Top Banner

of 58

Askep Trakap & Icp

Oct 17, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN TRAUMA KEPALA DI IGD DAN ICP

    MONITORING

    OLEH:

    KELOMPOK 3

    DEWI AGUSTINA 131311123014

    TIA KUMALA DEWI 131311123015

    ANIS CANDRA 131311123016

    RINA WAHYUNINGSIH 131311123017

    WILDA KHARISMA 131311123019

    STEFANI ANGEL K 131311123020

    YOSINA MARTA 131311123021

    MUBAROKAH ISNAENI 131311123059

    PROGRAM STUDI NERS

    FAKULTAS KEPERAWATAN UNAIR

    SURABAYA

    2014

  • KATA PENGANTAR

    Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan

    hidayahnya yang telah diberikan sehingga dapat menyelesaikan makalah Keperawatan Kritis

    tentang Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Trauma Kepala dan Monitoring ICP .

    Makalah ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak yang telah

    memberikan dukungan, bimbingan serta arahan baik secara moral maupun materil. Untuk itu

    kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya di sampaikan kepada :

    1. Ibu Erna Dwi Wahyuni,S.kep,Ns.,M.Kep selaku fasilitator mata ajar Keperawatan Kritis.

    2. Teman-teman satu kelompok 3 yang bekerjasama dalam membantu menyelesaikan makalah

    ini.

    Dari pembuatan makalah ini kami menyadari masih jauh dari kesempurnaan, sehubungan

    dengan hal tersebut kami sangat mengharap kritik dan saran dari pembaca untuk penyusunan

    makalah selanjutnya yang lebih baik sehingga dapat bermanfaat untuk kita semua.

    Surabaya, April 2014

    Penyusun

  • BAB 1

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau

    tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya

    kontinuitas otak (Muttaqin, 2008).

    Cedera kepala meliputi trauma kepala, tengkorak, dan otak. Secara anatomis otak

    dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit kepala, serta tulang dan tentorium atau helem yang

    membungkusnya. Tanpa perlindungan ini otak akan mudah sekali terkena cedera dan

    mengalami kerusakan. Selain itu, sekali neuron rusak tidak dapat diperbaiki lagi. Cedera

    kepala dapat mengakibatkan malapetaka besar bagi seseorang.

    Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada

    kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas, selain

    penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah sakit, penilaian dan

    tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis

    selanjutnya (.

    Efek-efek ini harus dihindari dan ditemukan secepatnya oleh perawat untuk

    menghindari rangkaian kejadian yang menimbulkan gangguan mental dan fisik, bahkan

    kematian. Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologis yang paling serius diantara

    penyakit neurologis, dan merupakan proporsi epidemic sebagai hasil kecelakaan jalan raya.

    Diperkirakan 2/3 korban dari kasus ini berusia dibawah 30 tahun dengan jumlah laki-laki

    lebih banyak dari wanita. Lebih dari setengah dari semua klien cedera kepala berat

    mempunyai signifikan cedera terhadap bagian tubuh lainnya. Adanya syok hipovolemik pada

    klien cedera kepala biasanya karena cedera pada bagian tubuh lainnya. Resiko utama klien

    yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan

    otak sebagai responds terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intracranial.

    50 % dari kematian karena trauma berhubungan dengan trauma kepala, dan lebih dari

    60 % kematian trauma kendaraan bermotor akibat injury pada kepala. Cedera kepala adalah

    penyebab yang paling bermakna meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Diperkirakan 1,4

    juta cedera kepala terjadi setiap tahun, dengan >1,1 juta yang datang ke Unit Gawat Darurat.

  • Angka kematian trauma kepala akibat terjatuh lebih tinggi pada laki laki dibanding

    perempuan yaitu sebanyak 26,9 per 100.000 dan 1,8 per 100.000. Bagi lansia pada usia 65

    tahun keatas, kematian akibat trauma kepala mencatat 16.000 kematian dari 1,8 juta lansia di

    Amerika yang mengalami trauma kepala akibat terjatuh.

    Indonesia sebagai negara berkembang ikut merasakan kemajuan teknologi,

    diantaranya bidang transportasi. Dengan majunya transportasi, mobilitas penduduk pun ikut

    meningkat. Namun akibat kemajuan ini, juga berdampak negatif yaitu semakin tingginya

    angka kecelakaan lalu lintas karena ketidak hati hatian dalam berkendaraan. Sehingga

    dapat mengakibatkan berbagai cedera. Salah satu cedera yang sering terjadi pada saat

    kecelakan lalu lintas adalah cedera kepala.

    Tujuan utama penanganan intensif cedera kepala adalah untuk mencegah dan

    mengobati cedera kepala sekunder seperti iskemik serebral menggunakan berbagai strategi

    neuroprotektif untuk mempertahankan perfusi serebral untuk memenuhi kebutuhan

    metabolisme otak berupa oksigen dan glukosa. Karena otak terletak di dalam tengkorak,

    peningkatan TIK akan mengganggu aliran darah ke otak dan mengakibatkan iskemik

    serebral. Peningkatan TIK adalah penyebab penting terjadinya cedera kepala sekunder,

    dimana derajat dan lamanya berkaitan dengan outcome setelah cedera kepala. Pemantauan

    TIK adalah pemantauan intrakranial yang paling banyak digunakan karena pencegahan dan

    kontrol terhadap peningkatan TIK serta mempertahankan tekanan perfusi serebral (Cerebral

    Perfusion Pressure/CPP) adalah tujuan dasar penanganan cedera kepala.

    Cedera kepala menduduki tingkat morbiditas dan mortalitas tertinggi, oleh karena itu

    diperlukan pemahaman dan pengelolaan yang lebih baik terutama tentang penanganan,

    pencegahan cedera otak sekunder dan cara merujuk penderita secepat mungkin oleh petugas

    kesehatan yang berada digaris depan. Maka dari itu pada kesempatan ini akan dibahas

    mengenai asuhan keperawatan pada klien dengan trauma kepala di unit gawat darurat yang

    terkait dengan monitoring ICP.

    1.2 Tujuan

    1.2.1 Tujuan Umum

    Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan trauma kepala di unit gawat

    darurat dan monitoring ICP.

  • 1.2.2 Tujuan Khusus

    1. Memahami dan menjelaskan Anatomi dan Fisiologi Trauma Kepala.

    2. Memahami dan menjelaskan Definisi Trauma Kepala.

    3. Memahami dan menjelaskan Etiologi Trauma Kepala.

    4. Memahami dan menjelaskan Klasifikasi Trauma Kepala.

    5. Memahami dan menjelaskan Patofisiologi Trauma Kepala.

    6. Memahami dan menjelaskan Manifestasi Klinis Trauma Kepala.

    7. Memahami dan menjelaskan Pemeriksaan Penunjang Trauma Kepala.

    8. Memahami dan menjelaskan Penatalaksaan Trauma Kepala.

    9. Memahami dan menjelaskan Komplikasi Trauma Kepala.

    10. Memahami dan menjelaskan Prognosis Trauma Kepala.

    11. Memahami dan menjelaskan WOC Trauma Kepala.

    12. Memahami dan menjelaskan Asuhan Keperawatan Trauma Kepala di UGD dan

    monitoring ICP.

    13. Memahami dan menjelaskan cara monitoring ICP.

    1.3 Manfaat

    1.3.1 Bagi mahasiswa

    Makalah ini hendaknya memberikan masukan dalam pengembangan diri untuk

    pengembangan pengetahuan mahasiswa/ mahasiswi mengenai pentingnya memahami

    askep trauma kepala dan monitoring ICP secara menyeluruh.

    1.3.2 Bagi penulis

    Dengan makalah ini, di harapkan mampu memberikan pemahaman yang lebih

    tentang askep trauma kepala dan monitoring ICP.

  • BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Trauma Kepala

    2.1.1Anatomi Fisiologi

    Otak merupakan organ tubuh yang sangat penting karena merupakan pusat dari semua

    organ tubuh. Otak terdapat dalam rongga tengkorak yang melindungi otak dari cedera dan

    terbungkus oleh kulit.

    A. Kulit

    Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau

    kulit, connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea

    aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan pericranium

    (Price, 2006).

    Kulit kepala/skin tebal dan merupakan bantalan rambut yang mengandung banyak

    kelenjar sebaseus.

    Connective tissue adalah lapisan lemak yang menghubungkan kulit aponeurosis,

    mendasari otot occipitofrontalis dan menyediakan lorong untuk saraf dan pembuluh darah.

    Pembuluh darah yang melekat pada jaringan ikat fibrosa ini. Jika pembuluh dipotong,

    lampiran ini mencegah vasospasme, yang dapat menyebabkan perdarahan hebat setelah

    cedera.

  • Aponeurosis Galea (A : fascia) lapisan ini merupakan lapisan terkuat, berupa fascia

    yang melekat pada tiga otot yaitu ke anterior m. frontalis , Ke posterior m. occipitalis, Ke

    lateral m. temporoparietalis. Loose areolar tissue (L: jaringan areolar longgar), lapisan ini

    mengandung vena emissary yang menghubungkan SCALP, vena diploica, dan sinus vena

    intracranial (mis. Sinus sagitalis superior). Jika terjadi infeksi pada lapisan ini, akan dengan

    mudah menyebar ke intracranial. Dan Perikranium (P: periosteum), merupakan periosteum

    yang melapisi tulang tengkorak, melekat erat terutama pada sutura karena melalui sutura ini

    periosteum akan langsung berhubungan dengan endostium (yang melapisi permukaan dalam

    tulang tengkorak) (Fais, 2004).

    B. Tengkorak

    Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak

    terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya

    diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii

    berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses

    akselerasi dan deselerasi (Little, 2008).

    C. Selaput meningen

    Selain dilindungi oleh tengkorak otak juga dilindungi oleh selaput yang disebut

    meningen berupa jaringan serabut penghubung yang melindungi, mendukung dan

    memelihara otak. Meningen terdiri dari 3 lapisan menurut Smeltzer, 2002 yaitu:

  • 1. Durameter

    lapisan paling luar, menutup otak dan medulla spinalis. Sifatnya yang liat, tebal, dan

    tidak elastis. Duramater melekat erat dengan permukaan dalam tengkorak oleh karena

    bila dura robek dan tidak segera diperbaiki dengan sempurna maka akan timbul berbagai

    masalah. Dura mempunyai aliran darah yang kaya. Bagian tengah dan posterior di suplay

    oleh arteri meningen yang bercabang dari arteria karotis interna dan menyuplay fasa

    arterior arteria meningen yaitu cabang dari arteria oksipitalis menyuplay darah ke fasa

    posterior.

    2. Araknoid

    Merupakan membran bagian tengah yang bersifat tipis, halus, elastis dan menyerupai

    sarang laba-laba. Membran ini berwarna putih karena tidak dialiri darah. Pada dinding

    araknoid terdapat pleksus khoroid yang bertanggung jawab memproduksi cairan

    serebrospinal (CSS). Terdapat juga membran araknoid villi yang mengabsorbsi CSS.

    Pada orang dewasa normal CSS yang diproduksi 500 ml perhari, tetapi 150 ml diabsorbsi

    oleh villi. CSS dalam darah yang masuk dalam sistem akibat trauma, pecahnya

    aneurisma, strok dan lain-lain juga diabsorpsi oleh villi. Jika villi pada araknoid

    tersumbat dapat menyebabkan hidrosefalus oleh karena peningkatan ukuran ventrikel.

    3. Piamater

    Merupakan membran yang paling dalam, berupa dinding yang tipis, transparan yang

    menutupi otak dan meluas ke setiap lapisan daerah otak dan sangat kaya dengan

    pembuluh darah.

