Top Banner

of 27

antiacne Reviswqdei FINAL.doc

Oct 17, 2015

Download

Documents

Serpentarius_05

qweqwe
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

SKRINING BIOAKTIVITAS BAHAN ALAMDESAIN METODE UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK AIR BUAH LERAK (Sapindus rarak DC) TERHADAP Propionibacterium acnes SEBAGAI SALAH SATU PENYEBAB JERAWAT

Kelompok IIINi Putu Asri Ramayati(0908505031)

Ni Made Oka Dwicandra (0008505071)JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS UDAYANA2012BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jerawat merupakan penyakit kulit berupa kelainan pada susunan pilosebaseus. Jerawat biasanya terjadi pada daerah yang memiliki kelenjar minyak yang banyak, yaitu wajah, punggung, serta tangan dan kaki. Umumnya jerawat dicirikan dengan terbentuknya seborrhea, komedo, luka meradang, dan adanya bakteri Propionibacterium acnes. Propionibacterium acnes merupakan organisme obligat yang bersifat anaerob. Bakteri ini terlibat dalam proses inflamasi pada jerawat dengan kemampuanya untuk mengaktifkan komplemen dan memetabolisme trigliserida sebaseus menjadi asam lemak, yang secara kimia akan menarik sel darah putih dan menyebabkan nanah (Kumar et al., 2007; Kusantati dkk., 2008).

Jerawat merupakan penyakit kulit paling umum yang terjadi pada semua ras dan menyerang hampir 85% dari remaja dan orang dewasa berusia di antara 12-25 tahun. Jerawat juga dapat muncul kembali pada usia 30-50 tahun. Penyakit ini lebih sering terjadi pada pria remaja dan wanita dewasa (Chisholm-Burns et al., 2008). Meskipun bukan ancaman yang serius bagi kesehatan, pada umumnya jerawat merupakan salah satu penyakit yang paling menyebabkan tekanan sosial, terutama bagi para remaja yang harus mengalami jerawat ketika kematangan seksual membuat mereka paling sensitif terhadap penampilannya. Selain itu, jerawat yang parah dapat menyebabkan terbentuknya jaringan parut permanen pada kulit yang membekas pada wajah (Sawarkar et al., 2010).

Selama bertahun-tahun antibiotik telah digunakan untuk mengobati jerawat. Namun, resistensi terhadap antibiotik semakin meningkat dalam penggunaannya sebagai obat jerawat. Perkembangan resistensi antibiotik dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk sifat spesifik dari hubungan bakteri terhadap antibiotik, bagaimana antibiotik digunakan, karakteristik host, dan faktor lingkungan (Sawarkar et al, 2010). Padaakhir 1980an, resistensi eritromisin dan tetrasiklin terhadap strainPropionibacterium acnes semakinbanyak ditemukan di Inggris dan Amerika Serikat. Mutasi pada gen pengkode sub unit 23S dan 16S pada RNAribosom pertama kalidiidentifikasidi Inggris danjuga tampak darisurvei terbarudi Eropa,Jepang, Australiadan Amerika Serikat.Pada strainyang ditemukan,dimana mutasi ini terjadi, belum dapat dibuktikan adanya evolusi yang terjadi pada Propionibacterium acnes (Eady et al., 2003). Penelitian yang dilakukan Coates et al. (2002) menunjukkan proporsi pasien membawa strain yang resisten terhadap satu atau lebih antibiotikuntuk jerawatterus meningkat dari34,5%pada tahun 1991 menjadi64%pada tahun 1997.Prevalensimenurun menjadi 50,5% selama tahun 1999dan kemudiannaik lagi menjadi55,5%pada tahun 2000.Penelitian kuantitatiflebih rincimenunjukkanbahwa populasi Propionibacterium acnes yang resisten bervariasiantar bagian tubuh danantar individu. Situasi ini membuat para ilmuwan terus mencari zat antibakteri baru, sehingga terdapat kebutuhan untuk mengembangkan antibakteri alternatif dalam pengobatan jerawat yang berasal dari tanaman (Dey et al., 2010).

Salah satu pengobatan alternatif antiacne yang dikembangkan adalah menggunakan pengobatan tradisional yang berasal dari tanaman. Pengobatan tradisional yang berasal dari tanaman salah satunya adalah Usada. Usada adalah ilmu pengobatan tradisional Bali, yang sumber ajarannya terdapat pada lontar dalam Usada Bali. Usada yang diperkenalkan oleh para leluhur merupakan ilmu pengetahuan penyembuhan yang dijiwai oleh nilai-nilai agama Hindu. Dalam Usada Bali disebutkan bahwa ada beberapa tanaman yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah jerawat, salah satunya adalah dengan menggunakan buah lerak. Dinyatakan bahwa air rendaman buah lerak memiliki khasiat untuk mengobati jerawat (Nala, 1993).

Selain itu, berbagai penelitian ilmiah telah membuktikan bahwa beberapa genus Sapindus memiliki efek antibakteri terhadap beberapa bakteri gram positif. Penelitian yang dilakukan oleh Liang et al. (2006) terhadap Sapindus mukorossi membuktikan bahwa ekstrak air Sapindus mukorossi memiliki efek antibakteri terhadap Bacillus cereus, Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Streptococcus faecalis dengan MIC (Minimal Inhibitory Concetration) sebesar 8-10 mg/mL. Ditinjau dari kandungan kimianya, ekstrak aseton, metanol, dan air buah Sapindus mukorossi mengandung protein, gula, tanin, dan saponin. Ketiga ekstrak tersebut juga terbukti memiliki aktivitas antibakteri terhadap E.coli, Streptococcus sp., dan Staphylococcus sp. (Sirohi, et al., 2009). Buah Sapindus mukorossi dilaporkan mengandung glikosida seskuiterpen dan glikosida serta enam tipe asam lemak. Daun Sapindus mukorossi mengandung flavonoid, triterpen, sedangkan saponin terkandung dalam busa, buah, dan akar Sapindus mukorossi (Suhagia et al., 2011). Ahmad dan Beg (2001) membuktikan bahwa ekstrak alkohol buah Sapindus sp. mengandung flavonoid dan saponin serta telah terbukti bahwa ekstrak tersebut memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri gram positif, yaitu S. aureus dan B. subtilis. Penelitian lain menemukan bahwa ekstrak air daun Sapindus emarginatus Vahl. mengandung karbohidrat, lemak, protein, alkaloid, flavonoid, steroid, tanin, fenol, saponin, fixed oil, gum, dan mucilago. Ekstrak air tersebut memiliki aktivitas antibakteri terhadap Leuconostoc lactis (Deepa et al., 2011). Menurut Nair et al. (2005), ekstrak metanol daun Sapindus emarginatus memiliki aktivitas antibakteri terhadap M. flavus dan S. epidermidis. Studi aktivitas antibakteri ekstrak daun Sapindus saponaria, baik ekstrak metanol, aseton, dan 1,4-dioksan, menunjukkan bahwa daun Sapindus saponaria memiliki aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus dan Micrococcus albus (Prabhakar et al., 2012).

