksi arteri-arteri renalis sehingga pembentukan
urine berkurang dan garam ditahan didalam tubuh akibat peningkatan tonus
ortosimpatik.
e) Nutrisi pada Trauma otak berat
memerlukan jumlah kalori 2 kali lipat dengan meningkatnya aktivitas system
saraf ortosimpatik yang tampak pada hipertensi dan takikardi.
kegelisahan dan tonus otot yang meningkat menambah kebutuhan kalori.
bila kebutuhan kalori tidak terpenuhi maka jaringan tubuh dan lemak akan diurai,
penyembuhan luka akan lebih lama, timbul dekubitus, daya tahan menurun
(Cholik dan Saiful, 2007).
Selain penatalaksanaan medis dan non medis, seseorang yang dengan cedera
kepala memerlukan pemantauan terhadap peningkatan TIK. Pada saat otak yang
rusak membengkak atau terjadi penumpukan darah yang cepat, terjadi peningkatan
TIK yang merupakan kedaruratan sejati dan membutuhkan penanganan segera.
Ketika tekanan meninggi, substansi otak ditekan. Efek sekunder yang disebabkan
gangguan sirkulasi dan edema yang dapat menyebabkan kematian.
Pada saat TIK meningkat pada titik dimana kemampuan otak untuk
menyesuaikan diri telah sampai pada batasnya, fungsi saraf yang terganggu
dimanifestasikan dengan perubahan tingkat kesadaran dan respirasi serta respon
vasomotor abnormal. Tanda paling dini dari peningkatan TIK adalah letargi.
Lambatnya bicara dan lambatnya respon verbal yang merupakan indikator awal.
2.1.9 Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul pada pasien yang mengalami trauma kapitis yaitu:
1. Shock disebabkan karena banyaknya darah yang hilang atau rasa sakit hebat. Bila
kehilangan lebih dari 50% darah dapat mengakibatkan kematian.
2. Peningkatan tekanan intrakranial, terjadi pada edema cerebri dan hematoma dalam
tulang tengkorak.
3. Meningitis, terjadi bila ada luka di daerah otak yang ada hubungannya dengan luar.
4. Infeksi/kejang, terjadi bila disertai luka pada anggota badan atau adanya luka pada
fraktur tulang tengkorak. Kejang pasca trauma dapat terjadi secara (dalam 24 jam
pertama) dini (minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu).
5. Edema pulmonal akibat dari cedera pada otak yang menyebabkan adanya peningkatan
tekanan darah sistemik sebagai respon dari sistem saraf simpatis pada peningkatan
TIK. Peningkatan vasokontriksi tubuh ini menyebabkan lebih banyak darah dialirkan
ke paru-paru. Perubahan permeabilitas pembuluh darah paru berperan dalam proses
memungkinkan cairan berpindah ke dalam alveolus.
6. Diabetes Insipidus
Disebabkan oleh kerusakan traumatik pada rangkai hipofisis menyebabkan
penghentian sekresi hormon antideuretik (Hudak & Gallo, 1996).
2.2 Monitoring ICP
2.2.1 Definisi
Tekanan intrakranial (TIK) di definisikan sebagai tekanan dalam kubah kranial
yang berhubungan dengan tekanan atmosfer (Morton, 2012).
Pemantauan TIK digunakan untuk mencegah terjadinya fase kompensasi ke fase
dekompensasi. Secara obyektif, pemantauan TIK adalah untuk mengikuti kecenderungan
TIK tersebut, karena nilai tekanan menentukan tindakan yang perlu dilakukan agar
terhindar dari cedera otak selanjutnya, dimana dapat bersifat ireversibel dan letal. Dengan
pemantauan TIK juga kita dapat mengetahui nilai CPP, yang sangat penting, dimana
menunjukkan tercapai atau tidaknya perfusi otak begitu juga dengan oksigenasi otak
(Smeltzer, 2002).
2.2.2 Etiologi
Klinis yang paling umum di mana peningkatan TIK ditemui dan dipantau adalah
pada cedera kepala, dimana beberapa mekanisme menyebabkan perubahan volume
intrakranial. Hematoma traumatik dapat terkumpul dalam intraserebral, ruang
subarakhnoid, ruang subdural, atau ekstradural, menciptakan tekanan gradien dalam
tengkorak dan mengakibatkan pergeseran otak. Edema serebral baik sitotoksik (karena
kegagalan pompa membran sel) atau vasogenik (karena cedera pembuluh darah)
menambah volume ekstra dalam bentuk air. Perubahan CBV menyebabkan gangguan
autoregulasi aliran darah otak (Cerebral Blood Flow/CBF) dan metabolisme yang dapat
menyebabkan kongesti vaskular (hiperemi), namun meningkatnya CBV menambah
peningkatan TIK setelah cedera kepala pada orang dewasa tampaknya kecil, bila
dibandingkan dengan edema (McQuillan, 2009).
