Top Banner
144 ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015 PENTINGNYA ETIKA DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DENGAN MENGEDEPANKAN NILAI-NILAI PANCASILA Rokiyah - Politeknik Negeri Malang - Jl. Soekarno Hatta No. 9 Malang Email: [email protected] ABSTRAK Berbagai macam perilaku yang sangat memprihatinkan saat ini, baik yang bernuansa sosial, politik, maupun bernuansa agama yang banyak mewarnai pertumbuhan dan perkembangan demokratisasi pada hakikatnya adalah indikasi dari masih banyaknya problem kehidupan berkebangsaan di Indonesia. Oleh karenanya berbagai macam usaha untuk membentuk perilaku yang beretika dan berbudaya Pancasila, harus segera dilaksanakan baik oleh negara maupun oleh seluruh warga masyarakat Indonesia. Usaha tersebut di samping penanaman ideologi Pancasila melalui pendidikan, pelatihan, seminar, dan dimasukkannya nilai-nilai luhur Pancasila pada setiap peraturan perundang- undangan di Indonesia, yang tidak kalah penting adalah keteladanan dari para pemimpin di semua tingkatan, sehingga demokratisasi yang menjadi cita-cita reformasi bisa tercapai sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Kata Kunci: Etika, Kehidupan Berbangsa, Cita-Cita Reformasi, Nilai-Nilai Pancasila. A. PENDAHULUAN Bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi adalah sebuah "masyarakat multikultural Indonesia" dari kehidupan sebelumnya yang bercorak "masyarakat majemuk" (plural society). Sehingga, corak masyarakat Indonesia yang bhinneka tunggal ika bukan lagi keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaannya tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia. Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang
17

Arg Juni 2015 Rokiyah

Dec 04, 2015

Download

Documents

PENTINGNYA ETIKA DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA
DENGAN MENGEDEPANKAN NILAI-NILAI PANCASILA
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Arg Juni 2015 Rokiyah

144 ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

PENTINGNYA ETIKA DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DENGAN MENGEDEPANKAN NILAI-NILAI PANCASILA

Rokiyah

- Politeknik Negeri Malang - Jl. Soekarno Hatta No. 9 Malang

Email: [email protected]

ABSTRAK Berbagai macam perilaku yang sangat memprihatinkan saat ini, baik yang bernuansa sosial, politik, maupun bernuansa agama yang banyak mewarnai pertumbuhan dan perkembangan demokratisasi pada hakikatnya adalah indikasi dari masih banyaknya problem kehidupan berkebangsaan di Indonesia. Oleh karenanya berbagai macam usaha untuk membentuk perilaku yang beretika dan berbudaya Pancasila, harus segera dilaksanakan baik oleh negara maupun oleh seluruh warga masyarakat Indonesia. Usaha tersebut di samping penanaman ideologi Pancasila melalui pendidikan, pelatihan, seminar, dan dimasukkannya nilai-nilai luhur Pancasila pada setiap peraturan perundang-undangan di Indonesia, yang tidak kalah penting adalah keteladanan dari para pemimpin di semua tingkatan, sehingga demokratisasi yang menjadi cita-cita reformasi bisa tercapai sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Kata Kunci: Etika, Kehidupan Berbangsa, Cita-Cita

Reformasi, Nilai-Nilai Pancasila. A. PENDAHULUAN

Bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi adalah sebuah "masyarakat multikultural Indonesia" dari kehidupan sebelumnya yang bercorak "masyarakat majemuk" (plural society). Sehingga, corak masyarakat Indonesia yang bhinneka tunggal ika bukan lagi keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaannya tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.

Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang

Page 2: Arg Juni 2015 Rokiyah

145 ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat dilihat sebagai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Model multikulturalisme ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam Penjelasan Pasal 32UUD 1945, yang berbunyi: "kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak kebudayaan di daerah". Pada tahapan inilah kemudian persoalan “etika” menjadi penting dan mengemuka khususnya bagi upaya gerakan perubahan menuju kehidupan yang lebih baik.

Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia. Sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungannya dengan berbagai aspek kehidupan manusia. Etika khusus terbagi menjadi etika individual, yaitu membahas kewajiban manusia terhadap di diri sendiri dan etika sosial membahasi kewajiban manusia terhadap manusia lain dalam hidup bermasyarakat (Magnis-Suseno, 1987).

Etika politik mempertanyakannya tanggung jawab dan kewajiban manusia sebagai manusia dan sebagai warga negara terhadap negara, hukum dan sebagainya (Magnis-Suseno : 1986). Selanjutnya dijelaskan bahwa “Dimensi Politis Manusia” adalah dimensi masyarakat sebagai keseluruhan. Jadi yang menjadi ciri khas suatu pendekatan yang disebut “Politis” adalah pendekatan itu terjadi dalam kerangka acuan yang berorientasi pada masyarakat secara keseluruhan. Dimensi politis itu sendiri memiliki dua segi fundamental yang saling melengkapi, sesuai kemampuan fundamental manusia yaitu pengertian dan kehendak untuk bertindak. Struktur ganda ini, “tahu” dan “mau” dapat diamati dalam semua bidang kehidupan manusia.