    D. Otak

    Otak merupakan organ kompleks yang di dominasi cerebrum. Otak merupakan

    struktur kembar yaitu lateral simetris dan terdiri dari 2 bagian yang disebut hemisferium.

    Belahan kiri dari cerebrum berkaitan dengan sisi kanan tubuh dan belahan kanan cerebrum

    berkaitan dengan sisi kiri tubuh.

    Otak terbagi menjadi 3 bagian besar :

    1. Cerebrum (otak besar)

    Serebrum terdiri dari dua hemisfer dan empat lobus. Substansia grisea terdapat pada

    bagian luar dinding serebrum dan substansia alba menutupi dinding serebrum bagian

    dalam. Pada prinsipnya komposisi substansia grisea yang terbentuk dari badan-badan sel

  • saraf memenuhi kortex serebri, nukleus dan basal gangglia. Substansia alba terdiri dari

    sel-sel syaraf yang menghubungkan bagianbagian otak yang lain. Sebagian besar

    hemisfer serebri (telesefalon) berisi jaringan SSP. Area inilah yang mengontrol fungsi

    motorik tertinggi yaitu terhadap fungsi individu dan intelegensia. Keempat bagian lobus

    antara lain :

    a. Frontalis merupakan lobus terbesar, terletak pada fossa anterior sulkus frontalis.

    Lobus ini mengontrol perilaku individu, membuat keputusan, kepribadian dan

    menahan diri. Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung

    kepada ukuran dan lokasi kerusakan fisik yang terjadi.

    Kerusakan yang kecil, jika hanya mengenai satu sisi otak, biasanya tidak

    menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang menyebabkan

    kejang. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa

    menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas yang

    mengarah ke bagian depan atau samping lobus frontalis menyebabkan perhatian

    penderita mudah teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar

    dan kejam, penderita mengabaikan akibat yang terjadi akibat perilakunya.

    b. Temporalis terletak disebelah lateral, berfungsi mengintegrasikan sensasi kecap, bau

    dan pendengaran. Ingatan jang pendek sangat berhubungan dengan lobus ini.

    Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan

    akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan

    gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari dalam dan

    menghambat penderita dalam mengekspresikan bahasanya. Penderita dengan lobus

    temporalis sebelah kanan yang non-dominan, akan mengalami perubahan kepribadian

    seperti tidak suka bercanda, tingkat kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan

    kehilangan gairah seksual.

    c. Parietalis terletak disulkus sentralis, merupakan lobus sensori. Berfungsi untuk

    mengintegrasikan sensasi. Sensasi rasa yang tidak berpengaruh adalah bau. Lobus ini

    mengatur individu mampu mengetahui posisi dan letak bagian tubuhnya.

    Kerusakan kecil di bagian depan lobus parientalis menyebabkan mati rasa pada sisi

    tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya

    kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan (keadaan ini disebut apraksia)

  • dan untuk menentukan arah kiri-kanan. Kerusakan yang luas bias mempengaruhi

    kemampuan penderita dalam mengenali bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya

    atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan bentuk yang sebelumnya dikenal

    dengan baik (misalnya bentuk kubus atau jam dinding). Penderita bisa menjadi

    linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan

    sehari-hari lainnya. Kerusakan pada daerah ini dapat menyebabkan sindrom

    hemineglect.

    d. Oksipitalis terletak pada lobus posterior hemisfer serebri. Berfungsi untuk

    menginterpretasikan penglihatan (Smeltzer, 2002).

    2. Batang otak (trunkus serebri) terletak pada fossa anterior, terdiri dari :

    a) Diensefalon, bagian batang otak paling atas terdapat di antara serebelum dan

    mesensepalon. Diensepalon berfungsi untuk vasokontruktor (mengecilkan pembuluh

    darah), respiratory (membantu proses pernapasan), mengontrol kegiatan reflek dan

    membantu pekerjaan jantung.

    Istilah yang digunakan untuk menyatakan struktur-struktur disekitar vertikel dan

    membentuk inti bagian dalam serebrum. Diensefalon memproses rangsang sensorik

    dan membantu memulai atau memodifikasi reaksi tubuh terhadap rangsang-rangsang

    tersebut.

    Diensefalon dibagi menjadi 4 wilayah yaitu :

    1) Talamus

    Berada pada salah satu sisi pada sepertiga ventrikel dan aktivitas primernya

    sebagai pusat penyambung sensasi bau yang diterima. Berfungsi sebagai pusat

    sensorik primitif (dapat merasakan nyeri, tekanan, rabaan getar dan suhu yang

    ekstrim secara samar-samar). Berperan penting dalam integrasi ekspresi motorik

    oleh karena hubungan fungsinya terhadap pusat motorik utama dalam korteks

    motorik serebri, serebelum dan gangglia basalis.

    2) Hipotalamus

    Terletak pada anterior dan inferior talamus. Hipotalamus berkaitan dengan

    pengaturan rangsangan dari sistem susunan saraf otonom perifer yang menyertai

    ekspresi tingkah laku dan emosi. Berperan penting dalam pengaturan hormon

    (hormon anti diuretik dan okstoksin disintesis dalam nukleus yang terletak dalam

  • hipotalamus). Pengaturan cairan tubuh dan susunan elektrolit, suhu tubuh, fungsi

    endokrin dari tingkah laku seksual dn reproduksi normal dan ekspresi ketenangan

    atau kemarahan, lapar dan haus.

    3) Subtalamus

    Merupakan nukleus ekstrapiramidal diensefalon yang penting fungsinya belum

    dapat dimengerti sepenuhnya, tetapi lesi pada subtalamus dapat menimbulkan

    diskinesia dramatis yang disebut hemibalismus.

    4) Epitalamus

    Berupa pita sempit jaringan saraf yang membentuk atap diensefalon. Epitalamus

    berhubungan dengan sistem limbik dan agaknya berperan pada beberapa

    dorongan emosi dasar dan ingarasi informasi olfaktorius.

    b) Mesensefalon (midbrain) terletak tepat dibawah diensefalon, menghubungkan pons

    dan serebelum dengan hemisfer serebrum. Bagian ini berisi jalur sensorik dan

    motorik sebagai pusat refleks pendengaran dan penglihatan.

    c) Pons varoli terletak didepan serebelum antara otak tengah dan medula. sebagai

    penghubung antara kedua bagian serebellum dan juga medula oblongata dengan

    serebrum pusat saraf nervus trigeminus. Pons berisi jaras sensorik dan motorik.

    d) Medula oblongata meneruskan serabut-serabut motorik dari otak ke medulla spinalis

    dan serabut-serabut sensorik dari medula spinalis ke otak. Medulla oblongata

    merupakan bagian batang otak yang paling bawah yang berfungsi untuk mengontrol

    pekerjaan jantung, mengecilkan pembuluh darah, pusat pernapasan dan mengontrol

    kegiatan refleks (McQuillan, 2009).

    3. Serebelum

    Terletak dalam fosa posterior dan ditutupi oleh duramater yang menyerupai atap tenda

    yaitu tentoreum yang memisahkan dari bagian posterior serebrum.

    Semua aktivitas serebrum berada dibawah kesadaran fungsi utamanya adalah sebagai

    pusat refleks yang mengkoordinasi dan memperhalus gerakan otot, serta mengubah

    tonus-tonus kekuatan kontraksi untuk mempertahankan keseimbangan dan sikap tubuh

    (Smeltzer, 2002).

  • E. Cairan serebrospinal

    Normal produksi cairan serebrospinal adalah 0,2-0,35 mL per menit atau sekitar

    500 mL per 24 jam . Sebagian besar diproduksi oleh oleh pleksus koroideus yang

    terdapat pada ventrikel lateralis dan ventrikel IV. Kapasitas dari ventrikel lateralis dan

    ventrikel III pada orang sehat sekitar 20 mL dan total volume cairan serebrospinal pada

    orang dewasa sekitar 120 mL Cairan serebrospinal setelah diproduksi oleh pleksus

    koroideus akan mengalir ke ventrikel lateralis, kemudian melalui foramen

    interventrikuler Monro masuk ke ventrikel III , kemudian masuk ke dalam ventrikel IV

    melalui akuaduktus Sylvii, setelah itu melalui 2 foramen Luschka di sebelah lateral dan 1

    foramen Magendie di sebelah medial masuk kedalam ruangan subaraknoid, melalui

    granulasi araknoidea masuk ke dalam sinus duramater kemudian masuk ke aliran vena.

    Tekanan Intra kranial meningkat karena produksi cairan serebrospinal melebihi

    jumlah yang diabsorpsi. Ini terjadi apabila terdapat produksi cairan serebrospinal yang

    berlebihan, peningkatan hambatan aliran atau peningkatan tekanan dari venous sinus.

    Mekanisme kompensasi yang terjadi adalah transventricular absorption, dural

    absorption, nerve root sleeves absorption dan unrepaired meningocoeles. Pelebaran

    ventrikel pertama biasanya terjadi pada frontal dan temporal horns, seringkali asimetris,

    keadaan ini menyebabkan elevasi dari corpus callosum, penegangan atau perforasi dari

    septum pellucidum, penipisan dari cerebral mantle dan pelebaran ventrikel III ke arah

    bawah hingga fossa pituitary (menyebabkan pituitary disfunction) (McQuillan, 2009).

    F. Tentorium

    Tentorium sereberi membagi rongga tengkorak menjadi ruang :

    1. Supratentorial terdiri fosa kranii anterior dan media

    2. Infratentorial berisi fosa kranii posterior

    Mesensefalon (midbrain) menghubungkan hemisfer serebri dan batang otak (pons dan

    medulla oblongata) berjalan melalui celah tentorium sereberi disebut insisura tentorial.

    Nervus okulomotorius (NVII) berjalan sepanjang tentorium, bila tertekan oleh masa atau

    edema otak akan menimbulkan herniasi. Serabut2 parasimpatik untuk kontraksi pupil

    mata berada pada permukaan n. okulomotorius. Paralisis serabut ini disebabkan

    penekanan mengakibatkan dilatasi pupil. Bila penekanan berlanjut menimbulkan deviasi

    bola mata kelateral dan bawah.

  • Dilatasi pupil ipsilateral disertai hemiplegi kontralateral dikenal sindrom klasik herniasi

    tentorium. Umumnya perdarahan intrakranial terdapat pada sisi yang sama dengan sisi

    pupil yang berdilatasi meskipun tidak selalu (Smeltzer, 2002).

    G. Sirkulasi

    Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat

    arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk circulus Willisi.

    Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan

    tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus

    venosus cranialis. Sirkulasi otak menerima sekitar 20% dari curah jantung atau 750 ml

    per menit. Kurangnya suplai darah ke otak dapat menyebabkan jaringan rusak ireversibel

    (Smeltzer, 2002).

    H. Sistem persyarafan

    1. Nervus Alfaktorius (Nervus Kranialis I)

    Nervus alfaktorius menghantarkan bau menuju otak dan kemudian diolah lebih lanjut.

    Dengan mata tertutup dan pada saat yang sama satu lubang hidung ditutup, penderita

    diminta membedakan zat aromatis lemah seperti vanila, cau de cologne, dan cengkeh.

    Fungsi saraf pembau.

    2. Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)

    Nervus optikus menghantarkan impuls dari retina menuju plasma optikum, kemudian

    melalui traktus optikus menuju korteks oksipitalis untuk dikenali dan

    diinterpretasikan. Fungsi: Bola mata untuk penglihatan.

    3. Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III)

    Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot orbital (otot penggerak bola mata). Fungsi

    sebagai penggerak bola mata.

    4. Nervus Troklearis (Nervus Kranialis IV)

    Sifatnya motorik, fungsi memutar mata, sebagai penggerak mata.