2.2.3 Patofisiologi
Jika massa intrakranial membesar, kompensasi awal adalah pemindahan cairan
serebrospinal ke kanal spinal. Kemampuan otak beradaptasi terhadap meningkatnya
tekanan tanpa peningkatan TIK dinamakan compliance. Perpindahan cairan serebrospinal
keluar dari kranial adalah mekanisme kompensasi pertama dan utama, tapi lengkung
kranial dapat mengakomodasi peningkatan volume intrakranial hanya pada satu titik.
Ketika compliance otak berlebihan, TIK meningkat, timbul gejala klinis, dan usaha
kompensasi lain untuk mengurangi tekananpun dimulai (Black&Hawks, 2005).
Kompensasi kedua adalah menurunkan volume darah dalam otak. Ketika volume
darah diturunkan sampai 40% jaringan otak menjadi asidosis. Ketika 60% darah otak
hilang, gambaran EEG mulai berubah. Kompensasi ini mengubah metabolisme otak, sering
mengarah pada hipoksia jaringan otak dan iskemia (Black&Hawks, 2005).
Kompensasi tahap akhir dan paling berbahaya adalah pemindahan jaringan otak
melintasi tentorium dibawah falx serebri, atau melalui foramen magnum ke dalam kanal
spinal. Proses ini dinamakan herniasi dan sering menimbulkan kematian dari kompresi
batang otak. Otak disokong dalam berbagai kompartemen intrakranial. Kompartemen
supratentorial berisi semua jaringan otak mulai dari atas otak tengah ke bawah. Bagian ini
terbagi dua, kiri dan kanan yang dipisahkan oleh falx serebri. Supratentorial dan
infratentorial (berisi batang otak dan serebellum) oleh tentorium serebri. Otak dapat
bergerak dalam semua kompartemen itu. Tekanan yang meningkat pada satu kompartemen
akan mempengaruhi area sekeliling yang tekanannya lebih rendah (Black&Hawks, 2005).
2.2.4 Manifestasi klinis
Gejala yang umum dijumpai pada peningkatan TIK :
1) Sakit kepala merupakan gejala umum pada peningkatan TIK. Sakit kepala terjadi
karena traksi atau distorsi arteri dan vena dan duramater akan memberikan gejala yang
berat pada pagi hari dan diperberat oleh aktivitas, batuk, mengangkat, bersin.
2) Muntah proyektil dapat menyertai gejala pada peningkatan TIK.
3) Edema papil disebabkan transmisi tekanan melalui selubung nervus optikus yang
berhubungan dengan rongga subarakhnoid di otak. Hal ini merupakan indikator klinis
yang baik untuk hipertensi intrakranial
4) Defisit neurologis seperti didapatkan gejala perubahan tingkat kesadaran; gelisah,
iritabilitas, letargi; dan penurunan fungsi motorik
5) Bila peningkatan TIK berlanjut dan progresif berhubungan dengan penggeseran jaringan
otak maka akan terjadi sindroma herniasi dan tanda-tanda umum Cushings triad
(hipertensi, bradikardi, respirasi ireguler) muncul. Pola nafas akan dapat membantu
melokalisasi level cedera (Morton, 2012).
2.2.5 Indikasi
Pedoman BTF (Brain Trauma Foundation) 2007 merekomendasi bahwa TIK harus
dipantau pada semua cedera kepala berat (Glasgow Coma Scale/GCS 3-8 setelah resusitasi)
dan hasil CT scan kepala abnormal (menunjukkan hematoma, kontusio, pembengkakan,
herniasi, dan/atau penekanan sisterna basalis), TIK juga sebaiknya dipantau pada pasien
cedera kepala berat dengan CT scan kepala normal jika diikuti dua atau lebih kriteria antara
lain usia>40 tahun, sikap motorik (posturing motor uni atau bilateral), dan tekanan darah
sistolik
2.2.6 Kontraindikasi
Tidak ada kontrindikasi absolut untuk memantau TIK, hanya ada beberapa kontraindikasi
relatif (Stillwell, 2011) yaitu :
a. Koagulopati dapat meningkatkan risiko perdarahan pada pemasangan pemantauan TIK.
Bila memungkinkan pemantauan TIK ditunda sampai International Normalized Ratio
(INR), Prothrombin Time (PT) dan Partial Thromboplastin Time (PTT) terkoreksi
(INR
1. Metode non invasif
Pemantauan status klinis
Beberapa kondisi klinis yang harus dinilai pada peningkatan TIK yaitu
1. Tingkat kesadaran (GCS)
2. Pemeriksaan pupil
3. Pemeriksaan motorik ocular (perhatian khusus pada nervus III dan VI)
4. Pemeriksaan motorik (perhatian khusus pada hemiparesis
5. Adanya mual atau muntah
6. Keluhan nyeri kepala
7. Vital sign saat itu
Oftalmoskopi adalah salah satu penilaian yang bermakna pada peningkatan
TIK. Papil edema ditemukan bila peningkatan TIK telah terjadi lebih dari sehari.
