Top Banner
Asal Usul Nama Tempat di Jakarta Bab 1 PENDAHULUAN Kajian sejarah toponomi ini merupakan salah satu upaya dalam menjelaskan sejarah asal usul nama suatu tempat atau nama kampung yang ada di Jakarta. Ternyata setelah dilakukan penelitian, baik yang bersifat kajian arsip maupun berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa sesepuh dan nara sumber yang layak untuk itu, menyebutkan nama tempat dan nama kampung yang ada di Jakarta, tidak sekedar nama saja. Hampir semua nama yang dikaji pada pengkajian nama tempat dan kampung kali ini, mempunyai riwayat sendiri sendiri. Berdasarkan hasil kajian sejarah nama tempat dan kampung yang ada di Jakarta, dapat dikelompokkan asal usul nama tersebut sebagai berikut: 1. Nama tempat tersebut berdasarkan suatu peristiwa sejarah yang benar benar terjadi. Suatu peristiwa yang dianggap masyarakat setempat sangat penting dan selalu menjadi patokan atau dikaitkan dengan nama tempat peristiwa itu terjadi. 2. Nama tempat tersebut dikaitkan dengan vegetasi atau tumbuh tumbuhan yang banyak ditemukan disuatu tempat. Nama tumbuh tumbuhan yang banyak di suatu tempat, lama kelamaan menjadi nama tempat tersebut. 3. Nama tempat tersebut dikaitkan dengan nama seorang tokoh yang pernah bermukim atau yang memiliki tempat tersebut. Karena terkenalnya seseorang disuatu tempat, maka menyebabkan masyarakat lebih mengenal tokoh tersebut, lama kelamaan nama tokoh itu menjadi menjadi nama tempat dan sekaligus sebagai penanda tempat atau kampung. 4. Nama tempat tersebut dikaitkan dengan bentukan alam atau letak suatu ditempat tertentu. Masyarakat mengaitkan nama suatu tempat dengan bentukan alam yang khas di suatu tempat, 5. Nama suatu tempat atau kampung dikaitkan dengan konsentrasi sekelompok orang (pendatang) yang bermukim di suatu tempat tertentu. Masyarakat setempat mengaitkan nama suatu tempat dengan nama suku atau nama etnis ataupun nama tempat asal pendatang yang mendiami tempat tersebut. 6. Nama suatu tempat atau kampung dikaitkan dengan nama hewan atau nama binatang yang banyak ditemukan ditempat tersebut. ASAL USUL NAMA TEMPAT Ancol Kawasan ancol terletak disebelah timur Kota Tua Jakarta, sampai batas kompleks Pelabuhan Samudera Tanjungpriuk. Dewasa ini kawasan tersebut dijakdikan sebuah Kelurahan dengan nama yang sama, termasuk wilayah kecamatan Pademangan, Kotamadya Jakarta Utara. Ancol mengandung arti “tanah mendidih berpaya – paya” Dahulu, bila laut sedang pasang air payau kali Ancol berbalik kedarat menggenangi tanah sekitarnya sehingga
34

Asal Usul Nama Tempat di Jakarta

Oct 21, 2014

Download

News & Politics

Sebelum Anda "Download" Silahkan "Follow" atau Beri "Like" terlebih dahulu. Thx.

Bagi yang membutuhkan INHOUSE TRAINING, Silahkan Hubungi : 0878-7063-5053 (Fast Response). TARIF PELATIHAN SANGAT MURAH !!!
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Asal Usul Nama Tempat di Jakarta

Asal Usul Nama Tempat di Jakarta

Bab 1

PENDAHULUAN

Kajian sejarah toponomi ini merupakan salah satu upaya dalam menjelaskan sejarah

asal – usul nama suatu tempat atau nama kampung yang ada di Jakarta. Ternyata setelah

dilakukan penelitian, baik yang bersifat kajian arsip maupun berdasarkan hasil

wawancara dengan beberapa sesepuh dan nara sumber yang layak untuk itu,

menyebutkan nama tempat dan nama kampung yang ada di Jakarta, tidak sekedar nama

saja. Hampir semua nama yang dikaji pada pengkajian nama tempat dan kampung kali

ini, mempunyai riwayat sendiri – sendiri.

Berdasarkan hasil kajian sejarah nama tempat dan kampung yang ada di Jakarta,

dapat dikelompokkan asal – usul nama tersebut sebagai berikut:

1. Nama tempat tersebut berdasarkan suatu peristiwa sejarah yang benar – benar terjadi.

Suatu peristiwa yang dianggap masyarakat setempat sangat penting dan selalu

menjadi patokan atau dikaitkan dengan nama tempat peristiwa itu terjadi.

2. Nama tempat tersebut dikaitkan dengan vegetasi atau tumbuh – tumbuhan yang

banyak ditemukan disuatu tempat. Nama tumbuh – tumbuhan yang banyak di suatu

tempat, lama kelamaan menjadi nama tempat tersebut.

3. Nama tempat tersebut dikaitkan dengan nama seorang tokoh yang pernah bermukim

atau yang memiliki tempat tersebut. Karena terkenalnya seseorang disuatu tempat,

maka menyebabkan masyarakat lebih mengenal tokoh tersebut, lama kelamaan nama

tokoh itu menjadi menjadi nama tempat dan sekaligus sebagai penanda tempat atau

kampung.

4. Nama tempat tersebut dikaitkan dengan bentukan alam atau letak suatu ditempat

tertentu. Masyarakat mengaitkan nama suatu tempat dengan bentukan alam yang khas

di suatu tempat,

5. Nama suatu tempat atau kampung dikaitkan dengan konsentrasi sekelompok orang

(pendatang) yang bermukim di suatu tempat tertentu. Masyarakat setempat

mengaitkan nama suatu tempat dengan nama suku atau nama etnis ataupun nama

tempat asal pendatang yang mendiami tempat tersebut.

6. Nama suatu tempat atau kampung dikaitkan dengan nama hewan atau nama binatang

yang banyak ditemukan ditempat tersebut.

ASAL – USUL NAMA TEMPAT

Ancol

Kawasan ancol terletak disebelah timur Kota Tua Jakarta, sampai batas kompleks

Pelabuhan Samudera Tanjungpriuk. Dewasa ini kawasan tersebut dijakdikan sebuah

Kelurahan dengan nama yang sama, termasuk wilayah kecamatan Pademangan,

Kotamadya Jakarta Utara.

Ancol mengandung arti “tanah mendidih berpaya – paya” Dahulu, bila laut sedang

pasang air payau kali Ancol berbalik kedarat menggenangi tanah sekitarnya sehingga

Page 2: Asal Usul Nama Tempat di Jakarta

terasa asin. Wajarlah bila orang – orang Belanda zaman VOC menyebut kawasan tersebut

sebagai Zoutelande. “tanah asin” sebutan yang juga diberikan untuk kubu pertahanan

yang dibangun di situ pada tahun 1656(De Haan 1935:103 – 104).

Untuk menghubungkan Kota Batavia yang pada zaman itu berbenteng dengan kubu

tersebut, sebelumnya telah dibuat terusan, yaitu Terusan Ancol, yang sampai sekarang

masih dapat dilayari perahu. Kemudian dibangun pula jalan yang sejajar dengan terusan.

Pembuatan terusan, jalan dan kubu pertahanan di situ, karena dianggap srtategis

dalam dalam rangka pertahanan kota Batavia. Sifat strategis kawasan Ancol rupanya

sudah dirasakan pada masa agama Islam mulai tersebar didaerah pesisir Kerajaan Sunda.

Dalam Koropak 406, Carita Parahiyangan, Ancol disebut – sebut sebagai salah satu

medan perang disamping Kalapa Tanjung Wahanten (Banten) dan tempat – tempat

lainnya pada masa pemerintahan Surawisessa(1521 – 1535).

Angke

Merupakan sebutan sebuah kampung yang terkenal dengan mesjid tua yang

bernama Mesjid Al – Anwar, yang dibangun sekitar tahun 1714. Sekarang kampung

Angke, Kecamatan Tambora Jakarta Barat.

Asal – usul kata angke berasal dari bahasa Cina dengan dua suku kata, yaitu ang

yang artinya darah dan Ke yang artinya bangkai. Kampung ini dinamakan Angke karena

adanya peristiwa sejarah yang sangat berhubungan dengan sejarah kota Batavia. Pada

tahun 1740 ketika terjadi pemberontakan orang – orang Cina di Batavia, ribuan orang

Cina dibantai oleh Belanda.

Mayat orang – orang Cina yang bergelimpangan dibawa dan dihanyutkan ke kali

yang ada didekat peristiwa tersebut, sehingga kampung dan kali yang penuh dengan

mayat itu diganti penduduk dengan nama Kali Angke dan kampung Angke. Sebelum

peristiwa itu terjadi, kampung itu namanya adalah kampung Bebek, hal ini karena orang

Cina yang tinggal dikampung itu banyak yang berternak bebek.

Lokasi kampung bebek sangat strategis untuk memelihara bebek karena dekat

dengan sungai.

Batu Ampar

Batu Ampar yang merupakan bagian dari kawasan Condet, bahkan biasa disebut

Condet Batuampar, dewasa ini menjadi sebuah kelurahan, Kelurahan Batuampar,

Kecamatan Keramatjati, Kotamadya Jakarta Timur. Wilayah kelurahan Batuampar di

sebelah barat berbatasan dengan wilayah Kelurahan Balekambang, (lengkapnya Condet

Balekambang), yang dalam sejarahnya berkaitan satu sama lain.

Ada legenda yang melekat pada nama tempat tersebut sebagaimana diceritakan

oleh orang – orang tua di Condet kepada Ran Ramelan, penulis buku kecil berjudul

Condet, sebagai berikut.

Pada jaman dulu ada sepasang suami istri, namanya Pangeran Geger dan Nyai

Polong, memeliki beberapa orang anak. Salah seorang anaknya, perempuan, diberi nama

Siti Maemunah, terkenal sangat cantik. Waktu Maemunah sudah dewasa dilamar oleh

Pangeran Tenggara atau Tonggara asal Makasar yang tinggal di sebelah timur Condet,

untuk salah seorang anaknya, bernama Pangeran Astawana.

Supaya dibangunkan sebuah rumah dan sebuah tempat bersenang – senang di atas

empang, dekat kali Ciliwung, yang harus selesai dalam waktu satu malam. Permintaan itu

Page 3: Asal Usul Nama Tempat di Jakarta

disanggupi dan terbukti, menurut sahibulhikayat, esok harinya sudah tersedia rumah dan

sebuah bale di sebuah empang di pinggir kali Cliwung, sekaligus dihubungkan dengan

jalan yang diampari dengan batu, mulai dari tempat kediaman keluarga Pangeran

Tenggara . Demikianlah, menurut cerita, tempat yang dilalui jalan yang diampari batu itu

selanjutnya disebut Batuampar, dan bale (Balai) peristirahatan yang seolah – olah

mengambang di atas air kolam dijadikan nama tempat . Balekambang.

Pada awal abad keduapuluh di Batuampar terdapat perguruan silat yang

dipimpin antara lain oleh Maliki dan Modin (Pusponegoro, 1984, IV:295). Pada tahun

1986, seorang guru silat di Batuampar, Saaman, terpilih sebagai salah seorang tenaga

pengajar ilmu bela diri itu di Negeri Belanda, selama dua tahun. Tidak mustahil,

kemahiran Saaman sebagai pesilat, sehingga terpilih menjadi pengajar di mancanegara

itu, adalah kemahiran turun – temurun.

Betawi

Merupakan sebutan lain untuk kota Jakarta dan sekaligus sebutan untuk

masyarakat pribumi yang berdiam di Jakarta Asal – usul penyebutan nama Betawi ini ada

beberapa versi.

Versi pertama menyebutkan bahwa nama Betawi berasal dari pelesetan nama

Batavia. Nama Batavia berasal dari nama yang diberikan oleh J.P Coen untuk kota yang

harus dibangunnya pada awal kekuasaan VOC di Jakarta. Kota Batavia yang dibangun

Coen itu sekarang disebut Kota atau Kota lama Jakarta. Karena asing bagi masyarakat

pribumi dengan kata Batavia, maka sering dibaca dengan Betawi.

Versi kedua menyebutkan bahwa nama Betawi mempunyai sastra lisan yang

berawal dari peristiwa sejarah yang bermula dari penyerangan Sultan Agung (Mataram)

ke Kota berbenteng , Batavia. Karena dikepung berhari – hari dan sudah kehabisan

amunisi, maka anak buah (serdadu) J.P. Coen terpaksa membuat peluru meriam dari

kotoran manusia Kotoran manusia yang ditembakkan kepasukan Mataram itu

mendatangkan bau yang tidak sedap, secara spontan pasukan Mataram yang umumnya

adalah orang Jawa berteriak menyebut mambu tai….., mambu tai. Kemudian dalam

percakapan sehari – hari sering disebut Kota Batavia dengan kota bau tai dan selanjutnya

berubah dengan sebutan Betawi.

Bidaracina

Bidaracina dewasa ini menjadi nama sebuah kelurahan, kelurahan Bidaracina,

Kecamatan Jatinegara, Kotamadya Jakarta Timur.

Menurut beberapa informasi, kawasan tersebut dikenal dengan nama Bidaracina,

karena pada waktu terjadi pemberontakan orang – orang Cina di Batavia dan sekitarnya

terhadap Kompeni pada tahun 1740, ribuan dari mereka terbunuh mati, bermandi darah.

Di antaranya di tempat yang kemudian disebut Bidaracina itu.

Informasi tersebut tidak mustahil mengandung kebenaran walaupun

mengundang beberapa pertanyaan, kenapa hanya dikawasan itu yang disebut Bidaracina,

karena banyak orang Cina mati bermandikan darah?. Padahal peristiwa pembunuhan itu

konon terjadi di pelosok Kota Batavia dan sekitarnya. Kenapa tidak di sebut Cina

berdarah, sesuai dengan kaidah bahasa Melayu, yang kemudian berubah menjadi

cinabedara, selanjutnya menjadi cinabidara?

Page 4: Asal Usul Nama Tempat di Jakarta

Perkiraan lainnya, asal nama kawasan tersebut dari bidara yang ditanam oleh

orang Cina di situ. Bidara, atau bahasa ilmiahnya Zizyphus jujube Lam, famili Rhanneae,

adalah pohon yang kayunya cukup baik untuk bahan bangunan,. Akar dan kulitnya yang

rasanya pahit, mengandung obat penyembuh beberapa macam penyakit, termasuk sesak

nafas. Di ketiak dahannya biasa timbul gumpalan getah. Buahnya dapat dimakan (Fillet

1888:52)

Ada kaitannya dengan perkiraan tersebut, yaitu keterangan tentang adanya

seorang Cina yang mengikat kontrak yang aktanya dibuat oleh Notaris Reguleth

tertanggal 9 Oktober 1684, untuk menanami kawasan sekitar benteng Noordwijk dengan

pohon buah – buahan, termasuk pohon Bidara (De Haan 1911, (11):613). Walaupun di

luar kontrak tersebut, mungkin saja seorang Cina menanam bidara di tempat yang kini

dikenal dengan sebutan Bidaracina itu.

Cawang

Kawasan Cawang dewasa ini menjadi sebuah kelurahan Kelurahan Cawang,

Kecamatan Kramatjati, Kotamadya Jakarta Timur.

Nama kawasan tersebut berasal dari nama seorang Letnan Melayu yang

mengabdi kepada Kompeni, yang bermukim disitu bersama pasukan yang dipimpinnya,

bernama Enci Awang.(Awang, mungkin panggilan dari Anwar). Lama – kelamaan

sebutan Enci Awang berubah menjadi Cawang. Letnan Enci Awang adalah bawahan dari

Kapten Wan Abdul Bagus, yang bersama pasukannya bermukim dikawasan yang

sekarang dikenal dengan nama Kampung Melayu, sebelah selatan Jatinegara.

Kurang jelas, apakah sebagian atau seluruhnya, pada tahun 1759 Cawang sudah

menjadi milik Pieter van den Velde, di samping tanah – tanah miliknya yang lain seperti

Tanjungtimur atau Groeneveld, Cikeas, Pondokterong, Tanjungpriuk dan Cililitan (De

Haan, 1910:50).

