Top Banner
PEMANFAATAN PATI SINGKONG SEBAGAI BAHAN BAKU EDIBLE FILM Sub-Tema Daya Saing, Keunggulan dan Penguasaan IPTEKS Ditujukan untuk memenuhi syarat dalam mengikuti lomba karya tulis ilmiah Beswan Djarum 2008-2009 MAULANA KARNAWIDJAJA WAHYU (Mahasiswa Tingkat 4 Semester 7) Jl. SariWates I Gg. Sariwates Indah B No. 6 Bandung (40291) BESWAN DJARUM RSO BANDUNG UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN JURUSAN TEKNOLOGI INDUSTRI PANGAN 2008-2009
31

Article PDF 22

Jul 05, 2015

Download

Documents

Mary Maryati
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Article PDF 22

PEMANFAATAN PATI SINGKONG SEBAGAI BAHAN BAKU

EDIBLE FILM

Sub-Tema Daya Saing, Keunggulan dan Penguasaan IPTEKS

Ditujukan untuk memenuhi syarat dalam mengikuti lomba karya tulis ilmiah Beswan Djarum 2008-2009

MAULANA KARNAWIDJAJA WAHYU (Mahasiswa Tingkat 4 Semester 7)

Jl. SariWates I Gg. Sariwates Indah B No. 6 Bandung (40291)

BESWAN DJARUM RSO BANDUNG

UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

JURUSAN TEKNOLOGI INDUSTRI PANGAN 2008-2009

Page 2: Article PDF 22

PEMANFAATAN PATI SINGKONG SEBAGAI BAHAN BAKU EDIBLE FILM

ABSTRAK Bahan makanan pada umumnya sangat sensitif dan mudah mengalami

penurunan kualitas. Salah satu cara untuk mencegah atau memperlambat fenomena tersebut adalah dengan pengemasan yang tepat. Bahan pengemas dari plastik banyak digunakan dengan pertimbangan ekonomis dan memberikan perlindungan yang baik dalam pengawetan. Penggunaan material sintetis tersebut berdampak pada pencemaran lingkungan, sehingga dibutuhkan penelitian mengenai bahan pengemas yang dapat diuraikan. Alternatif penggunaan kemasan yang dapat diuraikan adalah dengan menggunakan edible film. Edible Film didefinisikan sebagai lapisan yang dapat dimakan yang ditempatkan di atas atau di antara komponen makanan, dapat memberikan alternatif bahan pengemas yang tidak berdampak pada pencemaran lingkungan karena menggunakan bahan yang dapat diperbaharui dan harganya murah. Polisakarida seperti pati dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan edible film menggantikan polimer plastik karena ekonomis, dapat diperbaharui, dan memberikan karakteristik fisik yang baik. Pembuatan edible film sering menggunakan metode casting dan pada pembuatannya menggunakan prinsip gelatinisasi. Penambahan hidrokoloid dan plasticizer agar didapatkan karakteristik film yang baik. Penelitian yang mengenai pembuatan edible film memberikan kesimpulan tidak ada metode standar dalam pembuatannya sehingga dapat menghasilkan film dengan fungsi dan karakteristik fisikokimia yang diinginkan akan berbeda. Edible film berbasis pati singkong dapat diaplikasikan untuk mengemas apel potong sehingga dapat mempertahan kecerahan warna apel dan dapat mempertahankan umur simpan dodol durian hingga 25-44 hari. Kata Kunci: Pati singkong, Edible Film, Metode Casting, Hidrokoloid, Plasticizer

Page 3: Article PDF 22

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas karuniaNya sehingga

penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pemanfaatan Pati Singkong

Sebagai Bahan Baku Edible Film” yang disusun sebagai salah satu syarat untuk

mengikuti lomba karya tulis Beswan Djarum 2009 dengan tepat waktu.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan dukungan berbagai pihak

makalah ini tidak akan dapat terselesaikan. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini

penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. PT. Djarum yang telah memberikan beasiswa melalui Djarum Bakti

Pendidikan.

2. Ke dua orang tua yang telah memberikan dukungan baik moril maupun

materil.

3. Ibu Popi dan Bapak Tedi yang selalu memberikan semangat kepada penulis

4. Teman-teman Beswan Djarum angkatan 2008-2009 yang telah memberikan

informasi dan saran dalam pembuatan makalah ini.

Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih atas segala perhatiannya.

Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Bandung, Juli 2009

Penulis

Page 4: Article PDF 22

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK................................................................................................. ii

KATA PENGANTAR.............................................................................. iii

DAFTAR ISI............................................................................................. iv

DAFTAR GAMBAR................................................................................ vi

DAFTAR TABEL..................................................................................... vii

I. PENDAHULUAN......................................................................... 1

II. SINGKONG

2.1 Botani Singkong............................................................................. 4

2.2 Komposisi Kimia............................................................................ 6

2.3 Pati Singkong.................................................................................. 7

III. EDIBLE COATING

3.1 Definisi Edible Film dan Fungsi..................................................... 9

3.2 Bahan Baku Edible Film................................................................. 10

3.2.1 Hidrokoloid..................................................................................... 11

3.2.2 Lipida.............................................................................................. 12

3.2.3 Komposit........................................................................................ 13

IV. EDIBLE FILM BERBASIS PATI SINGKONG

4.1 Metode Pembuatan......................................................................... 14

4.2 Karakteristik Film........................................................................... 16

4.3 Aplikasi........................................................................................... 19

Page 5: Article PDF 22

V. KESIMPULAN............................................................................. 20

DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 21

RIWAYAT HIDUP.................................................................................. 24

Page 6: Article PDF 22

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1

2

3

4

5

6

Pohon Singkong.........................................................................

