Top Banner
Metode Prakiraan Besaran Dampak (Kerusakan) Terumbu Karang dari Kegiatan Penangkapan Ikan Oleh Dewa Gede Raka Wiadnya Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya – Malang Malang, 2011 Kontak: [email protected] Saran Sitasi: Wiadnya, D.G.R. (2011) Metode Prakiraan Besaran Dampak (Kerusakan) Terumbu Karang dari Kegiatan Penangkapan Ikan. Makalah Mata Kuliah Dampak Lingkungan dan Analisisnya. Mahasiswa S3 Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan. UB, Malang., 18p 1
31

Article AMDAL GedeWiadnya Jan2011

Jul 01, 2015

Download

Documents

gwiadnya
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Article AMDAL GedeWiadnya Jan2011

Metode Prakiraan Besaran Dampak (Kerusakan) Terumbu Karang dari Kegiatan Penangkapan Ikan

OlehDewa Gede Raka Wiadnya

Fakultas Perikanan dan Ilmu KelautanUniversitas Brawijaya – MalangMalang, 2011Kontak: [email protected]

Saran Sitasi: Wiadnya, D.G.R. (2011) Metode Prakiraan Besaran Dampak (Kerusakan) Terumbu Karang dari Kegiatan Penangkapan Ikan. Makalah Mata Kuliah Dampak Lingkungan dan Analisisnya. Mahasiswa S3 Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan. UB, Malang., 18p

1

Page 2: Article AMDAL GedeWiadnya Jan2011

Abstrak

Penangkapan berlebih dan penangkapan destruktif merupakan dua masalah utama yang menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang di Indonesia dan Asia tenggara. Makalah menyajikan metode penentuan besaran dampak (kerusakan) ekosistem terumbu karang dari kegiatan penangkapan ikan. Kerusakan alat tangkap terhadap ekosistem terumbu karang terjadi melalui mekanisme kerusakan kolateral, hasil samping (by-catch), perubahan rakitan spesies dan alat non-destruktif. Besaran dampak dari masing-masing mekanisme ditentukan berdasarkan nilai scope, severity dan irreversibility. Kategori besaran dampak dibedakan menjadi empat: sangat tinggi, tinggi, sedang dan rendah. Hasil racangan (metode) diujikan dengan menggunakan 10 jenis alat tangkap yang umum di Jawa Timur. Analisis dilakukan terhadap besarnya dampak kerusakan yang disebabkan terhadap ekosistem terumbu karang. Penilaian dilakukan melalui metode expert judgment. Responden dipilih dari staf pengajar mata kuliah terkait dan mahasiswa senior yang sedang melakukan penelitian topik yang sama. Hasil analisis menunjukkan bahwa metode prakiraan dampak bisa digunakan untuk kasus alat tangkap dan lingkungan terumbu karang. Beberapa masalah terkait dengan perbedaan nilai diantara pakar dibahas lebih lanjut dalam makalah.

2

Page 3: Article AMDAL GedeWiadnya Jan2011

1. Pendahuluan

1.1. Indonesia: Coral Triangle Center

Istilah terumbu karang (coral reef) umumnya mengacu pada ekosistem laut yang didominasi oleh binatang karang (coral polyp), dengan simbion alga jenis zooxanthellae di dalam jaringan tubuhnya. Ekosistem ini membutuhkan: (1) air laut; (2) suhu air yang cukup hangat atau tropis dan (3) terdapat sinar matahari yang cukup. Oleh karena itu keberadaan terumbu karang lebih terbatas pada daerah perairan dangkal di wilayah tropis (Kleypas & Yates, 2009). Terumbu karang sering diibaratkan sebagai “hutan hujan tropis yang ada di laut” (Mulhall, 2009). Dalam luasan < 1% dari dasar laut, atau sekitar setengah dari luas daratan Prancis, terumbu karang menyediakan rumah (tempat) bagi sekitar 25% dari spesies laut di dunia (Green & Mous, 2008). Peneliti memperkirakan ada sekitar satu juta spesies yang tinggal dalam lingkungan terumbu karang. Lebih dari empat ribu jenis ikan yang sudah diketahui menempati terumbu karang sebagai wilayah “home range”. Hanya hutan hujan tropis yang bisa menyaingi konsentrasi spesies yang ditemukan pada terumbu karang, namun hutan hujan tropis mempunyai luasan 20x lipat dibandingkan luas terumbu karang (Hughes et al., 2003; Mulhall, 2009).Luas total terumbu karang di dunia mencapai sekitar 284 ribu km2 (Wilkinson, 2002). Diantara daftar 21 negara di dunia yang memiliki terumbu karang (>= 1% total luas karang dunia), Indonesia mempunyai terumbu karang terluas (Tabel 1). Australia dan Filipina, masing-masing menempati urutan kedua dan Ketiga. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai lokasi yang sangat penting dan strategis karena menyimpan keanekaragaman hayati laut yang tidak ditemui di tempat lain di dunia. Indonesia dikatakan sebagai bagian dari pusat spesiasi bagi spesies karang keras (Briggs, 2005b; Hoeksema, 2007). Spesies karang di tempat lain bisa ditemukan di Indonesia, namun tidak terjadi sebaliknya. Jika terjadi kerusakan ekosistem terumbu karang di daerah lain, ada kemungkinan terjadi pemulihan karena sebaran spesies karang dari Indonesia. Namun sebaliknya tidak akan terjadi karena beberapa spesies karang di Indonesia yang tidak ditemui di tempat lain – center of coral speciation.Sejak awal tahun 1950an, ahli biologi laut telah mengidentifikasi suatu wilayah di laut dengan keanekaragaman sumber hayati yang sangat tinggi – wilayah tersebut disebut Indo-Pasifik Barat (Veron, 1995; Roberts, et al., 2002; Briggs, 2005a; 2005b). Penemuan aqualung dan alat selam sekitar 30 tahun yang lalu telah membuat loncatan penemuan bawah air. Pada awal tahun 2000, ahli biologi laut mulai mendiskusikan kembali hipotesis yang mereka buat pada tahun 1950. Pertemuan pakar tersebut awalnya dilakukan di Bali pada tahun 2003. Setelah 5 tahun mereka memutuskan istilah “Coral Triangle” – sebagai pusat keanekaragaman hayati laut dan terumbu karang tertinggi di dunia (Green & Mous, 2008). Coral Triangle di definisikan sebagai wilayah di laut dengan keanekaragaman karang keras tertinggi di dunia. Namun ahli lian, seperti ikan (Allen et al., 1998; 2003; Kuiter, 2006), ahli karang jamur (Hoeksema, 2007) mengklaim daerah tersebut sebagai pusat keanekaragaman biota laut (Gambar 1). Coral Triangle meliputi wilayah laut dari enam negara: sebagian besar wilayah Indonesia, Filipina, Malaysia, Papua New Guinea, Timor Leste dan Solomon Island.