Buah lerak (Sapindus rarak DC) mengandung senyawa saponin, alkaloid, polifenol, senyawa antioksidan, golongan flavonoid dan tannin (Pratiwi, 2010). Berdasarkan penelitian Siti Nursani (2011), lerak (Sapindus rarak DC) mengandung senyawa saponin, alkaloid, steroid dan triterpen masing-masing berurutan mengandung bahan aktif sebesar 12%, 1%, 0,036%, dan 0,029%. Ekstrak lerak memiliki kandungan saponin dan flavonoid yang diperoleh dari kulit buah, biji, kulit batang, dan daun lerak. Sedangkan alkaloid dan polifenol didapat dari bagian kulit buahnya (Siregar, 2011). Jika ditinjau berdasarkan pendekatan kemotaksonomi, terbukti bahwa Sapindus rarak DC memiliki kesamaan kandungan kimia dengan tanaman genus Sapindus lainnya. seperti: tanin, flavonoid, saponin, alkaloid, triterpen, dan steroid.

Berdasarkan uraian di atas maka disusun makalah yang berjudul, Desain Metode Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Air Buah Lerak (Sapindus rarak DC) terhadap Propionibacterium acnes sebagai Salah Satu Penyebab Jerawat1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah rancangan metode uji aktivitas antiacne ekstrak air buah lerak?

2. Apakah ekstrak air buah lerak memiliki aktivitas sebagai antibakteri terhadap bakteri Propionibakterium acnes sebagai salah satu penyebab jerawat?1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui rancangan metode yang digunakan dalam uji aktivitas antiacne ekstrak air buah lerak.

2. Untuk mengetahui aktivitas antibakteri pada ekstrak air buah lerak terhadap bakteri Propionibakterium acnes sebagai salah satu penyebab jerawat. BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Jerawat

Jerawat merupakan gangguan kulit yang dapat mengakibatkan peradangan pada susunan pilosebaseus. Gangguan kulit ini paling sering terjadi pada kulit berminyak, meskipun tidak tertutup kemungkinan timbul pada jenis kulit lain (Kustanti dkk, 2008). Meskipun biasanya terjadi pada kulit wajah, jerawat juga bisa muncul pada bagian dada, punggung, leher, dan bahu. Jerawat merupakan penyakit kulit paling umum yang terjadi pada semua ras dan menyerang hampir 85% dari remaja dan orang dewasa berusia di antara 12-25 tahun. Jerawat juga dapat muncul kembali pada usia 30-50 tahun. Penyakit ini lebih sering terjadi pada pria remaja dan wanita dewasa. Pada komplikasi jangka panjang, jerawat dapat mengakibatkan jaringan parut permanen dan tekanan psikologis (Chisholm-Burns et al., 2008).

Gambar 2.1 Penampang kulit jangat (dermis) (Kusantati dkk, 2008)Pada dasarnya, jerawat merupakan suatu penyakit radang yang mengenai susunan pilosebaseus yaitu kelenjar minyak dengan folikel rambutnya. Kelenjar minyak terletak pada bagian atas kulit jangat berdekatan dengan folikel rambut yang terdiri dari gelembung-gelembung kecil yang bermuara ke dalam folikel rambut (Chisholm-Burns et al., 2008). Kelenjar minyak memproduksi sebum sedangkan folikel rambut mengeluarkan lemak yang berfungsi untuk melembabkan kulit dan menjaga kelunakan rambut. Selain itu juga berfungsi untuk menjaga kelembaban kulit sehingga tetap sehat, lembut, lentur, muda, dan bebas kerut (Preston, 2001). Terkecuali pada telapak tangan dan telapak kaki, kelenjar minyak terdapat di seluruh bagian tubuh terutama pada bagian wajah. Pada kulit badan terutama pada bagian wajah produksi sebum yang berlebih dari kelenjar minyak akan memudahkan timbulnya jerawat (Chisholm-Burns et al., 2008).Pada dasarnya jerawat disebabkan oleh adanya kotoran dan sel kulit mati yang mengakibatkan folikel dan produksi sebum terhambat. Produksi sebum pada kulit biasanya disalurkan melalui folikel rambut. Kotoran ataupun sel kulit mati yang tidak dibersihkan akan menyumbat saluran tersebut sehingga sebum yang keluar akan bertumpuk dan menjadi komedo. Komedo sebagai bentuk permulaan jerawat berupa gumpalan massa atau sebum yang tersumbat di dalam saluran susunan pilosebaseus. Jika disertai dengan infeksi dari Propionibacterium acnes, komedo akan berkembang menjadi jerawat (Kustanti dkk, 2008).

Pertumbuhan lesi jerawat dipengaruhi oleh empat faktor yaitu produksi sebum berlebih, keratinisasi, pertumbuhan bakteri, dan inflamasi. Produksi sebum berlebih dapat diakibatkan oleh adanya peningkatan level androgen terutama selama masa pubertas. Hal tersebut akan mengakibatkan pada bertambahnya ukuran kelenjar minyak dan menyebabkan produksi sebum berlebih. Ini akan memicu terjadinya penyumbatan folikel dan pembentukan jerawat. Keratinisasi merupakan proses mengelupasnya sel epitel pada folikel rambut (Chisholm-Burns et al., 2008). Pada perkembangan lesi jerawat, hiperkeratinisasi merupakan peristiwa yang paling krusial. Hiperkeratinisasi terjadi karena adanya peningkatan pengelupasan sel dimana terjadi peningkatan jumlah dan ukuran dari keratohylin dan adanya penggumpalan dari butir lemak (Kurokawa et al., 2009). Adanya akumulasi dari penyumbatan folikel rambut menyebabkan tersumbatnya aliran sebum yang memicu terbentuknya lesi jerawat yang biasa dikenal dengan komedo terbuka (blackhead). Propionibacterium acnes merupakan organisme obligat yang bersifat anaerob, bakteri ini juga ditemukan pada flora normal kulit. Propionibacterium acnes dapat mengakibatkan respon inflamasi berupa pembentukan komedo tertutup (whitehead). Respon inflamasi selain dapat mengakibatkan pembentukan komedo juga dapat menyebabkan pembentukan lesi jerawat yang lebih parah, seperti papule (jerawat yang meradang) dan pustule (jerawat yang bernanah) (Chisholm-Burns et al., 2008).

2.1.1 Tahap Terjadinya Jerawat

(a)

(b)

Gambar 2.2 (a) Komedo tertutup; (b) komedo terbuka (Chisholm-Burns et al., 2008)Jerawat terjadi diawali dari adanya penumpukan kotoran dan sel kulit mati disaat kulit dalam kondisi normal. Kurangnya perawatan dan pemeliharaan khususnya pada kulit yang memiliki tingkat reproduksi minyak yang tinggi dapat menyebabkan saluran folikel rambut menjadi tersumbat dan minyak yang keluar akan bertumpuk menjadi komedo. Bila penumpukan kotoran dan sel kulit mati itu terinfeksi oleh bakteri Propionibacterium acnes maka akan timbul jerawat (Kusantati dkk., 2008).