Ubi Singkong..............................................................................

Diagram Alir Ekstraksi Pati dari Umbi Akar.............................

Granula Pati Singkong................................................................

Diagram Alir Pembuatan Larutan Edible Film Berbasis Pati Singkong..................................................................................... Permukaan flm dari 3% pati singkong tanpa modifikasi dengan pembesaran SEM 372x, Permukaan film dari 3% CMA dengan pembesaran SEM 463x, dan Permukaan film dari 3% amilum 320 dengan pembesaran SEM 405x............................................................................................

4

5

8

8

15

17

Page 7: Article PDF 22

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1

2

3

Kandungan Pati pada Beberapa Bahan Pangan.........................

Kandungan Kalori dan Komposisi Zat Gizi dalam 100 gram Singkong.................................................................................... Kemungkinan Penggunaan Edible Film dan Coating...............

3

6

11

Page 8: Article PDF 22

I. PENDAHULUAN

Bahan makanan pada umumnya sangat sensitif dan mudah mengalami

penurunan kualitas karena faktor lingkungan, kimia, biokimia, dan mikrobiologi.

Penurunan kualitas tersebut dapat dipercepat dengan adanya oksigen, air, cahaya, dan

temperatur. Salah satu cara untuk mencegah atau memperlambat fenomena tersebut

adalah dengan pengemasan yang tepat (Komolprasert, 2006 dalam Hui, 2006).

Pengemasan makanan yaitu suatu proses pembungkusan makanan dengan

bahan pengemas yang sesuai. Pengemasan dapat dibuat dari satu atau lebih bahan

yang memiliki kegunaan dan karakteristik yang sesuai untuk mempertahankan dan

melindungi makanan hingga ke tangan konsumen, sehingga kualitas dan

keamanannya dapat dipertahankan (Komolprasert, 2006 dalam Hui, 2006). Menurut

Robertson (1993), bahan pengemas yang dapat digunakan antara lain plastik, kertas,

logam, dan kaca.

Bahan pengemas dari plastik banyak digunakan dengan pertimbangan

ekonomis dan memberikan perlindungan yang baik dalam pengawetan. Sekitar 60%

dari poliethilen dan 27% dari polyester diproduksi untuk membuat bahan pengemas

yang digunakan dalam produk makanan. Akan tetapi penggunaan material sintetis

tersebut berdampak pada pencemaran lingkungan (Alvin dan Gil, 1994 dikutip

Henrique, Teofilo, Sabino, Ferreira, Cereda, 2007). Oleh karena itu pada saat ini

dibutuhkan penelitian mengenai bahan pengemas yang dapat diuraikan

(biodegradable) (Henrique et. al., 2007).

Page 9: Article PDF 22

Pengembangan edible film pada makanan selain dapat memberikan kualitas

produk yang lebih baik dan memperpanjang daya tahan, juga dapat merupakan bahan

pengemas yang ramah lingkungan. Edible film memberikan alternatif bahan

pengemas yang tidak berdampak pada pencemaran lingkungan karena menggunakan

bahan yang dapat diperbaharui dan harganya murah (Tharamathan, 2003 dikutip

Bourtoom, 2007). Pengaplikasian edible film pada produk makanan bukan merupakan

konsep yang baru dan telah lama dipelajari secara ekstensif. Penerapan edible film

dapat memperpanjang masa simpan dan mempertahankan kualitas dari berbagai

produk makanan (Lee dan Wan, 2006 dalam Hui, 2006).

Polisakarida seperti pati dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan

edible film. Pati sering digunakan dalam industri pangan sebagai biodegradable film

untuk menggantikan polimer plastik karena ekonomis, dapat diperbaharui, dan

memberikan karakteristik fisik yang baik (Bourtoom, 2007). Ubi-ubian, serealia, dan

biji polong-polongan merupakan sumber pati yang paling penting. Ubi-ubian yang

sering dijadikan sumber pati antara lain ubi jalar, kentang, dan singkong (Liu, 2005

dalam Cui, 2005). Pati singkong sering digunakan sebagai bahan tambahan dalam

industri makanan dan industri yang berbasis pati karena kandungan patinya yang

cukup tinggi (Niba, 2006 dalam Hui, 2006). Kandungan pati pada beberapa bahan

pangan disajikan pada Tabel 1.

Page 10: Article PDF 22

Tabel 1. Kandungan Pati pada Beberapa Bahan Pangan Bahan Pangan Pati (% dalam basis kering) Biji gandum Beras Jagung Biji sorghum Kentang Ubi jalar Singkong

67 89 57 72 75 90 90

Sumber: Liu (2005) dalam Cui (2005)

Menurut Biro Pusat Statistik (2009), produksi tanaman ubi kayu di Indonesia

pada tahun 2008 sebesar 20.834.241 ton. Melihat kandungan pati pada singkong

sebesar 90%, maka pada tahun tersebut dapat menghasilkan 18.750.816,9 ton pati

singkong. Produksi pati yang tinggi, penanamannya yang mudah, dan mudah

didapatkan di Indonesia menjadikan singkong sangat potensial dijadikan sebagai

bahan dasar edible film.