Pada awal abad ke-20 Cawang pernah menjadi buah bibir, karena disana

bermukim seorang pesilat beraliran kebatinan, bernama Sairin, alias Bapak Cungok.

Sairin dituduh oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai dalang kerusuhan di Tangerang

pada tahun 1924. Di samping itu. Ia pun dinyatakan terlibat dalam pemberontakan

Entong Gendut, di Condet tahun 1916. Condet pada waktu itu termasuk bagian tanah

partikelir Tanjung Oost (Poesponegoro 1984, (IV):299 – 300).

Cijantung

Dewasa ini Cijantung menjadi nama sebuah kelurahan, Kelurahan Cijantung,

wilayah Kecamatan Pasarrebo, Kotamadya Jakarta Timur.

Namanya berasal dari nama sebuah anak sungai CiLiwung, yang berhulu di

Areman, dekat Kelapadua sekarang.

Pada pertengahan abad ketujuh belas kawasan itu sudah berpenghuni,

sebagaimana dilaporkan oleh Kapten Frederick H. Muller, yang memimpin ekspedisi

pasukan Kompeni pertama yang menjelajahi daerah sebelah selatan Meestercornelis,

yang hutannya sudah dibuka setahun sebelumnya oleh Cornelis Senen. Ekspedisi Muller

tersebut dilakukan karena terdorong oleh adanya berita – berita tentang adanya

gerombolan oarng- orang Mataram di daerah pedalaman, serta adanya jalan darat yang

biasa digunakan oleh orang – orang Banten ke Priangan, melalui Muaraberes, di tepi

sungai Ci Liwung.

Page 5: Asal Usul Nama Tempat di Jakarta

Perjalanan Kapten Muller dari kastil Batavia ke Cijantung, dimulai tanggal 4

Nopember 1657, bersama pasukannya yang terdiri atas 14 orang serdadu kulit putih dan

15 orang Mardijker, dipandu oleh 10 orang pribumi. Setelah berjalan selama tiga hari

dengan susah payah merambah hutan, menyusuri tepi Sungai Ci Liwung, barulah mereka

sampai di Cijantung yang di huni oleh 12 umpi di bawah pemimpinnya bernama

Prajawangsa (De Haan 1911, (II):24).

Mungkin sulit untuk dibayangkan, betapa lebatnya hutan antara Jatinegara

sampai Cijantung pada tahun 1657 itu, dibandingkan dengan keadaan dewasa ini.

Cililitan

Kawasan Cililitan dahulu terbentang dari sungai Ci Liwung di sebelah barat,

sampai sungai Ci Pinang di sebelah timur. Sebelah selatan berbatasan dengan kawasan

Kampung Makasar dan Condet. Di sebelah utara berbatasan dengan kawasan Cawang .

Bagian sebelah barat Jalan Dewi Sartika sekarang sebatas simpangan Jalan Kalibata,

biasa disebut Cililitan Kecil, sedangkan yang terletak disebelah timur Jalan Raya Bogor,

dikenal dengan nama Cililitan Besar. Dewasa ini nama Cililitan dijadikan nama

kelurahan, Kelurahan Cililitan, Kecamatan Kramatjati, Kotamadya Jakarta Timur.

Nama Cililitan diambil dari nama salah satu anak sungai Ci Cipinang. Dewasa ini

anak sungai tersebut sudah tidak ada lagi bekas – bekasnya. Kata ci, adalah bahasa

Sunda, mengandung arti “air sungai” Lilitan lengkapnya lilitan – kutu, adalah nama

semacam perdu yang bahasa ilmiahnya Pipturus velutinus Wedd., termasuk famili

Urticeae (Fillet 1888:201).

Pada pertengahan abad ke- 17 kawasan Cililitan merupakan bagian dari tanah

partikelir Tandjoeng Oost, ketika masih dimiliki oleh Pieter van der Velde (De Haan

1910:50). Kemudian beberapa kali berpindah pindah tangan. Sampai diganti namanya

menjadi lapangan Udara Halim Perdanakusumah. Lapangan udara tersebut biasa disebut

Lapangan Udara (vliegeld, kata orang Belanda) Cililitan.

Cilincing

Kawasan Cilincing terletak di sebelah timur Pelabuhan Samudera Tanjungpriuk,

dewasa ini menjadi sebuah kecamatan, Kecamatan Cilincing, termasuk wilayah

Kotamadya Jakarta Utara.

Nama Cilincing diambil dari nama anak sungai yang mengalir dari selatan

keutara, membelah kawasan tersebut. Cilincing mungkin lengkapnya berasal dari Ci

Calincing. Kata Ci, adalah bahasa sunda , yang artinya sungai, seperti Ci Tarum, Ci

Liwung, dan Ci Manuk.Cilincing adalah nama jenis pohon, sama dengan belimbing

wuluh, averhrhoa Carambola L. Termasuk famili Oxalideae (Fillet 1883 :292).

Walaupun letaknya cukup jauh untuk ukuran tiga abad yang lalu, ternyata

disana terdapat dua villa, tempat peristirahatan .Yang pertama adalah landhuis Cilincing

yang dibangun oleh Justinus Vinck pada tahun 1740 dan sampai sekarang masih dapat

dilihat, walaupun keadaannya tidak begitu menggembirakan. Dewasa ini bangunan

tersebut dihuni beberapa pensiunan anggota kepolisian, dan dikenal dengan sebutan

Rumah Veteran. Yang kedua adalah landhuis Vredestein yang dibangun oleh mantan

Gubernur Pantai Utara Jawa, Nicolaas Hartingh, pada tahun 1750. Landhuis yang kedua

itu sekarang sudah tidak ada bekas – bekasnya.

Page 6: Asal Usul Nama Tempat di Jakarta

Dalam sejarah Jakarta, Cilincing memegang peranan cukup penting, karena

disanalah pada tanggal 4 Agustus 1811 pasukan balatentara Inggris yang jumlahnya

hamper 12.000 orang, mendarat tanpa mendapat perlawanan dari pihak Belanda, yang

pada masa itu berada di bawah kekuasaan Perancis (J.R. van Diesen 1889:303).

Condet

Kawasan Condet meliputi tiga kelurahan, yaitu Kelurahan Batuampar, Kampung

Tengah (dahulu disebut Kampung Gedong), dan Balekambang termasuk wilayah

Kecamatan Kramatjati, Kotamadya Jakarta Timur.

Nama Condet berasal dari nama sebuah anak sungai Ci Liwung, yaitu Ci Ondet.

Ondet, atau ondeh, atau ondeh – ondeh, adalah nama pohon yang nama ilmiahnya

Antidesma diandrum Sprg.,termasuk famili Antidesmaeae (Fillet, 1888:128), semacam

pohon buni, yang buahnya biasa dimakan.

Data tertulis pertama yang menyinggung – nyinggung Condet adalah catatan

perjalanan Abraham van Riebeeck, waktu masih menjadi Direktur Jenderal VOC di

Batavia ( sebelum menjadi Gubernur Jendral ). Dalam catatan tersebut, pada tanggal 24

September 1709 Van Riebeck beserta rombongannya berjalan melalui anak sungai Ci

Ondet “Over mijin lant Paroeng Combale, Ratudjaja, Depok, Sringsing naar het hooft van

de spruijt Tsji Ondet”,..(De Haan 1911: 320).

Keterangan kedua terdapat dalam surat wasiat Pangeran Purbaya (tentang tokoh

ini dapat dilihat dalam tulisan ini pada entri: Kebantenan), yang dibuat sebelum

berangkat ke pembuangan di Nagapatman, disahkan oleh Notaris Reguleth tertanggal 25

April 1716. Dalam surat wasiat itu antara lain tertulis, bahwa Pangeran Purbaya

menghibahkan beberapa rumah dan sejumlah kerbau di Condet kepada anak – anak dan

istrinya yang ditinggalkan (De Haan, 1920:250).

Keterangan ketiga adalah Resolusi pimpinan Kompeni di Batavia tertanggal 8

Juni 1753, yaitu keputusan tentang penjualan tanah di Condet seluas 816 morgen (52.530

ha), seharga 800 ringgit kepada frederik willem Freijer. Kemudian kawasan Condet

menjadi bagian dari tanah partikelir Tandjoeng, Oost, atau Groeneveld (De Haan

1910:51).

Gambir

Sekarang kampung Gambir tinggal kenangan saja, yang tersisa adalah nama

Kelurahan Gambir dan nama Stasiun Gambir yang masih tertinggal pada salah satu

stasiun yang ada di wilayah Jakarta Pusat. Wilayah yang termasuk pada kawasan Gambir

batas – batasnya adalah: diutara jalan Veteran, di Selatan jalan Kebon Sirih, di Barat jalan

Mojopahit dan di Timur kali Ciliwung. Kata Gambir sudah dikenal sejak nama, sejak

kawasan ini mulai mengacu pada sebutan masyarakat lokal yang melihat banyaknya

pohon gambir yang tumbuh dikawasan ini.

Sebelum dikembangkan oleh Daendles sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda

di daerah baru yang disebutnya Weltevreden, sejarah kawasan ini telah dimulai sejak

tahun 1658 masih berupa daerah rawa – rawa dan padang ilalang. Oleh pemiliknya yang

bernama Anthony Paviljoen daerah ini telah mulai disewakan kepada masyarakat Cina

untuk digarap sebagai lahan pertanian tebu, pertanian sayur – sayuran dan sawah. Setelah

makin berkembang didaerah ini timbul pasar yang berlanjut terus sebagai pasar tempat

Page 7: Asal Usul Nama Tempat di Jakarta

memeperingati hari lahir ratu Belanda yang di adakan pasar malam setiap tahun. Pasar

yang tumbuh dan berkembang terus itu disebut pasar Gambir.

Setelah Daendels berkuasa dan memindahkan pusat pemerintahan dari Kota ke

Weltevreden yang dalam bahasa Belanda berarti tempat yang paling ideal sebagai lokasi

pemukiman (tempat yang nyaman), maka Belanda mulai membangun berbagai macam

sarana prasarana perkotaan di daerah baru ini. Salah satu sarana perkotaan yang terkenal

pada waktu itu adalah lapangan koningsplein yang disebut juga oleh masyarakat lokal

dengan nama lapangan Ikada (Ikatan Atletik Djakarta). Lapangan ini mengingatkan kita

pada peristiwa rapat raksasa rakyat Jakarta yang terjadi dilapangan IKADA ini. Pada

masa lalu, dilapangan ini terdapat perkumpulan olah raga dan yang paling terkenal adalah

Bataviaasche Sport Club (BSC) dan Batavia Buitenzorg Wedloop Societet (BBWS). BSC

adalah perkumpulan olahraga biasa dan BBWS adalah perkumpulan olah raga berkuda.

Setelah pembangunan Monumen Nasional (Monas) dimulai pada tahun 1962,

Lapangan Gambir dan perumahan Departemen Pekerjaan Umum (DPU), serta perumahan

Djawatan Kereta Api (DKA) ikut tergusur untuk ikut tergusur juga dan nama pasar

tersebut diabadikan pada lokasi Pekan Raya Jakarta (PRJ) di Kemayoran. Yang tersisa

dari kata Gambir untuk masa sekarang adalah nama stasiun Gambir dan nama Kelurahan

Gambir.

Glodok

Glogok dewasa ini dijadikan nama sebuah kelurahan di wilayah kecamatan

Tamansari, Kotamadya Jakarta Barat.

Mengenai asal – usul nama kawasan itu terdapat beberapa pendapat. Ada yang

mengatakan berasal dari kata grojok, onomatopi suara kucuran air dari pancuran.

Memang cukup masuk akal, karena di sana jaman dulu terdapat semacam waduk

penampungan air dari kali Ciliwung, yang dikucurkan dengan pancuran terbuat dari kayu

dari ketinggian kurang lebih 10 kaki. Kata grojok diucapkan oleh orang – orang.

Tionghoa totok, penduduk mayoritas kawasan itu jaman dulu berubah menjadi Glodok

sesuai dengan lidahnya.

Keterangan lainnya menyebutkan, bahwa kata glodok diambil dari sebutan

terhadap jembatan yang melintas Kali Besar (Ciliwung) di kawasan itu, yaitu jembatan

Glodok. Disebut demikian karena dahulu di ujungnya terdapat tangga – tangga menempel

pada tepi kali, yang biasa digunakan untuk mandi dan mencuci oleh penduduk di

sekitarnya. Dalam bahasa Sunda, tangga semacam itu disebut glodok, sama seperti

sebutan bagi tangga rumah.

Mandi di kali pada jaman dulu, bukan hanya kebiasaan orang bumiputra saja

melainkan menjadi kebiasaan umumnya penduduk, termasuk orang – orang Belanda yang

berkedudukan tinggi sekalipun ( De Haan, 1935: 193 dan 294).

Gondangdia

Merupakan nama kampung yang sekarang berada ditengah pemukiman elit

Menteng Jakarta Pusat. Nama Gondangdia cukup dikenal dikalangan masyarakat awam

di Jakarta karena sering disebut dalam lagu Betawi, Cikini sigondang dia, saya disini

karena dia. Batas – batas wilayah Gondangdia adalah:

- Sebelah Utara jalan K.H. Wahid Hasyim

- Sebelah Selatan Jalan Sutan Syahrir

Page 8: Asal Usul Nama Tempat di Jakarta

- Sebelah Barat kali Cideng

- Sebelah Timur jalan Rel Kereta Api.

Asal usul nama kampung Gondangdia ternyata ada beberapa versi, diantaranya

adalah:

1. Nama Gondangdia berasal dari nama pohon Gondang (sejenis pohon beringin) yang

tumbuh pada tanah basah atau berair. Kemungkinan pada masa lalu ada pohon Gondang

yang tumbuh di daerah ini.

2. Nama Gondangdia berasal dari nama binatang air sejenis keong Gondang. Yang

artinya keong besar. Kemungkinan pada masa lalu didaerah ini banyak terdapat keong

besar, sehingga masyarakat menyebut tempat ini dengan menyebut nama keong.

3. Nama Gondangdia berasal dari nama seorang kakek yang terkenal dan disegani oleh

masyarakat sekitar kampung. Kakek ini mempunyai nama kondang dan sering juga

dipanggil Kyai kondang Karena terkenal dikalangan masyarakat kampung, nama kakek

kondang sering disebut – sebut dan masyarakat sering mengaitkan nama tempat itu

dengan nama kakek, maka disebut dengan gondangdia (kakek dia yang tersohor).

Hek

Tempat yang terletak antara Kantor Kecamatan Kramatjati dan kantor Polisi Resor

Kramatjati, sekitar persimpangan dari jalan Raya Bogor ke Taman Mini Indonesia Indah

(TMII) terus ke Pondokgede, dikenal dengan nama Hek.

Rupanya, nama tersebut berasal dari bahasa Belanda. Menurut Kamus Umum

Bahasa Belanda – Indonesia (Wojowasito 1978:269), kata hek berarti pagar. Tetapi

menurut Verklarend Handwoordenboek der Nederlandse Taal (Koenen- Endpols,

1946:388), kata hek dapat juga berarti pintu pagar (“..raam-of traliewerk…”). Dari

seorang penduduk setempat yang sudah berumur lanjut, diperoleh keterangan, bahwa di

tempat itu dahulu memang ada pintu pagar, terbuat dari kayu bulat, ujung – ujungnya

diruncingkan, berengsel besi besar – besar, bercat hitam. Pintu itu digunakan sebagai

jalan keluar – masuk kompleks peternakan sapi, yang sekelilingnya berpagar kayu bulat.

Kompleks peternakan sapi itu dewasa ini menjadi kompleks Pemadam Kebakaran dan

Kompleks polisi Resort Keramatjati. Sampai tahun tujuh puluhan kompleks tersebut

masih biasa disebut budreh, ucapan penduduk umum untuk kata boerderij, yang berarti

kompleks pertanian dan atau peternakan.

Kompleks peternakan tersebut merupakan salah satu bagian dari Tanah Partikelir

Tanjoeng Oost, yang pada masa sebelum Perang Dunia Kedua terkenal akan hasil

peternakannya, terutama susu segar untuk konsumsi orang – orang Belanda di Batavia.

