-
Antara Idealisme dan Elektabilitas (Bayyanat untuk Jama'ah
Tarbiyah UGM Part 1)
January 12, 2014 at 8:28pm
Ada dua hal yang ingin aku tekankan pada tulisanku kali ini; Di
part 1 akan diuraikan sikap
dan pandanganku terhadap Jama'ah tarbiyah kampus dan PKS. Di
part 2 klarifikasi tentang
dinamika musyawarah akbar partai bunderan dan pemira tahun 2013.
Tulisan ini sebagai sebuah
bayyanat terhadap berbagai macam prasangka yang berkembang pasca
peristiwa musyawarah
tersebut. Semoga dengan tulisan ini kita saling mengukuhkan
kembali ber- wa tawaashobil haqq
dan wa tawaa shoubi shobr.
Izinkan Kami Menegakkan sebuah Prinsip!
Ketika gerakan mahasiswa dilumpuhkan dengan pragmatisme dan
transaksional politik
yang telah terjadi, siapakah yang menjadi tangkup perubahannya?.
Jujur saja, perihal inilah yang
telah menyandera kekuatan mahasiswa saat ini.
Kalimat diatas-lah yang sekiranya selalu terngiang-ngiang dalam
diri ini. Kalau memang
ingin menjadi kaya raya secara instan, cukuplah kita menjadi
manusia tanpa idealisme yang
mengejar jabatan di berbagai macam gerakan mahasiswa maupun
Serikat Pekerja lalu menjual
gerakan tersebut pada penguasa, pengusaha, broker politik, atau
pun mafia proyek, mungkin kita
akan kaya raya dengan seketika. Mengapa? karena gerakan-gerakan
tersebut memiliki eskalasi
massa yang begitu banyak. Atas dasar instruksi, mereka bisa
merubah massa yang tadinya
melawan, bisa jadi terdiam ataupun mengubah isu sesuai dengan
keinginan pihak yang
membayarnya. Sejarah selalu berulang, kematian gerakan mahasiswa
di zaman Orde Baru
maupun Orde Lama pun banyak yang tersandra dengan sikap yang
seperti ini. Buat sebagian
orang, aksi massa bisa dibuat pesanan dan tergantung mengambil
paket yang harganya berapa.
Disinilah mahasiswa yang rindu akan eksistensi ekonomi-politik
melalui kekuasaan mulai
bermunculan dimana-mana. Betapa tanpa adanya sikap independensi
yang teguh, tidak adanya
kontrol sosial yang ketat dalam pergerakan, maka yang terjadi
adalah gerakan kita akan mudah
diperjual belikan oleh sebagian pihak. Cukuplah kiranya sejarah
negeri ini menjadi pelajaran
yang berarti betapa aktivis mahasiswa pernah menjadi lumpuh
ketika idealisme telah hilang
diantara mereka. Dalam orasi ia berkata kita harus namun dibalik
itu semua, secara sadar ia
melanggarnya. Untuk apa berpandai-pandai mengasah retorika jika
ujung-ujungnya tidak
komitmen terhadap pernyataan kita sendiri.
Antara Aktivis Dakwah Kampus dan PKS
Izinkan aku berpikir tentang semua ini. Bukan berarti aku
anti-pati terhadap politik praktis,
melainkan ada waktunya yang tepat dimana kita harus berpolitik
praktis, dan adanya waktu
dimana kita harus menanam idealisme diri. Dinatara kami mungkin
ada yang bertanya,
-
bagaimana hubungan anda selaku bagian dari Jamaah tarbiyah
dengan PKS? Maka dengan
tegas akan aku jawab; ketika kalian ingin menjawab antara syari
dan tidak syari, maka saya
katakan bahwa alasan berpolitik PKS adalah syari. Bahkan, cara
PKS membangun basis
kekuatan politik ditubuh mahasiswa pun juga termasuk dalam
kategori syari. Mungkin kita akan
bertanya-tanya, apakah dengan begitu kita harus menjadi agen
politik PKS dikampus, atau
menginfiltrasikan agenda politik 2014 PKS kedalam agenda setting
gerakan mahasiswa hari ini
karena sudah sesuai dengan syariat? Maka yang harus aku jawab
selanjutnya adalah; benar,
tapi tidak tepat.
Berbicara tentang masuknya agenda politik PKS kedalam aktivisme
kampus bukan hanya
berbicara tentang syari atau tidak syari, melainkan juga kita
sedang berbicara tentang konsisten
atau tidak konsisten, tepat atau tidak tepat.
Selama ini kita terlampau sering berbicara tentang Gerakan
Mahasiswa harus
independen, Gerakan Mahasiswa harus menjauh dari setting agenda
politik praktis itulah
wacana yang berkembang ketika kita berlembaga di gerakan
mahasiswa. Bagiku, perihal
tersebut adalah benar adanya. Fasilitas intelegensia maupun
dinamika politik kampus adalah
medium pembelajaran kita untuk mempelajari dan mencari solusi
berbagai macam persoalan
negeri ini. Kemandirian dalam bersikap maupun dalam berpijak
menjadi penting agar kita tidak
bergantung kepada siapa pun, ketika suatu hari nanti diantara
kita memimpin negeri ini. Ketika ia
salah, ia adalah suatu hal yang wajar. Karena dengan kesalahan
itulah akhirnya kita belajar
tentang bagaimana cara menyelesaikan suatu permasalahan dengan
benar.
Bimbingan adalah cara kita berguru dan berkonsultasi untuk
menyelesaikan permasalahan,
namun yang menelurkan ide dan yang bertindak untuk
menyelesaikannya adalah kita sendiri. Hal
ini tentunya berbeda dengan intervensi, dimana ide sudah
terbentuk oleh pihak tertentu, tugas
kita hanyalah tinggal menjalankannya.
Yang terjadi saat ini adalah, sebagaian aktivis tarbiyah kampus
terkesan terlalu mudah
mengalami intervensi dan skenario politik yang dilakukan oleh
elite atas nama partai dan
jamaah terhadap sebagian aktivis tarbiyah kampus itu sendiri.
Secara kuantitas dan
pergumulan massa pemilih, mungkin ia sangat menguntungkan
elektabilitas PKS, namun secara
pembentukan kualitas kader, sikap intervensionis yang terlalu
sering seperti ini justru terjadi
pengeroposan terhadap kualitas kader di masa depan itu sendiri.
Karena pasalnya kekuatan-
kekuatan kader sebagai determinan sangat sedikit diberikan ruang
dalam pembelajaran
pengambilan sebuah keputusan, karena sifat sakralitas
ketergantungan kader terhadap
elite jamaah, seakan telah melumpuhkan pengembangan potensi
kader untuk terlibat aktif dan
mempelajari lebih jauh tentang pengambilan sebuah keputusan yang
bersifat strategis. Jika ini
yang terjadi, maka kita akan sulit untuk mempelajari negeri ini
dalam menjawab tantangan-
tantangan masa depan dan selalu menunggu menengadahkan
keputusan. Hal ini juga
diperkuat dari prilaku kita dalam berlembaga yang masih
cenderung telat dalam menanggapi
seuatu permasalahan dan cenderung mempertahankan cara-cara lama
yang seharusnya mulai
melakukan transformasi karena dinamika realita yang ada. Atau
dengan kata lain, saat ini kita
baru hanya menjadi kader, namun belum diarahkan seutuhnya untuk
menjadi agen dimasa
mendatang.
Maksudku adalah; jika kita berpikir jangka panjang tentang
kualitas Jamaah dimasa
depan, prilaku intervensi politik PKS terhadap kadernya di
kampus hari ini adalah boomerang
bagi Jamaah itu sendiri. Bahkan yang terjadi saat ini adalah;
syndrom memenangkan
-
kekuasaaan dan cara bersiasat politik praktis di tingkat kampus
seakan jauh lebih bernilai
harganya ketimbang menekankan setiap kader untuk menjadi bagian
dari intelektual muslim
yang mampu menghasilkan karya perjuangan yang sesungguhnya.[1]
Untuk menjadi itu semua
butuh pengorbanan waktu yang panjang untuk membaca, butuh
banyaknya menuntut ilmu dan
pengabdian terhadap umat dalam menjawab tantangan-tantangan umat
dihadapannya. Perihal
inilah yang jauh lebih penting untuk dikedepankan lebih
jauh.
Maka yang harus dilakukan oleh Jamaah adalah memandirikan
kadernya ditingkat
kampus secara independen dalam rangka menajamkan idealisme dan
pengembangan potensi
diri yang lebih matang untuk dipersiapkan menjawab berbagai
macam tantangan dan
menciptakan karya yang bermanfaat dimasa depan.
Biarkan kader Jamaah tarbiyah dikampus hari ini benar-benar
independen dari intervensi
politik PKS dan benar-benar memegang ruh perjuangannya yang
menolak politik praktis masuk
kampus. Perihal tersebut sebagai sebuah pelajaran. Karena dengan
begitulah, kita menjaga
konsistensi untuk menjadikan kampus sebagai tempat yang steril
untuk pembelajaran dan lebih
mengedepankan nilai-nilai pengabdian dan perjuangan rakyat
ketimbang pengakumulasian
elektoral. Bahkan, seharusnya kader Jamaah tarbiyah kampus
berfungsi menjadi social
control terhadap partai politik apa pun, sebagai sebuah bukti
tanda penyemaian idealisme itu
sendiri.
Dengan begitulah, setidaknya kedepan Jamaah tarbiyah mampu
melahirkan kader-kader
tangguh yang paradigma berpikirnya sejak awal sudah terbiasa
dengan mengedepankan risalah
perjuangan, mereka yang mengenal permasalahan masyarakat dan
menjadi kader-kader yang
lebih mementingkan kepentingan umat ketimbang hanya memikirkan
kepentingan golongan,
terlebih lagi hanya memikirkan demi kepentingan dirinya ansich.
Sehingga, ketika pasca kampus
mereka menjadi orang-orang yang militan, tangguh, dan kuat untuk
selalu berorientasi
kebermanfaatan bagi orang banyak. Mereka menjadi politisi
ataupun menjadi ahli di bidang apa
pun, adalah mereka yang matang dan mengetahui apa yang selama
ini menjadi penderitaan
masyarakat. Sehingga ruh perjuangan itu hidup, tidak hanya
dengan berorientasi pada
pergumulan elektabilitas semata.
Cara Kita Memaknai al-jamaah hiya al-hizb
Mungkin, yang akan menjadi permasalahan selanjutnya adalah
ketika kita bertemu pada
sebuah adagium al-jamaah hiya al-hizb, wa al-hizb huwa al-jamaah
atau dengan kata lain;
ketika kita menjadi bagian dari Jamaah tarbiyah, maka sudah
sejatinya kita menjadi kader
partai. Pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa adagium seperti
itu muncul? Maka yang harus
kita pelajari selanjutnya adalah konteks sejarah sebelum
memasuki masa reformasi. Arif
Munandar menyatakan; memasuki tahun 1997, dalam rencana awal
Jamaah Tarbiyah
mencetuskan bahwa mereka akan memasukki mihwar muasasi dengan
terjunnya ke dalam
politik parlementer sebagai bentuk perjuangan Islahul Hukumah
(perbaikan Pemerintahan) pada
tahun 2010. Karena itu rencana tersebut dinamakan Visi 2010.
Namun kemudian terjadilah Reformasi 1998 yang melengserkan
Soeharto dan rezim Orde
Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun, dan membuka peluang
mendirikan partai politik
dengan azas yang beragam, termasuk azas Islam. Dengan diambilnya
keputusan mendirikan
Partai Keadilan tahun 1998, artinya mihwar muassasi mengalami
percepatan 12 tahun, dari
semula dicanangkan akan memasuki mihwar tersebut pada tahun
2010.
