Top Banner
BUKU KUMPULAN PUISI KIAT SUKSES MENGHANCURKAN KONSERVATIFISME Oleh: BOEDHI MARGONO Penerbitan Harapan Gondez Jakarta, Jogja, Sodom, Gomorrah Cetakan I, 2005 copyright free
38

Antologi Puisi Margono

Jun 06, 2015

Download

Documents

boedhimargono

Poem
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Antologi Puisi Margono

BUKU KUMPULAN PUISI

KIAT SUKSES MENGHANCURKAN KONSERVATIFISME

Oleh: BOEDHI MARGONO

Penerbitan Harapan Gondez Jakarta, Jogja, Sodom, Gomorrah

Cetakan I, 2005 copyright free

Page 2: Antologi Puisi Margono

KaTa PeNganTar

Menulis puisi, menurut saya adalah satu kegiatan sastrawi yang paling mencengangkan, karena ia sedemikian menyenangkan. Bagi saya ia jauh lebih ajaib dibanding dengan menuliskan cerpen atau novel. Konon pula puisi adalah milik semua golongan. Orang kaya, miskin, pintar, goblok, memiliki puisinya masing-masing. Konon karena puisi adalah ekspresi jiwa yang paling murni dan paling kuat. Dan ekspresi jiwa seorang manusia, sebodoh atau sekaya apapun ia, adalah demikian indah dan mengagumkan. Apakah benar demikian? Moga-moga benar demikian.

Saya terus terang tidak tahu berapa jumlah puisi yang saya taruh disini. Itu karena saya tak pernah memberi judul terhadap semua puisi itu.

Saya yakin anda semua akan suka dan terharu membaca puisi-puisi ini, terkecuali jika anda adalah musuh-musuh sejati saya, yaitu kaum konservatif, dan kapitalis.

Aku mengucapkan terimakasih kepada istriku Yooke dan anakku Dio, merekalah pemberi inspirasi buatku. Tanpa mereka, maka aku mungkin menjadi orang yang tak peduli lagi pada harapan perubahan dunia.

OK-lah kalau begitu. Silakan mebaca segera. Untuk mebaca ini, saya sarankan untuk membacanya terus-menerus, mendaraskannya seperti membaca kitab suci, dan jika sudah khatam, cobalah anda ulangi sampai tiga kali. Saya tidak tahu apa yang terjadi setelahnya. Mungkin anda akan berubah menjadi sakti. Siapa tahu? Siapa peduli?

Nah, jika kemudian anda suka, maka anda akan bisa menghubungi saya dengan nomer email [email protected] . Disana anda bisa menuliskan pujian anda, harapan-harapan, order dan permintaan pembuatan puisi (biayanya murah kok), dan tentu saja melakukan tindakan lebih jauh, yaitu memberikan bantuan pendanaan pada saya, berupa transfer uang ke rekening saya. Saya akan kabari anda nantinya. Terimakasih semuanya. Hore…… Boedhi Margono Rabu Legi, 13 Juli 2005

Page 3: Antologi Puisi Margono

Untuk Yooke dan Dio

Page 4: Antologi Puisi Margono

MULAI ketika hukum adalah penindasan, tak layak kita mematuhinya, lawan dan hancurkan. Karena kita, berhak untuk bebas. Karena kebenaran, tanpa kebebasan, adalah kejahatan. Pilihlah satu, wahai yang mendendam. Membunuh satu tiran atau membebaskan seribu budak. Atau membunuh seribu tiran, dibandingkan membebaskan satu orang budak. Manakah yang lebih berharga? Dalam hidup yang demikian singkat, dan zaman penindasan yang abadi, semua pilihan, adalah penderitaan. Ahoi janganlah kau percayai, kau lakoni, satu ajaran, suatu kepercayaan, hanya karena orang-orang tuamu, atau orang-orang yang kalian hormati, mengikutinya. Janganlah kau ikuti satu ajaran, suatu kepercayaan, karena takut pada hukuman, dosa, atau pengucilan. Janganlah kau ikuti, ajaran-ajaran, yang dihidupkan oleh pidato muluk, bujukan, dan ancaman. Buktikan apa yang benar dan salah, baik dan buruk, dengan akal dan fikiranmu yang bebas, dan binal.

Page 5: Antologi Puisi Margono

Bakar dan tempalah ajaran-ajaran itu, dengan bara dan godam kritik, seperti seorang tukang besi, menempa butir-butir besi mentah dalam tungkunya. Jika kalian menemukan kejahatan, kekejian, ketidaakadilan, ke sok tahuan, ketidakmauan dikritik, dalam ajaran itu, maka sampaikanlah cercaanmu setinggi langit. Kritiklah dengan tajam, apapun yang dikatakan benar olehnya. jika kalian lihat, suatu ajaran demikian baik, janganlah tergesa-gesa. Terus buktikan dan kritik, semua yang ada di dalamnya, tanpa henti. Jika ada hal sekecil apapun, hal yang kau anggap buruk, dari ajaran itu, maka jangan kalian beri pujian, pada seluruh ajaran itu. Jika kalian lalu mengira, ada ajaran yang demikian sempurna, tanpa cela, janganlah tergesa-gesa. Renungkan, fikirkan, nalarkan. Apakah ada kekeliruan yang belum kalian lihat? Pasti ada. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan. Fikirkanlah kejahatan yang tersembunyi itu, yang bersorak, saat ia tahu, bahwa kalian terjerat di dalamnya. Janganlah puas, dan berhenti, untuk menggali, kesalahan-kesalahan dari ajaran-ajaran itu, dari orang-orang, yang bersikeras, bahwa ajarannya,

Page 6: Antologi Puisi Margono

adalah yang baik, yang terbaik, yang terindah, yang paling sempurna. Kritiklah mereka, tanpa henti, tanpa lelah. Kekuasaan, kebenaran, penindasan…. Hanya satu kata, lawan!!! Tuk apa meregang, demi kebenaran, jika itu sesungguhnya adalah kemunafikan? Tuk apa takut munafik, jika halnya, adalah kenyataan? Dewa dan setan, berperang demi kekuasaan dan nafsu, bukan demi jiwa. Sudahlah wahai para suci, semuci suci, bertobatlah atas nama kebebasan! Menopangnya pun adalah berat. Jangan kalian turut merubuhkannya. Sudahlah wahai para penguasa, turun dan bertobatlah, berhentilah untuk hidup, sebelum kemunafikan kami, meledakkanmu diam-diam. Sudahlah wahai kebenaran, hilangkan saja sisa katamu, dari sejarah. Dirimu hanyalah pembunuh, sampah-sampah kebajikan. Kebudayaan yang rendah, kawan, adalah kebudayaan, yang tak bisa menghargai, racun-racun, sebagai sumber kenikmatan, yang azasi, dan mengasyikkan. Musuh kita, wahai kawan,