(Sumber: De Haan 1935: Van Diesen 1989).

Jalan Cengkeh

Jalan Cengkeh terletak di Kota Tua Jakarta sebelah utara Kantor Pos, di samping

sebelah timur Pasar Pisang.

Dahulu jaman penjajahan Belanda, Jalan itu bernama Princenstraat, tetapi umum

juga disebut Jalan Batutumbuh, mungkin karena disana terdapat batu bertulis. Kawasan

sekitar batu prasasti Puernawarman, di Tugu juga biasa disebut Kampung Batutumbuh.

Page 9: Asal Usul Nama Tempat di Jakarta

Pada tahun 1918, di dekat tikungan Jalan Cengkeh ke Jalan Kalibesar Timur,

yang waktu itu bernama Groenestraat, ditemukan batu bertulis peninggalan orang – orang

Portugis, yang biasa disebut padrao. Padrao itu dipancangkan oleh orang – orang

Portugis, menandai tempat akan dibangun sebuah benteng, sesuai dengan perjanjian yang

dibuat antara Raja Sunda dengan perutusan Portugis yang dipimpin oleh Henriquez de

Lemme, yang menurut Sukamto ditandatangani pada tanggal 21 Agustus 1522. Batu

bertulis itu diberi ukiran berupa lencana. Raja Immanuel. Rupanya de Leme beserta

rombongannya belum mengetahui bahwa raja Portugal tersebut telah meninggal tanggal

31 Desember 1521.

Dalam perjanjian tersebut disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng di

Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang dating akan diberi muatan lada

yang harus ditukar dengan barang – barang keperluan yang diminta oleh pihak Sunda.

Mulai saat benteng dibangun pihak Sunda akan menyerahkan 1.000 karung lada tiap

tahun untuk ditukarkan dengan barang – barang yang dibutuhkan (Sumber: Hageman

1867: Soekamto 1956: Danasasmita 1983)

Japat

Japat terletak di sebelah tenggara Pelabuhan Sunda Kalapa, termasuk wilayah

Kelurahan Ancol Utara, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara.

Nama kawasan tersebut berasal dari kata jaagpad. Ada yang mengatakan, kata

jaagpad berarti “Jalan setapak yang biasa digunakan untuk berburu” . Katanya jaag, dari

jagen, artinya “berburu” Pad, artinya “jalan setapak” padahal, kata jaagpad tidak ada

sangkut pautnya dengan berburu, melainkan sebuah istilah dalam pelayaran perahu. Pada

alur sungai atau terusan yang dangkal, perahu yang melaluinya baru dapat bergerak maju,

kalo ditarik. Pada jaman Kompeni Belanda, bahkan beberapa dasawarsa sebelum

pelabuhan Tanjungpriuk dibuat, kapal – kapal (layar) yang cukup besar bila berlabuh

dipelabuhan Batavia, yang sekarang menjadi Pelabuhan Sunda Kalapa, tidak merapat

seperti sekarang, melainkan biasa membuang sauh masih jauh dilaut lepas. Pengangkutan

orang dan barang dari kapal biasa dilakukan dengan perahu. Untuk mempermudah

pendaratan, di sebelah rimur Pelabuhan Sunda Kalapa sekarang dibuat terusan khusus

untuk perahu – perahu pendarat. Terutama di musim hujan, terusan tersebut biasa

menjadi dangkal, dipenuhi lumpur dari darat bercampur pasir dari laut sehingga perahu

kecil pun sulit melewatinya. Apalagi perahu besar, berlunas lebar, sarat muatan, agar bisa

bergerak maju harus dihela beberapa kuda atau sejumlah orang yang berjalan di depan

perahu, sebelah kiri dan kanan terusan.

Terusan tersebut diuruk pada abad ke- 19, sehingga sekarang sulit untuk

melacaknya. Yang tersisa hanya sebutannya jaagpad yang berubah menjadi japat, sebagai

nama dari kawasan tersebut.

Jatinegara

Jatinegara dewasa ini menjadi nama sebuah Kecamatan. Kecamatan Jatinegara,

Kotamadya Jakarta Timur, salah satu pusat Kota Jakarta yang multipusat itu.

Nama Jatinehara baru muncul pada kawasan tersebut, sejak tahun 1942, yaitu pada

awal masa pemerintahan pendudukan balatentara Jepang di Indonesia, sebagai pengganti

nama Meester Cornelis yang berbau Belanda.

Page 10: Asal Usul Nama Tempat di Jakarta

Sebutan Meester Cornelis mulai muncul ke pentas sejarah Kota Jakarta pada

pertengahan abad ke-17, dengan diberikannya izin pembukaan hutan dikawasan itu

kepada Cornelis Senen adalah seorang guru agama Kristen, berasal dari Lontor, pulau

Banda. Setelah tanah tumpah – darahnya dikuasai sepenuhnya oleh kompeni, pada tahun

1621 Senen mulai bermukim di Batavia, ditempatkan di kampung Bandan. Dengan tekun

ia mempelajari agama Kristen sehingga kemudian mampu mengajarkannya kepada kaum

sesukunya. Dia dikenal mampu berkhotbah baik dalam bahasa Melayu maupun dalam

bahasa Portugis (kreol) Sebagai guru, ia biasa dipanggil mester, yang berarti “tuan guru”.

Hutan yang dibukanya juga dikenal dengan sebutan Mester Cornelis, yang oleh orang –

orang pribumi biasa disingkat menjadi Mester. Bahkan sampai dewasa ini nama itu

nampaknya masih umum digunakan oleh penduduk Jakarta, termasuk oleh para

pengemudi angkot (angkutan kota).

Kawasan hutan yang dibuka oleh Mester Cornelis Senen itu lambat laun

berkembang menjadi satelit Kota Batavia. Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah

oleh Pemerintah Hindia Belanda dibentuklah Pemerintahan Gemeente (kotapraja)

Meester Cornelis, bersamaan dengan dibentuknya Gemeente Batavia. Kemudian, mulai

tanggal 1 Januari 1936 Gemeente Meester Cornelis digabungkan dengan Gemeente

Batavia.

Disamping kedudukannya sebagai gemeente, pada tahun 1924 Meester Cornelis

dijadikan nama kabupaten, Kabupaten Meester Cornelis, yang terbagi menjadi 4

kewedanaan, yaitu Kewedanaan Meester Cornelis, Kebayoran, Bekasi, dan Cikarang

(Kolonial Tidschrifft, Maart 1933:1).

Pada jaman Jepang pemerintah pendudukan jepang, nama Meester Cornelis

diganti menjadi Jatinegara, bersetatus sebagai sebuah Siku, setingkat kewedanaan,

bersama – sama dengan Penjaringan, Manggabesar, Tanjungpriuk, Tanahabang, Gambir,

dan Pasar Senen.

Ketika secara administrative Jakarta ditetapkan sebagai Kotapraja Jakarta Raya,

Jatinegara tidak lagi menjadi kewedanaan, karena kewedanaan dipindahkan ke

Matraman, dengan sebutan Kewedanaan Matraman. Jatinegara menjadi salah satu

wilayah Kecamatan Pulogadung, Kewedanaan Matraman (The Liang Gie 1958:144)

Jatinegara Kaum

Jatinegara Kaum dewasa ini menjadi sebuah kelurahan, Kelurahan Jatinegara

Kaum, Kecamatan Pulogadung, Kotamadya Jakarta Timur. Disebut Jatinegara Kaum,

karena di sana terdapat kaum, dalam hal ini rupanya kata kaum diambil dari bahasa

Sunda, yang berarti “tempat timggal penghulu agama beserta bawahannya” (Satjadibrata,

1949:149). Sampai tahun tigapuluh abad yang lalu, penduduk Jatinegara Kaum umumnya

berbahasa Sunda (Tideman 1933:10).

Dahulu Jatinegara kaum merupakan bagian dari kawasan Jatinegara yang

meliputi hamper seluruh wilayah Kecamatan Pulogadung sekarang. Bahkan di wilayah

Kecamatan Cakung sekarang, terdapat sebuah kelurahan yang bernama Jatinegara, yaitu

Kelurahan Jatinegara.

Dari mana asal nama Jatinegara serta kapan kawasan tersebut bernama

demikian, belum dapat dinyatakan dengan pasti. Yang jelas nama kawasan tersebut baru

disebut – sebut pada tahun 1665 dalam catatan harian (Dagh Register) Kastil Batavia,

waktu diserahkan kepada Pangeran Purbaya beserta para pengikutnya. Pangeran Purbaya

Page 11: Asal Usul Nama Tempat di Jakarta

adalah salah seorang putra Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan Banten yang digulingkan dari

tahtanya oleh putranya sendiri, Sultan Haji, dengan bantuan kompeni Belanda pada tahun

1682. Setelah tertawan, Pangeran Purbaya beserta saudara – saudaranya yang lain,

seperti Pangeran Sake dan Pangeran Sangiang, ditempatkan di dalam benteng Batavia.

Kemudian , ditugaskan untuk memimpin para pengikutnya, yang ditempatkan

dibeberapa tempat, seperti Kebantenan, Jatinegara, Cikeas, Citeurep, Ciluwar, dan

Cikalong.

Orang – orang Banten yang bermukim di Jatinegara, awalnya dipimpin oleh

Pangeran Sangiang. Karena dianggap terlibat dalam pemberontakan Kapten Jonker,

kekuasaan Pangeran Sangiang di Jatinegara ditarik kembali, dan pada tahun 1680

diserahkan kepada Kiai aria Surawinata, mantan bupati Sampora, kesultanan Banten

(T.B.G. XXX:138) yang setelah menyerah kepada kompeni diangkat menjadi Letnan, di

bawah Pangeran Sangiang. Sampai tahun 1689.Surawinata masih bermukim di

Luarbatang . Setelah Kiai Aria Surawinata wafat, berdasarkan putusan Pimpinan

Kompeni Belanda di Batavia tertanggal 27 Oktober 1699, sebagai penggantinya adalah

putranya, Mas Muahmmad yang Panca wafat, sebagai penggantinya ditunjuk salah

seorang putranya, Mas Ahmad. Pada waktu para bupati Kompeni diwajibkan untuk

menanam kopi di wilayahnya masing – masing, penyerahan hasil pertanian itu dari tahun

1721 sampai dengan tahun 1723. tercatat atas nama Mas Panca. Baru pada tahun 1724

tercatat atas nama Mas Ahmad. Pada tahun 1740 rupanya Mas Ahmad masih menjadi

bupati Jatinegara atas nama Mas Ahmad berjumlah 2.372,5 pikul, kurang lebih 14.650

kg.

Kebantenan

Kawasan Kebantenan, atau kebantenan, dewasa ini termasuk wilayah

Kelurahan Semper Timur, Kecamatan Cilincing, Kotamadya Jakarta Utara.

Dikenal dengan sebutan Kebantenan, karena kawasan itu sejak tahun 1685

dijadikan salah satu tempat pemukiman orang – orang Banten, dibawah pimpinan

Pangeran Purbaya, salah seorang putra Sultan Ageng Tirtayasa. Tentang keberadaan

orang – orang Banten dikawasan tersebut, sekilas dapat diterangkan sebagai berikut.

Setelah Sultan Haji (Abu Nasir Abdul Qohar ) mendapat bantuan kompeni yang

antara lain melibatkan Kapten Jonker, Sultan Ageng Tirtayasa terdesak, sampai terpaksa

meninggalkan Banten, bersama keluarga dan abdi – abdinya yang masih setia kepadanya.

Mereka berpencar, tetapi kemudian terpaksa mereka menyerahkan diri, Sultan Ageng di

sekitar Ciampea, Pangeran Purbaya di Cikalong kepada Letnan Untung (Untung

Surapati).

Di Batavia awalnya mereka ditempatkan didalam lingkungan benteng. Kemudian

Pangeran Purbaya beserta keluarga dan abdi – abdinya diberi tempat pemukiman, yaitu

di Kebantenan, Jatinegara, Condet, Citeureup, dan Cikalong.

Karena dituduh terlibat dalam gerakan Kapten Jonker, Pangeran Purbaya dan

adiknya. Pangeran Sake, pada tanggal 4 Mei 1716 diberangkatkan ke Srilangka, sebagai

orang buangan. Baru pada tahun 1730 kedua kakak beradik itu diizinkan kembali ke

Batavia. Pangeran Purbaya meninggal dunia di Batavia tanggal 18 Maret 1732.

Perlu dikemukakan, bahwa disamping Kabantenan di Jakarta Utara itu, ada pula

Kabantenan yang terletak antara Cikeas dengan Kali Sunter, sebelah tenggara Jatinegara,

atau sebelah barat daya Kota Bekasi. Di salah satu rumah tempat kediaman Pangeran

Page 12: Asal Usul Nama Tempat di Jakarta

Purbaya yang berada di baratdaya Bekasi itu ditemukan lima buah prasasti berhuruf

Sunda kuno, peninggalan jaman kerajaan Sunda, yang ternyata dapat sedikit membuka

tabir kegelapan Sejarah Jawa Barat.

Kampung Ambon

Merupakan penyebutan nama tempat yang ada di Rawamangun, Jakarta Timur.

Nama ini sudah ada sejak tahun 1619. Pada waktu itu JP. Coen sebagai Gubernur

Jenderal VOC menghadapi persaingan dagang dengan Inggris. Untuk memperkuat

angkatan perang VOC, Coen pergi ke Ambon mencari bantuan dengan menambah

pasukan dari masyarakat Ambon. Pasukan Ambon yang dibawa Coen dimukimkan orang

Ambon itu lalu kita kenal sebagai kampung Ambom, terletak didaerah Rawamangun,

Jakarta Timur.

Kampung Bali

Di wilayah Propinsi DKI Jakarta terdapat beberapa kampung yang menyandang

nama Kampung Bali, karena pada abad ketujuhbelas atau kedelapanbelas dijadikan

pemukiman orang – orang Bali, yang masing – masing dipimpin kelompok etnisnya.

Untuk membedakan satu sama lainnya, dewasa ini biasa dilengkapi dengan nama

kawasan tertentu yang berdekatan, yang cukup banyak dikenal. Seperti Kampung Bali

dekat Jatinegara yang dulu bernama Meester Corornelis, disebut Balimester, Kecamatan

Jatinegara, Kotamadya Jakarta Timur.

Balimester tercatat sebagai perkampungan orang – orang Bali sejak tahun 1667.

Kampung Bali Krukut, terletak di sebelah barat Jalan Gajahmada sekarang yang

dahulu bernama Molenvliet West. Di sebelah selatan, perkampungan itu berbatasan

dengan tanah milik Gubernur Reineir de Klerk (1777 – 1780), dimana dibangun sebuah

gedung peristirahatan, yang dewasa ini dijadikan Gedung Arsip Nasional.

Kampung Bali Angke sekarang menjadi kelurahan Angke, Kecamatan Tambora

Jakarta Barat. Disana terdapat sebuah masjid tua, yang menurut prasasti yang terdapat di

dalamnya, dibangun pada 25 Sya‟ban 1174 atau 2 April 1761. Dihalaman depan masjid

itu terdapat kuburan antara lain makam Pangeran Syarif Hamid dari Pontianak yang

riwayat hidupnya ditulis di Koran Javabode tanggal 17 Juli 1858. Dewasa ini mesjid

tersebut biasa disebut Masjid Al- Anwar atau Masjid Angke.

Pada tahun 1709 di kawasan itu mulai pula bermukim orang – orang Bali di bawah

pimpinan Gusti Ketut Badulu, yang pemukimannya berseberangan dengan pemukiman

orang – orang Bugis di sebelah utara Bacherachtsgrach, atau Jalan Pangeran Tubagus

Angke sekarang . Perkumpulan itu dahulu dikenal dengan sebutan Kampung Gusti

(Bahan: De Haan 1935,(I), (II):Van Diesen 1989).

Kampung Bandan

Merupakan penyebutan nama Kampung yang berada dekat pelabuhan Sunda

Kelapa atau masih dalam Kawasan Kota Lama Jakarta (Batavia) Berdasarkan informasi

yang dapat dikumpulkan terdapat beberapa versi asal – usul nama Kampung Bandan.