Gambar 2.3 Penampang kulit dalam kondisi normal dan terserang Propionibacterium acnes (Kusantati dkk, 2008)Dalam jangka waktu tertentu, jerawat yang tidak diobati akan mengalami pembengkakan yang sering disebut dengan papule. Disaat peradangan semakin parah, sel darah putih mulai naik ke permukaan kulit yang menyebabkan terbentuknya nanah. Jerawat yang sudah memasuki fase ini sering disebut dengan pustule. Jerawat radang terjadi akibat folikel yang ada di dalam dermis mengembang karena berisi lemak padat, lalu pecah yang menyebabkan serbuan sel darah putih ke area kelenjar minyak, sehingga terjadilah reaksi peradangan. Jerawat radang memiliki ciri berwarna merah, cepat membesar, berisi nanah, dan disertai rasa nyeri. Bila jerawat sudah mengandung nanah, lemak, dan cairan-cairan lain berarti jerawat sudah berada pada kondisi terparah yang biasa disebut cyst. Bila cyst tidak dirawat dengan baik, maka jaringan kolagen akan mengalami kerusakan sampai pada lapisan dermis yang dapat menyebabkan jaringan parut (Kusantati dkk, 2008).

Gambar 2.4 Papule (kiri) dan postule (kanan) (Kusantati dkk, 2008)2.1.2Klasifikasi Bakteri Propionibacterium acnes Kingdom : Bacteria

Phylum : Actinobacteria

Ordo

: Actinomycetales

Familia: Propionibacteriaceae

Genus

: Propionibacterium

Spesies: Propionibacterium acnes

(Isnaini, 2010)

2.1.3Terapi Jerawat

a. Terapi Jerawat secara Tradisional Menurut Usada Bali

Menurut Usada Bali, terapi jerawat dapat dilakukan menggunakan ramuan dari buah lerak. Buah lerak diremas lalu ditambahkan dengan air dan didiamkan sejenak. Untuk cara pemakaiannya, air rendaman buah lerak tersebut digosokkan ke kulit yang mengalami jerawat. Kemudian didiamkan agak lama dan selanjutnya dibilas bagian tersebut dengan menggunakan air hingga bersih (Nala, 1993).

b. Terapi Non Farmakologi

Beberapa terapi non farmakologi yang dapat dilakukan untuk mencegah atau pun menghilangkan jerawat adalah dengan melakukan pembersihan permukaan wajah dengan rutin menggunakan air bersih dan sabun wajah yang sesuai dengan jenis kulit. Penggunaan pelembut dan nondrying cleansing agent juga penting untuk menghindari iritasi dan kulit kering selama dilakukannya terapi jerawat yang lain. Dan perlu diperhatikan penggunaan skin scrub dan mencuci muka secara berlebihan dapat menyebabkan iritasi kulit (Wells et al., 2009). Diet makanan yang tepat juga dapat memberikan pengaruh. Makanan seperti diary product atau pun makanan yang memiliki kandungan glikemik tinggi yang dikonsumsi sehari-hari dapat memicu timbulnya jerawat (Kurokawa et al., 2009).

c. Terapi Farmakologi Benzoil Peroksida

Benzoil peroksida merupakan sediaan topikal yang tergolong non-antibiotik antibakterial dalam terapi jerawat (Wells et al., 2009). Senyawa ini merupakan lini pertama terapi jerawat secara topikal. Senyawa benzoil peroksida bekerja dengan cara membebaskan oksigen sehingga dapat menekan pertumbuhan bakteri anaerob terutama Propionibacterium acnes (Murini, 2003). Selain itu benzoil peroksida dapat meningkatkan tingkat mengelupasnya sel epitel kulit dan mengurangi penyumbatan pada folikel yang akan berpengaruh pada tingkat aktivitas komedolitik (Wells et al., 2009).

Asam Retinoin

Asam retinoin atau tretinoin merupakan obat untuk terapi jerawat yang bekerja dengan cara memblok katabolisme dari endogenus vitamin A (Kurokawa et al., 2009). Asam retinoin memiliki khasit komedolitik dan dapat mengurangi inflamasi (Murini, 2003). Dalam sediaan, asam retinoin dengan kadar 0,05% dalam bentuk larutan yang bersifat mengiritasi, 0,01% dan 0,025% dalam bentuk gel, dan 0,025%, 0,05%, dan 0,1% dalam bentuk krim (Wells et al., 2009). Kombinasi pemakaian dengan benzoil peroksida pada pagi hari dan asam retinoin pada malam hari akan meningkatkan kemanjuran dan mengurangi iritasi dibandingkan dengan pemakaian tunggal (Murini, 2003).

Resorsinol, Asam salisilat, dan Sulfur

Resorsinol, asam salisilat, dan sulfur merupakan lini kedua terapi jerawat secara topikal. Ketiganya mempunyai efek keratolitik dan antibakterial selain itu asam salisilat juga memiliki efek komedolitik dan anti-inflamasi (Wells et al., 2009). Konsentrasi untuk terapi jerawat berkisar antara 3-4%. Absorpsi akan terjadi apabila dipakai pada area yang luas. Efek samping yang dapat ditimbulkan pada pemakaian jangka panjang adalah berpengaruh pada kelenjar tiroid dan metamoglobinemia. Kombinasi penggunaan ketiganya (resorsinol dan sulfur; resorsinol dan asam salisilat) akan menimbulkan efek sinergis untuk terapi jerawat (Murini, 2003). Kombinasi penggunaan memberikan efek iritasi yang lebih rendah namun tidak dengan aktivitas komedolitiknya jika dibandingkan dengan benzoil peroksida atau asam retinoin (Wells et al., 2009). Isotretinoin

Isotretinoin berfungsi dalam terapi jerawat dengan mengurangi produksi dari sebum, mengubah komposisi sebum, menghambat pertumbuhan Propionibacterium acnes, menghambat inflamasi, dan mengubah pola keratinisasi kelenjar. Terapi dengan menggunakan isotretinoin dipilih untuk jerawat yang telah memasuki tahap nodula parah (Wells et al., 2009).

Klindamisin

Klindamisin menghambat pertumbuhan Propionibacterium acnes dan memberikan aktivitas komedolitik dan antiinflamasi. Klindamisin terdapat pada konsentrasi 1% atau 2% dalam sediaan gel, lotion, larutan, foam, dan formulasi disposable pad yang biasanya digunakan 2 kali sehari. Kombinasi dengan benzoil peroksida akan meningkatkan efek terapi yang ditimbulkan (Wells et al., 2008).2.2Uraian Tanaman

2.2.1Klasifikasi Tanaman

Divisi

: Spermatophyta

Sub divisi

: Angiospermae

Kelas

: Dicotyledons

Sub Kelas

: Rosidae

Bangsa

: Sapindales

Suku

: Sapindaceae

Marga

: Sapindus

Spesies

: Sapindus rarak DC

(Siregar, 2011)

2.2.2Deskripsi Tanaman

Lerak (Sapindus rarak DC) merupakan tanaman rimba yang tingginya mencapai 42 m dan lebarnya 1 m. Tanaman ini tumbuh liar di Jawa pada ketinggian antara 450 dan 1500 m diatas permukaan laut (Pratiwi, 2010). Tanaman ini mempunyai batang berwarna putih kotor, berakar tunggang, dan berwarna kuning kecoklatan. Tanaman ini memiliki daun majemuk menyirip ganjil dan anak daun berbentuk lanset. Bunganya melekat di pangkal, kuning, dan memiliki mahkota daun berjumlah empat. Buahnya keras, bulat, berwarna kuning kecoklatan, dan memiliki diameter 1,5 cm. Buah lerak (Sapindus rarak DC) terdiri dari 73% daging buah dan 27% biji (Siregar,2011). Dengan permukaan buah yang licin, biji buahnya bundar berwarna hitam, dan daging buah sedikit berlendir serta memiliki aroma yang wangi (Sagala, 2011).