Page 7: Antologi Puisi Margono

adalah para penindas. Siapakah para penindas itu? Ia adalah mereka, yang merampas kebebasan orang lain, demi apapun… Tak layak mereka dibela. Tak layak mereka diikuti. Kita para pejuang kebebasan, berjuang menentang mereka, memukul mundur mereka. Kita merintis kehidupan yang lebih baik, bagi diri sendiri, maupun orang lain. Kita membela kebebasan, kesetaraan, dan juga solidaritas. Liberty, equality, solidarity!!! Wah!!! Aku tak bisa menghormati, mereka, yang tidak menghargai, kebebasan. Walau mereka pintar, kaya, atau hebat, terhormat di mata umum, bahkan berkuasa… Bagiku, mereka sebenarnya, cuma sampah, parasit, bagi kehidupan. Cuh!!! Cuh!!! Cuh!!! Kuludahi mereka, untuk selama-lamanya. Biarlah, ukuran-ukuran perubahan, tak ditentukan, oleh para juragan. Biarlah karya-karya, difahami,

Page 8: Antologi Puisi Margono

oleh mereka yang berhati terbuka. Biarlah jalan-jalan hidup, bercabang-cabang. biarlah keanehan dan keunikan, bahkan yang seolah-oleh gila, atau bodoh, mampu menampar pipi-pipi, para penentu harga. Oh, kalian wahai penggubah, yang selalu serba dikhianati… Janganlah tersedu sedan!! Disini kita semua, akan selalu saling membela. Selalu saja, disini dan disana, ada orang-orang brengsek, yang menuntut orang lain, berubah, menjadi apa standar-standar mereka. membuat penderitaan, dan ketidakadilan, menyebar, seperti sampar. Orang-orang brengsek itu, tak tahu mana yang menjadi bagian mereka. Kenapa mereka tak puas, hanya menindas, diri mereka sendiri saja? Menentang batasan-batasan, tanpa nyawa, tanpa rupa, hanya menembus halus, masa dan kala, seperti hantu. Di sini ruang dan waktuku, dan hujan badaiku, berjalan seturut apap maunya. Apakah dia dan aku, hanya sosok-sosok wayang? Tidakkah jalan pencerahan, selalu mudah untuk dipilih ,

Page 9: Antologi Puisi Margono

atau dikhianati? Di sisi ini, ruang dan waktuku, milik mereka juga, yang tak berbakti, pada dinding-dinding beku, dan besi membara. Selamat tinggal, wahai para penipu. Jangan boros kawan, hiduplah sederhana. Janganlah bermewah-mewah, karena kalau kalian boros, dan bermewah-mewah, maka kalian, telah berkhianat, kepada kehidupan. Itu kata Mohandas K Gandhi lho… Kira-kira begitu. Merekalah kaum penipu, yang menyudutkan yang lemah, dan menuduh kelemahan, adalah alat-alat penindasan, hanya tuntutan, dari jiwa-jiwa yang fasis, yang selalu fasis, yang selalu fasis, ketika membuat para pesakitan, mengaku apapun!! Yang mereka inginkan, Demikianlah, tak ada obat dari zaman, tak ada kesempatan penyembuhan. Kita hanya bisa meratapi, penciptaan demi penciptaan. Kita hanya bisa meratapi, keyakinan atas penciptaan-penciptaan. Hanya doa, yang terberi. Lupakan saja, semua apa yang terjadi. Melamunlah, melamunlah, melamunlah!!!

Page 10: Antologi Puisi Margono

Di sana ada dewa-dewa di mega-mega!!! Disana ada mahluk yang lain!!! Melamunlah wahai para pecundang, karena kalian bukan demikian. Hari berlalu dan langit berganti. Dan sejarah akan selalu melupakan, sejarah adalah pengkhianat yang baik, atas kemapanan.. Iaman-iman lama, akan selalu hilang seperti debu, ditiup angin. Di sini, rabun mata, dari para manusia dan para hantu, di sini, pergantian selalu berganti. Kebenaran yang tidak membebaskan adalah kebenaran yang palsu (beserta seluruh derivat-derivatnya, seperti norma, etika, hukum, perundangan, iman, dan sebagainya). Oh, kita selalu beriman pada sesuatu. Di dalam kebodohan, terdapat iman. Di dalam iman, terdapat kebodohan. Oh, kita selalu beriman. Disanalah kita selalu beriring, menuju meja jagal, yang kita buat sendiri, yang kita operasikan sendiri, memotong leher-leher kita sendiri. Terkutuklah mereka yang minta disembah. Terkutuklah diri kita semua. Aku bahkan akan memakan rumput, saat-saat berkelana, di zaman yang indah, dengan sejuta derita, dan pembuktian ini. Aku tak memiliki harga-harga, dan dengan malu-malu, menembus apa, yang mereka sebut batas-batas. dan di sinilah,

Page 11: Antologi Puisi Margono

aku merasa, betapa longgar, arti kemanusiaan dan cinta kasih. Segalanya konon, bisa diukur, dengan peringkat-peringkat dan akar-akar kekuasaannya. Setelah kehampaan, akan menjadi tali suci, kelulah sang penipu. yang mengatakan keindahan, di saat batin membeku dan kering. Saat-saat utnuk meliburkan indra-indra keemnam. Saat-saat untuk mencengkam, dan mensisakan nyawa-nyawa. Di sini ada hati.. Disini ada diri sendiri… Untuk diri sendiri… Disini pula ada hati, dan perut… Untuk ketidak mengertian, dan batas-batas. Di sini juga ada batas-batas, untuk tak bisa bilang apa-apa… Karena takut, takut pada ketakutan, dan kebenaran. Aku takut… takut… takut… Kuingatkan kata takut, karena kau lupa, takut nyatanya, sesungguhnya tanpa sedih yang membeku… Kebanggaan yang kosong ini, kebanggaan yang hanya juga, membanggakan, betul!!! Sia-sisa jiwa harus diredupkan. Sama seperti api lilin, yang harus diredupkan, saat siang benderang. Ada orang-orang yang berhasil, ada yang tidak. Di antaranya ada pejuang-pejuang, yang tangguh,