Tapi sebaiknya tetap dinilai pada evaluasi awal, ada atau tidak ada papil edema
dapat memberikan informasi mengenai proses perjalanan penyakit (McQuillan,
2009).
Neuroimaging
Pada pasien yang dicurigai peningkatan TIK sebaiknya dilakukan
pemeriksaan CT scan kepala. Beberapa temuan pada neuroimaging yang dicurigai
kondisi patologis yang menyebabkan peningkatan TIK antara lain :
- Perdarahan intrakranial
- Obstruksi hidrosefalus
- Difus atau fokal edema serebral
- Midline shift
- Compression of bassal cistern
- Obliteration of the third ventrikel
Adanya lebih dari satu kelainan ini sangat mungkin suatu peningkatan TIK,
sedangkan adanya salah satu temuan diatas menunjukkan potensi peningkatan TIK.
Bila diperlukan dapat diteruskan dengan pemeriksaan MRI atau CT scan kontras
untuk menggambarkan patologi intrakranial dengan lebih baik, untuk pengambilan
keputusan awal, meskipun CT scan tanpa kontras pun seringkali cukup. Keputusan
penting yang harus dilakukan pada pasien dengan TIK meningkat adalah apakah
perangkat pemantauan TIK harus dipasang. Neuroimaging digunakan untuk
menetapkan diagnosa yang mengakibatkan TIK meningkat, serta melengkapi
informasi yang diperoleh dari anamnesa dan pemeriksaan. Pencitraan tidak dapat
menggantikan pemantauan TIK invasif. Pengulangan CT scan dapat digunakan
ketika status klinis pasien hanya membutuhkan penempatan monitor TIK dalam
waktu singkat. Dalam keadaan ini, pengulangan pencitraan setiap kali perubahan
status pasien dapat mendokumentasikan munculnya temuan baru (misalnya,
hematoma cedera kepala) yang kemudian memerlukan penempatan monitor.
Pendekatan ini dapat digunakan untuk menunda atau menghindari penempatan
monitor TIK dalam kasus di mana kebutuhan untuk itu awalnya kurang jelas
(Morton, 2012).
Neurosonology
TCD telah terbukti merupakan alat klinis noninvasif yang berguna untuk
penilaian aliran darah arteri basal otak. Semua cabang utama arteri intrakranial
biasanya dapat diinsonasi baik arteri kranial anterior, media dan posterior melalui
tulang temporal (kecuali pada 10% pasien, dimana insonasi transtemporal tidak
memungkinkan), arteri oftalmika dan carotid siphon melalui orbita, dan arteri
vertebral dan arteri basilar melalui foramen magnum. TCD mengukur kecepatan
aliran darah, dalam sentimeter per detik, yang biasanya berkisar 40-70. Variabel
pemantauan esensial kedua berasal dari rekaman gelombang yang menggunakan
indikator pulsatility index (PI), rasio perbedaan antara kecepatan aliran sistolik dan
diastolik dibagi rata-rata kecepatan aliran, biasanya kurang lebih sama dengan 1.
Penggunaan klinis yang paling umum dari TCD adalah pemantauan untuk
vasospasme, terutama setelah SAH. Penyempitan lumen arteri, peningkatan aliran
sistolik dan penurunan diastolik (aliran sistolik 120 sangat sugestif dan 200
konfirmasi dari penurunan diameter lumen), mengakibatkan peningkatan PI (nilai di
atas 3:1 sangat sugestif terjadi penyempitan lumen). Penilaian TCD serial dapat
mendeteksi perubahan progresif dalam kecepatan aliran dan PI akibat vasospasme
pada SAH. Penyempitan lumen dapat diproduksi oleh penyempitan arteri intrinsik
sendiri seperti dalam autoregulasi dan vasospasme yang benar, atau dengan
hiperplasia intimal seperti dalam "vasospasme" pada SAH. Vasospasme juga bisa
terjadi karena kompresi ekstrinsik dari arteri terutama peningkatan difus TIK
mengakibatkan penekanan yang menyebabkan penyempitan arteri basal. Seluruh
peningkatan dalam kecepatan aliran dan PI dapat menunjukkan kompresi ekstrinsik
difus arteri karena TIK meningkat. Sayangnya, TCD kurang sensitif dan spesifik
untuk memberikan alternatif pemantauan TIK noninvasif. TCD tidak dapat
menggantikan pemantauan TIK langsung. Para dokter yang menggunakan TCD
untuk monitor pasien SAH harus selalu ingat bahwa perubahan penyempitan lumen
yang difus mungkin menunjukkan peningkatan TIK. Beberapa upaya telah
dilakukan memanfaatkan TCD untuk menilai hilangnya autoregulasi dan menilai
adanya MAP kritis yang membahayakan CPP.
