Top Banner

of 26

ARGUMENTASI SUNNAH

Jul 11, 2015

Download

Documents

Rama Dhita
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

Pendekatan Normatif dan Historis Dalam Memahami Kedudukan Sunnah Sebagai Sumber Hukum IslamOleh Muhammad Nor Ichwan*

ARGUMENTASI SUNNAH:

Pendahuluan Mayoritas ulama dari kalangan umat Islam, baik yang tergolong ulama salaf maupun ulama khalaf, dari masa shahabat hingga sekarang ini, telah sepakat bahwa sunnah merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Quran.1 Keduanya tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, sebab antara keduanya sama-sama merupakan wahyu Allah SWT. Jika al-Quran disebut sebagai wahyu al-matluw (wahyu yang terbaca), maka sunnah merupakan wahyu ghair al-matluw (wahyu yang tidak terbaca). Artinya bahwa al-Quran merupakan wahyu yang terbaca yang disusun secara sistematis dan mengandung nilai mujizat, sementara sunnah merupakan wahyu yang diriwayatkan (marwiy) yang dinukil tanpa susunan yang sistematis sebagaimana al-Quran, dan juga tidak menagandung nilai mujizat, tidak matluw meskipun maqru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah

wahyu yang diwahyukan (kepadanya).2 Oleh karena itu, umat Islam diwajibkan untuk taat kepada sunnah sebagaimana ketaatannya kepada al-Quran. Mengenai hal ini Muhammad Ajjaj al-Khatib mengatakan:Al-Quran dan sunnah merupakan dua sumber hukum syariat Islam yang saling terkait. Seorang muslim tidak mungkin dapat memahami syariat kecuali dengan kembali kepada keduanya. Seorang mujtahid dan orang alim tidak mungkin mengabaikan dan mencukupkan diri hanya kepada salah satu dari keduanya.3

Pendapat Ajjaj al-Khatib di atas sejalan dengan firman Allah: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya4 Ayat ini dapat dipahami

Argumentasi Sunnah

bahwa keberadaan sunnah sebagai wahyu Allah mempunyai kedudukan yang sederajat dengan alQuran, yang wajib diamalkan sebagaimana kewajiban mengamalkan al-Quran. Sementara itu kalau ditinjau dari segi kekuatan di dalam penentuan hukum, otoritas alQuran lebih tinggi satu tingkat daripada otoritas sunnah, karena alQuran mempunyai kualitas qathiy baik secara global maupun terperinci. Sedangkan sunnah berkualitas qathiy secara global dan tidak secara terperinci. Disisi lain karena Nabi saw. sebagai manusia yang tunduk di bawah perintah-perintah dan hukumhukum al-Quran, Nabi saw. tak lebih hanyalah penyampai alQuran kepada manusia. Otoritas Sunnah: Argumen Normatif dan Historis Sebagaimana telah kita maklumi bersama bahwa al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dalam bentuk global, garis besarnya saja, tidak terinci, dan tidak pula diberi batasan. Seperti perintah shalat yang datang secara garis besar, tanpa ada keterangan dalam alQuran tentang jumlah rekaatnya, cara mengerjakannya, dan kapan waktu pelaksanaanya. Demikian pula masalah zakat yang datang secara umum tanpa batasan jumlah minimal harta yang wajib dizakati, dan tidak pula dijelaskan ukuran dan syarat-syaratnya. Berdasarkan 204

realitas tersebut, maka tidak ada jalan lain kecuali harus kembali kepada Rasulullah saw. untuk mengetahui hukum-hukum itu secara rinci dan jelas. Sebab belaiu adalah pembawa berita dari Tuhan, dan beliau juga yang paling tahu dari seluruh makhluk tentang maksud syariat Allah, begitu pula batasan, metode, dan tujuannya. Dalam banyak ayat, Allah telah menjelaskan bahwa tugas Rasulullah saw dalam kaitannya dengan alQuran adalah disamping sebagai penerang dan penjelas tentang tujuan-tujuan dan ayat-ayatnya,5 juga menunjukkan mana yang benar ketika terjadi perselisihan tentang suatu masalah.6 Di sisi lain Allah juga mewajibkan kepada manusia untuk menerima keputusan Nabi terhadap segala perselisihan.7 Pada ayat yang lain dijelaskan bahwa beliau diberi al-Quran dan hikmah 8 agar mengajar manusia tentang hukum-hukum agama.9 Berdasarkan hal itu, para peneliti dalam bidang hadits telah sepakat bahwa sunnah/hadits shahih dapat dijadikan sebagai hujjah (bukti/ landasan) bagi umat Islam untuk penetapan hukum agama. Argumen ini didasarkan pada beberapa ayat al-Quran, yang secara eksplisit maupun implisit menyebutkan kehujjahannya. Dalam al-Quran banyak dijumpai ayat-ayat yang mengharuskan kita mentaati Rasululah saw. selain kewajiban untuk mentaati Allah swt. Mentaati

Wahana Akademika, Vol. 6, Nomor 2, September 2004

Argumentasi Sunnah

Rasulullah saw. harus dengan menetapi sunnahnya, mengamalkan hadisnya, mengambil kandungan hadis shahih dalam masalahmasalah agama, dan menjadikannya sebagai prinsip tasyri yang kedua setelah al-Quran. Menurut Muhammad Musthafa Azami, bahwa otoritas Nabi saw adalah satu tingkat di bawah alQuran. Hal ini ditunjukkan oleh karena kedudukan beliau sebagaimana dijelaskan al-Quran antara lain, pertama, sebagai penjelas alQuran, dimana kedudukan ini merupakan kehendak Allah swt. Firman Allah: Kami turunkan kepadamu al-Quran agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka. Kedua, sebagai pembuat hukum. Hal ini sebagaimana firman Allah: Ia akan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk, dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggubelenggu yang ada pada mereka. Sementara itu, menurut Ajjaj alKhatib10 dalam Ushul al-Hadits, sedikitnya ada empat argumen yang menunjukkan bahwa sunnah merupakan satu di antara sumber penetapan hukum, yang darinya hukum-hukum syariat digali dalam Islam, yaitu: pertama, didasarkan pada keimanan kepada kerasulan Muhammad saw. Konsekuensi dari iman tersebut adalah menerima segala sesuatu yang datang dari

Rasulullah saw dalam urusan agama. Karena Allah telah memilih para rasul di antara para hamba agar menyampaikan syariat-Nya kepada umat manusia.11 Dalam al-Quran juga didapati bahwa iman kepada Rasulullah saw. disejajarkan dengan iman kepada Allah swt. Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dengan yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya, di antara rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan bertakwa kepada Allah dan Rasulrasul-Nya dan jika kalian beriman dan bertaqwa, maka bagimu pahala yang besar12 Kedua, didasarkan kepada alQuran. Di dalamnya banyak dijumpai ayat-ayat, baik secara eksplisit maupun implisit menunjukkan kewajiban taat kepada Rasulullah saw. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh firman Allah: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (alQuran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan 205

Wahana Akademika, Vol. 6, Nomor 2, September 2004

Argumentasi Sunnah

lebih baik akibatnya13 Pada ayat yang lain Allah juga menandaskan bahwa taat kepada Rasulullah saw. berarti taat kepada-Nya.14 Bahwasannya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu, sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barang siapa yang melanggar janjiNya, niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri, dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah, maka akan memberinya pahala yang besar 15 Sebenarnya masih banyak ayatayat lain yang senada yang menunjukkan bahwa al-Quran selalu mempersandingkan Nabi Muhammad saw. dengan Allah bila berbicara tentang otoritas, dan dalam sejumlah besar ayat kaum beriman diperintahkan untuk taat kepada Allah dan utusan-Nya. Ketiga, didasarkan pada hadis Nabi saw. Di antaranya sabda beliu yang berkaitan dengan anjuran untuk selalu berpegang teguh kepada Kitabullah dan sunnah Rasul. Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara. Kalian tidak akan tersesat selama masih berpegang kepada keduanya, yaitu Kitabullah dan sunnahku. Pada hadis yang lain disebutkan bahwa Rasululah telah diberi al-Kitab dan yang semisalnya. Ingatlah, sesungguhnya aku diberi alKitab dan yang semisalnya bersamanya. Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa rasul saw. diberi al-Kitab dan sunnah, dan mewajibkan bagi 206

umatnya untuk selalu berpegang teguh kepada keduanya dan mengambil apa yang ada pada sunnah seperti mengambil apa yang ada pada al-Kitab. Pada hadis yang lain, rasulullah disamping memerintahkan umatnya untuk selalu berpegang teguh pada sunnahnya, beliau juga mencela kepada orang yang meninggalkannya hanya karena bertumpu kepada apa yang ada dalam al-Quran. Pastilah hampir ada seseorang di antara kamu yang duduk bersandar di tempat duduknya, yang datang kepadanya sebagian perkaraku, yang aku diperintahkan atau dilarang, lalu berkata: Aku tidak tahu. Apa yang bisa kami temukan di dalam Kitabullah akan kami ikuti. Keempat, berdasarkan konsensus (ijma) dikalangan umat Islam untuk mengamalkan sunnah. Kaum muslimin menerima sunnah sebagaimana mereka menerima al-Quran, hal ini didasarkan pada kesaksian dari Allah bahwa sunnah merupakan salah satu sumber penetapan hukum syara. Mereka menjadikan sunnah sebagai sumber rujukan atas berbagai persoalan yang dihadapi, khususnya persoalan keagamaan. Secara historis argumentasi tentang otoritas sunnah sebagai sumber hukum tasyri dapat dilihat dalam berbagai kasus yang terjadi di kalangan masyarakat pada masa awal. Mengenai hal ini Ajjaj alKhatib telah menginventaris sedikitnya ada 12 kasus.16 Di antaranya