3

Page 4: Article AMDAL GedeWiadnya Jan2011

Tabel 1 Luas terumbu karang diantara 21 daftar negara di dunia yang memiliki wilayah laut dan ditumbuhi terumbu karang (Sumber: Wilkinson, 2002)

Gambar 1 Coral Triangle (Segi-Tiga Karang) – wilayah di laut dengan jumlah spesies karang keras tertinggi di dunia, pada gambar ditunjukkan oleh warna merah (Sumber: Green & Mous, 2008)

1.2. Nilai ekonomi ekosistem terumbu karang

Terumbu karang merupakan ekosistem yang paling produktif di dunia, dan hanya bisa disaingi oleh hutan hujan tropis yang paling subur (Connel, 1978; Walker & Wood, 2005). Sebagai sumber daya, terumbu karang mempunyai nilai manfaat langsung secara ekstraktif (perikanan, penambangan karang dan obat-obatan) dan nilai manfaat langsung non-ekstraktif (contoh paling jelas adalah pariwisata alam) (Cesar, 1996; Cesar & Chong, 2005). Secara fungsional, ekosistem terumbu karang bermanfaat sebagai

4

Page 5: Article AMDAL GedeWiadnya Jan2011

CO2 sink agent karena kemampuannya menyerap CO2 melalui pembentukan kerangka kapur (Boucher et. al., 1998). Setiap polyp karang hidup dengan simbion zooxanthellae di dalam tubuhnya, alga sel tunggal, yang mampu melakukan fotosistesa secara efektif. Hal ini menyebabkan terumbu karang sangat potensial sebagai penghasil produksi bersih – oxygen net production (Hargreaves-Allen, 2004; Kleypas & Yates, 2009).Secara fisik, terumbu karang merupakan struktur ekologi yang mampu mengurangi energi gelombang menjadi setengah dari kekuatan semula. Ekosistem terumbu karang umumnya berasosiasi dengan padang lamun dan hutan bakau. Ketiga ekosistem ini mampu mematahkan energi gelombang secara bersama, sehingga bisa mencegah terjadinya tsunami. Selain mencegah abrasi pantai, terumbu karang juga mampu membentuk lahan baru ke arah laut – land reclamation (UNEP-WCMC, 2006; CI, 2008).Ekosistem terumbu karang menyimpan keanekaragaman sumber daya hayati yang sebagaian besar masih belum sempat diteliti secara ilmiah. Terumbu karang juga menyimpan estetika atau keindahan alam yang sangat unik dan tidak bisa dibandingkan dengan kondisi di darat. Kedua sifat tersebut di atas menjadikan terumbu karang sebagai produk dengan nilai warisan (heritage value) yang sangat tinggi. Dari fungsi terumbu karang sebagai pelindung pantai dan pariwisata bahari, jika terumbu karang di Indonesia dibiarkan seperti kondisi saat ini, setiap km2 terumbu karang mempunyai nilai setara 1,16 juta USD dalam 25 tahun (Cesar, 1996)

1.3. Ancaman terhadap eksoistem terumbu karang

Terumbu karang di Asia Tenggara, terutama di Indonesia, mengalami ancaman serius yang disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut: (1) pemanasan global (global warming), (2) sedimentasi karena pembukaan lahan hutan di darat, (3) polusi dari limbah pengeboran minyak dan air ballast, (4) konversi lahan pesisir untuk pemukiman maupun tambak, (5) penangakapan berlebih dan (6) penangkapan destruktif (Burke, Selig & Spalding, 2002; Kura et. al., 2004).

Pemanasan global, sebagai akibat dari perubahan iklim sudah menunjukkan dampak riil pada terumbu karang (Hughes et al., 2003; IPCC, 2007; Keller et al., 2009). Dampak paling awal adalah terjadinya bleaching – bleaching didefinisikan sebagai keluarnya simbion zooxanthellae dari tubuh binatang karang sebagai dampak dari stress karena peningkatan suhu permukaan air laut. Indikasi terjadinya bleaching adalah terumbu karang berwarna putih karena hilangnya sifat fluorescence yang dibawa oleh zooxanthellae. Bleaching akan menurunkan kemampuan tumbuh terumbu karang serta melambatnya proses pembentukan kerangka kapur. Akibatnya, terumbu karang akan kehilangan kemampuan untuk menyimpan karbon (carbon sequester) maupun penghasil oksigen (net production) (Kleypas & yates, 2009)

Pemukaan lahan hutan di darat telah menyebabkan meningkatnya sedimentasi di pantai. Hal ini akan menurunkan intensitas sinar matahari yang mencapai permukaan karang sehingga zooxanthellae tidak bisa melakukan fotosintesa secara optimal (Bellwood et. al., 2004). Sedimentasi juga akan menutupu permukaan tentakel dari polyp karang sehingga menurunkan kemampuannya untuk menangkap mangsa. Kondisi ini diperparah dengan pencemaran lokal lainnya dari pengeboran minyak di pantai dan pembuangan air ballast kapal pengangkut.

Dalam kurun waktu 50 tahun terakhir, terjadi konversi lahan bakau di wilayah pantai secara intensif. Konsversi lahan tersebut terjadi untuk memenuhi kebutuhan terhadap pemukiman dan lahan budidaya

5

Page 6: Article AMDAL GedeWiadnya Jan2011

tambak intensif. Akibatnya, fungsi hutan bakau sebagai perangkap bahan organik dan menyerap bahan pencemar tidak optimal yang akhirnya berpengaruh pada ekosistem terumbu karang.