2. Metode invasif
Metode ini dapat dilakukan di beberapa lokasi anatomi yang berbeda yaitu :
a) Subarachnoid screw
Subarachnoid screw dihubungkan ke tranducer eksternal melalui tabung. Alat ini
ditempatkan ke dalam tengkorak berbatasan dengan dura. Ini adalah sekrup
berongga yang memungkinkan CSF untuk mengisi baut, memungkinkan tekanan
untuk menjadi sama. Keuntungan metode ini adalah infeksi dan risiko perdarahan
rendah. Aspek negatif termasuk kemungkinan kesalahan permantauan TIK, salah
penempatan sekrup, dan oklusi oleh debris.
b) Kateter subdural / epidural
Kateter subdural / epidural adalah metode lain untuk memantau TIK. Metode ini
kurang invasif tetapi juga kurang akurat. Hal ini tidak dapat digunakan untuk
mengalirkan CSF, namun kateter memiliki risiko yang lebih rendah dari infeksi atau
perdarahan.
c) Intraparenkimal (microtransducer sensor)
Pemantauaan TIK intraparenkimal menggunakan microtransducer yang diletakkan
di parenkim otak melalui lubang kecil dan baut tengkorak yang memungkinkan
pemantauan TIK simultan, mikrodialisis serebral dan oksigenasi jaringan otak.
Posisi pilihan perangkat tersebut adalah pada subtansia alba regio frontal
nondominan pada cedera otak difus, atau parenkim perikontusional pada cedera
otak fokal. Probe tekanan intraparenkimal ditempatkan pada hemisfer kontralateral
dari hematoma intraserebral. Perangkat yang berbeda juga tersedia, termasuk
fiberoptic dan teknologi pneumatik. Monitor TIK pneumatic Spiegelberg juga
memungkinkan kalibrasi in vivo dan pemantauan intrakranial. Monitor TIK
Neurovent-P adalah kateter serbaguna yang menggabungkan TIK, oksigenasi
jaringan otak dan pemantauan temperatur otak. Nilai TIK harus diinterpretasikan
dengan hati-hati dan berhubungan dengan penilaian klinis dan radiologis pasien.
Ketika ada perbedaan yang signifikan antara nilai pemantauan dan gejala klinis,
penggantian atau penempatan kembali probe harus dipertimbangkan.
d) Kateter intraventrikuler/Ventriculostomy Tehnik intraventrikular merupakan gold
standard pemantauan TIK, yaitu kateter diinsersikan ke dalam ventrikel lateral
biasanya melalui burr hole kecil di frontal kanan. Tehnik ini juga dapat digunakan
untuk mengalirkan LCS dan memberikan obat intratekal seperti pemberian
antibiotika pada kasus ventrikulitis yang kemungkinan disebabkan oleh
pemasangan kateter itu sendiri.
Sistem tranduser kateter ventrikular eksternal tradisional hanya memungkinkan
pemantauan TIK intermiten bila saluran ventrikel ditutup. Kateter ventrikel tersedia
secara komersial memiliki transduser tekanan dalam lumennya, sistem ini
memungkinkan pemantauan TIK dan drainase LCS simultan. Beberapa komplikasi
bisa terjadi akibat pemasangan kateter ventrikel antara lain kebocoran LCS,
masuknya udara ke ruang subarachnoid dan ventrikel, drainase LCS yang
berlebihan dapat menyebabkan kolaps ventrikel dan herniasi, atau terapi tidak
sesuai berkaitan dengan pembacaan TIK dengan gelombang kecil, kegagalan
elektromekanikal, dan kesalahan operator. Lubang-lubang kecil di ujung kateter
dapat tersumbat oleh gumpalan darah atau deposit fibrin, dan kateter dapat
berpindah sehingga sebagian atau seluruh ujung kateter terletak dalam parenkim
otak bukan dalam ventrikel. Dalam kasus tersebut, drainase LCS akan
menghasilkan gradien tekanan signifikan antara lumen kateter ventrikel dan
ventrikel. Jika diduga ada obstruksi kateter, irigasi dengan NaCl 0,9% 2 ml dapat
mengembalikan patensi kateter. Prosedur ini harus dilakukan dengan
memperhatikan asepsis, dimana manipulasi berulang berhubungan dengan
tingginya insiden infeksi sistem saraf pusat. Jadi irigasi rutin tidak dianjurkan.