1- Bandan berasal dari kata Banda yang berarti nama pulau yang ada di daerah

Maluku. Kemungkinan besar pada masa lalu ( periode kota Batavia) daerah ini

pernah dihuni oleh masyarakat yang berasal dari Banda. Penyebutan ini sangatlah

lazim karena untuk kasus lain ada kemiripannya, seperti penyebutan nama

Page 13: Asal Usul Nama Tempat di Jakarta

kampung Cina disebut Pecinan. Tempat memungut pajak atau cukai (bea) disebut

Pabean dan Pekojan sebagai perkampungan orang Koja (arab), dan lain – lain.

2- Banda berasal dari kata Banda ( bahasa Jawa) yang berarti ikatan Kata Banda

dengan tambahan awalan di (dibanda) mempunyai arti pasif yaitu diikat. Hal ini

dapat dihubungkan dengan adanya peristiwa yang sering dilihat masyarakat pada

periode Jepang, yaitu pasukan Jepang membaw pemberontak dengan tangan

terikat melewati kampung ini menuju Ancol untuk dilakukan eksekusi bagi

pemberontak tersebut.

3- Banda merupakan perubahan ucapan dari kataPandan. Pada masa lalu di kampung

ini banyak tumbuh pohon, sehingga masyarakat menyebutnya dengan nama

Kampung Pandan

Kampung Bugis

Tempat – tempat atau kawasan yang bernama atau pernah disebut Kampung Bugis

awalnya dijadikan perkampungan atau pemukiman sekelompok orang – orang Bugis.

Salah satunya adalah Kampung Bugis di Kelurahan Penjaringan. Kotamadya Jakarta

Utara.

Kampung Bugis yang terletak di sebelah utara Jalan Pangeran Tubagus Angke,

seberang Kampung Gusti, yang dahulu menjadi tempat pemukiman orang – orang Bali

dibawah pimpinan Gusti Ktut Badalu, pada tahun 1687 secara resmi diserahkan oleh

pimpinanVOC di Batavia kepada Aru Palaka dari Kerajaan Sopeng Sulawesi Selatan.

Aru Palaka rupanya memilih menjadi sekutu Kompeni daripada bersatu dengan Kerajaan

Gowa dibawah pimpinan Sultan Hasannudin.

Kampung Bugis yang terletak di sebelah utara Jalan Pangeran Jayakarta, sebelah

barat tahun 1690, sama seperti Kampung Bugis yang terletak di dekat Patuakan, di ujung

sebelah utara Jembatan lima.

Tidak semua pemukiman kelompok orang – orang Bugis dinamai Kampung Bugis.

Kawasan disebelah utara Tanah Abang yang dahulu dijadikan pemukiman orang – orang

Bugis dibawah pimpinan Aru Patuju dikenal dengan sebutan Petojo.

Kampung Gedong

Diwesa ini kawasan Kampung Gedong mejadi sebuah kelurahan. Kelurahan

Tengah, termasuk wilayah Kecamatan Kramatjati, Kotamadya Jakarta Timur.

Sebutan Kampung Gedong bagi kawasan tersebut, karena di sana berdiri sebuah

gedung peristirahatan (landhuis) tuan tana, pemilik tanah partikelir Tanjoeng Oost

(Tanjung Timur). Gedung beserta halamannya yang sangat luas. Oleh pemiliknya dahulu

diberi nama Goeneveld, yang berarti lapangan hijau, sesuai dengan panorama

sekelilingnya yang hijau royo – royo. Dari gedung itu sampai tempat yang sekarang

menjadi perempatan Pasar Rebo, Jalan Raya Bogor, terbentang jalan yang dahulu kanan

kirinya ditanam pohon asem (Tamarindus indica), menambah keasrian pemandangan

sekitarnya.

Tuan tanah pertama dari kawasan itu adalah Pieter van de Velde asal Amersfoort,

yang pada pertengahan abad ke-18 berhasil memupuk kekayaan berkat berbagai

kedudukannya yang selalu menguntungkan. Setelah peristiwa pemberontakan Cina pada

tahun 1740, dia berhasil mengusai tanah – tanah Kapten Ni Hu-Kong, yang terletak di

selatan Meester Cornelis (sekarang Jatinegara) sebelah timur Sungai Ciliwung. Kemudian

Page 14: Asal Usul Nama Tempat di Jakarta

di tambah dengan tanah – tanah lainnya yang di belinya sekitar tahun 1750, maka

terbentuklah Tanah Partikelir Tanjoeng Oost. Di situ ia membangun gedung tersebut

selesai dibangun. Pemilik kedua adalah Adrian Jubels. Setelah ia meninggal pada tahun

1763, Tanah tanjung Oost dibeli oleh Jacobus Johannes Craan, yang terkenal dengan

seleranya yang tinggi. Pemilik baru itu mendandani gedung peristirahatan dengan

dekorasi berlanggam Lodewijk XV, ditambah dengan hiasan – hiasan yang bersuasana

Cina. Sampai terbakar pada tahun 1985 sebagian dari ukiran – ukiran penghias gedung itu

masih dapat disaksikan.

Setelah Craan meninggal, Tanjoeng Oost dibeli oleh menantunya Willem Vincent

Helvetius van Riemsdjik, putra Gubernur Jendral Jeremies van Riemsdjik (1775 – 1777).

Sampai pecahnya Perang Dunia Kedua, gedung Groeneveld dikuasai turun-

temurun oleh para ahli warisnya, keturunan Vincent Helvetius van Riemsdjik.

Willem Vincent Helvetius sendiri sejak muda sudah menduduki jabatan yang

menguntungkan, antara lain pada usia 17 tahun sudah menjabat sebagai administrator

Pulau Onrust, jabatan yang menjadi incaran banyak orang, karena konon sangat “basah”

banyak memberi kesempatan untuk memupuk kekayaan. Kedudukan ayahnya sebagai

gubernur Jenderal dimanfaatkan dengan sangat baik, sehingga kekayaannya makin

berkembang. Pada tahun sembilanpuluhan abad ke-18, tanah – tanah miliknya tersebar

antara lain di Tanahabang, Cibinong, Cimanggis, Ciampea, Cibungbulan, Sadeng, dan

dengan sendirinya Tandkoeng Oost atau Tanjung Timur.

Tanjung Timur mengalami perkembangan yang sangat pesat pada waktu

dikuasai oleh Daniel Cornelius Helvetius, yang berusaha menggalakkan pertanian dan

peternakan. Setelah ia meninggal pada tahun 1860, Groeneveld menjadi milik putrinya

yang bernama, Dina Cornelia, yang menikah dengan Tjalling Ament, asal Kota Dokkum,

Belanda Utara. Ament melanjutkan usaha mertuanya, meningkatkan usaha pertanian dan

peternakan. Pada pertengahan abad ke-19, di kawasan TanjungTimur dipelihara lebih dari

6000 ekor sapi. Produksi susunya sangat terkenal di Batavia.

Sampai tahun 1942 Groeneveld turun – temurun dihuni keturunan Van

Riemsdjik, dan kawasan itu sampai sekarang disebut Kampung Gedong

(Sumber: De Haan 1910:1911: Van Diesen 1989).

Kampung Jembatan Lima

Kampung Jembatan Lima merupakan nama kampung yang sekaligus nama

kelurahan yang ada di wilayah Jakarta Barat. Asal – usul nama kampung Jembatan Lima

berasal dari adanya lima jembatan yang ada di daerah tersebut, jembatan itu adalah:

- Jembatan yang ada di Jalan Petak Serani (Jl. Hasyim Ashari)

- Jembatan yang ada di dekat bioskop Deni (Jembatan Kedung)

- Jembatan yang ada di Kampung Mesjid ( Jl. Sawah Lio2)

- Jembatan yang ada di Kampung Sawah, gang Guru Mansur (Sawah Lio 1)

Kelima jembatan itu sekarang sudah tidak ada, begitu juga dengan sungainya sudah

tidak ada, karena sudah ditutup (diuruk).

Kampung Makasar

Page 15: Asal Usul Nama Tempat di Jakarta

Kawasan yang dahulu termasuk Kampung Makasar dewasa ini meliputi wilayah

kelurahan Makasar dan sebagian dari wilayah Kelurahan Kebon Pala, Kecamatan Kramat

Jati, Kotamadya Jakarta Timur.

Disebut Kampung Makasar, karena sejak tahun 1686 dijadikan tempat

pemukiman orang – orang Makasar, di bawah pimpinan Kapten Daeng Matara (De Haan

1935:373).

Mereka adalah bekas tawanan perang yang dibawa ke Batavia setelah Kerajaan

Gowa, dibawah Sultan Hasanuddin tunduk kepada Kompeni yang sepenuhnya dibantu

oleh Kerajaan Bone dan Soppeng (Colenbrander 1925, (II):168: Poesponegoro 1984,

(IV):208). Pada awalnya mereka di Batavia diperlukan sebagai budak, kemudian

dijadikan pasukan bantuan, dan dilibatkan dalam berbagai peperangan yang dilakukan

oleh Kompeni. Pada tahun 1673 mereka ditempatkan di sebelah utara Amanusgracht,

yang kemudian dikenal dengan sebutan Kampung Baru (De Haan 1935:373).

Mungkin merasa bukan bidangnya, tanah di Kampung Makasar yang

diperuntukan bagi mereka itu tidak mereka garap sendiri melainkan di sewakan kepada

pihak ketiga, akhirnya jatuh ketangan Frederik Willem Preyer (De Haan 1935:373;

1910:57).

Salah seorang putrid Daeng Matara menjadi istri Pangeran Purbaya dari Banten

yang memiliki beberapa rumah dan ternak di Condet, yang terletak disebelah barat

Kampung Makasar (De Haan 1910:253).

Perlu dikemukakan, bahwa pada tahun 1810 pasukan orang – orang Makasar

oleh Daendles secara administrative digabungkan dengan pasukan orang – orang Bugis

(De Haan 1925:373).

Pada awal abad keduapuluhan, menjadi milik keluarga Rollinson (Poesponegoro

1986, (IV):295), “… tanggal 5 April (1916, pen.), yaitu ketika Entong Gendut memimpin

gerombolan orang – orang berkerumun di depan Villa Nova, rumah Lady Rollinson,

pemilik tanah partikelir Cililitan Besar”

Kampung Melayu

Kawasan Kampung Melayu merupakan wilayah Kelurahan Kampung Melayu

dan sebagian dari wilayah Kelurahan Balimester, Kecamatan Jatinegara, Kotamadya

Jakarta Timur.

Kawasan tersebut dikenal dengan sebutan demikian, karena mulai paro kedua

abad ke- 17 dijadikan tempat pemukiman orang –orang Malayu yang berasal dari

Semenanjung Malaka (sekarang Malaysia) dibawah pimpinan Kapten Wan Abdul Bagus.

Wan Abdul Bagus adalah anak Ence Bagus, kelahiran Patani, Thailand Selatan.

Ia terkenal pada jamannya sebagai orang yang cerdas dan piawai dalam melaksanakan

tugas, baik administratif maupun di lapangan sebagai perwira. Boleh dikatakan selama

hidupnya ia membaktikan diri pada Kompeni. Dimulai sebagai juru tulis, kemudian

menduduki berbagai jabatan, seperti juru bahasa, bahkan sebagai duta atau utusan.

Sebagai seorang pria dia sering terlibat dalam peperangan seperti di Jawa Tengah, pada

waktu Kompeni “membantu” Mataram menghadapi Pangeran Trunojoyo. Demikian pula

pada perang Banten, ketika kompeni “membantu “ Sultan Haji menghadapi ayahnya

sendiri Sultan Ageng Tirtayasa. Waktu menghadapi pemberontakan Jonker, Kapten Wan

Abdul Bagus terluka cukup parah. Menjelang akhir hayatnya ia dipercaya oleh Kompeni

untuk bertindak selaku Regeringscommisaris, semacam duta, ke Sumatera Barat.

Page 16: Asal Usul Nama Tempat di Jakarta

Kapten Wan Abdul Bagus meninggal dunia tahun 1716, ketika usianya genap 90

tahun. Kedudukannya sebagai kapten orang – orang Melayu digantikan oleh putranya

yang tidak resmi, Wandullah, karena ahli waris tunggalnya, Wan Mohammad, meninggal

dunia mendahului ayahnya. Menurut F. De Haan, Ratu Syarifah Fatimah, yang kemudian

terkenal karena membuat Kesultanan Banten geger, adalah janda dari Wan Mohammad,

jadi mantunya Wan Abdul Bagus.

Karet Tengsin

Marupakan nama kampung yang ada disekitar kampung Tanah Abang. Nama ini

berasal dari nama orang Cina yang kaya raya dan baik hati. Orang itu bernama Tan Teng

Sien . Karena baik hati dan selalu memberi bantuan kepada masyarakat sekitar kampung,

maka Teng Sien cepat dikenal. Disekitar daerah ini pada waktu itu banyak tumbuh pohon

karet karena masih berupa hutan. Pada waktu Ten Sien meninggal, banyak masyarakat

yang dating melayat. Bahkan ada yang dating dari luar Jakarta, seperti dari Jawa Tengah

dan Jawa Timur Teng Sien dikenal oleh masyarakat sekitar dan selalu menyebut daerah

itu sebagai daerah Teng Sien. Karena pada waktu itu banyak pohon karet, maka daerah

ini terkenal sampai sekarang dengan nama Karet Tengsin.

Kebayoran

Kawasan Kebayoran dewasa ini terbagi menjadi dua buah kecamatan, Kecamatan

Kebayoran Baru dan Kebayoran Lama, Kotamadya Jakarta Selatan.

Kebayoran berasal dari kata kabayuran, yang artinya “tempat penimbunan kayu

bayur” (Acer Laurinum Hask., famili Acerinae), yang sangat baik untuk dijadikan kayu

bangunan karena kekuatannya serta tahan terhadap serangan rayap (fillet 1888: 40).

Bukan hanya kayu bayur yang biasa ditimbun dikawasan itu pada jaman dulu, melainkan

juga jenis – jenis kayu lainnya. Kayu – kayu gelondongan yang dihasilkan kawasan

tersebut dan sekitarnya diangkut ke Batavia melalui Kali Krukut dan Kali Grogol, dengan

cara dihanyutkan. Berbeda dengan keadaan sekarang, kedua sungai tersebut pada jaman

itu cukup lebar dan berair dalam.

Sampai awal masa kemerdekaan Indonesia, Kebayoran menjadi nama sebuah

distrik, yang dikepalai oleh seorang wedana, termasuk wilayah Kabupaten Meester

Cornelis. Wilayahnya meliputi pula kawasan Ciputat.

Sekitar tahun 1938 di kawasan Kebayoran direncanakan akan dibangun sebuah

lapangan terbang internasional, namun dibatalkan karena pecah Perang Dunia Kedua.

Kemudian, mulai tahun 1949 di tempat yang direncanakan untuk lapangan terbang itu

dibangunlah Kota Satelit Kebayoran Baru, meliputi areal seluas 730 ha, yang menurut

rencana cukup untuk dihuni oleh 100.000 jiwa, suatu jumlah yang jauh dari sesuai

dengan perkembangan penduduk Jakarta kemudian hari (Surjomiharjo 1973:37).

Kebon sirih

Kawasan Kebonsirih dewasa ini menjadi nama kelurahan, Kelurahan Kebon

Sirih, termasuk wilayah Kecamatan Gambir, Kotamadya Jakarta Pusat.

Dari namanya sudah dapat diperkirakan, kawasan itu dahulu merupakan kebon

sirih. Tanaman merambat, yang dalam bahasa ilmiahnya disebut Chavica densa Miq.,

termasuk famili Piperaceae, itu sampai masa – masa yang belum begitu lama berselang

sangat digemari banyak orang untuk dikunyah – kunyah, istilahnya: makan sirih.

Page 17: Asal Usul Nama Tempat di Jakarta

Kelengkapannya antara lain, adalah kapur (sirih), pinang dan gambir. Dewasa ini sirih

lebih banyak digunakan sebagai pelengkap upacara termasuk upacara ngelamar.