Page 12: Antologi Puisi Margono

ada yang tidak. ada para mereka yang mengikuti, jalan jiwa mereka, ada yang tidak. Ada para pengecut, yang harus menerima pembudakan. Ada bentuk-bentuk nasib, ada banyak nasib, ada banyak pujian dan hujatan… ada sejuta cemooh, dan puja… Disini ada tuhan, di sana ada sang setan… Tetapi demikianlah kawan, demikianlah beda dunia, dan juga batiniah orang-orang. di dalam sini, kaum bebas, dan kaum penindas, saling bunuh. Kini di sini…, kekosongan, masih bergolak liat. Andaikan fikiran hanya ada satu, maka segalanya akan lebih mudah, untuk dihapuskan. tetapi nyatanya tidak. Maka ambil saja… Biarkan jalan-jalan itu menyimpang, diisi oleh ruh-ruh dan tubuh, orang-orang yang seolah bingung, dan jalang. Padahal tidak. Biarkanlah etika, dan moral, seolah-olah hancur. Karena yang satu, ternyata adalah kebodohan. Biarkan saja, karena dalam kewajaran, ada harapan. Dalam kekangan, hanya ada kematian, dan kegelapan.

Page 13: Antologi Puisi Margono

Kepada siapakah, kebenaran-kebenaran berfihak? Kepada yang kaya dan berkuasa! Siapakah yang kaya dan berkuasa? Mereka yang menang dalam perang, dan pembantaian-pembantaian! Jika demikian, untuk apakah kebenaran, diyakini dan diimani? Apakah karena kita cinta, atau takut pada penindasan? Sudahi saja kotbah-kotbah itu… Sudahi semua bisikan-bisikan wahyu… Sudahi semua tampilan suci itu, jika hal itu, cuma penipuan teragung di dunia. Amin!!! Amin!!! Amiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiin, untuk yang terakhir kalinya. Realistislah saja… Hei orang-orang yang mapan… Kekayaan berasal dari perampokan… Seperti semua bahan makanan… Berasal dari pembunuhan… Maka jauhkanlah diriku… Dari senyum itu… Memang kutunggu sumbangan itu… Biar untuk mengganjal perutku… Tetapi itu bukan karena ku yakin dan tidak yakin… Atas asal usul uang itu… Aku yakin itu semua adalah hasil kejahatan… Kutahu pasti… Seperti aku tahu pasti, jika dirimu adalah pembunuh, seperti diriku juga… Disini, kusarankan, di sana sini, tak ada keadilan nyata. Maka karitas yang ternoda itu, tetap kuminta. Peduli amat dengan doa,

Page 14: Antologi Puisi Margono

hapusan dosa, dan juga rasa taubat… Rantai makanan selalu berjalan, di atas rel yang sombong. jalur yang berjalan, terbangun dari tulang belulang dan darah korban. Beriringlah, kalian kaum borjuis, kapitalis, dan proletar. Dalam perayaan ini, perayaan tanpa arti, dan harga diri. Mohon beri uangmu.. Barang sepicis… Buat beli sup… Biar diriku… Bisa ikut… Berburu dan membantai… Sebagai pucuk rantai makanan. Sehina apapun diriku… Maka janganlah tersenyum… Wahai munafik… Di sini aku meradang… Persis binatang jalang… Juga dalam kemunafikan… Kekejaman dan kejujuran ini, akulah juga sang pencuri, pembunuh, penjilat, di dalam waktu yang sama!!!!! ………. Merengutlah. NAH BEGITU. Sengatlah aku, Dengan seribu hukum itu. Si pembatas. Antara kebebasan. Dan ketaklukan. Bukiarkan kalian. Wahai para algojo dan hakim. Mencambk dan memotong tubuhku. Atas nama kebenaran dan norma?

Page 15: Antologi Puisi Margono

Sadarkah kalian, wahai penguasa, dan pengusaha, juga pendakwah, BAHWA SEBAHAGIAN BESAR HUKUM-HUKUMMU ITU, hanya pembenar, bagi penindasan. Hanya menguntungkan, kelompok kalian saja: Para konservatif, fundamentalis, fasis, kalianlah si keji; yang tak punya hati, dan tak tahu diri. Aku menuntut hakku, untuk menjadi jalang. Aku menuntut kebebasanku, untuk mabuk, gila, dan berteriak-teriak, aku menuntut hakku, untuk menjadi penentu, bagi nasib tubuh, dan jiwaku sendiri. Bukankah kalian, wahai para puritan, penentu jalan hidupku. Kalian memang jahanam, kampret, bajingan, kontol.. Kalian lah yang selalu merasa jengah, saat aku berbahagia. Obati saja hatimu, yang penuh kedengkian itu. Obati saja jiwamu itu, dengan melepaskan moralitas-moralitas itu… Atau rubahlah saja, dirimu, menjadi batu. Kita mempunyai tugas, untuk menghancurkan konservatifisme. Maka kita perlu memboikot, badan-badan hukum mereka, memboikot usaha-usaha ekonomi mereka. Tak membeli produk-produk mereka.