Ventrikulitis dan meningitis adalah komplikasi yang berpotensi mengancam nyawa,
yang disebabkan oleh kontaminasi langsung kateter selama pemasangan atau secara
retrograde oleh kolonisasi bakteri pada kateter. Kejadian infeksi dilaporkan sekitar
5-20%. Penggunaan sistem drainase tertutup dan sampling LCS aseptik dan
pembilasan kateter dan pengangkatan yang benar kateter yang tidak dibutuhkan
dapat meminimalkan risiko infeksi terkait kateter. LCS dapat mencetuskan infeksi
karena pengulangan akses ke sistem drainase. Sampling LCS lebih diindikasikan
karena kriteria klinis khusus daripada menjadi sampling rutin.8 Posisi pasien saat
pengukuran ditinggikan 30-45 derajat. Tranduser harus sama tinggi dengan titik
referensi. Titik referensi yang paling umum adalah foramen Monro. Titik referensi
0 adalah garis imajiner anatara puncak telinga dan kantus bagian luar mata.
Lamanya waktu pemakaian kateter ventrikuler bervariasi. Secara umum lama waktu
pemakaian adalah dua minggu atau tergantung kondisi pasien. Risiko infeksi
meningkat pada pemakaian yang lebih lama. Pemberian antibiotik profilaksis
dikaitkan dengan tingginya insiden infeksi LCS yang resisten antibiotika.
Sebaliknya, penggunaan antibiotik dapat menurunkan kejadian infeksi berhubungan
dengan kateter. Setelah dicabut, ujung kateter harus dikirim untuk kultur, dimana
pertumbuhan bakteri berkaitan dengan risiko tinggi terjadi meningitis, dan tes
sensitivitas antibiotika berdasarkan atas analisis mikrobiologi dapat menjadi
pedoman terapi
2.2.8 Komplikasi
Komplikasi yang paling umum terjadi berhubungan dengan pemasangan monitor
TIK antara lain perdarahan, infeksi, dan kerusakan peralatan monitor.
Infeksi intrakranial
Perdarahan intraserebral
Kebocoran udara masuk ke ventrikel atau ruang subarakhnoid
Kebocoran cairan serebrospinal
Overdrainage CSF menyebabkan ventrikel kolaps dan herniasi
Hilang pemantauan atau kemampuan drainase karena oklusi kateter dengan jaringan
otak atau darah
Terapi yang tidak tepat karena kesalahan dalam pembacaan TIK disebabkan bentuk
gelombang yang kecil, kegagalan elektromekanis, atau kesalahan operator.
Insiden komplikasi ini bervariasi, tergantung pada perangkat yang digunakan,
durasi pemantauan, dan teknik pemasangan, tetapi secara umum, risiko tetap rendah,
kurang dari 1% dari pasien mengalami klinis perdarahan yang signifikan dan 0,3-1,8%
mengalami infeksi. Tingkat infeksi dan risiko perdarahan lebih tinggi dengan pemasangan
kateter ventrikel dibandingkan dengan intraparenkimal, namun masih cukup rendah
(McQuillan, 2009).
2.2.9 Perawatan
Pemantauan TIK dapat menentukan tindakan yang perlu dilakukan agar terhindar
dari cedera otak selanjutnya, dimana dapat bersifat irreversibel dan letal. Dengan
pemantauan TIK juga kita dapat mengetahui nilai CPP, yang sangat penting, dimana
menunjukkan tercapai atau tidaknya perfusi otak begitu juga dengan oksigenasi otak.
Sebagian kerusakan otak terjadi akibat impak trauma, namun kerusakan sekunder
bisa beberapa jam hingga beberapa hari kemudian. Kematian dan kesakitan dapat dikurangi
dengan pengelolaan intensif seperti intubasi, transportasi, resusitasi, CT dan evakuasi lesi
massa intrakranial segera, serta perawatan ICU. TIK (ICP) normal adalah 0-10 mm Hg (0-
136 mm air). Umumnya diatas 20 mm Hg dianggap batas untuk memulai tindakan. Namun
tekanan perfusi serebral (CPP) lebih penting dari TIK (CPP=MAP-ICP). Monitoring TIK
adalah untuk mengawasi perfusi otak. Pada pasien hipotensif, peninggian TIK ringan saja
dapat berbahaya.
Hal pertama yang harus dilakukan adalah pengaturan posisi. Kepala ditinggikan 15-
300
kecuali ada kontraindikasi oleh fraktur anggota badan atau gagal hepatorenal. Dalam
satu pengamatan terhadap pasien koma hepatikum derajat 4, peninggian kepala kurang dari
200
berkaitan dengan peningkatan TIK, sementara peninggian kepala di atas 200
berkaitan
dengan peningkatan TIK dan penurunan TPS. Deserebrasi dan dekortikasi postur tubuh
dapat meningkatkan TIK.