Belum diperoleh keterangan yang lebih jelas, apakah kawasan tersebut dijadikan

Kebun Sirih sebelum atau sesudah dibangunnya defensilijn (garis pertahanan) Van de

Bosch pada awal abad kesembilanbelas.

Sekitar pertengahan abad kesembilanbelas Jalan Kebonsirih oleh orang – orang

Belanda biasa disebut: de nieuwe weg achter het koningsplein, atau “alam baru di

belakang koningsplein”. Kemudian, karena di sana tinggal seorang hartawan yang

dermawan, bernama K.F. Holle, mula- mula biasa pula disebut Gang Holle, kemudian

berkembang sesuai dengan perkembangannya menjadi Laan Holle walau nama resminya

Sterreweg. (De Haan 1935:322).

Kemayoran

Kawasan Kemayoran dewasa ini meliputi tiga kelurahan, yaitu Kelurahan

Kemayoran, Kebon Kosong dan Serdang, termasuk wilayah Kecamatan Kemayoran,

Kotamadya Jakarta Pusat.

Nama Kawasan tersebut biasa disebut Mayoran, seperti yang tercantum dalam

Plakaatboek (Van der Chijs XIV:536), dan sebuah iklan pada Java Government Gazette

24 Februari 1816.

Isaac de Saint Martin tergolong pemilik tanah yang sangat luas tersebar di

beberapa tempat, antara lain di pinggir sebelah timur sungai Bekasi, di Cinere (dahulu

disebut Ci Kanyere) sebelah timur Sungai Krukut di Tegalangus dan di kawasan Ancol,

yang luas seluruhnya berjumlah ribuan hektar. Nama aslinya, adalah Isaac de I‟ Ostale de

Saint Martin, lahir tahun 1629 di Oleron, Bearn, Prancis. Karena sesuatu sebab ia

meninggalkan tanah airnya, dan membaktikan dirinya kepada VOC. Pada tahun 1662 ia

tercatat sudah berpangkat Letnan, ikut serta dalam peperangan di Cochin. Dengan

pangkat mayor ia terlibat dalam peperangan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, ketika

Kompeni “membantu” Mataram menghadapi Pangeran Trunojoyo. Pada bulan Maret

1682 ia, bersama Kapten Tack, ditugaskan untuk “ membantu” Sultan Haji menghadapi

ayahnya Sultan Ageng Tirtayasa. Pada waktu berlangsungnya perang itu, ia mulai merasa

benci kepada Kapten Jonker, yang dianggapnya arogan. Demikianlah, setelah perang itu

selesai, dengan berbagai cara ia berusaha agar Jonker dikucilkan. Dan ternyata usahanya

berhasil. Karena merasa dikucilkan, Jonker akhirnya bangkit melawan Kompeni,

walupun gagal.

Demikianlah, sekilas tentang tokoh yang pangkatnya abadi melekat pada

kawasan yang sebagian menjadi lapangan terbang, dan kemudian dijadikan arena Pekan

Raya Jakarta.

Krukut

Merupakan nama kampung yang sekaligus juga nama kelurahan di kecamatan

Taman Sari, Jakarta Barat. Kampung Krukut terletak diantara dua kali,yaitu kali

Ciliwung, dan kali Cideng. Batas – batas kampung Krukut adalah:

Sebelah Timur Jl. Gajah Mada dan sungai Ciliwung

Sebelah Selatan Kelurahan Petojo

Sebelah Barat :Kali krukut (Kali Cideng)

Page 18: Asal Usul Nama Tempat di Jakarta

Sebelah Utara Jl. Kerajinan dan Kelurahan Keagungan.

Asal – usul nama kampung Krukut mempunyai beberapa versi diantaranya

adalah:

1. Krukut berasal dari sindiran yang di berikan untuk orang yang hidupnya sangat

hemat alias pelit (Krokot). Orang Betawi menyebut orang – orang Arab yang

banyak tinggal dikampung itu dengan istilah Krukut, dengan merubah kata

Krokot menjadi krukut.

2. Krukut berasal dari kata kerkhof (bahasa Belanda) yang berarti kuburan. Pada

masa lalu kampung tersebut merupakan tempat kuburan masyarakat pribumi

(orang Betawi).

Karena lokasi kampung yang dekat dengan kota dan pelabuhan Sunda Kelapa,

serta adanya dua kali yang merupakan jalur perdagangan maka banyak pedagang dari

Arab yang bermukim di kampungan ini. Pada masa sekarang banyak dijumpai

masyarakat Betawi, keturunan Arab yang mendiami kampung ini, sehingga ada istilah

Arab Krukut (keturunan Arab dari Krukut).

Kwitang

Merupakan nama kampung sekaligus sekarang nama kelurahan yang ada di

Jakarta Pusat. Nama ini berasal dari nama orang Cina yang Kaya – raya bernama Kwik

Tang Kiam. Kwik Tang seorang tuan tanah yang kaya dan hampir semua tanah yang

terdapat didaerah tersebut miliknya. Kwik Tang memiliki seorang anak tunggal yang

mempunyai sifat yang tidak baik, dia suka berjudi dan mabok. Akhirnya karena sifat

anaknya ini, setelah Kwik Tang meninggal semua tanah milik bapaknya ini habis terjual

dan banyak yang dibeli oleh saudagar keturunan Arab. Sehingga sampai sekarang daerah

ini disebut Kwitang dan banyak keturunan Arab yang timggal dikampung Kwitang.

Lapangan Banteng

Lapangan Banteng, yang pada jaman penjajahan Belanda disebut waterlooplein,

tidak seluas Lapangan (Medan) Merdeka yang dahulu disebut Koningsplein, dan

sekarang menjadi Lapangan Monumen Nasional atau Monas Jakarta Pusat.

Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda Lapangan tersebut dikenal dengan

sebutan Lapngan Singa, karena ditengahnya terpancang tugu peringatan kemenangan

perang di Waterloo, dengan patung singa di atasnya. Tugu tersebut didirikan pada jaman

pemerintahan pendudukan tentara Jepang. Setelah Indonesia merdeka namanya diganti

menjadi Lapangan Banteng, rasanya memang lebih tepat, bukan saja karena singa

mengingatkan kita pada lambang penjajah, tetapi juga tidak terdapat dalam dunia fauna

kita. Sebaliknya, banteng merupakan lambing nasionalisme Indonesia. Disamping itu,

besar kemungkinan pada jaman dahulu tempat yang kini menjadi Lapangan itu dihuni

berbagai macam satwa liar seperti macan, kijang, dan banteng. Pada waktu J.P. Coen

membangun kota Batavia di dekat muara Ci Liwung, lapangan tersebut dan sekelilingnya

masih berupa hutan belantara yang sebagian berpaya – paya (De Haan 1935:69).

Menurut catatan resmi, pada tahun 1632 kawasan tersebut menjadi milik

Anthony Paviljoen Sr, dikenal dengan sebutan Paviljoensveld, atau Lapangan Paviljoen

Page 19: Asal Usul Nama Tempat di Jakarta

Jr. Agaknya, pemilik kawasan itu lebih suka menyewakannya kepada orang – orang Cina

yang menanaminya dengan tebu dan sayur – mayor, sedangkan untuk dirinya sendiri ia

hanya menyisakan hak untuk berternak sapi. Pemilik berikutnya adalah seorang anggota

Dewan Hindia, Cornelis Chastelein, yang memberi nama Weltevreden, yang kurang lebih

artinya „sungguh memuaskan”, bagi kawasan tersebut setelah berganti – ganti pemilik,

termasuk Justinus Vinck yang mulai pertama membangun Pasar Senen, pada tahun 1767,

tanah Weltevreden menjadi milik Gubernur Jenderal Van der Parra. Pada awal abad ke-

19 Weltevreden semakin berkembang tangsi pasukan infanteri juga berbagai kesenjataan

lainnya yang tersebar sampai ke Taman Pejambon dan Taman du Bus, di belakang kantor

Departemen Keuangan sekarang.

Pada pertengahan abad ke-19 Lapangan Banteng menjadi tempat berkumpulnya

golongan elit Kota Batavia. Setiap Sabtu sore sampai malam doperdengarkan musik

militer (V.I. van de Wall 1933: 18-19).

Lebak Bulus

Kawasan Lebak Bulus dewasa ini menjadi sebuah kelurahan, Kleurahan Lebak

Bulus, Kecamatan Cilandak, Kotamadya Jakarta Selatan.

Nama kawasan tersebut diambil dari kantor tanah dan fauna lebak berarti

“lembah” dan bulus adalah “kura – kura yang hidup di darat dan air tawar”(Satjadibrata

1951:192, 56), jadi dapat disamakan dengan lembah kura- kura. Mungkin pada jaman

dulu di Kali Grogoldan Kali Pesanggrahan yang mengalir di kawasan tersebut banyak

kura – kura, alias bulus.

Berdasarkan Surat Kepemilikan Tanah (Erfbrief) yang dikeluarkan oleh yang

berwenang di Batavia tertanggal 2 September 1675 kawasan Lebakbulus adalah milik

Bapak Made dan Bapak Candra, yang dapat diwariskan. Menurut catatan harian di Kastil

Batavia tertanggal 12 Februari 1687 Bapak Made adalah seorang Jawa berpangkat letnan.

(Pada waktu itu setiap penduduk asli pulau Jawa disebut orang Jawa, tidak dibedakan

sebutannya antara orang Jawa, Sunda dan Madura).Karena tanahnya sangat subur,

kawasan itu oleh Bapak Made dibuka dijadikan sawah dan kebun, yang selanjutnya

terpelihara dengan baik. Tetapi setelah dia meninggal pada tanggal 16 Agustus 1720,

tanpa sebab yang jelas, seluruh tanahnya diambil kembali oleh Kompeni, untuk kemudian

jatuh ke tangan orang Eropa, yang mengganti namanya menjadi Simplicitas (baca:

simplisitas) (De Haan, 1911: 167). Sekitar tahun 1789 kawasan itu tercatat sebagai milik

David Johannes Smith. Mungkin olehnya dijual kepada Pieter Welbeeck yang pada

tahun 1803 tercatat sebagai pemiliknya (De Haan, 1910:103). Pada peta yang diterbitkan

oleh Topograpisch Bureau tahun 1900, di bagian barat – daya kawasan itu masih

tercantum lokasi rumah peristirahatan ( landhuis) bernama Simplicitas, tidak begitu jauh

dari penggilingan padi yang terletak di tepi sebelah timur Kali Pesanggrahan.

Luar Batang

Kawasan Luarbatang, yang terkenal karena adanya makam yang dikeramatkan di

dalam masjid tua, Masjid Luarbatang, termasuk wilayah Kelurahan Penjaringan,

Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara. Letaknya terhimpit antara terusan.

Pelabuhan Sundakelapa dan kawasan perumahan elit, Pluit.

Menurut legenda, kawasan itu disebut Luarbatang, sebagai kenangan atas

peristiwa ajaib, yang terjadi pada saat jenazah Sayid Husein, seorang penyebar agama

Page 20: Asal Usul Nama Tempat di Jakarta

Islam yang sangat tinggi ilmunya, akan diturunkan ke liang lahat. Walau kerandanya,

yang menurut istilah setempat biasa disebut kurung batang, dibuka, ternyata jenazahnya

sudah raib, entah kemana, keluar sendiri dari kurung batang, tanpa tanpa dilihat orang.

Itulah sebabnya, maka kawasan itu dikenal dengan sebutan Luarbatang.

Menurut sejarah, kawasan itu disebut Luarbatang, karena terletak di luar batang

pemgempangan, atau penghalang, yang diletakkan melintang di muara Ci Liwung.

Pengempangan itu terbuat dari batang kayu diperkuat dengan besi. Setiap sekoci, sampan,

perahu, dan sebagainya yang akan masuk berlayar di Ci Liwung menuju Kota wajib

membayar beamasuk, semacam membayar tol dewasa ini, bila kendaraan hendak

memasuki jalan tol ( De Haan 1935: 186) Kampung Luarbatang biasa disebut Kramat

Luarbatang, karena di sana terdapat makam yang dikeramatkan, yaitu makam Sayid

Husein bin Abubakar bin Abdullah al Aydrus. Beberapa puluh tahun ulama itu, yang oleh

sementara orang dipercayai sebagai keturunan Nabi Muhammad, biasa berdakwah di kota

– kota pesisir utara Pulau Jawa, dari Batavia sampai Surabaya. Ulama kharismatis itu

wafat sekitar tahun 1796, dimakamkan diluar masjid yang dibangun sekitar tahun 1796.

Makamnya ditembok sekitar tahun 1812. Waktu dilaksanakan perluasan masjid, sekitar

tahun 1827, makam keramat itu menjadi berada di dalam ruangan masjid (J.R Van

Diessen 1989:185).

Manggarai

Kawasan Manggarai dewasa ini terbagi menjadi dua kelurahan, Kelurahan

Manggarai Selatan dan Kelurahan Manggarai Utara, wilayah Kecamatan Tebet,

Kotamadya Jakarta Selatan.

Nama kawasan itu mungkin diberikan oleh kelompok penghuni awal, yaitu

orang – orang Flores Barat (Murray 1961:38). Mereka menamai tempat pemukimannya

yang baru, Manggarai, sebagai pengikat kenangan pada kampung halaman mereka yang

ditinggalkan.

Menarik untuk dikemukakan, bahwa sebelum pecahnya Perang Dunia di

Manggarai berkembang sebuah tarian yang disebut lenggo, diiringi orkes yang antara lain

terdiri atas tiga buah rebana biang. Jaap Kunst, seorang ahli etnomusikologi, dalam

bukunya Musik in Java jilid II, menyajikan gambar tarian tersebut. Dewasa ini tari

tersebut, yang namanya berubah menjadi tari belenggo , menjadi salah satu tari tradisi

Betawi dan tersebar di beberapa tempat. Menurut keterangan dari H. Abdurrahman,

mantan Kepala Jawatan Kebudayaan Propinsi Nusatenggara Timur, di Bima terdapat

pula tari jenis itu.namanya pun sama, yakni tari lenggo tidak mustahil kalo tari belenggo

Betawi merupakan perkembangan dari tari lenggo Bima, melalui orang – orang Flores

Barat yang menjadi penghuni awal kawasan Manggarai adalah bengkel dan stasiun kereta

api, serta sebuah kompleks perumahan yang tertata cukup rapi, berbeda dengan

perumahan di sekitarnya yang tampak dibangun tanpa perencanaan yang cermat.

Marunda

Kawasan Marunda sekarang menjadi sebuah kelurahan, Kelurahan Marunda,

Kecamatan Cilincing, Kotamadya Jakarta Utara. Namanya diambil dari nama sungai

yang mengalir di situ, yaitu Kali Marunda.

Page 21: Asal Usul Nama Tempat di Jakarta

Marunda adalah sebutan setempat bagi semacam pohon mangga yang aroma

buahnya wangi menyengat, biasa disebut lembem atau kebembem. Nama ilmiahnya:

Mangifera Laurina BI (Fillet 1888:210).

Nama kawasan itu mulai disebut – sebut pada pertengahan di tepi sebelah barat

Kali Marunda. Kubu tersebut pada tahun 1664 dipindahkan ke tepi sebelah barat Kali

Bekasi, dikenal dengan sebutan Wagt Barangcassi. Dengan keputusan pimpinan VOC di

Batavia tanggal 19 September 1747, ditetapkan bahwa di Marunda dibangun lagi kubu

pertahanan yang pengurusannya diserahkan kepada Justinus Vinck, Tuan tanah yang

antara lain memiliki Pasar Senen, yang sangat berkepentingan untuk menjaga rumah

peristirahatannya (Landhuis Cilincing) berikut tanah – tanah di sekitarnya. (De Haan

1911, (II):408).

Matraman

Dewasa ini Matraman menjadi nama sebuah kecamatan, Kecamatan Matraman,

Kotamadya Jakarta Timur.

Mengenai asal – usul namanya, sampai sekarang belum diperoleh keterangan yang

cukup memuaskan. Pada umumnya memperkirakan kawasan itu dahulu dijadikan

perkubuan oleh pasukan Mataram dalam rangka penyerangan Kota Batavia, melalui

darat. Tidak mustahil kalau di kawasan itu dibangun kubu – kubu pasukan dari Sumedang

dan Ukur (Bandung). Pada waktu Mataram menyerang Batavia, Ukur dan Sumedang

merupakan bagian dari Kesultanan Mataram, dan memang diberitakan ikut

berpartisipasi.