-
Ketika mengalami percepatan selama 12 tahun itulah, maka timbul
sebuah konsekuensi
logis dimana Jamaah tarbiyah bukan hanya berbicara tentang
percepatan memasuki ranah
politik, melainkan juga memperhitungkan kekuatan massa pemilih
dalam membangun
elektabilitas. Pada tahun 1998 Arif Munandar mengambarkan;
ketika pertama kali terjun ke politik
pada tahun 1998 jumlah kader Jamaah Tarbiyah mencapai 33 ribu
orang, 3 ribu di antaranya
adalah Anggota Inti. Dari jumlah 33 ribu orang, maka Jamaah
tarbiyah harus berfikir strategis
tentang bagaimana dari jumlah kader yang masih puluhan ribu ini
mampu mempengaruhi ratusan
juta penduduk Indonesia untuk memilih PK (sebelum menjadi PKS)
pada masa itu?
Disinilah letaknya, kemunculan adagium tersebut harus dipahami
bahwa al-jamaah hiya
al-hizb wa al- hizb huwa al-jamaah adalah sebuah strategi yang
dipilih pada masa itu.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sapto Waluyo dalam Kebangkitan
Politik Dakwah: Konsep
dan Praktik Politik Partai Keadilan Sejahtera dimasa Transisi
pun juga mengafirmasi bahwa kala
itu ijtihad menyatukan Jamaah dengan partai sebagai satu
kesatuan identitas adalah sebuah
ijtihad politik yang menekankan bahwa setiap identitas status
kader sebagai jamaah yang
bekerja diberbagai bidang seperti; pendidikan, pekerja sosial,
dll juga harus menjadi simbol bagi
identitas partai yang mampu menggait pemilih. Dengan kata lain,
setiap individu
dalam Jamaah dari berbagai kalangan juga harus dituntut bertumpu
menjadi bagian dari pegiat
partai politik karena jumlah massa yang masih minim.
Oleh karena itu, sebagaimana penafsiran terhadap adagium
tersebut dapat dipahami
bahwa; al-jamaah hiya al-hizb wa al- hizb huwa al-jamaah
bukanlah suatu hal yang
bersifat tsawabit atau-pun mutlak. Melainkan harus dimaknai
sebagai sebuah strategi dalam
berpolitik, yang dalam pemaknaan asas-nya tetap harus dibedakan
diantara keduanya dengan
sebuah pemahaman bahwa partai adalah wajihah yang bersifat
mutaghoyyirot tidaklah sama
pemaknaannya dengan jamaah yang bersifat tsawabit. Penyatuan
diantara keduanya bukanlah
suatu hal yang permanen dan diantara keduanya tidak berada dalam
posisi
yang equal, melainkan jamaah harus dimaknai berada di atas
partai itu sendiri. Dengan
begitu, jamaah dapat berfungsi sebagai social control dan checks
and balances terhadap kinerja
partai serta memberikan ruang bagi setiap kader untuk
mengkritisi kinerja partai itu sendiri.
Perihal tersebut dapat diperkuat dengan prosentase Jamaah itu
sendiri. Arif Munandar
menyatakan; pada tahun 2004, jumlah kader Jamaah Tarbiyah
mengalami pertumbuhan
mencapai 400 ribu orang. Dalam Sensus tahun 2009, jumlah kader
Jamaah Tarbiyah
membengkak menjadi lebih dari 800 ribu orang. Itu artinya,
kalkulasi pertumbuhan setiap tahun
terhitung dari tahun 1998 mencapai 2009 saja mencapai 70 ribu
kader pertahun.
Itu artinya, dengan pertumbuhan jumlah kader yang mengalami
peningkatan dari tahun-
ketahun adagium pun seharusnya bisa berganti menjadi Al-hizbu
mina Al- Jamaah atau partai
adalah bagian dari Jamaah. Atau sekali pun kader belum siap
untuk merubah adagium tersebut,
setidaknya dengan kalkulasi jumlah kader yang mencapai ratusan
ribu kader tersebut bisa
diorientasikan bukan hanya diprioritaskan sebagai identitas
politik yang selama ini dipergulirkan
untuk memprioritaskan kemenangan politik, melainkan juga
memprioritaskan identitas
profesional yang diarahkan untuk menjadi ahli di bidangnya
masing-masing, seperti; ahli agama,
ahli ekonomi, ahli sosial, ahli kedokteran yang semestinya di
arahkan dan prioritaskan secara
terorganisir dan mengalami penekanan olehjamaah terhadap
kadernya sendiri.
Dari perihal inilah, sekiranya Jamaah terutama jamaah kampus
bisa memahami
profesionalisme dan kemandirian yang harus dikedepankan oleh
setiap kadernya. Ada batasan-
-
batasan tertentu dimana Jamaah tidak selamanya menuntut kita
untuk menjadi bagian dari dari
partai dan menjadi bagian dari seorang pembelajar. Semoga dengan
cara berpikir yang seperti
inilah, kedepan Jamaah tarbiyah mampu menjadi taring peradaban
baru untuk kehidupan agama
dan Indonesia yang lebih baik.
Wallahu Alam Bii Showaab..
[1] Perihal ini juga dapat dihitung dari sejauhmana kedekatan
aktivis dakwah hari ini
terhadap kegiatan belajar dan belajar yang sesungguhnya. Suatu
hari, pada kajian Manhaj yang
disampaikan oleh ustadz Deden di Masjid Marldhiyyah, beliau
bertanya kepada para kader
tarbiyah kampus yang sedang mengikuti kajian tersebut. Siapa
diantara kalian yang sudah
selesai khatam membaca Sirah Nabawiyah siapa pun penulisnya?
Silahkan tunjuk tangan Dari
sekian banyak kader tarbiyah yang hadir dalam kajian tersebut
baik ikhwan maupun akhwat,
hanya ada dua orang yang sudah mengkahtamkan Sirah Nabawiyah.
Satu orang ikhwan dan
satu orang akhwat. Selanjutnya, ustadz Deden bertanya kembali,
siapa yang sudah membaca
buku biografi tokoh apa pun hingga khatam siapa pun tokohnya?
dan yang mengacungkan bukti
tanda selesainya membaca biografi tokoh itu pun hanya ada dua
orang, satu ikhwan dan satu
akhwat. Bagi saya, sangat disayangkan jika hari ini aktivis
dakwah kampus mulai menjauhkan
tradisi membaca. Karena menurut saya, membaca sirah nabawiyah
dan biografi tokoh adalah
tuntutan membaca yang sangat mendasar. Perihal ini sudah
semestinya harus ditekankan
kembali oleh sebagian aktifis.
Antara Kita dan Mereka.. (Bayyanat untuk Jama'ah Tabiyah UGM
Part 1 Bagian 2)
January 16, 2014 at 2:06am
"Hampir tiba suatu masa dimana berbagai bangsa/kelompok
mengeroyok kamu, bagaikan
orang-orang yang kelaparan mengerumuni hidangan mereka." Seorang
sahabat bertanya:
"Apakah karena jumlah kami yang sedikit pada hari itu?" Nabi SAW
menjawab: "(Tidak) Bahkan
jumlah kamu pada hari itu sangat banyak (mayoritas), tetapi
(kualitas) kamu adalah buih, laksana
buih di waktu banjir, dan Allah mencabut rasa gentar terhadap
kamu dari hati musuh-musuh
kamu, dan Allah akan menanamkan penyakit "al wahnu". Seorang
bertanya, "Apakah al wahnu
itu Ya Rasulallah?" Rasulullah menjawab: "Cinta dunia dan takut
mati." (HR Abu Dawud)[1]
Mengapa Jama'ah Tarbiyah Harus Diketahui Publik?
Mungkin sebagian orang akan bertanya-tanya tentang apa yang aku
tulis di part-1
beberapa hari lalu. Dan hari ini, aku menuliskannya kembali
untuk melanjutkan permabahasan
part-1 itu sendiri. Pertanyaannya adalah; mengapa bayyanat
tersebut harus dipublish ke
publik? Bukankah perihal tersebut tidaklah ahsan?
Jika berbicara tentang ahsan, mungkin ada benarnya tulisan ini
tidak tepat ketika di publish
ditempat umum. Tapi yakinlah, bahwasanya tulisan ini dipublish
lantaran kecintaan diri ini
terhadap jamaah tarbiyah itu sendiri. Ada dua hal yang sekiranya
melatar belakangi mengapa
tulisan seperti ini harus dipublish; (1) Jamaah tarbiyah dilihat
sebagai ideologi dan
ilmu. Kuntowijoyo dalam bukunya yang berjudul Muslim tanpa
Masjid menekankan; ideologi
memiliki watak yang bersifat tertutup, final, dan normatif.
Meski pun begitu, ideologi memiliki
-
tujuan untuk melakukan rekonstruksi sosial. Dalam hal ini,
Kuntowijoyo menekankan; ideologi
cenderung baku dan cenderung tidak berkembang. Penyimpangan dari
pembakuan terhadap
ideologi akan disebut revisionis. Sedangkan ilmu adalah suatu
hal yang bersifat terbuka, artinya
adalah; ilmu bukan hanya sebatas berdasarkan
kreativitas-intuitif-teologis (selayaknya ideologi),
melainkan ilmu juga berkaitan dengan suatu hal yang dapat dikaji
dan ditelusuri kebenarannya.
Dalam ideologi, fakta yang diolah secara normatif adalah suatu
hal yang bersifat individual.
Sedangkan dalam ilmu, fakta yang berkembang ditengah masyarakat
adalah fakta sosial.
Hal ini sepadan dengan Islam yang bukan hanya dilihat sebagai
ideologi, melainkan juga
dilihat sebagai pengembangan ilmu pengetahuan. Fahmi Hamid
Zarkasyi dalam bukunya yang
berjudul Peradaban Islam: Makna dan Strategi Pembangunannya
menekankan bahwa; Islam
adalah agama yang sarat dengan ajaran mengembangkan ilmu
pengetahuan, sebagaimana
tergambar dalam 3 periode penurunan wahyu. Ajaran tentang ilmu
pengetahuan dalam Islam
merupakan konsep-konsep seminal yang kemudian dipahami,
ditafsirkan, dan dikembangkan
kedalam berbagai bidang kehidupan yang berakumulasi pada
pembentukan peradaban yang
kokoh.
Maksudnya adalah; Islam bukan hanya dilihat sebagai ideologi,
melainkan juga Islam
dilihat sebagai ilmu pengetahuan. Perihal ini juga sama dengan
cara pandang kita terhadap
Jamaah tarbiyah itu sendiri bahwa Jamaah tarbiyah bukan hanya
dipandang sebagai ideologi
melainkan juga sebagai ilmu pengetahuan. Ketika berbicara
tentang ilmu pengetahuan,
berbagaimacam dinamika yang berkembang dan terjadi dalam
perjalanan jamaah tarbiyah
sebagaimana yang dibahas dalam part 1- adalah bagian dari fakta
sosial yang dapat dikaji
secara sosiologis sebagai sebuah bagian dari khazanah
pengembangan ilmu pengetahuan itu
sendiri. Pengembangan khazanah ilmu pengetahuan menjadi penting
agar kita mengetahui
tentang berbagai macam solusi yang harus ditempuh atau
mengetahui dimana letak
permasalahan yang seharusnya diperbaiki di tubuh jamaah tarbiyah
itu sendiri baik melalui
pendekatan secara epistimologis maupun secara aksiologis.
(2) Fakta sosial Jamaah Tarbiyah sebagai sebuah informasi
kolektif. Fakta sosial yang
berkembang dalam dinamika perjalanan Jamaah tarbiyah menjadi
penting untuk dijadikan
informasi kolektif yang diketahui baik oleh setiap kader maupun
publik- dalam rangka
menjadikannya sebagai sebuah khazanah ilmu pengetahuan. Perihal
ini menjadi penting sebab
dalam Islam, pengetahuan dalam Islam bukan hanya diperuntukkan
bagi umat muslim,
melainkan juga bagi umat diluarnya. Mengapa? Sebab Islam begitu
pun Jamaah tarbiyah yang
menjadi bagian dari Islam- adalah agama yang mengajarkan
nilai-nilai kebenaran dan kebaikan
yang bersumber dari wahyu Allah, yang kebermanafaatannya bukan
hanya diperuntukan bagi
umat Islam sendiri melainkan juga bagi seluruh alam semesta.