Page 11: Article PDF 22

II. SINGKONG

2.1 Botani Singkong

Singkong merupakan tanaman perdu yang berasal dari Amerika Selatan

dengan lembah sungai Amazon sebagai tempat penyebarannya (Odigboh, 1983 dalam

Chan 1983). Ubi ini merupakan tanaman dikotil berumah satu yang ditanam untuk

diambil patinya yang sangat layak cerna. Pohon singkong dapat tumbuh hingga 1-4

meter dengan daun besar yang menjari dengan 5 hingga 9 belahan lembar daun.

Batangnya memiliki pola percabangan yang khas, yang keragamannya tergantung

pada kultivar (Rubatzky dan Yamaguchi, 1995). Gambar pohon singkong dapat

dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Pohon Singkong (Sumber: Grahito, 2007)

Bagian dari ubi singkong yang dapat dimakan mencapai 80-90%. Bentuknya

dapat berupa silinder, kerucut, atau oval (Wankhede, Satwadhar, dan Sawate, 1998

Page 12: Article PDF 22

dalam Salunkhe dan Kadam, 1998). Panjang ubi berkisar 15 hingga 100 cm dan

diameternya 3 hingga 15 cm. Bobot ubi kayu berkisar beberapa ratus gram hingga 15

kg. Tanaman singkong umumnya menghasilkan sekitar 5-10 ubi (Rubatzky dan

Yamaguchi, 1995). Ubi singkong yang matang terdiri atas tiga lapisan yang jelas

yaitu; peridermis luar, cortex, dan daging bagian tengah (Odigboh, 1983 dalam Chan

1983). Ubi singkong dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Ubi singkong (Sumber: Grahito, 2007)

Klasifikasi singkong adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae, Divisi :

Spermatophyta, Sub Divisi : Angiospermae, Kelas : Dicotyledoneae, Ordo :

Euphorbiales, Famili : Euphorbiaceae, Genus : Manihot, Spesies : Manihot utilissima

Pohl.; Manihot esculenta Crantz sin (Prihatman, 2000).

Menurut Odigboh (1983) dalam Chan (1983), spesies dari singkong

dibedakan berdasarkan kandungan HCN, yaitu jenis pahit (Manihot esculenta

Crantz.; M. utilissma Pohl.) dan manis (M. dulcus Baill.; M. palmatta Muell.; M. aipi

Pohl.)

Page 13: Article PDF 22

2.2 Komposisi Kimia

Menurut Wankhede et. al. (1998) dalam Salunkhe dan Kadam (1998),

singkong merupakan salah satu sumber kalori bagi penduduk kawasan tropis di dunia.

Ubi singkong kaya akan karbohidrat yaitu sekitar 80-90% (bb) dengan pati sebagai

komponen utamanya. Menurut Odigboh (1983) dalam Chan (1983), singkong relatif

kaya akan kalsium dan asam askorbat (vitamin C). Namun ubi ini tidak dapat

langsung dikonsumi dalam bentuk segar tapi selalu dilakukan pengolahan seperti

pemanasan, perendaman dalam air, penghancuran, atau beberapa proses tradisional

lainnya dengan tujuan untuk detoksifikasi atau membuang HCN yang bersifat

mematikan yang dikandung dari semua varietas singkong. Kandungan kalori dan

komposisi zat gizi dalam 100 gram singkong disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan Kalori dan Komposisi Zat Gizi dalam 100 gram Singkong Komposisi Kimia Jumlah

Air (g) Karbohidrat (g) Protein (g) Lemak (g) Ca (mg) Fe (mg) Thiamin B1 (mg) Riboflavin B2 (mg) Niacin (mg) Vitamin C (mg) Energi (kal)

62,5 34,7 1,2 0,3 33,0 0,7 0,06 0,03 0,6 36 146,0

Sumber : Odigboh (1983) dalam Chan (1983).

Page 14: Article PDF 22

2.3 Pati Singkong

Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati terdiri

dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut

amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin (Winarno, 1984). Struktur amilosa

merupakan struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa. Amilopektin terdiri dari

struktur bercabang dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa dan titik percabangan

amilopektin merupakan ikatan α-(1,6). Berat molekul amilosa dari beberapa ribu

hingga 500.000, begitu pula dengan amilopektin (Lehninger, 1982).

Pati dapat diekstrak dengan berbagai cara, berdasarkan bahan baku dan

penggunaan dari pati itu sendiri. Untuk pati dari ubi-ubian, proses utama dari

ekstraksi terdiri perendaman, disintegrasi, dan sentrifugasi. Perendaman dilakukan

dalam larutan natrium bisulfit pada pH yang diatur untuk menghambat reaksi

biokimia seperti perubahan warna dari ubi. Disintegrasi dan sentrifugasi dilakukan

untuk memisahkan pati dari komponen lainnya (Liu, 2005 dalam Cui, 2005).