Sesuai kemampuan ganda manusia, maka ada dua cara menata masyarakat yaitu penataan masyarakat yang normatif dan efektif (Magnis-Suseno: 1986). Lembaga penataan normatif masyarakat adalah hukum. Hukumlah yang memberitahukan kepada semua anggota masyarakat bagaimana mereka harus bertindak. Hukum terdiri atas norma perilaku yang benar dan salah

Page 3: Arg Juni 2015 Rokiyah

146 ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

dalam masyarakat. Tetapi hukum hanya bersifat normatif dan tidak efektif. Artinya, hukum sendiri tidak bisa menjamin agar anggota masyarakat patuh kepada norma-normanya.

Penataan yang efektif dalam menentukan perilaku masyarakat hanyalah lembaga yang mempunyai kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya, yakni Negara. Karena itu hukum dan kekuasaan Negara menjadi bahasan utama etika politik. Tetapi perlu dipahami bahwa baik “hukum” maupun “Negara” memerlukan legitimasi. Inti permasalahan etika politik adalah masalah legitimasi etis kekuasaan yang dapat dirumuskan dalam pertanyaan: atas hak moral apa seseorang atau sekelompok orang memegang dan mempergunakan kekuasaan yang mereka miliki? Betapapun besarnya kekuasaan, selalu dituntut pertanggung-jawaban. Karena itu, etika politik menuntut agar kekuasaan dilaksanakan sesuai dengan hukum (legalitas), disahkan secara demokratis (legitimasi demokratis) dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar moral (legitimasi moral).

B. PROBLEMATIKA KEHIDUPAN BERMASYARAKAT, BERBANGSA

DAN BERNEGARA DEWASA INI Sejak awal reformasi sampai sekarang ini, bangsa Indonesia

masih berada dalam masa transisi disetiap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Perubahan yang demikian cepat, di samping menimbulkan berbagai macam krisis, juga mengakibatkan hilangnya orientasi keluhuran budi dan kemantapan etika serta budaya berdasarkan Pancasila sebagai warisan leluhur bangsa Indonesia. Hilangnya orientasi masyarakat bangsa Indonesia berdampak tumbuh suburnya etnosentralisme, primordialisme, bentrok fisik, aksi teror, dan memunculkan gerakan separatisme.

Gerakan reformasi untuk membangun budaya politik yang demokratis akan berhasil apabila masyarakat memiliki pemahaman terhadap etika dan budaya politik berdasarkan Pancasila. Semakin dewasa etika dan budaya sosial politik suatu bangsa, maka demokrasi yang dibangun juga makin beretika dan memiliki korelasi positif dengan pencapaian tujuan pemerintahan demokrasi. Sebaliknya, proses demokratisasi tidak akan berjalan

Page 4: Arg Juni 2015 Rokiyah

147 ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

mulus, manakala tidak ditopang oleh terbangunnya sikap dan budaya politik yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.

Untuk mengetahui tingkat pemahaman masyarakat terhadap etika dan budaya politik dalam rangka membangun budaya politik demokrasi, maka tolok ukur yang digunakan tidak semata-mata mengacu pada pola interaksi yang terbangun antar individu dalam menghadapi dan menyelesaikan persoalan bersama, melainkan juga mengacu pada keseluruhan dari pola interaksi individu dengan sistem dan struktur politiknya. Dalam konteks Indonesia, pemahaman terhadap etika dan budaya politik di tengah-tengah tuntutan demokratisasi di segala bidang, adalah sebuah keniscayaan, sebab bangsa Indonesia realitasnya adalah bangsa yang berbhineka, mulai dari aspek Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA), yang semua itu tentunya membawa pengaruh terhadap pola, gaya, karakter etika dan budaya politiknya. Dalam interaksi sosial yang dibangun dengan latar belakang aspek SARA yang berlainan, tentunya tidak menutup kemungkinan terjadinya silang pendapat dan salah paham sebagai akibat dari latarbelakang keanekaragaman SARA tersebut.

Fenomena terjadinya pergeseran perilaku sosial dari yang humanis ke perilaku gemar kekerasan dan konflik, yang di dukung oleh sejumlah fakta dimana eskalasi konflik sosial kini relatif meningkat, yang pada gilirannya akan menggerus ikatan solidaritas antar anak bangsa. Hal ini akan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa, dan menghancurkan nilai nilai luhur Pancasila yang merupakan dasar etika dan budaya politik bagi bangsa Indonesia dalam mencapai tujuan Proklamasi 17 Agustus 1945 seperti yang telah dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945.

