BAB IPENDAHULUAN
Nyeri merupakan suatu proses fisiologis tubuh untuk memungkinkan
seseorang bereaksi terhadap suatu trauma atau penyebab nyeri
sehingga dapat menghindari terjadinya kerusakan jaringan tubuh.
Selain sebagai mekanisme proteksi, nyeri juga berperan dalam
mekanisme defensif yang memungkinkan untuk immobilisasi organ tubuh
yang mengalami inflamasi sehingga sensibel yang dirasakan akan
mereda dan dapat mempercepat proses penyembuhan.1 The International
Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri
sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan adanya atau potensi rusaknya
jaringan atau keadaan yang menggambarkan kerusakan jaringan
tersebut.2Nyeri selain memberikan manfaat juga menimbulkan
penderitaan. Nyeri kronik, nyeri yang tidak terkontrol merupakan
suatu masalah umum di bidang kesehatan. Hal ini merupakan gejala
yang paling sering dikeluhkan oleh pasien untuk mencari pertolongan
medis yang dapat menyebabkan turunnya produktivitas dan
meningkatkan pengeluaran untuk biaya kesehatan.2 Di negara
Australia, nyeri kronis terjadi pada 18,6% populasi dewasa.3 Secara
global sekitar 37,3%-41,1% populasi dewasa di negara maju maupun
negara berkembang mengalami nyeri kronis karena penyakit ataupun
trauma tertentu.2 Nyeri yang menetap tersebut dapat mempengaruhi
pola pikir dan tingkah laku dari pasien. Pasien dengan nyeri sering
disertai dengan perasaan cemas, sedih, putus asa dan marah. Pada
beberapa orang, beban nyeri sulit untuk ditangani sehingga
menyebabkan adanya gangguan mental. Depresi merupakan salah satu
gangguan mental yang berhubungan dengan nyeri kronis. Prevalensi
depresi berat di Australia sebesar 11,6%. Namun prevalensi ini 1,6
kali lebih tinggi pada pasien dengan atritis. Di Kanada, prevalensi
depresi 3 kali lebih besar pada pasien dengan nyeri punggung
kronis. Pada pasien dengan nyeri kronis dengan pengobatan,
prevalensi depresi berat sebesar 30%-40%.3Depresi memainkan peranan
penting dalam hal pengalaman mengenai nyeri kronik. Penatalaksanaan
terhadap nyeri, terutama nyeri kronik yang berkaitan dengan depresi
tidak hanya menggunakan obat-obatan analgetik rutin. Beberapa
penelitian membuktikan penggunaan beberapa jenis obat selain
analgetik sebagai adjuvan terhadap penatalaksanaan nyeri. Salah
satu jenis obat yang kini mulai digunakan sebagai adjuvan terapi
nyeri adalah penggunaan antidepresan. Penatalaksanaan terhadap
nyeri yang hebat dan berkepanjangan, termasuk dengan penggunaan
antidepresan, yang mengakibatkan penderitaan yang sangat berat bagi
pasien pada hakikatnya tidak saja tertuju kepada usaha untuk
mengurangi atau memberantas rasa nyeri itu, melainkan bermaksud
menjangkau peningkatan mutu kehidupan pasien, sehingga pasien dapat
kembali menikmati kehidupan yang normal dalam keluarga maupun
lingkungannya.4,5
BAB II NYERI
2.1Definisi NyeriThe International Association for the Study of
Pain (IASP) mendefinisikan nyeri sebagai pengalaman sensorik dan
emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya
kerusakan jaringan atau cenderung akan terjadi kerusakan jaringan
atau suatu keadaan yang menunjukkan kerusakan jaringan.1,2
Berdasarkan definisi tersebut nyeri merupakan suatu gabungan dari
komponen fisik dan komponen psikologis.3 Berdasarkan batasan
tersebut terdapat dua asumsi perihal nyeri, yaitu:11. Persepsi
nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan, berkaitan dengan
pengalaman emosional meyusul adanya kerusakan jaringan yang nyata
(pain with nociception). Keadaan nyeri seperti ini disebut sebagai
nyeri akut.2. Perasaan yang sama dapat terjadi tanpa disertai
kerusakan jaringan yang nyata (pain without nociception). Keadaan
nyeri seperti ini disebut sebagai nyeri kronis.
2.2Klasifikasi NyeriBerdasarkan jenisnya, nyeri dapat
diklasifikasikan menjadi:6a. Nyeri nosiseptifKarena kerusakan
jaringan baik somatik maupun viseral. Stimulasi nosiseptor baik
secara langsung maupun tidak langsung akan mengakibatkan
pengeluaran mediator inflamasi dari jaringan, sel imun dan ujung
saraf sensoris dan simpatik.b. Nyeri neurogenikNyeri yang didahului
atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada sistem saraf
perifer. Hal ini disebabkan oleh cedera pada jalur serat saraf
perifer, infiltrasi sel kanker pada serabut saraf, dan terpotongnya
saraf perifer. Sensasi yang dirasakan adalah rasa panas dan seperti
ditusuk-tusuk dan kadang disertai hilangnya rasa atau adanya rasa
tidak enak pada perabaan. Nyeri neurogenik dapat menyebakan
terjadinya allodynia. Hal ini mungkin terjadi secara mekanik atau
peningkatan sensitivitas dari noradrenalin yang kemudian
menghasilkan sympathetically maintained pain (SMP). SMP merupakan
komponen pada nyeri kronik. Nyeri tipe ini sering menunjukkan
respon yang buruk pada pemberian analgetik konvensional.c. Nyeri
psikogenikNyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa
misalnya cemas dan depresi. Nyeri akan hilang apabila keadaan
kejiwaan pasien tenang.Berdasarkan timbulnya nyeri dapat
diklasifikasikan menjadi:1a. Nyeri akutNyeri yang timbul mendadak
dan berlangsung sementara. Nyeri ini ditandai dengan adanya
aktivitas saraf otonom seperti: takikardi, hipertensi,
hiperhidrosis, pucat dan midriasis dan perubahan wajah: menyeringai
atau menangis Bentuk nyeri akut dapat berupa:1. Nyeri somatik luar
: nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa2. Nyeri somatik dalam :
nyeri tumpul pada otot rangka, sendi dan jaringan ikat3. Nyeri
viseral : nyeri akibat disfungsi organ viseralb. Nyeri kronikNyeri
berkepanjangan dapat berbulan-bulan tanpa tanda-tanda aktivitas
otonom kecuali serangan akut. Nyeri tersebut dapat berupa nyeri
yang tetap bertahan sesudah penyembuhan luka (penyakit atau
operasi) atau awalnya berupa nyeri akut lalu menetap sampai
melebihi 3 bulan. Nyeri ini disebabkan oleh : 1. Kanker akibat
tekanan atau rusaknya serabut saraf2. Non kanker akibat trauma,
proses degenerasi dan lain lainBerdasakan derajat nyeri
dikelompokan menjadi:a. Nyeri ringan adalah nyeri hilang timbul,
terutama saat beraktivitas sehari hari dan menjelang tidur.b. Nyeri
sedang adalah nyeri terus menerus, aktivitas terganggu yang hanya
hilang bila penderita tidur.c. Nyeri berat adalah nyeri terus
menerus sepanjang hari, penderita tidak dapat tidur dan sering
terjaga akibat nyeri.
2.3Mekanisme NyeriNyeri merupakan suatu pengalaman subjektif
sebagai akibat dari transfer dan analisis otak terhadap berbagai
informasi seperti alam, lokasi, intensitas dan durasi dari
stimulus. Hal ini juga melibatkan adaptasi dan modulasi dari pesan
nosiseptif berbagai macam neuromediator dan reseptor yang terkait.
Neuromediator ini terdapat pada jaringan pusat struktur otak yang
memproses atau meregulasi informasi nosiseptif. Merupakan suatu hal
yang sulit untuk memisahkan dimesi afektif nyeri dari dimensi
sensori.7 Kemampuan sistem somatosensori untuk mendeteksi stimulus
yang berbahaya dan berpotensi merusak jaringan merupakan suatu
mekanisme proteksi yang penting dimana melibatkan mekanisme sentral
dan perifer. Rangkaian proses yang menyertai antara kerusakan
jaringan (Sebagai sumber stimuli nyeri) sampai dirasakannya
persepsi nyeri adalah suatu proses elektro-fisiologik, yang disebut
sebagai nosisepsi. Efek dari sensori ini, persepsi dan pengalaman
yang subjektif mengenai nyeri bersifat multifaktorial dan
dipengaruhi oleh faktor psikologis dan lingkungan dari masing
masing individu.8
Gambar 1. Proses perjalanan nyeri8Terdapat 4 proses yang jelas
yang terjadi mengikuti suatu proses elektro-fisiolok nosisepsi
yakni sebagai berikut:2,8,91. TransduksiKerusakan jaringan yang
terjadi pada infeksi, inflamasi atau iskemia merupakan suatu
stimulus nyeri (noxious stimuli) untuk menjadi aktifitas listrik
pada ujung-ujung saraf sensoris. Adanya kerusakan jaringan
menyebabkan terjadinya gangguan sel, degranulasi sel mast dan
sekresi mediator mediator inflamasi. Mediator inflamasi yang
dilepaskan tersebut meliputi prostaglandin, serotonin, bradikinin,
leukotrien, substans P, potassium, histamin, asam laktat,
proteinase, sitokin pro inflamasi (TNF, IL-1, IL-6), sitokin anti
inflamasi (IL-10) dan kemokin (CCL3, CCL2, CX3CL1) dan lain-lain.