Diagram alir ekstraksi pati dari umbi akar dapat dilihat pada Gambar 3.

Pati singkong mengandung 83% amilopektin yang mengakibatkan pasta yang

terbentuk menjadi bening dan kecil kemungkinan untuk terjadi retrogradasi

(Friedman, 1950; Gliksman, 1969 dikutip Odigboh, 1983 dalam Chan, 1983).

Menurut Murphy (2000) dalam Phillips dan Williams (2000), ukuran granula pati

singkong 4-35 µm, berbentuk oval, kerucut dengan bagian atas terpotong, dan seperti

kettle drum. Suhu gelatinisasi pada 62-73OC, sedangkan suhu pembentukan pasta

pada 63OC. Menurut Santoso, Saputra, dan Pambayun (2004), pati singkong relatif

Page 15: Article PDF 22

mudah didapat dan harganya yang murah. Bentuk granula pati singkong dapat dilihat

pada Gambar 4.

Gambar 3. Diagram alir ekstraksi pati dari umbi akar (Liu, 2005 dalam Cui, 2005)

Gambar 4. Granula Pati Singkong (Niba, 2006 dalam Hui, 2006)

Pati

sentrifugasi

sedimentasi, pencucian

Umbi akar

pencucian, pengupasan, disintegrasi

Page 16: Article PDF 22

III. EDIBLE FILM

Definisi Edible Film dan Fungsi

Merurut Arpah (1997) dikutip Christsania (2008), edible packaging pada

bahan pangan pada dasarnya dibagi menjadi tiga jenis bentuk, yaitu: edible film,

edible coating, dan enkapsulasi. Hal yang membedakan edible coating dengan edible

film adalah cara pengaplikasiannya. Edible coating langsung dibentuk pada produk,

sedangkan pada edible film pembentukannya tidak secara langsung pada produk yang

akan dilapisi/dikemas. Enkapsulasi adalah edible packaging yang berfungsi sebagai

pembawa zat flavor berbentuk serbuk. Edible film didefinisikan sebagai lapisan yang

dapat dimakan yang ditempatkan di atas atau di antara komponen makanan (Lee dan

Wan, 2006 dalam Hui, 2006).

Fungsi dari edible film sebagai penghambat perpindahan uap air, menghambat

pertukaran gas, mencegah kehilangan aroma, mencegah perpindahan lemak,

meningkatkan karakteristik fisik, dan sebagai pembawa zat aditif. Edible film yang

terbuat dari lipida dan juga film dua lapis (bilayer) ataupun campuran yang terbuat

dari lipida dan protein atau polisakarida pada umumya baik digunakan sebagai

penghambat perpindahan uap air dibandingkn dengan edible film yang terbuat dari

protein dan polisakarida dikarenakan lebih bersifat hidrofobik (Lee dan Wan, 2006

dalam Hui, 2006).

Jumlah karbondioksida dan oksigen yang kontak dengan produk merupakan

salah satu yang harus diperhatikan untuk mempertahan kualitas produk dan akan

Page 17: Article PDF 22

berakibat pula terhadap umur simpan produk. Film yang terbuat dari protein dan

polisakarida pada umumnya sangat baik sebagai penghambat perpindahan gas,

sehingga efektif untuk mencegah oksidasi lemak. Komponen volatil yang hilang atau

yang diserap oleh produk dapat diatur dengan melakukan pelapisan edible coating

atau film (Lee dan Wan, 2006 dalam Hui, 2006).

Edible film dapat bergabung dengan bahan tambahan makanan dan substansi

lain untuk mempertinggi kualitas warna, aroma, dan tekstur produk, untuk

mengontrol pertumbuhan mikroba, serta untuk meningkatkan seluruh kenampakan.

Asam benzoat, natrium benzoat, asam sorbat, potasium sorbat, dan asam propionat

merupakan beberapa antimikroba yang ditambahkan pada edible film untuk

menghambat pertumbuhan mikroba. Asam sitrat, asam askorbat, dan ester lainnya,

Butylated Hydroxyanisole (BHA), Buthylated Hydroxytoluen (BHT), Tertiary

Butylated Hydroxyquinone (TBHQ) merupakan beberapa antioksidan yang

ditambahkan pada edible film untuk meningkatkan kestabilan dan mempertahankan

komposisi gizi dan warna makanan dengan mencegah oksidasi ketengikan, degradasi,

dan pemudaran warna (discoloration) (Cuppett, 1994 dalam Krochta, Baldwin, Dan

Nisperos-Carriedo, 1994).

Bakan Baku Edible Film

Komponen penyusun edible film dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu;

hidrokoloid, lipida, dan komposit. Hidrokoloid yang cocok antara lain senyawa

protein, turunan selulosa, alginat, pektin, pati dan polisakarida lainnya. Lipida yang

Page 18: Article PDF 22

biasa digunakan waxes, asilgliserol, dan asam lemak. Sedangkan komposit

merupakan gabungan lipida dengan hidrokoloid (Dohowe dan Fennema, 1994 dalam

Krochta et. al., 1994).