C. PANCASILA SEBAGAI SUMBER ETIKA

Tataran nilai yang terkandung dalam Pancasila sesuai dengan system nilaidalam kehidupan manusia. Secara teoritis nilai-nilai pancasila dapat dirinci menurut jenjang dan jenisnya. 1. Dalam Sudut Pandang Jenjang : Nilai Religius ;

Nilai ini menempati nilai yang tertinggi dan melekat/dimiliki Tuhan YangMaha Esa yaitu nilai yang Maha Agung, Maha Suci, Absolud yang tercermin pada Sila pertama pancasila yaitu

Page 5: Arg Juni 2015 Rokiyah

148 ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

“Ketuhanan Yang Maha Esa”. Nilai Spiritual ;

Nilai ini melekat pada manusia, yaitu budi pekerti, perangai kemanusiaandan kerohanian yang tercermin pada sila kedua pancasila yaitu”Kema nusiaan yang adil dan beradab”.

Nilai Vitalitas; Nilai ini melekat pada semua makhluk hidup, yaitu mengenai daya hidup, kekuatan hidup dan pertahanan hidup semua makhluk

Nilai Moral ; Nilai ini melekat pada prilaku hidup semua manusia, seperti asusila, perangai, akhlak, budi pekerti, tata adab, sopan santun, yang tercermin pada sila kedua Pancasila yaitu “Kemanusiaan yang adil dan Beradab”.

Nilai Materiil; Nilai ini melekat pada semua benda-benda dunia. Yang wujudnya yaitu jasmani, badani, lahiriah, dan kongkrit. Yang tercermin dalam sila kelima Pancasila yakni “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

2. Kajian Menurut Jenis : Nilai Ilahiyah ;

ialah nilai yang dimiliki Tuhan Yang Maha Esa, yang melekat pada manusia yaitu berwujud harapan, janji, keyakinan, kepercayaan,persaudara an, persahabatan.

Nilai Etik ; ialah nilai yang dimiliki dan melekat pada manusia, yaitu berwujud keberanian, kesabaran, rendah hati, murah hati, suka menolong, kesopanan, keramahan.

Nilai Estetik ; Ialah nilai melekat pada semua makhluk duniawi, yaitu berupa keindahan, seni, kesahduan, keelokan, keharmonisan.

Nilai Intelektual. Ialah nilai melekat pada makhluk manusia, berwujud ilmiah, rasional, logis.

D. PANCASILA SEBAGAI PEREKAT KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA

Page 6: Arg Juni 2015 Rokiyah

149 ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

Akhir-akhir ini kerinduan terhadap nilai-nilai luhur Pancasila yang menjadi pedoman berbangsa dan bernegara tampak menguat kembali. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan makin meluasnya diskusi tentang Pancasila diberbagai forum sejak tahun 2005. Bahkan pada acara peringatan enam puluh satu tahun hari lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni 2006 di Jakarta Convention Center (JCC) Presiden Susilo Bambang Yudoyono waktu itu menyampaikan pidato politik yang diberi Judul “Menata Kembali Kerangka Kehidupan Bernegara berdasarkan Pancasila”. Presiden mengajak masyarakat untuk menjawab pertanyaan fundamental “Mengapa kita harus kembali membicarakan Pancasila ?”. Penegasan ini mengajak kepada Bangsa Indonesia untuk meletakkan Pancasila dalam konteks makna sejati reformasi yang kita lakukan dewasa ini. Sebab dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara, apalagi di masa reformasi saat ini, tentunya sangat diperlukan adanya pelaksanaan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila, agar nilai, norma dan sikap yang dijabarkan benar-benar menjadi bagian yang utuh dan dapat menyatu dengan kepribadian setiap manusia Indonesia, sehingga dapat mengatur dan memberi arah kepada tingkah laku dan tindak tanduk bangsa Indonesia dalam melaksanakan visi dan misi reformasi.

Seperti yang disampaikan oleh Choirul Mahfud (2008:53), etika politik dan moralitas publik dalam praktek demokratisasi menjadi kajian mendesak dan menarik karena: (1) fenomena praktik politik ditengarai sudah keluar jalur etika politik dan moralitas publik. (2) munculnya kesadaran baru dalam masyarakat demokratis, good and clean governance yang berlandaskan pada moralitas dan etika.

Pancasila sebagai dasar etika dan budaya bangsa sangat dibutuhkan, secara filosofis Pancasila dapat dikembangkan menjadi sistem budaya universal, yang dipayungi oleh sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai sumber nilai utama dan tertinggi dari sila-sila yang lain dan kemudian di akhiri dengan sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia sebagai tujuan kemerdekaan. Pancasila tidak diragukan lagi sebagai suatu weltanschaung yang dahsyat bagi bangsa Indonesia, oleh karenanya menuntut pengamalan sila-sila Pancasila secara serasi, seimbang dan sebagai kesatuan yang utuh, yaitu :

Page 7: Arg Juni 2015 Rokiyah

150 ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, mengandung konsep dasar yang terdapat pada semua agama dan keyakinan yang dipeluk oleh rakyat Indonesia. Berkait dengan itu, maka sangat diperlukan tanggung jawab bersama dari semua umat beragama meletakkan landasan spritual, etika dan budaya yang kukuh bagi budaya bangsa.

2. Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, mengandung konsep dasar penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia. Sila ini mendudukkan manusia sesuai dengan kodrat, harkat dan martabatnya, serta tidak hanya setara, namun juga secara adil dan beradab. Oleh karena itu merupakan tanggung jawab seluruh warga masyarakat, bangsa dan negara Indonesia untuk meningkatkan martabat serta hak dan kewajiban asasi manusia, penghapusan penjajahan, kesengsaraan dan ketidak adilan dari muka bumi.

3. Sila Persatuan Indonesia, mengandung konsep kesatuan dan keutuhan bangsa serta wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan berbagai ke Bhinnekaannya. Oleh karena itu memupuk dan memperkuat kesetiakawanan dalam rangka memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa serta mempertahankan wilayah NKRI merupakan kewajiban bagi segenap warga masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.

4. Sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan, mengandung konsep dasar menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, yang dalam implementasinya dilaksanakan dengan bersendi pada hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Hal ini menuntut segenap anggota masyarakat, bangsa dan negara untuk semakin menumbuhkembangkan sistem politik yang demokratis berdasarkan nilai-nilai Pancasila, agar mampu memelihara stabilitas nasional yang dinamis.

5. Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, mengandung konsep dasar bahwa kesejahteraan harus dinikmati dan dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Hal ini berarti, bahwa selain pengembangan dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, juga harus dikaitkan dengan pemerataan pembangunan agar tercipta kesejahteraan umum atau yang seringkali disebut dengan masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila.

Page 8: Arg Juni 2015 Rokiyah

151 ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

Pancasila tidak saja mengandung nilai budaya bangsa, tetapi juga menjadi sumber hukum dasar nasional, dan merupakan bintang pemandu (leitstar) bagi terwujudnya cita-cita luhur disegala aspek kehidupan bangsa. Dengan perkataan lain, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya juga harus dijabarkan menjadi norma budaya, norma pembangunan, norma hukum, dan etika kehidupan berbangsa. Dengan demikian, sesungguhnya secara formal bangsa Indonesia telah memiliki dasar yang kuat dan rambu-rambu yang jelas bagi pembangunan masyarakat Indonesia masa depan yang dicita-citakan. Permasalahannya ialah bagaimana mengaktualisasikan dasar dan rambu-rambu tersebut ke dalam kehidupan nyata setiap pribadi warga negara, sehingga bangsa ini tidak kehilangan norma budaya sebagai penuntun dan pegangan dalam melaksanakan gerakan reformasi, dan untuk mengatasi krisis multi dimensi termasuk krisis budaya yang sedang melanda bangsa dan negara untuk menjangkau masa depan yang dicita-citakan.

Apabila bangsa Indonesia tidak dapat bangkit kembali untuk menumbuhkembangkan etika dan budaya politik yang berdasarkan nilai-nilai luhur Pancasila, maka Indonesia akan terkubur dengan ideologi transnasional (Kapitalisme) yang memang dirancang untuk diberlakukan sebagai satu-satunya nilai yang akan menyatukan umat manusia. Kapitalisme secara operasional berwujud demokratisasi, HAM dan pasar bebas yang bersandar pada individualisme, yang sekarang ini banyak dipuja-puja sebagai nilai dan sistem yang terbaik di dunia (Wiyono, 2013).

D. PEMAHAMAN MASYARAKAT TERHADAP ETIKA DAN BUDAYA

POLITIK BERDASARKAN PANCASILA Dalam rangka mendorong penguatan demokrasi dan

mengembangkan budaya demokrasi pada pemerintahan daerah, tentunya masyarakat harus terlebih dahulu memahami dan mau belajar untuk mengembangkan etika dan budaya demokrasi yang berdasarkan Pancasila. Hal ini penting, sebab keberhasilan dalam membangun pemerintahan demokrasi, tidak bisa dipisahkan dari pemahaman dan usaha suatu masyarakat untuk belajar dengan mengembangkan etika dan budaya demokrasi, sebab budaya demokrasi pada dasarnya adalah budaya yang bersumber dan

Page 9: Arg Juni 2015 Rokiyah

152 ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

berakar dari suatu masyarakat yang mengembangkan dan menerapkan pola pemerintahan yang beretika dan berbudaya demokrasi.Sebaliknya merupakan sesuatu yang mustahil, jika secara formal ada keinginan politik untuk menerapkan dan membangun politik demokrasi namun tidak didukung oleh perilaku-perilaku demokratis yang nyata oleh pemerintah maupun oleh masyarakatnya.

