Top Banner
3 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Trauma Kepala 2.1.1 Definisi Trauma kepala atau cedera otak traumatik (Traunatic Brain Injury) merupakan salah satu kondisi yang paling serius dan mengancam jiwa pada korban trauma. Trauma tajam kepala adalah trauma pada kepala yang menembus tengkorak secara proyektil namun tidak menembus keluar tempurung kepala. Penanganan perioperatif pasien-pasien dengan trauma kepala difokuskan secara agresif ke arah stabilisasi pasien dan menghindarkan gangguan pada intrakranial dan sistemik yang dapat menyebabkan cedera neuronal sekunder. Akibat sekunder seperti ini, meskipun dapat dicegah dan dapat ditangani, dapat memberikan komplikasi pada pasien dan dapat mempengaruhi hasil perawatan. 2.1.2 Klasifikasi Trauma Kepala Trauma kepala dapat dibagi menjadi dua jenis berdasarkan mekanisme trauma: 1. Trauma kepala dengan penetrasi Dibagi menjadi: luka tembak dan luka penetrasi lainnya
34

Anestesi pada Head Injury

Dec 11, 2015

Download

Documents

NisaTriana

Konsiderasi anestesi pada trauma kapitis atau head injury
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Anestesi pada Head Injury

3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Trauma Kepala

2.1.1 Definisi

Trauma kepala atau cedera otak traumatik (Traunatic Brain Injury)

merupakan salah satu kondisi yang paling serius dan mengancam jiwa pada

korban trauma. Trauma tajam kepala adalah trauma pada kepala yang menembus

tengkorak secara proyektil namun tidak menembus keluar tempurung kepala.

Penanganan perioperatif pasien-pasien dengan trauma kepala difokuskan

secara agresif ke arah stabilisasi pasien dan menghindarkan gangguan pada

intrakranial dan sistemik yang dapat menyebabkan cedera neuronal sekunder.

Akibat sekunder seperti ini, meskipun dapat dicegah dan dapat ditangani, dapat

memberikan komplikasi pada pasien dan dapat mempengaruhi hasil perawatan.

2.1.2 Klasifikasi Trauma Kepala

Trauma kepala dapat dibagi menjadi dua jenis berdasarkan mekanisme

trauma:

1. Trauma kepala dengan penetrasi

Dibagi menjadi: luka tembak dan luka penetrasi lainnya

2. Trauma kepala tumpul

Dibagi menjadi: askelerasi (kecepatan tinggi) dan deskelerasi (kecepatan

rendah).

Trauma kepala berdasarkan morfologi dibagi atas:

1. Skull Frakture

Dibagi lagi atas: vault fracture (linear/satellite, depressed/non-depressed,

open/close) dan basilar (dengan atau tanpa perembesan cairan serebrospinal,

dengan atau tanpa paralisis nervus VII).

Page 2: Anestesi pada Head Injury

4

2. Lesi Intrakranial

Dibagi lagi atas: fokal (epidural hematoma, subdural hematoma dan

intrakranial hematoma) dan difus (kontusi ringan, kontusi klasik dan diffuse

axonal injury).

Cedera kepala dapat disebabkan oleh dua hal anatara lain:

1. Benda tajam : Trauma benda tajam dapat menyebabkan cedera setempat

2. Benda tumpul: Trauma benda tumpul dapat menyebabkan cedera secara

menyeluruh akibat dari energi/kekuatan yang diteruskan kepada otak.

Kerusakan jaringan otak karena benda tumpul tergantung pada lokasi,

kekuatan, fraktur infeksi / kompresi, rotasi, delarasi dan deselarasi.

Trauma kepala diklasifikasikan atas trauma primer dan sekunder.

Klasifikasi ini bermanfaat dalam merencanakan penanganan selanjutnya.

1. Cedera primer merupakan kerusakan yang disebabkan oleh tubrukan

mekanis langsung dan tekanan akselerasi-deselerasi yang mengenai

kranium dan jaringan otak, yang menyebabkan tulang tengkorak dan lesi

intrakranial. Lesi intrakranial kemudian dibagi menjadi dua tipe: cedera

difus dan cedera fokal

a. Cedera otak difus dibagi menjadi dua kategori

1) Kontusio otak yang mana penurunan kesadaran berlangsung <6 jam

2) Cedera aksonal difus merupakan koma traumatik yang berlangsung >6

jam

b. Cedera otak fokal dibagi menjadi:

1) Kontusio otak biasanya terletak di bawah atau di daerah berlawanan

dari asal tubrukan

2) Hematoma epidural biasanya disebabkan oleh fraktur tulang

tengkorak dan laserasi dari arteri meningea media

3) Hematoma subdural biasanya disebabkan oleh robeknya bridging

veins antara korteks serebri dan sinus drainase. Hematoma subdural

dikatakan mempunyai angka mortalitas yang tinggi.