Hasil analisis Reef at Risk at Southeast Asia (Burke, Selig & Spalding, 2002) mendapatkan bahwa ancaman utama kerusakan terumbu karang di Indonesia disebebakan oleh dua kegiatan utama, yaitu: penangkapan berlebih dan penangkapan destruktif (Pet & Erdmann, 1998; Mous et. al., 2000; Wilson et. al., 2008; ). Penangkapan berlebih didefinisikan sebagai laju penangkapan yang melebihi kemampuan alam untuk melakukan pemulihan (Wiadnya et. al., 2005a; 2005b). Sedangkan penangkapan destruktif adlah aktifitas penangkapan yang membahayakan pelaku, menyebabkan kerusakan habitat dan membahayakan konsumen atau pengguna produk ikan.

Gambar 2 Ancaman utama kerusakan terumbu karang di Indonesia terutama disebabkan oleh faktor penangkapan berlebih dan penangkapan destruktif (Sumber: Burke, Selig & Spalding, 2002).

1.4. Rasional

Terumbu karang termasuk ekosistem yang paling produktif, sensitif, menyimpan keanekaragaman sumber daya hayati sangat beragam dan mempunyai nilai guna ekonomi sangat tinggi. Indonesia

6

Page 7: Article AMDAL GedeWiadnya Jan2011

mempunyai peran sangat penting dalam perlindungan terumbu karang karena posisinya di dalam “Coral Triangle”. Namun pada saat yang sama, terumbu karang di Indonesia mengalami ancaman yang sangat serius, terutama dari kegiatan penangkapan berlebih dan penangkapan destruktif. Sustau penelusuran terhadap jenis kegiatan penangkapan yang memberikan prakiraaan dampak penting terhadap ekosistem terumbu karang akan sangat bermanfaat dalam usaha pengelolaan perikanan laut secara berkelanjutan.

1.5. Tujuan

Makalah ini bertujuan untuk memformulasi metode prakiraan dampak (kerusakan) ekosistem terumbu karang dari kegiatan penangkapan ikan. Fokus penelusuran dilakukan pada kasus-kasus perikanan tangkap di Indonesia dan Jawa Timur.

2. Metode pendugaan prakiraan dampak

2.1. Kerangka teoritis

Alat tangkap di Jawa Timur (DJP, 1975; Yamamoto, 1980) bisa dibedakan ke dalam 10 kategori, yaitu: (1) bubu dan perangkap; (2) rawai dasar; (3) gill net dasar; (4) pukat pantai; (5) bom dan compressor sianida; (6) pancing; (7) gill net pertengahan; (8) dogol; (9) rawai permukaan; dan (10) pukat cincin. Masing-masing kategori alat tangkap bisa menyebabkan penangkapan berlebih (over-fishing) atau penangkapan destruktif (penangkapan merusak) pada tingkatan yang berbeda. Penangkapan berlebih atau penangkapan destruktif terhadap ekosistem terumb karang terjadi melalui salah satu atau kombinasi mekanisme berikut: (1) kerusakan kolateral; (2) hasil samping (by-catch); (3) perubahan rakitan spesies; dan (4) alat non-selektif.

Kerusakan kolateral didefinisikan sebagai kerusakan lingkungan habitat dan ikan yang terjadi sebagai akibat dari cara operasi suatu alat tertentu pada ekosistem terumbu karang (Chuenpagdee et. al., 2003). Setiap alat tangkap selalu ditujukan untuk menangkap ikan tertentu yang disebut target spesies. Dalam operasi penangkapan, alat tangkap sering menangkap ikan-ikan lain secara insidental, selain ikan target. Ikan-ikan non-target yang tertangkap secara insidental dari operasi alat tangkap tertentu disebut hasil samping atau by-catch (Kennely & Broadhurst, 2002; Davies et. al., 2009; Metin et. al., 2009). Hasil samping atau by-catch didefinisikan sebagai operasi alat tangkap tertentu yang mendapatkan hasil samping (by-catch), walaupun tidak diinginkan, melebihi biomas dari ikan target spesies. Rakitan spesies didefinisikan sebagai operasi alat tangkap yang menyebabkan pengurangan suatu spesies tertentu secara berlebihan sehingga menyebabkan berubahnya struktur rantai makanan dalam ekosistem terumbu karang. Hal ini sering terjadi jika alat tangkap mempunyai target spesies yang berada pada puncak rantai makanan. Alat tangkap non-selektif didefinisikan sebagai operasi satu jenis alat tangkap yang mengambil hampir semua jenis dan semua ukuran dari ikan yang berada di dalam lingkungan terumbu karang (Huse,Løkkeborg, & Soldal, 2000).

Besarnya dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh masing-masing alat tangkap terhadap ekosistem terumbu karang atau spesies dalam terumbu karang ditentukan berdasarkan ukuran scope (luasan dampak), severity (tingkat keparahan kerusakan yang ditimbulkan pada terumbu karang) dan irreversibility (ketidak berbalikan dari ekosistem terumbu karang).

7

Page 8: Article AMDAL GedeWiadnya Jan2011

Scope – cakupan atau luasan dampak, didefinisikan sebagai proporsi (spasial) kerusakan ekosistem terumbu karang (dalam skala luasan) yang disebabkan oleh kegiatan penangkapan (melalui mekanisme kerusakan kolateral, hasil samping atau by-catch, perubahan rakitan spesies, atau alat yang non-selektif), selama 10 tahun mendatang (diukur dari kondisi saat ini). Kategori Scope dibedakan sebagai berikut:

Sangat Tinggi: dampak kerusakan mencapai cakupan yang sangat luas (pervasive), memengaruhi sebagian besar atau seluruh (71-100%) ekosistem terumbu karang.

Tinggi: dampak kerusakan mencapai cakupan yang luas (widespread) memengaruhi sebagian besar (31-70%) ekosistem terumbu karang.

Sedang: dampak kerusakan mencapai beberapa bagian (11-30%) dari ekosistem terumbu karang

Rendah: dampak kerusakan mencapai cakupan yang terbatas, memengaruhi sebagian kecil (1-10%) dari ekosistem terumbu karang.

Severity – keparahan, didalam scope (spasial), didefinisikan sebagai besaranya (keparahan) dampak kerusakan pada ekosistem terumbu karang yang disebabkan oleh kegiatan penangkapan (melalui mekanisme kerusakan kolateral, hasil samping atau by-catch, perubahan rakitan spesies, atau alat yang non-selektif), jika penangkapan terus terjadi selama periode 10 tahun ke depan (dari kondisi saat ini). Untuk keparahan ekosistem terumbu karang, keparahan diukur sebagai tingkat kerusakan atau degradasi dari terumbu karang yang ada di dalam scope. Untuk spesies di dalam ekosistem terumbu karang, keparahan diukur sebagai tingkat penurunan populasi yang ada di dalam scope. Kategori Severity dibedakan sebagai berikut:

Sangat Tinggi: didalam scope, dampak bisa merusak atau menghilangkan ekosistem terumbu karang, atau mengurangi jumlah populasi spesies sebesar 71-100% dalam jangka waktu sepuluh tahun.