Pemerintahan yang demokratis pada dasarnya adalah pemerintahan yang mengkedepankan kebebasan untuk membangun partisipasi warga negaranya, yang sekaligus harus diimbangi dengan ketaatan pada norma hukum yang berlaku, baik oleh pemerintah mapun oleh warga negaranya tanpa ada pengecualian (equality before the law). Bahkan Gabriel Almond (dalam Hanum, 2009: 7) menyatakan bahwa keberhasilan suatu bangsa untuk membangun pemerintahan yang demokratis dan keberadaan budaya dan struktur sosial politik yang demokratis justru banyak ditentukan oleh variabel-variaberl berikut ini: 1. Budaya demokrasi adalah budaya campuran, yaitu antara

kebebasan/partisipasi di suatu pihak dan norma-norma perilaku dipihak lain;

2. Budaya demokrasi bersumber pada budaya masyarakat secara umum, yang mengandung social trust yang tinggi dan civicness dengan kecenderungan hubungan kerja yang bersifat horisontal/sederajat;

3. Budaya demokrasi senantiasa memerlukan dan berbasis masyarakat madani;

4. Budaya demokrasi tersebut dipegang olah suatu masyarakat disuatu negara dan sangat tergantung pada perilaku pemerintah dalam berdemokrasi.

Dalam kaitannya dengan proses transisi politik yang sedang berlangsung saat ini, maka proses untuk membangun politik demokratis, sebagaimana yang telah dilakukan oleh bangsa-bangsa lain di dunia, menurut Almond (Farida Hanum, 2009: 8) ada tiga tahapan yang harus dilalui, yaitu: a) Tahap pengembangan institusi negara yang demokrastis, b) Tahap penciptaan dan pembentukan karakter pro demokrasi terhadap pemerintah dan warga negara, dan c) Tahap penciptaan struktur sosial dan budaya politik yang demokratis. Di Indonesia pada tahap pertamadapat kita lihat,

Page 10: Arg Juni 2015 Rokiyah

153 ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

bahwa setelah lengsernya Presiden Soeharto pada tahun 1998, melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam bidang politik dan ketatanegaraan, telah dilakukan perubahan terhadap UUD 1945 secara beruntun sampai empat kali.

Melalui komitmen politik tersebut, maka terbentuklah lembaga-lembaga baru, disamping lembaga negara yang sudah ada untuk memperkuat dan mempercepat konsolidasi demokrasi. Pada tahap kedua, karakter pro demokrasi pada saat reformasi telah bergulir pada hampir keseluruhan elemen bangsa Indonesia, baik pada aparat negara maupun warga negaranya. Pada tahap ketiga, dapat ditempuh melalui peningkatan peran institusi khususnya pendidikan kewarganegaraan, pendidikan karakter bangsa, pendidikan masyarakat Bhinneka Tunggal Ika, pendidikan wawasan kebangsaan dan pendidikan-pendidikan lain yang memiliki muatan penguatan dan peningkatan pemahaman masyarakat terhadap etika dan budaya politik demokrasi berdasarkan Pancasila.

Pada transisi politik yang telah berjalan selama 14 tahun ini, telah menimbulkan fenomena dalam bentuk sikap jenuh, skeptis dan pesimistis yang melanda sebagian besar masyarakat, hal ini dikarenakan masyarakat merasa semakin kehilangan kepercayaan akan hasil akhir reformasi yang tidak kunjung jelas bentuknya. Keadaan tersebut, Menurut Massalissi (2011: 3) disebabkan oleh 3 faktor, yaitu Pertama, terjadi pengambilalihan semangat gerakan reformasi yang semula dimotori oleh arus dari bawah menjadi gerakan elite. Pada awalnya reformasi disuarakan sebagai aspirasi rakyat dan mahasiswa kemudian menjadi aspirasi elite partai dan penguasa sehingga mengandung bias kepentingan yang luar biasa. Melalui pemilihan umum dengan mengatasnamakan pelaksanaan demokrasi, maka elit partai mengambil suara rakyat untuk duduk di lembaga legislatif. Selanjutnya melalui lembaga legislatif inilah, mereka berhak mengatakan sebagai pemegang dan penyalur aspirasi rakyat. Namun dalam realitanya, mereka hanya memperjuangkan kepentingan mereka sendiri yang sering kali tidak sama dan bahkan bertentangan dengan aspirasi rakyat.

Kedua, Reformasi tidak memiliki basis-basis nilai, hal ini dapat kita lihat bahwa pada era reformasi sekarang ini bangsa Indonesia tidak memahami dan tidak menempatkan pengetahuan

Page 11: Arg Juni 2015 Rokiyah

154 ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

yang bersumber pada kearifan lokal dan nilai-nilai kebudayaan dalam roh reformasi; Ketiga, keterlibatan berbagai unsur masyarakat dalam mengawal refomasi sudah mulai surut bersama dengan minimnya akses masyarakat dalam keterlibatannya secara politis dalam pembuatan kebijakan.Masyarakat tetap jauh dari sumber-sumber kekuasaan, baik sumber kekuasaan yang berupa wewenang, informasi, hukum, uang dan lain-lain.

Keadaan yang demikian ini, tentunya pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya pergeseran pola perkembangan demokrasi, yaitu demokrasi yang semula dimotori oleh kalangan mahasiswa dan masyarakat, kini perkembangan demokrasi lebih banyak didominasi oleh kalangan elit, mulai dari kalangan elit ekonomi sampai dengan elit partai politik. Sehingga demokrasi yang berkembang baik dari aspek muatan tujuan maupun kepentingan yang diakomodasi didalamnya, adalah demokrasi elit yang lebih mengutamakan kepentingan para elit bangsa ini. Dan pada akhirnya, berbagai problem kebangsaan yang sifatnya mendesak untuk mendapat penyelesaian justru terbengkalai.

