1 Universitas Indonesia ARSITEKTUR & ACROPHOBIA Peran Arsitektur dalam Merespon Rasa Takut akan Ketinggian (Teori Persepsi dan Eksplorasi Müller-Lyer) Cut Alisha Shabrina Zagloel, Dr. Ir. Hendrajaya, M.Sc. Departemen Arsitektur, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Depok, Jawa Barat, 16424, Indonesia [email protected]; [email protected]Abstrak Meningkatnya pembangunan secara vertikal membuat banyak ruang aktivitas manusia terletak pada ketinggian. Namun, kenyataannya tidak semua manusia merasa nyaman berada jauh diatas permukaan bumi. Rasa takut akan ketinggian disebut dengan acrophobia, yang menurut para ahli merupakan hasil dari persepsi manusia. Terdapat dua faktor dalam pembentukkan persepsi, faktor intangible yang mengacu pada pengalaman dan memori, dan faktor tangible yang merujuk pada lingkungan fisik. Melalui studi kasus, keterkaitan antara dua faktor ini dikaji untuk melihat dan mencari peluang bagi arsitektur dalam perannya pada proses persepsi manusia. Skripsi ini menggunakan teori Müller-Lyer sebagai pendekatan arsitektur dalam mengkaji fenomena ketinggian yang memengaruhi pengelihatan manusia, serta terapannya pada perspektif sebagai cara manusia melihat ruang. Pada akhir skripsi ini, disimpulkan bahwa konfigurasi garis dan bidang dapat menciptakan ilusi volume dan kedalaman ruang sehingga dapat membelokkan fokus pada manusia sebagai pengamat. Kata Kunci: Acrophobia, Persepsi, Ketinggian, Ilusi, Visual ARCHITECTURE & ACROPHOBIA The Role of Architecture in Responding to Fear of Height (Perception Theory and Müller-Lyer Exploration) Abstract The increasing development with vertical orientation evokes immense amount of space for human activities in high altitude. However, not everyone is comfortable being far above the earth's surface. Acrophobia is an extreme or irrational fear of height, which experts say that it is the projection of human’s perception. There are two factors associated in perceptual process, those being intangible factors which refers to one’s past experiences and memories, and tangible factors which refers to the physical environment. Through case studies, the relation between these two factors assessed to see and explore the opportunities for architecture, to play its role in the process of human perception. By using Müller-Lyer theory as an architectural approach, this undergraduate-thesis will explore the phenomenon of high altitude and how it affects human’s vision, as well as its application in perspective as human’s way to see space. At the end of this Arsitektur acrophobia ..., Cut Alisha Shabrina Zagloel, FT UI, 2016
20
Embed
ARSITEKTUR ACROPHOBIA Peran Arsitektur dalam Merespon …
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
Universitas Indonesia
ARSITEKTUR & ACROPHOBIA Peran Arsitektur dalam Merespon Rasa Takut akan Ketinggian
(Teori Persepsi dan Eksplorasi Müller-Lyer)
Cut Alisha Shabrina Zagloel, Dr. Ir. Hendrajaya, M.Sc.
Departemen Arsitektur, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Depok, Jawa Barat, 16424, Indonesia
Meningkatnya pembangunan secara vertikal membuat banyak ruang aktivitas manusia terletak pada ketinggian. Namun, kenyataannya tidak semua manusia merasa nyaman berada jauh diatas permukaan bumi. Rasa takut akan ketinggian disebut dengan acrophobia, yang menurut para ahli merupakan hasil dari persepsi manusia. Terdapat dua faktor dalam pembentukkan persepsi, faktor intangible yang mengacu pada pengalaman dan memori, dan faktor tangible yang merujuk pada lingkungan fisik. Melalui studi kasus, keterkaitan antara dua faktor ini dikaji untuk melihat dan mencari peluang bagi arsitektur dalam perannya pada proses persepsi manusia. Skripsi ini menggunakan teori Müller-Lyer sebagai pendekatan arsitektur dalam mengkaji fenomena ketinggian yang memengaruhi pengelihatan manusia, serta terapannya pada perspektif sebagai cara manusia melihat ruang. Pada akhir skripsi ini, disimpulkan bahwa konfigurasi garis dan bidang dapat menciptakan ilusi volume dan kedalaman ruang sehingga dapat membelokkan fokus pada manusia sebagai pengamat.