Mungkin, yang menjadi
pembahasan selanjutnya adalah; cara bagaimana kita menyampaikan
atau menyemaikan ilmu
pengetahuan maupun nilai-nilai kebaikan membutuhkan sebuah
strategi tentang kapan, dimana,
dan bagaimana cara memulainya untuk mencapai sebuah tujuan
tertentu.
Ada dua poin penting yang dihasilkan dari tinjauan fakta sosial
sebagai sebuah informasi
kolektif ini adalah; (a) manfaat bagi internal kader; adalah
pengetahuan untuk melihat berbagai
macam celah-celah yang sekiranya harus diperbaiki sebagai sebuah
tools untuk
mengintrospeksi diri. (b) manfaat bagi publik; adalah cara
bagaimana publik menjadi kontrol
sosial terhadap kinerja Jamaah tarbiyah itu sendiri tentang
apakah selama ini perjalanan
Jamaah tarbiyah sudah sesuai dengan semangat awalnya menjadi
bagian dari aktivitas dakwah
dan cara-cara yang dilakukan sudah sesuai dengan syariat Islam
yang sesungguhnya. Perihal ini
-
menjadi penting agar perjuangan Jamaah tarbiyah dalam
mengembangkan risalah Islam
memiliki check and balances agar tidak terjadi disorientasi
dalam perjalanannya itu sendiri.
Perihal ini juga senyawa dengan sejarah Islam itu sendiri. Adian
Husaini dalam tulisannya
yang berjudul Korupsi Ilmu menyatakan; dalam sejarah Islam,
ulama memegang peran yang
sangat vital. Ketika Abu Bakar ash-Shiddiq menjadi umara, maka
Umar bin Khathab, Ali r.a., dan
sebagainya menjalankan peran ulama yang aktif menasehati dan
mengontrol penguasa.Begitu
juga ketika Umar r.a. menjadi penguasa, para sahabat lain
menjalankan fungsi kontrol dengan
sangat efektif.
Daya kritis terhadap fakta sosial menjadi penting bagi setiap
kalangan agar dijadikan
sebagai sebuah bagian dari transformasi kesadaran individual
menuju kesadaran kolektif dalam
rangka membangun kolektifitas perjuangan itu sendiri. Karena
bagaimana pun juga Jamaah
tarbiyah adalah jamiatu minal muslim (bagian dari jamaah
muslim). Maksudnya adalah; dalam
memperjuangkan Islam sebagai agama yang Rahmatan Lil Alamiin
tidak akan bisa dicapai oleh
perjuangan Jamaah tarbiyah secara sendirian, melainkan butuh
kerja-kerja kolektif dari jamaatu
minal muslim yang lainnya seperti; Hizbu Tahrir, Muhammadiyah,
Nahdhatul Ulama, Salafi, dan
lain sebagainya untuk mencapai cita-cita Islam itu sendiri. Oleh
karena itu, persatuan perjuangan
menuju Jamaatul Muslim menjadi penting.
Menjadi Murobbi Kampus
Reid menyatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Azyumardi Azra
dalam bukunya yang
berjudul Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara
mengungkapkan; Syaikh Al-Ulama,Qdhi Al-
Qudh, Syaikh Al-Haramain, dan empat qadhi dari empat mazhab
secara kolektif membuat
keputusan tentang pengangkatan ulama sebagai pengajar di Masjid
Al-Haram. Sekali atau dua
kali dalam setahun, mereka duduk bersama untuk menguji calon
guru. Para calon, biasanya,
telah menjadi murid di lingkungan masjid dalam waktu yang lama
yang telah dikenal baik oleh
guru-guru senior. Para penguji, di samping mengecek ijazah
calon, juga mengajukan sejumlah
pertanyaan tentang berbagai macam cabang keilmuan Islam. Jika
calon mampu menjawab
seluruh pertanyaan secara memuaskan, mereka mengeluarkan ijazah
atau izin untuk mengajar di
Masjid Suci. Nama-nama guru baru tersebut diumumkan dan
murid-murid dapat memulai belajar
dengannya.
Dari perihal diatas, setidaknya kita dapat mengambil hikmah
bahwa; (1) sejarah Islam
menunjukkan bahwa; peran para naqib (baca: murobbi) dalam usroh
adalah mereka yang secara
keilmuan Islam-nya teruji. Terujinya sebuah ilmu bukan hanya
dilihat pada permasalahan
kepahaman terhadap ajaran-ajaran Islam semata, melainkan juga
dari sejauhmana ia dapat
mengaktualisasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupannya
sehari-hari. (2) Ulama-ulama terdahulu
tidak serta merta memudahkan seseorang untuk menjadikan
seseorang sebagai seorang naqib.
Butuh waktu dan penilaian yang panjang untuk menetapkan
seseorang apakah layak atau
tidaknya menjadi seorang naqib, butuh pengujian secara
menyeluruh baik pada permasalahan
akhlaq, ibadah, dan cabang ilmu Islam yang diajarkannya.
Allahu Rabbi.. Perjalanan ulama masa lalu menjadi penting untuk
dipelajari tentang
bagaimana cara mereka membangun peradaban Islam mencapai puncak
kejayaannya. Dan kita
semua sangatlah sepakat bahwa kemajuan Islam pun ditentukan dari
maju atau mundurnya
pengembangan tradisi keilmuan itu sendiri.
-
Dan kita yakin, bahwa perjalanan Jamaah tarbiyah pun tidak
terkecuali hanyalah untuk
mengembangkan dakwah dalam mencapai kejayaan Islam itu sendiri.
Namun mungkin dalam
perjalanannya kita akan melambatan dan dinamika yang terus
menerus silih berganti.
Dalam dinamika perjalanan dakwah tarbiyah yang terjadi di
tingkat kampus (sebagaimana
kita ketahui bahwa kampus adalah wadah pembentukan agen
intelegensia) kini tengah
mengalami permasalahan yang sangat fundamen. Salah satunya
adalah tentang entitas murobbi
kampus yang kini menjadi bagian dari fenomena sosial jamaah
tarbiyah saat ini.
Aku teringat pernyataan Dr. M. Supraja dalam sebuah diskusi yang
membandingkan
antara syiah dan muslim sunni menekankan bahwa; permasalahan
muslim sunni (didalamnya
termasuk Jamaah tarbiyah) terlalu mudah untuk menjadikan
seseorang menjadi ustadz. Orang
baru ngaji beberapa bulan tanpa pengetahuan yang dalam- sudah
dijadikan sebagai seorang
ustadz. Hal ini berbeda dengan Syiah. Mereka, untuk menjadikan
seseorang sebagai Ustadz
Syiah butuh penilaian yang panjang, bahkan ia bisa dijadikan
sebagai seorang ustadz ketika
keilmuannya telah teruji dan sudah mampu melakukan ijtihad.
Wajarlah kiranya tradisi keilmuan
Syiah begitu berkembang dan dinamis. Bagiku, pernyataan tersebut
benar, namun juga bukan
berarti tidak terdapat kelemahan. Mungkin, yang terjadi bagi
sebagian muslim sunni saat ini
adalah; pada dasarnya dalam seharah Islam memiliki
kualifikasi-kualifikasi tersendiri dalam
menentukan seseorang menjadi ulama maupun pemimpin dari
kalangannya, namun mungkin
yang terjadi saat ini adalah karena ketidak pahaman diantara
sebagian muslim sunni itu sendiri
yang menyebabkan terjadinya pemudahan-pemudahan untuk menjadikan
seseorang sebagai
ulama mereka.
Perihal ini pula-lah yang mungkin juga sedang mengjangkiti
Jamaah tarbiyah. Mungkin
sebagian orang akan bertanya-tanya, mengapa aku tidak ingin
menjadi murobbi? Bukan aku
tidak ingin, melainkan secara pribadi aku belum siap karena
merasa belum memenuhi kualifikasi
seorang murobbi itu sendiri. Yang menjadi refleksi kita saat ini
adalah; yang terjadi dalam
dinamika Jamaah tarbiyah di tingkat kampus adalah; mudahnya
seorang kader untuk dijadikan
sebagai seorang murobbi. Dengan mengikuti beberapa hari dauroh
murobbi, seseorang sudah
diperkenankan untuk membina mutarobbi yang sebenarnya pada saat
itu belum mencapai
kualifikasi keilmuan yang sudah diuji dan matang.
Jika perihal ini terus terjadi dan merambah luas, maka
kemungkinan yang terjadi dalam
tubuh Jamaah tarbiyah kedepan sebagaimana yang dikemukakan oleh
Adian Husaini-
adalah; terjadinya kejahilan ringan. Kejahilan ringan adalah
kurangnya ilmu tentang sesuatu yang
seharusnya diketahui (ignorance). Pada dasarnya mereka belum
memperoleh memperoleh
informasi tentang kebenaran (al-Haq), namun karena ia memiliki
posisi sebagaimurobbi yang
dituntut menyampaikan suatu hal; sehingga ia tidak memiliki
pilihan lain kecuali melakukan apa
yang mereka anggap sebagai suatu kebenaran. Fenomenaignorance
akan mengakibatkan
banyaknya murobbi yang tidak memahami ilmu-ilmu keislaman dengan
baik, sementara ia
dituntut untuk memberikan suatu pengajaran.[2] Meminjam bahasa
Adian Husaini --Jika orang-
orang yang berposisi atau memposisikan diri sebagai murobbi atau
pun penanggung jawab
dakwah tidak memiliki kualifikasi yang ideal, baik dalam ilmu
maupun amal, maka itu indikator
yang paling absah untuk menyatakan bahwa umat Islam maupun
Jamaah tarbiyah dalam kondisi
yang memprihatinkan.
Jika perihal ini yang terjadi, maka kekhawatiran selanjutnya
adalah; sebagaimana sabda
Rasulullah SAW ; Bahwasanya Allah SWT tidak akan mencabut ilmu
dengan sekaligus dari
-
manusia. Tetapi Allah menghilangkan ilmu agama dengan mematikan
para ulama. Apabila sudah
ditiadakan para ulama, orang banyak akan memilih orang-orang
bodoh sebagai pemimpinnya.
Apabila pemimpin yang bodoh itu ditanya, mereka akan berfatwa
tanpa ilmu pengetahuan.
Mereka sesat dan menyesatkan. (HR Muslim).
Naudzubillah tsumma naudzubillah.. Semoga perihal diatas tidak
terjadi ditengah-tengah
kita. Meski pun begitu, setidaknya karya Prof. Wan Mohd Noor Wan
Daud yang berjudulRihlah
Ilmiah menjadikan sebuah refleksi bagi kita semua yang
menekankan bahwa; usroh /
halaqoh merupakan sumber terpenting dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan sumber
pengembangan intelejensia muslim itu sendiri. Namun, fakta
sosial yang terjadi saat ini adalah;
pembahasan kajian dalam halaqoh -di tingkat kampus pun- masih
cenderung asas dan sangat
datar, yang belum bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan untuk
menjadikan setiap individu-
individu peserta halaqoh menjadi intelektual ahli yang
menghadirkan berbagai macam gagasan-
gagasan penting yang berasaskan pada nilai-nilai Islam- sesuai
dengan bidang keilmuannya
masing-masing. Pembahasan kajian dalam halaqoh juga belum
mengajak setiap individu untuk
tergerak aktif dalam tradisi keilmuan baik dalam bidang
kesadaran pentingnya penelitian, kajian,
maupun daya kritis- yang mampu menghadirkan perbincangan tentang
Al-Quran dan Sunnah
Rasulullah yang bukan hanya dilihat secarasubtantif, melainkan
juga secara method. Dalam hal
ini, Prof. Wan Mohd Wan Daud menekankan bahwa; kaedah (method)
adalah; cara-cara
memahami nas-nas (texts) dalamsemantic fields dan dalam rangka
sosio-sejarah serta
dalam tasawwur umum yang memadukan al-Quran dengan perjuangan
Rasulullah SAW.