Mediator mediator tersebut akan mengaktifkan atau mensensitisasi
reseptor-reseptor nyeri dengan cara langsung melalui kanal ion atau
melalui reseptor metabotropik. Reseptor nyeri merupakan anyaman
ujung-ujung bebas serat-serat aferen A delta dan C. Penghantaran
impuls nyeri yang diperantarai oleh serat neuron A delta dan serat
neuron C memiliki karakteristik yang berbeda. Serat neuron A delta
merupakan jenis neuron bermielin tipis dan berdiameter tebal dan
mampu menghantarakan rangsang dengan cepat, serta memfasilitasi
hantaran impuls oleh reseptor nosieptik serat A. Serat neuron C
memiliki diameter lebih kecil dan tidak bermilein yang berdampak
pada penghantaran impuls saraf yang lambat dan bertugas menjaga
kontinuitas rangsangan. Kedua serat neruron tersebut terdistribusi
pada beberapa jaringan seperti kulit, peritoneum, pleura,
periosteum, lapisan subkondral tulang, kapsul persendian, pembuluh
darah, otot, tendon, fascia, dan viscera. Serat saraf aferen A
delta dan C adalah serat-serat saraf sensorik yang mempunyai fungsi
meneruskan sensorik nyeri dari perifer ke sentral ke susunan saraf
pusat. Interaksi antara mediator inflamasi tersebut dengan reseptor
nyeri menyebabkan terbentuknya impuls nyeri.82. TransmisiMerupakan
proses penyaluran impuls nyeri melalui A-delta dan C serabut yang
menyusul proses tranduksi. Oleh serat aferen A-delta dan C impuls
nyeri diteruskan ke sentral, yaitu ke medulla spinalis, ke sel
neuron di kornu dorsalis. Serat aferen A-delta dan C yang berfungsi
meneruskan impuls nyeri mempunyai perbedaan ukuran diameter. Serat
A-delta mempunyai diameter lebih besar dibanding dengan serat C.
Serat A-delta menghantarkan impuls lebih cepat (12-30 m/dtk)
dibandingkan dengan serat C (0.5-5 m/dtk). Sel-sel neuron di
medulla spinalis kornu dorsalis yang berfungsi dalam fisiologi
nyeri ini disebut sel-sel neuron nosisepsi. Pada nyeri akut,
sebagian dari impuls nyeri tadi oleh serat aferen A-delta dan C
diteruskan langsung ke sel-sel neuron yang berada di kornu
antero-lateral dan sebagian lagi ke sel-sel neuron yang berada di
kornu anterior medula spinalis. Aktifasi sel-sel neuron di kornu
antero-lateral akan menimbulkan peningkatan tonus sistem saraf
otonum simpatis dengan segala efek yang dapat ditimbulkannya.
Sedangkan aktifasi sel-sel neuron di kornu anterior medula spinalis
akan menimbulkan peningkatan tonus otot skeletal di daerah cedera
dengan segala akibatnya.7,83. Modulasi Merupakan interaksi antara
sistem analgesik endogen (endorfin, noradrenalin, serotonin) dengan
input nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri yang
diteruskan oleh serat-serat A-delta dan C ke sel-sel neuron
nosisepsi di kornu dorsalis medula spinalis tidak semuanya
diteruskan ke sentral lewat traktus spinotalamikus. Didaerah ini
akan terjadi interaksi antara impuls yang masuk dengan sistem
inhibisi, baik sistem inhibisi endogen maupun sistem inhibisi
eksogen. Tergantung mana yang lebih dominan. Bila impuls yang masuk
lebih dominan, maka penderita akan merasakan sensibel nyeri.
Sedangkan bila efek sistem inhibisi yang lebih kuat, maka penderita
tidak akan merasakan sensibel nyeri.7Pada tingkat medula spinalis,
terminal sentral dari nosiseptor membentuk sinaps dengan neuron
dari kornu dorsalis superfisial medula spinalis. Glutamat merupakan
neurotransmitter utama yang dilepaskan sebagai respon terhadap
stimulus nosiseptif. Glutamat bekerja pada reseptor post sinaps
yang terdapat pada proyeksi dari sel-sel yang memiliki akson yang
membawa informasi ke bebagai bagian otak dan interneuron (eksitasi
dan inhibisi) yang berkontribusi terhadap sirkuit modulasi lokal
medula spinalis. Jadi, jalur ascenden berperan dalam potensial aksi
spinal ke area otak berhubungan dengan dua dimensi dari persepsi
nyeri, sensori dan afektif: korteks somatosensori periaqueductal
grey (PAG), hipotalamus dan ganglia basalia. Menyebar dari proyeksi
sentral, jalur kortikolimbik juga teraktivasi. Di tempat ini
terjadi aktivasi proses noksius termasuk talamus, korteks insular,
korteks cingula anterior dan posterior, korteks prefronral termasuk
juga amygdala dan hipokampus. Seluruh regio otak ini kaya akan
inervasi serotonergik, noradrenergik dan atau dopaminergik yang
menimbulkan dugaan adanya peranan monoamin pada proses modulasi
nyeri.7
Gambar 2. Jalur utama yang melibatkan sistem monoaminergik pada
modulasi dari persepsi nyeri7Jalur inhibisi descenden atau
fasilitasi dari area otak secara konvergen pada kornu dorsalis,
mengontrol input perifer dari nosiseptor. Serat serat monoaminergik
berasal dari berbagai macam nuklei di batang otak yang mengontrol
persepsi nyeri melalui pelepasan 5-HT dan NE pada kornu dorsalis
superfisial melalui funikulus dorsolateralis (DLF). Serat-serat DLF
dari jalur descenden terdiri dari proyeksi-proyeksi serotonergik
dari nuklei raphe dan proyeksi noradrenergik dari lokus coeruleus.
Baik 5-HT dan NE berperan dalam modulasi nyaeri, merupakan
mekanisme pintu gerbang yang mengontrol transmisi inpuls pada kornu
dorsalis.7 Sistem limbik termasuk berbagai macam subregio korteks
seperti somatosensorim cingulata anterior, korteks insular dan
prefrontal tetapi juga ammygdala, hipokampus dan basal ganglia.
Keseluruhan struktur ini, terlibat di dalam inisiasi dari
pengontrolan jalur descenden dari informasi nosiseptif, yang
diinervasi oleh neuron serotonergik, noradrenergik dan dopaminergik
yang berasal dari nukelus raphe dorsalis (DRN), lokus coeruleus
(LC) dan Ventral Tegmental Area (VTA). Berbeda ari neuron
monoaminergik, melalui funikulus dorsolateralis membawa jalur
descenden untuk mendesak secara kuat efek inhibisi transmisi nyeri
pada kornu dorsalis (dimediasi oleh 5-HT, NE dan DA, yang
menghasilkan pelepasan opiod secara lokal). Input serotonergik ke
kornu dorsalis yang bersal dari neuron-neuron pada rotstral
ventromedial medulla (RVM), termasuk raphe magnus dan nukleus
retikularis magnoselularis. Inervasi noradrenergik kornu dorsalis
berasal dari sekumpulan sel-sel pada tegmentum pontin, termasuk
kelompok A5. Sumber utama dari inervasi dopaminergik descenden
kornu dorsalis adalah neuron neuron A11 dari hipotalamus posterior
periventrikuler. Bertolak belakang dengan hal tersebut, jalur
ascenden melalui traktus spinotalamikus bersifat mengeksitasi
neuron neuron di periaqueductal grey matter (PAG) dan thalamus,
yang secara langsung dan tidak langsung berinteraksi dengan sistem
limbik dan nuklei monoaminergik. Menariknya, ketiga nuklei
monoaminergik ini menunjukkan interaksi resiprokal anatomis dan
fungsional yang meregulasi pelepasan 5-HT, NE dan DA pada area
proyeksi mereka dan dengan demikian dimensi sensori dan emosional
dari nyeri. Lebih banyak literatur literatur yang memfokuskan aksi
5-HT dan NE dibandingkan DA pada medula spinalis. Selain itu,
terdapat dugaan bahwa inervasi dopaminergik medula spinalis berasal
dari substansia nigra dan hipotalamus. Lebih lanjut, telah
dibuktikan adanya sekelompok kecil sel yang mensintensis DA pada
radiks dorsalis. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa neuron-neuron NE
merupakan sumber penting dari DA pada kornu dorsalis untuk
mengontrol nyeri. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa
clearance dari DA pada berbagai regio otak kemungkinan dimediasi
oleh selective NE transporter (NET).7PAG merupakan tempat modulasi
nosisepsi penting dimana sensasi kognitif dan emosional dari
thalamus dan area korteks anterior bertemu aspek vegetatif dari
hipotalamus. Meskipun PAG secara tidak langsung berhubungan dengan
kornu dorsalis medula spinalis melalui regio-regio berdekatan
dengan pons dan medulla, dia menginisiasi inhibisi descenden dan
ascenden yang menurunkan rasa nyeri. Salah satu penelitian
menunjukkan bahwa stimulasi PAG menghasilkan antinosisepsi yang
sangat dalam dimana lesi elektrolitik dapat menurunkan efek
analgesik dari morfin. Data-data ini menimbulkan dugaan bahwa otak
merupakan wilayah utama dari aksi opiat dalam menghasilkan
analgesia. Namun, proyeksi fasilitatory descenden dari PAG menuju
rostral ventromedial medulla (RVM) dapat meningkatkan transmisi
nosiseptif spinal dari input neuron neuron perifer yang terletak
pada nukleus raphe dorsalis (DRN), menimbulkan dugaan bahwa 5-HT
dan enkefalin dapat berperan sebagai ko-transmiter pada peristiwa
sinaptik dengan yang satu memainkan peran untuk meregulasi fungsi
yang lainnya.75-HT dilepaskan di nucleus accumbens yang dapat
mengaktivasi interneuron enkefalin didalam nukleus, seperti yang
telah ditunjukkan pada putamen kaudatus. Enkefalin dapat
mempercepat peepasan dari 5-HT, meskipun belum ada bukti yang kuat
untuk mendukung dugaan ini. Lokus coereleus (LC) mengirimkan
proyeksinya ke striatum (atau putamen kaudatus (Cpu)).Putamen
Kaudatus merupakan komponen penting dari basal ganglia dan telah
dikenal sebagai salah satu tempat yang terlibat dalam modulasi dari
input sensori nyeri melalui kontrol descenden pada tingkat medula
spinalis. Putamen Kaudatus kaya akan neurotransmiter monoamin,
termasuk NE dan DA. Neuron neuron yang berlokasi di tempat tersebut
berespon terhadap stimulus noksius termal, mekanik dan elektrik.