    5. Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)

    Nervus Trigeminus membawa serabut motorik maupun sensorik dengan memberikan

    persarafan ke otot temporalis dan maseter, yang merupakan otot-otot pengunyah.

    Nervus trigeminus dibagi menjadi 3 cabang utama:

  • - Nervus oftalmikus sifatnya motorik dan sensorik. Fungsi: Kulit kepala dan

    kelopak mata atas.

    - Nervus maksilaris sifatnya sensorik. Fungsi : Rahang atas, palatum dan hidung.

    - Nervus mandibularis sifatnya motorik dan sensorik. Fungsi : Rahang bawah dan

    lidah.

    6. Nervus Abdusen (Nervus Kranialis VI)

    Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot orbital. Fungsi: Sebagai saraf penggoyang bola

    mata.

    7. Nervus Facialis (Nervus Nervus Kranialis VII)

    Sifatnya motorik dan sensorik, saraf ini membawa serabut sensorik yang menghantar

    pengecapan bagian anterior lidan dan serabut motorik yang mensarafi semua otot

    ekspresi wajah, termasuk tersenyum, mengerutkan dahi dan menyeringai. Fungsi:

    Otot lidah menggerakkan lidah dan selaput lendir rongga mulut.

    8. Nervus Auditorius (Nervus Kranialis VIII)

    Sifatnya sensorik, mensarafi alat pendengar membawa rangsangan dari pendengaran

    dari telinga ke otak. Fungsinya: Sebagai saraf pendengar.

    9. Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX)

    Sifatnya majemuk, mensarafi faring, tonsil dan lidah.

    10. Nervus Vagus (Nervus Kranialis X)

    Sifatnya majemuk, fungsinya: Sebagai saraf perasa.

    11. Nervus Assesoris (Nervus Kranialis XI)

    Sifatnya motorik, fungsinya: Sebagai saraf tambahan.

    12. Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII)

    Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot lidah (Price A Sylvia, 2006).

    I. Fisiologi

    1) Tekanan intrakranial adalah hasil dari sejumlah jaringan otak, volum darah

    intrakranial, dan cairan serebrospinal didalam tengkorak pada suatu waktu. Keadaan

    normal dari tekanan intrakranial bergantung pada posisi pasien dan berkisar kurang

    atau sama dengan 15 mmHg. Ruang kranial yang kaku berisi jaringan otak (1400g),

    darah (75 ml) dan cairan serebrospinal (75 ml). Volum dan tekanan pada ketiga

    komponen ini selalu berhubungan dengan keadaan keseimbangan (Smeltzer, 2002).

  • TIK normal bervariasi menurut umur, posisi tubuh, dan kondisi klinis. TIK normal

    adalah 7-15 mmHg pada dewasa yang berbaring, 3-7 mmHg pada anak-anak, dan 1,5-

    6 mmHg pada bayi cukup umur. Ambang TIK bervariasi pada anak-anak dan telah

    direkomendasikan bahwa penanganan sebaiknya dimulai selama ketika TIK >15

    mmHg pada bayi, 18 mmHg pada anak

  • darah serebral (cerebral blood flow, CBF). Normalnya, autoregulasi memastikan

    aliran darah konstan yang melalui pembuluh serebral selama kisaran tekanan perfusi

    dengan mengubah diameter pembuluh sebagai respons terhadap perubahan tekanan

    arteri. Mekanisme ini adalah alat pelindung otak terhadap perubahan tekanan darah

    yang terus berfluktuasi. Ketika ada gangguan autoregulasi, CBF ditentukan oleh dan

    berfluktuasi sesuai dengan tekanan darah sistemik. Pada pasien yang mengalami

    gangguan autoregulasi, aktivitas apapun yang menyebabkan peningkatan tekanan

    darah seperti batuk, pengisapan, atau kegelisahan dapat menyebabkan peningkatan

    CBF yang juga dapat meningkatkan TIK.

    Komponen pertama dari tiga komponen yang dapat mengalami perubahan saat tubuh

    berupaya mempertahankan volume intakranial yang konsisten adalah CBF. CBF

    normal disediakan oleh tekanan perfusi serebral (cerebral perfusion pressure, CPP)

    pada kisaran 50 150 mmHg. Otak mendapatkan kira kira 750 ml/menit darah arteri

    (15%-20% curah jantung total saat istirahat ). Untuk memfungsikan autoregulasi,

    kadar karbon dioksida harus berada dalam kisaran yang dapat diterima dan tekanan

    hemodinamik harus berada dalam kisaran berikut : CPP lebih dari 60 mmHg, tekanan

    arteri rerata (mean arterial pressure, MAP) dibawah 160 mmHg, tekanan sistolik

    antara 60 dan 140 mmHg, dan TIK dibawah 30 mmHg. Faktor yang mengubah

    kemampuan pembuluh darah serebral untuk berkonstriksi atau berdilatasi seperti

    hipoksia, hiperkapnia dan trauma otak juga mengganggu autoregulasi. Karbon

    dioksida adalah vasodilator pembuluh darah serebral yang terkuat yang menyebabkan

    peningkatan CBF serta peningkatan volume dan kemudian mengakibatkan

    peningkatan TIK (McQuillan, 2009).

    2.1.2 Definisi

    Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi

    terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak (Pierce Agrace & Neil

    R. Borlei, 2006).

    Trauma atau cedera kepala adalah di kenal sebagai cedera otak gangguan fungsi

    normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neurologis

  • terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan pengaruh masa karena hemoragik,

    serta edema serebral do sekitar jaringan otak (Batticaca Fransisca, 2008).

    Cedera kepala atau cedera otak merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi

    otak yang di sertai atau tanpa di sertai perdarahan innterstiil dalm substansi otak tanpa di

    ikuti terputusnya kontinuitas otak (Arif Muttaqin, 2008).

    Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu trauma yang mengenai struktur

    kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional

    jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009).

    2.1.3 Etiologi

    Cidera kepala dapat disebabkan oleh dua hal antara lain :

    a. Benda tajam

    Trauma benda tajam dapat menyebabkan cidera setempat.

    b. Benda tumpul

    Dapat menyebabkan cidera seluruh kerusakan terjadi ketika energi/kekuatan

    diteruskan kepada otak.

    Penyebab lain :

    kecelakaan lalulintas

    jatuh

    pukulan

    kejatuhan benda

    kecelakaan kerja / industri

    cidera lahir (Cholik dan Saiful, 2007)

    2.1.4 Klasifikasi

    Klasifikasi trauma kepala berdasarkan lokasi yang terkena beserta tanda dan gejala

    yang dialami klien menurut Stillwell (2011) antara lain :

    1. Cedera kulit kepala

    Cedera kulit kepala sering kali menyebabkan perdarahan dalam jumlah besar

    karena vaskularitas kulit kepala, dan sering menunjukkan adanya cedera lain pada

    tulang tengkorak dan jaringan otak. Area tersebut harus secara cermat dipalpasi untuk

  • mengetahui adanya deformitas sebelum memberikan tekanan pelan guna menghentikan

    perdarahan. Laserasi pada kulit kepala dapat dijahit disisi tempat tidur atau mungkin

    memerlukan perbaikan bedah, bergantung pada ukuran dan luasnya cedera. Avulsi

    (tindakan menarik dan merobek) area kulit kepala sering kali membutuhkan

    reimplamtasi bedah karena struktur vaskular juga harus diperbaiki selama pembedahan

    (Morton 2012).

    a. Kontusio/Luka memar adalah cedera memar pada jaringan kulit kepala, apabila

    terjadi kerusakan jaringan subkutan dimana pembuluh darah (kapiler) pecah

    sehingga darah meresap ke jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak

    dan berwarna merah kebiruan.

    b. Abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini bisa

    mengenai sebagian atau seluruh kulit. Bagian lapisan atas kulit pada kulit kepala

    lecet. Luka ini tidak sampai pada jaringan subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri

    karena banyak ujung-ujung saraf yang rusak.

    c. Laserasi adalah luka robek tetapi disebabkan oleh benda tumpul atau runcing.

    Dengan kata lain, pada luka yang disebabkan oleh benda bermata tajam dimana

    lukanya akan tampak rata dan teratur. Luka robek adalah apabila terjadi kerusakan

    seluruh tebal kulit dan jaringan bawah kulit. Luka ini biasanya terjadi pada kulit

    yang ada tulang dibawahnya pada proses penyembuhan dan biasanya pada

    penyembuhan dapat menimbulkan jaringan parut.

    d. Avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas, tetapi sebagian

    masih berhubungan dengan tulang kranial. Dengan kata lain intak kulit pada kranial

    terlepas setelah kecederaan

    2. Cedera pada tengkorak

    a. Fraktur linear merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau stellata pada

    tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala. Fraktur lenier

    dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja pada tulang kepala cukup besar tetapi

    tidak menyebabkan tulang kepala bending dan tidak terdapat fragmen fraktur yang

    masuk kedalam rongga intrakranial. Fraktur pada bagian ini tidak bergeser pada

    area cidera sehingga dapat ditemukan tanda dan gejala berikut ini :

    - Udem

  • - Ekimosis

    - Nyeri tekan pada kulit kepala

    - Kontusio atau laserasi kulit bisa saja terjadi

    b. Comminuted adalah jenis fraktur tulang kepala yang memiliki lebih dari satu

    fragmen dalam satu area fraktur.

    c. Depressed merupakan adanya pergeseran fragmen yang remuk, berkaitan dengan

    laserasi dura dan cedera otak, oleh karenanya perlu pemeriksaan kebocoran cairan

    serebrospinal dari telinga (otorea) atau hidung (rinorea), pembengkakan, ekimosis

    dan cedera kulit kepala lainnya biasa terjadi.

    d. Basis cranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang tengkorak,

    fraktur ini seringkali diertai dengan robekan pada durameter yang merekat erat pada

    dasar tengkorak. Fraktur dasar tulang tengkorak ditandai :

    - Racoon eyes sign

    - Battles sign

    - Kebocoran CSS (rembesan cairan CSS di hidung atau di telinga)

    - Paresis nervus fasialis

    3. Cedera serebral

    Menurut (Tobing, 2011) yang diklasifikasikan menjadi cedera otak fokal dan cedera

    otak difus.

    a. Cedera otak fokal yang meliputi:

    - Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH) adalah adanya darah di ruang

    epidural yaitu ruang potensial antara tabula interna tulang tengkorak dan

    durameter. Epidural hematom dapat menimbulkan penurunan kesadaran, adanya

    interval lusid selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit neorologis berupa

    hemiparesis kontralateral dan gelatasi pupil bilateral. Gejala lain yang

    ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan hemiparesis.

    - Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut adalah

    terkumpulnya darah di ruang subdural yang terjadi akut (6-3 hari). Perdarahan ini

    terjadi akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan korteks cerebri. Perdarahan

    subdural biasanya menutupi seluruh hemisfer otak. Biasanya kerusakan otak

  • dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk dibanding pada

    perdarahan epidural.

    - Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik adalah terkumpulnya darah diruang

    subdural lebih dari 3 minggu setelah trauma. Subdural hematom kronik diawali

    dari SDH akut dengan jumlah darah yang sedikit. Darah di ruang subdural akan

    memicu terjadinya inflamasi sehingga akan terbentuk bekuan darah atau clot yang

    bersifat tamponade. Dalam beberapa hari akan terjadi infasi fibroblast ke dalam

    clot dan membentuk noumembran pada lapisan dalam (korteks) dan lapisan luar

    (durameter). Pembentukan neomembran tersebut akan di ikuti dengan

    pembentukan kapiler baru dan terjadi fibrinolitik sehingga terjadi proses

    degradasi atau likoefaksi bekuan darah sehingga terakumulasinya cairan

    hipertonis yang dilapisi membran semi permeabel. Jika keadaan ini terjadi maka

    akan menarik likuor diluar membran masuk kedalam membran sehingga cairan

    subdural bertambah banyak. Gejala klinis yang dapat ditimbulkan oleh SDH

    kronis antara lain sakit kepala, bingung, kesulitan berbahasa dan gejala yang

    menyerupai TIA (transient ischemic attack). Disamping itu dapat terjadi defisit

    neorologi yang bervariasi seperti kelemahan otorik dan kejang.

    - Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH) adalah area

    perdarahan yang homogen dan konfluen yang terdapat didalam parenkim otak.

    Intra cerebral hematom bukan disebabkan oleh benturan antara parenkim otak

    dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi

    akibat trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak lebih

    dalam, yaitu di parenkim otak atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal.

    Gejala klinis yang ditimbulkan oleh ICH antara lain adanya penurunan kesadaran.

    Derajat penurunan kesadarannya dipengaruhi oleh mekanisme dan energi dari

    trauma yang dialami.

    - Perdarahan subarahknoid traumatika (SAH) diakibatkan oleh pecahnya pembuluh

    darah kortikal baik arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat

    memasuki ruang subarahknoid dan disebut sebagai perdarahan subarahknoid

    (PSA). Luasnya PSA menggambarkan luasnya kerusakan pembuluh darah, juga

    menggambarkan burukna prognosa. PSA yang luas akan memicu terjadinya

  • vasospasme pembuluh darah dan menyebabkan iskemia akut luas dengan

    manifestasi edema cerebri.

    b. Cedera otak difus menurut (Sadewa, 2011):

    Cedera kepala difus adalah terminologi yang menunjukkan kondisi parenkim

    otak setelah terjadinya trauma. Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena

    gaya akselerasi dan deselarasi gaya rotasi dan translasi yang menyebabkan

    bergesernya parenkim otak dari permukaan terhadap parenkim yang sebelah dalam.

    Fasospasme luas pembuluh darah dikarenakan adanya perdarahan subarahnoit

    traumatika yang menyebabkan terhentinya sirkulasi diparenkim otak dengan

    manifestasi iskemia yang luas edema otak luas disebabkan karena hipoksia akibat

    renjatan sistemik, bermanifestasi sebagai cedera kepala difus.

    Dari gambaran morfologi pencitraan atau radiologi menurut Sadewa (2011) maka

    cedera kepala difus dikelompokkan menjadi.

    - Cedera akson difus (difuse aksonal injury) DAI adalah keadaan dimana serabut

    subkortikal yang menghubungkan inti permukaan otak dengan inti profunda otak

    (serabut proyeksi), maupun serabut yang menghubungkan inti-inti dalam satu

  • hemisfer (asosiasi) dan serabut yang menghbungkan inti-inti permukaan kedua

    hemisfer (komisura) mengalami kerusakan. Kerusakan sejenis ini lebih

    disebabkan karena gaya rotasi antara initi profunda dengan inti permukaan .

    - Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang disebabkan karena efek

    gaya akselerasi dan deselerasi. Mekanisme lain yang menjadi penyebab kontosio

    cerebri adalah adanya gaya coup dan countercoup, dimana hal tersebut

    menunjukkan besarnya gaya yang sanggup merusak struktur parenkim otak yang

    terlindung begitu kuat oleh tulang dan cairan otak yang begitu kompak. Lokasi

    kontusio yang begitu khas adalah kerusakan jaringan parenkim otak yang

    berlawanan dengan arah datangnya gaya yang mengenai kepala.

    Selain dari klasifikasi diatas Cedara kepala juga dapat disebabkan karena adanya daya

    / kekuatan yang mendadak di kepala. Ada tiga mekanisme yang berpengaruh dalam trauma

    kepala yaitu akselerasi, deselerasi dan rotasional (Morton, 2012)

    a. Akselerasi yaitu jika benda bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada orang

    yang diam kemudian dipukul atau terlempar batu.

    b. Deselerasi yaitu jika kepala yang bergerak membentur benda yang diam, misalnya pada

    saat kepala terbentur. Pada saat terjadinya deselerasi ada kemungkinan terjadi rotasi

    kepala sehingga dapat menambah kerusakan. Mekanisme cedera kepala dapat

    mengakibatkan kerusakan pada daerah dekat benturan (kup) dan kerusakan pada daerah

    yang berlawanan dengan benturan (kontra kup). Contohnya, apabila seseorang dipukul

    dengan objek tumpul pada bagian belakang kepalanya, maka perlu untuk dilakukan

    pengkajian apakah terdapat cedera pada lobus frontalis dan lobus oksipitalis serta

    serebelum.

    c. Rotasional yaitu jika pukulan/benturan membuat otak berputar dalam rongga tengkorak,

    yang menyebabkan perobekan atau regangan neuron dalam substansia alba serta

    robeknya pembuluh darah yang memfiksasi otak dengan bagian dalam tengkorak.

    Klasifikasi cedera kepala berdasarkan GCS/Severity (Morton, 2012) :

    1) Cedera kepala ringan/minor (kelompok resiko rendah)

    a. Skor skala koma Glasglow 13-15

    b. Dapat kehilangan kesadaran atau menunjukkan amnesia selama 5-60 menit

    c. Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing

  • d. Tidak ditemukan abnormalitas pada CT scan

    2) Cedera kepala sedang (kelompok resiko sedang)

    a. Skor skala koma glasgow 9-12

    b. Kehilangan kesadaran

    c. Amnesia 1-24 jam pasca trauma

    d. Dapat ditemukan adanya abnormalitas pada CT scan

    3) Cedera kepala berat (kelompok resiko berat)

    a. Skor skala koma glasglow 3-8

    b. Penurunan derajat kesadaran atau amnesia selama lebih dari 24 jam

    c. Tanda neurologis fokal

    2.1.5 Patofisiologi

    Cedera kepala terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada

    permukaan otak, laserasi, cedera robekan, hemoragi, akibatnya akan terjadi kemampuan

    autoregulasi cerebral yang kurang atau tidak ada pada area cedera (Price, 2005).

    Patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer dan proses

    sekunder. Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang berkaitan dengan suatu

    trauma yang relative baru terjadi dan bersifat irreversible untuk sebagian besar daerah otak.

    Walaupun kontusio dan laserasi yang terjadi pada permukaan otak, terutama pada kutub

    temporal dan permukaan orbital dari lobus frontalis, memberikan tanda-tanda jelas tetapi

    selama lebih dari 30 tahun telah dianggap jejas akson difus pada substasi alba subkortex

    adalah penyebab utama kehilangan kesadaran berkepanjangan, gangguan respon motorik

    dan pemulihan yang tidak komplit yang merupakan penanda pasien yang menderita cedera

    kepala traumatik berat.

    a. Proses Primer

    Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera primer biasanya

    fokal (perdarahan, kontusi) dan difus (jejas akson difus). Proses ini adalah kerusakan

    otak tahap awal yang diakibatkan oleh benturan mekanik pada kepala, derajat

    kerusakan tergantung pada kuat dan arah benturan, kondisi kepala yang bergerak atau

    diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala. Proses primer menyebabkan fraktur

  • tengkorak, perdarahan intrakranial, robekan regangan serabut saraf dan kematian

    langsung pada daerah yang terkena.

    b. Proses Sekunder

    Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul kerusakan

    primer. Dapat dibagi menjadi penyebab sistemik dari intrakranial. Dari berbagai

    gangguan sistemik, hipoksia (kekurangan O2 dalam jaringan) dan hipotensi

    merupakan gangguan yang paling berarti. Hipotensi merupakan menurunnya tekanan

    perfusi otak sehingga mengakibatkan terjadinya iskemi (defisiensi darah pada suatu

    bagian) dan infark otak. Perluasan kerusakan jaringan otak sekunder disebabkan

    berbagai faktor seperti kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak,

    metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan neurotrasmiter dan

    radikal bebas. Trauma saraf proses primer atau sekunder akan menimbulkan gejala-

    gejala neurologis yang tergantung pada lokasi kerusakan.

    Cedera otak sekunder mencakup semua kejadian yang menyebabkan kerusakan

    otak lebih lanjut setelah trauma. Oleh karenanya pencegahan cedera sekunder sangat

    penting dalam memelihara fungsi otak dan mengoptimalkan hasil akhir fungsional.

    Mekanisme yang membahayakan neuron yang berfungsi meliputi inflamasi, iskemia,

    dan gangguan aliran darah serebral. Proses sekunder ini dapat mengakibatkan infark

    serebral, koma dan herniasi. Selain itu, pencegahan terhadap hipoksemia, hipotensi,

    hipokarbia dan kejang sangat penting untuk mencegah cedera lebih lanjut.

    Edema serebral umumnya dialami pasien dengan cedera kepala saat 24 sampai

    48 jam setelah gangguan primer dan terutama memuncak pada 72 jam. Edema serebral

    dapat memperburuk kondisi pasien sebelumkondisinya membaik. Apabila edema

    serebral tidak ditangani secara progresif, kondisi tersebut dapat menyebabkan sindrom

    herniasi.

    Sindrom herniasi menggambarkan kondisi dengan struktur serebral bergeser

    didalam kranium karena tekanan yang tinggi. Trias cushing menggambarkan 3 tanda

    akhir herniasi: 1) peningkatan tekanan darah sistolik, 2) penurunan frekuensi jantung

    dan 3) pola nafas tidak teratur. Tekanan nadi yang melebar juga berhubungan dengan

    herniasi.

  • Koma adalah perubahan kesadaran yang disebabkan oleh kerusakan hemisfer

    otak. Koma terjadi akibat gangguan sistem yang mengaktivasi retikular (reticular

    activating system, RAS). Koma dapat disebabkan oleh banyak hal dan harus

    dipertimbangkan dalam pengobatan pasien cedera kepala untuk memberikan

    kesempatan optimal kepada pasien untuk mendapatkan kesadarannya kembali.

    2.1.6 Manifestasi Klinis

    Tanda dan gejala cidera kepala dapat dikelompokkan dalam 3 kategori utama:

    Tanda dan gejala fisik

    Nyeri kepala, dizziness, nausea, vomitus.

    Tanda dan gejala kognitif

    Gangguan memori, gangguan perhatian dan berpikir kompleks.

    Tanda dan gejala emosional/kepribadian

    Kecemasan, iritabilitas (Hoffman dkk, 1996).

    Manifestasi lain yang mungkin pada pasien trauma kepala menurut Cholik dan Saiful, 2007 :

    a. jika klien sadar akan mengeluh sakit kepala berat

    b. muntah projektil

    c. papil edema

    d. kesadaran makin menurun

    e. perubahan tipe pernapasan

    f. anisokor

    g. tekanan darah turun, bradikardia

    h. suhu tubuh yang sulit dikendalikan

    2.1.7 Pemeriksaan Penunjang

    Penderita trauma/multi trauma memerlukan penilaian dan pengelolaan yang cepat dan

    tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita. Waktu berperan sangat penting, oleh karena

    itu diperlukan cara yang mudah, cepat dan tepat. Penilaian awal (initial assessment) yang

    terpenting

  • 1) Primary Survey

    Merupakan deteksi cepat dan koreksi segera terhadap kondisi mengancam dan kemudian

    dilakukan tindakan live saving

    - Airway, dengan Kontrol Servikal (Cervical Spine Control)

    Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas ( airway). Jika

    penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan

    adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang

    dapat disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat

    fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi

    vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi,

    fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Kemungkinan adanya cedera leher

    ditandai dengan jejas atau tanda trauma didaerah atas os klavikula termasuk di kepala

    harus diwaspadai. Pada korban trauma yang tidak sadar dan atau tidak diketahui

    mekanisme terjadinya trauma dengan pasti, meskipun tidak ditemukan tanda-tanda

    cedera leher, patut dicurigai adanya cedera leher. Tindakan yang menyebabkan

    bergeraknya servikal pada cedera leher dapat menyebabkan henti napas dan henti

    jantung seketika. Dalam hal ini, kita dapat melakukan chin lift atau jaw thrust sambil

    merasakan hembusan napas yang keluar melalui hidung. Bila ada sumbatan maka

    dapat dihilangkan dengan cara membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia.