Selanjutnya, Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud menyatakan; method
tanpa substance yang
memadai akan mengalami kerancuan. Jika gerakan dakwah
habis-habisan dalam
memperjuangkan sebuah method untuk merealisasikan cita-cita
gerakannya namun tanpa
dilandasi konsepsi Islam yang benar, maka akan mengakibatkan
kerusakan yang melebihi
kemungkinan kebaikan yang diimpikannya. Tragedi golongan
Khawarij- dahulu dan masa kini-
ialah keterperangkapan mereka dengan method (dengan sedikit
substance) tanpa
substance yang memadai akan menumbuhkan fanatisme; fanatisme
akan menghasilkan
kezaliman.
Hal ini juga senada dengan apa yang disampaikan Ibnu Taimiyah
yang menggariskan;
betapa usaha-usaha amar maruf dan nahi mungkar memerlukan ilmu,
kelembutan, kesabaran;
ketiga-tiganya memadukan unsur substance dan method itu
sendiri.
Setidaknya, dari penjabaran panjang lebar ini aku ingin
mengungkapkan; bahwa diri ini pun
belum bisa menjadi manusia yang ideal. Terlebih lagi berbicara
tentang permasalahan akhlaq,
ibadah, maupun tradisi keilmuan yang mungkin masih jauh panggang
daripada api. Namun
setidaknya, melalui renungan tulisan inilah kita bersama-sama
melakukan instrospeksi tentang
apa yang seharusnya kita perbaiki baik setiap individu maupun
Jamaah- untuk sebuah
perbaikan dikemudian hari. Meski pun dengan begitu, akan ada
beberapa tawaran strategis dari
untuk mengatasi permasalahan ini di part-1 bagian 3. Semoga
Allah memudahkan.
Wallahu A'lam Biishowaab..
[1] Sabda Rasulullah ini sekiranya menjadi refleksi kita
terhadap berbagai macam dinamika
yang berkembang terhadap Jamaah kita hari ini sekaligus
mengingatkan diri kita secara
individu- maupun pemimpin umat masa kini. Secara pribadi saya
sepakat bahwa bagaimana pun
-
juga; keadilan harus ditegakkan kepada ustadz LHI terhadap kasus
hukum yang menjeratnya.
Namun bagiku, ini adalah langkah cara Allah mengingatkan kita
bahwa; bagaimana pun juga
(meski ustadz LHI apakah benar korupsi atau tidak) adalah
peringatan berharga dari Allah bahwa
mungkin; ustadz LHI jangan lagi memubadzirkan uang. Sebagaimana
yang diberitakan oleh
vivanews.com, kompas.com, tempo.co yang diantara media tersebut
mengemukakan fakta
persidangan; ustadz LHI membeli satu jas senilai Rp. 60 juta
rupiah, dan memodifikasi sound-
system terhadap 3 mobil yang dimilikinya mencapai Rp. 156 juta
rupiah. Pembahasan di
persidangan hanyalah permasalahan tempat pembelian dan siapa
yang membayar, namun
barang tersebut secara faktual persidangan di beli. Sekali pun
uang yang dipergunakan oleh
ustadz LHI halal untuk membeli barang-barang tersebut, namun
menurutku kurang etis jikalau
ustadz LHI -selaku pemimpin Jamaah bermewah-mewahan ditengah
kondisi masyarakat dan
kader yang sedang mengalami krisis ekonomi. Aku teringat oleh
cerita dari temanku yang
menyatakan bahwa; salah seorang pekerja yang bekerja sebagai
pemotong kayu diperusahaan
meuble ayahnya adalah seorang kader PKS lulusan SMK. Setiap kali
ada kampanye PKS, maka
pekerja itu meminta izin pada ayahnya untuk mengikuti kampanye
itu sendiri. Pendapatannya
sedikit, ia adalah orang yang ikhlas mengabdikan dirinya untuk
pemenangan PKS bahkan
mungkin menyumbangkan sebagian gajinya yang sedikit untuk
menyumbang biaya kampanye
PKS- meski pun pada dasarnya ia masih tergolong kategori miskin.
Potret kader PKS yang
masih berada di dalam perekonomian menengah ke bawah- dan
berjuang untuk kemenangan
PKS baik secara pendanaan maupun tenaga pastilah sangat banyak-
namun hal ini berbeda oleh
para pemimpin Jamaah ini seperti ustadz LHI dan ustadz Anis
Matta yang terlalu berlebihan
dalam gaya hidup. Islam memang mengajarkan kita untuk kaya raya,
namun kekayaan itu bukan
untuk dimubazzirkan melainkan untuk didistribusikan
kebermanfaatannya untuk kehidupan
orang banyak. Keberhasilan Islam ditangan Nuruddin Al-Zanki dan
Sholahuddin Al-Ayyubi adalah;
keduanya adalah orang yang sangat kaya raya; namun ketika
keduanya dipilih menjadi kepala
negara, seluruh kekayaannya diperuntukkan untuk kebermanfaatan
masyarakatnya. Bahkan
dalam sebuah kisah, tidak orang yang paling miskin di negaranya
kecuali Nuruddin Al-Zanki itu
sendiri sebagai kepala negaranya. Yang menarik adalah;
semiskin-miskinnya Nuruddin Al-Zanki
pada saat itu sudah sangat sejahtera. Itu artinya, rakyat yang
lain pun sejahtera. Dengan adanya
peristiwa ini, menunjukkan betapa kasih sayangnya Allah yang
segera mengingatkan para aktivis
dakwah agar tidak semakin banyak fitnah akibat harta, tahta, dan
wanita.Allaahumma Amiin..
[2] Prof. Wan Mohd Noor Wan Daud juga mengungkapkan; melalui
beberapa pengalaman
yang berkembang, saat ini muncul fenomena sebagian halaqoh kader
yang hanya menekankan
bacaan teks pilihan dengan memperbincangkan suatu hal yang
spontan tanpa pengetahuan yang
mendalam, dan tidak adanya follow up isu-isu yang dipergulirkan
dari diskusi tersebut. Ada pun
orang-orang yang paham namun ia tidak berani mengungkapkan
pandangan-pandangan dan
berbagai macam ide-idenya, karena takut dianggap bertentangan
dengan pandangan umum atau
pun pandangan sang murobbi itu sendiri.
Antara Jamaah Tarbiyah dan Serikat Jesuit (Bayyanat untuk
Jama'ah Tarbiyah UGM Part 1 Bagian 3)
-
January 17, 2014 at 11:16am
Mungkin diantara para pembaca yang budiman akan bertanya-tanya
tentang mengapa
Fachry mengambil tindakan ini? yang penuh dengan tindakan
kontroversial, penuh dengan
perdebatan dan berbagai macam pandangan terhadap diri ini
sendiri. Namun bagiku, tak apalah
kepahitan ini harus ditanggung, sebab semoga dengan kepahitan
ini ruang hati kita tergerak
untuk menjadi lebih baik untuk kehidupan Indonesia dan agama
ini. Perlu pembaca budiman
ketahui, bahwa tulisan-tulisan sebelumnya masih mengalami
keberlanjutan.
Pertanyaannya adalah; mengapa aku menulis? Mungkin perihal
inilah yang membuat diri
ini merasa dihantui jika diri ini harus berdiam. Merasa ada
beban di pikiran jika suatu hari,
peristiwa ini terjadi. Oleh karena itu, yang terlintas dalam
pikiran ini adalah tentang bagaimana
cara menggerakkan saudara-saudara seperjuanganku di dalam Jamaah
tarbiyah itu sendiri.
Meski pun mungkin diantara kita berbeda secara pandangan
politik, meski pun diri ini tidak
mencapai titik ideal dan kesempurnaan sebagai seorang kader,
namun yakinlah bahwa diantara
kita pada dasarnya ingin mencapai tujuan yang sama, yaitu
berusaha sekuat tenaga untuk
mencapai keridhoan-Nya.
Ada Apa dengan Serikat Jesuit?
Mungkin disinilah yang menjadi awal kegelisahanku. Pada suatu
hari, tergetar hati ini untuk
mencoba menelusuri lebih jauh tentang cara bagaimana orang-orang
diluar Islam mencoba
membangun basis kekuatannya. Dan mungkin, disinilah tantangan
umat Islam dan khususnya
di Jamaah tarbiyah itu sendiri.
Sebagaimana kita ketahui dan menjadi khalayak umum- tentang
bagaimana kalangan
zionis membangun konspirasi ekonomi-politiknya. Namun, pernahkah
kita menelaah lebih jauh
tentang gerakan yang paling dekat diantara kita terlebih di
Yogyakarta itu sendiri? Pernahkah
kita bertanya-tanya; mengapa Rumah Sakit Panti Rapih, Rumah
Sakit Bethesda, berbagai
macam sekolah-sekolah seperti; , bopkri, stella duce, kollese de
brito, maupun beberapa
apostolik tepat berada disentral tengah-tengah daerah Sleman dan
Yogyakarta yang sangat
strategis, namun di satu sisi kita melihat bagaimana berbagai
macam lembaga-lembaga tersebut
juga hadir di daerah-daerah terpencil, pedalam dan terisolir di
daerah bagian sudut provinsi DIY
itu sendiri? Apakah benar penempatan di lokasi-lokasi tersebut
hadir secara alamiah ataukah
memang penempatan lokasi tersebut memiliki perencanaan yang
matang?
Setidaknya, dari pertanyaan inilah muncul sebuah ikhtiar untuk
mencoba menelusuri lebih
jauh. Dan dari penelusuran tersebut, agenda setting gerakan yang
paling dekat dengan dinamika
ke-Indonesia-an maupun Yogyakarta muncullah kepermukaan tentang
identitas Serikat Jesuit.
Siapakah Serikat Jesuit? Bagiku, antara Serikat Jesuit dan
Jamaah tarbiyah adalah gerakan
yang bertentangan secara keyakinan dan ideologi, namun dalam
aras tradisi pergerakan bawah
tanah mengalami sedikit persamaan, yaitu; sama-sama membangun
basis militansi.
Berbicara tentang Serikat Jesuit, maka sudah sewajarnyalah kita
membuka sejarah.
Serikat Jesus (SJ) adalah ordo religius yang ada dalam Gereja
Katolik. Didirikan pada tahun
1540 oleh St. Ignatius Loyola, bersama sembilan sahabatnya.
Anggota dari Serikat Jesus lebih
dikenal dengan sebutan "Jesuit. Menurut statistik awal tahun
2000, jumlah anggota Serikat
Jesus di seluruh dunia mencapai kurang lebih 18.000 orang.
Mereka adalah imam, bruder dan
frater (anggota yang sedang dalam masa studi untuk menjadi
imam). Mereka berasal dari
berbagai bangsa, suku, latar belakang adat istiadat dan
kebudayaan yang berbeda-beda.[1]
-
Provinsial Serikat Yesus Pastor R.B Riyo Mursanto SJ
mengungkapkan bahwa pada tahun
2011, anggota Serikat Jesuit Provinsi Indonesia hanya berjumlah
353 orang, yang terdiri dari; 32
orang berusia lebih dari 70 tahun. Dari jumlah ini 11 orang
berusia lebih dari 80 tahun. Yang
berusia 59 69 tahun sebanyak 53 orang. Jumlah yang paling banyak
usia antara 37 sampai
dengan 58 tahun, yakni 147 orang. Dan sebanyak 108 orang berusia
36 tahun ke bawah.[2]
Dalam perayaan Jubileum 150 Tahun Serikat Jesus (SJ) di
Indonesia (9 Juli 1859-9 Juli
2009) yang di selenggarakan pada tanggal 9 Juli 2009 di
Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta, R.B Riyo Mursanto SJ menyatakan bahwa; saat ini
Serikat Jesuit sudah banyak
menciptakan ahli di didang Humaniora. Selanjutnya, R.B Riyo
Mursanto SJ mengungkapkan
bahwa; "Jika direntangkan, dari 100 calon Jesuit, yang akhirnya
jadi hanya 60 persen. Dengan
masa pendidikan 12 tahun dan dari sisi manusiawi berat, memang
hanya sedikit yang jadi.