Fleksi lutut merupakan kontraindikasi. Berdasarkan penelitian bahwa pasien yang
beresiko terhadap peningkatan TIK patologis tidak boleh dibaringkan dalam posisisi fleksi
leher atau kepala berputar ke salah satu sisi tubuh. Posisi ini membatasi aliran darah vena
dari kepala ke sistem jugularis interna dan fleksus vena vertebra, meningkatkan isi
intrakranial total. Rotasi kepala ke kanan menyebabkan peningkatan TIK paling besar.
Penatalaksanaan segera untuk mengurangi peningkatan TIK didasarkan pada
penurunan ukuran otak dengan cara mengurangi edema serebral, mengurangi volume
cairan serebrospinal (CSS), atau mengurangi volume darah sambil mempertahankan perfusi
serebral. Tujuan ini diselesaikan dengan pemberian diuretic osmotic dan kortikostreroid,
membatasi cairan, pengeluaran CSS, hiperventilasi dari pasien, mengontrol demam dan
menurunkan kebutuhan metabolisme
1) Menurunkan edema serebral : Diuretik osmotic (manitol, gliserol) dapat diberikan
untuk mengeluarkan cairan otak dan mengurangi edema serebral. Tindakan ini bekerja
dengan menarik air melewati membrane yang utuh, dengan demikian menurunkan
volume otakdan cairan ekstraselular. Penggunaan kateter diuretic menetap untuk
memantau urine yang keluar dan mengelola hasil dari dieresis. Bila pasien diberi
diuretic osmotic maka osmolalitas serum harus diperiksauntuk pengkajian status
dehidrasi. Kortikosteroid (seperti dexamethason) membantu menurunkan edema
disekitar tumor otak bila tumor menyebabkan peningkatan TIK.
2) Mempertahankan perfusi serebral : Darah yang dipompa jantung dipertahankan untuk
memberikan perfusi otak yang adekuat. Perbaikan darah yang dikeluarkan jantung
(curah jantung) adalah dengan menggunakan cairan agens inotropik, seperti dobutamin
hidroklorida. Tidak efektifnya curah jantung mempengaruhi tekanan perfusi serebral.
3) Menurunkan CSS dan Volume Darah : Drainase CSS sering dilakukan karena
pengeluaran CSS meskipun sedikit langsung menurunkan tekanan intracranial dan
memperbaiki tekanan perfusi serebral. Perawatan dilakukan pada saat pengeluaran
CSS, karena bila pengeluaran CSS berlebihan dapat menyebabkan kolaps ventrikel.
Hiperventilasi dengan menggunakan volume ventrilator resusitasi manual
menghasilkan alkalosis respiratori, yang mempengaruhi terjadinya vasokontriksi
serebral. Hasil kegiatan ini menurunkan volume darah serebral dan menurunkan TIK.
Namun perlu dipertimbangkan dengan mengontrol dalam jangka pendek.
4) Mengontrol demam : Kontrol suhu dilakukan dengan mencegah tingginya suhu, karena
demam meningkatkan serebral dari ukuran bentuk edema serebral. Strategi dalam
menurunkan suhu mencakup pemberian obat antibiotic dan menggunakan selimut
dingin. Suhu pasien dipantau ketat dan pasien diobservasi terhadap menggigil, yang
harus dihindari karena hal itu meningkatkan tekanan intracranial. Klorpromazin
(Thorazine) dapat digunakan untuk mengontrol menggigil.
5) Menurunkan kebutuhan metabolism: Penurunan keburuhan metabolic selular dapat juga
dilakukan melalui pemberian barbiturate dosis tinggi, bila pasien tidak responsive
terhadap pengobatan konvensional. Mekanisme menurunkan tekanan intracranial
dengan barbiturate, tanpa melindungi otak maka hasilnya pasien dalam keadaan koma
sehingga dipikirkan untuk menurunkan kebutuhan metabolic otak, dan memberikan
perlindungan. Metode penurunan metabolic selular lain dan perbaikan oksigenasi
adalah pemebrian agens paralitik farmakologik (relaksan otot seperti pankuronium
(Pavulon). Pasien yang diberi obat ini tidak dapat bergerak, yang menimbulkan
penurunan kebutuhan kadar oksigen dalam sel. Karena pasien tidak dapat berespons
atau melaporkan adanya nyeri, sedasi(obat penenang) dan analgesi dapat diberikan
sejak pemberian obat obatan yang menyebabkan paralisis dan tidak memberikan obat
obatan yang lain. Pasien yang mendapat barbiturate atau agens farmakologik yang
bersifat paralisi dirawat pada unit perawatan kritis dan mendapat pemantauan
kardiovaskuler, intubasi endotrakea, mesin ventilasi, pemantauan tekan intracranial dan
pemantauan tekanan arteri. Pasien yang mendapat barbiturate juga membutuhkan
pemantauan darah dan kadar barbiturate dalam serum.