Page 16: Antologi Puisi Margono

Tak mengisi pada kotak-kota sumbangan mereka. Sebaliknya, kita perlu semakin giat mendukung, usaha penggalangan dana, yang dilakukan oleh, kaum bebas, dengan mengisi kotak-kotak sumbangan, yang mereka edarkan. Kita mempunyai tugas, menguatkan posisi tawar menawar politik, dan ekonomi, kaum bebas. Apakah biasanya isi daripada iman? Biasanya berisi: ketakutan, ketaklukan, keterikatan, kesombongan, kebodohan, kekejaman, kedengkian, dendam, kebencian, …. Apa lagi??? Harta memang selalu berasal, dari pencurian. Orang-orang yang naif, tak mampu melihatnya. Untuk apa berbangga, saat mampu memberi zakat, wakaf, atau hibah? Waspadailah bahaya laten kebenaran!!! Hidup bergaya hidup mewah, dan melakukan pemborosan, berarti telah berkhianat, kepada kehidupan. (sudah pernah dikatakan) Ini bukan hanya kata-kataku sendiri. Itu kata Gandhi. (sudah pernah dikatakan) Kira-kira ia sampaikan demikian. (sudah pernah dikatakan)

Page 17: Antologi Puisi Margono

Mungkin kalian mencibir, wahai para borjuis dan kapitalis brengsek. tapi itu karena kalian jahat, jahat, jahat. Kalian jahat tapi naif. (sudah pernah dikatakan) Saat aku melanglang, dari kampung ke desa. Dari slum satu ke kubangan yang lain, ke jalan-jalan yang busuk oleh penyakit, dan kemiskinan, aku lihat mereka yang tertindas, yang tak memiliki akses, terhadap barang-barang yang kalian brakot, dan seenaknya buang… Lihatlah… Jika kalian bisa melihat,… Lihat mereka yang demikian lapar, terluka, tertindas… merekalah yang kalian lupakan dan abaikan… Aku turut terluka… Aku tahu… Karena aku punya jiwa. Tak seperti kalian. Kalian tak pantas hidup. Jadi, jika kalian para borjuis dan kapitalis, membeli mobil mewah, menggunakan AC seenaknya sendiri, menghabiskan air minum, bahkan hendak menguasainya sendiri, membuang-buang bahan makanan demi hobi dan kebosanan, dan semua jenis konsumsi menjijikkan kalian, Maka jangan tersenyum puas, tersenyumlah saja saat aku mencincang kalian. Aku akan kirimkan tubuhmu yang tercincang itu, pada anjing-anjing yang kelaparan. Toh, di hidupmu itu, kalian dikelilingi, oleh bau busuk mayat, korban-korban kalian. Tak ada ruginya, untuk membikin mampus kalian. Hadirmu adalah kutukan.

Page 18: Antologi Puisi Margono

Bagiku, tak ada soal berdendang,menyerukan kemuakan, dan kemarahan. Kau mungkin bilang ini apologi. Kau mungkin bilang ini, bukan seni. Bahkan kau juga akan bilang, bahwa ini adalah pembenaran dari kelemahan, dan kebodohanku. Kau akan bersikeras, bahwa aku tak mampu. Kau akan menyatakan dan mempromosikan kepengecutanku. Dan kemudian membanggakan sikap dan penilaianmu, sebagai bagian adiluhung, dari kejernihan berfikir, dan bertindak. Mentalitas-mentalitasmu itu, memang sungguh bisa dibanggakan. Hehehe. Tai!!! Kau anggap itu sempurna? Fasis memang suka akan kesempurnaan. Fasis selalu menyalahkan dan menghukum. Kau suka membela mesin-mesin itu, kalian suka membela sistem-sistem itu, karena kau melihat semua benda itu, lebih berharga, Dibandingkan kemanusiaan. Kalian si pembela kebenaran, pada dasarnya hanyalah pembela penindasan!!!!! Alangkah sulitnya, memperjuangkan kebaikan. Saat mesin-mesin dimana kita tinggal, dengan nyaman, dan berkuasa, ternyata secara menyeluruh, adalah mesin-mesin penindas. Karitas yang sepertinya mulia, tak bisa menutup borok luka itu. tambal sulam itu, sungguh menyakitkan. menimbulkan infeksi. Yang tak terlihat. Tetapi mematikan dan jahat. Demikianlah.

Page 19: Antologi Puisi Margono

Aku demikian cinta dengan sup. Aku suka bakso, soto daging sapi, soto kikil, bakwan kali malang, bahkan jika itu sekedar sop sayuran, bahkan itu sop rumput. Itu karena aku merupakan, bagian dari mereka yang sering kelaparan, dan miskin. Aku suka makanan-makanan murahan itu: Bakso, soto, bakmi goreng, mi ayam, batagor, bakwan. Mereka semua yang membikin aku masih hidup hingga sekarang. Mereka semua yang berada di pinggir jalan, atau sawah, yang kunikmati bersama rakyat jelata, aku pun selalu miskin, kok. Aku suka angkringan, disana ada soul-nya. Aku bukan pecinta Mc D, Pizza Hut, dan lain-lainnya. Semua membuatku muak, bersama ketidaksehatan yang mereka tawarkan, penjajahan, snob menjengkelkan. Aku benci pada snob-snob itu. Yang menikmatinya dengan bangga, aku benci… Aku membenci nilai-nilai yang abai itu.. Lebih baik menikmati mendoan, tempe goreng, tahu isi, buatan para pedagang kecil… Disana ada kenikmatan, ada groove… Kini semakin banyak orang, mengukur hal-hal dengan materi. Zaman dahulu hanya orang-orang, serakah yang melakukannya. Tetapi kini nampaknya semua orang sama saja. Zaman milik siapakah ini? Hanya milik kaum pemodal kah? Semoga zaman membawa kebaikannya sendiri, melawan parasit yang menghisapnya, bukan mengamini, kelanjutan bencana ke bencana yang lain.

Page 20: Antologi Puisi Margono

Apakah kita perlu menghargai, orang-orang yang, menganggap remeh, usaha-usaha, dan karya kita? Apakah kita, perlu menghargai, orang-orang, yang selalu menuntut kita, melakukan apa yang mereka mau? Sementara mereka terus menghina, apa yang kita percayai dan perjuangkan. Apakah kita, akan menghargai, orang-orang, yang selalu saja mencemooh, tetapi tak mau dicemooh? Apakah kita akan menghargai mereka, yang selalu saja mengkritik, tetapi tak mau dikritik? Apakah kita hanya boleh, sabar dan mengalah, dan belajar untuk memandang rendah diri kita sendiri? Dan selalu dengan rutin, memohon maaf, ampunan, dan memaksanakan diri kita, untuk berubah? Apakah akan kita biarkan, jiwa-jiwa fasis ini berkuasa? Dan dengan pura-pura bodoh, membiarkan diri kita, menjadi sayur mayur, dan akhirnya benar-benar menjadi bodoh? Apakah akan kita biarkan, mereka bersorak sorai, menikmati penderitaan kita? Aku suka minum alkohol, enak rasanya. Dan baik untuk kesehatan. Biarlah aku akan menjadi cermin, biarlah aku akan menjadi cermin, biarlah aku akan menjadi cermin.