Kata Kunci: Acrophobia, Persepsi, Ketinggian, Ilusi, Visual
ARCHITECTURE & ACROPHOBIA The Role of Architecture in Responding to Fear of Height
(Perception Theory and Müller-Lyer Exploration)
Abstract
The increasing development with vertical orientation evokes immense amount of space for human activities in high altitude. However, not everyone is comfortable being far above the earth's surface. Acrophobia is an extreme or irrational fear of height, which experts say that it is the projection of human’s perception. There are two factors associated in perceptual process, those being intangible factors which refers to one’s past experiences and memories, and tangible factors which refers to the physical environment. Through case studies, the relation between these two factors assessed to see and explore the opportunities for architecture, to play its role in the process of human perception. By using Müller-Lyer theory as an architectural approach, this undergraduate-thesis will explore the phenomenon of high altitude and how it affects human’s vision, as well as its application in perspective as human’s way to see space. At the end of this
Arsitektur acrophobia ..., Cut Alisha Shabrina Zagloel, FT UI, 2016
2
Universitas Indonesia
thesis, it was concluded that the configurations of lines and planes can create illusion of volume and depth of space thus deflecting focus for human as the observer. Keywords: Acrophobia, Perception, Height, Illusion, Visual
Pendahuluan
Hutan beton, itulah sebutan bagi kota-kota besar di masa kini. Semakin penuhnya kota yang
mengacu kepada kurangnya lahan dan naiknya kebutuhan manusia serta kemajuan teknologi dan
ilmu struktur membuat bangunan dibangun dengan orientasi vertikal. Bangunan yang menjulang
tinggi memiliki kelebihan memaparkan keindahan kota atau pemandangan dari ketinggian
sehingga jangkauan pengelihatan menjadi lebih luas dan jauh. Hal ini yang membuat bangunan
berorientasi vertikal menjadi tren di kota-kota besar terutama untuk menikmati keindahan di
malam hari ketika lampu kota menyala. Tren tempat dengan pemandangan kota dari titik
ketinggian bangunan membuat ruang aktivitas manusia banyak terletak pada ketinggian. Banyak
tempat berkumpul sosial seperti kafe, restoran, bar, serta hiburan lainnya yang diletakkan pada
lantai-lantai atas bangunan atau rooftop. Hal ini memicu keinginan manusia untuk mengunjungi
tempat-tempat tinggi. Tidak hanya itu, banyak pula manusia yang tinggal atau bekerja di
bangunan tinggi. Namun, apakah semua manusia dapat merasa nyaman menempati ruang yang
terletak pada ketinggian?
Acrophobia adalah takut akan ketinggian yang merupakan salah satu fobia yang umum
ditemukan dan menjadi fobia terbanyak ke-3 di dunia1. Manusia dengan fobia ini merasa takut
secara ekstrem yang diikuti dengan panik, stres, dan/atau depresi jika berada di tempat yang
tinggi. Manusia dengan acrophobia merasa tidak nyaman berada di tempat tinggi dan ketakutan
ini menjadi penghambat bagi diri mereka untuk menikmati keindahan kota atau pemandangan
dari ketinggian serta mengikuti tren masa kini dengan maraknya tempat sosial yang berada di
ketinggian.