Wahana Akademika, Vol. 6, Nomor 2, September 2004

Argumentasi Sunnah

adalah ketika Abu Bakar al-Shiddiq memegang tampuk kekhalifahan, Fatimah al-Zahra binti Rasulullah saw. pernah datang kepadanya dan meminta bagian Rasulullah saw. Menanggapi hal ini lalu Abu Bakar menjawab: Sesungguhnya saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla, bila memberi sesuap makanan kepada seorang nabi, kemudian nabi itu wafat, maka Dia akan menjadikannya untuk orang yang menggantikan posisinya sesudahnya. Karenanya, saya berpendapat akan mengembalikannya kepada kaum muslimin. Atas jawaban Abu Bakar tersebut, lalu Fatimah berkata: Terhadap engkau dan apa yang Engkau dengar dari Rasulullah saw. itu saya dapat mengerti. Suatu ketika Abdurrahman bin Yazid pernah melihat seorang lakilaki melakukan ihram di musim haji dengan mengenakan pakaian berjahid. Abdurrahman lalu memberi petunjuk kepada orang tersebut agar melepas pakaiannya dan memintanya untuk mengikuti sunnah Nabi saw. tentang cara berpakain saat berihram. Lalu lakilaki itu berkata kepadanya: Coba bacakan kepadaku ayat al-Quran yang mengharuskan aku melepas pakaianku ini. Abdurrahman kemudian membacakan firman Allah: Apa saja yang diberikan rasul kepada kalian, maka terimalah. Dan apa saja yang ia larang bagi kalian, maka tinggalkanlah (Q.S. al-Hasyr:

7). Melepaskan pakaian berjahid (saat melakukan ibadah haji) memang tidak disebutkan dengan jelas dalam kitab Allah, tetapi terdapat dalam hadis. Bukti lainnya lagi adalah ketika Imam besar Thawus mengerjakan shalat dua rekaat sesudah shalat atsar. Ibnu Abbas yang menyaksikan hal tersebut, lalu memperingatkan: Tinggalkanlah shalat dua rekaat itu!. Tetapi Thawus membantahnya. Ia mengatakan bahwa Rasulullah saw. melarang shalat dua rekaat sesudah atsar hanya karena khawatir kalau dua rekaat tersebut dianggap sebagai shalat sunnat. Jika dua rekaat itu dikerjakan tanpa niat, tidak mengapa. Namun Ibnu Abbas tetap berpegang kepada Rasulullah saw. yang melarang shalat secara mutlak sesudah shalat atsar. Ditegaskannya kepada Thawus, ia tidak mempunyai pilihan mengenai apa yang dibawa oleh Rasulullah saw. karena berdasarkan firman Allah: Dan tidak patut bagi orang-orang mukmin laki-laki atau perempuan, apabila Allah dan rasulnya telah memberlakukan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. (al-Ahzab: 36). Sunnah: Posisinya terhadap alQuran Pada pembahasan yang lalu telah dijelaskan bahwa mentaati Rasulullah saw. merupakan suatu 207

Wahana Akademika, Vol. 6, Nomor 2, September 2004

Argumentasi Sunnah

kewajiban bagi setiap kaum muslimin. Mereka diwajibkan menerima sunnah nabi sebagaimana wajibnya menerima alQuran. Hal ini disebabkan karena Rasulullah mempunyai kedudukan yang sangat penting, yaitu sebagai orang yang menyampaikan risalah Tuhan dan sekaligus menjadi penjelas terhadap risalah tersebut baik yang berkaitan dengan hukum maupun yang lainnya. Al-Quran dan hadis sebagai sumber hukum dan ajaran dalam Islam tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. AlQuran sebagai sumber hukum yang pertama dan utama hanya memuat dasar-dasar yang bersifat umum bagi syariat Islam, tanpa perincian secara detail, kecuali yang sesuai dengan pokok-pokok yang bersifat umum itu, yang tidak pernah berubah karena adanya perubahan zaman dan tidak pula berkembang karena keragaman pengetahuan dan lingkungan. Al-Quran akan tetap kekal dan kebatilan tidak akan pernah masuk didalamnya. Ia akan tetap menjadi penuntun bagi kebaikan masyarakat, meski bagaimanapun keadaan lingkungan dan tradisinya. Di sisi lain, di dalamnya kita juga dapat menemukan ajaran-ajaran baik yang terkait dengan akidah, ibadah, syariat, adab, sejarah umat terdahulu, etika umum, dan akhlak. Karena keadaan al-Quran yang demikian itu, maka hadis sebagai 208

sumber hukum yang kedua setelah al-Quran, tampil sebagai penjelas (bayan) terhadap ayat-ayat alQuran yang masih bersifat global, menafsirkan yang masih mubham, menjelaskan yang masih mujmal, membatasi yang mutlak (muqayyad), mengkhususkan yang umum (am), dan menjelaskan hukumhukum serta tujuan-tujuannya, demikian juga membawa hukumhukum yang secara eksplisit tidak dijelaskan oleh al-Quran. Hal ini sejalan dengan firman Allah: Dan Kami turunkan kepadmu al-Quran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan (Q.S. al-Nahl: 44). Atas dasar inilah, maka Allah swt menjadikan ketaatan kepada Rasulullah, sebagai ketaatan kepada Allah swt.17 dan mewajibkan bagi kaum muslimin untuk mengikuti apa yang diperintahkan dan menjahui apa yang dilarang oleh Rasulullah saw.18 Karena Rasulullah saw ketika menjelaskan ayat-ayat al-Quran kepada para ummatnya tidak mendasarkan diri pada kehendak hawa nafsunya, melainkan beliau mengikuti kehendak wahyu yang telah dianugerahkan Allah kepadanya. Hal ini sebagaimana firman Allah: Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengatahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu

Wahana Akademika, Vol. 6, Nomor 2, September 2004

Argumentasi Sunnah

bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku (Q.S. alAnam/6: 50). Adapun fungsi Rasulullah sebagai penjelas (bayan)19 terhadap al-Quran itu bermacam-macam. Menurut Imam Malik b. Anas, sedikitnya ada lima fungsi, di antaranya: sebagai bayan al-taqrir, bayan al-tafsir, bayan al-tafsil, bayan al-bats, bayan al-tasyri. Sementara itu Imam al-Syafii menyebutkan juga ada lima fungsi, yaitu bayan altafsil, bayan al-takhsis, bayan altayin, bayan al-tasyri, dan bayan alnaskh. Sedangkan menurut Ahmad b. Hanbal ada empat fungsi, yaitu bayan al-takid, bayan al-tafsir, bayan al-tasyri, dan bayan al-takhsis.20 Di bawah ini akan diuraikan segi-segi penjelasan sunnah terhadap alQuran, di antaranya adalah:

shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki (Q.S. al-Maidah/5: 6)

Ayat di atas menjelaskan bahwa barang siapa yang berhadas kecil kemudian hendak melakukan shalat, maka janganlah ia shalat sebelum ia membasuh anggota wudlu, yaitu membasuh muka, membasuh tangan sampai dengan siku, mengusap kepala, dan juga membasuh kedua kaki. Hal ini juga disinyalir dalam sunnah Nabi saw, sebagaimana hadis riwayat alBukhari dengan sanadnya sendiri dari Ibn Munabbih, sebagai berikut: Tidak akan diterima shalat orang yang berhadas, sehingga ia berwudlu. (HR. Bukhari dari Abu Hurairah). Contoh lainnya lagi adalah hadis riwayat al-Bukhari dengan sanadnya sendiri dari Ibn Umar, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: Bayan al-Taqrir Bayan al-Taqrir sering disebut Islam didirikan di atas lima (pilar): juga dengan bayan al-Taqid atau Bersaksi bahwa tida Tuhan selain bayan al-Isbat, yaitu apabila sunnah Allah dan bahwa Muhammad adalah sesuai dengan dan atau menetapkan utusan Allah, mendirikan shalat, dan memperkuat apa yang telah membayar zakat, haji, dan puasa di diterangkan di dalam al-Quran. bulan Ramadlan (HR. Bukhari dari Artinya bahwa sunnah dalam hal Ibn Umar). Hadis ini sesuai dan ini lebih berfungsi sebagai sekaligus menguatkan apa yang pengokoh dan memperkuat isi terdapat dalam ayat-ayat al-Quran, kandungan al-Quran yang telah seperti Q.S. al-Baqarah/2: 83, dan ada. Sebagai contoh adalah firman 183; Q.S. Ali Imran/3: 97,21 dan yang senada dengannya. Allah swt: Demikian juga hadis riwayat alHai orang-orang yang beriman, Bukhari dengan sanadnya sendiri apabila kamu hendak mengerjakan dari Abdullah bin Umar, bahwaWahana Akademika, Vol. 6, Nomor 2, September 2004 209

Argumentasi Sunnah

sannya Rasulullah saw bersabda:Janganlah kamu berpuasa hingga kamu melihat dulu bulan (hilal), dan janganlah kamu berbuka hingga kamu mel;ihatnya dulu. Dan jika terjadi gelap terhadapmu, maka perkirakanlah bulan itu (HR. Bukhari dari Abdullah bin Umar).