Terdapat beberapa problem kebangsaan yang sejauh ini tidak hanya menjadi domain kritik oleh masyarakat, tetapi juga telah memicu berbagai konflik masa didaerah, bahkan konflik sosial politik di Indonesia menunjukkan intensitas yang semakin tinggi sejak masa reformasi. Setelah diinventarisasi, total konflik sosial politik pada 2009 sebanyak 600 insiden, sedangkan sampai pertengahan 2010 telah terjadi 752 insiden.

Dari sejumlah insiden yang terjadi, ada dua jenis insiden yang paling banyak terjadi, yaitu tawuran antar kampung, tawuran antar kelompok baik tawuran antar kelompok dengan mengatasnamakan suku dan etnis maupun tawuran antar kelompok dengan mengatasnamakan agama, serta tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh massa. Konflik dan kekerasan terbanyak berikutnya adalah konflik yang ditengarai oleh perseteruan politik yang kemudian pecah menjadi konflik terbuka, terutama konflik pemilihan umum kepala daerah (sejumlah 74 kasus untuk tahun 2009, dan sejumlah 117 kasus sampai dengan pertengahan tahun 2010), disusul kemudian konflik sumber kekayaan alam (54 kasus tahun 2009 dan 74 kasus tahun 2010), dan konflik sumber daya ekonomi (30 kasus tahun 2009 dan 59

Page 12: Arg Juni 2015 Rokiyah

155 ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

kasus tahun 2010). Dengan didukung oleh fakta begitu banyaknya problem kebangsaan yang belum digarap secara tuntas, maka pada tahun 2012 ini dapat diprediksi, akan menjadi tahun yang sulit bagi terwujudnya masyarakat, bangsa dan negara yang demokratis sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Hal ini akan berdampak pada rendahnya efektifitas kinerja pemerintahan. E. IMPLEMENTASI PANCASILA DALAM PEMBUATAN KEBIJAKAN

NEGARA DALAM BIDANG POLITIK, EKONOMI, SOSIAL BUDAYA DAN HANKAM

Pokok-pokok pikiran persatuan, keadilan sosial, kedaulatan rakyat, dan Ketuhanan Yang Maha Esa yang terkandung dalam Pembukaan UUD NRI tahun 1945 merupakan pancaran dari Pancasila. Empat pokok pikiran tersebut mewujudkan cita-cita hukum yang menguasai hukum dasar negara, yaitu UUD NRI Tahun 1945. Penjabaran keempat pokok pikiran Pembukaan kedalam pasal-pasal UUD NRI tahun 1945 mencakup empat aspek kehidupan bernegara, yaitu POLEKSOSBUDHANKAM. Aspek politik dituangkan dalam Pasal 26, Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28. Aspek ekonomi dituangkan dalam Pasal 27 ayat (2), Pasal 33, dan Pasal 34. Aspek sosial budaya dituangkan dalam Pasal 29, pasal 31, dan Pasal 32. Aspek pertahanan keamanan dituangkan dalam Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 30 (Bakry, 2010: 276).

Pasal 26 ayat (1) dengan tegas mengatur siapa saja yang dapat menjadi warga negara Republik Indonesia. Selain orang berkebangsaan Indonesia asli, orang berkebangsaan lain yang bertempat tinggal di Indonesia, mengakui Indonesia sebagai tanah airnya dan bersikap setia kepada Negara Republik Indonesia yang disahkan oleh undang-undang sebagai warga negara dapat juga menjadi warga negara Republik Indonesia. Pasal 26 ayat (2) menyatakan bahwa penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Adapun pada Pasal 29 ayat (3) dinyatakan bahwa syarat-syarat menjadi warga negara dan penduduk Indonesia diatur dengan undang-undang. Pasal 27 ayat (1) menyatakan kesamaan kedudukan warga negara di dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Ketentuan ini menunjukkan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban, dan tidak ada diskriminasi di antara warga negara baik

Page 13: Arg Juni 2015 Rokiyah

156 ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

mengenai haknya maupun mengenai kewajibannya. Pasal 28 menetapkan hak warga negara dan penduduk

untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya, yang diatur dengan undang-undang. Dalam ketentuan ini, ditetapkan adanya tiga hak warga negara dan penduduk yang digabungkan menjadi satu, yaitu: hak kebebasan berserikat, hak kebebasan berkumpul, dan hak kebebasan untuk berpendapat. Pasal 26, 27 ayat (1), dan 28 di atas adalah penjabaran dari pokok-pokok pikiran kedaulatan rakyat dan kemanusiaan yang adil dan beradab yang masing-masing merupakan pancaran dari sila keempat dan kedua Pancasila.