Gambar 2.5 Buah lerak (Sapindus rarak DC) (Sagala, 2011)

2.2.3Kandungan Kimia

Buah lerak mengandung senyawa saponin, alkaloid, polifenol, senyawa antioksidan, golongan flavonoid dan tannin (Pratiwi, 2010). Berdasarkan penelitian Siti Nursani (2011), lerak (Sapindus rarak DC) mengandung senyawa saponin, alkaloid, steroid dan triterpen masing-masing berurutan mengandung bahan aktif sebesar 12%, 1%, 0,036%, dan 0,029%. Ekstrak lerak memiliki kandungan saponin dan flavonoid yang diperoleh dari kulit buah, biji, kulit batang, dan daun lerak. Sedangkan alkaloid dan polifenol didapat dari bagian kulit buahnya (Siregar, 2011).

Gambar 2.6 Ekstrak lerak (Sagala, 2011)2.2.4Manfaat Tanaman

Lerak (Sapindus rarak DC) dapat dimanfaatkan bahan pencuci, selain itu juga dapat digunakan sebagai pembersih peralatan dapur, lantai, serta dapat digunakan untuk memandikan binatang peliharaan. Hal ini disebabkan karena kandungan saponin pada biji lerak, kandungan saponin inilah yang dapat menghasilkan busa (Solikhin dkk, 2011).

Secara tradisional, lerak (Sapindus rarak DC) juga digunakan sebagai sabun wajah untuk mengurangi jerawat, obat eksim, dan kudis. Sementara khasiat farmakologisnya antara lain sebagai anti jamur, bakterisida, anti-inflamasi, anti spasmodinamik, peluruh dahak, dan diuretik. Kandungan saponin dari buah lerak juga dapat dikembangkan sebagai bahan baku untuk membuat sampo. Kandungan senyawa fenol yang terkandung dapat menghambat enzim penting mikroorganisme, sedangkan alkaloid sudah digunakan berabad-abad dalam bidang medis karena dapat melawan sel asing melalui ikatan DNA sel sehingga mengganggu fungsi sel (Siregar, 2011).

Senyawa saponin pada buah lerak efektif untuk menekan produksi gas metana dalam rumen ternak ruminansia, salah satu gas yang memberikan efek rumah kaca. Buah lerak juga dapat digunakan sebagai insektisida dan bahan pestisida karena kandungan saponin dan alkaloid. Selain itu, lerak (Sapindus rarak DC) dapat berfungsi sebagai zat pengatur tumbuh tanaman untuk memacu pertumbuhan tanaman (Sumiasri, 2012).

2.3 Metode Uji Aktivitas

2.3.1 Uji secara in vitroUntuk melakukan pengujian aktivitas antibakteri secara in vitro ada beberapa metode yang dapat digunakan diantaranya metode difusi, dilusi, dan bioautografi. Metode difusi termasuk metode uji agar-overlay menggunakan cakram. Cakram disini berfungsi sebagai reservoir, mengandung sampel yang akan diuji. Cakram selanjutnya ditanam pada agar-plate yang telah diinokulasi dengan bakteri, lalu diinkubasi. Selama inkubasi akan terjadi proses difusi dari sampel ke agar yang akan menyebabkan timbulnya zona hambat disekitar cakram. Diameter dari zona hambat yang terbentuk kemudian diukur. Untuk memperoleh batas deteksi yang lebih rendah, proses inokulasi dilakukan pada temperatur yang lebih rendah, hal ini akan mempengaruhi proses difusi dan dapat meningkatkan diameter hambatan yang diperoleh. Selanjutnya, dihitung nilai MIC dengan menggunakan persamaan regresi linier. Keuntungan dari metode ini, sampel yang dibutuhkan sedikit, dapat digunakan untuk menguji lima sampai enam senyawa terhadap mikroorganisme tunggal (Rios et al., 1988).Metode dilusi biasa digunakan sebagai uji pendahuluan pada uji skrining bioaktivitas antibakteri. Pada metode difusi terjadinya dispersi yang homogen sangatlah penting baik pada media cair maupun media padat. Pada metode difusi cair, terjadinya kekeruhan digunakan sebagai indikator ada atau tidaknya suatu bakteri. Tingkat inhibisi yang dapat dihasilkan dari suatu antibakteri dapat ditentukan dari kekeruhan yang terjadi pada medium yang digunakan dan selanjutnya diukur menggunakan spektrofotometer (Rios et al., 1988). Metode bioautografi merupakan metode deteksi yang paling penting yang digunakan untuk senyawa antimikroba baru atau yang belum teridentifikasi. Metode ini menggunakan teknik Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dalam pengerjaannya.Zona hambat dari sampel antibakteri yang diuji diamati dengan menggunakan dehydrogenase-activity-detecting reagents. Metode ini efektif digunakan untuk mengetahui senyawa atau fraksi yang berperan sebagai antibakteri, namun karena metode ini menggunakan teknik KLT maka akan dibutuhkan biaya yang lebih mahal, waktu preparasi plat KLT yang lebih lama, pengerjaannya harus dilakukan dengan teliti agar tidak terjadi over-lapping zona hambat (Rios et al., 1988).2.3.2 Uji secara in vivo

Ada beberapa metode uji aktivitas antiacne secara in vivo yang dapat digunakan diantaranya aktivitas dari kelenjar sebaseus pada telinga kelinci dan aktivitas dari kelenjar sebaseus pada tikus. Uji secara in vivo yang dilakukan dengan melihat aktivitas dari kelenjar sebaseus pada telinga kelinci biasa digunakan untuk mempelajari proses pembentukan komedo dan untuk mengevaluasi potensi dari obat antiacne. Folikel sebaseus pada permukaan telinga kelinci bagian dalam sangatlah sensitif terhadap berbagai zat yang dapat memicu pertumbuhan komedo, terutama yang diaplikasikan secara topikal. Munculnya induksi komedo akan terjadi sekitar dua minggu setelah penggunaan sediaan atau zat zat yang dapat menginduksi pertumbuhan komedo secara topikal, seperti 50% asam oleat (Vogel et al., 2002).

Uji aktivitas antiacne dengan metode ini dapat dilakukan menggunakan kelinci jantan dengan berat 2,5-3,5 kg. Testosteron dan dimetil sulfoksida, dioleskan secara terpisah pada daun telinga kelinci, satu kali sehari selama empat minggu. Biopsi dilakukan pada daun telinga di hari pertama, ketiga, ketujuh, dan kedua puluh delapan. Daun telinga yang tidak diobati dan daun telinga yang di-treatment dengan squalene (prekusor metabolik dari sterol) digunakan sebagai kontrol. Pada metode ini, evaluasi dilakukan dengan mengukur volume kelenjar sebaseus dan jumlah komedo yang terbentuk (Vogel et al., 2002).

Sedangkan, metode uji aktivitas antiacne pada kelenjar sebaseus dari tikus didasarkan pada inhibisi sekresi sebum. Produksi sebum meningkat disebabkan oleh androgen endogenus atau eksogenus. Pada tikus jantan, hormon seks akan menstimulasi produksi sebum dan pertumbuhan kelenjar sebaseus. Adanya akumulasi testosteron yang berlebih dapat menyebabkan terjadinya pembesaran kelenjar sebaseus. Perubahan awal ditunjukkan dengan terjadinya perubahan morfologi dari organel organel pada sel sebaseus, yang dapat diamati dengan menggunakan mikroskop elektron (Vogel et al., 2002).