Hadis di atas menjelaskan batas Ramadlan yang diwajibkan perpuasa karena melihat bulan, dan hadis ini mentaqrir ayat al-Quran dalam Q.S. al-Baqarah/2: 185, Allah swt berfirman:(Beberapa hari yang telah ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu. Maka barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa.. (Q.S. alBaqarah/2: 185).

Bayan al-Tafsir Yang dimaksud dengan bayan alTafsir adalah menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat yang terdapat dalam al-Quran. Tipe ini adalah yang paling umum dan paling banyak. jumlahnya. Di antara bentuk penjelasan sunnah terhadap al-Quran itu adalah pertama, bayan mujmal, yaitu menjelaskan dan memerinci ayat-ayat al-Quran yang masih belum jelas pengertiannya. Bentuk ini menyajikan kemujmalan dari nash, kemudian penjelasannya dikemukakan oleh sunnah. Seba210

gaimana beberapa hadis Nabi saw yang menjelaskan tentang masalah ibadah dan tata-cara pelaksanaannya. Seperti ayat yang menjelaskan masalah wudlu sebagaimana yang telah disinggung pada bayan al-taqrir di atas. Ayat ini juga bisa dijadikan contoh untuk tipe yang kedua ini. Kemujmalan ayat itu terjadi karena adanya dua arti bagi kata ila dalam firman Allah: wa aidiyakum ila al-marafiqi dan wa arjulikum ila kabain. Dimana ila dalam bahasa Arab, disamping memiliki arti ghayah (sampai/ mengakhiri), juga mempunyai arti maa (beserta). Suatu kata yang memiliki dua arti tidak bisa ditarik kepada salah satu artinya, kecuali ada dalil yang menunjukkannya. Berkaitan dengan ini, sunnah mengemukakan dalil yang menjelaskan maksud Allah tersebut, bahwa yang dimaksud adalah membasuh kedua tangan beserta sikutnya dan kedua kaki beserta mata kakinya. Hal ini ditunjukkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahihnya dari Abu Hurairah, bahwa ia membasuh tangan kanannya, kemudian membasuh lengannya dan kemudian membasuh tangan kirinya, seperti tangan kanannya. Kemudian ia membasuh kaki kanannya sampai betisnya, lalu membasuh kaki kirinya seperti kaki kanannya. Kemudian ia berkata: Begitulah saya melihat Rasulullah saw

Wahana Akademika, Vol. 6, Nomor 2, September 2004

Argumentasi Sunnah

berwudlu. Penjelasan sunnah terhadap ayat-ayat al-Quran yang mujmal ini juga dapat dijumpai pada masalahmasalah yang terkait dengan kewajiban shalat,22 zakat, puasa, haji, dan juga ibadah-ibadah lainnya yang terdapat dalam alQuran dalam bentuknya yang mujmal dan memerlukan sunnah untuk menjelaskannya secara terperinci. Kewajiban shalat misalnya dalam al-Quran dituangkan dalam bentuknya yang masih mujmal, karena Allah swt tidak menjelaskan tentang waktunya, bilangan rekaatnya, rukun-rukunnya, hal-hal yang membatalkannya, serta metode pelaksanaannya. Kemudian Rasulullah saw menjelaskan kepada umatnya tentang prosesi shalat sebagaimana sabdanya: Shlatlah kalian, sebagaimana kalian melihatku shlat. Pada hadis yang lain Rasulullah saw secara rinci juga menjelaskan tentang bilangan shalat, sebagaimana beliau menjelaskan waktunya. Hal ini sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Thalhah bin Ubaidillah, bahwa seorang Arabi dengan keadaan rambut yang kusut datang meghadap Rasulullah, lantas berkata: Ya Rasulullah, beritahukan kepadaku, shalat yang Allah wajibkan kepadaku. Rasulullah menjawab: Shalat yang lima, kecuali apabila kamu hendak melaksanakan yang

sunnat. Ia berkata: Beritahukan kepaku, puasa yang Allah wajibkan kepadaku. Rasulullah menjawab: Bulan Ramadlan, kecuali apabila kamu mau mengerjakan sesuatu yang disunnatkan. Ia berkata lagi: Beritahukan kepadaku, zakat yang Allah wajibkan kepadaku. Kemudian Rasulullah menyampaikan beberapa syariat Islam. Dan akhirnya ia berkata: Demi Dzat yang memuliakanmu, aku akan mengerjakan sesuatu yang sunnat dan tidak pula akan mengurangi sedikit pun kewajiban yang diwajibkan oleh Allah kepadaku. Rasul pun berkata: Sungguh beruntunglah dia, kalaulah dia benar. (Dalam riwayat yang lain disebutkan: Dia masuk sorga, kalau dia benar). Kutipan hadis di atas menjelaskan tentang bilangan banyaknya shalat dalam sehari semalam. Sedangkan mengenai waktu-waktu shalat wajib tersebut juga dijelaskan dalam beberapa hadis beliau. Di sisi lain beliau juga menjelaskan tentang banyaknya bilangan rekaat untuk setiap shalat itu, baik jumlah rekaat untuk shalat yang dilaksanakan di perjalanan atau bukan. Beliau menjelaskan bahwa shalat dhuhur, ashar, dan isya, bila dilaksanakan diperjalanan bisa di qashar, yakni dua rekaat-dua rekaat. Sedangkan jumlah rekaat untuk shalat maghrib dan subuh, baik dilaksanakan di perjalanan maupun tidak, tetap tidak berubah. 211

Wahana Akademika, Vol. 6, Nomor 2, September 2004

Argumentasi Sunnah

Demikian juga tentang kewajiban zakat yang di sebutkan dalam al-Quran, juga masih dalam bentuk mujmal. Misalnya firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah/2: 43, 83, 110, dan ayat-ayat lain yang senada, seperti: Dan berikanlah zakat. Perintah yang demikian ini masih belum jelas pengertiannya, karena akan menimbulkan beberapa pertanyaan, seperti apakah kewajiban zakat itu berlaku terhadap semua harta atau hanya sebagian saja?; kalau zakat itu hanya berlaku pada sebagian harta saja, maka macam apa saja yang wajib dizakati?; apabila sudah diketahui macamnya, lalu apakah zakatnya bisa diambil secara mutlak ataukah ada nisabnya?; jika sudah diketahui harus ada nishabnya, lalu berapa batasan nisabnya?; dan pertanyaanpertanyaan lain yang mungkin akan sulit menjawabnya. Lalu dengan hadisnya Rasulullah saw menjelaskan kemujmalan perintah zakat ini, bahwa zakat itu wajib mengenai sebagian jenis harta dan tidak berlaku pada sebagian yang lainnya. Jika kekayaan itu banyak ragamnya, seperti binatang ternak, maka Rasulullah menjelaskan jenis binatang yang bisa diambil zakatnya, seperti unta, sapi, dan kambing. Sedangkan untuk jenis binatang ternak seperti kuda, khimar, keledai, tapi Rasulullah tidak mengambil zakatnya sedikit pun. Rasulullah mengambil zakat itu setelah sampai pada nishab dan 212

haul (lewat satu tahun), sehingga karenanya perkembangan kekayaan itu benar-benar terjadi. Selain harta kekayaan yang berupa binatang ternak, ada harta lain yang perlu diambil zakatnya, yaitu hasil tanaman yang bisa dijadikan sebagai makanan pokok. Dan rasulullah tidak mengambil zakat dari hasil tanaman yang tidak dapat dijadikan sebagai makanan pokok, seperti ketumbar dan lainlain. Beliau juga menjelaskan tentang ukuran nishab tanamantanaman yang wajib dizakati itu, dan menjelaskan pula ukuran yang wajib dikeluarkannya. Beliau juga membedakan antara tanaman yang disiram dengan air hujan atau lainnya yang tidak membutuhkan tenaga dan biaya, dengan tanaman yang diriram menggunakan air, yang membutuhkan tenaga atau biaya. Bahwa tanaman yang disiram dengan air hujan, zakatnya diwajibkan oleh Rasulullah sebanyak sepersepuluh, sedangkan tanaman yang disiram bukan dengan air hujan, zakatnya diwajibkan sebanyak seperdua puluh. Seandainya tidak ada sunnah Rasulullah saw, maka kewajiban shalat dan juga zakat sebagaimana diperintahkan di dalam al-Quran, tidak akan terlaksana dengan baik, karena tidak mendapat petunjuk untuk melaksanakannya. Oleh karenanya, sunnah menjadi sangat penting untuk menjelaskan ayatayat al-Quran yang sifatnya masih

Wahana Akademika, Vol. 6, Nomor 2, September 2004

Argumentasi Sunnah

mujmal tersebut. Bentuk kedua dari bayan al-tafsir adalah memberikan taqyid (persyaratan) terhadap ayat-ayat yang mutlak. Seperti firman Allah yang terdapat dalam Q.S. al-Maidah/5: 38:Laki-laki yang mencuri dan perempuan-perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha Bijaksana (Q.S. al-Maidah/5: 38).

pergelangan tangan dan tidak sampai pada sikut ataupun sampai bahunya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadis Rasulullah sebagai berikut:Rasulullah saw didatangi seseorang dengan membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan.