Page 21: Antologi Puisi Margono

Aku adalah cermin. Cermin. Biarlah semua oreang memandangiku, tetapi sebenarnya sedang memandang diri mereka sendiri. Biarlah apapun yang mereka lakukan, memberkas balik ke diri mereka sendiri. Eneg dan sakit sekali rasanya hati ini, saat harus diam, saat mereka dengan culas, ember di mimbar-mimbar mereka. Rasanya sakit jiwa ini, untuk tersenyum sopan, pada mereka yang membela, dan menghina jiwa bebas kita. Rasanya sakit, meradang di jiwa, saat harus terus bersembunyi. rasanya sakit, untuk terus menerus menunda, revolusi Jika kalian menganggap, perjuanganku tak berarti, jangan harap aku akan, menghargai dirimu, secara keseluruhan. Sudah eneg aku, terzalimi. Sudah lama aku diam, sudah tak terhitung masa, aku mencoba sabar, saat kalian hina apa yang kuperjuangkan. Brengsek!!! Brengsek!!! Brengsek!!! Cuh!!! Cuh!!! Cuh!!! Kuludahi muka kalian. Menurutku ada definisi kaum fasis. Jika sistemnya yang brengsek, maka yang mereka persalahkan, adalah para korbannya.

Page 22: Antologi Puisi Margono

Aku berlatih yoga, bukan untuk mendapatkan kesucian. aku pun bukan berlatih yoga, demi kesaktian. Kalian tahu? Di sini, di hati ini, hati ini panas sekali. Ada dendam. Ada dera-dera yang membekas dan membutuhkan bayaran yang setara, karena di sana memeram bom waktu, menanti sebuah letup, perlawanan melawan kemapanan, yang berupa agama, negara, norma-norma hukum, adat, kemapanan, sopan santun. Di hati yang perih menahan bola dunia ini, menahan diri untuk tidak berbincang. Ada sumpah serapah, di dalam mimpiku, yang menanti meledak, seperti rentetan nuklir. Kutunggu kehancuran kalian, wahai pecinta kebenaran…. Siapa saja yang menuntut kesempurnaan, menuntut setiap benda dan hal, harus berada di tempatnya, yang sudah ditentukan. Kini perlahan manusia akan faham, bahwa si konservatif, akan terus melakukan hal: Mereka akan terus menyalahkan si korban, saat yang bobrok adalah sistemnya. Manusia terbelah dua: konservatif dan liberal. kini kalian faham, terpaksa memilih, salah satu diantaranya, untuk diri kalian sendiri.

Page 23: Antologi Puisi Margono

Kasihan deh looo…. Jamban. Jamban-jamban lebih indah dan suci, dibanding mereka yang di TV-TV itu, yang bersuara nyaring, dengan nada disejuk-sejukkan, bicara tentang iman. Jamban. Lebih memikat!!! Dibanding sorot-sorot mata itu, mata yang licik, berkaca-kaca, namun berpendar buram. Aku tahu mata bajingan yang lebih jernih, daripada mata mereka. Apalagi, melihat senyum mereka, yang beracun. jamban lebih berharga, sekalian dengan tai-tainya. Tai-tai itu, lebih harum, dibandingkan kata-kata mereka, dari lidah yang bercabang lima. Roh-roh mereka adalah roh penindas!!! VIVA JAMBAN BESERTA TAI-TAINYA!!!!! Di sana-sini, kaum konservatif itu, tiba-tiba menang telak. Mereka didukung khalayak, khalayak cecurut yang cupet, oleh janji-janji kebajikan surga, dan bahaya neraka. mereka juga menurut pada, kata-kata para patriak, menyitir sana-sini, kata-kata mutlak, dari teks-teks abadi, nan beku. Sementara di sini, kaum bebas, harus diam, atau terbiasa diam,

Page 24: Antologi Puisi Margono

karena tak kuasa melawan kehendak umum. Kaum bebas, terbiasa menurut, dan ketakutan, menyerah, dan kalah. Sungguh mengerikan!!!! Melihat kita mengungsi terus ujung-ujung, yang masih tersisa. Sementara mereka terus mengejar, mengepakkan sayapnya, sayap-sayap kegelapan itu. Kita wajib sedia, wahai para moinoritas, yang edan dan sinting, yang membela hak-hak bebas, untuk semenstinya membela kebebasan itu. Mau apa lagi?? Kita perlu siap sedia, mengobarkan api peperangan, melawan hal-hal yang sudah jamak, di lingkungan kita. Kita perlu berani, berseteru, dengan mereka, yang dengan seenaknya saja, menuntut semua orang, menuruti kebenaran-kebenaran versi mereka. Kita patut pula, menentukan kata-kata dan agenda, mengatakan pada mereka, bahwa kita punya cara sendiri, yang takkan kita buang, takkan kita jual, atau gadaikan, kepada mereka. Bajingan-bajingan konservatif itu, perlu tahu, bahwa kita tak takut, kepada mereka. Kebaikan hati seorang konservatif, tentu saja harus dimanfaatkan. Mungkin saja itu sama bergunanya, dengan hadiah,

Page 25: Antologi Puisi Margono

buto ijo. Tetapi kebaikan orang konservatif itu, perlu kita buat, agar membuat mereka hancur. Toh kita perlu curigai kebaikan itu. Pasti ada apa-apanya. Hal itu sudah menjadi watak mereka. Semua hal yang berada di bawah kendali konservatifisme, pasti memberi sumbangan yang buruk, bagi lingkungan sekitar mereka. Iman-iman itu, lebih banyak, menjadi racun hati. Iman-iman itu, lebih banyak, membawa kebencian dan petaka. Iman-iman itu, bodoh. Iman-iman itu, lebih banyak mengarahkan, perang, dan pembantaian. Sejarah yang adil, akan berbicara, menjadi saksiku. Dan saksi mereka juga. Oh kalian anak-anak kampung, yang gemar mendengarkan, kegaduhan tiap beberapa jam itu, dan kalian yang menikmati, membakar dan menusukkan, linggis dan bambu runcing, kepada tubuh-tubuh lunglai, para maling ayam dan copet. Kalian memang anak-anak kampung, yang bangga pada ketua-ketua RT kalian. Di setiap pengajian dan rapat-rapat kampung, rapat milik ketakziman dan tawa-tawa sopan, manggut-manggut dan akur, rasa bangga itu, yang terwariskan, hingga seribu tahun. Itu janji kalian.