Tinggi: didalam scope, dampak bisa menurunkan/mengurangi ekosistem terumbu karang secara nyata, atau mengurangi jumlah populasinya sebesar 31-70% dalam jangka waktu sepuluh tahun.

Sedang: didalam scope, dampak bisa menurunkan/mengurangi ekosistem terumbu karang dalam skala sedang, atau mengurangi jumlah populasinya sebesar 11-30% dalam jangka waktu sepuluh tahun.

Rendah: didalam scope, dampak bisa menurunkan/mengurangi ekosistem terumbu karang relatif rendah, atau mengurangi populasi sebesar 1-10% dalam kurun waktu sepuluh tahun.

Irreversibility: ireversibilitas, ketidak berbalikan, didefinisikan sebagai tingkat yang menunjukkan besarnya pengaruh aktifitas penangkapan (melalui mekanisme kerusakan kolateral, hasil samping atau by-catch, perubahan rakitan spesies, atau alat yang non-selektif) yang menyebabkan ekosistem terumbu karang atau spesies penghuni terumbu karang tidak bisa dipulihkan kembali. Kategori irreversibility dibedakan sebagai berikut:

Sangat Tinggi: pengaruh atau dampak kegiatan penangkapan tidak bisa dibalikkan dan hampir tidak mungkin bagi terumbu karang untuk dipulihkan, dan/atau akan memakan waktu lebih dari 100 tahun untuk mencapai hal ini (misalnya, seluruh area terumbu karang dibom yang menyebabkan permukaan substrat dasar tidak stabil)

Tinggi: pengaruh atau dampak kegiatan penangkapan bisa dibalikkan secara teknis dan ekosistem terumbu karang bisa dipulihkan, tetapi secara financial tidak praktis untuk dilakukan

8

Page 9: Article AMDAL GedeWiadnya Jan2011

dan/atau akan memakan waktu antara 12 sampai 100 tahun untuk mencapai hal ini (misalnya sebagian besar wilayah terumbu karang tertutup partikel sedimentasi)

Sedang: pengaruh atau dampak kegiatan penangkapan bisa dibalikkan dan ekosistem terumbu karang bisa dipulihkan dengan adanya komitmen sumber daya secara wajar dan/atau membutuhkan waktu antara 6 – 20 tahun untuk kembali (misalnya, penangkapan berlebih terhadap ikan karang pada tingkatan terbatas)

Rendah: pengaruh atau dampak kegiatan penangkapan bisa dibalikkan dengan mudah dan ekosistem terumbu karang bisa dengan mudah dipulihkan dengan biaya yang relatif rendah dan/atau dalam kurun waktu 0 – 5 tahun (misalnya, penangkapan berlebih terhadap ikan pelagis pada tingkatan yang terbatas – contoh lain misalkan kerusakan terumbu karang akibat yang ditimbulkan oleh penyelam pemula)

2.2. Penentuan besarnya dampak (Impact Rating)

Penentuan besarnya prakiraan dampak kegiatan penangkapan oleh masing-masing alat tangkap di Jawa Timur secara akumulatif, ditentukan dari pembobotan masing-masing mekanisme terjadinya kerusakan terumbu karang dan besaran kerusakan yang ditimbulkan (scope, severity dan irreversibility). Untuk memudahkan pembahasan, masing-masing komponen diberi bobot yang sama (Kenyataan di lapang tidak selalu sama dengan pembahasan di dalam makalah ini).

Setiap dampak dibedakan menjadi empat kategori: Sangat Tinggi, Tinggi, Sedang, dan Rendah. Masing-masing kategori diberi nilai secara numerikal – sangat tinggi setara dengan nilai = 4, tinggi = 3, sedang = 2 dan rendah = 1. Rata-rata besaran dampak dari suatu mekanisme kerusakan terumbu karang, dengan demikian akan bervariasi antara 1 – 4. Jika masing-masing besaran dampak (scope, severity dan irreversibility) masuk dalam kategori “sangat tinggi”, maka rata-rata besaran dampak = 4, yaitu 12/3. Impact Rating didefinisikan sebagai nilai rata-rata antara nilai besaran dalam scope, severity dan irreversibility. Kategori impact rating juga dibedakan menjadi empat, yaitu: sangat tinggi (> 3,25), tinggi (2,51 – 3,25), sedang (1,75 – 2,50) dan rendah (< 1,75).

Besarnya dampak suatu kegiatan penangkapan terhadap kerusakan ekosistem terumbu karang ditentukan secara bersama oleh mekanisme kerusakan yang ditimbulkan, yaitu: kerusakan kolateral, hasil samping (by-catch), perubahan rakitan spesies dan alat tangkap non-selektif. Besaran ini disebut Dampak Akumulatif (DA) suatu kegiatan penangkapan terhadap ekosistem terumbu karang. Nilai DA didefinisikan sebagai rata-rata antara mekanisme kerusakan kolateral, hasil samping (by-catch), perubahan rakitan spesies dan alat non-destruktif. Dampak Akumulatif juga dibedakan ke dalam empat kategori, yaitu: sangat tinggi (> 3,25), tinggi (2,51 – 3,25), sedang (1,75 – 2,50) dan rendah (< 1,75).

Semua informasi di atas bisa dibuat dalam satu tabel pendugaan prakiraan dampak kerusakan terumbu karang oleh kegiatan penangkapan ikan seperti disajikan pada Tabel 2. Walaupun semua ketentuan besaran sudah didefinisikan secara tangible (terukur), pengisian nilai dalam tabel hanya bisa dilakukan oleh ahli (expert judgment) atau praktisi yang bekerja dalam bidang pengelolaan perikanan atau sumber daya alam.