Dalam hadis yang lain dijelaskan pula tentang ukuran barang yang dicuri sehingga potong tangan harus dijatuhjan. Hal ini sebagaimana hadis riwayat bukhari dari Kata yadd (tangan) pada ayat di Aisyah, ia berkata: Rasulullah atas belum jelas maknanya, apakah bersabda: Tangan dipotong sebab sampai pada pergelangan, sampai mencuri seperempat dinar ke atas. Bentuk yang ketiga adalah sikut, atau bahkan sampai bahu. Demikian juga kata al-qathu membatasi (takhsis) ayat-ayat yang (memotong) juga belum jelas masih umum (am). Firman Allah pengertiannya, sebab bisa bebarti swt: memutuskan (memotong) dan bisa Orang-orang yang beriman dan juga berarti melukai. Dalam ayat tidak mencampuradukkan iman tersebut juga tidak dijelaskan mereka dengan kezhaliman (syirik), tentang ukuran dan batas materi mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka yang dicurinya, apakah orang akan itu adalah orang-orang yang dipotong tangannya apabila ia mendapat petunjuk (Q.S. al-Anam/ mencuri apa saja, atau ada ukuran 6: 82) tertentu. Bila kita menengok pada kitabKata zhulmun yang terdapat pada kitab hadis, akan ditemukan ayat di atas merupakan bentuk isim penjelasan-penjelasan yang berkai- nakirah isim yang menunjukkan tan dengan masalah tersebut. Di sesuatu yang belum jelas - yang jelaskan dalam sebuah hadis bahwa berada dalam susunan kalimat yang dimaksud dengan yadd negatif, karenanya mempunyai arti (tangan) pada ayat di atas adalah yang umum dan menyeluruh serta tangan kanan dan batasan potong mencakup semua bentuk kezhatangan tersebut hanya sampai pada liman (aniaya). Wahana Akademika, Vol. 6, Nomor 2, September 2004 213

Argumentasi Sunnah

Ketika turun ayat ini, para sahabat merasa berat hati, sebagai konsekuaensi dari luasnya pengertian kata zhulmun itu, karena tidak ada seorang pun yang tidak menzhalimi terhadap diri sendiri. Lalu Rasulullah menjelaskan kepada mereka bahwa yang dimaksud dengan kata itu adalah syirik. Keterangan mengenai hal ini sebagaimana hadis riwayat Bukhari dari Abdullah, ia berkata: Ketika turun ayat orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman, kami bertanya kepada Rasulullah: Ya Rasulullah, siapa di antara kami ini yang tidak zhalim terhadap dirinya?. Rasul menjawab: Maksud ayat itu bukan seperti yang kamu anggap; Tidak mencampuradukkan keimanan dengan kezhaliman itu maksudnya dengan kesyirikan. Tidakkah mendengar perkataan Lukman kepada anak-anaknya: Wahai anakku, janganlah kamu syirik (menyekutukan) Allah, karena kesyirikan itu adalah kezhaliman yang besar. Contoh lainnya lagi adalah ayat al-Quran tentang jual beli, Dan Allah menghalalkan jual beli, ayat ini ditakhsis oleh sunnah yang banyak mengenai jual beli fasad. Ayat-ayat mengenai waris ditakhsis oleh sunnah mengenai pembunuh dan orang yang berlainan agama; ayatayat yang mengharamkan bangkai ditakhsis oleh sunnah mengenai 214

belalang; ayat tsalatsata quru (tiga kali haid/suci) ditakhsis oleh sunnah sebagai amat (hamba sahaya perempuan), ayat mengenai air suci ditakhsis oleh sunnah menganai air yang berubah, dan masih bayak lagi ayat-ayat al-Quran yang pengertiannya masih umum lalu ditakhsis oleh sunnah yang menjelaskan tentang batasan-batasannya. Bayan al-Tasyri Bayan al-Tasyri atau yang menurut Abbas Muthawali Hamadah disebut sebagai bayan Zaid ala alKitab al-Karim,23 yaitu penjelasan sunnah yang merupakan tambahan terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam al-Quran. Untuk tipe yang ketiga ini para ulama masih berbeda pendapat. Perbedaan tersebut tidak pada kedudukan dan keabsahan hukum-hukum yang ditetapkan oleh sunnah, yang dinyatakan sebagai tambahan terhadap hukum-hukum yang ditetapkan oleh al-Quran, melainkan lebih kepada cara menganalisa dan menetapkan hukum sebagai tambahan, dan mencari metode untuk menetapkan hukum sebagai tambahan itu. Menurut Imam al-Syafii, 24 bahwa proses analisa dalam menetapkan adanya tambahan tersebut ada empat pendapat, yaitu pertama, Allah menetapkan bagi Rasulullah agar ia mensunnahkan masalah-masalah yang tidak terdapat dalam nash al-Quran,

Wahana Akademika, Vol. 6, Nomor 2, September 2004

Argumentasi Sunnah

berkaitan dengan kewajibannya untuk ditaati dan penetapan-Nya untuk membimbing ke arah yang diridhainya, kedua, bahwa Rasulullah tidak mensunnahkan sesuatu apapun kecuali ada dasar dari nash al-Quran. Seperti beliau menetapkan sunnah untuk menjelaskan bilangan shalat dan cara melaksanakannya berdasarkan atas nash alQuran tentang wajibnya shalat. Begitu juga yang berkaitan dengan jual beli dan syariat-syariat Islam yang lainnya, karena Allah berfirman:

jiwanya itu mengkristal jadi sunnahnya. Keempat pendapat sebagaimana diungkapkan oleh al-Syafii di atas, menurut Dr. Ahmad Umar Hayim dapat diringkas menjadi dua bagian, yaitu pertama, bahwa sunnah tidak menetapkan sesuatu kecuali mempunyai dasar dari al-Quran; dan kedua, mencakup ketiga pendapat, yaitu pendapat pertama, ketiga, dan keempat, yang kesemuanya menetapkan bahwa sunnah itu merupakan tambahan atas alQuran. Dengan demikian, maka untuk Janganlah kamu saling memakan pendapat yang disebutkan kedua harta benda kamu dengan jalan berpendapat bahwa sunnah memiyang bathil (Q.S. al-Nisa/4: 29) liki kemandirian di dalam menetapkan sebagian perkara-perkara yang Juga firman Allah swt: menyangkut hukum syariat, artinya mereka mengakui terhadap kemanDan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (Q.S. al- dirian sunnah; sementara untuk pendapat yang disebutkan pertama Baqarah/2: 275) berpendapat sebaliknya, yaitu Bahwa apa yang beliau halalkan sunnah itu tidak kokoh berdiri dan haramkan itu hanyalah penje- sendiri, melainkan cabang dari 25 lasannya dari Allah, sebagaimana pokok yang ada dalam al-Quran. Dari beberapa keterangan di halnya beliau menjelaskan tentang atas, menjadi jelas bahwa perbedaan shalat. Ketiga, bahwa semua itu tersebut tidak menyangkut masalah ditetapkan berdasar risalah Allah kedudukan dan keabsahan hukumyang datang kepadanya, dan hukum tambahan yang ditetapkan keempat, bahwa semua yang beliau oleh sunnah, melainkan hanya sunnahkan diresapkan dahulu mengenai metode dalam menetapdalam benaknya, dan al-hikmah kan keberadaan istilah tambahan menetapkan bahwa yang diresap- tersebut. Oleh karenanya, perbedakan dalam benaknya itu dari Allah an paham ini dalam hakikat dan swt. Maka, apa yang meresap dalam kenyataanya tidak ada pengaWahana Akademika, Vol. 6, Nomor 2, September 2004 215

Argumentasi Sunnah

ruhnya dan tidak pula membawa dampak terhadap prakteknya, bahkan hanya berupa perbedaan teoretis saja. Mengenai hal ini Abu Zahra berkata:Menurut pendapat saya, bahwa perbedaan paham dalam hal semacam ini tidaklah mempengaruhi prakteknya. Bahkan, perbedaan itu lebih cenderung sebagai perbedaan teoretis saja. Sebab, masing-masing dari kedua pihak pun mengakui keberadaan sunnah, dan berpegang pada kehujjahannya tanpa menangguhkan dulu untuk mencari dasarnya dari al-Quran. Dan karena orang yang mengatakan bahwa semua pokok sunnah itu teradapat dalam al-Quran, ia pun suka memperluas arti dari satu pokok dalam al-Quran. Kemudian, dijadikannya pokok itu, mencakup beberapa pokok yang umum. Tak ubahnya seperti kaidah yang mencakup beberapa hukum dalam satu bab mengenai fiqh Islam.