Page 26: Antologi Puisi Margono

Saat evolusi berjalan mundur, maka kalian memang sukses. Oh!!! Mereka menuduh dan menuduh. Mereka menuntut dan menuntut. Mereka mengklaim segala sesuatu, dengan cara-cara mereka sendiri. Dan yang lebih memuakkan, di sini, di negeri tempat para rakyat mudah dibungkam, mereka menaikkan teror, ke singgasana yang abadi. Di sini, aku sedang merancang, sejuta pemberontakan. Aku yang sudah terbiasa diam, seperti sejuta orang yang lain, siap untuk tiba-tiba, meluncurkan roket-roket, ke tubuh mereka yang tegar. Merekalah yang akan meledak berkeping-keping. Sudah saatnya perang dinyalakan. Haus darah, ya…. Hihihi…. Mereka yang bekoar keras dengan pengeras suara, memuja dan menghujat, dari atas podium dan menara. Mengajak kekerasan dan ketaklukan, mengajak mendera diriku. Dan mereka merasa sah untuk berperilaku demikian, kepada orang-orang di sekitarnya. Orang-orang mereka paksa, wajib untuk belajar, bahwa tindakan mereka tak boleh dikritik. Orang-orang yang tidak setuju, harus diam, jika tak mau dipancung, karena mereka sedang memperjuangkan kebajikan, dan mengatasi kejahatan. Apa benar demikian? Puhhh… Hebaaaaatttttt…. Di sini aku merasa pusing, dan muak,

Page 27: Antologi Puisi Margono

kepada koar mereka. Andai aku bisa berteriak pada mereka, berkata dengan marah: HAI DIAM LOOOOO……. SIANG-SIANG GINI BIKIN RIBUT……… KAMPRET……….. DASAR KEPARAT KONSERVATIF. MASUK AJA SENDIRI KE NERAKA BUATAN KALIAN ITU…. Tapi aku pasti akan ditangkap, dipenjarakan, dan dihujat oleh rakyat dan negara, yang bobrok ini. Oh, siapa lagi yang bisa kubela, selain diriku sendiri. Kampret…. Sebaliknya teman-teman, apakah mereka akan biarkan kita, berpesta dengan suara sama keras, dan berisiknya dibanding mereka? Sudah sering mereka obrak-abrik, acara-acara kita. Mereka kata kita, sebagai orang nista, dan layak dipentungi, barang-barang kita dihancurkan, tubuh kita dipecuti, bahkan leher kita siap dipancung. Padahal kitra tak pernah mengganggu mereka. Nampaknya, melihat kita bisa berbahagia pun, mereka sudah merasa terganggu. Bagaimanakah???? Apakah kalian setuju, jika mereka kita hancurkan sekalian??? Biar saja mereka kaget, baru tahu, bahwa kita pun bisa melawan. Hidup memang menjengkelkan. Disana ada seribu senyum. Tetapi itu hanya seringai, yang hampa. Di langit pun ada tuhan, tapi Cuma tuhan yang korup.

Page 28: Antologi Puisi Margono

Di dalam neraka, sang setan menangis, meratap iba terhadap kehidupan. Ia memang revolusioner, sih…. Ia juga iba pada para tuhan. Para tuhan, sementara itu, di atas, lebih peduli pada kematian dan penghukuman. Itu karena ia psikopat. Di atas tanah dan lautan, para manusia pun hanya para robot, peniru, pencangkok, mimikri pada sejuta cara, untuk bisa bangga diri, sewajah dengan tuhan. Hanya da ketakutan, hanya itu…. Ketakutan. Di saat-saat bertemu dengan orang lain, kita pusing, mencari bentuk topeng wajah. kita cari keberhasilan-keberhasilan, dan menghembus nafas, ke tubuh-tubuh kerdil kita ini, hingga melembung indah seperti balon. Dan kita takut, pada bukti-bukti yang kita sembunyikan, kita ingin membuang keaslian itu. Di sini ada rahasia, yang tak boleh dibuka, semua maklum, semua makfum kok… Mereka tahu kita bohong. Anak kecil. Karena semua anak dunia, suka pada kekuatan dan keperkasaan. Superman. Bukan orang lain. Sungguh… Riskan menjadi hidup, karena jarum-jarum siap meletuskan balon-balon kita. Padahal isinya adalah jiwa…

Page 29: Antologi Puisi Margono

Terus, kita akan kembali, ke dalam gua-gua kita yang pengap ibni, bersatu dengan tulang-belulang tikus mati, dan makan bangkai mereka. Kita akan mengkerut, layu, selamanya. Tubuh ini gampang sakit, teman… raga ini mudah mati. Tapi aku takkan peduli. Takkan kugubris, himbauan tentang dambaan-dambaan itu. Apakah itu mimpi, apakah itu nyata, disini kutantang semua patriak, dan keilahian, yang membelenggunya. Tubuh dan jiwa ini, memang sebutir debu yang tipis dan ringkih. Fikiranku juga kerdil dan mudah bingung. Tetapi takkan kubiarkan, penguasa-penguasa itu, menumpukkan ilham-ilham, dan sabdanya, di atas mayatku. Sore-sore macam begini, enaknya minum the tawar sebanyak-banyaknya. Nanti akan disusul dengan pipis, yang banyak sekali juga. Rasanya badan pun segar. Mulut pun tidak terasa kecut. Demikianlah cara hidup sejati. Sebelanga the tawar yang dihirup, sepanjang hari, sepanjang malam. Membuat otak dan hati tenteram. Luka-luka jiwa akan sembuh, oleh budaya adiluhung itu. Maka sebarkanlah berita gembira, syiarkanlah kepada kaum yang masih belum mengimaninya… Teh tawar sebelanga siang dan malam, dan pipis yang banyak….