9

Page 10: Article AMDAL GedeWiadnya Jan2011

Tabel 2 Format isian untuk mengukur prakiraan dampak kerusakan ekosistem terumbu karang dari kegiatan penangkapan ikan di Jawa Timur (kategori alat tangkap disintesis dari DJP, 1975 dan Yamamoto, 1980)

No. Alat tangkapMekanisme kerusakan karang

Besaran Dampak: Impact RatingScope Severity irreversibility

1 Bubu dan Perangkap Kerusakan Kolateral

By-catch/hasil samping

Rakitan spesies

Alat non-selektif

Prakiraan DA alat bubu & perangkap terhadap terumbu karang

2 Rawai dasar Kerusakan Kolateral

By-catch/hasil samping

Rakitan spesies

Alat non-selektif

Prakiraan DA alat Rawai dasar terhadap terumbu karang

3 Gill net dasar Kerusakan Kolateral

By-catch/hasil samping

Rakitan spesies

Alat non-selektif

Prakiraan DA alat Gill net dasar terhadap terumbu karang

4 Pukat pantai Kerusakan Kolateral

By-catch/hasil samping

Rakitan spesies

Alat non-selektif

Prakiraan DA alat pukat pantai terhadap terumbu karang

5 Bom & komp. sianida Kerusakan Kolateral

By-catch/hasil samping

Rakitan spesies

Alat non-selektif

Prakiraan DA alat bom & sianida terhadap terumbu karang

6 Pancing (hook & line) Kerusakan Kolateral

10

Page 11: Article AMDAL GedeWiadnya Jan2011

By-catch/hasil samping

Rakitan spesies

Alat non-selektif

Prakiraan DA alat Pancing (hook & line) terhadap terumbu karang

7 Gill net pertengahan Kerusakan Kolateral

By-catch/hasil samping

Rakitan spesies

Alat non-selektif

Prakiraan DA alat Gill net pertengahan terhadap terumbu karang

No. Alat tangkapMekanisme kerusakan karang

Besaran Dampak: Impact Rating

Scope Severity irreversibility

8 Dogol Kerusakan Kolateral

By-catch/hasil samping

Rakitan spesies

Alat non-selektif

Prakiraan DA alat Dogol terhadap terumbu karang =

9 Rawai permukaan Kerusakan Kolateral

By-catch/hasil samping

Rakitan spesies

Alat non-selektif

Prakiraan DA alat Rawai Permukaan terhadap terumbu karang =

10 Pukat cincin Kerusakan Kolateral

By-catch/hasil samping

Rakitan spesies

11

Page 12: Article AMDAL GedeWiadnya Jan2011

Alat non-selektif

Prakiraan DA alat Pukat Cincin terhadap terumbu karang =

2.3. Pendugaan kerusakan terumbu karang: kasus di Jawa Timur

Untuk menguji kesesuaian metode prakiraan dampak kerusakan terumbu karang yang dikembangkan seperti tersebut di atas, form isian pada Tabel 2 dicobakan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UB, Malang.

2.3.1. Responden

Pengisian form isian pada Tabel 2 memerlukan penjelasan yang cukup mendalam terhadap masing-masing istilah yang digunakan dalam tabel. Hal ini memerlukan diskusi yang cukup lama dengan responden. Untuk menghindari keragu-raguan dalam memilih nilai yang tepat, pengujian melibatkan responden yang terbatas. Tiga staf pengajar Program Studi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan, bersama tiga mahasiswa senior pada program studi yang sama telah dipilih secara selektif untuk mengisi Tabel 2. Seleksi dilakukan berdasarkan kriteria: kemauan dan ketertarikan responden untuk meluangkan waktu dan terlibat dalam diskusi, semua responden mempunyai pengalaman yang cukup untuk mengetahui proses operasi masing-masing alat tangkap yang terdapat pada Tabel 2, responden memahami semua definisi istilah yang digunakan dalam penentuan ukuran prakiraan dampak, dan masing-masing responden mempunyai kedudukan yang sama dalam berbagi informasi maupun dalam memutuskan masing-masing nilai skor. Dari total enam orang responden, hanya satu orang yang berjenis kelamin wanita, dari mahasiswa. Staf Pengajar yang mempunyai kekhususan alat tangkap (fishing gear) semuanya berjenis kelamin pria, sehingga proporsi sex responden tidak seimbang.

12

Page 13: Article AMDAL GedeWiadnya Jan2011

2.3.2. Pengsian skor pada tabel

Responden mendapat penjelasan kriteria seleksi sehingga mereka terpilih sebagai responden. Semua responden diberi form isian seperti pada Tabel 2. Diskusi tahap pertama dilakukan untuk mendapatkan pemahaman yang sama (diantara responden) tentang 10 kategori alat tangkap yang terdapat pada Tabel 2. Selanjutnya, peneliti memberikan penjelasan terhadap masing-masing definisi istilah yang digunakan pada Tabel 2 (kerusakan kolateral, hasil samping atau by-cath, perubahan rakitan spesies, alat tangkap non-destruktif, scope, severity dan irreversibility). Peneliti juga menjelaskan kisaran nilai pada Impact Rating dan Dampak Akumulatif (DA) dari masing-masing alat tangkap.

Pada tahap selanjutnya, masing-masing responden diminta untuk mengisi Tabel 2 sesuai dengan infromasi terbaik yang mereka miliki saat ini (best information available). Pengisian tabel 2 dilakukan oleh masing-masing responden berdasarkan persepsi kepakaran mereka (expert judgment). Data isian oleh mahasiswa mendapat perlakukan yang sama (tidak dibedakan) dengan tabel isian yang dilakukan oleh staf pengajar (Dosen).

Semua form yang sudah diisikan dikumpulkan oleh enumerator. Selanjutnya, semua responden diminta untuk menyatukan persepsi untuk mengisi Tabel 2 secara bersama. Melalui diskusi dan argumentasi, masing-masing responden harus bisa menerima pilihan suatu nilai berdasarkan pilihan suara terbanyak dari responden, walaupun pilihan nilai tersebut berbeda dengan yang diisi oleh responden sebelumnya.

NO NAMA STATUS NIP/NIM

1 Ir. Darmawan Okto Sutjipto, MSi. Staf Pengajar 196010281986031005

2 Dr. Ir. Gatut Bintoro, MSc. Staf Pengajar

3 Dr. Ir. Daduk Setyohadi, MP Staf Pengajar 196306081987031003

4 Hendri Kurniawan Mahasiswa 0410820030

5 Rani Diah Puspita Mahasiswa 0410820059

6 Yanuar Andi P. Mahasiswa 0410820066

3. Hasil dan pembahasan

Tabulasi hasil pengisian Tabel 2 oleh responden menunjukkan kecenderungan penilaian yang sama – data mengumpul pada suatu tempat. Namun masih ada beberapa perbedaan dalam menilai beberapa alat. Perbandingan tersebut berkisar antara 1:5 dan 2:4. Hal ini diduga karena masih adanya perbedaan persepsi diantara responden karena perbedaan latar belakang pengetahuan mereka. Perbedaan penilaian terjadi pada alat tangkap bubu/perangkap dan pukat cincin.