Prof. Dr. Joko Soekiman dalam disertasinya yang kemudian diterbitkan dengan

judul Kebudayaan Indis, menyatakan bahwa. “Di JakartaMatraman merupakan tempat

tinggal Tuan Matterman “ (Soekiman 2000:217) tanpa keterangan lebih lanjut mengenai

sumbernya.

Dugaan lainnya, nama tersebut adalah warisan pengikut Pangeran Diponegoro,

sebagaimana ditulis oleh Mohammad Sulhi dalam Majalah Intisari Juni 2002, dengan

Judul Betawi yang Tercecer di Jalan. Dugaan ini mungkin melesat, karena jauh sebelum

Perang Diponegoro, pada tahun 1789 Matraman sudah disebut – sebut sebagai milik tuan

tanah David Johannes Smith (De Haan 1910, (I):64). Menurut F. de Haan dalam bukunya

yang berjudul Oud Batavia, kawasan itu diberikan kepada orang – orang Jawa dan

Mataram ( De Haan 1935:67) mungkin setelah Mataram berada di bawah pengaruh

Kompeni, menyusul ditandatanganinya perjanjian antara Mataram dengan VOC

tertanggal 28 Februari 1677 (Colenbrander 1925:173). Mungkin orang – orang Mataram

yang ditempatkan dikawasan itu, adalah mereka yang pada pertengahan abad

ketujuhbelas diberitakan berada disekitar Muaraberes sampai di kawasan Karawang (De

Haan 1910, 1:262). Di antara mereka mungkin ada yang mempunyai keahlian, sebagai

pengrajin barang – barang dari perunggu, atau gangsa, mereka membuka usaha di tempat

yang kini dikenal dengan nama Pegangsaan.

Menteng

Merupakan nama daerah yang ada di selatan kota Batavia. Semula daerah ini

merupakan hutan dan banyak ditumbuhi pohon buah – buahan. Karena banyaknya pohon

Menteng yang tumbuh di daerah ini, maka masyarakat mengaitkan nama tempat ini

Page 22: Asal Usul Nama Tempat di Jakarta

dengan Kelurahan dan sekaligus juga nama Kecamatan yang ada di wilayah Jakarta

Pusat.

Sejak tahun 1810 wilayah ini telah mulai dibuka oleh Gubernur Jenderal Daendels

untuk daerah pengembangan kota Batavia. Kemudian pada tahun 1912 tanah yang ada

disekitar kampung Menteng ini dibeli oleh pemerintah Belanda untuk dijadikan

perumahan bagi pegawai pemerintah Hindia Belanda.

Sampai sekarang kita dapat menyaksikan peninggalan Belanda di perumahan

Menteng. Rumah – rumah ini dibangun dengan konsep rumah Belanda yang

dikombinasikan dengan gaya rumah Jawa atau disebut juga dengan konsep Indis (

percampuran gaya rumah Belanda dengan gaya rumah Jawa).

Wilayah Menteng dalam perkembangannya dipertegas lagi dengan membagi –

bagi nama Menteng, sehingga terdapat nama kampung lebih kecil didalam kampung yang

luas, ada nama Menteng atas, Menteng Dalam, Menteng Pulo dan sebagainya.

Paal Meriam

Merupakan nama tempat yang terletak di antara perapatan Matraman dengan

Jatinegara. Asal usul nama tempat ini berasal dari suatu peristiwa sejarah yang terjadi

sekitar tahun 1813. Pada waktu itu pasukan artileri meriam Inggris mengambil tempat di

daerah ini untuk posisi meriam yang siap ditembakkan. Pasukan meriam Inggris

disiapkan didaerah ini untuk melakukan penyerangan ke kota Batavia. Peristiwa tersebut

sangat berkesan bagi masyarakat sekitar daerah itu, sehingga menyebut daerah ini dengan

sebutan tempat paal meriam (tempat meriam disiapkan).

Cerita lain menyebutkan bahwa pada waktu Gubernur Jenderal Daendels

membuka jalan yang disebut dengan jalan trans Jawa dari Anyer (Banten) ke Panarukan

(Jawa Timur), daerah paal meriam ini dipasang patok jalan yang terbuat dari meriam

yang sudah tidak terpakai. Masyarakat setempat sering melihat meriam tersebut sebagai

patok jalan atau disebut juga paal jalan yang terbuat dari meriam, maka daerah itu disebut

dengan paal meriam.

Pajongkoran

Wilayah Kelurahan Koja Selatan, Kecamatan Tanjungpriuk, dan Wilayah

Kelurahan Kalibaru, Kecamatan Cilincing, Kotamadya Jakarta Utara, sampai akhir tahun

enampuluhan abad ke-20 lalu dikenal dengan sebutan Pajongkoran. Entah apa sebabnya

nama itu dihilangkan dan peta – peta yang terbit kemudian.

Kawasan tersebut dikenal dengan nama Pajongkoran, karena dari tahun 1676

sampai tahun 1682 dikuasai oleh Kapten Jonker, seorang kepala pasukan orang- orang

Maluku yang mengabdi kepada VOC.

Kata Jonker bukanlah nama diri, melainkan gelaran, yaitu padanaan dari

tamaela, gelaran kehormatan di Ambon pada jaman itu. Pada sebuah akte tertanggal 22

Nopember 1664, namanya ditulis JonckerJouwa de Manipa (De Haan 1919:228 – 229).

Tanah seluas itu diberikan sebagai hadiah bagi jasa – jasanyadi berbagai

medan perang, seperti di Timor, Srilangka di bawah Van Goens di Sumatera Barat di

bawah Poleman, di Sulawesi Selatan di bawah Speelman, di Jawa Timur pada waktu

Kompeni “membantu” Mataram memadamkan pemberontakan Pangeran Trunojoyo, di

Palembang dan terakhir pada peperangan di Banten, waktu Kompeni “membantu” Sultan

Page 23: Asal Usul Nama Tempat di Jakarta

Haji melawan ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa (De Haan 1935:372). Pada tahun 1682

(Poespo Negoro 1984, (III):71).

Menjelang akhir hayatnya, Jonker merasa disia – siakan disamping mendapat

tekanan – tekanan dari pejabat – pejabat Belanda yang tidak menyenanginya, seperti

Mayor Isaac de Saint Martin, yang memimpin Kompeni ke Banten, sebelum pasukan

yang dipimpin Jonker terlibat dalam peperangan itu. Pada tahun1689, dengan tuduhan

akan berbuat makar, tempat kediamannya diserbu, Jonker sendiri menemui ajalnya

dengan tragis.

Pancoran

Pancoran terletak di Kelurahan Glodok, Kecamatan Tamansari Kotamadya Jakarta

Barat.

Pancoran berasal dari kata Pancuran. Di kawasan itu pada tahun 1670 dibangun

semacam waduk atau “aquada” tempat penampungan air dari kali Ciliwung, yang

dilengkapi dua buah pancuran itu mengucurkan air dari ketinggian kurang lebih 10 kaki.

Dari sana air diangkut dengan perahu oleh para penjaja yang menjajakannya

disepanjang saluran – saluran (grachten) di kota. Dari tempat itu pula kelasi- kelasi biasa

mengangkut air untuk kapal – kapal yang berlabuh agak jauh dilepas pantai, karena

dipelabuhan Batavia kapal tidak dapat merapat. Karena banyaknya yang mengambil air

dari sana, sering kali mereka harus antri berjam – jam. Tidak jarang kesempatan itu

mereka manfaatkan untuk menjual barang – barang yang mereka selundupkan.

Dari penampungan di situ kemudian air disalurkan ke kawasan kastil melalui

Pintu Besar Selatan. Rancangannya sudah dibuat pada masa pemerintahan Gubernur

Jenderal Durven (1728 – 1732), tetapi dilaksanakan pada awal masa Van Imhoff

berkuasa (1743 – 1750). Dengan demikian maka pengambilan air untuk keperluan kapal

menjadi tidak terlalu jauh sampai melewati kota.

Dengan adanya saluran air dari kayu itu, maka di halaman Balikota (Stadhuis)

dibuat pula air mancur. Sisa – sisa salurannya masih ditemukan pada tahun 1882, yang

ternyata berbentuk balok kayu persegi empat yang dilubangi, disambung – sambung satu

sama lain direkat dengan timah (De Haan 1935; 299 – 300).

Pasar Baru

Merupakan nama sebuah pasar yang ada di wilayah Jakarta Pusat. Sebutan nama

Pasar Baru, karena pasar ini merupakan pasar yang ada belakangan setelah lingkungan

sektor lapangan Gambir dibuka oleh Gubernur Jenderal Daendels. Daerah yang dibangun

oleh Daendels sebagai pusat pemerintahan Hindi Belanda yang baru, daerah ini disebut

Weltevreden ( tempat yang menyenangkan). Disekitar weltevreden telah ada pasar seperti

pasar Tanah Abang dan Pasar Senen. Untuk membedakan satu sama lain, Daendels

menyebut pasar itu sebagai Pasar Baru. (Yang baru dibangun).

Lahan sebagai lokasi Pasar Baru telah dibeli oleh Daendels dan telah

direncanakan sebagai tempat pembangunan pasar sejak tahun 1821. Pasar ini bertujuan

untuk menjual kebutuhan masyarakat Eropa yang bermukim di Weltevreden.

Pembangunan Pasar Baru dimulai pada tahun 1821. sejak I Januari 1825, kios

(bangunan) yang ada di Pasar Baru mulai disewakan kepada pedagang yang umumnya

dari kelompok Cina, India dan Arab.

Page 24: Asal Usul Nama Tempat di Jakarta

Pada awal mulanya, hari pasar di Pasar Baru adalah Senin dan Jumat, kemudian

berubah menjadi setiap hari karena masyarakat Eropa mulai bertambah banyak.

Pengunjung lebih banyak dating ke Pasar Baru dan merupakan kebiasaan masyarakat

Eropa yang keluar rumah dengan dandanan ala Eropa melakukan perjalanan dan belanja

ke Pasar Baru.

Paseban

Merupakan nama kampung sekaligus nama kelurahan yang ada di wilayah Jakarta

Pusat. Paseban berasal dari kata yang artinya tempat berkumpul, yaitu tempat

berkumpulnya pasukan Sultan Agung dari Jawa Tengah dalam penyerangan Kota Batavia

pada tahun 1628 – 1629. Letak kampung Paseban dekat dengan kampung Matraman yang

memiliki sejarah asal – usul yang sama.

Pegangsaan

Pegangsaan dewasa ini menjadi nama kelurahan, termasuk, wilayah Kecamatan

Menteng, Kotamadya Jakarta Pusat.

Dalam Majalah Intisari Juni 2002, Mohammad Sulhi menyatakan dugaannya,

bahwa Pegangsaan, yang terkenal sebagai tempat diproklamasikannya kemerdekaan

Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, “dulunya tempat angon atau pemeliharaan

angsa”. Dugaan demikian mungkin saja benar, seperti halnya dugaan lainnya.

Kemungkinan lainnya, kawasan tersebut dahulunya menjadi tempat pengrajin

barang – barang dari perunggu, atau gangsa. Tempatnya biasa disebut pegangsan atau

pegangsaan. Para pengrajin itu akhir abad ketujuhbelas membuka kawasan Matraman

(De Haan 1935:67). Di Kota Bogor, tempat yang dahulunya dihuni oleh orang – orang

Jawa pengrajin barang – barang dari tembaga dinamai Paledang, sampai sekarang

(Danasasmita 1983:89).

Pasar Rumput

Merupakan sebutan nama pasar yang sekarang lokasinya ada di Jalan Sultan

Agung Jakarta Selatan. Pasar ini sekarang telah menyatu dengan pasar Manggarai.Asal

mula penyebutannya Pasar Rumput ini berasal dari adanya para pedagang pribumi yang

menjual rumput dan sering mangkal dilokasi itu.

Para pedagang rumput terpaksa mangkal dilokasi ini karena mereka tidak

diperbolehkan masuk ke permukiman elit Menteng. Masyarakat Menteng banyak yang

memelihara kuda sebagai sarana angkutan dan masa itu sado merupakan sarana angkutan

yang banyak membawa penumpang orang kaya keluar masuk lingkungan Menteng.

Walaupun para pedagang rumput sudah tidak dapat ditemukan lagi di pasar

rumput masyarakat Jakarta sangat akrab dengan sebutan nama Pasar Rumput. Kalau di

pasar burung kita dapat membeli burung, di pasar buah kita dapat membeli buah, namun

di Pasar Rumput kita tidak dapat membeli rumput karena pedagangnya tidak ada yang

menjual rumput.

Pasar Boplo

Merupakan nama pasar yang terletak di lokasi pemukiman elit Menteng Jakarrta

Pusat. Nama pasar ini berasal dari kata dalam bahasa Belanda bouwploeg yang berarti

tempat menjual alat bajak untuk mengolah pertanian. Pada masa lalu pasar ini tempat

Page 25: Asal Usul Nama Tempat di Jakarta

menjual alat – alat pertanian dan yang paling banyak dijual adalah alat bajak untuk

mengolah sawah.

Kata boplo mungkin juga berasal dari sebutan kantor jawatan Pekerjaan Umum

masa pemerintahan Belanda yang berada di dekat lokasi pasar. Kantor jawatan pekerjaan

umum itu bernama jawatan Bouwploeg yang sekarang kantor itu berubah fungsi menjadi

mesjid Cut Mutia

Pasar Genjing

Merupakan sebutan nama sebuah pasar kecil yang sekarang terletak di

persimpangan jalan Pramuka dan jalan Utan Kayu di Jakarta Timur. Nama genjing

berasal dari sebutan pohon besar yang ada dilokasi pasar.

Bagi masyarakat yang berasal dari Jawa, pohon ini disebut dengan pohon sengon.

Sedangkan bagi masyarakat dari suku Sunda pohon ini disebut pohon jeungjing.

Karena sulit menyebut nama pohon ini dengan sebutan dari suku Sunda, maka

masyarakat Betawi menyebutnya dengan sebutan genjing.

Pejagalan

Merupakan nama kampung dan sekarang diabadikan menjadi nama jalan

Pejagalan di Kelurahan Pekojan, Jakarta Barat. Nama Pejagalan berasal dari kata jagal

atau pemotongan hewan. Pada masa lalu di kampung Pejagalan banyak tinggal orang

keturunan Arab dan Pakistan. Mereka senang memasak nasi kebuli yang bahan bakunya

adalah beras dan daging kambing karena banyak dan seringnya memotong hewan

kambing, maka daerah ini disebut dengan kampung Pejagalan.

Petojo

Kawasan Petojo dewasa ini meliputi dua kelurahan, yaitu Kelurahan Petojo Utara

dan Kelurahan Petojo Selatan, termasuk wilayah Kecamatan Gambir, Kotamadya Jakarta

Pusat.

Petojo berasal dari nama seorang pemimpin orang – orang Bugis yang pada tahun

1663 diberi hak pakai kawasan tersebut, bernama Aru Petuju. Perubahan dari petuju

menjadi petojo, tampaknya lazim di Batavia pada waktu itu, seperti halnya kata pancuran,

kemudian diucapkan jadi pancoran.

Beberapa tahun sebelum bermukim di kawasan yang terletak di sebelah barat Kali

Krukut itu, Aru (Arung) Petuju bersama dengan Pangeran dari Bone Aru (Arung) Palaka,

menyingkir ke Batavia, setelah gagal melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Sultan

Hasanuddin dari kerajaan Gowa, yang telah lama dilakukannya. Dengan demikian

terjalinlah kerjasama antara Aru(ng) palaka dengan Belanda dalam menghadapi Sultan

Hasanuddin. Kerjasama antara dua kekuatan itu berhasil mengakhiri kekuatan Gowa atas

Bone. Sultan Hasanuddin terpaksa harus menerima kenyataan, bahwa Belanda akan

memegang, monopoli perdagangan di Sulawesi Selatan. (Poesponegoro 1984 (IV):208).