Ketinggian merupakan kedalaman secara vertikal dan hubungan manusia yang pertama
terhadap ruang adalah dengan merasakan adanya kedalaman dengan kesadaran akan dimensi,
sehingga persepsi akan kedalaman menjadi penting dalam bahasan ini. Ketinggian memiliki ilusi
visual bagi manusia, dengan adanya distorsi visual terhadap apa yang dilihat manusia yang mana
1fearof.net,(26Februari2016)
Arsitektur acrophobia ..., Cut Alisha Shabrina Zagloel, FT UI, 2016
3
Universitas Indonesia
ketika manusia berada di titik ketinggian, saat melihat kebawah, skala pengelihatan manusia
menjadi berbeda, antara yang dilihat dengan jarak dekat di sekelilingnya dengan yang jarak jauh
atau dalam hal ini adalah yang berada dibawah yang terlihat lebih kecil. Fenomena ini
dipersepsikan oleh manusia yang memiliki fobia ketinggian melalui indera yang dimilikinya.
Pada manusia dengan acrophobia, indera yang mendominasi adalah indera pengelihatan,
sehingga apa yang dilihat oleh manusia sangat berpengaruh terhadap persepsinya.
Ilusi visual merupakan salah satu teknik manipulasi yang membuat indera pengelihatan
kita menangkap kualitas yang berbeda akan suatu hal. Dalam hal ini, ilusi visual menjadi
pendekatan arsitektur dalam perannya untuk memicu persepsi manusia yang menjadi faktor
tangible yang menjadi salah satu aspek yang memengaruhi persepsi manusia. Penggunaan teori
ilusi visual yaitu teori Müller Lyer untuk mengkaji aspek utama yang membentuk ruang. Aspek
lain yang memengaruhi perbedaan persepsi manusia dalam suatu ruang juga dipengaruhi oleh
faktor intangible yaitu pengalaman dan memori yang membuat manusia memiliki persepsi yang
berbeda-beda dan bersifat subjektif.
Penggunaan ilusi visual pada ruang berpengaruh terhadap penciptaan pengalaman ruang
yang akan dirasakan manusia. Sebagai contoh, ruang dapat terasa lebih besar atau lebih kecil dari
ukuran sebenarnya dengan proporsi, material, atau komposisi tertentu. Penggunaan ilusi visual
memicu adanya ambiguitas persepsi manusia dikarenakan faktor yang tangible dan intangible
sehingga membuat manusia yang berada diruang tersebut merasakan pengalaman ruang yang
berbeda-beda. “Analytical reflection starts fromourexperienceof theworldandgoesback to
the subject…”.2 Sehingga pada skripsi ini, kegiatan mengalami ruang menjadi penting terkait
proses perseptual manusia.
Pada skripsi ini, saya ingin membahas mengenai keterkaitan antara persepsi manusia yang
takut akan ketinggian, faktor-faktor yang menyebabkan rasa takut (tangible dan intangible), serta
peran arsitektur dalam memanipulasi ruang dengan menggunakan ilusi visual. Sebagai studi
kasus saya mengambil beberapa subjek manusia dengan acrophobia (acrophobics) dan manusia
yang tidak memiliki fobia akan ketinggian untuk mengkaji faktor yang memicu rasa takut dari
dalam diri manusia (intangible), serta dua studi kasus yaitu tempat berkumpul sosial yang berada
2Ponty,Marleau.PhenomenologyofPerception.(Hlm.ix)
Arsitektur acrophobia ..., Cut Alisha Shabrina Zagloel, FT UI, 2016
4
Universitas Indonesia
di ketinggian dan yang saya ambil adalah restoran rooftop untuk melihat peran arsitektur sebagai
faktor tangible.
Landasan Teori
Acrophobia merupakan ketakutan akan ketinggian. Menurut Oxford Dictionary,
“acrophobia /ˌakrəˈfəʊbɪə/ noun: Extreme or irrational fear of heights.” Menurut 3Hyperdictionary, Manusia dengan acrophobia disebut dengan acrophobic.”acrophobic.