    Langkah-langkah :

    a. Buka jalan nafas, yakinkan adekuat

    b. Bebaskan jalan nafas dengan proteksi tulang cervikal

    c. Cross finger untuk mendeteksi sumbatan

    d. Finger swab untuk membersihkan sumbatan

    e. Suctioning bila perlu

    - Breathing

    Setelah airway dipastikan baik, perlu dipastikan pula apakah pasien bernafas

    dengan baik. Bila pernapasan tidak adekuat, langkah-langkah yang perlu dilakukan

    adalah :

    a. Look, listen and feel

    b. Kaji frekuensi nafas

  • c. Kualitas nafas, dan

    d. Keteraturan nafas

    - Circulation dengan Kontrol Perdarahan

    Pastikan sirkulasi darah penderita dengan melihat kesadaran, warna kulit dan nadi.

    a. Lihat adanya perdarahan eksterna/interna

    b. Hentikan perdarahan eksterna dengan rest, ice, kompres, elevation

    c. Perhatikan tanda-tanda syok/gangguan sirkulasi : capilary refill time, nadi,

    sianosis, pulsus arteri distal.

    - Disability (Neurologic Evaluation)

    a. Cek kesadaran (AVPU)

    A : alert/awake (sadar penuh, respons bagus)

    V : verbal (kesadaran menurun, berespon terhadap suara)

    P : pain (kesadaran menurun, tidak berespon terhadap suara, berespon terhadap

    ransangan nyeri)

    U : unresponsif (kesadaran menurun, tidak berespon terhadap suara, tidak

    berespon terhadap nyeri)

    b. Periksa cedera kepala

    c. Periksa adanya cedera leher

    d. Perhatikan adanya cedera pada tulang belakang

    - Exposure

    Buka baju penderita, lihat adanya kemungkinan cedera yang timbul tetapi cegah

    hipotermi.

    2) Secondary Survey

    Mengidentifikasi perubahan-perubahan yang dapat berkembang menjadi lebih gawat dan

    mengancam jiwa apabila tidak segera di atasi dengan pemeriksaan dari kepala sampai kaki.

    - Anamnesis : pemeriksaan Riwayat "AMPLE"

    A alergi

    M medikasi yaitu terkait obat yang diminum sebelumnya

    P penyakit sebelumnya

    L last meal yaitu makanan terakhir yang dimakan klien

    E even/environment ialah lingkungan yang berhubungan dengan kegawatan

  • - Head to toe examination

    - Pada kasus trauma, selalu diperlukan pemeriksaan adanya DECAPBLS

    Deformitas, Ekskoriasi, Contusio, Abrasi, Penetrasi, Bullae/Burn, Laserasi,

    Swelling/Sembab.

    2.1.8 Penatalaksanaan

    Pasien dengan trauma kepala berat sering mengalami gangguan pernapasan, syock

    hipovolemik, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, tekanan intrakranial yang tinggi,

    kejang-kejang, gangguan kardiovaskuler sehingga perlu mendapat penanganan yang tepat.

    (1) Penatalaksanaan Medik

    Cairan Intravena

    Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar tetap

    normovolemik. Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih.

    Penggunaan cairan yang mengandung glucosa dapat menyebabkan hyperglikemia

    yang berakibat buruk pada otak yang cedera. Cairan yang dianjurkan untuk

    resusitasi adalah NaCl o,9 % atau Rl. Kadar Natrium harus dipertahankan dalam

    batas normal, keadaan hyponatremia menimbulkan odema otak dan harus dicegah dan

    diobati secara agresig

    Hyperventilasi

    Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, HV dapat menurunkan

    PCo2 sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak. HV yang lama

    dan cepat menyebabkan iskemia otak karena perfusi otak menurun PCo2 < 25mmHg,

    HV harus dicegah. Pertahankan level PCo2 pada 25 30 mmHg bila TIK tinggi.

    Manitol

    Dosis 1 gram/kg BB bolus IV. Indikasi penderita koma yang semula reaksi cahaya

    pupilnya normal, kemudian terjadi dilatasi pupil dengan atau tanpa hemiparesis.

    Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada penderita hypotensi karena akan memperberat

    hypovolemia

    Furosemid

    Diberikan bersamaan dengan manitol untuk menurunkan TIK dan akan meningkatkan

    diuresis. Dosis 0,3 0,5 mg/kg BB IV

  • Steroid

    Steroid tidak bermanfaat. Pada pasien cedera kepala tidak dianjurkan

    Barbiturat

    Bermanfaat untuk menurunkan TIK. Tidak boleh diberikan bila terdapat hypotensi

    dan fase akut resusitasi, karena barbiturat dapat menurunkan tekanan darah

    Anticonvulasan

    Penggunaan anticonvulsan profilaksisi tidak bermanfaat untuk mencegaah terjadinya

    epilepsi pasca trauma. Phenobarbital & Phenytoin sering dipakai dalam fase akut

    hingga minggu ke I. Obat lain diazepam dan lorazepam.

    Pembedahan.

    (2) Non-Medik

    a) Pengelolaan Pernapasan:

    pasien ditempatkan dalam posisi miring atau seperti posisi koma.

    periksa mulut, keluarkan gigi palsu bila ada.

    jika banyak ludah atau lendir atau sisa muntahan lakukan penghisapan.

    hindari flexi leher yang berlebihan karena bisa menyebabkan terganggunya jalan

    napas/peningkatan TIK.

    trakeostomi dilakukan bila lesi di daerah mulut atau faring parah.

    Perawat mengkaji frekuensi dan upaya pernapasan pasien, warna kulit, bunyi

    pernapasan dan ekspansi dada.

    berikan penenang diazepam.

    posisi pasien selalu diubah setiap 3 jam dan lakukan fisioterapi dada 2x/sehari.

    b) Gangguan Mobilitas Fisik

    posisikan tubuh pasien dengan posisi opistotonus; perawatan harus dilakukan

    dengan tujuan untuk menghentikan pola refleksif dan penurunan tonus otot

    abnormal.

    perawat menghindarkan terjadinya kontraktur dengan melakukan ROM pasif

    dengan merenggangkan otot dan mempertahankan mobilitas fisik.

    c) Kerusakan Kulit

    menghilangkan penekanan dan lakukan intervensi mobilitas.

    d) Masalah Hidrasi

  • pada cidera kepala terjadi kontriksi arteri-arteri renalis sehingga pembentukan

    urine berkurang dan garam ditahan didalam tubuh akibat peningkatan tonus

    ortosimpatik.

    e) Nutrisi pada Trauma otak berat

    memerlukan jumlah kalori 2 kali lipat dengan meningkatnya aktivitas system

    saraf ortosimpatik yang tampak pada hipertensi dan takikardi.

    kegelisahan dan tonus otot yang meningkat menambah kebutuhan kalori.

    bila kebutuhan kalori tidak terpenuhi maka jaringan tubuh dan lemak akan diurai,

    penyembuhan luka akan lebih lama, timbul dekubitus, daya tahan menurun

    (Cholik dan Saiful, 2007).

    Selain penatalaksanaan medis dan non medis, seseorang yang dengan cedera

    kepala memerlukan pemantauan terhadap peningkatan TIK. Pada saat otak yang

    rusak membengkak atau terjadi penumpukan darah yang cepat, terjadi peningkatan

    TIK yang merupakan kedaruratan sejati dan membutuhkan penanganan segera.

    Ketika tekanan meninggi, substansi otak ditekan. Efek sekunder yang disebabkan

    gangguan sirkulasi dan edema yang dapat menyebabkan kematian.

    Pada saat TIK meningkat pada titik dimana kemampuan otak untuk

    menyesuaikan diri telah sampai pada batasnya, fungsi saraf yang terganggu

    dimanifestasikan dengan perubahan tingkat kesadaran dan respirasi serta respon

    vasomotor abnormal. Tanda paling dini dari peningkatan TIK adalah letargi.

    Lambatnya bicara dan lambatnya respon verbal yang merupakan indikator awal.

    2.1.9 Komplikasi

    Komplikasi yang dapat timbul pada pasien yang mengalami trauma kapitis yaitu:

    1. Shock disebabkan karena banyaknya darah yang hilang atau rasa sakit hebat. Bila

    kehilangan lebih dari 50% darah dapat mengakibatkan kematian.

    2. Peningkatan tekanan intrakranial, terjadi pada edema cerebri dan hematoma dalam

    tulang tengkorak.

    3. Meningitis, terjadi bila ada luka di daerah otak yang ada hubungannya dengan luar.

  • 4. Infeksi/kejang, terjadi bila disertai luka pada anggota badan atau adanya luka pada

    fraktur tulang tengkorak. Kejang pasca trauma dapat terjadi secara (dalam 24 jam

    pertama) dini (minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu).

    5. Edema pulmonal akibat dari cedera pada otak yang menyebabkan adanya peningkatan

    tekanan darah sistemik sebagai respon dari sistem saraf simpatis pada peningkatan

    TIK. Peningkatan vasokontriksi tubuh ini menyebabkan lebih banyak darah dialirkan

    ke paru-paru. Perubahan permeabilitas pembuluh darah paru berperan dalam proses

    memungkinkan cairan berpindah ke dalam alveolus.

    6. Diabetes Insipidus

    Disebabkan oleh kerusakan traumatik pada rangkai hipofisis menyebabkan

    penghentian sekresi hormon antideuretik (Hudak & Gallo, 1996).

    2.2 Monitoring ICP

    2.2.1 Definisi

    Tekanan intrakranial (TIK) di definisikan sebagai tekanan dalam kubah kranial

    yang berhubungan dengan tekanan atmosfer (Morton, 2012).

    Pemantauan TIK digunakan untuk mencegah terjadinya fase kompensasi ke fase

    dekompensasi. Secara obyektif, pemantauan TIK adalah untuk mengikuti kecenderungan

    TIK tersebut, karena nilai tekanan menentukan tindakan yang perlu dilakukan agar

    terhindar dari cedera otak selanjutnya, dimana dapat bersifat ireversibel dan letal. Dengan

    pemantauan TIK juga kita dapat mengetahui nilai CPP, yang sangat penting, dimana

    menunjukkan tercapai atau tidaknya perfusi otak begitu juga dengan oksigenasi otak

    (Smeltzer, 2002).

    2.2.2 Etiologi

    Klinis yang paling umum di mana peningkatan TIK ditemui dan dipantau adalah

    pada cedera kepala, dimana beberapa mekanisme menyebabkan perubahan volume

    intrakranial. Hematoma traumatik dapat terkumpul dalam intraserebral, ruang

    subarakhnoid, ruang subdural, atau ekstradural, menciptakan tekanan gradien dalam

    tengkorak dan mengakibatkan pergeseran otak. Edema serebral baik sitotoksik (karena

    kegagalan pompa membran sel) atau vasogenik (karena cedera pembuluh darah)

  • menambah volume ekstra dalam bentuk air. Perubahan CBV menyebabkan gangguan

    autoregulasi aliran darah otak (Cerebral Blood Flow/CBF) dan metabolisme yang dapat

    menyebabkan kongesti vaskular (hiperemi), namun meningkatnya CBV menambah

    peningkatan TIK setelah cedera kepala pada orang dewasa tampaknya kecil, bila

    dibandingkan dengan edema (McQuillan, 2009).