4) Hematoma intrakranial biasanya terletak di lobus frontal dan temporal

dan dapat terlihat sebagai massa hiperdens pada CT-Scan. Jaringan

Page 3: Anestesi pada Head Injury

5

otak yang rusak karena tubrukan primer tidak akan dapat

diselamatkan. Karena itu, hasil fungsional meningkat dengan

dilakukan intervensi bedah dan terapi medis.

2. Cedera sekunder terjadi dalam hitungan menit, jam, ataupun hari sejak

terjadi cedera awal yang menyebabkan cedera otak yang lebih lanjut.

Cedera sekunder yang umum berupa hipoksia serebral dan iskemia.

Cedera sekunder dapat disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:

a. Disfungsi respirasi (hipoksemia, hiperkapnia)

b. Instabilitas kardiovaskular (hipotension cardiac output yang rendah)

c. Peningkatan tekanan intrakranial

d. Gangguan biokimia

2.1.3 Patofisiologi Trauma Kepala

1. Efek sistemik trauma kepala

a. Respon kardiovaskular terhadap trauma kepala biasanya terlihat pada fase

awal. Hal ini berupa hipertensi, takikardi, dan peningkatan cardiac output.

Pasien dengan trauma kepala berat dan yang mendapat cedera sistemik

difus dengan perdarahan yang cukup banyak, dapat berkembang menjadi

hipotensi dan penurunan cardiac output.

b. Respon respirasi terhadap trauma kepala meliputi apnoe dan pola

pernafasan abnormal. Insufisiensi respirasi dan hiperventilasi spontan

sering terjadi.

c. Pengaturan temperatur dapat terganggu, dan hipertermia, bila terjadi, dapat

menyebabkan kerusakan otak lebih lanjut.

2. Perubahan sirkulasi dan metabolisme serebral. Pada cedera otak fokal,

cerebral blood flow (CBF) dan laju metabolisme serebral terhadap oksigen

menurun pada pusat dari daerah cedera dan di penumbra, suatu area

dimana jaringan mendapat perfusi yang kurang yang mengelilingi jaringan

yang rusak. Ketika TIK meningkat, hipometabolisme dan hipoperfusi difus

dapat terjadi. Pada cedera otak difus, hiperemia dapat terjadi. Pada

kebanyakan kasus, CBF menurun dalam hitungan beberapa jam setelah

Page 4: Anestesi pada Head Injury

6

terjadi trauma kepala. Kombinasi hipotensi dan terganggunya autoregulasi

menyebabkan iskemia serebral. Regulasi metabolik-kimiawi dari CBF

dapat juga terganggu. Kombinasi dari respon patofisiologi ini

menimbulkan skenario penanganan yang rumit.4

2.2 Fisiologi Serebral

2.2.1 Metabolisme Serebral

Konsumsi oksigen otak pada kondisi normal adalah 20% dari total

konsumsi oksigen tubuh. Konsumsi oksigen otak terbesar (60%) digunakan untuk

menghasilkan ATP yang akan digunakan untuk aktifitas (Gambar 1). Cerebral

Metabolisme Rate (CMR) mengambarkan konsumsi oksigen saat itu (CMRO2),

pada orang dewasa sekitar 3 – 3,8 ml/100 g/min (50 mL/min). CMRO2 terbanyak

ada di substansia grasia dari korteks cerebral dan pada umumnya sama dengan

aktifitas listrik korteks. Karena cukup tingginya konsumsi oksigen dan rendahnya

cadangan oksigen yang signifikan, bila dalam 10 detik perfusi cerebral terhenti

mengakibatkan penderita tidak sadar seperti ketika tekanan oksigen yang dengan

cepat turun dibawah 30mmHg. Jika aliran darah tidak dikembalikan dalam

baberapa waktu (3- 8 menit pada beberapa kondisi). Cadangan ATP dihabiskan

dan kerusakan seluler yang irreversible mulai terjadi. Hipokampus dan cerebelum

nampaknya menjadi lebih sensitif terhadap trauma hypoxia.