Memang sulit, karena menjadi Jesuit adalah panggilan". Dalam
sebuah diskusi Erie Sudewo
selaku founder Dompet Dhuafa menyatakan; saat ini hampir 75%
imam Serikat Jesuit dunia
adalah ahli ekonomi.
Dalam Perayaan Jubelium tersebut, R.B Riyo Mursanto SJ sangat
menekankan kepada
para Anggota Serikat Jesuit bahwa saat ini agenda mereka
diarahkan bergerak bukan hanya
untuk menjadi ahli di bidang Humaniora, melainkan juga harus
menjadi ahli di bidang lingkungan
hidup, ekonomi, sosial-politik, dan berbagai macam bidang
keilmuan lainnya dalam rangka
mengeluarkan masyarakat Indonesia dari zona kemiskinan yang
merupakan strategi ekspansi
kalangan missionaris itu sendiri.
Jappy Pellokila menungkapkan bahwa; Serikat Jesuit berupaya
untuk mengembangkan
pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan untuk sesama.
Dari pemaparan diatas, setidaknya ada beberapa hal yang bisa
kita analisa lebih jauh
tentang Serikat Jesuit itu sendiri, diantaranya ialah; (1)
Sistem Kaderisasi: Pada dasarnya
Serikat Jesuit menciptakan sistem kaderisasi yang begitu rumit,
panjang dan berjenjang. Mereka
tidak melakukan ekspansi massa secara signifikan, melainkan
melakukan pembinaan anggota
secara intensif. Hal ini juga sependapat dengan kisah tentang
Martinus Dam. F yang
menceritakan betapa sulitnya untuk menyelesaikan alur kaderisasi
Serikat Jesuit yang
mengantarkan ia untuk selalu mengikuti Retret meski pun harus
menempuh perjalanan Jakarta-
Medan yang diikutinya setiap bulan selama mengikuti alur
kaderisasi tersebut.[3]
Serikat Jesuit berupaya menjadi gerakan bawah tanah yang sangat
militan, dikelola oleh
segelintir orang namun mampu memberikan efek terhadap perubahan
dunia. Oleh karena itu,
sistem kaderisasi Serikat Jesuit sangat tertutup dan tingkat
militansinya sangat ketat. Pernyataan
yang disampaikan oleh R.B. Riyo Mursanto SJ tentang 60% anggota
Serikat Jesuit menjadi
Intelektual Katolik -yang berasal dari berbagai macam disiplin
ilmu- sangat serius dalam
penggemblengan anggota di bidang keilmuan.
Hasil dari itu semua adalah, banyaknya sekolah-sekolah yang
berkualitas didirikan oleh
Serikat tersebut, seperti; pendidikan di SMA Kanisius Jakarta,
SMA Loyola Semarang, SMA de
Britto Yogyakarta, SMK PIKA Semarang, SMK Mikael Surakarta,
Akademi Tehnik Mesin
Surakarta, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Sekolah Tinggi
Filsafat Drikarya, Yayasan
Strada Jakarta, Yayasan Kanisius
Semarang-Kedu-Yogyakarta-Surakarta; karya Audio Visual
Puskat, Penerbitan Kanisius, pembimbing rohani para calon imam,
karya sosial karitatif, yang
telah menghasilkan banyak tokoh nasional dan tokoh-tokoh
intelektual di berbagai macam lini.
-
Dan perlahan kini mereka menuai hasilnya dengan cara menggenggam
banyak sektor
perekonomian Indonesia dan media, salah satunya adalah
keberhasilan koran kompas yang
merupakan bagian dari propaganda kaum Serikat Jesuit masih
menjadi media massa utama
masyarakat Indonesia itu sendiri.
(2) Konstruksi Berpikir: Ada hal yang menarik untuk
mengungkapkan cara bagaimana
Serikat Jesuit membangun konstruksi berpikir setiap anggotanya,
yaitu melalui pendekatan
teologis __rasional__visioner__kedisiplinan untuk membaca
perubahan dunia secara eskatologis
(gambaran tentang masa depan) yang dipersiapkan sejak hari ini.
Sifat merasa tidak puas
terhadap hasil yang diperoleh mereka saat ini menjadi pedoman
mereka untuk terus
menanamkan ambisi dan melakukan berbagai macam cara untuk
menggapai tujuannya.
Rasionalitas dalam pergerakan ini pun digunakan untuk mengukur
sejauh mana kinerja, upaya,
dan etos kerja yang selama ini dilakukan untuk mencapai misi
mereka di masa mendatang.
Dari pendekatan dua analisa inilah, setidaknya kita dapat
memaklumi bahwa sangat wajar
jikalau Serikat Jesuit yang jumlahnya begitu sedikit- namun
pengaruhnya terhadap
pembentukan opini publik melalui berbagai macam kekuatan media
yang dimilikinya, kekuatan
basis ekonomi-politik Indonesia di berbagai macam sektor, maupun
pengaruhnya di bidang
pendidikan sangatlah kuat bahkan sangat meng-hegemoni.
Yang menjadi refleksi selanjutnya adalah; bagaimana dengan kita?
Inilah yang sekiranya
patut kita sadari bersama. Zionis, Freemason, Syiah maupun
Amerika dan Israel dan gerakan-
gerakan sekutunya menyerang umat muslim maupun Indonesia- bukan
dengan hanya sebatas
emosional melainkan juga penuh dengan perencanaan yang begitu
matang dan terorganisir
melalui pendekatan setiap lini keilmuannya masing-masing.
Mengapa bidang keilmuan? Karena
ilmu adalah pisau tajam yang menjadi senjata ampuh untuk
menguasai dunia itu sendiri.
Mengapa Harus Jamaah Tarbiyah?
Mungkin pertanyaan inilah yang muncul dalam pikiran kita. Salah
satu yang melatar
belakanginya adalah;Jamaah tarbiyah adalah gerakan yang spirit
kelahiran dan perjuangannya
berada di tingkat kampus. Saat ini Jamaah tarbiyah hadir dan
berkembang di berbagai macam
kampus dan memberikan warna sekaligus dinamika kampus itu
sendiri dengan berbagai macam
cara perjuangannya. Jikalau kita menghitung, mungkin lebih dari
ratusan lembaga dari berbagai
macam universitas di Indonesia baik universitas negeri maupun
swasta- yang telah
mengkaryakan dan mendominasi oleh Jamaah tarbiyah tarbiyah itu
sendiri. Bahkan, kehadiran
Jamaah tarbiyah sudah mampu melebarkan sayapnya bukan hanya
mendominasi berbagai
kegiatannya dalam lembaga-lembaga keislaman kampus seperti;
Lembaga Dakwah Kampus
semata, melainkan juga sudah mulai merambah ke berbagai macam
lembaga Eksekutif
Mahasiswa, kelompok-kelompok studi, bahkan lembaga pers
mahasiswa itu sendiri.
Bagiku, penguasaan Jamaah tarbiyah terhadap berbagai macam
lembaga di tingkat
kampus adalah modal sosial yang begitu baik yang dimiliki oleh
umat Islam pada saat ini. Karena
fakta tersebut menunjukkan bahwa; perjalanan aktivis dakwah yang
mengazzamkan
kemenangan risalah Islam- masih dipercaya oleh mahasiswa pada
umumnya. Bahkan dalam
perjalanannya, Jamaah tarbiyah salah satu gerakan yang juga
turut berpartisipasi dalam
menstimulasi berkembangnya jilbabisasi di kampus-kampus
umum.
Wajarlah jikalau saat ini kita bisa menyatakan bahwa; Jamaah
tarbiyah sangat
mendominasi sektor kampus. Sebagaimana kita ketahui, kampus
adalah wadah formal
-
pembentukan aktor intelektual di berbagai macam bidang keilmuan.
Oleh karena itu, Jamaah
tarbiyah sudah mampu melembaga dan mampu mengembangkan ekspansi
dakwahnya di tingkat
kampus secara progresif- yang menjadi PR terpenting selanjutnya
adalah; menjadikan fungsi
kampus sebagai organ prioritas pembentukan tradisi intelektual
muslim itu sendiri.
Sebagaimana yang sama-sama kita pahami d tulisan part-1 dan
part-1 bagian 1 yang telah
aku kemukakan, mungkin prihal itulah yang saat ini menjadi
permasalahan fundamental Jamaah
tarbiyah kampus terlebih UGM- yang harus segera ditemukan
berbagai macam resolusinya.
Sebab, Jamaah tarbiyah sudah mendapatkan kepercayaan untuk
mendominasi berbagai macam
lembaga kampus, tinggalah kita bersama-sama mempertanggung
jawabkan kepercayaan
tersebut untuk menghadirkan karya terbaik bagi agama dan bangsa
ini di masa mendatang.
Tinjauan visioner sebuah lembaga yang dipercayakan kita pada
saat ini adalah suatu hal
yang penting untuk ditinjau lebih dalam. Sebab, karya-karya
terbaik dari setiap individu dan
lembaga yang dipercayakan kepada kita saat ini bukan hanya karya
tersebut diciptakan untuk
kebermafaatan hari ini atau hanya dirasakan selama satu tahun
kepengurusan- melainkan juga
harus menjadi wadah pemupuk karya permanen yang akan menjawab
berbagai macam
tantangan-tantangan masa depan bangsa Indonesia dan kebangkitan
agama ini. Maksudnya
adalah; setelah jihad jamaah tarbiyah melakukan Islamisasi
lembaga dengan agenda
jilbabisasi, pemakmuran masjid, dan mentoring-, yang menjadi
jihad terbesar Jamaah tarbiyah
adalah melakukan super visi untuk dapat menyelesaikan
permasalahan kemiskinan, ketidak
berdaulatan masyarakat Indonesia terhadap sumber daya yang
dimilikinya sendiri, dan
kesejahteraan Indonesia adalah tanggung jawab terbesar kita
kedepan. Sebab, ketika kita
mengusai sektor kampus, sektor kampuslah yang memiliki tanggung
jawab terbesar untuk
menyelesaikan permasalahan tersebut. Karena adalah wadah
pengembangan ilmu pengetahuan
dalam menyelesaikan permasalahan masyarakat itu sendiri.
Selanjutnya adalah; sudikah kiranya ketika zionisme, Amerika,
Israel, Syiah, maupun
sekutunya sedang bangkit mengembangkan visinya untuk menguasai
Indonesia baik di sektor
ekonomi, politik, pendidikan, sumber daya alam- kita hanya
berdiam diri dan tak pernah berpikir
keras untuk menyelesaikannya? Karena sebagaimana kita ketahui,
hari ini banyak diantara
berbagai macam kampus dimana didalamnya juga terdapat aktivitas
Jamaah tarbiyah kampus-
ruang-ruang diskusi tentang ke-Indonesia-an sudah mulai sepi
dari aktivisme mahasiswa sendiri,
ketika apatisme pengabdian untuk kebangkitan Indonesia sudah
mulai hilang ditenga-tengah kita,
kepada siapakah kita harus bersua? Salah satunya adalah;
membangun kesadaran aktivis
dakwah kampus untuk menjadikan perihal ini sebagai jihad
terbesar itu sendiri.
Mohon maaf kiranya jikalau berbagai macam tulisanku begitu
menyanyat hati, bahkan
cenderung sangat provokatif dan membuat diantara kita mungkin
tak kuasa. Begitu pun diri ini,
pahit rasanya untuk mengungkapkan berbagai macam permasalahan
dan dinamika Jamaah
tarbiyah itu sendiri. Jiwa terasa begitu tidak tenang, batin
terasa begitu tak karuan, tidur terasa
tidak nyaman, namun bagaimana pun juga aku harus tega terhadap
semua ini. Tega untuk
mengungkapkan hal yang begitu pahit untuk diungkapkan, tega
untuk menguatkan hati bahwa
perihal ini harus disadari oleh setiap kita.