Kedua pokok pikiran ini adalah landasan bagi kehidupan nasional bidang politik di negara Republik Indonesia. Berdasarkan penjabaran kedua pokok pikiran tersebut, maka pembuatan kebijakan negara dalam bidang politik harus berdasar pada manusia yang merupakan subjek pendukung Pancasila, sebagaimana dikatakan oleh Notonagoro (1975: 23) bahwa yang berketuhanan, berkemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan, dan berkeadilan adalah manusia. Manusia adalah subjek negara dan oleh karena itu politik negara harus berdasar dan merealisasikan harkat dan martabat manusia di dalamnya.

Hal ini dimaksudkan agar sistem politik negara dapat menjamin hak-hak asasi manusia. Dengan kata lain, pembuatan kebijakan negara dalam bidang politik di Indonesia harus memperhatikan rakyat yang merupakan pemegang kekuasaan atau kedaulatan berada di tangan rakyat. Rakyat merupakan asal mula kekuasaan dan oleh karena itu, politik Indonesia yang dijalankan adalah politik yang bersumber dari rakyat, bukan dari kekuasaan perseorangan atau kelompok dan golongan, sebagaimana ditunjukkan oleh Kaelan (2000: 238) bahwa sistem politik di Indonesia bersumber pada penjelmaan hakikat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam wujud dan kedudukannya sebagai rakyat. Selain itu, sistem politik yang dikembangkan adalah sistem yang memperhatikan Pancasila sebagai dasar-dasar moral politik. Dalam hal ini, kebijakan negara dalam bidang politik harus mewujudkan budi pekerti kemanusiaan dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Page 14: Arg Juni 2015 Rokiyah

157 ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

Pasal 27 ayat (2) menyatakan bahwa tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Ketentuan ini memancarkan asas kesejahteraan atau asas keadilan sosial dan kerakyatan yang merupakan hak asasi manusia atas penghidupan yang layak. Pasal 33 ayat (1) menyatakan perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, sedangkan pada ayat (2) ditetapkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, dan pada ayat (3) ditegaskan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ayat (1) pada Pasal ini menunjukkan adanya hak asasi manusia atas usaha perekonomian, sedangkan ayat (2) menetapkan adanya hak asasi manusia atas kesejahteraan sosial.

Selanjutnya pada pasal 33 ayat (4) ditetapkan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Sesuai dengan pernyataan ayat (5) pasal ini, maka pelaksanaan seluruhayat dalam pasal 33 diatur dalam undang-undang. Pasal 34 ayat (1) mengatur bahwa fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Selanjutnya pada ayat (2) dinyatakan Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Ayat (2) ini menegaskan adanya hak asasi manusia atas jaminan sosial.

Adapun pada Pasal 34 ayat (4) ditetapkan bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitaspelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yanglayak. Pelaksanaan mengenai isi pasal ini diatur dalam undang-undang, sebagaimana dinyatakan pada ayat (5) pasal 34 ini. Pasal 27 ayat (2), Pasal 33, dan Pasal 34 di atas adalah penjabaran dari pokok-pokok pikiran kedaulatan rakyat dan keadilan sosial yang masing-masing merupakan pancaran dari sila keempat dan kelima Pancasila. Kedua pokok pikiran ini adalah landasan bagi pembangunan sistem ekonomi Pancasila dan kehidupan ekonomi nasional.

Page 15: Arg Juni 2015 Rokiyah

158 ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

Berdasarkan penjabaran pokok-pokok pikiran tersebut, maka pembuatan kebijakan negara dalam bidang ekonomi di Indonesia dimaksudkan untuk menciptakan sistem perekonomian yang bertumpu pada kepentingan rakyat dan berkeadilan. Salah satu pemikiran yang sesuai dengan maksud ini adalah gagasan ekonomi kerakyatan yang dilontarkan oleh Mubyarto, (Kaelan 2000: 239), yaitu pengembangan ekonomi bukan hanya mengejar pertumbuhan, melainkan demi kemanusiaan, demi kesejahteraan seluruh bangsa. Dengan kata lain, pengembangan ekonomi tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai moral kemanusiaan. F. PENUTUP Upaya pemahaman masyarakat terhadap etika dan budaya politik berdasarkan Pancasila di era reformasi saaat ini, khususnya di daerah sangat penting dilakukan, sebab bangsa Indonesia sedang melakukan reformasi di segala bidang yang tentunya membutuhkan dukungan perilaku segenap elemen masyarakat yang beretika dan berbudaya Pancasila. Berbagai macam perilaku yang sangat memprihatinkan saat ini, baik yang bernuansa sosial, politik, maupun bernuansa agama yang banyak mewarnai pertumbuhan dan perkembangan demokratisasi di daerah, pada hakikatnya adalah indikasi masih banyaknya berbagai macam problem kebangsaan yang diselesaikan dengan cara konflik dan kekerasan fisik. Oleh karena itu berbagai macam usaha untuk membentuk perilaku yang beretika dan berbudaya Pancasila, harus segera dilaksanakan baik oleh negara maupun oleh seluruh warga masyarakat dan bangsa Indonesia. Usaha tersebut di samping melalui pendidikan, pelatihan, workshop, seminar, berkait dengan ideologi Pancasila, serta dimasukkannya nilai-nilai luhur Pancasila pada setiap peraturan perundang-undangan di Indonesia, yang tidak kalah penting bahkan utamanya adalah keteladanan dari para pemimpin, baik pemimpin ditingkat lokal maupun ditingkat nasional, sehingga demokratisasi yang menjadi cita-cita reformasi bisa tercapai sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila.