Gambar 1. Normal brain oxygen requirements

Page 5: Anestesi pada Head Injury

7

Pada keadaan normal sel saraf menggunakan glucosa sebagai sumber

energi utamanya. Konsumsi glucosa otak sekitar 5 mg / 100 g / min, dimana lebih

dari 90% dimetabolisme secara aerobic.oleh karena itu secara normal sama

dengan konsumsi glucosa. Hubungan ini tidak terjadi pada keaadaan kelaparan,

dimana keton bodies (acetoacetat dan b- hydroxybutirat) juga menjadi menjadi

sumber energi. Walaupun otak dapat mengambil dan memetabolisme asam lactat,

funsi otak secara normal tergantung pada persediaan glucosa yang terus menerus.

Hypoglikemia akut yang berlarut-larut sama dengan keadaan hypoksia. Baliknya

hyperglikemi dapat memperberat hypoksia menyeluruh atau local pada trauma

otak dengan mempercepat asidosis cerebral dan kerusakan sel.

2.2.2 Aliran darah Otak (Cerebral Blood Flow/CBF)

Aliran darah otak bergantung pada tekanan arteri serebral dan resistensi

pembuluh-pembuluh serebral. Aliran darah otak rata-rata sekitar 50-54

ml/100g/menit atau kira-kira 15% dari curah jantung. Aliran darah ke substansi

grisea 75-80 ml/100g/menit sedangkan substansi alba 20-30 ml/100g/menit karena

metabolism otak lebih banyak di substansi grisea. Pada infant dan anak-anak,

CBF global lebih tiggi daripada dewasasekitar 65 ml/100g/menit. Bila CBF

<20ml/100g/menit, elektroencefalografi (EEG) menunjukan tanda iskemik. Bila

CBF 6-9 ml/100g/menit, Ca2+ masuk ke dalam sel. Aliran darah otak proporsional

terhhadap tekana perfusi otak.

Tekanan perfusi otak (Cerebral Perfusi Pressure/CPP) adalah perbedaan

tekanan arteri rata-rata dengan tekana vena rata-rata pada sinus sagitalis limph.

Nilai normal 80-90 mmHg. Akan tetapi secara praktis , adalah perbedaan tekana

arteri rata-rata (MAP=mean arteri pressure) dan ICP rata-rata (CPP = MAP-ICP)

yang diukur setinggi foramen Monroe atau MAP-CVP bila nilai CVP lebih tinggi

daripada ICP. sampai 50 mmHg, EEG akan terlihat melambat dan ada perubahan

ke arah serebral iskemik. CCP kurang dari 40 mmHg, EEG menjadi datar,

menunjukan adanya proses iskemik neuron yang ireversibel.

Page 6: Anestesi pada Head Injury

8

Pasien cedera kepala dengan CPP kurang dari 50 mmHg akan mempunyai

prognosa yang buruk. Pada ICP yang tinggi, supaya CPP adekuat, maka perlu

tetap mempertahankan tekana darah yang normal atau sedikit lebih tinggi.

Tekanan perfusi otak pertahankan 60 mmHg (antara 50-70 mmHg). Usaha kita

adalah untuk mempertahankan CPP normal, oleh karena itu, hipertensi yang

memerlukan terapi adalah bila MAP lebih besar dari 130-140 mmHg.

Banyak factor yang mmpengaruhi CBF. Metabolism otak, tekanan darah,

PaO2 PaCO2, suhu tubuh, simpatis-parasimpatis, obat-obatan yang mempengaruhi

CBF. Keadaan patologik dalam otak juga mempengaruhi CBF global dan

regional. Fungsi otak bergantung pada dua hal yaitu oksigenasi dan perfusi otak.

Oksigenasi bergantung pada PaO2 dan pasokan oksigen dan perfusi bergantung

pada CBF dan CPP.

Jaringan yang menerima aliran darah 18-23 ml/100g/menit secara

fungsional tidak aktif, akan tetapi fungsi dapat dipulihkan dengan meningkatkan

perfusi. Untuk jaringan yang mendapatkan aliran darah yang lebih rendah,

terjadinya infark adalah berdasarkan waktu. Bila jaringan mendapatkan perfusi

yang ade kuat sebelum batas waktu terjadi infark, fingsi akan pulih.

1. Autoregulasi

Aliran darah otak dipertahankan konstan pada MAP 50-150 mmHg.