Stimulasi pada putamen kaudatus dapat menginduksi analgesis, dimana
putamen kaudatus ini memiliki 2 tipe neuron yang disebut dengan PEN
dan PIN, dimana dieksitasi atau diinhibisi oleh stimulasi
nosiseptif. NE mempotensiasi aktivitas elektrik discharge
pembangkit dari PEN dan secara simultan dilemahkan oleh PIN,
contohnya efek hiperalgesik dari NE. NE terlibat daam modulasi dari
transmisi nosiseptif melalui aksi putamen kaudatus.7,24Ventral
tegmental area (VTA) dan substantia nigra mengirimkan proyeksi
proyeksi tebal ke nucleus accumbens dan basal ganglia. Data klinis
dan behavioral mengindikasikan bahwa jalur dopaminergik terlibat
didalam proses sentral nyeri. Data stimulasi elektrik dan kimiawai
(contohnya agonis dan antagonis reseptor DA) atau lesi kimia dari
putamen kaudatus, GP dan substantia nigra menunjukkan bukti bahwa
basal ganglia dapat memodifikasi resspon behavioral terhadap
stimulus noksius. Sebagai contoh, lesi unilateral pada jalr
nigrostriatal dapat menyebabkan respon hiperalgesik terhadap
stimulus nyeri pada sisi kontralateral. Deplesi DA oleh injeksi
6-ODHA pada medial otak depan, putamen kaudatus dan SN menyebabkan
hipersensitivitas terhadap stimulasi mekanik, elektrik dan termal.
Peranan DA pada nyeri perlu diteliti lebih lanjut. Namun, aktivasi
dari transmisi dopaminergik nigro-striatal berhubungan dengan
variasi individu didalam menilai sensoris dan kualitas nyeri.
Sedangkan aktivasi mesolimbik berepan dengan variasi respon emosi
selama nyeri.7 Sistem limbik terdiri atas korteks cingulata
anterior (ACC), korteks insular (IC), korteks prefrontalis (PFC),
amygdala dan hipokampus. Neuron monoaminergik terproyeksi ke
berbagai regio otak dan terlibat dalam pengaturan nyeri, mood dan
afektif nyeri. Disfungsi dari proyeksi anterior dari DRN, LV, VTA
dapat menimbulkan gejala depresi. Lesi regio korteks seperti ACC
secara signifikan menurunkan respon nosiseptif akut. Keterlibatan
ACC pada modulasi disebabkan oleh aktivitas berbagai macam
neurotransmiter seperti DA dan glutamat. Peningkatan aktivitas dari
proyeksi glutaminergik meningkatkan nosisepsi sedangkan proyeksi
dopaminergik ke ACC menghambat nosisepsi. DA nampaknya
neurotrasmitter kunci pada modulasi nosisepsi di IC yang
memperlihatkan serat serat DA densitas tnggi berasal dari VTA dan
Subtantia nigra.7Pada regio korteks ini juga terdapat peranan 5-HT
dan NE. Contoh, peningkatakn kadar ekstraseluler 5-HT yang
diinduksi oleh transporter 5-HT (5-HTT) pada korteks primer
somatosensori menghasilkan efek anti-hiperalgesia dan
anti-allodinia. Korteks insular merupakan substrat anatomi untuk
integrasi dan mengolah informasi dari berbagai sistem fungsional
terutama bagian mid-posterior di dalam stimulus nyeri somato dan
viscerosensori. Koneksi dan interkoneksi antara berbagai area
korteks menimbulkan integrasi multimodal dari kedua informasi.
Amygdala menunjukkan peranan primer di dalam membentuk dan
menyimpan memori yang berhubungan dengan peristiwa emosional dan
afektif dan memegang peranan pentin di dalam menambahkan rasa
emosional terhadap nyeri secara signifikan. Amygdala menerima input
dari proyeksi noradrenergil LC dan terlibat di dalam respons
pertahanan seperti analgesia, berubungan dengan rasa takut dan
situasi berbahaya.7Perubahan pada fungsi reseptor 5-HT di amygdala
terdapat pada kasus kasus seperti nyeri kronis. Selain berinteraksi
dengan hipotalamus dan batang otak, amygdala juga terlibat di dalam
efek kognitif dari nyeri melalui interaksi amygdala-korteks.
Sebagai tambahan, pain-related decision making deficits melibatkan
peningkatan inhibisi sinaps GABAergik pada korteks prefrontalis.
Hipokampus juga teraktivasi sebagai respons terhadap stimulus
nyeri. Hipokampus menerima inervasi monoaminergik yang memungkinkan
peningkatan kadar ekstraseluler 5-HT, NE dan DA, masing masing
monoamin menstrimulasi neurogenesis dan ekspresi faktor-faktor
neurotrofik di hipokampus menghasilkan efek antinosiseptif.74.
PersepsiImpuls yang diteruskan ke korteks sensorik akan mengalami
proses yang sangat kompleks, termasuk proses interpretasi dan
persepsi yang akhirnya menghasilkan sensibel nyeri
Sensitisasi Perifer. Kerusakan jaringan akibat suatu trauma
selain akan menyebabkan terlepasnya zat-zat dalam sel juga akan
menginduksi terlepasnya mediator inflamasi dari sel mast, makrofag
dan limfosit. Lebih dari itu terjadi impuls balik dari saraf aferen
yang melepaskan mediator kimia yang berakibat terjadinya
vasodilatasi serta peningkatan permeabilitas kapiler sehingga
terjadi ekstravasasi protein plasma.4,5,9,10
Tissue DamageInflammationSympathetic TerminalsSensitizing SOUP
SoupHydrogen ion Histamine Purines LeucotrineNorepinephrine
Potassium ion Cytokines Nerve Growth FactorBradykinin
Prostaglandins 5-HTNeuropeptidesHigh Treshold
NociceptorTransduction SensitivityPrimary Hyperalgesia
Low Treshold Nociceptor
Gambar 3. Sensitasi perifer11Interaksi ini akan menyebabkan
terlepasnya mediator-mediator inflamasi seperti ion kalium,
hidrogen, serotonin, bradikinin, substansi P, histamin dan
produk-produk siklooksigenase dan lipoksigenase dari metabolisme
asam arakidonat yang menghasilkan prostaglandin. Mediator kimia
inilah yang menyebabkan sensitisasi dari kedua nosiseptor tersebut
di atas. Akibat dari sensitisasi ini, rangsang lemah yang normal
tidak menyebabkan nyeri sekarang terasa nyeri. Peristiwa ini
disebut sebagai sensitisasi perifer yang ditandai dengan
meningkatnya respon terhadap stimulasi termal atau suhu pada daerah
jaringan yang rusak. Dengan kata lain sensitisasi perifer diinduksi
oleh adanya perubahan neurohumoral pada daerah jaringan yang rusak
maupun sekitarnya. Jika kita ingin menekan fenomena sensitisasi
perifer ini, maka dibutuhkan upaya menekan efek mediator kimia
tersebut. Upaya demikian merupakan dasar penggunaan obat-obat anti
inflamasi non-steroid (AINS) yang merupakan antienzim
siklooksigenase.6,12,13Sensitisasi Sentral. Suatu stimulus noksius
yang berkepanjangan sebagai akibat pembedahan atau inflamasi, akan
mengubah respon saraf pada kornu dorsalis medula spinalis.