6) Mengevaluasi Paralisis Farmakologik. Tingkat paralisis farmakologik dapat dikaji
dengan prosedur atau uji train of four. Prosedur ini menguji respon pasien terhadap
empat impuls elektrik yang digunakan pada bagian saraf ulnar. Jika reseptor dalam
sambungan neuro muscular secara total disaturasi yaitu beberapa reseptor mampu
menerima impuls pasien akan menunjukkan gerakan kedutan ibu jari tangan. Pasien
dengan ibu jari yang tidak mengalami tegangan disebut paralisis yang berlebihan dan
agens paralisis tersebut harus diturunkan kadarnya sampai pasien emempunyai
beberapa respons menegang. Selain respon kejang. Parameter penting yang harus dikaji
mencakup tekanan darah, frekeuensi pernapasan dan respon terapi. Tingkat paralisis
farmakologik diatur sesuai dengan respon kejang parameter dari pengkajian fisik
(Smeltzer, 2002).
Pengelolaan Peninggian TIK
1. Mulai terapi bila TIK mencapai 25 mmHg, atau lebih awal bila simtomatik
- Periksa jalan nafas dan posisi kepala
2. Terapi jalur pertama
- Pertinggi ventilasi
- Pengaliran CSS (melalui tekanan positif)
- Frusemida (furosemida)
- Mannitol, mulai dengan 0.5 g/kg berat badan dan
- dosis dititrasi sesuai respons TIK
- Periksa gas darah arterial, pikirkan CT ulang
3. Terapi jalur kedua
- Hiperventilasi manual
- Barbiturat, salin hipertonik, gamma hidroksibutirat (Morton, 2012).
2.11 WOC
KLL
Jatuh Dipukul
Kejatuhan benda
Kecelakaan
kerja Cidera lahir
Benda tajam,
kena peluru
Trauma tumpul Trauma tajam Trauma kepala
Cedera kulit kepala Cedera tulang tengkorak Cedera serebral
Abrasi, kontusio,
laserasi, avulsi
MK : Resiko
infeksi
Kontusio, komusio,
hematom
Jaringan sekitar tertekan
Fraktur linear, depresi
dan basis cranii
MK : Nyeri
Aliran darah otak
Gangguan auto
regulasi Robekan dan
distorsi
MK : Gangguan
perfusi jaringan
Gangguan pada cairan intra
& ekstra sel (edema
serebral)
tekanan pada ruang kranium
Hipoksia jaringan
suplai darah ke area
trauma (vasodilatasi)
kesadaran
Rusaknya jar.
kepala
As. Laktat
Metabolisme anaerob
Gangguan metabolisme
(O2 & CO2 )
Perdarahan Luka terbuka
Edema cerebral
Cedera
sekunder
Kerusakan
sel otak
Cedera primer
reflek batuk
Penumpukan sekret
MK : Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas
TIK
rangsang
simpatis
tahanan vaskuler
sistemik & TD
Edema paru MK : Perubahan
nutrisi kurang dari
kebutuhan
Tekanan sistem pembuluh
darah pulmonal
Tekanan hidrostatik Mual, muntah
sekresi asam
lambung
katekolamin
Merangsang hipotalamus
& stimulasi fagus
MK : Gangguan
keseimbangan
cairan dan
elektrolit
Dehidrasi
sekresi ADH
Hipotalamus terfiksasi
(diensefalon)
Merangsang
hipotalamus
MK : Gangguan
pertukaran gas
Gangguan difusi O2 & CO2
Disfungsi neuron motorik pada medula
spinalis
Kerusakan
saraf motorik
MK : Gangguan
mobilitas fisik
kekuatan &
tahanan otot
ekspansi paru
MK : Pola
nafas tidak
efektif
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
Kasus
An. K berjenis kelamin laki-laki usia 15 tahun datang ke IGD RSUD Sejahtera
diantar oleh penolong. 1 jam SMRS klien mengalami kecelakaan lalu lintas, klien
mengendarai motor bersama temannya dan klien tidak menggunakan helm. Tabrakan
terjadi antara motor dengan mobil dari arah yang berlawanan. Klien terjatuh ke sebelah
kanan dan kepala membentur trotoar. Saat tiba di RS klien tidak sadarkan diri dengan
perdarahan pada kepala, terdapat deformitas tangan kiri, luka lecet dibawah lutut kanan,
terdapat bula dikaki kanan. Muntah (+) 1kali darah (-). Keadaan umum klien lemah
dengan tingkat kesadaran koma, TD = 130/110 mmHg, RR = 30 x/mnt, Nadi = 110x/mnt,
suhu = 37,9 C.