Edible film dan coating dapat diklasifikasikan berdasarkan kemungkinan

penggunaannya dan jenis film yang sesuai, yang dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kemungkinan Penggunaan Edible Film dan Coating Penggunaan Jenis film yang sesuai Menghambat penyerapan uap air Menghambat penyerapan gas Menghambat penyerapan minyak dan lemak Menghambat penyerapan zat-zat larut Meningkatkan kekuatan struktur atau memberi kemudahan penanganan Menahan zat-zat volatil Pembawa bahan tambahan makanan

Lipida, komposit Hidrokoloid, lipida, atau komposit Hidrokoloid Hidrokoloid, lipida, atau komposit Hidrokoloid, lipida, atau komposit Hidrokoloid, lipida, atau komposit Hidrokoloid, lipida, atau komposit

Sumber : Donhowe dan Fennema (1994) dalam Krochta et. al. (1994).

3.2.1 Hidrokoloid

Hidrokoloid yang digunakan dalam pembuatan edible film adalah protein atau

karbohidrat. Film yang dibentuk dari karbohidrat dapat berupa pati, gum (seperti

contoh alginat, pektin, dan gum arab), dan pati yang dimodifikasi secara kimia.

Pembentukan film berbahan dasar protein antara lain dapat menggunakan gelatin,

kasein, protein kedelai, protein whey, gluten gandum, dan protein jagung. Film yang

terbuat dari hidrokoloid sangat baik sebagai penghambat perpindahan oksigen,

karbondioksida, dan lemak, serta memiliki karakteristik mekanik yang sangat baik,

Page 19: Article PDF 22

sehinggga sangat baik digunakan untuk memperbaiki struktur film agar tidak mudah

hancur (Dohowe dan Fennema, 1994 dalam Krochta et. al., 1994).

Polisakarida sebagai bahan dasar edible film dapat dimanfaatkan untuk

mengatur udara sekitarnya dan memberikan ketebalan atau kekentalan pada larutan

edible film. Pemanfaatan dari senyawa yang berantai panjang ini sangat penting

karena tersedia dalam jumlah yang banyak, harganya murah, dan bersifat nontoksik

(Nisperos-Carriedo, 1994 dalam Krochta et. al., 1994).

Beberapa jenis protein yang berasal dari protein tanaman dan hewan dapat

membentuk film seperti zein jagung, gluten gandum, protein kedelai, protein kacang,

keratin, kolagen, gelatin, kasein, dan protein dari whey susu, karena sifat dari protein

tersebut yang mudah membentuk film. Albumin telur dapat digunakan sebagai bahan

pembetuk film yang baik yang dikombinasikan dengan gluten gandum, dan protein

kedelai (Gennadios, McHugh, Weller, dan Krochta, 1994 dalam Krochta et. al.,

1994).

3.2.2 Lipida

Film yang berasal dari lipida sering digunakan seagai penghambat uap air,

atau bahan pelapis untuk meningkatkan kilap pada produk-produk kembang gula.

Film yang terbuat dari lemak murni sangat terbatas dikarenakan menghasilkan

kekuatan struktur film yang kurang baik (Dohowe dan Fennema, 1994 dalam Krochta

et. al., 1994). Karakteristik film yang dibentuk oleh lemak tergantung pada berat

molekul dari fase hidrofilik dan fase hidrofobik, rantai cabang, dan polaritas. Lipida

Page 20: Article PDF 22

yang sering digunkan sebagai edible film antara lain lilin (wax) seperti parafin dan

carnauba, kemudian asam lemak, monogliserida, dan resin (Lee dan Wan, 2006

dalam Hui, 2006). Jenis lilin yang masih digunakan hingga sekarang yaitu carnauba.

Alasan mengapa lipida ditambahkan dalam edible film adalah untuk memberi sifat

hidrofobik (Hernandez, 1994 dalam Krochta et. al., 1994).

3.2.3 Komposit

Komposit film terdiri dari komponen lipida dan hidrokoloid. Aplikasi dari

komposit film dapat dalam lapisan satu-satu (bilayer), di mana satu lapisan

merupakan hidrokoloid dan satu lapisan lain merupakan lipida, atau dapat berupa

gabungan lipida dan hidrokoloid dalam satu kesatuan film. Gabungan dari hidrokolid

dan lemak digunakan dengan mengambil keuntungan dari komponen lipida dan

hidrokoloid. Lipida dapat meningkatkan ketahanan terhadap penguapan air dan

hidrokoloid dapat memberikan daya tahan. Film gabungan antara lipida dan

hidrokoloid ini dapat digunakan untuk melapisi buah-buahan dan sayuran yang telah

diolah minimal (Dohowe dan Fennema, 1994 dalam Krochta et. al., 1994).

Page 21: Article PDF 22

IV. EDIBLE FILM BERBASIS PATI SINGKONG

4.1 Metode Pembuatan

Metode casting merupakan salah satu metode yang sering digunakan untuk

membuat film. Pada metode ini protein atau polisakarida didispersikan pada

campuran air dan plasticizer, yang kemudian diaduk. Setelah pengadukan dilakukan

pengaturan pH, lalu sesegera mungkin campuran tadi dipanaskan dalam beberapa

waktu dan dituangkan pada casting plate. Setelah dituangkan kemudian dibiarkan

mengering dengan sendirinya pada kondisi lingkungan dan waktu tertentu. Film yang

telah mengering dilepaskan dari cetakan (casting plate) dan kemudian dilakukan

pengujian terhadap karakteristik yang dihasilkan. (Lee dan Wan, 2006 dalam Hui,

2006).