Sebagaimana umumnya tanah – tanah yang semula dikuasai oleh sekelompok

orang dibawah pemimpin masing – masing, kawasan Petojo juga kemudian beralih

tangan. Pada tahun 1816 kawasan Petojo sudah dimiliki oleh willem Wardenaar, di

samping tanah – tanah di daerah – daerah lainnya, seperti Kampung Duri dan Kebon

Jeruk yang pada waktu itu biasa disebut Vredelust (De Haan 1910:101).

Page 26: Asal Usul Nama Tempat di Jakarta

Penjaringan

Merupakan nama kampung dan sekaligus nama Kelurahan dan nama Kecamatan

yang terletak disebelah Utara Pelabuhan Sunda Kelapa. Nama ini berasal dari sebutan

tempat yang banyak memproduksi jarring untuk keperluan para nelayan teluk Jakarta.

Cerita lain ada juga yang menyebutkan bahwa nama penjaringan berasal dari

tempat yang banyak terdapat jaring - jaring nelayan yang sering di jemur atau jaring

yang sedang diperbaiki oleh nelayan. Melihat lokasi ini dekat dengan pantai, maka dua

cerita tersebut bias saja menjadi asal – usul kata Penjaringan. Karena luasnya wilayah

yang mencakup daerah penjaringan, maka sekarang kita mengenal kecamatan yang

bernama Kecamatan Penjaringan.

Petamburan

Merupakan salah satu nama kelurahan yang ada di wilayah Jakarta Pusat. Pada

masa lalu rumah penduduk masih jarang dan masih banyak tumbuh pohon jati disekitar

daerah ini. Pada suatu waktu terjadi peristiwa yang menjadikan peristiwa tersebut sebagai

cikal bakal nama tempat ini. Peristiwa itu adalah meninggalnya seorang penabuh tambur

didaerah ini dan dimakamkan di bawah pohon jati, sehingga nama kampung ini

sebenarnya adalah Jati Petamburan.

Pejambon

Pejambon merupakan sebutan kampung yang bersebelahan dengan kampung

Gambir. Kampung ini baru ada sejak Daendels membuka daerah ini dengan sebutan

kawasan Weltevreden. Kata Pejambon berasal dari singkatan Penjaga Ambon. Penjagaan

tersebut berada disebuah jembatan yang melintasi kali Ciliwung dan penjaganya adalah

orang Ambon. Setelah dibangunnya gereja Imanuel di lingkungan kampung ini banyak

tinggal masyarakat dari golongan nasrani (beragama Kristen) dari suku Ambon, Jawa dan

Batak. Sekarang kampung Pejambon termasuk dalam kawasan Kelurahan Gambir.

Pekojan

Merupakan nama Kampung, sekaligus nama Kelurahan yang terdapat di wilayah

Jakarta Barat. Pekojan berasal dari kata Koja (Khoja) yang mengacu kepada nama tempat

yang ada di India. Penduduk Koja pada umumnya adalah orang India yang senang

berdagang, Orang Koja dalam berdagang sekaligus menyiarkan agama Islam.

Karena banyaknya orang India yang umumnya mempunyai pekerjaan berdagang

yang bermukim di daerah ini, maka Kampung ini disebut dengan Pekojan atau tempat

tinggal orang Koja.

Pluit

Kawasan Pluit yang kini dikenal dengan perumahan mewahnya itu merupakan

sebuah kelurahan, Kelurahan Pluit, termasuk wilayah Kecamatan Penjaringan,

Kotamadya Jakarta Utara.

Menurut peta yang diterbitkan oleh Topographisch Bureau Batavia, 1903, lembar

H II dan III, demikian pula pada peta Plattegrond van Batavia, yang dibuat oleh Biro

Arsitek di Batavia sekitar tahun 1935, sebutan bagi kawasan itu adalah Fluit, lengkapnya

Fluit Muarabaru. Menurut kamus Belanda – Indonesia (Wojowasito, 1978:196), fluit

berarti:

Page 27: Asal Usul Nama Tempat di Jakarta

1. “suling”; 2. “bunyi suling”; 3. “roti panjang – sempit “.

Rupanya nama kawasan itu tidak ada hubungannya dengan suling, atau pluit

semacam pluit wasit sepakbola, atau pluit polisi lalu – lintas. Demikian pula dengan roti

panjang – sempit. Ternyata nama kawasan tersebut berasal dari kata fluit, yang

lengkapnya: fluitschip, yang berarti “kapal (layar) panjang berlunas ramping”, seperti

yang dijelaskan dalam verklarend Handwoordenboek der Nederlandse Taal (Koenoen –

Endepols, 1948:281). Sekitar tahun 1660 di pantai sebelah timur muara. Kali Angke

diletakan sebuah fluitschip, bernama Het Witte Paert, yang sudah tidak laik laut,

dijadikan kubu pertahanan untuk membantu Benteng Vijhoek yang terletak di pinggir

Kali Grogol, sebelah timur Kali Angke, dalam rangka menanggulangi serangan serangan

sporadis yang dilakukan oleh pasukan bersenjata Kesultanan Banten. Kubu tersebut

kemudian dikenal dengan sebutan De Fluit (De Haan 1935:104).

Sebutan Fluit yang berubah menjadi Pluit, ternyata berlanjut sampai dewasa ini,

mengingatkan kita pada suasana sekitar pertengahan abad ke-17.

Pondok Cina

Merupakan sebutan nama untuk kampung yang ada di perbatasan Jakarta dengan

daerah Depok Jawa Barat. Menurut sejarah nama Pondok Cina berasal dari sebutan

tempat tinggal sementara bagi orang – orang Cina yang mengelola tanah pertanian yang

ada disekitar Depok. Karena jarak Depok dengan Batavia cukup jauh, maka diperlukan

pemondokan sementara bagi pekerja penggarap tanah partiklelir tersebut. Pondokan itu

dibangun dilokasi kampung Pondok Cina sekarang.

Kemudian dilokasi pemondokan ini oleh orang Cina dibangun rumah besar yang

cukup bagus dan oleh masyarakat disebut dengan Pondok Cina.

Pondok Gede

Merupakan penyebutan wilayah yang ada dipinggiran sebelah Timur Jakarta yang

berbatasan dengan daerah Bekasi. Yang tersisa sekarang adalah penyebutan untuk Pasar

Pondok Gede. Nama Pondok Gede berasal dari sebuah bangunan besar yang disebut

dengan Landhuis. Bangunan Landhuis adalah rumah besar yang terletak dipinggiran kota

sebagai tempat tinggal dan sekaligus sebagai tempat pengurus usaha pertanian dan

peternakan.

Sekitar tahun 1775 lokasi ini adalah lahan pertanian dan peternakan yang disebut

juga dengan anderneming. Pondok Gede adalah milik tuan tanah yang bernama Johannes

Hoojiman yang kaya raya. Bangunan pondok gede merupakan satu – satunya bangunan

rumah besar yang ada dilokasi tersebut dan bagi masyarakat pribumi sering disebut

pondok gede.

Pondok Labu

Kawasan Pondok Labu dewasa ini menjadi sebuah Kelurahan dengan nama yang

sama, termasuk wilayah Kecamatan Cilandak Kotamadya Jakarta Selatan.

Nama kawasan itu diambil dari kata majemuk:pondok dan labu. Pondok berarti

“gubuk”, atau “dangau – dangau tempat pemondokan atau „ tempat penginapan

sementara”. Labu adalah nama beberapa macam tanaman merambat, antara lain labu

yang bahasa ilmiahnya Lagenaria hispida Ser. Famili Cucurbitaceae, yaitu labu besar

Page 28: Asal Usul Nama Tempat di Jakarta

yang biasa dimakan (Fillet 1888: 193). Kata majemuk pondok- labu dapat berarti

“pondok atau gubuk yang dirambati ( tanaman) labu”

Kawasan Pondok Labu baru disebut – sebut pada tahun 1803 sebagai milik

Pieter Walbeck, disamping Cinere dan Lebak Bulus yang pada jaman dulu oleh orang –

orang Belanda biasa Simplicitas (baca Simplisitas). Di kawasan Pondok Labu tuan tanah

tesebut mempunyai penggilingan padi dan sebuah rumah peristirahatan yang diberi nama

Simplicitas (De Haan 1910, (I):103). Pada peta yang dibuat oleh Topographisch Bureau,

Batavia 1900, penggilingan padi dan rumah peristirahatan itu terletak tidak begitu jauh

dari Kali Pesanggrahan sebelah utara Rempoa.

Pondok Rangon

Merupakan nama kampung yang ada diperbatasan Jakarta dengan Bekasi di

Kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur. Wilayah Pondok Rangon cukup luas dengan

batasnya:

-Sebelah Utara berbatasan dengan markas Hankam Cilangkap

-Sebelah Barat berbatasan dengan jalan Jagorawi dan

-Sebelah Timur berbatasan dengan Kali Sunter dan Pondok Gede

Asal – Usul nama Kampung Pondok Rangon berdasarkan cerita lisan masyarakat

adalah sebagai berikut. Pada masa lalu ada seorang lelaki tua (aki – aki) yang bermukim

disuatu tempat dengan seorang nenek – nenek yang ditemukan ditempat tersebut tanpa

melalui perkawinan. Bagi masyarakat Sunda menyebut kehidupan kakek nenek itu

dengan istilah Rangon. Karena kakek nenek itu tinggal disuatu pondok, maka masyarakat

menyebut tempat itu dengan nama pondok rangon

Ragunan

Kawasan Ragunan dewasa ini menjadi sebuah Kelurahan, Kelurahan Ragunan,

termasuk wilayah Kecamatan Pasar Minggu, Kotamadya Jakarta Selatan.

Nama Ragunan berasal dari Pangeran Wiraguna, yaitu gelaran yang disandang

tuan tanah pertama kawasan itu, Hendrik Lucaasz Cardeel, yang diperolehnya dari Sultan

Banten Abunasar Abdul Qahar, yang biasa disebut Sultan Haji, putra Sultan Ageng

Tirtayasa.

Menarik untuk disimak, bagaimana seorang Belanda kelahiran Steenwijk,

dianugerahi gelar begitu tinggi oleh Sultan Banten, musuh Belanda. Sekilas, rangkaian

peristiwanya mungkin dapat digambarkan sebagai berikut.

Pada tahun 1675 dari Banten terbetik berita, bahwa sebagian dari Keraton

Surasowan, tempat bertahtanya Sultan Ageng Tirtayasa, terbakar Dua bulan setelah

kebakaran itu datanglah Hendrik Lucaasz. Cardeel, seorang juru bangunan, mengaku

melarikan diri dari Batavia, karena ingin memeluk agama Islam dan membaktikan dirinya

kepada Sultan Banten bak pucuk dicinta, ulam tiba, Sultan sedang membutuhkan ahli

bangunan berpengalaman, tanpa dicari dating sendiri. Kemudian Cardeel ditugasi

memimpin pembangunan istana, dan kemudian bangunan – bangunan lainnya, termasuk

bendungan dan istana peristirahatan si sebelah hulu CiBanten, yang kemudian dikenal

dengan sebutan bendungan dan istana Tirtayasa.

Seluruh perhatian sultan Tirtayasa seolah – olah tersita kegiatan pembangunan

yang dilaksanakan oleh Cardeel. Rupanya tidak sedikit pun terlintas dalam pikirannya

Page 29: Asal Usul Nama Tempat di Jakarta

untuk melakukan suatu gerakan militer ke Batavia, ketika sebagian besar kekuatan

Kompeni sedang dikerahkan ke Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam rangka “membantu”

Mataram menghadapi Pangeran Trunijoyo, dari tahun 1677 sampai akhir tahun 1681.

Dalam pada itu Sultan Haji terus – menerus mendesak agar dia segera

dinobatkan menjadi Sultan. Akhirnya terjadilah perang perebutan tahta antara ayah dan

anak. Dalam keadaan terdesak, Sultan Haji mengirim utusan ke Batavia , untuk meminta

bantuan Kompeni. Dengan bantuan Kompeni akhirnya Sultan Haji berhasil menduduki

tahta Kesultanan Banten, sudah barang tentu dengan keharusan memenuhi segala

tuntutan penolongnya, Belanda.

Adapun yang diutus ke Batavia, untuk meminta bantuan itu, tidak lain tidak

bukan, adalah Kiai Aria Wiraguna, alias Cardeel. Atas jasanya itu, Cardeel ditingkatkan

gelarannya, menjadi Pangeran Wiraguna.

Beberapa tahun kemudian oleh Pangeran Wiraguna Kesultanan Banten terasa

sempit, karena semakin banyak yang tidak menyukainya. Pada tahun 1689 Cardeel pamit

kepada Sultan, dengan dalih akan pulang dahulu kenegerinya. Tetapi ternyata dia terus

menetap di Batavia, kembali memeluk agama Kristen dan menjadi tuan tanah yang kaya

raya. Tanahnya yang terluas adalah dikawasan yang namanya sampai dewasa ini

mengingatkan kita pada seseorang Belanda jaman VOC yang sangat beruntung, Hendrik

Lucaasz Cardeel bergelar Pangeran Wiraguna, yang makamnya oleh sementara orang

bangsa Indonesia dikeramatkan (Sumber De Haan 1910, 1911, 1935; Colenbrander 1925,

jilid 2).

Rawa Badak

Merupakan penyebutan daerah atau kampung yang terletak dekat pelabuhan

Tanjung Priuk Jakarta Utara. Asal – usul nama Rawa Badak berasal dari penyebutan

tempat yang merupakan rawa – rawa yang sangat besar. Daerah ini pada masa lalu

merupakan rawa – rawa yang luas, kemudian oleh para pendatang rawa ini diuruk

sehingga tanah di daerah ini kering dan layak dihuni.

Rawa Badak berasal dari dua kata yang digabung. Rawa berarti tempat yang

selalu basah karena banyak air dan badak berasal dari bahasa Sunda atau Jawa yang

berarti besar atau luas. Maka bagi orang Sunda atau orang jawa daerah ini disebut dengan

Rawa Badak yang artinya rawa yang luas.

Roa Malaka

Kawasan Rowamalaka, atau Ruamalaka, dewas ini menjadi sebuah Kelurahan,

Kelurahan Roamalaka, termasuk wilayah Kecamatan Tambora, Kotamadya Jakarta Barat.

Mengenai asal nama kawasan itu ada dua pendapat. Pertama berasal dari kata

rawa dan malaka” sebuah rawa dengan pohon malaka” (Garicinia cornea L. termasuk

keluarga Clusiaceae), yang buahnya dapat dimakan. Hal itu masuk akal, karena kawasan

tersebut jaman dahulu memang berawa – rawa, sedang pohon malaka dapat tumbuh di

dataran rendah.

Keterangan lain menyatakan, bahwa kawasan tersebut dikenal dengan nama

Roa – Malaka, karena pernah dijadikan tempat pemukiman orang – orang Portugis yang

ditawan di Malaka, setelah kota tersebut pada tamggal 1 Januari 1641 direbut oleh

Belanda dari orang – orang Portugis yang menguasainya selama 130 tahun. Sebagian

besar orang – orang Portugis yang ditawan ditempatkan di Nagapatman, pantai barat

Page 30: Asal Usul Nama Tempat di Jakarta

India. Sebagian lagi ditempatkan di Batavia (De Haan 1935:83). Golongan atas dari

tawanan perang itu, termasuk mantan Gubernur Malaka Dom Luiz Martin de Chichorro,

ditempatkan di Jonkersgracht, yang pada jaman itu terbilang daerah pemukiman elit (J.R.

van Diessen 1989:191).

Jonkersgracht kemudian dikenal dengan sebutan Rua Malaka atau Jalan

Malaka Rua Malaka lambat – laun berubah pengucapannya, menjadi Roa Malaka. Pada

masa pemerintahan Van Der Cappellen (1816 – 1826), Jonkersgratch diuruk (De Haan

1935:205), mungkin karena proses pendangkalannya makin cepat sehingga menimbulkan

genangan – genangan air yang menjadi sumber penyakit (De Haan 1935:205).

Salemba

Salemba adalah kawasan antara Jalan Kramat Raya dan Jalan Matraman Raya .

Dikawasan Salemba terdapat beberapa nama tempat yang diawali Salemba, seperti

salemba Bluntas, Salemba Tengah, Salemba Utankayu, dan Salemba Tanah Padri.