Uji aktivitas dengan menggunakan metode ini dapat dilakukan dengan menggunakan lima kelompok tikus jantan dewasa dari galur Sprague-Dawley yang memiliki berat 180-220 gram. Pada kelompok tikus jantan tersebut dilakukan pencukuran bulu di daerah intraskapular. Setelah 24 jam, dilakukan tes pendahuluan dengan menggunakan menginduksikan cyproterone acetate di daerah yang dicukur dengan dosis 0,05 mg/cm2 ; 0,5 mg/cm2 ; 5 mg/cm2 di dalam 20 l etanol. Kelompok kontrol diberi perlakuan berupa pengolesan etanol di daerah pencukuran. Perlakuan ini dilakukan selama 3 minggu. Kelompok hewan uji dikorbankan untuk diambil kulit dibagian intraskapular-nya setelah didiamkan 24 jam terhitung dari terakhir kali diberi perlakuan. Kulit di daerah intraskapular dipotong lalu dievaluasi menggunakan mikroskop elektron. Kemudian dilanjutkan dengan pengukuran volume densitas dari vesikula retikulum endoplasma halus (Vogel et al., 2002).

BAB III

METODE UJI DAN ANALISA HASIL

3.1 Metode Uji

3.1.1 Prinsip Metode Uji

Jerawat umumnya dicirikan dengan adanya bakteri Propionibacterium acnes. Bakteri ini terlibat dalam proses peradangan pada jerawat dengan kemampuannya untuk mengaktifkan komplemen dan memetabolisme trigliserida sebaseus menjadi asam lemak, yang secara kimia akan menarik sel darah putih dan menyebabkan nanah (Kumar et al., 2007; Kusantati dkk, 2008). Oleh karena itu, rancangan metode skrining aktivitas antiacne dalam penelitian ini ditekankan pada pengujian aktivitas antibakteri menggunakan Propionibacterium acnes.

Dalam melakukan skrining bioaktivitas bahan alam, idealnya suatu uji diawali dengan uji secara in vitro, kemudian dilanjutkan dengan uji in vivo. Keuntungan uji dengan metode in vitro adalah hanya dibutuhkan sedikit senyawa uji dalam penelitian, waktu uji lebih cepat, dan membutuhkan biaya yang lebih sedikit.

Aktivitas antibakteri terhadap bakteri Propionibacterium acnes sebagai salah satu penyebab jerawat diuji secara in vitro menggunakan metode difusi cakram. Metode ini dipilih karena cepat, sederhana, dan murah jika dibandingkan dengan metode metode uji aktivitas lainnya. Pada prinsipnya, agar plate yang diinokulasi dengan bakteri kemudian cakram antibakteri ditanam pada agar plate. Cakram yang digunakan untuk uji difusi cakram yang mengandung sejumlah agen antibakteri. Agen antibakteri akan berdifusi ke dalam agar ketika kontak dengan permukaan agar. Agar plate kemudian diinkubasi. Selama inkubasi, agen antibakteri berdifusi ke agar dan menghambat pertumbuhan bakteri, sehingga menghasilkan zona hambat di sekitar cakram. Setelah inkubasi, diameter zona ini diukur dan hasilnya diinterpretasikan (Karlsmose, 2010).

Efektivitas suatu agen antibakteri dapat ditentukan dari kemampuannya menghambat pertumbuhan bakteri. Kemampuan menghambat pertumbuhan mikroba dikenal sebagai MIC (Minimal Inhibitory Concetration) (Bonev et al., 2008). MIC merupakan konsentrasi terkecil dari agen antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme (Kumar et al., 2007).

3.1.2 Alat, Bahan, dan Subjek Penelitian

a. Alat

Tabung reaksi, pipet ukur, laminar air flow, pemanas bunsen, cawan petri, jarum ose, penggaris, mikro pipet, pinset, kertas Whatman No. 1, kertas cakram Whatman No. 2, inkubator, termometer, grinder, anaerobic jar, kertas saring berukuran 0,45 m, penangas air.b. Bahan

Buah lerak (Sapindus rarak DC), air suling, medium BHI (Brain Heart Infusion) yang diberi suplemen 1 % glukosa, klindamisin.c. Subjek Penelitian

Bakteri Propionibacterium acnes MTCC 1951 (Kumar et al., 2006)

3.1.3 Prosedur

a. Prosedur Ekstraksi

Pericarp lerak (Sapindus rarak DC) dicuci, kemudian dikeringkan pada suhu kamar dan diserbuk. 25 gram serbuk dimasukkan ke dalam gelas beker ukuran 250 mL ditambahkan 100 mL air suling, diekstraksi pada suhu 100o C selama 1 jam. Filtrat disaring dengan kertas saring Whatman No 1. Filtrat dikumpulkan dan disimpan pada suhu 4oC. Sebelum dilakukan uji, ekstrak disaring dengan kertas saring berukuran 0,45 m (Liang et al., 2006).b. Kultivasi bakteri

Propionibacterium acnes MTCC 1951 diinkubasi pada medium Brain Heart Infusion (BHI) dengan glukosa 1% pada suhu 37 C selama 72 jam pada kondisi anaerob dan konsentrasinya disesuaikan melalui hitungan mikroskopis langsung sebelum dilakukan uji (Kumar et al., 2006; Zu et al., 2010).c. Kelompok Perlakuan

Pada uji aktivitas antiacne ini ada lima kelompok perlakuan yaitu:

1. Kelompok I (kontrol negatif)

Kelompok ini diberi pembawa ekstrak, yaitu air. 2. Kelompok II (kontrol positif)

Kelompok ini diberikan klindamisin (2 g/cakram). Klindamisin digunakan sebagai standar karena klindamisin merupakan sediaan yang umum digunakan sebagai antiacne topikal. Klindamisin memiliki mekanisme kerja dengan menghambat sintesa protein bakteri. Sebelumnya klindamisin dilarutkan dengan 5 L air suling (Lalitha, 2004).3. Kelompok III, IV, V (perlakuan)

Kelompok ini diberi perlakuan dengan ekstrak air pericarp lerak, dengan variasi dosis 4 mg/mL, 8 mg/mL, dan 16 mg/mL. Pemilihan dosis ini berdasarkan pendekatan yang dilakukan dari penelitian Liang et al (2006) kadar hambat minimum ekstrak air pericarp buah lerak sebesar 8-10 mg/mL. Konsentrasi 8 mg/mL digunakan sebagai acuan dan variasi dibuat dengan faktor 2.

d. Uji Difusi Cakram

Media agar BHI diusap dengan suspensi bakteri dengan kadar 108 CFU/mL dan disimpan pada suhu 4C selama 30 menit. Medium dibagi menjadi 5 bagian. Cakram berupa kertas saring Whatman No. 2 steril (diameter 6 mm) diresapi dengan 5 L larutan uji (perlakuan III-V) dan cakram ditempatkan pada permukaan media. Cawan petri diinkubasi pada kondisi anaerob dengan suhu 37C selama 24 jam. Percobaan dilakuan 6 kali dan diameter zona hambat diukur (Zu et al., 2010; Rios et al., 1988). Skema pengujian dapat dilihat pada gambar di bawah ini:1. Prosedur ekstraksi

2. Penyiapan bakteri Propionibacterium acnes

3. Prosedur pengujian skrining bioaktivitas antiacne

3.2 Analisis Data

Gambar 3.1 Ilustrasi zona hambat yang terbentuk pada medium Keterangan:

y adalah zone hambat

r adalah jari-jari

d adalah diameter

(Hewitt, 2005)

Zona hambat dihitung dengan persamaan berikut.