Sudikah kiranya melihat umat Muslim berdiam ketika diluar sana,
mereka menyerang kita
sekuat tenaga tanpa pernah kita sadari? Sudikah kiranya batin
ini, ketika saudara-saudara
muslim kita di Timur Tengah seperti; Mesir, Syria, Sudan, dan
negara-negara lainnya sedang
ditimpa berbagai macam konflik yang melumpuhkan kehidupan negeri
mereka? Konflik tersebut
-
bukanlah suatu hal yang alamiah antara kubu opisisi dan rezim
pemerintahan dalam
memperebutkan kekuasaan, melainkan terdapat skenario politik
yang dilakukan oleh Amerika
(alibi Dewan Keamanan PPB) untuk menguasai ladang minyak Timur
Tengah itu sendiri.[4] Saat
ini Ikhwanul Muslimin dan Hamas -yang selama ini menjadi
stimulus Jamaah tarbiyah sedang
mengalami permasalahan yang begitu pelik dinegerinya.
Gerakan-gerakan tersebut tengah
dianiaya, dilumpuhkan, dan dimatikan dengan seketika. Tinggalah
ada satu stimulus gerakan lagi
yang hingga hari ini terus mengepakkan sayapnya secara bebas,
begitu besar, mayoritas berasal
dari aktivis kampus, dan menggawangi berbagai macam kelambagaan
strategis; ialah Jamaah
tarbiyah itu sendiri.
Henry Kissinger salah seorang aktor intelektual yang
mempengaruhi berbagai macam
kebijakan imprealisme Amerika menyatakan; agar kita mampu
menguasai dunia, yang saat ini
dibutuhkan adalah menguasai energi dan menguasai sektor pangan.
Dan kini, setelah Amerika
usai melancarkan misi-nya menguasai sektor minyak Timur Tengah,
yang akan dikuasai
selanjutnya adalah Asia Tenggara. Perihal itu dibuktikan dengan
rancangan strategis Amerika itu
sendiri. Pada tahun 2025 Amerika berencana menaruh 50% Militer
angkatan daratnya yang
memiliki pangkalan Militer di daerah Darwin Australia. Setting
kapitalisme melalui Asean
Economic Forum, dinamika Konfrensi Internasional WTO di Nusa Dua
Bali menunjukkan
langkah-langkah Amerika yang berambisi untuk menguasai sektor
pangan Asia Tenggara,
terlebih lagi Indonesia. Mengapa di Darwin? Mudah untuk ditebak,
karena Darwin adalah daerah
yang berdekatan dengan Papua yang berdekatan langsung dengan
sentral strategis Freeport itu
sendiri.
Nurani mana yang ingin mendiamkan bangsanya dijajah? Aku
rasa,diantara kita tidak ada
yang menginginkan perihal tersebut terjadi. Oleh karena itu,
ketika saat ini Jamaah tarbiyah
memegang peranan penting dalam aktivisme mahasiswa, penting
kiranya untuk menghidupkan
kembali kesadaran kita dimasa depan. Jamaah tarbiyah harus
bangkit dan mengokohkan dirinya
sebagai identitas perjuangan yang mampu menjawab berbagai macam
tantangan di masa
mendatang.
Dan dari perihal inilah, sekiranya kita harus bersungguh-sungguh
dalam merang masa
depan Indonesia maupun agama ini kedepannya. Dari perihal inilah
sekiranya kita tidak boleh
kalah dengan Serikat Jesuit maupun Zionisme dan sekutunya yang
telah merancang lebih dahulu
kemana nasib bangsa dan agama ini dipertaruhkan.
Untuk membaca nasib bangsa ini di tahun 2025, maka yang
dibutuhkan selanjutnya adalah
cara kita bersungguh-sungguh untuk memulainya dari sekarang.
Ketika Serikat Jesuit
menggalakkan anggotanya untuk menjadi pembelajar selama 12
tahun, kita harus jauh lebih
daripada itu. Setidaknya, ketakutan inilah yang menjadi
penggerak diri ini untuk bersungguh-
sungguh dalam belajar, dan perihal ini pula-lah yang sekiranya
aku menginginkan saudara-
saudaraku di dalam Jamaah ini hadir sebagai bagian dari
aktivisme pembelajar dan perjuangan
itu sendiri. Memang semua ini pahit, namun perihal inilah yang
setidaknya menjadi pengharapan
diri ini untuk sebuah kebaikan dakwah di masa mendatang. Mohon
maaf jikalau berbagai macam
kritik ini begitu meyakitkan, namun yakinlah bahwa hasil dari
berbagai macam pemikiran ini hadir
karena sebuah cinta dan kasih sayang yang mendasarinya, untuk
kehidupanku, kehidupanmu,
dan kehidupan seluruh umat manusia yang lebih baik. Tulisan ini
belum usai, masih akan ada
pembahasan fundamental lainnya yang akan di ulas di kemudian
hari.
Nuun.. Wal Qolami Wa maa Yasturuun..
-
[1] http://www.atmi.ac.id/index.php/jesuitwall-116 Diunduh
tanggal 19 September 2013
[2]
http://www.sesawi.net/2012/02/14/jumlah-anggota-sj-provinsi-indonesia-terbanyak-se-
asia-pasifik/ diunduh tanggal 19 september 2013
[3] Untuk keterangan lebih lanjut, silahkan
baca:http://prompang.blogspot.com/2010/05/refleksi-seorang-teman.html
[4] Perihal ini aku tuliskan karena sejatinya peristiwa yang
terjadi di Timur Tengah tidak
jauh berbeda dari sejarah-sejarah sebelumnya. Sofwan Al Banna,
dalam bukunya yang
berjudulMembentangkan Ketakutan: Jejak Berdarah Perang Global
melawan
Terorismemengungkapkan bahwa; di masa perang dingin, Timur
Tengah adala arena perebutan
pengaruh yang penting antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Keduanya menggerayangi
kawasan vital karena kandungan minyak dan lokasinya yang
strategis tersebut dengan
mendukung kelompok yang mau beraliansi dengan mereka, sekaligus
saling menyabotasi
kelompok yang didukung oleh rivalnya. Suatu ketika, hubungan
antara Amerika dan Irak berjarak
ketika pada masa kekuasaan Jenderal Abdul Karim Qasim dikesankan
bahwa Irak sedang
berdekatan dengan komunis. Pergantian rezim ke rezim terus
berganti. Ketika memasuki tahun
1979 Saddam Husein melakukan kudeta terhadap rezim yang saat itu
jauh dari kaki tangan
Amerika. Semenjak tahun itulah, ketika keberhasilan Saddam
Husein mengkudeta rezim dan
mengukuhkan dirinya sebagai presiden Irak, kedekatan antara Irak
dan Amerika semakin dekat.
Namun hubungan tersebut tidak berlangsung lama. Irak merasa
dikhianati oleh Amerika Serikat
karena telah membantu Kuwait tahun 1990-an. Ketika itu Irak
semakin tidak kooperatif terhadap
Amerika. Amerika pun menunjukkan Iyad Allawi untuk menjatuhkan
rezim tersebut pada tahun
2003. Pasca peristiwa 11 September 2001, Amerika menggalakkan
Perang Global Melawan
Terorisme yang salah satunya adalah upaya masuknya militer AS ke
Irak (menjadikan Saddam
Husein sebagai ikon terorisme) dan daerah-daerah sumberdaya alam
strategis lainnya atas
nama keamanan global. Ketika militer AS datang ke Irak, yang
pertama kali invansi oleh militer
tersebut adalah ladang-ladang minyak. Bahkan Todd Pittman
menekankan; Perang Global
Melawan Terorisme di Afrika pun ditengarai hanya alasan untuk
mendapatkan akses pada
sumber-sumber minyak benua itu, yang pada pertengahan tahun
2000-an merupakan 15 persen
dari suplai minyak Amerika Serikat dan diperkirakan akan
mencapai 25% pada tahun 2015 nanti.
Perihal ini tak jauh berbeda dengan kondisi Timur Tengah saat
ini.
Kita Takkan Diam! (Bayyanat untuk Jama'ah Tarbiyah UGM Part 1
bagian Terakhir)
January 20, 2014 at 7:25am
Hari-hari Kebangkitan!
Sebelum membahas part-1bagian 4 lebih jauh. Sudah sepatutnya,
kiranya aku
mengingatkan bahwa; ketikateman-teman membaca bagian ini namun
belum membaca bagian 1,
2, dan 3, makasaya sangat menekankan mohon dengan sangat untuk
membaca terlebih
dahulubagian-bagian sebelumnya. Begitu pun untuk yang baru
membaca bagian 1, maka
adakewajiban untuk membaca bagian-bagian selanjutnya hingga
selesai. Penekanan
-
terhadappembacaan secara keseluruhan sangat penting karena
perihal ini berkaitan
denganberbagai macam penafsiran dan prasangka yang berkembang
kedepannya.
Musuh bukanlah Kritik
SemogaAllah memberkahi kita semua. Di dalam tulisan bagian
terakhir ini,
sudahsepatutnya aku mohon maaf sebesar-besarnya kepada segenap
pembaca dan
segenapkader Jamaah tarbiyah yang jika dalam penulisan berbagai
macam gagasan kaliini
dipenuhi dengan berbagai macam perihal yang menjadi kontroversi
dan penuhdengan praduga.
Bagiku, itu adalah suatu hal yang wajar karena bagaimana punjuga
pastilah setiap umat manusia
tak ada yang sempurna. Yang sepatutnya kitalakukan adalah
berusaha sebaik mungkin untuk
mencapai kesempurnaan itu sendiridengan sebaik mungkin. Untuk
mencapai itu semua, tentu
terdapat berbagai macamevaluasi dan instrospeksi yang harus
dihadirkan, harus mampu
menghadapiberbagai macam rintangan yang menghadang. Meski pun
patut kita sadari,
bahwadengan berusaha sebaik mungkin pun pastilah ia tidak akan
menggapai kesempurnaanitu
sendiri, sebab yang bisa kita lakukan adalah meminimalisir
setiapkekurangan yang ada dalam diri
kita. Meski pun begitu, yang patut kita sadariadalah; bahwa
setiap kekurangan dari kita pun tidak
bisa diselesaikan olehseorang diri, melainkan butuh orang lain
yang mampu melengkapi
kesempurnaan danmampu menutupi setiap kekurangan dari individu
kita sendiri. Karena
perihalitulah sejatinya ukhuwwah.
Begitupun dengan tulisan ini, pastilah terdapat berbagai macam
kekurangan danberbagai
macam gagasan yang perlu dikritisi ulang. Sebab sejatinya, kita
semuamenyadari bahwatidak
ada gading yang takretak. Maafkan diri ini jikalau belum bisa
menjadi contoh ideal seorangkader,
maafkan jiwa ini jikalau belum bisa menjadi saudara yang bisa
membahagiakanteman-teman dan
belum bisa menjalin ukhuwwahdengang baik dan justeru terlalu
sering bersikap kritis terhadap
satu samalain. Namun yakinlah, bahwa ketika tulisan ini
dipergulirkan, sesungguhnyatulisan ini
pun menjadi bagian dari kritik terhadap diriku sendiri yang
hinggahari ini belum mampu
memberikan karya terbaik untuk agama dan bangsa ini. Meskipun
dengan bahasa yang begitu
kritis dan sarkas, yakinlah bahwa jalan inidiambil hanya
semata-mata karena cinta yang hadir
untuk melihat kembali jamaah tarbiyah yang telah
membawakumengenal Islam lebih jauh.