sunnah sebagai tambahan atas alQuran. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa zakat itu penjabaran dari al-Quran. Mereka mengambil dari hadis itu dalil yang jadi rincian dari al-Quran, karena Rasulullah tidak mewajibkan zakat kecuali pada orang Islam. Dengan demikian sesuai dengan kitabullah, karena Allah menjadikan zakat itu sebagai pembersih (mensucikan), sedangkan kesucian hanyalah untuk orang Islam. Firman Allah swt:Abillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka (Q.S. al-Taubah/9: 103)

Contoh untuk tipe yang ketiga ini dalam hadis Rasulullah saw sangat banyak jumlahnya. Di antaranya adalah hadis tentang zakat fitrah sebagai berikut: Bahwasannya Rasulullah sawtelah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan Ramadlan satu sha kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan

Sunnah Rasulullah sebagai bayan al-Tasyri ini wajib untuk ditaati dan diamalkan berdasarkan perintah Allah dalam al-Quran sebagaimana wajibnya mentaati dan mengamalkan hadis-hadis yang lainnya. Ibn al-Qayyim berkata: Bahwa hadis-hadis Rasulullah saw yang berupa tambahan terhadap alQuran, merupakan kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh menolak atau mengingkarinya, dan ini bukanlah sikap mendahului al-Quran melainkan semata-mata karena perintah-Nya.26 Bayan al-Nasakh Secara etimologi, kata nasakh dalam bahasa Arab memiliki beberapa arti, di antaranya: menghapus dan menghilangkan,

Menurut sebagian ulama bahwa zakat fitrah itu ditetapkan oleh 216

Wahana Akademika, Vol. 6, Nomor 2, September 2004

Argumentasi Sunnah

mengganti dan menukar, memalingkan dan merubah, menukilkan dan memindahkan sesuatu.27 Ulama mutaqaddimin yang hidup abad I hingga abad III H - menggunakan term nasakh ini untuk beberapa pengertian, yaitu (1) pembatalan yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian; (2) pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian; (3) penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar; dan (4) penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.28 Sedangkan secara terminologi, pengertian nasakh banyak diungkapkan oleh para ulama, yang secara redaksional mungkin berbeda, namun jika dilihat dari segi maknanya kesemuanya memiliki pengertian yang sama. Zakiy al-Din Syaban29 misalnya, mendefinisikan nasakh sebagai: penghapusan ketentuan hukum syara dengan suatu dalil syara yang (datang) kemudian dari ketentuan hukum semula. Sedangkan Abd al-Wahab Khalaf30 mendefinisikannya sebagai pembatalan pengamalan (penggunaan) hukum syara dengan suatu ketentuan dalil yang datang kemudian. Pembatalan tersebut baik secara jelas atau samar-samar, secara kully atau juziy karena danya ketentuan yang dikehendaki. Sementara itu, dalam literatur fiqh klasik, term nasakh ini apabila

dikaitkan dengan al-Quran, ia memiliki tiga pengertian, pertama, berarti bahwa al-Quran membatalkan hukum yang dinyatakan dalam kitab-kitab Samawi yang terdahulu seperti Kitab Perjanjian Lama dan Kitab Perjanjian Baru; kedua, ia diterapkan pada penghapusan sejumlah ayat-ayat al-Quran yang teksnya telah dihapuskan dari eksistensinya. Ayat-ayat yang teksnya dihapuskan itu selanjutnya dibagi pula menjadi dua jenis: (1) ayat-ayat yang baik teks maupun hukum yang terkandung di dalamnya diduga telah dihapuskan; (2) ayat-ayat yang hanya teksnya saja yang dipercayai telah dihapuskan tetapi hukumnya tetap berlaku; ketiga, ia berarti pencabutan sebagian dari perintah-perintah terdahulu yang ada di dalam Quran oleh wahyu yang datang terkemudian. Sedangkan teks yang perintah-perintah terdahulu itu masih tetap terkandung di dalam alQuran.31 Perbedaan ulama tentang ada dan tidaknya nasakh dalam alQuran berangkat dari firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah/2: 106:Apa saja yang telah kami hapuskan atau kami jadikan manusia lupa kepadanya, maka kami datangkan (ganti) dengan yang lebih baik dari padanya, sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (Q.S. alBaqarah/2: 106)

Wahana Akademika, Vol. 6, Nomor 2, September 2004

217

Argumentasi Sunnah

Sehubungan dengan adanya perbedaan pendapat tentang nasakh ini, Manna al-Qaththan32 telah menginventaris menjadi empat golongan, pertama, orang Yahudi, yang tidak mengakui adanya nasakh, menurutnya nasakh mengandung konsep al-bada, yaitu nampak jelas setelah kabur. Artinya bahwa nasakh itu adakalanya tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi Allah, dan adakalanya karena suatu hikmah yang sebelumnya tidak nampak. Ini berarti terdapat suatu kejelasan yang didahului oleh ketidak jelasan. Dan yang demikian mustahil bagi-Nya. Kedua, orang syiah Rafidhah, yang dinilai sangat berlebihan dalam menetapkan nasakah. Mereka beranggapan bahwa konsep al-bada adalah suatu yang mungki terjadi bagi Allah, dan ini berbeda sekali dengan pendapat orang Yahudi di atas. Untuk memperkuat pendapatnya ini, mereka berargumentasi dengan ucapan-ucapan yang mereka nisbahkan kepada Ali r.a. dengan cara dusta dan palsu. Mereka juga mengambil firman Allah sebagai dalil adanya nasakh tersebut, yaitu Q.S. al-Rad/13: 39. Allah menghapuskan apa yang Ia kehendaki dan menetapkan (apa yang Ia kehendaki). Ayat ini menurut mereka berarti Allah siap untuk menghapuskan dan menetapkannya. Ketiga, Abu Muslim al-Asfahani, yang menurutnya konsep nasakh 218

merupakan suatu yang logik, namun tidak mungkin terjadi menurut syara. Artinya bahwa ia menolak terjadi nasakh dalam alQuran.33 Pendapat ini didasarkan pada Q.S. Fushilat/41: 42: Yang tidak datang kepadanya (al-Quran) kebathilan baik dari depan maupn dari belakangnya, yang diturunkan dari sisi Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha T erpuji. Menurutnya, ayat ini memiliki pengertian bahwa hukumhukum al- Quran tidak akan dibatalkan untuk selama-lamanya. Sedangkan ayat-ayat yang berkaitan dengan nasakh, semuanya ia takhsiskan. Artinya bahwa ayatayat yang dinasakh oleh al-Quran, dipandang sebagai takhsis atau taqyid. Keempat, jumhur ulama, yang berpendapat bahwa nasakh adalah suatu hal yang dapat diterima oleh akal dan telah terjadi dalam hukumhukum syara. Hal ini didasarkan kepada beberapa argumen, yaitu (1) perbuatan-perbuatan Allah tidak tergantung pada alasan dan tujuan. Ia boleh saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain, karena Dia lebih mengetahui terhadap kepentingan hambahamba-Nya; (2) nash-nash Kitab dan sunnah menunjukkan kebolehan nasakh, seperti pada Q.S. al-nahl/16: 101; al-Baqarah/2: 106. Masih menurut Qaththan, bahwa nasakh sendiri dapat dibagi

Wahana Akademika, Vol. 6, Nomor 2, September 2004

Argumentasi Sunnah

menjadi empat bagian, pertama, naskh al-Quran dengan al-Quran. Untuk tipe yang pertama ini telah disepakati kebolehannya; kedua, naskh al-Quran dengan sunnah. Tipe kedua ini ada dua macam, yaitu (1) naskh al-Quran dengan hadis ahad, (2) naskh al-Quran dengan hadis mutawatir;34 ketiga, nasakh sunnah dengan al-Quran. Menurut jumhur ulama, tipe yang ketiga ini diperbolehkan; dan keempat, nasakh sunnah dengan sunnah. Tipe ini memiliki empat bentuk, yaitu (1) nasakh mutawatir dengan mutawatir, (2) nasakh ahad dengan ahad, (3) nasakh ahad dengan mutawatir, dan (4) nasakh mutawatir dengan ahad. Ketiga bentuk yang disebutkan pertama diperbolehkan, sementara yang disebutkan terakhir terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama.35 Dari keempat pembagian nasakh tersebut, disini akan dijelaskan lebih lanjut berkaitan dengan tipe nasakh yang disebutkan kedua, yaitu naskh al- Qur an dengan sunnah. Para ulama berbeda pendapat tentang boleh dan tidaknya sunnah menasakh alQuran. Perbedaan tersebut sedikitnya terpecah menjadi dua kelompok, yaitu:36 Kelompok Pertama, yang berpendapat bahwa sunnah boleh menasakh al-Quran. Kemlompok ini didukung oleh mayoritas ahli ilmu kalam, seperti orang-orang