Memang untuk mencapai tujuan nasional seperti dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945, perlu perjuangan seluruh bangsa Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan yang

Page 16: Arg Juni 2015 Rokiyah

159 ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

nyata. Hal ini pernah disampaikan oleh Bung Karno dalam pidatonya di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 1 Juni 1945 yang antara lain menyatakan: “….. bahwa tidak ada weltanschaung dapat menjelma dengan sendirinya, menjadi realiteit dengan sendirinya. Tidak ada weltanschaung dapat menjadi kenyataan, menjadi realiteit, jika tidak dengan perjuangan”.

Di samping itu Bung Karno juga menyatakan: “….. bahwa Pancasila merupakan philosofisce grondslag, suatu fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, merupakan landasan atau dasar bagi negara merdeka yang akan didirikan. Selanjutnya dikemukakan juga bahwa Pancasila di samping berfungsi sebagai landasan bagi kokoh-tegaknya negara bangsa, juga berfungsi sebagai bintang pemandu atau Leitstar, sebagai ideologi nasional, sebagai pandangan hidup bangsa, sebaga perekat atau pemersatu bangsa dan sebagai wawasan pokok bangsa Indonesia dalam mencapai cita-cita nasional.

Berkait dengan hal itu, apabila bangsa Indonesia tidak ingin kehilangan jati dirinya, dan tidak ingin terkubur dengan ideologi kapitalisme, maka tiada pilihan lain, bangsa Indonesia berkewajiban untuk memperjuangkan etika dan budaya Pancasila dalam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara, secara terus-menerus dan tidak kenal putus asa, agar segera terwujud masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila, yang didambakan oleh para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tentunya juga didambakan oleh seluruh bangsa Indonesia.

-----

DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Rozali, 2004, Pancasila sebagai Dasar Negara dan

Pandangan Hidup Bangsa, CV. Rajawali, Jakarta. Bakry, Noor Ms., 2010, Pendidikan Pancasila,Pustaka Pelajar,

Yogyakarta. Budimansyah Dasim, 2002, Penguatan Pendidikan

Kewarganegaraan Untuk Membangun Karakter Bangsa, Widya Aksara Press, Bandung.

Page 17: Arg Juni 2015 Rokiyah

160 ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

Suseno-Franz Magnis, 1987, Etika Politik, Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia, Jakarta.

Hanum, Farida, 2009, Etika dan Budaya Politik di Era Perkembangan Otonomi Daerah, dikutip dari http.www.google.com, diakses pada tanggal 16 April 2009.

Haluan Kepri, 2011, Demokrasi dan Konflik Di Daerah, dikutip dari http.www.haluan krpi.com., diakses tanggal 8 April 2012.

Kaelan, 2000, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Kehidupan Bernegara

(LPPKB), 2011, Pancasila, Jakarta. Mahfud Choirul, 2008, “Etika Politik, Budayaitas Publik dan

Demokratisasi di Aras Lokal”. Jurnal Cakrawala, Vol. 2 No. 2 Juni 2008.

Massalissi, 2011, Demokrasi dan Problemnya di Daerah,dikutip dari http.www.google.com, diakses pada tanggal 7 Maret 2011.

Noor Syam, Moh, 2006, Negara Kesatuan Republik Indonesia Sebagai Sistem Kenegaraan Pancasila (Wawasan Filosofis, Ideologis dan Konstitusional untuk Membudayakan Wawasan Nasional), Unair, Surabaya.

------- 2008, “Pembudayaan Filsafat Pancasila Sebagai Ideologi Negara Menegakkan Wawasan Nasional Dalam Integritas NKRI Sebagai Nation State”, Makalah disajikan dalam Seminar Nasional 21 Desember 2008 diselenggarakan Lab. Pancasila UM kerjasama dengan Direktorat Bakesbangpol Depdagri.

Suhatmansyah, 2012, “Institusionalisasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Pembangunan Karakter Bangsa”, Makalah disampaikan pada Konggres Pancasila tanggal 30 – 31 Mei 2012 MPR RI, Jakarta.

Vivinzeey, 2012, Pengaruh Budaya Politik Terhadap Perkembangan Demokrasi Di Indonesia (Artikel), dikutip dari http.www.google.com, diakses pada tanggal 22 Maret 2012.

Wiyono, Suko, 2013, Seminar Nasional : Urgensi Etika Politik Berdasarkan Pancasila Dalam Kehidupan Bangsa Yang Berbhinneka, Politeknik Negeri Malang.