    2.2.3 Patofisiologi

    Jika massa intrakranial membesar, kompensasi awal adalah pemindahan cairan

    serebrospinal ke kanal spinal. Kemampuan otak beradaptasi terhadap meningkatnya

    tekanan tanpa peningkatan TIK dinamakan compliance. Perpindahan cairan serebrospinal

    keluar dari kranial adalah mekanisme kompensasi pertama dan utama, tapi lengkung

    kranial dapat mengakomodasi peningkatan volume intrakranial hanya pada satu titik.

    Ketika compliance otak berlebihan, TIK meningkat, timbul gejala klinis, dan usaha

    kompensasi lain untuk mengurangi tekananpun dimulai (Black&Hawks, 2005).

    Kompensasi kedua adalah menurunkan volume darah dalam otak. Ketika volume

    darah diturunkan sampai 40% jaringan otak menjadi asidosis. Ketika 60% darah otak

    hilang, gambaran EEG mulai berubah. Kompensasi ini mengubah metabolisme otak, sering

    mengarah pada hipoksia jaringan otak dan iskemia (Black&Hawks, 2005).

    Kompensasi tahap akhir dan paling berbahaya adalah pemindahan jaringan otak

    melintasi tentorium dibawah falx serebri, atau melalui foramen magnum ke dalam kanal

    spinal. Proses ini dinamakan herniasi dan sering menimbulkan kematian dari kompresi

    batang otak. Otak disokong dalam berbagai kompartemen intrakranial. Kompartemen

    supratentorial berisi semua jaringan otak mulai dari atas otak tengah ke bawah. Bagian ini

    terbagi dua, kiri dan kanan yang dipisahkan oleh falx serebri. Supratentorial dan

    infratentorial (berisi batang otak dan serebellum) oleh tentorium serebri. Otak dapat

    bergerak dalam semua kompartemen itu. Tekanan yang meningkat pada satu kompartemen

    akan mempengaruhi area sekeliling yang tekanannya lebih rendah (Black&Hawks, 2005).

    2.2.4 Manifestasi klinis

    Gejala yang umum dijumpai pada peningkatan TIK :

  • 1) Sakit kepala merupakan gejala umum pada peningkatan TIK. Sakit kepala terjadi

    karena traksi atau distorsi arteri dan vena dan duramater akan memberikan gejala yang

    berat pada pagi hari dan diperberat oleh aktivitas, batuk, mengangkat, bersin.

    2) Muntah proyektil dapat menyertai gejala pada peningkatan TIK.

    3) Edema papil disebabkan transmisi tekanan melalui selubung nervus optikus yang

    berhubungan dengan rongga subarakhnoid di otak. Hal ini merupakan indikator klinis

    yang baik untuk hipertensi intrakranial

    4) Defisit neurologis seperti didapatkan gejala perubahan tingkat kesadaran; gelisah,

    iritabilitas, letargi; dan penurunan fungsi motorik

    5) Bila peningkatan TIK berlanjut dan progresif berhubungan dengan penggeseran jaringan

    otak maka akan terjadi sindroma herniasi dan tanda-tanda umum Cushings triad

    (hipertensi, bradikardi, respirasi ireguler) muncul. Pola nafas akan dapat membantu

    melokalisasi level cedera (Morton, 2012).

    2.2.5 Indikasi

    Pedoman BTF (Brain Trauma Foundation) 2007 merekomendasi bahwa TIK harus

    dipantau pada semua cedera kepala berat (Glasgow Coma Scale/GCS 3-8 setelah resusitasi)

    dan hasil CT scan kepala abnormal (menunjukkan hematoma, kontusio, pembengkakan,

    herniasi, dan/atau penekanan sisterna basalis), TIK juga sebaiknya dipantau pada pasien

    cedera kepala berat dengan CT scan kepala normal jika diikuti dua atau lebih kriteria antara

    lain usia>40 tahun, sikap motorik (posturing motor uni atau bilateral), dan tekanan darah

    sistolik

  • 2.2.6 Kontraindikasi

    Tidak ada kontrindikasi absolut untuk memantau TIK, hanya ada beberapa kontraindikasi

    relatif (Stillwell, 2011) yaitu :

    a. Koagulopati dapat meningkatkan risiko perdarahan pada pemasangan pemantauan TIK.

    Bila memungkinkan pemantauan TIK ditunda sampai International Normalized Ratio

    (INR), Prothrombin Time (PT) dan Partial Thromboplastin Time (PTT) terkoreksi

    (INR

  • 1. Metode non invasif

    Pemantauan status klinis

    Beberapa kondisi klinis yang harus dinilai pada peningkatan TIK yaitu

    1. Tingkat kesadaran (GCS)

    2. Pemeriksaan pupil

    3. Pemeriksaan motorik ocular (perhatian khusus pada nervus III dan VI)

    4. Pemeriksaan motorik (perhatian khusus pada hemiparesis

    5. Adanya mual atau muntah

    6. Keluhan nyeri kepala

    7. Vital sign saat itu

    Oftalmoskopi adalah salah satu penilaian yang bermakna pada peningkatan

    TIK. Papil edema ditemukan bila peningkatan TIK telah terjadi lebih dari sehari.

    Tapi sebaiknya tetap dinilai pada evaluasi awal, ada atau tidak ada papil edema

    dapat memberikan informasi mengenai proses perjalanan penyakit (McQuillan,

    2009).

    Neuroimaging

    Pada pasien yang dicurigai peningkatan TIK sebaiknya dilakukan

    pemeriksaan CT scan kepala. Beberapa temuan pada neuroimaging yang dicurigai

    kondisi patologis yang menyebabkan peningkatan TIK antara lain :

    - Perdarahan intrakranial

    - Obstruksi hidrosefalus

    - Difus atau fokal edema serebral

    - Midline shift

    - Compression of bassal cistern

    - Obliteration of the third ventrikel

    Adanya lebih dari satu kelainan ini sangat mungkin suatu peningkatan TIK,

    sedangkan adanya salah satu temuan diatas menunjukkan potensi peningkatan TIK.

    Bila diperlukan dapat diteruskan dengan pemeriksaan MRI atau CT scan kontras

    untuk menggambarkan patologi intrakranial dengan lebih baik, untuk pengambilan

    keputusan awal, meskipun CT scan tanpa kontras pun seringkali cukup. Keputusan

    penting yang harus dilakukan pada pasien dengan TIK meningkat adalah apakah

  • perangkat pemantauan TIK harus dipasang. Neuroimaging digunakan untuk

    menetapkan diagnosa yang mengakibatkan TIK meningkat, serta melengkapi

    informasi yang diperoleh dari anamnesa dan pemeriksaan. Pencitraan tidak dapat

    menggantikan pemantauan TIK invasif. Pengulangan CT scan dapat digunakan

    ketika status klinis pasien hanya membutuhkan penempatan monitor TIK dalam

    waktu singkat. Dalam keadaan ini, pengulangan pencitraan setiap kali perubahan

    status pasien dapat mendokumentasikan munculnya temuan baru (misalnya,

    hematoma cedera kepala) yang kemudian memerlukan penempatan monitor.

    Pendekatan ini dapat digunakan untuk menunda atau menghindari penempatan

    monitor TIK dalam kasus di mana kebutuhan untuk itu awalnya kurang jelas

    (Morton, 2012).

    Neurosonology

    TCD telah terbukti merupakan alat klinis noninvasif yang berguna untuk

    penilaian aliran darah arteri basal otak. Semua cabang utama arteri intrakranial

    biasanya dapat diinsonasi baik arteri kranial anterior, media dan posterior melalui

    tulang temporal (kecuali pada 10% pasien, dimana insonasi transtemporal tidak

    memungkinkan), arteri oftalmika dan carotid siphon melalui orbita, dan arteri

    vertebral dan arteri basilar melalui foramen magnum. TCD mengukur kecepatan

    aliran darah, dalam sentimeter per detik, yang biasanya berkisar 40-70. Variabel

    pemantauan esensial kedua berasal dari rekaman gelombang yang menggunakan

    indikator pulsatility index (PI), rasio perbedaan antara kecepatan aliran sistolik dan

    diastolik dibagi rata-rata kecepatan aliran, biasanya kurang lebih sama dengan 1.

    Penggunaan klinis yang paling umum dari TCD adalah pemantauan untuk

    vasospasme, terutama setelah SAH. Penyempitan lumen arteri, peningkatan aliran

    sistolik dan penurunan diastolik (aliran sistolik 120 sangat sugestif dan 200

    konfirmasi dari penurunan diameter lumen), mengakibatkan peningkatan PI (nilai di

    atas 3:1 sangat sugestif terjadi penyempitan lumen). Penilaian TCD serial dapat

    mendeteksi perubahan progresif dalam kecepatan aliran dan PI akibat vasospasme

    pada SAH. Penyempitan lumen dapat diproduksi oleh penyempitan arteri intrinsik

    sendiri seperti dalam autoregulasi dan vasospasme yang benar, atau dengan

    hiperplasia intimal seperti dalam "vasospasme" pada SAH. Vasospasme juga bisa

  • terjadi karena kompresi ekstrinsik dari arteri terutama peningkatan difus TIK

    mengakibatkan penekanan yang menyebabkan penyempitan arteri basal. Seluruh

    peningkatan dalam kecepatan aliran dan PI dapat menunjukkan kompresi ekstrinsik

    difus arteri karena TIK meningkat. Sayangnya, TCD kurang sensitif dan spesifik

    untuk memberikan alternatif pemantauan TIK noninvasif. TCD tidak dapat

    menggantikan pemantauan TIK langsung. Para dokter yang menggunakan TCD

    untuk monitor pasien SAH harus selalu ingat bahwa perubahan penyempitan lumen

    yang difus mungkin menunjukkan peningkatan TIK. Beberapa upaya telah

    dilakukan memanfaatkan TCD untuk menilai hilangnya autoregulasi dan menilai

    adanya MAP kritis yang membahayakan CPP.

    2. Metode invasif

    Metode ini dapat dilakukan di beberapa lokasi anatomi yang berbeda yaitu :

    a) Subarachnoid screw

    Subarachnoid screw dihubungkan ke tranducer eksternal melalui tabung. Alat ini

    ditempatkan ke dalam tengkorak berbatasan dengan dura. Ini adalah sekrup

    berongga yang memungkinkan CSF untuk mengisi baut, memungkinkan tekanan

    untuk menjadi sama. Keuntungan metode ini adalah infeksi dan risiko perdarahan

    rendah. Aspek negatif termasuk kemungkinan kesalahan permantauan TIK, salah

    penempatan sekrup, dan oklusi oleh debris.

    b) Kateter subdural / epidural

    Kateter subdural / epidural adalah metode lain untuk memantau TIK. Metode ini

    kurang invasif tetapi juga kurang akurat. Hal ini tidak dapat digunakan untuk

    mengalirkan CSF, namun kateter memiliki risiko yang lebih rendah dari infeksi atau

    perdarahan.

    c) Intraparenkimal (microtransducer sensor)

    Pemantauaan TIK intraparenkimal menggunakan microtransducer yang diletakkan

    di parenkim otak melalui lubang kecil dan baut tengkorak yang memungkinkan

    pemantauan TIK simultan, mikrodialisis serebral dan oksigenasi jaringan otak.