Pembuatan edible film berbasis pati pada dasarnya menggunakan prinsip

gelatinisasi. Dengan adanya penambahan sejumlah air dan dipanaskan pada suhu

yang tinggi, maka akan terjadi gelatinisasi. Gelatinisasi mengakibatkan ikatan

amilosa akan cenderung saling berdekatan karena adanya ikatan hidrogen. Proses

pengeringan akan mengakibatkan penyusutan sebagai akibat dari lepasnya air,

sehingga gel akan membentuk film yang stabil (Careda, Henrique, Oliveira, Ferraz,

dan Vicentini, 2000).

Menurut Sarmento (1997) dikutip Careda et. al. (2000), suhu dimulainnya

gelatinisasi pati yang digunakan pada suhu 60,5OC hingga 65,8OC, dan pada suhu

61,2OC hingga 66,5OC merupakan rentan suhu pengentalan. Pada suhu pendinginan

Page 22: Article PDF 22

hingga 50OC akan sedikit menaikkan kekentalan, kecenderungan untuk terjadi

retrogradasi kecil, dan juga kecil kemungkinannya terjadi kristalisasi. Ketebalan film

dapat diatur dengan memperhatikan rasio luas cetakan dengan larutan edible film

yang digunakan. Pembuatan larutan edible film komposit antara bahan bersifat

hidrofobik dengan hidrofilik, harus ditambahkan emulsifier agar larutan akan lebih

stabil (Santoso dkk., 2004). Proses pembuatan edible film dari pati singkong dapat

dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Diagram Alir Proses Pembuatan Larutan Edible Film Berbasis Pati Singkong (Careda et. al., 2000)

Larutan Pati Singkong 3%

Pemanasan dan pengadukan pada suhu 70OC selama 15-20 menit

Pendinginan pada suhu 25OC

Larutan edible film

Pencetakan pada Polystyrene plates berdiameter 10 cm

Pengeringan pada suhu 50OC selama 24 jam

edible film

Page 23: Article PDF 22

4.2 Karakteristik Film

Pati yang digunakan sebagai edible film dapat pati singkong murni atau pati

yang telah dimodifikasi. Dari setiap bahan tersebut akan mengasilkan karakteristik

film yang berbeda-beda. Menurut Careda et. al. (2000), konsentrasi 3% pati singkong

tanpa modifikasi akan menghasilkan pori-pori yang kecil, yang mungkin disebabkan

gelembung-gelembung kecil dari udara terlarut ketika pemanasan. Pori-pori yang

kecil mengakibatkan edible film dari pati singkong memiliki laju transmisi rendah

terhadap uap air dan gas (Santoso dkk., 2004). Sedangkan pati yang diestrifikasi

(CMA) dengan konsentrasi 3% menunjukkan adanya granula-granula pati dengan

struktur yang kecil yang saling berdempetan. Pati singkong yang dioksidasi (Amilum

320) dengan konsentrasi 3% menunjukkan struktur granula yang utuh dan tidak

hancur dalam air (Careda et. al., 2000). Perbedaan ketiga jenis film tadi yang

dianalisis menggunakan SEM (Scaning Electron Microscopy) dapat dilihat pada

Gambar 6.

Menurut Henrique et. al. (2007), film dari CMA dengan konsentrasi 5% sulit

larut dan cenderung lebih permeabel dan lebih tebal. Sedangkan dengan konsentrasi

3% cenderung memiliki ketebalan yang kecil dan lebih larut. Permebilitas, kelarutan,

dan ketebalan film merupakan karakteristik yang pada umumnya dipengaruhi oleh

konsentrasi bahan keringnya.

Page 24: Article PDF 22

(a) (b)

(c) Gambar 6. (a) Permukaan film dari 3% pati singkong tanpa modifikasi dengan pembesaran SEM 372x, (b) Permukaan film dari 3% CMA dengan pembesaran SEM 463x, (c) Permukaan film dari 3% amilum

320 dengan pembesaran SEM 405x (Careda et. al, 2000)

Menurut Flores et. al. (2006) dalam Bourtoom (2007), tidak ada metode

standar dalam pembuatan edible film sehingga dapat dihasilkan film dengan fungsi

dan karakteristik fisikokimia yang diinginkan akan berbeda. Penelitian-penelitian

yang telah dilakukan dalam pembuatan edible film berbasis pati seringnya dilakukan

penambahan hidrokoloid dan plasticizer agar didapatkan karakteristik film yang baik.

Hidrokoloid berfungsi untuk membentuk struktur film agar tidak mudah hancur.

Plasticizer berfungsi untuk meningkatkan elastisitas dari film dengan mengurangi

derajat ikatan hidrogen dan meningkatkan jarak antar molekul dari polimer (Lee dan

Wan, 2006 dalam Hui 2006). Penggunaan plasticizer yang terlampau banyak akan

Page 25: Article PDF 22

meningkatkan permeabilitas terhadap uap air (Dohowe dan Fennema, 1994 dalam

Krochta et. al., 1994; Lee dan Wan 2006 dalam Hui, 2006 ). Menurut Santoso dkk.