Pengaturan ini disebut autoregulasi yang disebabkan oleh kontraksi otot polos

dinding pembuluh darah otak sebagai jawaban terhadap perubahan tekana

transmural. Jika melebihi batas ini, walaupun dengan dilatasi maksimal atau

kontraksi maksimal dalam pembuluh darah otak, aliran darah otak akan mengikuti

tekanan perfusi otak secara pasif. Bila aliran darah otak sangat berkurang (MAP

<50 mmHg), tekanan akan merusak daya konstriksi pembuluh darah dan aliran

darah otak akan naik dengan tiba-tiba. Dengan demikian, terjadilah kerusakan

sawar darah otak, yang dapat menimbulan terjadinya edema serebral dan

perdarahan otak.

Berbagai keadaan dapat merubah batas autoreagulasi, misalnya hipertensi

kronis. Pada hipertesi kronis autoreagulasi bergeser ke kanan sehingga sudah

terjadi serebral iskemik pada tekanan darah yang dianggap normal pada orang

Page 7: Anestesi pada Head Injury

9

sehat. Serebral iskemik, serebral infark, trauma kepala, hipoksia, abses otak,

diabetes, hiperkarbi berat, edema sekeliling tumor otak,perdarahan subarachnoid,

aterosklerosis serebrovaskular, anestetika inhalasi juga mengganggu autoregulasi

sedangkan selama anestesi berlangsung diharapkan autoregulasi tidak terganggu,

maka pemilihan anestetika inhalasi menjadi penting. Harus dipilih anestetika yang

tidak mengganggu autoregulasi pada dosis klinis.

Karena pada cedera kepala autoregulasi terganggu, adanya hipotensi yang

tiba-tiba bisa menimbulkan cedera otak sekunder.

2. PaCO2

Aliran darah otak berubah kira-kira 4% (0,95-1,75 ml/100g/menit) setiap

mmHg perubahan PaCO2 antara 25-80 mmHg. Jadi, dibandingkan dengan keadaan

normokapni, aliran darah otak dua kali lipat pada PaCO2 80 mmHg dan

setengahnya dari PaCO2 < 25 mmHg, malahan bias terjadi serebral iskemia akibat

perubahan biokimia, maka harus dihindari hiperventilasi yang berlebih. Pada

operasi tumor otak rutin dipasang kapnogram untuk mengukur end tidal CO2,

umumnya dipertahankan end tidal CO2 25-30 mmHgyang setara dengan PaCO2

29-34 mmHg, akan tetapi, pada ceera kepala akut PaCO2 jangan kurang dari 35

mmHg. Apabila terpaksa harus dilakukan hipervetilasi agresif, untuk menurunkan

PaCO2< 30 mmHg, maka diperlukan pemantauan SJO2 untuk menghindari terjadi

komplikasi iskemik otak akibat hiperventilasi.

3. PaO2

Bila PaO2< 50 mmHg, akan terjadi serebral vasodilatasi dan aliran darah

otak akan meningkat. Peningkatan PaCO2 hanya sedikit pengaruhnya terhadap

resisten pembuluh darah serebral. Pada binatang percobaan bila PaO2> 450 mmHg

terjadi sedikit penurunan aliran darah otak walaupun tidak nyata. Akan tetapi,

pada manusia selama operasi otak PaO2 jangan melebihi 200 mmHg.

2.2.3 Regulasi Aliran Darah Otak

1. Cerebral Perfusion Pressure

CPP adalah perbedaan antara MAP dan ICP (atau CVP, yang nilainya

lebih besar). CPP dinyatakan dengan persamaan : CPP = MAP – ICP. CPP normal

Page 8: Anestesi pada Head Injury

10

80-100 mmHg, CPP < 10 mmHg sangat tergantung pada MAP. Peningkatan

sedang sampai berat ICP (>30 mmHg) dapat membahayakan CPP dan CBF,

meskipun MAP normal. CPP < 50 mmHg menunjukkan perlambatan EEG, CPP

antara 25-40 mmHg menunjukkan gambaran flat, tekanan perfusi terus menerus <

25 mmHg menyebabkan kerusakan otak irreversibel.

2. Autoregulasi

Seperti pada jantung dan ginjal, otak juga mempunyai kemampuan

menghadapi perubahan tekanan darah dengan melakukan perubahan kecil pada

aliran darah. Vaskularisasi cerebral secara cepat (10-60”) menyesuaikan diri

terhadap perubahan pada CPP, tetapi perubahan yang tiba-tiba pada MAP dapat

menyebabkan perubahan sementara pada CBF meskipun autoregulasi intak.