Aktivitas sel kornu dorsalis akan meningkat seirama dengan lamanya
stimulus tersebut. Neuron kornu dorsalis berperan sangat penting
dalam proses transmisi dan modulasi suatu stimulus noksius. Neuron
kornu dorsalis terdiri atas first-order neuron yang merupakan akhir
dari serabut aferen pertama dan second-order neuron sebagai neuron
penerima dari neuron pertama. Second-order neuron-lah yang
memainkan peran modulasi yang dapat memfasilitasi atau menghambat
suatu stimulus noksius. Nosiseptif second-order neuron di kornu
dorsalis terdiri atas dua jenis, yakni pertama,
nociceptive-specific neuron (NS) yang secara eksklusif responsif
terhadap impuls dari serabut A delta dan serabut C. Neuron kedua
disebut wide-dynamic range neuron (WDR) yang responsif terhadap
baik stimulus noksius maupun stimulus non-noksius yang menyebabkan
menurunnya respon treshold serta meningkatnya reseptive field,
sehingga terjadi peningkatan signal transmisi ke otak menyebabkan
meningkatnya persepsi nyeri.1,4,5,9Perubahan-perubahan ini
disebabkan adanya perubahan pada kornu dorsalis menyusul suatu
kerusakan jaringan/inflamasi. Perubahan ini disebut sebagai
sensitisasi sentral atau wind up. Wind-up ini dapat menyebabkan
neuron-neuron tersebut menjadi lebih sensitif terhadap stimulus
lain dan menjadi bagian dari sensitisasi sentral. Ini menunjukkan
bahwa susunan saraf pusat tidak bisa diibaratkan sebagai hard wired
yang kaku tetapi seperti plastik, artinya dapat berubah sifatnya
akibat adanya kerusakan jaringan atau inflamasi. Penemuan ini telah
memberikan banyak perubahan pada konsep nyeri. Dewasa ini telah
diketahui bahwa suatu stimulus noksius yang berkepanjangan pada
serabut C dari serabut aferen primer akan menyebabkan perubahan
morfologi dan biokimia pada kornu dorsalis yang sulit untuk
dipulihkan. Hal ini menjadi dasar terjadinya nyeri kronik yang
sulit disembuhkan. Perubahan-perubahan yang terjadi pada kornu
dorsalis sehubungan dengan sensitisasi sentral adalah: pertama,
terjadi perluasan reseptor field size sehingga neuron spinalis akan
berespon terhadap stimulus yang normalnya tidak merupakan stimulus
nosiseptif. Kedua, terjadi peningkatan besaran dan durasi respon
terhadap stimulus yang lebih dari potensial ambang. Dan yang
terakhir, terjadi pengurangan ambang batas sehingga stimulus yang
secara normal tidak bersifat nosiseptif akan mentransmisikan
informasi nosiseptif. Perubahan-perubahan ini penting pada keadaan
nyeri akut seperti nyeri pascabedah dan perkembangan terjadinya
nyeri kronik. Perubahan ini bermanifestasi sebagai hyperalgesia,
allodynia dan meluasnya daerah nyeri di sekitar
perlukaan.14,15Suatu jejas saraf akibat pembedahan juga akan
mengakibatkan perubahan pada kornu dorsalis. Telah dibuktikan bahwa
setelah terjadi jejas saraf perifer pada ujung terminal aferen yang
bermielin, terjadi perluasan perubahan pada daerah sekitar kornu
dorsalis. Ini berarti bahwa serabut saraf yang biasanya tidak
menghantarkan nyeri ke daerah kornu dorsalis yang superfisial telah
berfungsi sebagai relay pada transmisi nyeri. Jika secara
fungsional dilakukan hubungan antara terminal-terminal yang
normalnya menghantarkan informasi non-noxious dengan neuron-neuron
yang secara normal menerima input nosiseptif maka akan terbentuk
suatu pola nyeri dan hipersensitivitas terhadap sentuhan ringan
sebagaimana yang terjadi pada kerusakan saraf.13,16,17
Gambar 4. Skema sensitasi sentral15Sejumlah reseptor terlibat
dalam transmisi nyeri. Reseptor-reseptor ini berada di pre- dan
postsinaps dari terminal serabut aferen primer. Beberapa dari
reseptor ini telah menjadi target penelitian untuk mencari
alternatif pengobatan baru. Reseptor N-methyl-D-Aspartat (NMDA)
banyak mendapat perhatian khusus. Diketahui bahwa reseptor non NMDA
dapat memediasi proses fisiologis dari informasi sensoris, namun
bukti yang kuat menunjukkan peranan reseptor NMDA pada perubahan
patofisiologis seperti pada mekanisme wind-up dan
perubahan-perubahan lain termasuk proses fasilitasi, sensitisasi
sentral dan perubahan daerah reseptor perifer. Dengan demikian
antagonis NMDA tentunya dapat menekan respon ini. Ketamin, penyekat
reseptor NMDA, dengan jelas dapat mengurangi kebutuhan opiat bila
diberikan sebelum operasi. Dekstrometorfan, obat penekan batuk,
dapat menjadi alternatif lain karena penelitian menunjukkan bahwa
dekstrometorfan juga merupakan penyekat reseptor
NMDA.15,17,18Fenomena wind-up merupakan dasar dari analgesia
pre-emptif, dimana memberikan analgesik sebelum terjadinya nyeri.
Dengan menekan respon nyeri akut sedini mungkin, analgesia
pre-emptif dapat mencegah atau setidaknya mengurangi kemungkinan
terjadinya wind-up. Idealnya, pemberian analgesik telah dimulai
sebelum pembedahan.13,14
Gambar 5. Perjalanan Nyeri dari Perifer ke Sentral.5Berbagai
upaya telah dicoba untuk memanfaatkan informasi yang diperoleh dari
hasil penelitian farmakologik dan fisiologik dalam penerapan
strategi penanganan nyeri. Percobaan difokuskan pada dua
pendekatan. Pertama, penelitian tentang bahan-bahan yang pada
tingkat spinal berefek terhadap opiat, adrenoreseptor alfa dan
reseptor NMDA. Kedua, perhatian ditujukan pada usaha mencoba
mengurangi fenomena sensitisasi sentral. Konsep analgesia
pre-emptif telah mendunia sebagai hasil dari penemuan ini dan
menjadi sebuah usaha dalam mencegah atau mengurangi
perubahan-perubahan yang terjadi pada proses nyeri.11,12
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik
nyeri adalah terjadinya sensitisasi perifer dan sensitisasi
sentral. Oleh karena itu prinsip dasar pengelolaan nyeri adalah
mencegah atau meminimalisasi terjadinya sensitisasi perifer dengan
pemberian obat-obat NSAID (COX, atau COX2), sedangkan untuk menekan
atau mencegah terjadinya sensitisasi sentral dapat dilakukan dengan
pemberian opiat atau anestesi lokal utamanya jika diberikan secara
sentral.15,17
2.4Respon Tubuh Terhadap NyeriNyeri akut pada dasarnya
berhubungan dengan respon stres sistem neuroendokrin yang sesuai
dengan intensitas nyeri yang ditimbulkan. Mekanisme timbulnya nyeri
melalui serat saraf aferen diteruskan melalui sel-sel neuron
nosisepsi di kornu dorsalis medula spinalis dan juga diteruskan
melalui sel-sel dikornu anterolateral dan kornu anterior medulla
spinalis memberikan respon segmental seperti peningkatan spasme
otot (hipoventilasi dan penurunan aktivitas), vasospasme
(hipertensi), dan menginhibisi fungsi organ visera (distensi
abdomen, gangguan saluran pencernaan, hipoventilasi). Nyeri juga
mempengaruhi respon suprasegmental yang meliputi kompleks hormonal,
metabolik dan imunologi yang menimbulkan stimulasi yang noxious.
Nyeri juga berespon terjadap psikologis pasien seperti interpretasi
nyeri, marah dan takut.9,12
Gambar 6. Respon tubuh terhadap nyeri6Impuls yang diteruskan ke
sel-sel neuron di kornua antero-lateral akan mengaktifkan sistem
simpatis. Akibatnya, organ-organ yang diinervasi oleh sistem
simpatis akan teraktifkan. Nyeri akut baik yang ringan sampai yang
berat akan memberikan efek pada tubuh seperti :a. Sistem
respirasiKarena pengaruh dari peningkatan laju metabolisme,
pengaruh refleks segmental, dan hormon seperti bradikinin dan
prostaglandin menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen tubuh dan
produksi karbondioksida mengharuskan terjadinya peningkatan
ventilasi permenit. Hal ini menyebabkan peningkatan kerja sistem
pernafasan, khususnya pada pasien dengan penyakit paru. Penurunan
gerakan dinding thoraks menurunkan volume tidal dan kapasitas
residu fungsional. Hal ini mengarah pada terjadinya atelektasis,
intrapulmonary shunting, hipoksemia, dan terkadang dapat terjadi
hipoventilasi.9,12b. Sistem kardiovaskulerPembuluh darah akan
mengalami vasokonstriksi. Terjadi gangguan perfusi, hipoksia
jaringan akibat dari efek nyeri akut terhadap kardiovaskuler berupa
peningkatan produksi katekolamin, angiotensin II, dan antidiuretik
hormon (ADH) sehingga mempengaruhi hemodinamik tubuh seperti
hipertensi, takikardi dan peningkatan resistensi pembuluh darah
secara sistemik. Pada orang normal cardiac output akan meningkat
tetapi pada pasien dengan kelainan fungsi jantung akan mengalami
penurunan cardiac output dan hal ini akan lebih memperburuk
keadaanya. Karena nyeri menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen
miokard, sehingga nyeri dapat menyebabkan terjadinya iskemia
myocardial.9,12c. Sistem gastrointestinal Perangsangan saraf
simpatis meningkatkan tahanan spinkter dan menurunkan motilitas
saluran cerna yang menyebabkan ileus. Hipersekresi asam lambung
akan menyebabkan ulkus dan bersamaan dengan penurunan motilitas
usus, potensial menyebabkan pasien mengalami pneumonia aspirasi.