(2004), Pembuatan larutan edible film komposit antara bahan bersifat hidrofobik

dengan hidrofilik, harus ditambahkan emulsifier agar larutan lebih stabil.

Film dari pati dengan penambahan sorbitol sebagai plasticizer memiliki

permebilitas yang rendah terhadap uap air dibandingkan dengan glikol, gliserol,

polietilen glikol, maupun sukrosa pada konsentrasi yang sama (McHugh et. al., 1994

dikutip Bourtoom, 2007). Jenis dan konsentrasi dari plasticizer akan berpengaruh

terhadap kelarutan dari film berbasis pati. Semakin banyak penggunaan plasticizer

maka akan meningkatkan kelarutan. Begitu pula dengan penggunaan plasticizer yang

bersifat hidrofilik juga akan meningkatkan kelarutannya dalam air. Gliserol

memberikan kelarutan yang lebih tinggi dibandingkan sorbitol pada edible film

berbasis pati (Bourtoom, 2007).

Suhu pemanasan yang digunakan ditentukan berdasarkan bahan dasar yang

digunakan dan akan berpengaruh terhadap elastisitas, persentase pemanjangan,

permeabilitas terhadap uap air, dan kelarutan edible film atau coating. Edible film dari

pati singkong menggunakan suhu pemanasan 95OC selama 5 menit akan

menghasilkan kuat tarik (tensile strength) yang maksimum. Peningkatan suhu

pemanasan juga akan menurunkan perentase pemanjangan dari edible film.

Permeabilitas terhadap uap air dan kelarutan akan cenderung menurun seiring dengan

naiknya suhu pemanasan (Bourtoom, 2007).

Page 26: Article PDF 22

4.3 Aplikasi

Edible film berbasis pati singgkong dapat diaplikasikan untuk mengemas apel

yang telah dipotong-potong untuk meminimalkan susut bobot dan menghambat reaksi

pencoklatan. Formulasi 1% pektin(b/v), CaCl2 1,6% (b/b pektin), gliserol 1% (b/v),

2% (b/v) pati singkong, dan 0,04% (b/v) asam palmitat dapat mempertahan kecerahan

warna apel sama dengan apel yang dikemas menggunakan plastik polietilen. Akan

tetapi penurunan berat pada apel yang dikemas dengan menggunakan edible film pati

singkong-pektin tersebut lebih besar dibandingkan dengan apel yang dikemas dengan

plastik polietilen. Hal ini disebabkan karena edible film pati singkong-pektin

memiliki nilai laju transmisi uap air yang besar, sehingga tidak mampu menahan

transmisi uap air dari dalam wadah ke luar dan selanjutnya terjadi pula transmisi uap

air dari dalam ke permukaan buah (Layuk, Djagal, dan Haryadi, 2002)

Edible film komposit dari gliserol, CMC, beeswax, dan pati singkong dapat

digunakan sebagai bahan pengemas primer dodol durian. Dodol durian yang tidak

dikemas hanya memiliki umur simpan hingga tiga hari yang kemudian ditumbuhi

jamur. Penggunaan kemasan tradisional (kertas minyak) hanya tahan hingga hari

penyimpanan selama tujuh hari, selain itu juga kertas minyak lengket dengan bahan

yang dikemas. Penggunaan edible film komposit pati singkong-CMC-beeswax

menghasilkan ketebalan film sebesar 1,12 mm dan dapat mempertahankan umur

simpan dodol durian hingga 25-44 hari (Harris, 2001).

Page 27: Article PDF 22

V. KESIMPULAN

Edible film didefinisikan sebagai lapisan yang dapat dimakan yang

ditempatkan di atas atau di antara komponen makanan, berfungsi sebagai penghambat

perpindahan uap air, menghambat pertukaran gas, mencegah kehilangan aroma,

mencegah perpindahan lemak, meningkatkan karakteristik fisik, dan sebagai

pembawa zat aditif. Bahan baku pembentuk edible film dapat berasal dari pati

singkong. Pati singkong dapat membentuk pasta yang bening dan kecil kemungkinan

untuk terjadi retrogradasi. Kelebihan lain dari pati ini adalah mudah didapatkan dan

relatif murah.

Metode pembuatan edible film yang sering digunakan yaitu metode casting,

yaitu dengan mendispersikan bahan baku edible film, pengaturan pH larutan,

pemanasan larutan, pencetakan, pengeringan, dan pelepasan dari cetakan. Tidak ada

metode standar dalam pembuatan edible film sehingga dapat dihasilkan film dengan

fungsi dan karakteristik fisikokimia yang diinginkan akan berbeda. Namun pada

umumnya dilakukan penambahan hidrokoloid untuk membentuk struktur film yang

tidak mudah hancur dan plasticizer untuk meningkatkan elastisitas.

Lapisan film yang dibentuk memiliki pori-pori yang lebih kecil sehingga laju

transmisi terhadap uap air dan gas juga rendah. Edible film berbasis pati singkong

dapat diaplikasikan untuk mengemas apel potong sehingga dapat mempertahan

kecerahan warna apel dan dapat mempertahankan umur simpan dodol durian hingga

25-44 hari.