Page 30: Antologi Puisi Margono

Inilah tugas para pendakwah, berbakti pada kemanusiaan, teh tawar sebelanga, siang malam, sehat dan segar, anti kanker, diabetes, obesitas, dan penyempitan pembuluh darah. Dan sebagainya. Apa lagi yang kita sangsikan???? Oh, aku jadi iri dengan mereka, para penyair kaya itu, yang dihargai oleh para maesenas, media-media mainstream, Dan juga pemodal-pemodal snob. Kini aku hanya bisa memfotokopi karya-karyaku ini, dan menjadikannya bentuk buku ala kadarnya. Biarin saja kalian menyepelekanku, mengataiku apa… Prek-prek-prek. Layak disebut saastrawan atau tidak, aku akan terus berkarya. Dalam mediaku yang butut ini, aku akan merasa puas. Dan pastilah ada orang-orang yang menghargaiku, meresapi karya-karya ini, dan tergugah dalam gejolak peradaban yang baru, dimana aku termasuk di dalam bagiannya. Menerjang kota berdebu dan berasap timbel, kupakai jaket tebal menahan panas, kuhemat nafasku, kuhemat paru-paruku, kuhemat umurku. Di bahuku tertenteng tas, yang memuat cerita-cerita, harapan tentang kota-kota dan desa-desa ini. Harapan tentang bersihnya alam dari racun dan karbon jelek ini. Tetapi harus bagaimana ya??? Di bawah pantatku ternyata masih ada motor butut, dengan karbon butut pula, dengan emisi seperti pabrik neraka. Andai aku mudah membuat revolusi,

Page 31: Antologi Puisi Margono

dan menemukan bahan alternatif yang open source, tetapi dengan ilmu apa? Ilmu sastra? Aku nampaknya perlu membaca mantra alam, dan mengkentuti para presiden, raja, dan juga para klerik. Juga kentutku untuk para kapitalis, dan juga para borjuis. Tetapi siapa tahu mereka pecinta kentut?? Btw aku melihat TV kemarin, tentang bahan bakar biji jarak. Rasanya kupingku jadi hangat lagi. Asyikkkkk. Kebenaran tidak diukur oleh tindakan. Kebenaran tidak diukutr oleh tindakan. Kebenaran tidak diukur oleh fikiran. Keadilan bukan apa-apa. Analogi adalah demikian berguna, kejam, dan juga efiseien. Tak ada maaf bagi pecinta kekuasaan. Kekerasan akan dibalas hal yang sama, atau lebih buruk. Seperti bom atom. Bergulir. Mereka yang mabuk oleh cinta, pada kebenaran dan keadilan. Agama dan tatanan moral, serta pemerintahan, hukum cambuk dan pancung, juga rajam, tatanan ras ini akan abadi dalam neraka, buatan mereka sendiri. Dasar serakah, amin. Waspadalah, waspadalah, waspadalah. Pada para pembenci gay. Homofobia itu punya masalah dengan otak mereka. Patologi mental, hasil dari kebencian.

Page 32: Antologi Puisi Margono

dengan obsesif berubah menjadi patologi sosial. Disana, di buku-buku milik mereka, Sodom dan Gomorrah yang menderita dan menangis, mereka tertawakan dan syukuri. Oh…. Apakah kita bisa mengharapkan mereka sembuh? Apakah kita biarkan referensi ke arah fasisme itu menang? Mereka suka memvertikalisaasikan segala sesuatu. Oh… Dukunglah para minoritas. Dukunglah kaum minoritas. Dukunglah kaum minoritas. Karena ketika ada kebebasan, maka kita adalah mereka-mereka juga. Dan langit serta bumi, akan turut bergembira, menyambut hadirnya, menyuburkan bumi, kota abadi, Sodom dan Gomorrah. Marilah menentang penerapan, koersi hukum. Hukum dengan watak menghukum, hukum dengan wataknya yang paling fundamental, perayaan kaum penguasa terhadap pesakitannya, kaum miskin dan menderita, yang mereka kalahkan dalam perang ekonomi, dan sosial. Di sana ada hati-hati kejam penghukum, siapakah yang tidak menjadi jahat di sana? Walau semua hal itu mereka legalkan, lewat kuasa, bisnis, dan dakwah, tak ada gunanya mempertahankan mesin-mesin koersif itu. Mending kita lakukan revolusi, menghancurkan mesin-mesin penindas itu. Dengan hal itu, maka hidup akan lebih hidup. Hidup akan menjadi milik kemanusiaan, dan kreatifitas. Dengan tidak adanya segala hukum, lembaga kenegaraan,

Page 33: Antologi Puisi Margono

institusi keagamaan, maka watak asli kemanusiaan, yaitu kasih sayang, dan kesetaraan, akan muncul lagi, dengan sendirinya. Itulah arti dan hadiah, dari kebebasan. Vampir-vampir, tak pernah takut, pada kitab-kitab suci. Vampir takut pada kebebasan, dan sekularisme. Tapi vampir-vampir, memang pintar memilih sejarah. Demikianlah, hingga mereka menjadi abadi, Immortal!!! Ada berbagai konspirasi, mempertahankan keberadaan vampir, bahkan ada mimpi untuk menjadi vampir, di kalangan para raja, tuan tanah dan pabrik, serta para agamawan. Caranya tentu dengan mempertahankan ketakutan, dari para rakyat, rara peasant, para buruh, dan kaum miskin kota. Juga para seniman dan penulis miskin, hehehe. Wajah asli vampir itu tiba-tiba muncul…. Oh… Oh… Ternyata mereka-mereka juga…. Wajah para pemuka agama, para raja, negarawan, anggota DPR, bisnismen, tuan tanah, Hiiiii….. Lihatlah… Ada taring-taring besar, di balik wajah mereka,

Page 34: Antologi Puisi Margono

yang tampan, dan klimis. Tapi senyum mereka, tetap saja suci. Dasar. Oh, belajarlah untuk bugil. Meditasi semesta, kertas-kertas HVS. Anti iklan dan mall-mall. Belajar untuk bukan pintar. Bukan pintar… Selama itu untuk kepentingan bangsa dan negara, maka bukan cara yang baik-baik. Itu milik buto ijo. Shit. Marilah para pekerja teks, mempersenjatai diri, dengan racun-racun di pena mereka, mempersiapkan jiwa kita ini, terhadap bahaya kekerasan, yang ditimbulkan oleh: Kaum konservatif, fundamentalis, negara, aparat-aparat hukum, aparat RT/RW, kampung, dan kaum kapitalis jahat. Mereka tak pernah rela, sebelum melihat kita hancur, atau tunduk, taklid pada tuntutan, dan cara berfikir mereka. Di kuil kebebasan, tak ada dewa-dewa, bahkan tuhan. Di sana pun para setan akan disambut seperti saudara biasa. Secara alami, semua mahluk, Akan menjadi baik. Saat kekuasaan lenyap, dari muka bumi.