Mual, muntah, dan konstipasi sering terjadi. Distensi abdomen
memperberat hilangnya volume paru dan pulmonary dysfunction. 9,12d.
Sistem urogenitalPerangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan
spinkter saluran kemih dan menurunkan motilitas saluran cerna yang
menyebabkan retensi urin.9,12e. Sistem metabolisme dan
endokrinKelenjar simpatis menjadi aktif, sehingga terjadi pelepasan
ketekolamin. Metabolisme otot jantung meningkat sehingga kebutuhan
oksigen meningkat. Respon hormonal terhadap nyeri meningkatkan
hormon-hormon katabolik seperti katekolamin, kortisol dan glukagon
dan menyebabkan penurunan hormon anabolik seperti insulin dan
testosteron. Peningkatan kadar katekolamin dalam darah mempunyai
pengaruh pada kerja insulin. Efektifitas insulin menurun,
menimbulkan gangguan metabolisme glukosa. Kadar gula darah
meningkat. Hal ini mendorong pelepasan glukagon. Glukagon memicu
peningkatan proses glukoneogenesis. Pasien yang mengalami nyeri
akan menimbulkan keseimbangan negative nitrogen, intoleransi
karbohidrat, dan meningkatkan lipolisis. Peningkatan hormon
kortisol bersamaan dengan peningkatan renin, aldosteron,
angiotensin, dan hormon antidiuretik yang menyebabkan retensi
natrium, retensi air, dan ekspansi sekunder dari ruangan
ekstraseluler. 9,12f. Sistem hematologiNyeri menyebabkan
peningkatan adhesi platelet, meningkatkan fibrinolisis, dan
hiperkoagulopati.9,12g. Sistem imunitasNyeri merangsang produksi
leukosit dengan lympopenia dan nyeri dapat mendepresi sistem
retikuloendotelial. Yang pada akhirnya menyebabkan pasien beresiko
menjadi mudah terinfeksi.9,12h. Efek psikologisReaksi yang umumnya
terjadi pada nyeri akut berupa kecemasan (anxiety), ketakutan,
agitasi, dan dapat menyebabkan gangguan tidur. Jika nyeri
berkepanjangan dapat menyebabkan depresi.9,12i. Homeostasis cairan
dan elektrolitEfek yang ditimbulkan akibat dari peningkatan
pelepasan hormon aldosterom berupa retensi natrium. Efek akibat
peningkatan produksi ADH berupa retensi cairan dan penurunan
produksi urine. Hormon katekolamin dan kortisol menyebabkan
berkurangnya kalium, magnesium dan elektrolit lainnya.9,12
2.5Penatalaksanaan NyeriSebelum dilakukannya pengobatan terhadap
nyeri, seorang dokter harus memahami tata laksana pengelolaan nyeri
dengan seksama. Di dalam pengelolaan nyeri ini terdapat
prinsip-prinsip umum yaitu :1,9,161. Mengawali pemeriksaan dengan
seksama.2. Menentukan penyebab dan derajat atau stadium penyakit
dengan tepat.3. Komunikasi yang baik dengan penderita dan
keluarga.4. Mengajak penderita berpartisipasi aktif dalam
perawatan.5. Meyakinkan penderita bahwa nyerinya dapat
ditanggulangi.6. Memperhatikan biaya pengobatan dan tindakan.7.
Merencanakan pengobatan, bila perlu secara multidisiplin.Setelah
diagnosis nyeri ditetapkan, perencanaan pengobatan harus disusun.
Untuk itu berbagai modalitas pengobatan nyeri yang beraneka ragam
pada dasarnya digolongkan dalam12,13:1. Modalitas fisik pada unit
rehabilitasi medik2. Modalitas kognitif-behavioral melalui
pendekatan psikososial3. Modalitas invasif melalui pendekatan
perioperatif dan radioterapi4. Modalitas psikoterapi5. Modalitas
FarmakoterapiSemua obat yang mempunyai efek analgetika biasanya
efektif untuk mengatasi nyeri akut. Hal ini dimungkinkan karena
nyeri akut akan mereda atau hilang sejalan dengan laju proses
penyembuhan jaringan yang sakit. Dalam melaksanakan farmakoterapi
terdapat beberapa prinsip umum dalam pengobatan nyeri. Perlu
diketahui sejumlah terbatas obat dan pertimbangkan berikut: Bisakan
pasien minum analgesik oral? Apakah pasien perlu pemberian iv untuk
mendapat efek analgesik cepat? Bisakan anestesi lokal mengatasi
nyeri lebih baik, atau digunakan dalam kombinasi dengan analgesik
sistemik? Bisakan digunakan metode lain untuk membantu meredakan
nyeri, contohnya pemasangan bidai untuk fraktur, pembalut luka
bakar.
Gambar 7. WHO Three Step Analgesic Ladder
Praktik dalam tatalaksana nyeri, secara garis besar stategi
farmakologi mengikuti WHO Three Step Analgesic Ladder yaitu :11.
Tahap pertama dengan menggunakan abat analgetik nonopiat seperti
NSAID atau COX2 spesific inhibitors.2. Tahap kedua, dilakukan jika
pasien masih mengeluh nyeri. Maka diberikan obat-obat seperti pada
tahap 1 ditambah opiat secara intermiten.3. Tahap ketiga, dengan
memberikan obat pada tahap 2 ditambah opiat yang lebih
kuat.Penanganan nyeri berdasarkan patofisiologi nyeri paada proses
transduksi dapat diberikan anestesik lokal dan atau obat anti
radang non steroid, pada transmisi inpuls saraf dapat diberikan
obat-obatan anestetik lokal, pada proses modulasi diberikan
kombinasi anestetik lokal, narkotik, dan atau klonidin, dan pada
persepsi diberikan anestetik umum.4,9,16Analgesik Non-Narkotik yang
biasa digunakan :1. Obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID) terkenal
karena memiliki kemampuan analgesia, antiinflamasi, dan
antiterapeutik. Obat ini dapat menginhibisi produksi prostaglandin,
zat endogen yang potensial hiperalgesik. Sampai sekarang NSAID ada
yang dapat diberikan secara per oral, rektal, intramuskular atau
intravena.2. Ketorolak telah diakui oleh ahli bedah maupun
anestesiologi dapat dipergunakan untuk analgesik pasca bedah.
Keaktifan ketorolak 30 mg intramuskular equivalen dengan 10 mg
morfin. Efek analgesia dimulai 10 menit setelah penyuntikan dan
berlangsung sampai 4-6 jam.3. Klonidin mulai banyak dipergunakan
pasca bedah, tetapi dikombinasi dengan opioid atau analgesik atau
dengan anastestik lokal hingga kualitas analgesia dan lama
analgesia yang didapat meningkat secara signifikan. Pemberian
klonidine 4-6 mikrogram/kg i.v sesaat sebelum selesai operasi,
menghasilkan analgesia pasca bedah dan mencegah menggigil pasca
bedah yang secara dengan pemberian petidine 0,3 mg i.v.Obat-obat
pembantu (adjuvan) antara lain:1. KortikosteroidObat ini dapat
bersifat mempertinggi taraf alam perasaan yang sedang menurun, dan
selanjutnya bersifat anti-infalamasi, antiemetik, meningkatkan
nafsu makan membantu mengatasi kakeksia dan anoreksia. Perlu
diketahui pula, bahwa obat ini dapat mengurangi tekanan
intrakranial dan kompresi epidural dan susunan saraf spinal.2.
AntikonvulsanObat ini dapat bedrmanfaat untuk meringankan nyeri
neuropatik yang sifatnya menusuk dan membakar. Sebaiknya harus
digunakan dengan hati-hati pada pasien yang mejalani terapi kimia
(kemoterapi) dan terapi radiasi.3. AntidepresanBermanfaat dalam
mengurangi nyeri neuropatik karena memiliki efek analgesik sehingga
dapat memperkuat kasiat analgetik morfin.4. NeuroleptikBermanfaat
dalam membantu sindrom nyeri kronik dan memiliki sifat antiemetik,
anti cemas dan anti konstipasi.5. PsikostimulanDigunakan untuk
mengurangi sedasi yang diakibatkan opioid, terutama bila
pengurangan dosis atau frekuensi pemberian obat opioid tidak
berhasil mengurangi sedasi.
BAB IIIANTIDEPRESAN SEBAGAI ANALGESIA
3.1Penggolongan AntidepresanAntidepresan secara umum
diklasifikasikan menjadi 4 kelas golongan, antara lain:
17,19,20,21a. Golongan trisiklik antidepresan (TCA)Contoh:
amitriptilin, imipramin, clomipramin, trazodone.b. Golongan
penghambat monoamin oksidase (MAOI)Contoh: phenelzin,
tranilcipromin.c. Golongan penghambat uptake serotonin selektif
(SSRI)Contoh: fluoxetine, sertralin, fluvoxamine, citalopram.d.
Golongan penghambat uptake serotonin dan noradrenalin (SNRI)Contoh:
venlaxavin, duloxetin.