Definition: [adj]suffering fromacrophobia.”Acrophobia merupakan fobia yang umum dialami
oleh manusia dan menjadi fobia ke-3 terbanyak di dunia,4 sehubungan dengan meningkatnya
pembangunan dengan orientasi vertikal. Dalam membahas acrophobia, saya menggunakan teori
“takut” karena acrophobia merupakan salah satu jenis fobia, yang mana merupakan perasaan
takut ekstrem yang spesifik terhadap suatu objek, keadaan, atau situasi tertentu.5 Rasa takut
merupakan hal manusiawi yang pasti dimiliki oleh manusia, namun skala takut yang dimiliki
manusia berbeda-beda. Takut merupakan suatu emosi yang dimiliki manusia yang dipengaruhi
oleh interaksi sosial dan pengalaman. Takut merupakan proyeksi dari persepsi manusia dan
persepsi manusia dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dari dalam diri manusia
berupa pengalaman dan memori yang bersifat intangible serta faktro eksternal yang merujuk
pada lingkungan fisik yang bersifat tangible. Kedua faktor ini memiliki pengaruh yang saling
memengaruhi dalam proses persepsi manusia. Proses persepsi manusia terdiri dari sensasi,
persepsi, identifikasi, dan aksi. Pada fenomena persepsi, yang terjadi adalah hubungan aktif dari
subjek dan objek dimana yang menjadi fokus utama adalah hubungan persimpangan dari subjek
dan objek tersebut. Objek yang disensasikan oleh indera-indera yang dimiliki manusia yang
diterima secara apa adanya, diolah oleh otak manusia yang dibumbui oleh faktor intangible yaitu
pengalaman dan memori yang menjadi persepsi, kemudian di identifikasi dengan
Svendsen, S. (2008). Philosophy of Fear. London: Reaktion Books Ltd.
T., D., Herskovit, M. J., & Segall, M. H. (1966). The Influence of Culture on Visual Perception. New York: Bobbs-Merrill Co.
Wiederhold, B. K., & Stephane Bouchard. (2014). Series in Anxiety and Related Disorders. San Diego: Springer.
Arsitektur acrophobia ..., Cut Alisha Shabrina Zagloel, FT UI, 2016
20
Universitas Indonesia
Dokumen Online: Adolph, K., K.S., K., & V., L. (n.d.). Fear of Heights in Infants?
Boeree, G. (2000). Gestalt Psychology. Retrieved April 2, 2016, from webspace.ship.edu
Gibson, E. J., & Walk, R. D. (1960). The "Visual Cliff". Retrieved Mei 2016, from kokdemir.info: www.kokdemir.info/courses/psk301/docs/GibsonWalk_VisualCliff(1960).pdf
Odonnell, M. J. (n.d.). Gestalt Theory of Perception. Retrieved Maret 2016, from courseweb.stthomas.edu: http://courseweb.stthomas.edu/mjodonnell/cojo232/pdf/gestalt.pdf
Palmer, S. (2008). Phobias - What, Who, Why and How to Help. London: British Psychological Society. bps.org.uk/systems/files/documents/phobias_information_leaf
Pressey, A. W. (1967). A Theory of the Muller-Lyer Illusion. Manitoba: University of Manitoba.
Proulx, D. M. (n.d.). Perceptual Perception. Retrieved Maret 21, 2016, from psychology.about.com
Rutledge, A. (2009). Andy Rutledge. Retrieved April 2, 2016, from wwww.andyrutledge.com/closure/php
Searle, J. (2005). The Phenomenological Illusion.
The Muller-Lyer Illusion. (n.d.). Retrieved Maret 2016, from rit.edu: www.rit.edu/cla/gssp400/muller/muller.html
Tesis, Disertasi: Ekosiwi, E. K. (2009). Ilusi dalam Seni. Universitas Indonesia, Jakarta.
Website: A Dictionary of Nursing. (2016). Retrieved Februari 23, 2016, from
www.encyclopedia.com/doc/1O62-acrophobia.html Oxford Dictionaries. (2016). Retrieved Februari 23, 2016, from