13

Page 14: Article AMDAL GedeWiadnya Jan2011

Setelah dilakukan diskusi lebih lanjut, semua responden sepakat untuk memberikan satu penilaian terhadap masing-masing alat, mekanisme kerusakan dan besaran dampak yang ditimbulkan terhadap ekosistem terumbu karang (scope, severity dan irreversibility). Tabulasi hasil kesepakatan responden disajikan pada Tabel 3.

Hasil perhitungan Impact Rating (IR) dan Dampak Akumulatif (DA) mendapatkan bahwa alat tangkap pukat pantai dan bom & kompresor sianida menyebabkan dampak kerusakan sangat tinggi terhadap ekosistem terumbu karang. Nilai DA pada pukat pantai mencapai 3,33, sedangkan alat tangkap bom & kompresor sianida mencapai 4,00. Semua responden sepakat bahwa bom dan kompresor sianida menyebabkan dampak kerusakan paling tinggi terhadap ekosistem terumbu karang. Penangkapan destruktif dengan menggunakan bom dan racun sianida merupakan masalah yang sangat kronis bagi perikanan tangkap di Indonesia (Adhuri, 1998; CCIF, 2001; Lowe, 2002; Thorburn, 2003). Walaupun sudah dilarang dan dinyatakan sebagai alat tangkap ilegal yang melanggar hukum, praktek penangkapan dengan menggunakan alat tangkap jenis ini masih banyak dilakukan nelayan.

Tabel 3 Tabulasi penilaian prakiraan dampak (kerusakan) dari 10 jenis alat tangkap yang umum di Jawa Timur terhadap kerusakan ekosistem terumbu karang

No. ALAT TANGKAPMEKANISME KERUSAKAN ALAT

BESARAN DAMPAK IMPACT RATING

SCOPE SEVERITY IRREVERSIBILITY

1 Bubu dan Perangkap Kerusakan Kolateral 2 2 2 2,00

By-catch/hasil samping 2 1 1 1,33

Rakitan spesies 1 2 1 1,33

Alat non-selektif 1 2 1 1,33

Prakiraan DA alat bubu & perangkap terhadap terumbu karang 1,58

2 Rawai dasar Kerusakan Kolateral 2 2 1 1.67

By-catch/hasil samping 2 1 1 1.33

Rakitan spesies 2 1 1 1.33

Alat non-selektif 2 2 2 2.00

Prakiraan DA alat Rawai dasar terhadap terumbu karang 1.58

3 Gill net dasar Kerusakan Kolateral 1 3 2 2.00

By-catch/hasil samping 2 2 2 2.00

14

Page 15: Article AMDAL GedeWiadnya Jan2011

Rakitan spesies 2 2 2 2.00

Alat non-selektif 1 2 1 1.33

Prakiraan DA alat Gill net dasar terhadap terumbu karang 1.83

4 Pukat pantai Kerusakan Kolateral 4 4 4 4.00

By-catch/hasil samping 3 4 3 3.33

Rakitan spesies 3 3 3 3.00

Alat non-selektif 4 3 3 3.33

Prakiraan DA alat pukat pantai terhadap terumbu karang 3.42

5 Bom & comp. sianida Kerusakan Kolateral 4 4 4 4.00

By-catch/hasil samping 4 4 4 4.00

Rakitan spesies 4 4 4 4.00

Alat non-selektif 4 4 4 4.00

Prakiraan DA alat bom & sianida terhadap terumbu karang 4.00

6 Pancing (hook & line) Kerusakan Kolateral 1 1 1 1.00

By-catch/hasil samping 1 2 1 1.33

Rakitan spesies 1 1 2 1.33

Alat non-selektif 1 1 1 1.00

Prakiraan DA alat Pancing (hook & line) terhadap terumbu karang 1.17

No. ALAT TANGKAPMEKANISME KERUSAKAN ALAT

BESARAN DAMPAK IMPACT RATING

SCOPE SEVERITY IRREVERSIBILITY

7 Gill net pertengahan Kerusakan Kolateral 1 1 1 1.00

By-catch/hasil samping 2 1 2 1.67

Rakitan spesies 1 1 1 1.00

15

Page 16: Article AMDAL GedeWiadnya Jan2011

Alat non-selektif 1 1 1 1.00

Prakiraan DA alat Gill net pertengahan terhadap terumbu karang 1.17

8 Dogol Kerusakan Kolateral 3 4 3 3.33

By-catch/hasil samping 2 3 3 2.67

Rakitan spesies 2 3 3 2.67

Alat non-selektif 3 3 3 3.00

Prakiraan DA alat Dogol terhadap terumbu karang = 2.92

9 Rawai permukaan Kerusakan Kolateral 1 1 1 1.00

By-catch/hasil samping 2 1 1 1.33

Rakitan spesies 1 1 1 1.00

Alat non-selektif 1 1 1 1.00

Prakiraan DA alat Rawai Permukaan terhadap terumbu karang = 1.08

10 Pukat cincin Kerusakan Kolateral 1 2 3 2.00

By-catch/hasil samping 3 3 4 3.33

Rakitan spesies 2 3 3 2.67

Alat non-selektif 3 4 4 3.67

Prakiraan DA alat Pukat Cincin terhadap terumbu karang = 2.92

Tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh alat tangkap terhadap ekosistem terumbu karang secara berurutan adalah sebagai berikut:

NO ALAT TANGKAP NILAI DAMPAK AKUMULATIF (DA)

BESARAN DAMPAK

1 Bom & kompresor sianida 4,00 Sangat Tinggi

2 Pukat pantai 3,33 Sangat Tinggi

16

Page 17: Article AMDAL GedeWiadnya Jan2011

3 Dogol 2,92 Tinggi

4 Pukat cincin 2,92 Tinggi

5 Gill net dasar 1,83 Sedang

6 Bubu dan perangkap 1,58 Rendah

7 Rawai dasar 1,58 Rendah

8 Pancing (hook & line) 1,17 Rendah

9 Gill net pertengahan 1,17 Rendah

10 Rawai permukaan 1,08 Rendah

17

Page 18: Article AMDAL GedeWiadnya Jan2011

Semua responden menyatakan bahwa metode prakiraan dampak (kerusakan) ini merupakan pendekatan baru bagi mereka untuk menilai dampak kegiatan perikanan tangkap terhadap lingkungan. Hal ini sesuai dengan perubahan paradigma pengelolaan perikanan, dari berbasis spesies menuju pada basis ekosistem (Plagányi, 2007; Peterson & Peterson, 2010). Undang Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan juga menyatakan pergeseran kebijakan pengelolaan perikanan ke arah basis ekosistem melalui kawasan konservasi perairan (KKP).