Gambar 8. Klasifikasi dan karakteristik
antidepresan213.2Mekanisme Aksi Antidepresan Sebagai
AnalgesiaAntidepresan telah dipergunakan sebagai obat yang
meredakan nyeri selama lebih dari 40 tahun, namun mekanisme aksi
yang mendasari efek analgesia masih belum diketahui secara pasti.
Efek utama antidepresan pada sirkuit neural adalah untuk
meningkatkan ketersediaan dari noradrenalin dan atau serotonin,
namun efek langsung dan tidak langsung dari antidepresan juga
terdapat pada sistem lain contohnya pada neurotransmsi opiod.21 1.
Sistem Monoaminergik. Beberapa proses biologis umum terderegulasi
pada depresi dan nyeri kronis, menyebabkan disfungsi aksis
hipotalamus-pituitari-adrenal. Hal ini meningkatkan sitokin pro
inflamasi plasma yang mengubah ekspresi brain-derived neurotrophic
factor (BDNF) dan signaling opiod. Meskipun demikian, sistem
monoaminergik merupakan substrat yang secara dominan berhubungan
dengan kedua kondisi tersebut, yang melibatkan peranan dari
serotonin dan noradrenalin pada nyeri dan depresi. Dimana transmisi
nyeri dapat diturunkan pada depresi dan begitu pula sebaliknya.
Neurotransmiter serotonin dan noradrenalin secara primer disintesis
di raphe nuclei dorsalis dan lokus coeruleus. Proyeksi ascenden
dari dua nuklei batang otak ini (utamnya ke hipotalamus, korteks
cingula anterior dan amygdala) terlibat di dalam regulasi cemas,
mood dan emosi. Lebih lanjut, perburukan mood dampaknya berhubungan
dengan terganggunya transmisi sepanjang jalur ascenden dari
serotonergik dan noradrenergik. Proyeksi descenden dari nuklei
raphe dan lokus coeruleus pada medula spinalis (jalur descenden
nyeri), dimana mendesak pengaruh inhibisi pada batas ambang nyeri.
Lebih jauh, proyeksi dari raphe nukleus magnus, lokus coeruleus dan
A5 (juga pusat noradrenergik) mengontrol pelepasan serotonin dan
noradrenalin pada tingkat medula spinalis. Monoamin ini pada celah
sinaptik dapat menurunkan nilai ambang nyeri. Meskipun jalur
noradrenalin dan serotonergik berimplikasi pada nyeri kronis dan
depresi, antidepresan sangat efektif pada penanganan nyeri kronis
dengan atau tanpa depresi. Pada tingkat supraspinal, senyawa ini
meningkakan kadar noradrenalin dan serotonin pada celah sinaps yang
secara simultan meningkatkan aktivitas dari jalur inhibisi
descenden bulbospinal, sehingga menyebabkan analgesia.21 Sistem
serotonergik dan noradrenergik memegang peranan penting karena
efikasi dari inhibitor reuptake selektif 5-HT (5-hydroxytryptamine)
atau NE (SSRI/NRI) dalam pengobatan depresi berat. SSRI dan NRI
memblok transporter 5-HT atau NE transporter. Hal ini akan
meningkatkan konsentrasi ekstraseluler monoamin pada sinaps dan
memperpanjang durasi kerjadinya pada level post sinaps. Meskipun
terdapat berbagai macam SSRI (citalopram, escitalopram,
fluovoxamine, fluoxetine, paroxetine and sertraline) dan NRI
(atomoxetine, desipramine, reboxetine), ikatan SSRI/NRI terhadap
transporter monoamin dapat bervariasi. Inhibisi dari reuptake 5-HT
atau NE pada sinaptosom merupakan salah satu metode yang
dipergunakan secara luas untuk mengetahui potensi reuptake
inhibitor dan untuk mempreiksi secara tidak langsung afinitas dan
selektivitas mereka pada transporter amin biogenik. Potensi
inhibisi dari berbagai macam obat pada reuptake. Pada tingkat
presinapsis ketika transporter 5-HT dan transporter NE diblok pada
badan sel serotonergik dan noradrenergik, menyebabkan akumulasi
dari 5-HT dan NE pada daerah sekitar somatodendritik 5-HT alfa 1
atau alfa 2 autoreseptor di daerah raphe dorsal (DR) dan lokus
coeruleus (LC). Hal ini menyebabkan attenuating firing neuron DR
5-HT dan LC NE dose dependent karena aktivasi dari elemen neuronal
ini memberikan pengaruh umpan balik negatif. Parameter ini dapat
dipergunakan untuk mengkarakterisasikan profil farmakologis dari
reuptake inhibitor. Pada saraf terminal, juga terjadi akumulasi
dari 5-HT dan NE sebagai respon terhadap inaktivasi transpoter 5-HT
dan transporter NE oleh SSRI dan NRI, dan meningkatkan kadar
ekstraseluler dari monoamin.22,242. Sistem OpioidTerdapat suatu
hubungan antara peptida opiod endogen dengan efek analgesia dari
antidepresan. Sebagai contoh, antagonis opioid yaitu nalokson atau
nor-binaltorphimine bersifat antagonis terhadap efek analgesik dari
TCA dan monoamine reuptake inhibitor pada nyeri akut dan kronis.
Opiod dan sistem monoaminergik merupakan mekanisme molekuler yang
memediasi nosisepsi, senyawa opiod biasanya diberikan secara
bersamaan dengan antidepresan untuk meredakan nyeri. Namun,
validitas dari strategi terapeutik untuk pengobatan dan gangguan
mood dengan komorbid nyeri masih belum jelas. Lebih lanjut, dosis
opiod yang diperlukan untuk menghasilkan efek seperti antidepresan
lebih tinggi dibandingkan mempergunakan antidepresan secara
langsung untuk menghasilkan efek analgesia, menyebabkan timbulnya
dugaan bahwa kedua proses ini dimediasi oleh mekanisme yang
berbeda. Pengaruh antidepresan pada signaling opiod bersifat
spesifik. Bahkan, pemberian antidepresan meningkatkan densitas
reseptor opioid pada area otak yang berimplikasi pada nyeri dan
depresi. Sebagai contoh, pemberian citalopram kronis meningkatkan
ikatan nalokson di membran korteks, sedangkan imipramine dan
fluoxetine meningkatkan ekspresi reseptor opioid neuronal pada
daerah korteks prefrontal, hipokampus dan putamen kaudatus. Respon
reseptor opioid terhadap antidepresan bergantung pada durasi
pengobatan, dosis dan regio otak serta mekanisme aksi dari
antidepresan. Salah satu penelitian menunjukkan bahwa opiod juga
dapat memodifikasi aksi dari antidepresan dan meredamkan secara
signifikan efek behavioral dari TCA, clomipramine dan desipiramine,
pada tikus yang diobati dengan antagonis opiod nonselektif
nalokson. Efek antagonis ini adalah menurunkan efikasi dari
antidepresan trisiklik dan antidepresan non trisiklik sebagai
respon pretreatment opioid.21,22,253. Mekanisme LainnyaSebagai
tambahan terhadap sistem monoaminergik dan opiod, beberapa
antidepresan menunjukkan efek analgesik melalui beberapa mekanisme
lainnya. Hal ini dikarenakan terdapat sistem neurotransmiter lain
yang juga terlibat di dalam etiopatogenesis dari nyeri dan depresi.
Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut: Kanal ionPada
mekanisme nyeri sentral, antidepresan dapat menghambat aktivitas
kanal ion Na+, Ca2+, K+. Inhibitor kanal Na+ yang lain (contohnya
obat anti kejang dan anestesi lokal) dan clocker Ca2+ channels
memiliki sifat analgesik pada pasien dengan nyeri yang persisten,
seperti aksi antidepresan dalam memediasi analgesia. Aksi inhibisi
dari antidepresan terlihat pada kanal ion Ca2+ tipe L, sedangkan
karakteristik analgesik ditunjukkan dengan selective N-type Ca2+
channel blockers. Interaksi antara kanal-kanal ion, secara umum,
sulit untuk diimplikasikan secara definitif pada aksi antidepresan
karena, meskipun mimikri aksi dari agen diketahui menghasilkan efek
farmakologis merupakan suatu kondisi yang sangat dibutuhkan, namun
hal tersebut tidak menghasilkan kausalitas. Oleh karena itu,
administrasi sentral dari antisense oligonukleotida ke kanal ion K+
tertentu dapat menghambat aksi analgesik dari amitriptyline dan
desipiramine. Pendekatan dari secara spesifik menghilangkan target
spesifik mempergunakan teknik molekular dapat menjadi suatu nilai
tertenti untuk mengimplikasikan kanal ion lebih definitif pada aksi
antidepresan.24 Aplikasi perifer dari Na+ channel blockers seperti
anestesi lokal dan obat anti kejang menghasilkan analgesia secara
lokal pada nyeri persisten dan meningkatkan kemungkinan aksi
tersebut berperan dalam analgesia yang dimediasi oleh antidepresan.