Data zona hambat dianalisis secara statistik menggunakan aplikasi SPSS 17 for Windows dengan uji Kolmogorov-Smirnov untuk melihat distribusi data dan dengan uji Lavene Test untuk melihat homogenitas data. Jika distribusi data normal dan homogen, maka analisis dilanjutkan dengan analisis pola searah (ANOVA-one way) dengan taraf kepercayaan 95% dan uji LSD untuk mengetahui perbedaan masing-masing kelompok.

Hasil yang diharapkan adalah pada kelompok yang diberikan ekstrak buah lerak (kelompok perlakuan) memiliki zona hambat yang lebih besar dan berbeda bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif sehingga dapat disimpulkan bahwa ekstrak buah lerak memiliki aktivitas antibakteri terhadap Propionibacterium acnes. Ekstrak buah lerak dikatakan memiliki aktivitas yang sama dengan kontrol positif (klindamisin) apabila kelompok perlakuan memiliki zona hambat yang tidak berbeda bermakna dengan kontrol positif. Ekstrak buah lerak dikatakan memiliki aktivitas yang lebih besar dibandingkan kontrol positif apabila kelompok perlakuan memiliki zona hambat yang lebih besar dan berbeda bermakna dengan kontrol positif.

Untuk menghitung MIC dibuat kurva antara natural logarithm (ln) konsentrasi esktrak vs nilai kuadrat zona hambat (y2). Nilai MIC ditentukan melalui interesep 0 dari persamaan regresi linier tersebut. Anti(ln) dari nilai titik perpotongan kurva dengan sumbu x adalah MIC (Bonev et al., 2008).

Ekstrak uji digolongkan sangat aktif sebagai antibakteri apabila memiliki nilai MIC kurang dari 1 mg/mL dan digolongkan cukup aktif sebagai antibakteri apabila memiliki nilai MIC di antara 1-10 mg/mL (Liang et al., 2006).DAFTAR PUSTAKAAhmad, I dan A.Z. Beg., 2001. Antimicrobial and Phytochemical Studies on 45 Indian Medicinal Plants against Multi-drug Resistant Human Pathogens. Journal of Ethnopharmacology 74 (2001) 113123.

Bialecka, Anna., M. Mak, R. Biedron, M. Bobek, A. Kasprowicz, dan J. Marcinkiewicz. 2005. Different Pro-inflammatory and Immunogenic Potentials of Propionibacterium acnes and Staphylococcus epidermidis: Implications for Chronic Inflammatory Acne. Arch Immunol Ther Exp, 2005, 53, 79-85.Bonev, B., J. Hooper, dan J. Parisot. 2008. Principles of Assessing Bacterial Susceptibility to Antibiotics Using the Agar Diffusion Method. Journal of Antimicrobial Chemotherapy (2008) 61, 12951301.Chisholm-Burns, M. A., B.G. Wells., T. L. Schwinghammer., P.M. Malone, J.M. Kolesar, J.C. Rotschafer, J.T. Dipiro. 2008. Pharmacotheraphy Principles and Practice. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc. hal 1000-1006.Coates, P.,S. Vyakrnam,E.A. Eady,C.E. Jones,J.H. Cove, dan W.J.Cunliffe. 2002. Prevalence of Antibiotic-Resistant Propionibacteria on The Skin of Acne Patients: 10-Year Surveillance Data and Snapshot Distribution Study. Br J Dermatol.146(5):840-8.

Deepa., Elamathi R, Kavitha R, Kamalakannan, Sridhar S, dan S. Kumar. 2012. Screening for Physical, Phytochemical and Antimicrobial Activities of Leaf Extracts of Sapindus emarginatus Vahl. International Journal of PharmTech Research Vol.4, No.1, pp 392-397.

Dey, K.S., D. Banerjee, S. Chattapadhyay, dan K.B. Karmakar. 2010. Antimicrobial Activities of Some Medicinal Plants of West Bengal. International Journal of Pharma and Bio Sciences Vol.1/Issue-3/ISSN 0975-6299.Eady E.A,M Gloor,dan J.J. Leyden. 2003. Propionibacterium Acnes Resistance: A Worldwide Problem. Dermatology.206(1):54-6.

Hewitt, W.. 2005. Microbiological Assay for Pharmaceutical Analysis: A Rational Approach. Washington DC: CRC Press LLC. hal 12.Isnaini, S.N. 2010. Isolasi Rare Actionomycetes dari Pasir Pantai Depok Daerah Istimewa Yogyakarta yang Berpotensi Antibiotik terhadap Propionibacterium Acne. Surakarta: Universitas Muhammadiah Surakarta. hal 6.Karlsmose, S. 2010. Laboratory Protocol: Susceptibility Testing of Enterobacteriaceae Using Disk Diffusion. Denmark: Department for Microbiology and Risk Assessment National Food Institute Technical University of Denmark. hal 3Kumar, G.S., K.N. Jayaveera, C.K.A. Kumar, U.P. Sanjay, B.M.V. Swamy, D.V.K. Kumar. 2007. Antimicrobial Effects of Indian Medicinal Plants against Acne-Inducing Bacteria. Tropical Journal of Pharmaceutical Research 6 (2): 717-723.Kurokawa, I., F.W. Danby, Q. Ju, X.W., L.F. Xiang, L. Xia, W. Chen, I. Nagy, M. Picardo, D.H. Suh, R. Ganceviciene, S. Schagen, F. Tsatsou dan C.C. Zouboulis. 2009. New Developments in Our Understanding of Acne Pathogenesis and Treatment. Experimental Dermatology, 18, 821832.Kusantati, H., P.T. Prihatin, W. Wiana. 2008. Tata Kecantikan Kulit untuk Sekolah Menengah Kejuruan Jilid 1. Jakarta: DirektoratPembinaanSekolah MenengahKejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen PendidikanNasional. Hal 65, 73-77.Lalitha. 2004. Manual on Antimicrobial Susceptibility Testing. Tamil Nadu: Department of Microbiology Christian Medical College. hal 45-47Liang, Z.C., S.C. Liao, H.F. Lan, C.Y. Wu. 2006. Antimicrobial Effect of Water Extract of Sapindus mukorossi Gaertn on Food Borne Bacteria. Changhua, Yunlin, and Chiayi Colleges Alliance, First Conference Proceedings. hal: 645-655.Murini, T. 2003. Obat Jerawat Topikal dan Bentuk Sediaannya yang Beredar di Indonesia. Jurnal Kedokteran Yarsi 11 (2): 104-110.Nair, R., T. Kalariya, S. Chanda. 2005. Antibacterial Activity of Some Selected Indian Medicinal Flora. Turk J Biol 29 (2005) 41-47.

Nala, N. 1993. Usada Bali. Denpasar: PT. Upada Sastra. hal 250.Prabhakar, Thota., B.P. Kumar, N.R.V. Bathula, G.S. Reddy, dan C.S. Kumari. 2012. In Vitro Studies on Antimicrobial Screening of Leaf Extracts of Sapindus Saponaria against Common Dental Pathogens. Plant Sciences Feed Vol. 2 Issue 2.