    Posisi pilihan perangkat tersebut adalah pada subtansia alba regio frontal

    nondominan pada cedera otak difus, atau parenkim perikontusional pada cedera

    otak fokal. Probe tekanan intraparenkimal ditempatkan pada hemisfer kontralateral

  • dari hematoma intraserebral. Perangkat yang berbeda juga tersedia, termasuk

    fiberoptic dan teknologi pneumatik. Monitor TIK pneumatic Spiegelberg juga

    memungkinkan kalibrasi in vivo dan pemantauan intrakranial. Monitor TIK

    Neurovent-P adalah kateter serbaguna yang menggabungkan TIK, oksigenasi

    jaringan otak dan pemantauan temperatur otak. Nilai TIK harus diinterpretasikan

    dengan hati-hati dan berhubungan dengan penilaian klinis dan radiologis pasien.

    Ketika ada perbedaan yang signifikan antara nilai pemantauan dan gejala klinis,

    penggantian atau penempatan kembali probe harus dipertimbangkan.

    d) Kateter intraventrikuler/Ventriculostomy Tehnik intraventrikular merupakan gold

    standard pemantauan TIK, yaitu kateter diinsersikan ke dalam ventrikel lateral

    biasanya melalui burr hole kecil di frontal kanan. Tehnik ini juga dapat digunakan

    untuk mengalirkan LCS dan memberikan obat intratekal seperti pemberian

    antibiotika pada kasus ventrikulitis yang kemungkinan disebabkan oleh

    pemasangan kateter itu sendiri.

    Sistem tranduser kateter ventrikular eksternal tradisional hanya memungkinkan

    pemantauan TIK intermiten bila saluran ventrikel ditutup. Kateter ventrikel tersedia

    secara komersial memiliki transduser tekanan dalam lumennya, sistem ini

    memungkinkan pemantauan TIK dan drainase LCS simultan. Beberapa komplikasi

    bisa terjadi akibat pemasangan kateter ventrikel antara lain kebocoran LCS,

    masuknya udara ke ruang subarachnoid dan ventrikel, drainase LCS yang

    berlebihan dapat menyebabkan kolaps ventrikel dan herniasi, atau terapi tidak

    sesuai berkaitan dengan pembacaan TIK dengan gelombang kecil, kegagalan

    elektromekanikal, dan kesalahan operator. Lubang-lubang kecil di ujung kateter

    dapat tersumbat oleh gumpalan darah atau deposit fibrin, dan kateter dapat

    berpindah sehingga sebagian atau seluruh ujung kateter terletak dalam parenkim

    otak bukan dalam ventrikel. Dalam kasus tersebut, drainase LCS akan

    menghasilkan gradien tekanan signifikan antara lumen kateter ventrikel dan

    ventrikel. Jika diduga ada obstruksi kateter, irigasi dengan NaCl 0,9% 2 ml dapat

    mengembalikan patensi kateter. Prosedur ini harus dilakukan dengan

    memperhatikan asepsis, dimana manipulasi berulang berhubungan dengan

    tingginya insiden infeksi sistem saraf pusat. Jadi irigasi rutin tidak dianjurkan.

  • Ventrikulitis dan meningitis adalah komplikasi yang berpotensi mengancam nyawa,

    yang disebabkan oleh kontaminasi langsung kateter selama pemasangan atau secara

    retrograde oleh kolonisasi bakteri pada kateter. Kejadian infeksi dilaporkan sekitar

    5-20%. Penggunaan sistem drainase tertutup dan sampling LCS aseptik dan

    pembilasan kateter dan pengangkatan yang benar kateter yang tidak dibutuhkan

    dapat meminimalkan risiko infeksi terkait kateter. LCS dapat mencetuskan infeksi

    karena pengulangan akses ke sistem drainase. Sampling LCS lebih diindikasikan

    karena kriteria klinis khusus daripada menjadi sampling rutin.8 Posisi pasien saat

    pengukuran ditinggikan 30-45 derajat. Tranduser harus sama tinggi dengan titik

    referensi. Titik referensi yang paling umum adalah foramen Monro. Titik referensi

    0 adalah garis imajiner anatara puncak telinga dan kantus bagian luar mata.

    Lamanya waktu pemakaian kateter ventrikuler bervariasi. Secara umum lama waktu

    pemakaian adalah dua minggu atau tergantung kondisi pasien. Risiko infeksi

    meningkat pada pemakaian yang lebih lama. Pemberian antibiotik profilaksis

    dikaitkan dengan tingginya insiden infeksi LCS yang resisten antibiotika.

    Sebaliknya, penggunaan antibiotik dapat menurunkan kejadian infeksi berhubungan

    dengan kateter. Setelah dicabut, ujung kateter harus dikirim untuk kultur, dimana

    pertumbuhan bakteri berkaitan dengan risiko tinggi terjadi meningitis, dan tes

    sensitivitas antibiotika berdasarkan atas analisis mikrobiologi dapat menjadi

    pedoman terapi

    2.2.8 Komplikasi

    Komplikasi yang paling umum terjadi berhubungan dengan pemasangan monitor

    TIK antara lain perdarahan, infeksi, dan kerusakan peralatan monitor.

    Infeksi intrakranial

    Perdarahan intraserebral

    Kebocoran udara masuk ke ventrikel atau ruang subarakhnoid

    Kebocoran cairan serebrospinal

    Overdrainage CSF menyebabkan ventrikel kolaps dan herniasi

    Hilang pemantauan atau kemampuan drainase karena oklusi kateter dengan jaringan

    otak atau darah

  • Terapi yang tidak tepat karena kesalahan dalam pembacaan TIK disebabkan bentuk

    gelombang yang kecil, kegagalan elektromekanis, atau kesalahan operator.

    Insiden komplikasi ini bervariasi, tergantung pada perangkat yang digunakan,

    durasi pemantauan, dan teknik pemasangan, tetapi secara umum, risiko tetap rendah,

    kurang dari 1% dari pasien mengalami klinis perdarahan yang signifikan dan 0,3-1,8%

    mengalami infeksi. Tingkat infeksi dan risiko perdarahan lebih tinggi dengan pemasangan

    kateter ventrikel dibandingkan dengan intraparenkimal, namun masih cukup rendah

    (McQuillan, 2009).

    2.2.9 Perawatan

    Pemantauan TIK dapat menentukan tindakan yang perlu dilakukan agar terhindar

    dari cedera otak selanjutnya, dimana dapat bersifat irreversibel dan letal. Dengan

    pemantauan TIK juga kita dapat mengetahui nilai CPP, yang sangat penting, dimana

    menunjukkan tercapai atau tidaknya perfusi otak begitu juga dengan oksigenasi otak.

    Sebagian kerusakan otak terjadi akibat impak trauma, namun kerusakan sekunder

    bisa beberapa jam hingga beberapa hari kemudian. Kematian dan kesakitan dapat dikurangi

    dengan pengelolaan intensif seperti intubasi, transportasi, resusitasi, CT dan evakuasi lesi

    massa intrakranial segera, serta perawatan ICU. TIK (ICP) normal adalah 0-10 mm Hg (0-

    136 mm air). Umumnya diatas 20 mm Hg dianggap batas untuk memulai tindakan. Namun

    tekanan perfusi serebral (CPP) lebih penting dari TIK (CPP=MAP-ICP). Monitoring TIK

    adalah untuk mengawasi perfusi otak. Pada pasien hipotensif, peninggian TIK ringan saja

    dapat berbahaya.

    Hal pertama yang harus dilakukan adalah pengaturan posisi. Kepala ditinggikan 15-

    300

    kecuali ada kontraindikasi oleh fraktur anggota badan atau gagal hepatorenal. Dalam

    satu pengamatan terhadap pasien koma hepatikum derajat 4, peninggian kepala kurang dari

    200

    berkaitan dengan peningkatan TIK, sementara peninggian kepala di atas 200

    berkaitan

    dengan peningkatan TIK dan penurunan TPS. Deserebrasi dan dekortikasi postur tubuh

    dapat meningkatkan TIK.

    Fleksi lutut merupakan kontraindikasi. Berdasarkan penelitian bahwa pasien yang

    beresiko terhadap peningkatan TIK patologis tidak boleh dibaringkan dalam posisisi fleksi

    leher atau kepala berputar ke salah satu sisi tubuh. Posisi ini membatasi aliran darah vena

  • dari kepala ke sistem jugularis interna dan fleksus vena vertebra, meningkatkan isi

    intrakranial total. Rotasi kepala ke kanan menyebabkan peningkatan TIK paling besar.

    Penatalaksanaan segera untuk mengurangi peningkatan TIK didasarkan pada

    penurunan ukuran otak dengan cara mengurangi edema serebral, mengurangi volume

    cairan serebrospinal (CSS), atau mengurangi volume darah sambil mempertahankan perfusi

    serebral. Tujuan ini diselesaikan dengan pemberian diuretic osmotic dan kortikostreroid,

    membatasi cairan, pengeluaran CSS, hiperventilasi dari pasien, mengontrol demam dan

    menurunkan kebutuhan metabolisme

    1) Menurunkan edema serebral : Diuretik osmotic (manitol, gliserol) dapat diberikan

    untuk mengeluarkan cairan otak dan mengurangi edema serebral. Tindakan ini bekerja

    dengan menarik air melewati membrane yang utuh, dengan demikian menurunkan

    volume otakdan cairan ekstraselular. Penggunaan kateter diuretic menetap untuk

    memantau urine yang keluar dan mengelola hasil dari dieresis. Bila pasien diberi

    diuretic osmotic maka osmolalitas serum harus diperiksauntuk pengkajian status

    dehidrasi. Kortikosteroid (seperti dexamethason) membantu menurunkan edema

    disekitar tumor otak bila tumor menyebabkan peningkatan TIK.

    2) Mempertahankan perfusi serebral : Darah yang dipompa jantung dipertahankan untuk

    memberikan perfusi otak yang adekuat. Perbaikan darah yang dikeluarkan jantung

    (curah jantung) adalah dengan menggunakan cairan agens inotropik, seperti dobutamin

    hidroklorida. Tidak efektifnya curah jantung mempengaruhi tekanan perfusi serebral.

    3) Menurunkan CSS dan Volume Darah : Drainase CSS sering dilakukan karena

    pengeluaran CSS meskipun sedikit langsung menurunkan tekanan intracranial dan

    memperbaiki tekanan perfusi serebral. Perawatan dilakukan pada saat pengeluaran

    CSS, karena bila pengeluaran CSS berlebihan dapat menyebabkan kolaps ventrikel.

    Hiperventilasi dengan menggunakan volume ventrilator resusitasi manual

    menghasilkan alkalosis respiratori, yang mempengaruhi terjadinya vasokontriksi

    serebral. Hasil kegiatan ini menurunkan volume darah serebral dan menurunkan TIK.

    Namun perlu dipertimbangkan dengan mengontrol dalam jangka pendek.

    4) Mengontrol demam : Kontrol suhu dilakukan dengan mencegah tingginya suhu, karena

    demam meningkatkan serebral dari ukuran bentuk edema serebral. Strategi dalam

    menurunkan suhu mencakup pemberian obat antibiotic dan menggunakan selimut

  • dingin. Suhu pasien dipantau ketat dan pasien diobservasi terhadap menggigil, yang

    harus dihindari karena hal itu meningkatkan tekanan intracranial. Klorpromazin

    (Thorazine) dapat digunakan untuk mengontrol menggigil.