Akan tetapi, meskipun tidak ada perubahan pada reaksi paw normal
setelah administrasi lokal dari amitriptyline, aksi anestesi lokal
secara primer tidak terlibat dalam analgesia. Namun, setelah
terjadi sensitisasi atau trauma saraf, terdapat perubahan pada
fungsi kanal ion Na+ atau ekspresi neuron sensori yang memungkinkan
aksi ini untuk diekspresikan.24 AdenosinAntidepresan dapat
menghampat uptake dari adenosin ke persiapan neuronal. Adenosin,
bekerja pada spinal dan spurapinal, menghasilkan analgesia dan
merupakan mediator signifikan yang memiliki karakteristik analgesia
antidepresan seperti methylxanthine adenosine receptor antagonist
menghambat analgesia dihasilkan oleh pemberian antidepresan secara
sistemik pada kedua nosiseptif. Kemampuan methlxanthine untuk
memblok antinosisepsi dimediasi oleh pemberian antidepresan secara
sistemik menyebabkan kita menentukan apakah kafein dapat mengubah
analgesia perifer oleh antidepresan. Co-administration dari kafein
dengan amitiptylin menurnkan aksi dari amitriptylin. Adenosin
berkontribusi terhadap analgesiayang dihasilkan oleh beberapa
antidepresan. Di perifer, adenosin menghasilkan enalgesia melalui
aktivasi resptor A1 adenosin pada terminal saraf sensoris. Reseptor
A1 adenosin terlihat terlibat pada aksi amitriptyline, sebagai
selektif reseptor antagoni adenosin A1 untuk menurunkan aksi
antinosiseptif dari amitriptyline.22 Reseptor Asam Amino
EksitasiDiantara mekanisme lain, nyeri persisten melibatkan
sensitisasi sentral, suatu proses dimana reseptor asam amino
eksitasi berkontribusi secara signifikan. Antidepresan dapat
berikatan dengan kompleks reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) dan
menurunkan akumulasi Ca2+ yang diinduksi oleh NMDA dimana paparan
kronis antidepresan daoat mengubah binding reseptor NMDA.
Meskipunadministrasi spinal dari antidepresan menghambat
NMDA-induced spinal hyperalgesia dan ini telah diduga secara
signifikan mekanisme spinal analgesia. Pada administrasi antagonis
asam amino eksitasi dapat menghambat flinching behavior secara
konsisten. Beberapa inhibisi dari flinching behavior oleh
amitriptyline spinal telah dilaporkan namun administrasi
amitriptyline bai secara sistemik maupun spinal dapat meningkatkan
flincing behavor dan menekan tingkah laku seperti menggigit.
Pemberian antagonis asam amino eksitasi dapat menekan allodinia,
sekarang amitriptyline spinal tidak mempunyai atau lemah dalam
aktivitas antiallodinia. Hal ini yang membedakan profil
farmakologis dari antagonis asam amino eksitasi dan antidepresan
pada nyeri persisten. 22TCA bekerja pada multipel target nosiseptif
baik di sentral dan perifer. Hal ini menjadi alasan TCA lebih
efektif dibandingkan antidepresan lain dengan aksi yang lebih
seletif pada mekanisme monoaminergik. Sebagai contoh, aksi lain
dari amitriptilin: memblok reseptor NMDA dan kanal natrium. Juga,
menurunkan kadar kalsium intraseluler pada kornu dorsalis dan
meningkatkan kadar adenosis dan aktivitas reseptor A1. Hal ini
akhirnya mempromosikan fungsi reseptor GABA, diantara aksi lainnya.
Hal ini membantu untuk menjelaskan mengapa amitriptilin merupakan
salah satu antidepresan yang dipergunakan secara luas untuk
engobatan nyeri. Akan tetapi, hal terpenting bawah target-target
ini sangat berhubungan dengan sistem monoaminergik, kadar serotonin
dan dopamin pada celah sinaps.
Gambar 9. Mekanisme non monoaminergik berimplikasi pada efek
analgesia antidepresan21
3.3Penggunaan Klinis Obat AntidepresanAnalgesik adjuvan
sebenarnya bukannlah obat yang utamanya digunakan sebagai obat
penghilang nyeri (analgesik). Obat-obat tersebut utamanya bekerja
untuk mengatasi kondisi selain nyeri. Obat-obat yang dapat
digunakan sebagai analgesik adjuvan memiliki hubungan yang
signifikan dalam mengatasi nyeri apabila digunakan secara tunggal
ataupun dikombinasi dengan obat analgesik lainnya dalam mengatasi
kasus nyeri yang persisten seperti nyeri neuropatik. Salah satu
obat yang termasuk ke dalam obat analgesik adjuvan adalah
antidepresan. 17
Gambar 10. Efek analgesia dari antidepresan pada hewan coba
nyeri21
1. Antidepresan Klasik (Trisiklik & Tetrasiklik) Mekanisme
kerja : Obatobat ini menghambat resorpsi dari serotonin dan
noradrenalin dari sela sinaps di ujung-ujung saraf.Obat yang
termasuk dalam golongan ini adalah: Amitriptilin Dosis lazim : 25
mg dapat dinaikan secara bertahap sampai dosis maksimum 150-300 mg
sehari. Kontra Indikasi : penderita koma, diskrasia darah, gangguan
depresif sumsum tulang, kerusakan hati, penggunaan bersama dengan
MAO. Interaksi Obat : bersama guanetidin meniadakan efek
antihipertensi, bersama depresan SSP seperti alkohol, barbiturate,
hipnotik atau analgetik opiate mempotensiasi efek gangguan depresif
SSP termasuk gangguan depresif saluran napas, bersama reserpin
meniadakan efek antihipertensi. Perhatian : ganguan kardiovaskular,
kanker payudara, fungsi ginjal menurun, glakuoma, kecenderungan
untuk bunuh diri, kehamilan, menyusui, epilepsi Indikasi klinis:
nyeri neuropatik seperti post-herpetic neuralgia, diabetic
peripheral neuropathy, polineuropati, nyeri fasial atipikal, nyeri
kanker, nyeri pinggang.15 Imipramin Dosis lazim : 25-50 mg 3x
sehari bila perlu dinaikkan sampai maksimum 250-300 mg sehari.
Kontra Indikasi : Infark miokard akut Interaksi Obat : anti
hipertensi, obat simpatomimetik, alkohol, obat penekan SSP
Perhatian : kombinasi dengan MAO, gangguan kardiovaskular,
hipotensi, gangguan untuk mengemudi, ibu hamil dan menyusui.
Indikasi klinis: nyeri neuropatik seperti post-herpetic neuralgia,
diabetic peripheral neuropathy, polineuropati, nyeri fasial
atipikal, nyeri pinggang.
Klomipramin Dosis lazim : 10 mg dapat ditingkatkan sampai dengan
maksimum dosis 250 mg sehari. Kontra Indikasi : Infark miokard,
pemberian bersamaan dengan MAO, gagal jantung, kerusakan hati yang
berat, glaukoma sudut sempit Interaksi Obat : dapat menurunkan efek
antihipertensi penghambat neuro adrenergik, dapat meningkatkan efek
kardiovaskular dari noradrenalin atau adrenalin, meningkatkan
aktivitas dari obat penekan SSP, alkohol. Perhatian : terapi
bersama dengan preparat tiroid, konstipasi kronik, kombinasi dengan
beberapa obat antihipertensi, simpatomimetik, penekan SSP,
antikolinergik, penghambat reseptor serotonin selektif,
antikoagulan, simetidin. Monitoring hitung darah dan fungsi hati,
gangguan untuk mengemudi.Indikasi klinis: nyeri neuropatik seperti
post-herpetic neuralgia, diabetic peripheral neuropathy,
polineuropati, nyeri fasial atipikal, nyeri kanker, nyeri
pinggang.15Obat antidepresan dapat digunakan pada nyeri kronik pada
pasien kanker. Sebanyak sampai 25% penderita kanker mengalami
depresi yang tampak jelas. Antidepresan trisiklik dapat mengatasi
nyeri dari berbagai sindrom nyeri (termasuk kanker) pada 40-70%
pasien. Golongan obat ini biasanya diberikan sebagai dosis tunggal
menjelang tidur guna mengurangi timbulnya efek samping di siang
hari. Antidepresan trisiklik ini memiliki efek hemat opiat.15,162.
SSRI ( Selective Serotonin Reuptake Inhibitor)Mekanisme kerja :
obat-obat ini menghambat resorpsi dari serotonin.Obat-obat yang
termasuk antidepresan generasi ke-2 : Fluoxetin Dosis lazim : 20 mg
sehari pada pagi hari, maksimum 80 mg/hari dalam dosis tunggal atau
terbagi. Kontra Indikasi : hipersensitif terhadap fluoxetin, gagal
ginjal yang berat, penggunaan bersama MAO. Interaksi Obat : MAO,
Lithium, obat yang merangsang aktivitas SSP, antidepresan,
triptofan, karbamazepin, obat yang terkait dengan protein plasma.
Perhatian : penderita epilepsi yang terkendali, penderita kerusakan
hati dan ginjal, gagal jantung, jangan mengemudi / menjalankan
mesin.Indikasi klinis : nyeri polineuropati diabetes. Sertralin
Dosis lazim : 50 mg/hari bila perlu dinaikkan maksimum 200 mg/hr.