Semua responden menyatakan bahwa semua variabel sudah didefinisikan dengan jelas, termasuk: kerusakan kolateral, hasil samping, perubahan rakitan spesies, alat non-selektif, scope, severity dan irreversibility. Namun responden masih mengalami kesulitan untuk menentukan nilai terhadap masing-masing alat tangkap (expert judgment). Hal ini disebabkan karena pengetahuan responden tentang alat tangkap dan kerusakan yang ditimbulkan akibat operasi alat masih beragam. Untuk mengurangi bias, mereka menyarankan untuk menambah jumlah responden (sample), walaupun hal ini akan berdampak pada kesulitan dalam penyamaan persepsi, setelah pengisian form isian (Tabel 2).

4. Kesimpulan

Metode prakiraan dampak tersebut di atas pada dasarnya bisa diterapkan untuk menilai kerusakan yang ditimbulkan oleh alat tangkap terhadap ekosistem terumbu karang. Metode ini cukup menarik untuk didiskusikan lebih lanjut, sebagai inisiatif awal dari usaha pemerintah dalam menggeser pendekatan pengelolaan perikanan, dari basis spesies menuju basis ekosistem – ecosystem approach to fisheries management.

Hasil analisis mendapatkan alat tangkap bom & kompresor sianida bersama pukat pantai sebagai alat yang menyebabkan tingkat kerusakan “sangat tinggi” pada ekosistem terumbu karang. Nilai Dampak Akumulatif dari kedua alat lebih tinggi dibandingkan dengan 8 alat tangkap lainnya yang umum digunakan di Jawa Timur.

Metode prakiraan dampak ini perlu diujikan kepada target audience (responden) yang berbeda dan target lingkungan yang berbeda, seperti hutan bakau dan padang lamun. Metode ini juga perlu diujikan pada sub sektor perikanan lainnya, seperti dampak lingkungan yang disebabkan oleh aktifitas budidaya ikan.

Daftar Pustaka

Adhuri, D. S. (1998). "Who can Challenge Them? Lessons Learned from Attempting to Curb Cyanide Fishing in Maluku, Indonesia." Live Reef Fish Information Bulletin 4: 12-17.

Allen, G., R. Steen, P. Humann, & N. DeLoah (2003) Reef fish identification. Tropical Pacific. New World Publications., Inc., Jacksonville, Florida & Odyssey Publications. El Cajon, California.

Allen, G.R., R. Steen, & M. Allen (1998) A guide to Angelfishes and Butterflyfishes. Odyssey Publishing/Tropical Reef Research. Perth

Bellwood, D. R., T.P. Hughes, C. Folke, & M. Nystro¨m (2004). "Confronting the coral reef crisis." Nature 429: 827-833.

18

Page 19: Article AMDAL GedeWiadnya Jan2011

Boucher, G., J. Clavier, C. Hily, & J.P Gattuso (1998). "Contribution of soft-bottoms to the community metabolism (primary production and calcification) of barrier reef flat (Moorea, French Polynesia)." Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 225: 269-283.

Briggs, J.C. (2003) Marine centres of origin as evolutionary engines. Journal of Biogeography 30: 1–18.

Briggs, J. C. (2005a). "Coral reefs: Conserving the evolutionary sources." Biological Conservation 126 (2005) 297–305 126: 297-305.

Briggs, J. C. (2005b). "The marine East Indies: diversity and speciation." Journal of Biogeography 32: 1517-1522.

Burke, L., E. Selig, & M. Spalding (2002). Reefs at Risk in Southeast Asia. Washington D.C., USA, World Resource Institute.

CCIF (2001). Analysis of destructive reef fishing practices in Indo-pacific. San Fransisco, US, CCIF Marine Program.

Cesar, H. (1996). Economic analysis of Indonesian coral reefs. Toward environmentally and socially sustainable development. Jakarta, COREMAP: 97.

Cesar, H., & C.K. Chong (2005). Economic Valuation and Socioeconomics of Coral Reefs: Methodological Issues and Three Case Studies. Economic Valuation and Policy Priorities for Sustainable Management of Coral Reefs. Penang malaysia, WorldFish Center: 14-40.

Chuenpagdee, R., L.E. Morgan, S.M. Maxwell, E.A. Norse & D. Pauly (2003). "Shifting gears: assessing collateral impact of fishing methods in U.S. waters." Frontier in Ecology and Environment 1(10): 517-524.

CI (2008). Economic Values of Coral Reefs, Mangroves, and Seagrasses: A Global Compilation. Center for Applied Biodiversity Science, Conservation International. Arlington, VA, USA, Conservation International: 35.

Connell, J. H. (1978). "Diversity in Tropical Rain Forests and Coral Reefs." Science 199(4335): 1302-1310.

Davies, R. W. D., S.J. Cripps, A. Nickson, & G. Porter (2009). Defining and estimating global marine fisheries bycatch. Gland, Switzerland, WWF International: 29.

DJP (1975). Standar Statistik Perikanan. Ketentuan Kerja Pengumpulan Pengolahan dan Penyajian Data Statistik Perikanan. DJP. Jakarta, Indonesia, Direktorat Jenderal Perikanan. Buku 1: 207.

Gaston, K. J. (2003). "The how and why of biodiversity: A study of reef fish in the Indian and Pacific oceans reveals that the structures of local communities and their regional context are intricately entwined. New species spread far from an oceanic ‘hotspot’ of diversity." Nature 421: 900-901.

Gray, J. S. (1997). "Marine biodiversity: patterns, threats and conservation needs." Biodiversity and Conservation 6: 153-175.