3.1 Pengkajian
1) Identitas klien
Nama : An. K
Umur : 15 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jati
Pekerjaan : Pelajar
No RM : 735751
MRS : 15 April 2014 Jam 23.00
2) Keluhan utama : klien tidak sadar
3) Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
1 jam SMRS klien mengalami kecelakaan lalu lintas, klien mengendarai motor
bersama temannya dan klien tidak menggunakan helm. Tabrakan terjadi antara motor
dengan mobil dari arah yang berlawanan. Klien terjatuh ke sebelah kanan dan kepala
membentur trotoar. Setelah kecelakaan tersebut klien tidak sadar lalu dibawa oleh
penolong ke IGD RSUD Sejahtera. Saat tiba di RS klien tidak sadarkan diri dengan
perdarahan pada kepala, terdapat deformitas tangan kiri, luka lecet dibawah lutut
kanan, terdapat bula dikaki kanan. Muntah (+) 1kali darah (-).
b. Riwayat kesehatan dahulu
Keluarga klien mengungkapkan bahwa kecelakaan ini merupakan pertama kali bagi
klien. Klien tidak mempunyai riwayat penyakit hipertensi maupun DM.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Keluarga mengatakan tidak ada yang mengalami kecelakaan seperti klien, selain itu
dalam keluarga tidak mempunyai riwayat hipertensi, DM maupun penyakit jantung
serta asma dan penyakit keturunan lainnya.
4) Pemeriksaan penunjang
a. Primary Survey
- Airway : Jalan nafas tidak bersih terdapat sekret pada hidung dan mulut, Suara
nafas stridor, Nafas cuping hidung, Pemasangan ET.
- Breathing : Pernafasan lemah, Ekspansi dada tidak maksimal, Retraksi intercosta
(+), RR : 30 x/mnt, Batuk (+), Auskultasi paru: ronchi
- Circulation : TD : 130/110 mmHg, Nadi : 110 x/menit, suhu : 37,9C, sianosis (-),
akral hangat, mukosa bibir kering.
- Disability : kesadaran : koma, GCS= E1M1V1 = 3, Pupil anisokor, udem
ekstremitas (-), kekuatan otot 1 1
1 1
- Exposure : tidak ada pakaian yang menghambat pergerakan dan pernapasan, klien
diselimuti. Adanya perdarahan pada kepala, terdapat deformitas tangan kiri, luka
lecet dibawah lutut kanan, terdapat bula dikaki kanan.
d. Secondary Survey
Anamnesis :
A : Alergi : tidak ada
M : Medikasi : tidak ada obat-obatan yang diminum saat ini
P : Past Illness : tidak ada penyakit penyerta lainnya
L : Last meal : -
E : Event/environment : klien mengalami kecelakaan pada malam hari, di jalan raya
yang cukup ramai
Pemeriksaan DECAPBLS
Deformitas, (+) pada tangan kiri
Ekskoriasi, (-)
Contusio, (-)
Abrasi, (+) dibawah lutut
Penetrasi, (-)
Bullae/Burn, (+) pada kaki kanan
Laserasi, (-)
Swelling/Sembab (-)
5) Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : lemah
Penurunan kesadaran (coma)
TTV TD = 130/110 mmHg RR = 30 x/mnt
Nadi = 110x/mnt suhu = 37,9 C
Review of system:
a. B1 ( Breathing )
RR : 30 x/mnt, ekspansi dada tidak maksimal, pernafasan cepat, terdapat pernafasan
cuping hidung, retraksi intercosta (+), batuk disertai sputum warna hijau. Taktil
fremitus simetris antara kanan dan kiri, Sonor. Pada auskultasi didapatkan bunyi
ronkhi pada kedua lobus paru.
b. B2 (Blood)
Bunyi jantung S1 dan S2 normal tanpa ada suara tambahan, tidak ada
murmur/palpitasi.
c. B3 (Brain)
Klien tidak sadar, tidak ada respon meski dicubit, tidak ada suara, respon motorik
tidak ada.
d. B4 (Bladder)
Elastisitas turgor baik, Mukosa bibir lembab, S : 37,9 C
e. B5 (Bowel)
Bentuknya simetris, Bising Usus (+) N, peristaltik (+), timpani
f. B6 (Bone)
Warna kulit sawo matang, kekuatan otot 1/1.
6) Analisa data
Data Etiologi Masalah
Ds : -
Do : terdapat sekret pada
hidung & mulut, stridor (+),
nafas cuping hidung, batuk
(+), ronchi (+), RR :
30x/mnt, klien tidak
sadarkan diri
Cedera otak
Aliran darah otak
Hipoksia jaringan
kesadaran
Reflek batuk
Penumpukan sekret
Jalan nafas tidak efektif
Bersihan jalan nafas tidak
efektif
Ds : -
Do : klien mengalami
penurunan kesadaran
(koma), respon verbal,
motorik maupun eye tidak
ada, muntah (+), BP :
130/110 mmHg, P : 110
x/mnt, T : 37,9 C
Cedera serebral
Gangguan autoregulasi
tekanan ruang kranium
Aliran darah otak
Gangguan perfusi
Gangguan perfusi jaringan
serebral
Ds :