Pratiwi, M. 2010. Efek Ekstrak Lerak (Sapindus rarak DC) 0,01% terhadap Penurunan Sel-Sel Radang pada Tikus Wistar Jantan (Penelitian In Vivo). Medan: Universitas Sumatera Utara. hal 15-16.Preston, R. 2001. Acne - How to Prevent and Overcome Acne Forever. USA: the International Insitute of Nutritional Research. hal.2.Rios, J.L., M.C. Recio, dan A. Villar. 1988. Screening Methods for Natural Products with Antimicrobial Activity: A Review of the Literature. Journal of EthnophaImacology, 23 (1988) 127- 149.Sagala, W. 2011. Analisis Biaya Pakan dan Performa Sapi Potong Lokal pada Ransum Hijauan Tinggi yang Disuplementasi Ekstrak Lerak (Sapindus rarak). Bogor: Institut Pertanian Bogor. hal 17.Sawarkar, H.A., S.S. Khadabadi, D.M. Mankar, I.A. Farooqui, N.S. Jagtap. 2010. Development and Biological Evaluation of Herbal Antiacne Gel. International Journal of PharmTech Research Vol.2, No.3, pp 2028-2031.Siregar, S.N. 2011. Sitotoksisitas Ekstrak Lerak (Sapindus Rarak Dc) Terhadap Sel Fibroblas sebagai Bahan Irigasi Saluran Akar Secara In Vitro. Medan: Universitas Sumatera Utara. hal 9-11.Sirohi, S.K., N. Pandey, N. Goel, B. Singh, M. Mohini, P. Pandey, dan P.P. Chaudhry. 2009. Microbial Activity and Ruminal Methanogenesis as Affected by Plant Secondary Metabolites in Different Plant Extracts. World Academy of Science, Engineering and Technology 51 2009.Solikhin, A., M. Alfajri, dan R.F. Hasyim. 2011. Pemanfaatan Lerak (Sapindus rarak DC) sebagai Sabun Nabati yang Ramah Lingkungan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. hal 12.Suhagia, B.N., I.S. Rothod, dan S. Sindhu. 2011. Sapindus Mukorossi (Areetha): An Overview. IJPSR (2011); Vol. 2(8): 1905-1913.Sumiasri, N., D. Priadi, dan I.N.K. Kabinawa. 2012. Pengaruh Berbagai Konsentrasi Zat Pengatur Tumbuh Sakawa terhadap Perkecambahan Biji dan Pertumbuhan Semai Lerak (Sapindus rarak DC) pada Media Kompos. Bandung: Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI. hal 2.Vijayalakshmi, A. Tripura, dan V. Ravichandiran. 2011. Development and Evaluation of Anti-Acne Products from Terminalia arjuna Bark. International Journal of ChemTech Research Vol.3, No.1, pp 320-327.

Vogel, W.H., B.A. Scholkens., J. Sandow., G. Muller., W.F. Vogel. 2002. Drug Discovery and Evaluation Pharmacological Assays Second Edition. Germany: Springer-Verlag Berlin Heidelberg. hal: 1336, 1339.Wells, B.G., J.T. Dipiro, T.L. Schwinghammer, C.V. Dipiro. 2009. Pharmacotherapy Handbook Seventh Edition. USA: The McGraw-Hill Companies. hal 179-185.Zu, Y., H. Yu, L. Liang, Y. Fu, T. Efferth, X. Liu, and N. Wu. 2010. Activities of Ten Essential Oils towards Propionibacterium acnes and PC-3, A-549 and MCF-7 Cancer Cells. Molecules 2010, 15, 3200-3210.Berita Acara Diskusi

Diskusi 4:Desain Metode Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Air Buah Lerak (Sapindus Rarak Dc) terhadap Propionibacterium Acnes sebagai Salah Satu Penyebab JerawatHari/Tanggal: Selasa, 1 Mei 2012Anggota Kelompok : 1. Ni Putu Asri Ramayati / 0908505031

2. Ni Made Oka Dwicandra / 0908505071Tanya Jawab:

1. Penanya 1 (Ni Made Ary Sukmawati/0908505002)

Dalam analisis data, dilakukan uji homogenitas. Data yang mana yang diuji homogenitasnya?

Jawab (Ni Made Oka Dwicandra/0908505071)

Uji homogenitas dilakukan pada semua kelompok uji, baik kontrol negatif, kontrol positif, perlakuan I, II, dan III. Homogenitas data zona hambat pada setiap kelompok diuji homogenitasnya dengan data zona hambat kelomok itu sendiri. Misalnya untuk kontrol perlakuan I, uji homogenitas dilakukan dengan data zona hambat pada perlakuan I lainnya.

2. Penanya 2 (Sagung Tri Diah Purwani/0908505067)

Propionibacterium acnes merupakan flora normal tubuh manusia. Apakah aktivitas antibakteri terhadap Propionibacterium acnes yang merupakan bakteri penyebab jerawat tidak membahayakan bagi keseimbangan flora normal tubuh?

Jawab (Ni Putu Asri Ramayati/0908505031) Bakteri ini terlibat dalam proses inflamasi pada jerawat dengan kemampuanya untuk mengaktifkan komplemen dan memetabolisme trigliserida sebaseus menjadi asam lemak, (Kumar et al., 2007). Dari pernyataan tersebut diketahui bahwa dengan adanya komponen sebum atau trigliserida yang tinggi menyebabkan bakteri Propionibacterium acnes akan aktif dalam proses metabolisme trigliserida menjadi asam lemak yang akhirnya menginduksi terjadinya inflamasi, sehingga pertumbuhan Propionibacterium acnes perlu dihambat

3. Penanya 3 (Made Surya Wedana J.S./0808505022.)

Selain Propionibacterium acnes, ada bakteri penyebab jerawat lain, yaitu Staphylococcus epidermidis. Mengapa dalam metode uji yang anda gunakan, anda lebih memilih Propionibacterium acnes sebagai subjek uji?

Jawab (Ni Made Oka Dwicandra/0908505071)

Sebenarny ada 2 bakteri yang banyak ditemukan pada lesi jerawat, yaitu Propionibacterium acnes dan Staphylococcus epidermidis. Tapi berdasarkan publikasi oleh Bialecka et al. (2005) dikatakan bahwa hanya Propionibacterium acnes yang berperan dalam patogenesis jerawat, yaitu pada proses inflamasinya. Studi yang dilakukan oleh Bialecka et al. ini juga menunjukkan bahwa Staphylococcus epidermidis tidak berperan dalam proses inflamasi jerawat sehingga kami memilih Propionibacterium acnes sebagai subjek uji karena hubungannya lebih linier dengan jerawat itu sendiri.

4. Penanya 4 (Luh Putu Verryani Ayu Savitri/0908505048)

Mengapa anda memilih menggunakan medium BHI? Mengapa terdapat dua waktu inkubasi yang berbeda?

Jawab (Ni Putu Asri Ramayati/0908505031)

Dari beberapa literatur yang kami dapatkan, medium yang digunakan untuk Propionibacterium acnes adalah medium BHI (Vijayalaksmi, 2011; Zu et al., 2010; Kumar et al., 2007). Waktu inkubasi dibuat berbeda, yaitu inkubasi pertama dilakukan pada suhu 37 C selama 72 jam pada kondisi anaerob dan inkubasi kedua dilakukan pada suhu yang sama selama 24 jam. Inkubasi pertama bertujuan untuk kultivasi atau mengembangbiakkan bakteri Propionibacterium acnes sehingga waktu inkubasinya lebih panjang dibandingkan inkubasi kedua. Inkubasi kedua sendiri bertujuan mengetahui ada tidaknya aktivitas antibakteri ekstrak terhadap bakteri Propionibacterium acnes.