Asyariyah dan Mutazilah, ulama fiqh dari kalangan Malikiyah, Abu Hanifah, dan Ibn Suraij. Sehubungan dengan ini, mereka berbeda pendapat tentang kedudukan sunnah yang dapat menasakh alQuran, di antaranya: (1) Menurut golongan Mutazilah, bahwa sunnah yang dapat menasakh alQuran adalah sunnah yang mutawatir. Hal ini karena al-Quran dari segi lafazh-lafazhnya adalah mutawatir. Oleh karena itu, yang mutawatir hanya dapat dinasakh dengan yang mutawatir pula; (2) Menurut ulama Hanafiyah, bahwa sunnah yang dapat menasakh alQuran tidak harus yang mutawatir, hadits masyhur pun yang dapat menimbulkan arti yakin, dapat menasakh hukum dari sebagian ayat al- Quran. Dengan demikian, cakupan makna kata nasakh, menurut ulama Hanafiyah agak longgar. Mereka menggunakan kata nasakh untuk semua dalil yang datang kemudian, yang berlainan dan merubah hukum yang pertama; (3) Golongan Ibn Hazm yang sepaham dengan ulama-ulama salaf, berpendapat bahwa sunnah bisa menasakh al-Quran sekalipun hanya merupakan hadis ahad. Menurutnya, meskipun hadis ahad itu hanya bisa menimbulkan zhan (sangkaan), juga bisa menasakh alQuran. Sebab, mereka telah memperluas penggunaan arti nasakh itu kepada semua bentuk perubahan, sekalipun berupa takhsis 219

Wahana Akademika, Vol. 6, Nomor 2, September 2004

Argumentasi Sunnah

terhadap am atau taqyid terhadap muthlaq. Lebih lanjut Ibn Hazm menjelaskan bahwa nasakh itu termasuk satu bentuk dari bayan (penjelasan), dan Rasulullah mempunyai tugas untuk menjelaskan alQuran, bahkan nasakh itu benarbenar terjadi dalam beberapa ayat al-Quran dengan jumlah yang sangat banyak. Kelompok kedua, yang berpendapat bahwa sunnah tidak dapat menasakh terhadap alQuran, sekalipun sunnah tersebut mutawatir. Di antara yang berpendapat demikian adalah Imam alSyafii, dan mayoritas ahli zhahiriyah. Untuk memperkuat pendapatnya itu, Imam al-Syafii mengemukakan beberapa alasan, di antaranya berdasarkan firman Allah swt dalam Q.S. Yunus/10: 15.Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata: Datangkanlah al-Quran yang lain dari ini atau gantilah dia. Katakanlah (wahai Muhammad): Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri, aku tidak mengikuti kecuali yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar.

Menurut al-Syafii, ayat di atas merupakan pemberitahuan Allah bahwa Dia mewajibkan kepada Nabi untuk mengikuti semua yang diwahyukan kepadanya, dan 220

melarang untuk merubah (menggantinya) dari pihak dirinya sendiri. Sementera itu ketika mengomentari firman Allah: Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri, dengan mengatakan bahwa al-Quran itu tidak dinasakh kecuali oleh al-Quran sendiri. Ketika Allah menetapkan sesuatu, maka Dia pulalah yang menghilangakn dan mengukuhkan sesuatu yang Dia kehendaki. Dan yang demikian tidak dapat dilakukan oleh seorang pun dari makhlukNya. Dengan demikian, menasakh al-Quran hanya bisa dilakukan dengan al- Quran. Mengenai firman Allah dalam Q.S. alBaqarah/2: 106, Apa saja ayat yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya ia menjelaskannya dengan mengatakan bahwa yang mendatangkan yang lebih baik atau yang sebanding itu adalah Allah, karena dhamirnya kembali kepadaNya. Dan yang demikian itu tidak akan terjadi kecuali apabila yang menasakhnya adalah al-Quran. Merujuk pada firman Allah: Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya, ini berarti bahwa alQuran harus dinasakh dengan alQuran, sebab antara al-Quran dengan sunnah tidak sebanding, demikian juga sunnah tidak lebih baik dari al-Quran. Atas dasar

Wahana Akademika, Vol. 6, Nomor 2, September 2004

Argumentasi Sunnah

inilah, maka sunnah tidak dapat menasakh al-Quran. Berdasarkan keterangan di atas, maka ulama yang mengakui adanya fungsi bayan al-nasakh sepakat bahwa nasakh itu merupakan salah satu bentuk dari bentuk-bentuk bayan (penjelasan). Kemandirian Sunnah Dalam Menetapan Hukum (Tasyri) Sebelum membahas lebih jauh tentang kemandirian sunnah di dalam menetapkan suatu hukum, perlu kiranya dikemukakan terlebih dahulu pendapat Imam Syafii tentang kedudukan sunnah, yang telah membaginya menjadi tiga perspektif, pertama, yang diturunkan oleh Allah swt dalam al-Quran sebagai suatu nash, maka Rasulullah saw melaksanakannya sebagaimana isi nash tersebut; kedua, yang diturunkan Allah swt di dalam alQuran secara keseluruhan, maka Rasulullah saw menjelaskan maksud sebenarnya yang terkandung dalam firman Allah tersebut, sehingga mendapatkan kejelasan bahwa yang dimajibkan Allah adalah umum atau khusus, serta bagaimana cara ummat manusia melaksanakannya; ketiga, sesuatu yang dilakukan sendiri oleh Rasulullah saw tentang hal-hal yang tidak terdapat nashnya dalam alQuran.37 Untuk kategori yang disebutkan pertama dan kedua, para ulama sepakat untuk menerimanya,

namun mereka berselisih pendapat untuk kategori yang disebutkan terakhir, yaitu sesuatu yang dilakukan sendiri oleh Rasulullah saw tentang hal-hal yang tidak terdapat nashnya dalam al-Quran. Artinya bahwa Rasulullah mempunyai kewenangan di dalam menetapkan suatu hukum yang tidak ada nashnya dalam al-Quran. Para ulama dalam menanggapi masalah ini, sedikitnya terbagi penjadi dua kelompok, pertama, ulama yang mengatakan bahwa sunnah mempunyai kewenangan di dalam menetapkan suatu hukum, baik sunnah yang berfungsi sebagai penjelas terhadap al-Quran maupun yang berfungsi sebagai penetap dan pembentuk hukum, meskipun tidak ada nash dan tidak dijelaskan dalam al-Quran; kedua, ulama yang berpendapat bahwa sunnah tidak mempunyai kewenangan di dalam menetapkan suatu hukum, kecuali ada nashnya dalam al-Quran. Ini berarti bahwa mustahil bagi Rasulullah saw melakukan sesuatu perbuatan yang tidak berdasar pada al-Quran. Untuk kelompok yang disebutkan terakhir berpendapat bahwa sunnah pada dasarnya berfungsi sebagai penjelas (mubayyin) terhadap al-Quran. Hal ini sebagaimana firman Allah swt dalam Q.S. al-Nahl/16: 44.Dan Kami turunkan kepadamu alQuran, agar kamu menerang-kan

Wahana Akademika, Vol. 6, Nomor 2, September 2004

221

Argumentasi Sunnahkepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan suapaya mereka memikirkan (Q.S. al-Nahl/16: 44)

Di sisi lain bahwa Rasulullah sama sekali tidak menetapkan satu sunnah pun yang tidak terkait dengan al-Quran. Karena, Allah menurunkan al-Quran adalah untuk menjelaskan segala sesuatu. Allah berfirman: Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (alQuran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (Q.S. al-nahl/16: 89). Pada ayat yang lain Allah menegaskan bahwa Dia telah menyempurnakan agama seluruhnya. Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agama kamu (Q.S. al-Maidah/5: 3). Juga firman-Nya: Tiadalah aku akpakan sesuatu pun di dalam al-Kitab (Q.S. al-Anam/6: 38). Atas dasar inilah, maka mereka beranggapan bahwa dalam bentuk apapun sunnah tidaklah menambah sedikitp pun ketika menetapkan suatu hukum (tasyri), apalagi berdiri sendiri. Lebih lanjut mereka mengatakan bahwa sunnah Rasulullah itu tidak lain hanyalah sekedar penjelasan terhadap tuntunan yang diterima dari Allah swt., sebagaimana penjelasan beliau tantang tatacara shalat, ketentuan hukum jual beli serta hukum syara yang lainnya. Ketentuan-ketentuan 222

hukum itu secara keseluruhan sudah disinggung dalam al-Quran baik secara global maupun secara terperinci. Adapun firman Allah yang menjelaskan tentang kewajiban taat kepada Rasulullah seperti dalam Q.S. al-Nisa/4: 80 - yang dijadikan dasar bagi ulama yang mengakui atas kamandirian sunnah merupakan kewajiban untuk mentaati segala penjelasan dan semua keterangannya.38 Sementara itu, untuk kelompok yang disebutkan pertama yang berpandangan bahwa sunnah mempunyai kewenangan di dalam menetapkan suatu hukum, meskipun tidak ada nashnya dalam alQuran berargumentasi dengan adanya kewajiban untuk mentaati dan mengikuti Rasulullah saw sebagaimana yang telah diperintahkan Allah dalam beberapa firman-Nya.39 Dalam sebuah ayat dijelaskan bahwa mentaati Rasul itu identik dengan taat kepada Allah. Firman Allah: Barang siapa yang mentaati Rasul, maka sesungguhnya ia telah mentaati Allah (Q.S. al-Nisa/ 4: 80). Ada ayat lain yang juga senada dengan ayat di atas bahwa adanya kewajiban untuk meneripa apa saja yang diperintahkan Rasul dan menjahui segala apa saja yang dilarang beliau. Firman Allah: Apa yang diberikan Rasul kepadamu terimalah dia, dan apa saja yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah (Q.S. al-Hasyr/7). Oleh karenanya