Kontra Indikasi : Hipersensitif terhadap sertralin. Interaksi Obat
: MAO, Alkohol, Lithium, obat seretogenik. Perhatian : pada
gangguan hati, terapi elektrokonvulsi, hamil, menyusui, mengurangi
kemampuan mengemudi dan mengoperasikan mesin. Indikasi klinis :
nyeri polineuropati diabetes. Citalopram Dosis lazim : 20 mg/ hari,
maksimum 60 mg/ hari. Kontra indikasi : hipersensitif terhadap obat
ini. Interaksi Obat : MAO, sumatripan, simetidin. Perhatian :
kehamilan, menyusui, gangguan mania, kecenderungan bunuh diri.
Indikasi klinis : nyeri polineuropati diabetes.Golongan
antidepresan seperti golongan SSRI yaitu sertraline, paroxetine,
fluoxetine dan citalopram, bekerja menghambat reuptake serotonin.
Walaupun golongan ini memiliki efek samping yang lebih minimal
dibandingkan TCA, tetapi keefektifannya dalam menangani nyeri
neuropatik lebih rendah dibandingkan dengan TCA.11,15
3. SNRI (Serotonin and Noradrenalin Reutake Inhibitor)Mekanisme
kerja : Menghambat neurotransmisi serotonin dan noradrenalin secara
simultan.Obat yang termasuk golongan ini yang biasa digunakan untuk
mengatasi nyeri kronik yakni: Venlafaxine Dosis lazim : 75 mg/hari
bila perlu dapat ditingkatkan menjadi 150-250 mg 1x/hari. Kontra
Indikasi : penggunaan bersama MAO, hamil dan laktasi, anak < 18
tahun. Interaksi Obat : MAO, obat yang mengaktivasi SSP lain.
Perhatian : riwayat kejang dan penyalahgunaan obat, gangguan ginjal
atau sirosis hati Indikasi klinis : nyeri fibromialgia,
polineuropatik diabetes DuloxetinDosis lazim : 60 mg 120 mg /
hariKontra indikasi : pasien dengan gangguan fungsi hati.Indikasi
klinis : nyeri fibromialgia, polineuropatik diabetes.
3.4Efek Samping Antidepresan sebagai AnalgesiaEfek samping
golongan TCA: Efek jantung ; dapat menimbulkan gangguan penerusan
impuls jantung dengan perubahan EKG, pada overdosis dapat terjadi
aritmia berbahaya. Efek antikolinergik ; akibat blokade reseptor
muskarinik dengan menimbulkan efek antara lain mulut kering,
obstipasi, retensi urin, takikardia, serta gangguan potensi dan
akomodasi, keringat berlebihan. Sedasi, hipotensi ortostatik dan
pusing serta mudah jatuh merupakan akibat efek antinoradrenalin,
hal ini sering terjadi pada penderita lansia. Efek anti serotonin;
akibat blokade reseptor 5-HT post sinaptik dengan bertambahnya
nafsu makan dan berat badan. Kelainan darah; seperti
agranulositosis dan leukopenia. Gejala penarikan; pada penghentian
terapi dengan mendadak dapat timbul antara lain gangguan
lambung-usus, agitasi, sukar tidur, serta nyeri kepala dan otot.
17Efek samping golongan SSRI: Efek serotogenik berupa ; mual ,
muntah, malaise umum, nyeri kepala, gangguan tidur dan nervositas,
agitasi atau kegelisahan yang sementara, disfungsi seksual dengan
ejakulasi dan orgasme terlambat. Sindroma serotonin antara lain;
kegelisahan, demam, dan menggigil, konvulsi, dan kekakuan hebat,
tremor, diare, gangguan koordinasi. Kebanyakan terjadi pada
penggunaan kombinasi obat-obat generasi ke-2 bersama obat-obat
klasik, MAO, litium atau triptofan, lazimnya dalam waktu beberapa
jam sampai 2-3 minggu. Gejala ini dilawan dengan antagonis
serotonin (metisergida, propanolol). Efek antikolinergik,
antiadrenergik, dan efek jantung sangat kurang atau sama sekali
tidak ada. Efek Samping SNRI : Lemah, pusing berputar, gangguan
pencernaan, mengantuk.22
BAB IVPENUTUP
Antidepresan selain berperan dalam menangani kasus depresi, juga
merupakan salah satu analgesik adjuvan. Obat-obat yang dapat
digunakan sebagai analgesik adjuvan memiliki hubungan yang
signifikan dalam mengatasi nyeri apabila digunakan secara tunggal
ataupun dikombinasi dengan obat analgesik lainnya dalam mengatasi
berbagai kasus nyeri. Beberapa mekanisme diyakini mendasari
perananan antidepresan sebagai analgesik. Diantaranya yang paling
sering dibahas dalam beberapa penelitian adalah kemampuan
antidepresan menghambat reuptake serotonin dan noradrenalin.
Antidepresan yang direkomendasikan oleh Guideline Pain Management
2010 untuk menangani kasus nyeri neuropatik adalah golongan
tricyclic antidepresan. Penggunaan antidepresan sebagai adjuvan
analgesik terbatas hanya pada beberapa kasus nyeri kronik seperti
nyeri neuropatik pada kasus polineuropati diabetes, post-herpetic
neuralgia, fibromialgia. Keterbatasan penggunaan antidepresan ini
dikarenakan beberapa efek samping yang mungkin menyertai pemberian
obat ini pada kasus-kasus nyeri. Pemilihan jenis antidepresan yang
digunakan sebaiknya didasarkan atas kondisi pasien yang
mempengaruhi munculnya efek samping dari penggunaan antidepresan
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mangku, G., Buku Ajar Ilmu Anastesia dan Reanimasi.
Bagian/SMF Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana, Denpasar, 2010.217-27.2. Rao PPN, Mohamed T.
Current and emerging at-site pain medications: a review. Journal of
pain research. 2011;4:279-2863. Holmes A, Christelis n, Arnold C.
Depression and chronic pain. MJA open. 2012;1(4):17-204. Dworkin
RH, OConner AB, Backonja M, Farrar JT. Pharmacologic management of
neuropathic pain: evidence-based recommendations. Pain 2007; 132:
237-251.5. Benzon, et al., The Assesment of Pain, In Essential of
Pain Medicine and Regional Anaesthesia, 2nd ed, Philadelphia,
2007.6. Katzung Gb. Antidepresants Agent. In: Basic and Clinical
Pharmacology. 9th ed. Mc Grawhill. New York. 2007. p: 482-94.7.
Hache G, Coudore F, Gardier AM, Guiard BP. Monoaminergic
Antidepressants in the relief of pain: potential therapeutic
utility of triple reuptake inhibitors (TRIs). Pharmaceuticals.
2011;4:285-3428. Australian and New Zealand College of
Anaesthetists and Faculty of Pain Medicine. Physiology and
Psychology of Acute Pain. In: Acute Pain ManagementScientific
Evidence. 3rd ed. ANZCA. Sydney. 2010. p. 1-34.9. Latief, S.A.,
Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi II. Bag Anestesiologi dan
Terapi Intensif FK UI. Jakarta. 2001.10. Morgan, G.E., Pain
Management, In: Clinical Anesthesiology 4th ed. Stamford: Appleton
and Lange, 2006, 359-73.11. Verdu B. Antidepresants for the
Treatment Chronic Pain. 2008 ;68(18). 2611-32.12. Depkes RI, 2007.
Pharmaceutical Care untuk Penderita dengan Gangguan Depresi. Hal:
1-22.13. Mc Cleane G. Antidepresants as Analgesics. CNS Drug.
2008:22: 139-56.14. Verdu B. Antidepresants for the Treatment
Chronic Pain. 2008 ;68(18). 2611-32.15. WHO Normative Guidelines on
Pain Management. 2007. p: 1-50.16. Anderson, I., Ferrier, I.,
Baldwin, R., Cowen, P., Howard, L., Lewis, G., et al.
Evidence-based guidelines for treating depressive disorders with
antidepressants: A revision of the 2000 British Association for
Psychopharmacology guidelines. Journal of Psychopharmacology
2008;22 (4): 343-396.17. Gallager RM et al. Biopsychosocial factor
in Pain Medicine. In: Wallace MS, Staats PS. Pain Medicine and
Management Just Facts. Chapter 45. New York: Mc Grawhill;
2005.244-54.18. American Society of Anasthesiologist Task Force on
Chronic Pain Management and American Society of Regional Anasthesia
and Pain Medicine. Practice Guideline for Chronic Pain Management.
2010. 112:810-33.19. Sawynok et al. Antidepresants as analgesic :
an overview af central and peripheral mechanism of action. J
Psychiatri Neurosci. 2001; 26(1):21-9.20. McDonald AA, Portenoy RK.
How to use antidepressants and anticonvulsants as adjuvant
analgesics in the treatment of neuropathic cancer pain. J support
Oncoll. 2006;4(1):043-05221. Cobo-Realpe BL, Alba-Delgado C, Braco
L, Mico JA, Berrocoso. Antidepressants drug and pain. p.143-16222.
Sawynok J, Esser MJ, Reid AR. Antidepressant as analgesic: on
overview of central and peripheral mechanism of action. Journal of
Psychiatry and neuroscience. 2001;26(10):21-923. Bader PD.
Guidelines on Pain Management. European Association Urology 2010.
p: 6-92.24. Stamford JA. Descending control of pain. British
Journal of Anaesthesia. 1995;27:217-22725. Verdu B, Decosterd I,
Buclin T, Stiefel F, Bernye A. Antidepressants for the treatment of
chronic pain. Drugs.2008;68(18):2611-2632
39