Pada peta abad kesembilanbelas dan peta awal abad ke-20 kawasan Salemba

bernama Struyswijk, yang dapat diartikan “kawasan Struys” karena tuan tanah

pertamanya, adalah Abraham Struys, seorang mantan pejabat pada Kompeni yang kaya

raya. Tanah itu kemudian diwariskan kepada anaknya, Anna Struys yang menikah

dengan Joan van Hoorn, seorang pejabat tinggi Kompeni di Batavia.

Menurut Resolusi tertanggal 22 Oktober 1699 kawasan struyswijk menjadi milik

Joan van Hoorn, yang menjual sebagian daripadanya.Kepada Domine Kiezenga seharga

5000 Ringgit, termasuk 330 ekor sapid an sejumlah perlengkapan rumah tangga. Bagian

yang dibeli Domine tersebut kemudian dikenali dengan sebutan Tanah Padri(De Haan

1910:6,7,13) yang masih tercantum sebagai nama tempat pada peta 1911 yang ditebitkan

oleh Topograpisch Inrichting Batavia, Lembar I.IV.

Sampur

Merupakan nama tempat obyek wisata atau tempat melancong masa lalu yang

terletak dipiggir pantai sehingga sering disebut dengan pantai sampur. Nama ini berasal

dari kata yang diberikan oleh orang Belanda untuk tempat peristirahatan dipinggir pantai

zandpoort. Oleh masyarakat pribumi istilah ini dibaca dengan sampur. Untuk masa

sekarang kata sampur hampir hilang dari peta kota Jakarta, karena pantai ini telah

dikembangkan untuk perluasan pelabuhan peti kemas Tanjung Priuk. Pada masa lalu,

pantai sampur ini merupakan obyek wisata pantai yang paling terkenal di Batavia.

Pantai sampur disukai oleh noni – noni dan sinyo – sinyo (sebutan untuk muda –

mudi orang Belanda) dan begitu juga masyarakat pribumi, banyak yang berkunjung ke

pantai sampur ini. Sebelum pantai Ancol dikembangkan sebagai obyek wisata pantai

yang disebut dengan Pantai Bina Ria Ancol, pantai sampur merupakan obyek wisata

pilihan utama diteluk Jakarta.

Senayan

Kawasan senayan mulai banyak dikenal sejak di sana didirikan sebuah

gelanggang olah raga yang bertaraf internasional dengan nama Gelanggang Olahraga

(Gelora) Bung Karno, yang dibangun awal tahun enampuluhan atas bantuan

Pemerintahan Uni Sovyet pada jaman Perdana Menteri Nikita Sergeiwitsj Kruschev.

Senayan semakin banyak disebut – sebut setelah dibangun Gedung Majelis

Page 31: Asal Usul Nama Tempat di Jakarta

Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik

Indonesia.

Pada peta yang diterbitkan oleh Topographisch Bureau, Batavia, tahun 1902

kawasan Senayan masih ditulis Wangsanajan, atau Wangsanayan menurut EYD. Kata

wangsanayan dapat berarti “tanah tempat tinggal atau tanah milik seseorang yang

bernama Wangsanaya”. Wangsanayan lambat – laun berubah, menjadi lebih singkat,

Senayan.

Tidak mustahil, Wangsanayan tersebut adalah yang dimaksud oleh De Haan,

sebagai salah seorang asal Bali, berpangkat Letnan, sekitar tahun 1680 (De Haan

1911:174). Belum ditemukan keterangan lebih lanjut dari tokoh tersebut, demikian pula

tentang sejarah yang berkaitan dengan kawasan yang sekarang dikenal dengan nama

Senayan itu.

Senen

Kawasan Senen dewasa ini menjadi sebuah Kecamatan, Kecamatan Senen,

wilayah Kotamadya Jakarta Pusat.

Nama diambil dari sebutan terhadap pasar yang dibangun oleh Justinus Vinck, di

ujung sebelah selatan jalan Gunung Sa(ha)ri, yang dulu bernama Grote Zuiderweg. Di

kalangan orang – orang Belanda, pasar tersebut dikenal dengan sebutan Vinckpasser

(pasar Vinck). Tetapi karena hari pasarnya pada awalnya ditetapkan hanya hari Senin,

lalu disebut Pasar Senen. Berkat kemajuan dan semakin ramainya pasar itu, maka sejak

tahun 1766 dibuka pada hari – hari lainnya.

Di sebelah timur pasar terdapat rumah – rumah orang Cina. Di belakangnya

mengalir terusan yang dinamai Kali Baru. Terusan itu dibuat pada masa pemerintahan

Gubernur Jenderal Baron van Imhoff (1743 – 1750).

Pada awalnya Pasar Senen hanya terdiri atas gubuk – gubuk. Sampai tahun 1815

di sana masih terdapat rumah – rumah dari gedek. Walaupun sudah ada rumah petak dari

kayu, tetapi belum ada satu pun rumah tembok. Menurut catatan, pada tanggal 9 Juli

1826, sebagian besar dari bangunan – bangunan pasar itu terbakar. Mungkin sesudah

terjadinya kebakaran itu baru mulai dibangun bangunan – bangunan dari tembok (Bahan

diambil dari buku karya F. De Haan, Oud Batavia, Bandung 1935).

Srengseng Sawah

Srengseng Sawah dewasa ini menjadi nama sebuah kelurahan di wilayah

Kecamatan Jagakarsa, Kotamadya Jakarta Selatan. Sampai tahun tigalpuluhan abad ke-20

kawasan Srengseng menjadi bagian dari wilayah Distrik (Kewedanaan) Kebayoran,

Kabupaten Meestercornelis.

Dahulu kawasan tersebut biasa disebut Srengseng saja, tanpa kata sawah.

Orang Belanda VOC menyebutnya Sringsing. Mungkin karena di situ banyak dibuka

persawahan, maka kemudian disebut Srengsengsawah. Atau, mungkin juga untuk

membedakannya dengan Srengseng di Jakarta Barat, yang sekarang menjadi nama

kelurahan di wilayah Kecamatan Kebonjeruk.

Srengseng diambil dari nama semacam pandan berdaun lebar,

pinggirnyaberduri – duri, Pandanus caricosus Ramph, termasuk famili Pandaneseae.

Daunnya bisa dianyam dijadikan tikar atau topi kasar (Fillt 1883, 264). Sampai

meletusnya Perang Dunia Kedua produksi tikar dan topi pandan dari Distrik Kebayoran

Page 32: Asal Usul Nama Tempat di Jakarta

mempunyai nilai ekonomi yang cukup berarti, dapat dipasarkan kedaerah – daerah lain,

bahkan ke luar Pulau Jawa ( Tideman 1932:19). Sampai tahun tujuh puluhan abad ke-20

,Masih banyak penduduk asli Srengseng Sawah dan sekitarnya yang membuat tikar dan

topi pandan sebagai usaha sampingan.

Pada tahun 1674 kawasan Srengseng tercatat sebagai milik Karim, anak

seorang bekas Kapten Jawa, bernama Citragladak. Kemudian jatuh ke tangan Cornelis

Chalestein, tuan tanah kaya rayayang antara lain memiliki tanah partikelir Depok. Di

Srengseng ia mempunyai sebuah rumah peristirahatan. (De Haan 1935:340).

Sunda Kelapa

Merupakan sebutan pelabuhan tradisional yang ada di teluk Jakarta. Sebenarnya

nama ini awalnya adalah Kelapa. Hal ini dapat di buktikan dengan berita yang terdapat

dalm tulisan hasil perjalanan Tome Pires pada tahun 1513 yang disebut dengan Suma

Oriental.

Dalam buku tersebut disebutkan bahwa nama pelabuhan adalah Kelapa. Karena

pada waktu itu wilayah ini dubawah kekuasaan kerajaan Sunda maka kemudian

pelabuhan ini disebut dengan Sunda Kelapa.

Tambora

Kawasan Tambora dewasa ini menjadi sebuah kelurahan, Kelurahan Tambora,

termasuk wilayah Kecamatan yang sama Kotamadya Jakarta Barat.

Nama Tambora dari kawasan ini mungkin diberikan oleh orang –orang yang

berasal dari Pulau Sumbawa, yang pada tahun 1755 diberitakan dipimpin oleh seorang

Kapten. Mungkin komunikasi mereka, yang jumlahnya tidak begitu banyak, kurang

mendapat perhatian, kalau saja tidak muncul seorang tokoh yang menimbulkan

kekaguman orang – orang Belanda, yaitu Kapten Abdullah Saban. Karena menunjukkan

jiwa kepemimpinan yang luar biasa, terutama dalam pertempuran di laut, Pada tahun

1794 dia diangkat menjadi Kepala Kepulauan Seribu (Hoofd over Duizend Eilanden).

Pada tahun 1800 ia dianugerahi pedang kehormatan. Pada tahun 1808 oleh Daendels

diangkat menjadi Liutenant van de eerste classe bij de Hollandshe Koninglijke Marin (De

Haan 1935:375).

Tokoh lain yang perlu dicatat, adalah Haji Mustoyib Ki Daeng yang berjasa

membangun Masjid Tambora. Ia adalah orang Cina muslim, asal Makasar, pernah tinggal

beberapa lama di Bima, di kaki Gunung Tambora, Sumbawa. Karena suatu sebab,

mungkin dituduh menghasut warga setempat untuk melawan penguasa, pada tahun 1755

ia dihukum penjara di Batavia, selama 5 tahun. Setelah bebas ia berniat akan tetap tinggal

di Batavia. Sebagai tanda syukur kepada Yang Maha Kuasa, pada tahun 1761 ia

membangun sebuah masjid. Untuk mengenang tempat ia ditangkap penguasa, masjid

yang dibangunnya itu diberi nama Masjid Tambora (J.R van Diesen 1989:206).

Masjid yang dibangun Mustoyib itu merupakan inti dari keadaannya dewasa ini.

Bagiannya yang terletak dipinggir sungai masih menunjukkan bentuk asalnya. Setelah

mengalami beberapa kali perbaikan, pada tahun 1980 masjid itu diperbaiki lagi serta

diperluas.

Haji Mustoyib dimakamkan di halaman masjid tersebut. Makamnya yang

dinaungi bangunan bertiang tembok enam buah, sampai dewasa ini masih terpelihara

dengan baik.

Page 33: Asal Usul Nama Tempat di Jakarta

Tanah Abang

Kawasan Tanah abang meliputi sebagian besar wilayah Kecamatan Tanah

Abang, Kotamadya Jakarta Pusat.

Menurut Tota M. Tobing (intisari, Agustus 1985), ada anggapan, bahwa

namaTanah Abang diberikan oleh orang – orang Mataram yang berkubu di situ dalam

rangka penyerbuan Kota Batavia tahun 1628. Pasukan tentara Mataram tidak hanya

datang melalui laut di utara, melainkan juga melalui darat dari selatan. Ada kemungkinan

pasukan tentara Mataram itulah yang memberi nama Tanah Abang, karena tanahnya

berwarna merah, atau abang menurut bahasa Jawa.

Kemungkinan lain adalah bahwa nama itu diberikan oleh orang – orang (Jawa)

Banten yang bekerja pada Phoa Bingham, atau Bingam, waktu membuka hutan di

kawasan tersebut. Konsesinya diperoleh Bingam, Kapten golongan Cina, pada tahun

1650 (De Haan, II: 413). Mungkin karena pernah bermukim di Banten sebelum hijrah ke

Batavia, seperti Benkon, pendahulunya, Bingam pun akrab dengan orang – orang Banten.

Benkon pernah membebaskan wangsa, seorang asal Banten,dari tahanan Kompeni

dengan uang jaminan sebesar 100 real, pada tahun 1633 (Hoetink dalam Bijdragen 79,

1923:4).

Tanah Merdeka

Merupakan penyebutan wilayah yang cukup luas di Jakarta Timur Lokasinya

sekarang terbentang, antara jalan Raya Bogor, Kelurahan Dukuh, jalan tol T.B

Simatupang dan terus ke Selatan kelurahan Rambutan dan kelurahan Ceger. Sekarang

yang tersisa adalah nama jalan yang ada dikelurahan Rambutan. Penyebutan nama Tanah

Merdeka berasal dari masa penjajahan VOC berkuasa di Batavia. Pada waktu itu bagi

tokoh yang berjasa membantu VOC akan diberi lahan tanah di pinggiran Kota Batavia

dan tidak dipungut pajak. Mereka yang diberi tanah itu harus mampu menjaga keamanan

dan harus membantu VOC dalam segala hal. Tanah yang diberikan kepada orang yang

berjasa bagi VOC itu disebut Tanah Merdeka.

Tiang Bendera

Kawasan Tiang Bendera terletak di wilayah Kelurahan Roamalaka, Kecamatan

Tambora, Kecamatan Jakarta Barat. Kantor Kelurahannya sendiri, dewasa ini terletak di

Jalan Tiang Bendera Utara No.90A.

Nama Tiang Bendera berasal dari tiang bendera yang sehari – hari terpancang

di depan rumah Kapten Cina pada pertengahan abad kedelapanbelas, setelah selesainya

pemberontakan Cina, tahun 1740.setiap tanggal 1 penanggalan Masehi, mulai tahun

1743, pada tiang bendera itu dikibarkan bendera, untuk mengingatkan warga Tionghoa

untuk membayar pajak kepala, sewaan rumah dan sebagainya. Menurut F. De Haan,

dikalangan orang –orang Cina di Batavia, tanggal 1 setiap bulan penanggalan Masehi

biasa disebut “dag der vlaghijsching”, hari pengibaran bendera.

Demikianlah maka kawasan tersebut dikenal dengan sebutan Kampung Tiang

Bendera(sic).

Rumah tempat tinggal Kapten Cina (tidak jelas siapa namanya itu awalnya

bukanlah rumah dinas, melainkan rumah milik pribadi, yang dibelinya dari Gubernur

Jenderal Baron van Imhoff pada tahun 1743. Pada tahun 1747, setelah kapten itu

Page 34: Asal Usul Nama Tempat di Jakarta

meninggal, rumah tersebut dikuasai oleh Balai Harta Peninggalan, dan dijadikan rumah

dinas Kapten Cina. Mulai tahun 1805 dirumah itu biasa diselenggarakan rapat – rapat

Dewan Cina. Dewan tersebut kemudian menempati bangunan tua Belanda di Jalan

Tongkongan.

Tugu

Kawasan Tugu dewasa ini dibagi menjadi dua kelurahan, yaitu Kelurahan Tugu

Selatan dan Tugu Utara, termasuk wilayah Kecamatan Koja, Kotamadya Jakarta Utara.

Tugu berupa prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanegara diperkirakan dibuat

pada abad kelima Masehi, ditemukan dikampung Batutumbuh, dijadikan sebutan bagi

kawasan tersebut. Prasasti tersebut memberitakan tentang dibuatnya saluran air sepanjang

6122 busur, atau kurang lebih 11 Kilometer, dalam waktu 21 Hari. Hal itu membuktikan

bahwa 16 abad yang lalu saluran air di pantai utara kawasan Jakarta dan sekitarnya sudah

diperlukan, untuk mengatur pengairan, baik untuk penanggulangan bahaya banjir atau

pun untuk pertanian.

Tugu mulai disebut – sebut pada tahun 1661 yaitu tahun ditempatkannya 23

orang Kristen asal Benggala dan Koromandel. Lima belas tahun kemudian. Jumlahnya

meningkat menjadi 40 atau 50 keluarga dan ditempatkan seorang guru di sana. Setengah

abad kemudian, 1735, dibangunlah sebuah gereja dari tembok, yang pada tahun 1740

dibakar oleh orang – orang Cina yang memberontak. Pada tahun 1744 dibangun lagi

gereja baru atas biaya seorang pejabat VOC Justinus Vinck.

Prasastinya sendiri, yang berbentuk bulat hampir menyerupai kerucut, sehingga

baris – baris hurufnya dituliskan melingkar, sebanyak 5 baris berhuruf Palawa, dewasa ini

disimpan di Museum Nasional Replikanya dapat disaksikan di Museum Sejarah Jakarta,

di Taman Fatahillah.