Page 28: Article PDF 22

DAFTAR PUSTAKA

Biro Pusat Statistik. 2009. Statistik Indonesia; Harvested Area, Yield Rate and Production of Cassava by Province. Available at : http://www.datastatistik-indonesia.com/component/option,com_tabel/kat,1/idtabel,111/Itemid,165 (diakses tanggl 6 Januari 2009)

Bourtoom, T. 2007. Effect of Some Process Parameters on The Properties of Edible Film Prepared From Starch. Department of Material Product Technology, Songkhala. (on line) Avaliable at: http://vishnu.sut.ac.th/iat/food_innovation/ up/rice%20starch%20film.doc

Careda, M. P., C. M. Henrique, M. A. de Oliveira, M. V. Ferraz, N. M. Vincentini. 2000. Characterization of Edible Films of Cassava Starch by Electron Microscopy. Braz. J. Food Technol 3 : 91-95 (on line). Avaliable at : http://www.ital.sp.gov.br/bj/artigos/bjft/2000/p0040.pdf (diakses tanggal 27 Februari 2009)

Chan, H. T., JR. 1983. Handbook Of Tropical Foods. Marcel Dekker Inc., New York and Bassel.

Cristsania. 2008. Pengaruh Pelapisan Dengan Edible Coating Berbahan Baku Karagenan Terhadap Karakteristik Buah Stroberi (Fragaria nilgerrensis) Selama Penyimpanan Pada Suhu 5OC + 2 OC. Skripsi. Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjadjaran, Jatinangor.

Cui, S. W. 2005. Food Carbohidrates Chemistry, Physical Properties, adn Aplications. CRC Press, Boca Raton, London, New York, Singapore

Grahito, A. 2007. Root And Tuber Crops. Available at: http://indonesian-food-forage.blogspot.com/2007/12 (diakses tanggal 27 Februari 2009)

Harris, H. 2001. Kemungkinan Penggunaan Edible Film Dari Pati Tapioka Untuk Pengemas Lempuk. Jurnal Ilmu-Ilmu pertanian Indonesia 3 (2) : 99-106

Page 29: Article PDF 22

Henrique, C. M., R. F. Teofilo, L. Sabino, M. M. C. Ferreira, dan M. P. Cereda. 2007. Classification of Cassava Starch Film by Physicochemical Properties and Water Vapor Permeability Quantification by FTIR and PLS. Journal of Food Science. 74: E184-E189 (on line). Avaliable at: http://chipre.iqm.unicamp.br/~marcia/Pub104.pdf (diakses tanggal 27 Februari 2009)

Hui, Y. H. 2006, Handbook of Food Science, Technology, and, Engineering Volume I. CRC Press, USA

Krochta, J. M., E. A. Baldwin, dan M. O. Nisperos-Carriedo. 1994. Edible Coating and Film to Improve Food Quality. Technomic Publishing Company, New York, NY.

Layuk, P., Djagal W. M., Haryadi. 2002 Karakteristik Komposit Film Edible Pektin Daging Buah Pala (Myristica fragrans Houtt) dan Tapioka. Jurnal Teknol dan Industri Pangan XIII (2).

Lehninger, A., L. 1982. Dasar-Dasar Biokimia. Penterjemah: M. Thenawijaya. Erlangga, Jakarta

Phillips, G. O., P. A. Williams. 2000. Starch. Dalam: Handbook of Hydrocolloids. CRC Press, Cambridge, London.

Prihatman, K. 2000. Ketela Pohon/Singkong (Manihot utilissima Pohl). Available at: http://www.ristek.go.id (diakses tangga 6 Februari 2009)

Rubatzky, V. E., and M. Yamaguchi. 1995. Sayuran Dunia 1. Penerjemah : Catur Herison. Penerbit ITB, Bandung

Salunkhe, D. K., S. S. Kadam. 1998. Handbook of Vegetable Science and Technology : Production, Composition, Storage, and Processing Food Science and Technology. Marcel Dekker Inc., New York, Basel, Hongkong.

Santoso, B., D. Saputra, dan Pambayun, R. 2004. Kajian Teknologi Edible Coating dari Pati dan Aplikasinya Untuk Pengemas Primer Lempok Durian. Jurnal Teknol dan Industri Pangan XV (3).

Page 30: Article PDF 22

Winarno, F. G. 1984. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta.

Page 31: Article PDF 22

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 15 Juli 1987 di Bandung, Jawa Barat. Anak ke 3 dari

3 bersaudara dari pasangan Bapak Endang Wachyu BSc. dan Ibu Apong Amanah

S.Pd. Pada Tahun 1993 penulis masuk Sekolah Dasar Negeri Merdeka V/4 Bandung

dan selesai pada tahun 1999. Selanjutnya penulis masuk Sekolah Menengah Pertama

Negeri 27 Bandung dan lulus tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis melenjutkan

ke Sekolah Menengah Umum Negeri 12 Bandung dan lulus pada tahun 2005. Pada

tahun 2006 penulis mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru dan diterima

sebagai mahasiswa di Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Jurusan Teknologi

Industri Pangan, Universitas Padjadjaran.