Wahana Akademika, Vol. 6, Nomor 2, September 2004

Argumentasi Sunnah

tidak dibedakan antara apa yang diterangkan Nabi dari Al-Quran dan apa yang beliau perintahkan dalam sunnah beliau sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Pada ayat yang lain Allah mengancam bagi orang yang tidak mau mengikuti panggilan Rasulullah saw dengan firman-Nya: Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada yang lain. Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orangorang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atas adzab yang pedih (Q.S. al-Nur/24: 63). Dari ayat ini bisa dipahami bahwa Allah memberikan kekhususan kepada Nabi saw dengan memberikan sesuatu yang harus ditaati dan tidak boleh didurhakai, yaitu sunnah yang beliau bawa dan tidak terdapat dalam al-Quran. Senada dengan beberapa ayat di atas adalah bahwa Allah memerintahkan kepada orang-orang mukmin untuk kembali kepada Allah dan RasulNya apabila terjadi pertikaian. Juka kalian berlainan tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (alQuran) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian(Q.S. alNisa/4: 59). Oleh karena itu, segala apa saja yang datang dari Rasulullah baik berupa perintah maupun larangan

yang merupakan penjelasan terhadap berbagai persoalan meskipun pokoknya bersumber dari nash alQuran, merupakan penjelasan tambahan terhadap al-Quran itu sendiri. Hal ini sebagaimana disinyalir dalam suatu hadis Rasulullah yang menunjukkan atas kewajiban untuk mengambil apa saja yang terdapat dalam sunnah mengenai suatu hukum sebagaimana mengambilnya dari kitab alQuran.Dikhawatirkan seorang duduk di atas kursinya menyampaikan hadisku sambil mengatakan: Antara saya dan Anda sekalian ada alQuran, apa yang kita dapatkan di dalamnya halal, maka kitapun menghalalkannya, dan apa yang kita dapatkan di dalamnya haram, maka kitapun mengharamkannya. Ingatlah bahwasannya sesuatu yang diharamkan oleh Rasulullah saw adalah sama dengan apa yang diharamkan oleh Alah swt. Imam al-Baihaqi telah meriwayatkan dengan sanad dari Syubaib bin Fudhalah al-Makky, bahwasannya Imran bin Husain ra. telah menerangkan tentang syafaat, maka datang seseorang dari suatu kaum dan berkata: Wahai Abu Nujaid, Anda telah banyak menceritakan beberapa hadis yang kami tidak menemukan sama sekali di dalam alQuran. Maka Imran marah dan berkata kepada orang tersebut: Sudahkan Anda membaca alQuran?. Maka ia menjawab: Ya. Kemudian Imran bertanya: Apakah 223

Wahana Akademika, Vol. 6, Nomor 2, September 2004

Argumentasi Sunnah

anda temukan di dalamnya shalat isya empat rekaat? Shalat maghrib tiga rekaat? Shalat subuh dua rekaat?, Shalat dhuhur dan ashar empat rekaat?. Maka orang tersebut menjawab: Tidak!. Lalu Imran berkata: Lantas dari mana Anda mengambil dasar semua itu? Bukankah Anda mengetahui bahwa kita semua mengambilnya dari Rasulullah saw? Apakah Anda juga mendapatkan dalam al-Quran ketentuan zakat empatpuluh ekor kambing itu satu ekor kambing? Demikian juga zakat unta, dirham?. Orang itu menjawab: Tidak!. Maka Imran berkata: Pendapat anda itu dari mana? Bukankah Anda tahu hal itu dari kami. Sedang kita semua menerimanya dari Nabi Muhammad saw. Selanjutnya Imran bertanya: Firman Allah swt yang berbunyi: ..dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). Apakah anda dapatkan keterangan

dari al-Quran, thawaf tujuh kali, anjuran shalat dua rekaat di belakang makam (Ibrahim?) Apakah anda juga mendapatkan dalam al- Quran keterangan, bahwa Islam tidak mengenai penyerobotan, pencadangan dan nikah tukar (syighar)?. Bukankah Anda juga telah mendengar firman Allah swt di dalam kitab-Nya: Apa yang diberikan Rasul kepadamu, terimalah dia. Dan apa yang dilarang bagimu tinggalkanlah! (Q.S. alHasyr: 7). Imran menerangkan bahwa kita sesungguhnya telah menerima berbagai ketentuan dari Rasulullah saw yang bagi kita belum mengetahuinya. Dengan demikian, kesesuaian apa pun yang ada di antara alQuran dan hadis pada pokokpokoknya tidaklah menghalangi sedikitpun kemandirian sunnah menetapkan hukum-hukumnya atau penjelasannya.[]

224

Wahana Akademika, Vol. 6, Nomor 2, September 2004

Argumentasi Sunnah

CATATAN AKHIR:* Penulis adalah Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang. 1 Ada sebagian kelompok masyarakat Islam yang meragukan otoritas sunnah sebagai sumber kedua penetapan hukum Islam. Kelompok ini biasa menamakan diri sebagai kaum inkar al-sunnah. Kelompok ini yang kemudian disinyalir oleh Abu Syuhbah sebagai kelompok dari aliran khawarij dan kaum Rafidlah yang tidak memakai standar yang benar dalam kajian ilmiah (Muhammad Muhammad Abu Syuhbah (selanjutnya disebut Abu Syuhbah), Fi Rihab as-Sunnah al-Kutub ash-Shihah as-Sittah, (Kairo: Majma al-Buhuts al-Islamiyah, 1969), hlm. 11) 2 Q.S. al-Najm/53: 3-4 3 Lihat lebih lanjut Muhammad Ajjaj al-Khatib (selanjutnya disebut Ajjaj al-Khatib), Ushul al-Hadits Ulumuh wa Musthalahuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), hlm. 35 4 Q.S. al-Nisa/4: 59. Dalam ayat ini, Allah SWT. mengulang kata kerja athiuw untuk menunjukkan bahwa taat kepada rasul wajib secara mandiri tanpa harus dikaitkan dengan perintah taat kepada Allah (al-Quran). Hal ini memberikan indikasi bahwa jika rasul memerintahkan sesuatu, maka harus ditaati secara mutlak, baik perintah itu ada dalam al-Quran maupun tidak. Hal ini berlainan sekali dengan perintah ulil amri, dimana Allah tidak memerintahkan untuk taat kepadanya secara mandiri, melainkan perintah taat kepadanya terkait dengan perintah taat kepada rasul saw. 5 Q.S. al-Nahl/16: 44 6 Q.S. al-Nahl/16: 64 7 Q.S. al-Nisa/4: 65 8 Menurut sebagian besar ulama bahwa yang dimaksud dengan hikmah adalah sesuatu yang selain al-Quran, yaitu sesuatu yang dibukakan oleh Allah kepada Nabi, yang terdiri dari berbagai rahasia agama dan hukum syariat-Nya. Para ulama, seperti al-Syafii menyebutnya sebagai sunnah Rasulullah saw. Pengertian hikmah dengan sunnah ini didasarkan pada kenyataan bahwa dalam ayat tersebut Allah menyebut al-Quran yang kemudian disusul dengan kata hikmah, dan disebutkan Tuhan tentang makhluknya bahwa Dia mengajari kitab dan hikmah. 9 Q.S. Ali Imran/3: 164 10 Ajjal al-Khatib, op. cit., hlm. 36; bandingkan dengan Dr. Ahmad Umar Hasyim (selanjutnya disebut Umar Hasyim), Al-Sunnah al-Nabawiyyah wa Ulumuha, (t.tp., Maktabah Gharib, t,th), hlm. 25-29. Dalam bukunya Umar Hasyim menyebutkan bahwa argumen tentang otoritas sunnah sebagai penetapan hukum agama didasarkan pada dua alasan, pertama, kewajiban taat kepada Rasulullah saw. yang perinciannya kurang-lebih sama dengan pendapat Ajjaj al-Khatib di atas, kedua, bahwa Rasulullah saw diberi otoritas oleh Tuhan untuh menjelaskan Kitab-Nya kepada seluruh umat manusia.