Penurunan CPP menyebabkan vasodilatasi, peningkatan CPP menyebabkan

vasokonstriksi, normal CBF konstan pada MAP 60 dan 160 mmHg. Tekanan <

150-160 mmHg dapat merusak blood brain barrier dan menyebabkan edema dan

perdarahan cerebral. Terapi antihipertensi jangka panjang dapat memulihkan

autoregulasi cerebral mendekati batas normal. Respons intrinsik sel otot polos

dalam arteriol cerebral mengubah MAP. Kebutuhan metabolik cerebral

menentukan tonus arteriol, saat kebutuhan jaringan melebihi aliran darah,

pelepasan metabolit jaringan menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan aliran.

Gambar 2. Normal cerebral autoregulation curve

3. Tekanan Gas Respirasi

Faktor ekstrinsik yang paling penting mempengaruhi CBF adalah tekanan

gas respirasi, terutama PaCO2. CBF berbanding langsung dengan PaCO2 antara

Page 9: Anestesi pada Head Injury

11

tekanan 20 dan 80 mmHg. Perubahan tekanan darah sekitar 1-2 mL/100 g/min per

mmHg perubahan pada PaCO2. Ion-ion tidak dapat melewati blood brain barrier

secara baik, kecuali CO2, perubahan akut pada PaCO2 (bukan HCO3-)

mempengaruhi CBF. Hiperventilasi (PaCO2 < 20 mmHg) ditandai dengan

bergesernya kurva disosiasi oksigen – hemoglobin ke kiri, dan perubahan CBF

menyebabkan perubahan EEG. Perubahan PaO2 mengubah CBF ; Hyperoxia :

penurunan minimal CBF (-10%), Hypoxemia berat : PaO2< 50 mmHg

meningkatkan CBF.

Gambar 3. Hubungan antara Aliran darah cerebral dan tekanan gas arteri

pernapasan

4. Temperature

Perubahan CBF 5-7% per oC, hipotermia menurunkan CMR dan CBF,

sedangkan pireksia mempunyai efek kebalikannya. Pada 20oC gambaran EEG

tampak isoelektrik, > 42oC aktivitas oksigen mulai menurun dan terjadi kerusakan

sel.

5. Viskositas

Faktor yang paling penting menentukan adalah hematokrit. Penurunan

hematokrit akan menurunkan viskositas dan memperbaiki CBF, yang juga

Page 10: Anestesi pada Head Injury

12

menurunkan kapasitas pengikatan oksigen. Peningkatan hematokrit

polisitemia, mengurangi CBF, Pengangkutan oksigen cerebral yang optimal dapat

terjadi pada hematokrit 30-34%.

6. Pengaruh otonom

Saraf intrakranial diinnervasi oleh simpatis (vasokonstriksi), parasimpatis

(vasodilatasi), serabut nonkolinergik nonadrenergik; serotonin dan peptida

intestinal vasoaktif yang menjadi neurotransmitter. Stimulasi simpatis yang intens

dapat menyebabkan vasokonstriksi , yang membatasi CBF. Innervasi otonom

memegang peranan penting dalam spasme pembuluh darah cerebral mengiringi

cedera otak dan stroke.

7. Gangguan pada Aliran Darah Otak

Autoregulasi adalah suatu mekanisme yang sangat sensitive terhadap

cedera dan dapat terganggu setelah cedera otak, pemberian anestesi inhalasi, dan

stimulasi simpatis. Efek yang segera timbul pada autoregulasi adalah menurunkan

batas atas dari autoregulasi sehingga pada tekanan darah sedikit diatas normal bisa

tejadi kerusaka sawar darah otak dan edema otak. Pada daerah yang terganggu

terjadi penekanan fungsi neuron, asidosis laktat, edema, gangguan autoregulasi,

dan kemungkinan juga gangguan reaktivitas terhadap CO2.

Asidosis jaringan menimbulkan terjadinya dilatasi local yang hebat dari

arteri serebral yang meluas ke jaringan normal sekitarnya, keadaan ini

menyebankan lebih luasnya, dan lebih kuatnya ganggan fungsi serebrovaskuler

dan hubungan antara aliran darah otak dan metabolisme.