Page 35: Antologi Puisi Margono

Dan para malaikat pun terbebaskan dari belenggu-belenggu sayap mereka yang berat. Akan kubangun sejuta kuil pembebas itu. Akan aku kloningkan diriku yang ringkih ini, seperti dahulu para nabi juga mengkloningkan diri mereka. Itulah esensi dari kuil-kuil ini. Canda tawa dan seks. Disana ada sejuta patung, dari sejuta mahluk hidup yang membangun, dan teringat kepadanya. Karena kedewaan dan keilahian, adalah barang profan. Tak ada yang lebih profan dibandingkan iman. Dan tak ada yang lebih sakral, dibandingkan kodok. Karena kodok, suka berkotek. dewa-dewa, adalah profan, seperti patung-patung, di pasar loak. Melototlah terus, ke arah laporan di bursa. Karena kita tergantung padanya, betul??? tTk ada habis-habisnya kita melototi perubahan itu. Sebelum raja-raja, negara-negara, dan vampir-vampir lenyap, kta likuidasi. Aku demikian suka dengan keindahan, demikian terobsesi atasnya. Aku suka menikmatinya, walau keindahannya kecil, dan permukaan sekali pun. Angunan-bangunan indah, dari kota-kota yang bersejarah, kupelototi di TV, di acara jalan-jalan, serta arsitektur. Musik indah dari klasik, jazz, ska, gamelan, kubeli MP3nya dan CD bajakannya,

Page 36: Antologi Puisi Margono

di pasar dan ITC-ITC. Aku senang lihat lukisan, pakaian indah, karya agung kota arkeologis, candi-candi di atas bukit yang gersang, kraton-kraton, juga tentunya lukisan-lukisan, wayang, tari-tarian, foto-foto seni, karya sastra, puisi. Tetapi aku juga suka kitsch, keindahan buatan dan pura-pura, karena aku adalah orang dari dunia ketiga, you know, hahaha. maka aku suka bentuk keindahan apa saja, menikmatinya sebagai jalan pencerahan. Ya… Aku adalah anak cucu renaisans. Aku pun selalu menawarkan hal-hal itu, kepada siapapun yang aku bisa tawari. Maka aku sangat benci pada kaum fundamentalis itu, yang dengan wajah-wajah sok sucinya, berusaha memberangus seni dan sastra. Mereka katakan itu haram semuanya, aku katakan mereka itu jahanam semuanya. Oh nasib sastrawan kecil sepertiku, selalu dirundung malang. Selalu dihina oleh orang-orang berfikiran formal, yang menganggap apa yang kukerjakan, tak ada harganya. Memang tak ada duitnya. Aku tak rela membiarkan hal itu mereka lakukan. Mungkin aku berada di bagian bumi yang salah. Lahir dan besar di tempat yang bobrok ini, dimana korupsi dan dakwah-dakwah, lebih dihargai dibanding sastra dan seni. Tetapi aku takkan pernah rela, dibungkam. Tak ada hentinya aku menulis, walau akan selalu dihinakan. Andai orang-orang itu tahu,

Page 37: Antologi Puisi Margono

betapa pentingnya usahaku, demi membangun kembali bangsa ini, dari keruntuhan… Kebobrokan ini, adalah hasil perbuatan, para penguasa, cukong, dan para penyebar janji surgawi. Disini peranku takkan kutanggalkan. Walau aku terpencil, aalam rongga kerdil yang tak berhasil mereka raih, hati dan fikiranku, akan terus membara. Aku adalah angin, yang akan meniup padam, lilin-lilin mereka. Lilin itu cuma berisi perayaan sampah, konservatifisme, bah… bah… Andai mereka tahu, bahwa apa yang mereka anggap hebat itu, luhur, kaffah, telah memerosotkan mental, dan kehidupan manusia, menjadi sampah. Aku tahu semuanya. Aku tahu, dan menangis sedih, bahkan para setan pun menangis. Takkan kubiarkan hal ini terus terjadi. Aku sedih sekali, melihat penangkapan-penangkapan, terhadap para pekerja seks itu. Aku juga sedih, melihat diskotik-diskotik diremuk FPI. Aku sedih, melihat para pedagang alkohol, ditangkap dan botol-botol jualan mereka, digilas oleh buldozer. Aku benci melihat hukum-hukum yang terus saja, menghancurkan kebebasan yang tersisa di sini. Mereka, para alim itu, tak bisa memberi makan pada orang-orang kecil,

Page 38: Antologi Puisi Margono

tapi mereka justru hanya melarang-larang, menghukum-hukum. Dasar kampret. Kutunggu di dlaam detak jam, ketika mall-mall dan retail-retail besar, meleleh, berubah menjadi hutan-hutan. Di alun-alun, dan jalan yang bersih dariasap knalpot, kulihat para pedagang kaklilima yang bahagia dan sejahtera. Kulihat para seniman bernyanyi dan menari. Berbincang di bawah rindang flamboyan yang berderet dan menyala merah. Dan aku pun akan termenung sambil tersenyum, menuliskan puisi, di hari-hari yang cerah. Di dalam berbagai perasaan yang aneh, terdapat setrum kreasi. Sungguh memuakkan, tetapi tak ada jalan lain. Karena di sana terdapat sentuhan, yang membuat jiwa kita senang karena teler, berbahagia dan mabuk. Oh…. Sungguh ajaibnya…. Sungguh lega, saat sakit jiwa ini, sungguh berdaya guna. Efisien.

TAMAT