Wahana Akademika, Vol. 6, Nomor 2, September 2004

225

Argumentasi Sunnah Q.S. al-Nahl/16: 35 Q.S. Ali Imran/3: 179; Q.S. al-Nisa/4: 136 13 Q.S. al-Nisa/4: 59; Q.S. al-Maidah/5: 92 14 Q.S. al-Nisa/4: 80; al-Fath/48: 10; Q.S. al-Hasyr/59: 7 15 Q.S. al Fath/48: 10; Q.S. al-Nisa/4: 80; Q.S. al-Hasyr/59: 7 16 Lihat lebih lanjut Ajjaj al-Khatib, loc. cit. 17 Q.S. al-Nisa/5: 80 18 Q.S. al-Hasyr/59: 7 19 Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah ayat al-Quran yang telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW., apakah beliau menjelaskan secara keseluruhan kepada sahabatnya ataukah tidak ?. Mengenai masalah ini sedikitnya ada dua pendapat, pertama, diwakili oleh Iman as-Suyuthi dan Samsuddin al-Khawiy yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW hanya menjelaskan sebagian kecil saja dari al-Quran kepada para sahabatnya; kedua, yang diwakili oleh Ibn Taimiyyah yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah menjelaskan kepada para sahabatnya semua makna al-Quran, baik secara global maupun secara terperinci. (Argumen dari masing-masing pendapat dapat dilihat pada A.D. Abu Suud Ibn Abdullah al-Fanistan, , Ikhtilaf al-Mufassirin, Asbabuhu wa atsaruhu, (Riyadh: Markaz Dirasat wa alIlam, 1997), hlm. 16-23; bandingkan dengan Muhammad Husain adzDzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I, Cet. II, 1976, hlm. 48-56). Sementara itu menurut al-Dzahabi bahwa Nabi hanya menjelaskan sedikit saja dari makna al-Quran itu kepada para sahabatnya. Hal ini disebabkan karena pada kenyataannya di dalam al-Quran terdapat bagian-bagian yang hanya diketahui maksudnya oleh Allah semata, yang dapat diketahui oleh para ulama, yang dapat diketahui oleh orang-orang yang menguasai bahasa Arab, dan bahkan ada bagian-bagian yang dengan mudah dapat diketahui oleh orang bodoh sekalipun. (Lihat Muhammad Husain adz-Dzahabi, Ibid, hlm. 53) 20 Lihat lebih lanjut Hasbi Ash-Shiddiqie, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm. 176-188; bandingkan dengan Muhammad Husain al-Dzahabi, op. Cit., hlm. 55-57); juga Abbas Muthawali Hamadah, Al-Sunnah al-Nabawiyyah wa Makanatuha fi al-tasyri, (Kairo: Dar al-Qoumiyyah li al-Tabaah wa al-Nasyr, 1981), hlm. 141-148. 22 Lihat misalnya Q.S. al-Baqarah/2: 43; 238; Q.S. Qaf/50: 39; Q.S. alIsra/17: 78; dan lain-lainnya. 23 Lihat Abbas Muthawali Hamadah, op. cit., hlm. 161 24 Lihat lebih lanjut Dr. Ahmad Umar Hasyim, Al-Sunnah al-Nabawiyyah wa Ulumuha, (t.tp., Maktabah Gharib, t.th.), hlm. 23 25 Ibid. 26 Lihat Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Ilam al-Muwaqqiin, Jilid II, (Mesir: Matbaah al-Saadah, 1995), hlm. 28911 12

226

Wahana Akademika, Vol. 6, Nomor 2, September 2004

Argumentasi Sunnah Lihat Imam Badr al-Din Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi, AlBurhan fi Ulum al-Quran, Juz. II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), hlm. 34; bandingkan dengan Muhammad al-Jurjani, Kitab al-tarifat, (Jeddah: alHaramain li al-Tibaah wa al-Nashr, t.th.,), hlm. 240; juga Manna alQaththan, Mabahis fi Ulum al-Quran, (T.tp., Mansyurat al-Ashr al-Hadits, t.th.,), hlm. 232; Abdul Wahaf Khalaf, Ilm Ushul al-Fiqh, (Kairo: Maktabah al-Dawah al-Islamiyah, 1990), hlm. 222 28 Lihat Abu Ihsan al-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariat, Juz III, (Beirut: Dar al-Fikr, 1975), hlm. 108. Para ulama tidak berselisih pendapat untuk pengertian nomor 2, 3, dan 4, karena mereka menggunakan term tersebut bukan sebagai penghapusan, tetapi dengan pengertian takhsis (pengkhususan), namun mereka berselisih pendapat berkisar pada pengertian nomor 1 yaitu pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian. 29 Lihat Zakiy al-Din Syaban, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Mesir: Dar al-Talif, 1995), hlm. 393; bandingkan dengan Abd al-Karim Zaidan, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, (Baghdad: al-Dar al-Arabiyah li al-Ittibaah, 1977), hlm. 392 30 Lihat Abd al-Wahab al-Khalaf, op. cit., hlm. 222 31 Lihat lebih lanjut Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Cet. II, terj. Agah Garnadi, (Bandung: Pustaka, 1994), hlm. 54 32 Lihat lebih lanjut Manna al-Qaththan, op. cit., hlm. 234-236 33 Menurutnya jika dalam al-Quran terdapat ayat-ayat yang dimansukh berarti secara logik ada ayat-ayat lain yang berfungsi membatalkan sebagian isi dalam al-Quran. Hal ini tidak mungkin terjadi, sebab pembatalan hukum Allah akan mengakibatkan suatu dari kemustahilan-Nya, yaitu ketidaktahuan, sehingga Dia mengganti atau membatalkan suatu hukum dengan hukum lain dan kesia-siaan atau permainan belaka. (Lihat Dr. M. Quraisy Shihab, Membumikan al-Quran fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 146) 34 Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhir sanad tidak terdapat kejanggalan jumlah ini pada setiap tingkatan. ( Lihat Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadts Ulumuhu.., op. cit., hlm. 310 35 Ibid., hlm. 236-237 36 Lihat Muthawali Hamadah, loc. cit. 37 Lihat Jalaluddin as-Suyuthy, Miftah al-Jannah fi al-Ihtijaj bi al-Sunnah, terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan Argumentasi As-Sunnah Kontra Atas Penyimpangan Sumber Hukum Orisinal oleh Drs. Saifullah, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), hlm. 23 38 Lihat Dr. Ahmad Umar Hasyim, op. cit., hlm. 35 39 Lihat ibid., hlm. 3427

Wahana Akademika, Vol. 6, Nomor 2, September 2004

227

Argumentasi Sunnah

DAFTAR PUSTAKAAbdullah, Amin, Editor : Yunahar Ilyas, dan Drs. Masudi, Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadits, LPPI UMY, Yogyakarta, 1996 Abu Zahwu, Muhammad, Dr., al-Hadits wa al-Muhadditsun, al-Kutub alArabi, Beirut, 1984 Abu Zayd, Nasr Hamid, Imam Syafii; Moderatisme, Eklektisisme, Arabisme, terjemaha Khoiron Nahdliyyin, LKIS, Yogyakarta, 1997 Ajlan, Bayumi, Dirasat fi al-Hadits an-Nabawi, Muassasah Syabab alJamiah, Iskandariyah, 1986 Al-Atsqalani, Ibn Hajar, Tahdzib at-Tahdzib, Dar al-Fikr, Beirut, Juz. 9, t.th. Al-Khathib, M. Ajjad, Ushul al-Hadits : Ulumuhu wa Musthalahuh, Dar al-Fikr, Beirut, t.th. , as-Sunnah Qabla at-Tadwin, Maktabah Wahbah, 1963 Ali Musthafa, Kritik Hadits, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1995 Ash-Shalih, Subhi, Ulum al-Hadits wa Musthalahuh, Ardh wa Dirasah, Dar al-Ilm li al-Malayin, Beirut, 1977 Atha, Abd al-Qodir Ahmad, Tawil Mukhtalif al-Hadits, Muassasah alKutub ats-Tsaqafiyah, t.t., t.th., Azami, Muhammad Musthafa, Dirasat fi al-Hadits an-Nabawi wa Tarikh Tadwinih, al-Maktab al-Islami, Beirut, 1980 , Studies in Hadits Methodology And Literature, Islamic Teaching Center Indianapolis, Indiana M.S.A. of U.S. and Canada, t.th. Bakker, Anton, Metode Penelitian Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1990 Itr, Nur ad-Din, Manhaj an-Naqd fi Ulum al-Hadits, Dar al-Fikr, Beirut, t.th Jawabi, M. Thahir, Juhud al-Muhadditsin fi Naqd Matn al-Hadits an-Nabawi asy-Syarif, Muassasah Abd al-Karim bin Abdullah, t.th. Madjid, Nurcholish, Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Budhy Munawar Rahman (ed.), Yayasan Paramadina, Jakarta, t.th Mahmud Thahan, Mahmud, Taisir Musthalah al-Hadits, Dar al-Fikr, BeirutLibanon, t.th. 228 Wahana Akademika, Vol. 6, Nomor 2, September 2004