Karena di jamaahinilah, sesungguhnya aku begitu mengerti betapa
pentingnya arti
sebuahperjuangan.[1]
Perihalini pula-lah, sekiranya kita pahami bahwa di dalam
Jamiyah Islamiyah pun terdapat
kekurangannya masing-masing yangmungkin hanya bisa ditutupi
kekurangan tersebut
olehJamiyah Islamiyah yang lainnya. Perihal ini juga terjadi
dalam setiap mazhab baik imam
hanafiyah, , maupun imamsyafiI memiliki kelebihan dan
kekurangannya satu sama lain. Yang
palingterpenting dari setiap mazhab itu adalah saling menutupi
kekurangan satu samalain.
Perihal ini pula-lah yang menjadi inspirasi terhadap Hasan
Al-Banna untukmengumpulkan
berbagaimacam mazhab kala itu untuk mendirikan Ikhwanul
Musliminitu sendiri.
IkhwanulMuslimin memiliki spirit persaudaraan muslim yang
berpacu pada kokohnya Aqidah
Islamiyah tidak mengenal apa punlatar belakangnya, siapa pun
mazhab dan golongannya,
sebab yang menjadi spiritbagi Ikhwanul Muslimin adalah persatuan
umat untuk menggapai
kemenanganIslam itu sendiri.
Oleh karena itu, sangat wajar jikalau kita melihat model gerakan
Ikhwanul
Muslimincenderung lebih akomodatif terhadap berbagaimacam
mazhab, namun tetap
-
berpegangteguh terhadap prinsip gerakan itu sendiri. Perihal ini
juga tak jauh berbedadengan
spirit Jamaah tarbiyah pada umumnya.
Sudah semestinya, dari penjelasan diatas patut dipahami bahwa
bagaimana pun
juga,jamaah tarbiyah pun memiliki berbagai macam kekurangan dan
kelebihan yangpatut saling
ditutupi kekurangan tersebut satu sama lain dari gerakan
yanglainnya. Bagaimana pun juga,
sebuah gerakan yang terbaik adalah gerakan yangmampu membangun
solideritas
dan mendistribusikan berbagai macam kekuatan terhadap gerakan
yang lainnya.
Maksudnyaadalah; patut disadari bahwa kekuatan terbesar Jamaah
tarbiyah saat ini
adalahdibidang politik-kenegaraan, Muhammadiyah dibidang
sosial-kemasyarakatan,Nahdhatul
Ulama dibidang kulturkeagamaan dan tradisi keilmuan, Salafi
dibidang Aqidah, Jamaah
Tablighdibidang pengemasan dakwah terhadap kaum marjinal, Hizbut
Tahrir dibidangaksi-
demonstrasi, dll. Dari perihal ini, muncul sebuah harapan baru
tentangbagaimana Jamaah
tarbiyah mampu mengakomodir berbagai macam golongan untuksaling
menutupi berbagai
macam kekurangan satu sama lain dimulai dari apa yangada
disekitar kita saat ini. Caranya
adalah; membangun ikatan persaudaraan satusama lain dan
pahamilah, bahwa hakikat ukhuwah
adalah ketika kita salingmemahami perbedaan satu sama lain,
namun esensi terhadap
perjuangan terhadapkemenangan Islam adalah sama.
Ketikaberbicara di tingkat kampus, mungkin saat ini ada
pertanyaan yang muncul
dalambenak kita; bagaimana cara membangun itu semua sedangkan
terkadang justerumereka
memusuhi kita? Sebagaimana yang kita lihat pada momentum Pemira
tahunini, ketika gerakan
Ekstra Kampus seperti IMM, PMII, HMI DIPO, dan dariberbagai
macam kalangan lainnya justeru
menjadikan KAMMI sebagai common enemy, bukankah jalan dakwah
inimemang berat?
Dalamhal ini, ada beberapa hal yang patut kita sadari bersama
bahwa; mungkin
carapendekatan kita terhadap mereka mengalami permasalahan.
Semisal, kita hanyabertemu
dan berkomunikasi intens dengan mereka ketika hanya pada saat
mendekatiPemira, penentuan
posisi kabinet, atau pun hanya ketika memiliki
kepentingantertentu. Kalau perihal ini yang selalu
terjadi, maka dapat kita pahami bahwa;Pemira adalah arena
kompetisi politik-kekuasaan dimana
setiap orang mencobamemenangkan kekuasaan demi mencapai
kepentingan politik masing-
masing. Mungkin,selama ini kita selalu berkomunikasi kepada
mereka hanya melalui mechanistic
approach (pendekatan kerja)yang hanya bertemu pada permasalahan
kompetisi kinerja dan
kelembagaan semata,namun mungkin kita lupa untuk mendekati
mereka melaluihumanistic
approach (pendekatan humanis) yang mempertemukan merekabukan
hanya ketika berlembaga,
melainkan juga membangun ikatan persaudaraan disetiap keseharian
kita. Bagaimana pun juga,
manusia memiliki sisi-sisi humanisdimana setiap individu kita
ingin diketahui perasaan setiap
individu,eksistansi kelebihan setiap individu yang tidak akan
pernah kita ketahui ketikaberada
dalam pendekatan kerja, atau hanya bertemu mereka pada
kerja-kerjakelembagaan semata,
melainkan kita akan mengetahuinya ketika kita menjadibagian dari
teman sejati mereka yang
mampu bertemu mereka disetiap keseharianmereka.[2]
Ituartinya, kita tidak hanya bertemu mereka ketika pada kegiatan
politik seperti pada saat
mendekati Pemira semata,melainkan kita harus mendekati mereka
disetiap keseharian kita.
Denganbegitulah, kepercayaan terhadap identitas kita sebagai
aktivis dakwah pundihargai oleh
setiap kalangan. Ketika ini yang kita lakukan, inshaaAllah kita
akan mampu membangunkekuatan
Islam dengan berbagai macam gerakan muslim lainnya yang bertemu
diberbagai macam bidang
-
kegiatan kehidupan, semisal; bidang kegiatan sosial,bidang
kegiatan tradisi keilmuan, bidang
kajian ke-Islam-an, bahkan hinggabidang kebudayaan, dll.[3]
Perihalini pula-lah yang coba kita ikhtiar-kandi Gerakan
Indonesia Berdaulat! (GIB) yang
didalamnya terdapat berbagai-macamkalangan baik yang berasal
dari kanan mentok, hingga kiri
mentok- inshaaAllah terdapat didalamnya.Kesadaran yang ditanam
dalam gerakan ini adalah
membangun kekuatan politikbersama dalam bidang kedaulatan, bukan
untuk mendominasi atau
pun untukmempolitisir kepentingan golongan tertentu.
Mungkin,pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah; bagaimana
ketika diantara kitasaling
mengkritisi? Jika perihal mengkritisi sesuatu sesuai dengan
fakta yangberkembang meski
terkadang cara mengkritisinya belum tepat- yang harus
kitakedepankan adalah
sifatkhusnudzhonitu sendiri. Salim A. Fillah mengungkapkan; pada
dasarnya, musuh yang
menyamarlebih menyenangkan daripada teman sejati. Maksudnya
adalah, sebagaimana
kaumzionisme saat ini, cara mengelabui umat Islam tidak
selamanya dilakukan dengancara
kekerasan, melainkan bagaimana melenakan umat Islam melalui
fashion, food, film, gamedsb.
Begitupun diri ini, jikalau diri ini membiarkan
saudara-saudaraku terlena dengan apayang
mungkin menjadi jurang penjerumus masa depan, maka tak
ubahnyalah akumenjadi bagian dari
kalangan zionis? Sahabat sejati adalah sahabat yang
selalumeningatkan dan menjauhi
sahabatnya dari lubang kenestapaan. Sudikah kiranyakau jadi
sahabat sejatiku?
Sebuahkata bijak mengungkapkan; semua orang berhak menjadi dai
dan menyebarkan
kebenaran. Sebab, kebenaran yangditutup-tutupi akan menimbulkan
kejahatan yang lebih besar.
Begitu pun diriini, meski mungkin cara dan sikapku dalam
mengungkapkan perihal ini
memilikiberbagai macam perdebatan, namun setidaknya yakinlah
bahwa hati ini tak inginmelihat
saudaranya mengalami pelemahan dalam gerakan akibat kita terlalu
puasatau pun permisif
dengan apa yang ada dalam diri kita saat ini. Semogadengan
inilah, Allah membangkitkan
kembali semangat kita dalam bergerak.
Mungkinkah Murobbi?
Sebelum membahas perihal lebih jauh, patut sekiranya aku sangat
meminta maaf
jikalautulisan part 1 bagian 2 yang membahas tentang
permasalahan halaqoh maupunmurobbibegitu mendalam dan bahkan
terkesan sarkastis. Namun,
yang patut dipahamibahwa; ada kekhawatiran yang tinggi jika
realita tersebut
berkembangditengah-tengah kita. Mungkin, kita pun sangat sulit
untuk mengembalikanke-
emasan Islam di Madinah dan Makkah seperti dahulu kala, yang
hidup dalamtradisi keilmuan
yang begitu tinggi dan terukur dalam menentukan siapa yanglayak
menjadi murobbi.
Meski pun begitu, bukan berarti kitaharus menyerah dengan
kondisi yang ada dan berdiam
terhadap dinamika realitayang berkembang. Yang harus kita
lakukan saat ini dan ini pun
menjadiinstrospeksi keras bagi diri ini- adalah upaya untuk
melakukan perbaikan itusendiri. M.
Faudhil Adhim menyatakan; saat ini kebanyakan dari kita
adalahorang-orang yang baru hanya
semangat ghiroh-nya,namun sangat lemah dalam ghiroh
ber-tholabulilmi.
Semoga, apa yang diungkapkan olehUstadz Faudhil Adhim menjadi
sebuah batu loncatan
untuk kita bergerak lebihbaik. Ibnu Khaldun yang menyatakan;
peradaban merupakan produk
dari akumulasitiga elemen penting yaitu 1) kemampuan manusia
untuk berpikir yang
menghasilkansains dan teknologi 2) kemampuan berorganisasi dalam
bentuk kekuatan politikdan
militer dan 3) kesanggupan berjuang untuk hidup.[4]
-
Dalampandangan Ibnu Khaldun, faktor terpenting dari hancurnya
suatu peradaban
adalahrusaknya sumber daya manusia, baik secara moral maupun
secara intelektual.Merosotnya
moral penguasa akan mengakibatkan menurunnya kegiatan keilmuan
dankepedulian masyarakat
terhadap kepentingan ilmu itu sendiri.
Sebagaimanakita ketahui, memang pada dasarnya mentor di tingkat
kampus pun masih
tergolongminim. Selain itu, karena memang kebutuhan yang
mendesak untuk merespon
ribuanorang yang ingin mengaji, maka syarat seseorang untuk
menjadi mentor pundipermudah.
Bagiku, sebenarnya perihal tersebut bisa disiasati dengan
beberapacara.
Mentoring keilmuan. Sebagaimanayang kita pahami, bahwa pada saat
ini
konsep halaqohdi tingkat kampus sudah sesuai dengan setiap
klastermasing-masing. Namun
mungkin, dalam hal ini penekanan untuk menjadi ahli dibidang
keilmuannya masing-masing
belum begitu ditekankan. Maksudnya adalah; alangkah lebih
baiknya jikalau kitamemahami
bahwa kapasitas keagamaan kita belum mencapai standar
tertentusemisal; tahsin dan
tahfidz Al-Quran secara baik dan benar, munguasai ilmu Islam
yang sangatmendasar- bisa
disiyasati bahwa fungsi murobbiyang kala itu terdesak karena
kebutuhan lebih menekankan
kepadamurobbi-nya untuk meng-upgrade setiap mutarobbi pada
penekanan akademik dantradisi
keilmuan di bidangnya sesuai dengan paradigma pendidikan Islam.
Misal; murobbi yang berada
di kluster agrosangat menekankan mutarobbi-nya untuk menjadi
ahli di bidang agro.
Fungsi halaqoh juga harus mampu menelaahpermasalahan di
bidangnya, lalu mencari solusi dan
di-upgrade untuk menjawabtantangan-tantangan di masa depan.