Green, A. L., & P.J. Mous (2008). Delineating the Coral Triangle, its Ecoregions and Functional Seascapes. South Brisbane, Australia, TNC Coral Triangle Program Report: 44.

Hargreaves-Allen, V. (2004). Estimating the Total Economic Value of coral reefs for residents of Sampela, a Bajau community in Wakatobi Marine National, Sulawesi: A case study. Department of Environment Science and Technology. London, University of London: 131.

19

Page 20: Article AMDAL GedeWiadnya Jan2011

Hoeksema, B. W. (2007). Delineation of the Indo-Malayan Centre of Maximum Marine Biodiversity: The Coral Triangle. Biogeography, Time, and Place: Distributions, Barriers, and Islands. W. Renema. Leiden, the Netherlands, Springer: 117-178.

Hughes, T. P., A.H. Baird, D.R. Bellwood, M. Card, S.R. Connolly, C. Folke, R. Grosberg, O. Hoegh-Guldberg, J.B.C. Jackson, J. Kleypas, J.M. Lough, P. Marshall, M. Nystro'm, S.R. Palumbi, J.M. Pandolfi, B. Rosen, & J. Roughgarden (2003). "Climate Change, Human Impacts, and the Resilience of Coral Reefs." Science 301: 929-933.

Huse, I., S. Løkkeborg, & A.V. Soldal (2000). "Relative selectivity in trawl, longline and gillnet fisheries for cod and haddock." ICES Journal of Marine Science 57: 1271–1282.

IPCC (2007). Climate Change 2007 The Physical Science Basis. New York, USA, Cambridge University Press.

Keller, B. D., D.F. Gleason, E. McLeod, C.M. Woodley, S. Airame, B.D. Causey, A.M. Friedlander, R. Grober-Dunsmore, J.E. Johnson, S.L. Miller, & R.S. Steneck (2009). "Climate Change, Coral Reef Ecosystems, and Management Options for Marine Protected Areas." Environmental Management 44: 1069–1088.

Kennely, S. J., & M.K. Broadhurst (2002). "By-cath begone: changes in the philosophy of fishing technology." Fish & Fisheries 3: 340-355.

Kleypas, J. A., & K.K. Yates (2009). "Coral reefs and ocean acidification." Oceanography 22(4): 109-117.

Kura, Y., C. Revenga, E. Hoshino, & G. Mock (2004). Fishing for Answers: Making Sense of the Global Fish Crisis. Washongton, DC, World Resource Institute.

Lowe, C. (2002). "Who is to blame? Logics of responsibility in the live reef food fish trade in Sulawesi, Indonesia." SPC Live Reef Fish Information Bulletin 10: 7-16.

Metin, C., G. Gökçe, Ý. Aydýn, & Ý Bayramiç (2009). "Bycatch Reduction in Trammel Net Fishery for Prawn (Melicertus kerathurus) by Using Guarding Net in Ýzmir Bay on Aegean Coast of Turkey." Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 9: 133-136.

Mous, P. J., L. Pet-Soede, M. Erdmann, H.S.J. Cesar, Y. Sadovy & J.S. Pet (2000). "Cyanide fishing on Indonesian coral reefs for the live food fish market - what is the problem." SPC Live Reef Fish Information Bulletin 7: 20-27.

Mulhall, M. (2009). "Saving the rainforest of the sea: an analysis of international efforts to conserve coral reefs." Duke Environmental Law and Policy Forum 19: 321-351.

Paterson, B., & S.L. Petersen (2010). "EAF implementation in Southern Africa: Lessons learnt." Marine Policy 34: 276–292.

Pet-Soede, L., & M. Erdmann (1998). "An overview and comparison of destructive fishing practices in Indonesia." SPC Live Reef Fish Information Bulletin 4: 28-36.

Plagányi, E. E. (2007). Models for an ecosystem approach to fisheries. FAO Fisheries Technical Paper. Rome, Italy: 108.

20

Page 21: Article AMDAL GedeWiadnya Jan2011

Roberts, C. M., C.J. McClean, J.E.N. Veron, J.P. Hawkins, G.R. Allen, D.E. McAllister, C.G. Mittermeier, F.W. Schueler, M. Spalding, F. Wells, C. Vynne, & T.B. Werner (2002). "Marine Biodiversity Hotspots and Conservation Priorities for Tropical Reefs." Science 295: 1280-1284.

Thorburn, C. C. (2003). "Fatal adaptation: Cyanide fishing in the Kei Islands, Southeast Maluku." SPC Live Reef Fish Information Bulletin 11: 5-12.

UNEP-WCMC (2006). In the front line: shoreline protection and other ecosystem services from mangroves and coral reefs. Cambridge, UK, UNEP-WCMC: 33.

Veron, J.E.N. (1995) Corals in space and time. University of South Wales, Sydney. Australia.

Walker, P., & E. Wood (2005). The Coral Reef. New York, USA, Facts on File.

Wiadnya, D. G. R., P.J. Mous, R. Djohani, M.V. Erdmann, A. Halim, M. Knight, L. Pet-Soede, & J.S. Pet (2005a). "Marine capture fisheries policy formulation and the role of marine protected areas as tool for fisheries management in Indonesia." Mar. Res. Indonesia 30: 34-45.

Wiadnya, D. G. R., R. Djohani, M.V. Erdmann, A. Halim, M. Knight, P.J. Mous, J. Pet, & L. Pet-Soede (2005b). "Kajian kebijakan pengelolaan perikanan tangkap di Indonesia: menuju pembentukan kawasan perlindungan laut." Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 11(3): 65-77.

Wilkinson, C. (2002). Status of Coral Reefs of the World: 2002. Townsville, Australia, Australian Institute of Marine Science.

Wilkinson, C. (2004). Status of coral reefs of the world. Townsville, Queensland, Australian Institute of Marine Science.

Wilson, S. K., R. Fisher, M.S. Pratchett, N.A.J. Graham, N.K. Dulfy, R.A. Turner, A. Caka Caka, N.V.C. Polunin, & S.P. Rusthon (2008). "Exploitation and habitat degradation as agents of change within coral reef fish communities." Global Change Biology 14: 2796–2809.

Yamamoto, T. (1980). Fishery census of Indonesia, survey methods, mode of analysis and major findings. Jakarta, Indonesia, FAO, FI:DP/INS/72/064: 79.

21