    5) Menurunkan kebutuhan metabolism: Penurunan keburuhan metabolic selular dapat juga

    dilakukan melalui pemberian barbiturate dosis tinggi, bila pasien tidak responsive

    terhadap pengobatan konvensional. Mekanisme menurunkan tekanan intracranial

    dengan barbiturate, tanpa melindungi otak maka hasilnya pasien dalam keadaan koma

    sehingga dipikirkan untuk menurunkan kebutuhan metabolic otak, dan memberikan

    perlindungan. Metode penurunan metabolic selular lain dan perbaikan oksigenasi

    adalah pemebrian agens paralitik farmakologik (relaksan otot seperti pankuronium

    (Pavulon). Pasien yang diberi obat ini tidak dapat bergerak, yang menimbulkan

    penurunan kebutuhan kadar oksigen dalam sel. Karena pasien tidak dapat berespons

    atau melaporkan adanya nyeri, sedasi(obat penenang) dan analgesi dapat diberikan

    sejak pemberian obat obatan yang menyebabkan paralisis dan tidak memberikan obat

    obatan yang lain. Pasien yang mendapat barbiturate atau agens farmakologik yang

    bersifat paralisi dirawat pada unit perawatan kritis dan mendapat pemantauan

    kardiovaskuler, intubasi endotrakea, mesin ventilasi, pemantauan tekan intracranial dan

    pemantauan tekanan arteri. Pasien yang mendapat barbiturate juga membutuhkan

    pemantauan darah dan kadar barbiturate dalam serum.

    6) Mengevaluasi Paralisis Farmakologik. Tingkat paralisis farmakologik dapat dikaji

    dengan prosedur atau uji train of four. Prosedur ini menguji respon pasien terhadap

    empat impuls elektrik yang digunakan pada bagian saraf ulnar. Jika reseptor dalam

    sambungan neuro muscular secara total disaturasi yaitu beberapa reseptor mampu

    menerima impuls pasien akan menunjukkan gerakan kedutan ibu jari tangan. Pasien

    dengan ibu jari yang tidak mengalami tegangan disebut paralisis yang berlebihan dan

    agens paralisis tersebut harus diturunkan kadarnya sampai pasien emempunyai

    beberapa respons menegang. Selain respon kejang. Parameter penting yang harus dikaji

    mencakup tekanan darah, frekeuensi pernapasan dan respon terapi. Tingkat paralisis

    farmakologik diatur sesuai dengan respon kejang parameter dari pengkajian fisik

    (Smeltzer, 2002).

  • Pengelolaan Peninggian TIK

    1. Mulai terapi bila TIK mencapai 25 mmHg, atau lebih awal bila simtomatik

    - Periksa jalan nafas dan posisi kepala

    2. Terapi jalur pertama

    - Pertinggi ventilasi

    - Pengaliran CSS (melalui tekanan positif)

    - Frusemida (furosemida)

    - Mannitol, mulai dengan 0.5 g/kg berat badan dan

    - dosis dititrasi sesuai respons TIK

    - Periksa gas darah arterial, pikirkan CT ulang

    3. Terapi jalur kedua

    - Hiperventilasi manual

    - Barbiturat, salin hipertonik, gamma hidroksibutirat (Morton, 2012).

  • 2.11 WOC

    KLL

    Jatuh Dipukul

    Kejatuhan benda

    Kecelakaan

    kerja Cidera lahir

    Benda tajam,

    kena peluru

    Trauma tumpul Trauma tajam Trauma kepala

    Cedera kulit kepala Cedera tulang tengkorak Cedera serebral

    Abrasi, kontusio,

    laserasi, avulsi

    MK : Resiko

    infeksi

    Kontusio, komusio,

    hematom

    Jaringan sekitar tertekan

    Fraktur linear, depresi

    dan basis cranii

    MK : Nyeri

    Aliran darah otak

    Gangguan auto

    regulasi Robekan dan

    distorsi

    MK : Gangguan

    perfusi jaringan

    Gangguan pada cairan intra

    & ekstra sel (edema

    serebral)

    tekanan pada ruang kranium

    Hipoksia jaringan

    suplai darah ke area

    trauma (vasodilatasi)

    kesadaran

    Rusaknya jar.

    kepala

    As. Laktat

    Metabolisme anaerob

    Gangguan metabolisme

    (O2 & CO2 )

    Perdarahan Luka terbuka

    Edema cerebral

    Cedera

    sekunder

    Kerusakan

    sel otak

    Cedera primer

    reflek batuk

    Penumpukan sekret

    MK : Ketidakefektifan

    bersihan jalan nafas

  • TIK

    rangsang

    simpatis

    tahanan vaskuler

    sistemik & TD

    Edema paru MK : Perubahan

    nutrisi kurang dari

    kebutuhan

    Tekanan sistem pembuluh

    darah pulmonal

    Tekanan hidrostatik Mual, muntah

    sekresi asam

    lambung

    katekolamin

    Merangsang hipotalamus

    & stimulasi fagus

    MK : Gangguan

    keseimbangan

    cairan dan

    elektrolit

    Dehidrasi

    sekresi ADH

    Hipotalamus terfiksasi

    (diensefalon)

    Merangsang

    hipotalamus

    MK : Gangguan

    pertukaran gas

    Gangguan difusi O2 & CO2

    Disfungsi neuron motorik pada medula

    spinalis

    Kerusakan

    saraf motorik

    MK : Gangguan

    mobilitas fisik

    kekuatan &

    tahanan otot

    ekspansi paru

    MK : Pola

    nafas tidak

    efektif

  • BAB 3

    ASUHAN KEPERAWATAN

    Kasus

    An. K berjenis kelamin laki-laki usia 15 tahun datang ke IGD RSUD Sejahtera

    diantar oleh penolong. 1 jam SMRS klien mengalami kecelakaan lalu lintas, klien

    mengendarai motor bersama temannya dan klien tidak menggunakan helm. Tabrakan

    terjadi antara motor dengan mobil dari arah yang berlawanan. Klien terjatuh ke sebelah

    kanan dan kepala membentur trotoar. Saat tiba di RS klien tidak sadarkan diri dengan

    perdarahan pada kepala, terdapat deformitas tangan kiri, luka lecet dibawah lutut kanan,

    terdapat bula dikaki kanan. Muntah (+) 1kali darah (-). Keadaan umum klien lemah

    dengan tingkat kesadaran koma, TD = 130/110 mmHg, RR = 30 x/mnt, Nadi = 110x/mnt,

    suhu = 37,9 C.

    3.1 Pengkajian

    1) Identitas klien

    Nama : An. K

    Umur : 15 tahun

    Jenis Kelamin : Laki-laki

    Alamat : Jati

    Pekerjaan : Pelajar

    No RM : 735751

    MRS : 15 April 2014 Jam 23.00

    2) Keluhan utama : klien tidak sadar

    3) Riwayat kesehatan

    a. Riwayat kesehatan sekarang

    1 jam SMRS klien mengalami kecelakaan lalu lintas, klien mengendarai motor

    bersama temannya dan klien tidak menggunakan helm. Tabrakan terjadi antara motor

    dengan mobil dari arah yang berlawanan. Klien terjatuh ke sebelah kanan dan kepala

    membentur trotoar. Setelah kecelakaan tersebut klien tidak sadar lalu dibawa oleh

    penolong ke IGD RSUD Sejahtera. Saat tiba di RS klien tidak sadarkan diri dengan

  • perdarahan pada kepala, terdapat deformitas tangan kiri, luka lecet dibawah lutut

    kanan, terdapat bula dikaki kanan. Muntah (+) 1kali darah (-).

    b. Riwayat kesehatan dahulu

    Keluarga klien mengungkapkan bahwa kecelakaan ini merupakan pertama kali bagi

    klien. Klien tidak mempunyai riwayat penyakit hipertensi maupun DM.

    c. Riwayat kesehatan keluarga

    Keluarga mengatakan tidak ada yang mengalami kecelakaan seperti klien, selain itu

    dalam keluarga tidak mempunyai riwayat hipertensi, DM maupun penyakit jantung

    serta asma dan penyakit keturunan lainnya.

    4) Pemeriksaan penunjang

    a. Primary Survey

    - Airway : Jalan nafas tidak bersih terdapat sekret pada hidung dan mulut, Suara

    nafas stridor, Nafas cuping hidung, Pemasangan ET.

    - Breathing : Pernafasan lemah, Ekspansi dada tidak maksimal, Retraksi intercosta

    (+), RR : 30 x/mnt, Batuk (+), Auskultasi paru: ronchi

    - Circulation : TD : 130/110 mmHg, Nadi : 110 x/menit, suhu : 37,9C, sianosis (-),

    akral hangat, mukosa bibir kering.

    - Disability : kesadaran : koma, GCS= E1M1V1 = 3, Pupil anisokor, udem

    ekstremitas (-), kekuatan otot 1 1

    1 1

    - Exposure : tidak ada pakaian yang menghambat pergerakan dan pernapasan, klien

    diselimuti. Adanya perdarahan pada kepala, terdapat deformitas tangan kiri, luka

    lecet dibawah lutut kanan, terdapat bula dikaki kanan.

    d. Secondary Survey

    Anamnesis :

    A : Alergi : tidak ada

    M : Medikasi : tidak ada obat-obatan yang diminum saat ini

    P : Past Illness : tidak ada penyakit penyerta lainnya

    L : Last meal : -

    E : Event/environment : klien mengalami kecelakaan pada malam hari, di jalan raya

    yang cukup ramai

  • Pemeriksaan DECAPBLS

    Deformitas, (+) pada tangan kiri

    Ekskoriasi, (-)

    Contusio, (-)

    Abrasi, (+) dibawah lutut

    Penetrasi, (-)

    Bullae/Burn, (+) pada kaki kanan

    Laserasi, (-)

    Swelling/Sembab (-)

    5) Pemeriksaan fisik

    Keadaan umum : lemah

    Penurunan kesadaran (coma)

    TTV TD = 130/110 mmHg RR = 30 x/mnt

    Nadi = 110x/mnt suhu = 37,9 C

    Review of system:

    a. B1 ( Breathing )

    RR : 30 x/mnt, ekspansi dada tidak maksimal, pernafasan cepat, terdapat pernafasan

    cuping hidung, retraksi intercosta (+), batuk disertai sputum warna hijau. Taktil

    fremitus simetris antara kanan dan kiri, Sonor. Pada auskultasi didapatkan bunyi

    ronkhi pada kedua lobus paru.

    b. B2 (Blood)

    Bunyi jantung S1 dan S2 normal tanpa ada suara tambahan, tidak ada

    murmur/palpitasi.

    c. B3 (Brain)

    Klien tidak sadar, tidak ada respon meski dicubit, tidak ada suara, respon motorik

    tidak ada.

    d. B4 (Bladder)

    Elastisitas turgor baik, Mukosa bibir lembab, S : 37,9 C

    e. B5 (Bowel)

    Bentuknya simetris, Bising Usus (+) N, peristaltik (+), timpani

  • f. B6 (Bone)

    Warna kulit sawo matang, kekuatan otot 1/1.

    6) Analisa data

    Data Etiologi Masalah

    Ds : -

    Do : terdapat sekret pada

    hidung & mulut, stridor (+),

    nafas cuping hidung, batuk

    (+), ronchi (+), RR :

    30x/mnt, klien tidak

    sadarkan diri

    Cedera otak

    Aliran darah otak

    Hipoksia jaringan

    kesadaran

    Reflek batuk

    Penumpukan sekret

    Jalan nafas tidak efektif

    Bersihan jalan nafas tidak

    efektif

    Ds : -

    Do : klien mengalami

    penurunan kesadaran

    (koma), respon verbal,

    motorik maupun eye tidak

    ada, muntah (+), BP :

    130/110 mmHg, P : 110

    x/mnt, T : 37,9 C

    Cedera serebral

    Gangguan autoregulasi

    tekanan ruang kranium

    Aliran darah otak

    Gangguan perfusi

    Gangguan perfusi jaringan

    serebral

    Ds :