Semisal; permasalahan agro
saat ini adalahketergantungan masyarakat Indonesia terhadap
beras dan gandum. Sebagaimana
kitaketahui, saat ini dengan impor beras telah menyebabkan
banyaknya petani yanggulung tikar.
Terlebih lagi gandum, Indonesia 100% impor gandum
yangmenghabiskan subsidi negara
mencapai sekitar 16 triliun hampir sama dengananggaran
Kementerian Pertanian tahun 2013-
telah merugikan negara itu sendiri.Dari contoh permasalahan
inilah; bagaimana
dalam halaqoh mampu mencari solusi dan mampu
mengarahkan mutarobbi menyelesaikanpermasalahan-permasalahan
tersebut di masa
mendatang dengan cara mengarahkansetiap mutarobbi untuk menjadi
ahli di bidang pangan itu
sendiri. Cita-cita dankeinginan setiap mutarobbi harus diketahui
oleh setiap peserta halaqoh, dan
fungsi murobbi dalam halini adalah menjadi control
socialuntukmengarahkan setiap mutarobbi-
nyafokus terhadap pencapaian cita-citanya yang dibutuhkan demi
menyelesaikanpermasalahan
umat. Perihal tersebut bisa dilakukan dengan cara
menambahkanmutabaah yaumiah yang
diintegrasikan dengan mutabaah keilmuan yang selaludipantau
setiap kali halaqoh. Hal
iniberkaitan dengan; belajar setiap hari di luar kuliah kampus
selama tiga jam,penguasaan materi
akademik, dan penguasaan ilmu-ilmu alat.[5]
Ibnu Khaldun menyatakan bahwa subtansimaju mundurnya peradaban
ditentukan dengan
maju mundurnya ilmu pengetahuan.Namun ilmu pengetahuan tidak
akan hidup jika tidak
ada komunitas aktif yangmengembangkannya. Ketika Jamaah
tarbiyahingin menggapaidaulah
Islamiyah,maka yang harus ditekankan adalah pengembangan
komunitas kecil yang aktif dalam
pengembangan keilmuandan pergerakan. Dari komunitas kecil yang
konsisten dan berkembang
akanmelahirkan peradaban yang besar dengan menjamahnya komunitas
aktif yang besarpula.
Dari komunitas itulah akan terbentuk masyarakat yang memiliki
berbagaimacam kegiatan
kehidupan yang akan menciptakan sistem kemasyarakatan.
KotaMadinah, kota Cordova, kota
Baghdad, kota Cairo, dll adalah kota yang terlahirdari suatu
komunitas kecil aktif yang
kemudian menciptakan sistemkemasyarakatan hingga berujung pada
penciptaan suatu Negara.
-
Mungkin yang jadi pertanyaan selanjutnya adalah; bagaimanadengan
pengembangan ilmu
Islam-nya? Salim A. Fillah menyatakan; ketika kitasecara sadar
berada dalam keadaan yang
mungkin belum mumpuni dalam kapasitaske-ilmu-an Islam, yang
harus dilakukan adalah
bagaimana menggiring setiap mutarobbi untuk terlibat aktif
dalammajelis-majelis ilmu Islam
bersama para asatidz.Misal; halaqoh bisa diarahkan setiap
mutarobbi untuk merutinkan
pengajianbersama ustadz secara ter-manage. Di sisi lain; murobbi
juga harus terus-menerus
mendalami ilmuke-Islam-an itu sendiri dengan
sungguh-sungguh.[6]
Pada dasarnya, masih begitu banyak perihal yang aku ingin bahas
dalam tulisan ini.Namun,
mungkin akan ada pembahasan lebih jauh yang akan aku tuliskan
dikemudian hari. Pada
dasarnya, ada beberapa solusi yang sekiranya tidak dapat
diungkapkan dalam tulisan ini yang
ingin sekali aku bersillaturrahim dengansahabat-sahabatku di
dalam jamaah tarbiyah untuk
membahas perihal ini lebihjauh. Setidaknya, inilah bagian dari
ikhtiarku untuk menjawab segala
tantangan yang menghadang kita di depan. Apakah rela kita
dijajah kembali dan tetap bertekuk
lutut dihadapan zionis dan sekutunya? Apakah kita masih rela
melihat tukang becak yang
sebegitu tua terus mendayungkan becaknya demi sesuap nasi?
Sedangkan kita yang hari ini
menjadi bagian dari kaum intelektual hanya bisa berdiam dan
menjadi penonton terhadap segala
macam kedholiman. Aku rasa, disinilah esensi kita untuk bangkit
dan bergerak kembali. Semoga
dengan inilah, Jamaahtarbiyah bisa bangkit dan mampu menjadi
kekuatan baru bagi umat
muslim saatini. Amiin ya Robb..
Wallahu Alam Bii Showaab..
[1]Betapa tidak, aku tidak pernah mengerti tentang apa nasibku
hari ini jika akutidak
mengenal Jamaah tarbiyah kala itu. Allah memberikan kasih-Nya
kepadakuuntuk tidak akan
pernah aku sia-siakan. Aku adalah salah seorang pernahmengalami
Drop Out secara halus dari
Madrasah Tsanawiyah-ku dulu lantaranbegitu sering membolos tanpa
alasan dan berbuat begitu
onar di sekolah. Padamasa itu pula, meski aku tidak pernah
menggunakan ganja, namun aku
pernahmenjadi bagian dari kehidupan orang-orang yang memakai
ganja itu sendiri.Ketika
memasuki Madrasah Aliyah Al-Hikmah, disanalah pertama kali
akuberkenalan dengan Jamaah
tarbiyah. Darisanalah aku begitu sadar, betapakehadiran Islam
sungguh aku butuhkan. Aku
dibina dengan keikhlasan dan kasihsayang sebagaimana yang pernah
aku tuliskan tentang
berbagai macam pengalamanyang pernah aku dapatkan di KAPMI dan
Al-Hikmah. Di KAPMI-lah,
tempat pertamakali aku mengenal bagaimana aku dibina olehnya
dalam memperjuangkan apa
yangbisa kita perjuangkan kala itu. Dalam hal ini, aku sungguh
berterima kasihkepada kakakku,
Fahmi Irhamsyah yang telah mengantarkanku untuk memiliki
hidupyang lebih bermakna.
[2]Perihal ini dapat dibuktikan dengan sejauh mana kita
mendekati mereka padaruang
yang bersifat kultural. Semisal;intensitas mengunjungi
kost-kost-san mereka, makan bareng
dengan mereka, tidurbareng, nonton film bareng, belajar bareng,
hingga akhirnya mereka
mempercayaikita dan menjadikan kita bagian dari kehidupan
mereka. Sehingga mereka
tidaksungkan untuk menyampaikan berbagaimacam unek-uneknya
kepada kita. Perihalini pula
sebagaimana yang kita dapatkan antara kita dengan sesama
kadertarbiyah itu sendiri dalam
membangun ukhuwah dan sebagaimana pertama kali kitamendekati
Jamaah tarbiyah itu sendiri.
Dalam hal ini, aku sangat berterimakasih kepada kerebatku Zaki
Arrobi, Gani Rahardjo, Mas
Hafidz Arfandi, MasBhima Yudhistira, dan Fadhli Azami, dkk meski
pun kita berbeda dalam
carapandang dan berbeda dalam gerakan, namun mereka adalah orang
yang
menginspirasikuselama ini.
-
[3]Perihal ini adalah cara untuk bagaimana kita membangun
kesatuan umat
denganberbagai macam gerakan lain, baik dengan Muhammadiyah yang
bisa
salingmembangun supporting system dalamsosial kemasyarakatan,
Nahdhatul Ulama yang bisa
membangun supporting system dalam bidangpengembangan kultur
kebudayaan dan tradisi Islam,
Salafi yang bisa membangun supporting system dalam
bidangpengembangan Aqidah-Tauhid di
setiap masyarakat.
[4]Ibn Khaldun, Abd al-RahmAn Ibn Muhammad, TheMuqaddimah: an
Introduction to
History, Penerjemah Franz Rosenthal, 3jilid, editor N.J. Dawood.
(London, Routledge & Kegan
Paul, 1978,hal.54-57. Dalam Hamid Fahmy Zarkasyi.
PeradabanIslam: Makna dan Strategi
Pembangunannya.(Ponorogo: Center for Islamic andOccidental
Studies, 2010) hal. 16
[5]Memang perihal ini sangatlah ideal. Dan saat ini, aku pun
belum menjadi murobbi yang
membidangi hal tersebut.Dan perihal inilah yang menjadi PR
terbesar bagiku. Meski pun begitu,
benihuntuk menciptakan hal seperti ini sudah mulai tumbuh, oleh
karena itu akusedang
melakukan eksperimen terhadap beberapa orang untuk mampu
mengawaliperihal tersebut di
bidang kedaulatan dan pemikiran Islam. Ada komitmen bagidiri ini
untuk menjadi ahli di bidang
keilmuanku semisal sosiologi, kepenulisan,dan pemikiran- oleh
karena itu saya sudah
membangun komitmen belajar selama 5jam diluar dari proses
belajar-mengajar kampus. Dan
perihal ini sedang akutekankan di Gerakan Indonesia Berdaulat
(GIB) untuk menggagas
kedaulatan itusendiri. Mengapa aku bersi-kukuh dengan GIB?
Karena dari para pemikir
politikIslam dari Ibnu Taymiyah hingga Fazlur Rahman sangat
kedaulatan dalam
Islam.Kedaulatan adalah kata yang diambil dari bahasa Arab dari
kata Daulah__DaulahIslamiyah.
Maksudnya adalah; ketika kita ingin mencapai Daulah Islamiyah,
makayang harus kita lakukan
adalah mendaulatkan negeri ini terlebih dahulu baikterhadap
sumberdaya alam dan
kesejahteraan bagi masyarakat. Sebab, kedaulatanadalah dakwah
dan jihad terbesar yang harus
menunjukkan bahwa identitas kitasebagai seorang muslim harus
mampu menggapai kedaualatan
demi kesejahteraanumat, disanalah kita akan mampu menginisiasi
Daulah Islamiyah
yangsesungguhnya. Oleh karena itu, wajarlah jikalau GIB tidak
mengambil peran
dalamperebutan kekuasaan BEM KM. Karena bagi kami, ada
permasalahan yang lebih
besaruntuk kita perjuangkan. Dan hal ini pula yang aku lakukan
dari permasalahanyang paling
kecil, untuk tidak memakan roti, mie yang seluruhnya
menggunakangandum. Perihal ini dalam
rangka mengurangi gandum sedikit demi sedikitterhadap kita demi
keutuhan pangan lokal. Selain
itu juga berkomitmen untuktidak membeli kebutuhan pribadi di
Indomaret, Alfamaret, Circel Q,
Seven Elevendan sekutunya yang telah mematikan pasar rakyat.
Begitu pun untuk tidak
membeliproduk-produk Coca Cola Company, Unilever, dll. Perihal
ini juga yang menjadipesan
dari Syeikh Ahmad Yasin dalam surat yang ditulisnya untuk umat.
Perihalini akan dibahas lebih
lanjut dikemudian hari.
[6]Padadasarnya, perihal inilah yang sangat ditekankan oleh
setiap kader di awal-
awalterbentuknya Jamaah tarbiyah. Namun,sebagaimana Salim A.
Fillah juga mengakui;
semangat seperti ini sudah sedikitdemi sedikit hilang. Di sisi
lain, akujuga melihat beberapa
kader masih adayang sulit sholat subuh di Masjid dan masih
sering tidur setelah sholat
subuhtanpa suatu alasan tertentu. Sebagaimana kita ketahui,
waktu-waktu tersebutadalah waktu
yang begitu penting untuk beraktifitas dan adanya keberkahan
didalamnya. Ini pantauanku
terhadap beberapa mentor, harus lebih semangat lagiberkaitan
dengan hal ini.