Bila autoreulasi hilang, aliran darah akan bergantung pada tekanan darah

secara pasif sehingga penurunan tekanan perfusiotak akan menyebabkan

penurunan aliran darah otak secara proporsional. Bila reaktivitas terhadap CO2

juga hilang, maka aliran darah betul-betul tergantung dari tekanan darah. Keadaan

ini disebut serebral vasoparalisis atau vasomotor paralisis. Vasoparalisis artinya

autoregulasi dan reaktivitas pembuluh darah otak terhadap CO2sudah hilang. Bila

tekanan perfusi adekuat, perfusi pada daerah asidotik akan berlebih dengan

kebutuhan metabolik dan saturasi oksigen vena serebral tinggi, keadaan ini

Page 11: Anestesi pada Head Injury

13

disebut luxury perfusion. Akan tetapi, bila tekanan perfusi turun, aliran darah akan

berkurang, dan cepat terjadi iskemik, seperti yang terjadi pada keadaan hipotensi

atau steal phenomena.

2.2.4 Blood Brain Barrier (Sawar darah otak)

Pembuluh darah cerebral merupakan struktur yang khas dalam hubungan

antara sel-sel endothelial vaskuler yang berdekatan; jarak antara lubang-lubang

yang berdekatan tersebut yang dimaksud blood brain barrier. Barrier lipid

menyebabkan pengangkutan zat-zat yang larut dalam lemak, tetapi mengurangi

pergerakan ion-ion atau berat molekul yang lebih besar. Perubahan yang cepat

dalam konsentrasi elektrolit plasma (dan osmolalitas) menghasilkan gradien

osmotik sementara antara plasma dan otak. Hipertonisitas plasma akut

menyebabkan pergerakan air ke luar otak, hipotonisitas menyebabkan air masuk

ke dalam otak; efek ini berlangsung sebentar dan ditandai oleh pergeseran cairan

yang cepat dalam otak. Mannitol merupakan suatu larutan osmotik aktif yang

tidak dapat melewati blood brain barrier, menyebabkan penurunan terus menerus

kadar air dalam otak dan sering digunakan untuk menurunkan volume otak. Pada

kondisi tertentu, pergerakan air melewati blood brain barrier tergantung pada

tekanan hidrostatik daripada gradien osmotik.

2.2.5 Cairan Serebrospinal

CSF terdapat dalam ventrikel, sisterna, dan ruang subarachnoid di sekitar

otak dan spinal cord. Fungsi utama CSF : melindungi CNS terhadap trauma.

Sebagian besar dibentuk oleh plexus choroideus (terutama di ventrikel lateral),

sebagian kecil dibentuk secara langsung oleh sel ependimal yang terdapat di

lapisan ventrikel dan sejumlah kecil dari bocornya cairan ke dalam rongga

perivaskuler sekeliling pembuluh cerebral (kebocoran pada blood brain barrier).

Dewasa : produksi total CSF ± 21 mL/h (500 mL/d), volume total 150 mL. Aliran

CSF : ventrikel lateral ventrikel ketiga (melalui foramen interventrikuler / Monro)

Page 12: Anestesi pada Head Injury

14

ventrikel keempat (aquaductus Sylvius), sisterna cerebellomedullary (sisterna

magna) melalui foramen Magendie (median) dan foramen Luschka (lateral) ruang

subarachnoid Sirkulasi sekitar otak dan spinal cord sebelum diabsorbsi.

Pembentukan CSF melibatkan sekresi aktif Na dalam plexuis choroideus dan

menghasilkan cairan isotonis dengan plasma. Carbonic anhydrase inhibitors

(Acetazolamide), kortikosteroid, spironolakton, furosemide, isoflurane, dan

vasokonstriktor menurunkan produksi CSF. Absorpsi CSF melibatkan translokasi

cairan dari granulasi arachnoid menuju sinus venosus cerebral, terutama oleh

perivaskuler dan protein interstitial yang kembali ke dalam darah.

Gambar 4. The flow of cerebrospinal fluid in the central nervous system.