5. Penanya 5 (Andri Normansyah/0908505009)

Apakah metode uji aktivitas yang anda lakukan secara in vitro dapat menggambarkan pengujian secara in vivo? Bagaimana korelasinya?

Jawab (Ni Made Oka Dwicandra/0908505071)

Pengujian secara in vitro dilakukan sebagai uji pendahuluan untuk mengetahui aktif atau tidaknya ekstrak terhadap bakteri penyebab jerawat, yaitu Propionibacterium acnes. Apabila secara in vitro ekstrak terbukti aktif, maka dapat dilakukan uji selanjutnya, yaitu uji in vivo. Uji in vitro tidak dapat menggambarkan aktivitas uji in vivo, sebab pada uji in vivo, berbagai faktor sangat mempengaruhi hasil pengujian, seperti proses absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Untuk itu, untuk mengetahui apakah ekstrak aktif ketika digunakan pada hewan coba, perlu dilakukan uji in vivo lagi.

6. Penanya 6 (Putu Aan Pustiari/0908505074)

Mengapa anda memilih konsentrasi Propionibacterium acnes sebesar 3x108/mL Apakah jumlah tersebut sebanding dengan jumlah Propionibacterium acnes di kulit?

Jawab (Ni Putu Asri Ramayati/0908505031)

Dasar pemilihan konsentrasi bakteri Propionibacterium acnes yang dilakukan pada uji ini tidak didasarkan atas jumlah bakteri tersebut pada kulit yang berjerawat. Pemilihan konsentrasi bakteri ini lebih didasarkan pada validitas hasil dari metode yang digunakan. Beberapa publikasi (Vijayalaksmi, 2011; Zu et al., 2010; Kumar et al., 2007) menggunakan konsentrasi tersebut untuk penelitian. Hal tersebut menunjukkan konsentrasi 3108 dapat memberikan data yang valid. Pada uji mikrobiologi, jumlah bakteri yang terlalu banyak atau terlalu sedikit dapat mempengaruhi hasil pengujian. Contohnya pada perhitungan jumlah koloni, 30-300 koloni akan memberikan perhitungan yang akurat. Jumlah koloni yang terlalu banyak atau sedikit akan memberikan hasil perhitungan yang tidak valid sehingga konsentrasi bakteri memegang peranan penting dalam uji antibakteri.

7. Penanya 7 (G.A.P. Candra Dewi/0908505054) Mengapa dilakukan pemindahan bakteri ke media yang baru? Mengapa tidak langsung saja diusapkan di media lama agar jumlah bakteri yang ada pada media lebih homogen?

Jawab (Ni Made Oka Dwicandra/0908505071)

Pemindahan bakteri dilakukan untuk memberikan konsentrasi bakteri yang memberikan data hasil uji yang valid. Kehomogenan bakteri pada media agar dilakukan dengan mengusapkan bakteri dengan 3 arah.

8. Penanya 8 (A A Ayu Indrasuari/0908505027)

Mengapa anda memilih menggunakan air sebagai pelarut pengekstrak? Mengapa anda memilih suhu 100oC dalam proses ekstraksi?

Jawab (Ni Putu Asri Ramayati/0908505031)

Metode ekstrasi yang kami lakukan mengacu pada publikasi mengenai uji aktivitas antibakteri ekstrak air Sapindus mukorossi yang terbukti memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri gram positif dan gram negatif (Liang et al., 2006).9. Penanya 9 (Charli Chanjaya/0908505073)

Saran: Judul sebaiknya diganti dengan uji aktivitas antibakteri terhadap bakteri Propionibacterium acnes, bukan uji antiacne.

Jawab (Ni Putu Asri Ramayati/0908505031)

Kami menerima saran tersebut, sehingga kami mengganti judul makalah kami menjadi Desain Metode Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Air Buah Lerak (Sapindus rarak DC) terhadap Propionibacterium Acne sebagai Salah Satu Penyebab Jerawat.

10. Penanya 10 (Ni Putu Ariantari, S.Farm.,M.Farm.,Apt/NIP: 198112072005022006)

Bagaimana cara membuat kondisi menjadi anaerob dan menetahui kondisi masih anaerob?

Jawab (Ni Made Oka Dwicandra/0908505071)

Kondisi anaerob dilakukan dengan menyimpan petri yang digunakan dalam anaerobic jar dengan gas pack dan indikator strip jar tersebut disimpan dalam inkubator. Gas packs mengandung citric acid, sodium carbonate and sodium borohydride yang digunakan untuk menjaga dan mengecek kondisi anaerob, di mana citric acid melepaskan karbon dioksida dan sodium borohydride melepaskan hidrogen ketika terjadi kontak dengan oksigen. Indikator strip, yaitu methylene blue, ketika dimasukkan ke dalam jar akan berubah dari putih menjadi biru ketika kondisnya tidak lagi anaerob.

Mengetahui

Dosen Pengampu Diskusi,

(Ni Putu Ariantari, S.Farm.,M.Farm.,Apt.)

NIP: 198112072005022006

Ekstrak buah lerak 8 mg/mL (5 L)

Klindamisin

2 g/cakram

Ekstrak buah lerak 4 mg/mL (5 L)

5 buah cakram kertas saring Whatman no 2 ( 6 mm

Kelompok I

(Kontrol negatif)

Kelompok VI

(Perlakuan III)

Kelompok V

(Perlakuan II)

Kelompok II

(Kontrol positif)

Kelompok IV

(Perlakuan I)

Medium dibagi menjadi 5 bagian

Disimpan pada suhu suhu 4C selama 30 menit

1,0 x 108 CFU/mL Propionibacterium acnes diusapkan ke permukaan medium

Media BHI + glukosa 1%

Penyiapan bakteri Propionibacterium acnes MTCC 1951

Konsentrasinya disesuaikan melalui hitungan mikroskopis

langsung sebelum dilakukan uji

Diinkubasi pada suhu 37 C selama 72 jam pada kondisi anaerob

Propionibacterium acnes MTCC 1951 pada medium Brain Heart Infusion (BHI) dengan glukosa 1%

Sebelum dilakukan uji, ekstrak disaring dengan kertas saring berukuran 0,45 m

Filtrat dikumpulkan dan disimpan pada suhu 4oC

Filtrat disaring dengan kertas saring Whatman No 1.

Diekstraksi pada suhu 100o C selama 1 jam

Ditambahkan 100 mL air suling

25 gram serbuk dimasukkan ke dalam gelas beker ukuran 250 mL

Dikeringkan pada suhu kamar kemudian diserbuk

Pericarp lerak (Sapindus rarak DC) dicuci

Ekstrak buah lerak 16 mg/mL (5 L)

Air suling

(5 L)

Masing-masing cakram kertas saring diletakkan di atas medium

Cawan petri diinkubasi pada kondisi anaerob dengan suhu 37 C selama 24 jam

Diameter zona hambat diukur

Dilakukan replikasi 6 kali

Hasil

Analisis data