2.2.6 Tekanan Intrakranial

Ruangan cranial merupakan struktur yang rigid dengan volume total yang

tetap, terdiri dari otak (80%), darah (12%), dan CSF (8%). ICP : tekanan

Page 13: Anestesi pada Head Injury

15

supratentorial CSF yang diukur dalam ventrikel lateral atau melalui cortex

cerebral (normal : <= 10 mmHg). Terdapat sedikit variasi tergantung pada tempat

pengukuran, tetapi pada posisi berbaring lateral, tekanan CSF lumbal secara

normal mendekati tekanan supratentorial. Intracranial compliance ditentukan

dengan mengukur perubahan dalam ICP sebagai respons terhadap perubahan

dalam volume intracranial. Mekanisme kompensasi utama : 1). Perpindahan awal

CSF dari kompartemen cranial menuju spinal, 2). Peningkatan absorpsi CSF, 3).

Penurunan produksi CSF. 4). Penurunan total CBV (terutama di vena).

Gambar 5. Normal intracranial elastance

Peningkatan tekanan darah dapat menurunkan CBV karena autoregulasi

menyebabkan vasokonstriksi yang bertujuan mempertahankan CBF, dan

sebaliknya. CBV diperkirakan meningkat 0.05 mL/100 g otak per 1 mmHg

peningkatan PaCO2. Peningkatan ICP secara terus menerus dapat mengakibatkan

herniasi katastrofik otak, dan herniasi dapat terjadi di 1) .Cingulate gyrus di

bawah falx cerebri, 2).Uncinate gyrus melalui tentorium cerebelli. 3).Cerebellar

tonsils melalui foramen magnum. 4).Area yang lain di bawah defek pada skull

(transcalvarial).

Page 14: Anestesi pada Head Injury

16

2.3 Konsiderasi Anestesi Pada Trauma Kepala

Pembedahan dan menegement anestesi pada pasien ini di hubungkan

langsung pada akibat sekunder yang diakibatkannya. GCS skor ( Glasgow Coma

Scale). Secara umum berhubungan dengan tingkat beratnya atau outcomnya.

Tabel 1. Glasgow Coma Scale

BUKA MATA

Spontan 4

Pada Perintah 3

Pada Nyeri 2

Tidak Ada 1

RESPONS MOTORIK

Menurut Pada Perintah 6

Melokalisasi Rangsang Nyeri 5

Withdraws 4

Fleksi Abnormal 3

Ekstensi 2

Tanpa Respons 1

RESPONS VERBAL

Orientasi Baik 5

Orientasi Buruk 4

Bicara Ngacau 3

Tanpa Arti 2

Tanpa Respon 1

GCS skor 8 atau kurang ,dihubungkan dengan besarnya mortalitas (35%),

bergesernya midline sebesar 5mm, dan besarnya lesi 25ml, serta kompresi pada

ventrikular pada gambaran CT-scan dihubungkan dengan meningkatnya angka

kesakitan yang terjadi.

Page 15: Anestesi pada Head Injury

17

Lesi spesipik termasuk fraktur tengkorak, contusio maupun concussion

otak (termasuk intra cerebral hemorragi), trauma tembus kepala dan trauma

pembuluh darah vena termasuk sumbatan maupun diseksi. Kejadian terjadinya

fraktur tulang tengkorak meningkat seperti pada lesi intra kranial. Fraktur linier

biasanya dihubungkan dengan terjadinya subdural ataupun epidural hematoma.

Fraktur basis kranii yang terjadi berhubungan dengan keluarnya LCS melalui

telinga, pneumocefalus, cranial nervus palsie, bahkan terjadinya fistula sinus

cavernosus- arteri carotis. Fraktur depres tengkorak dapat memberikan gambaran

bersamaan terjadinya contusio otak. Kontusio yang terjadi mungkin terbatas pada

permukaan otak, atau menimbulkan perdarahan didalam struktur hemisper serebri

atau batang otak. Injuri deselerasi dapat menimbulkan lesi yang bersifat coup atau

contercoup atau keduanya. Tindakan operasi fraktur depres, evakuasi dari

epidural, subdural , dan beberapa perdarahan intrakranial, maupun tindakan

debridement luka terbuka , biasanya bersifat electif.

Monitoring tekanan intra cerebral (ICP), biasanya diindikasikan untuk

contusio, perdarahan intrakranial atau pada jaringan yang bergeser. Hipertensi

intrakranial yang terjadi harus di obati dengan moderate hiperventilasi, manitol,

gol barbiturat atau propofol. Beberapa studi yang dijalankan menganggap

peningkatan tekanan yang menetap diatas 60mmHg menyebabkan udem otak

yang irreversible. Tidak seperti pada pengelolaan pada trauma medula spinalis

pemberian glukocortikoid dalam dosis besar, tidaklah memberikan efek outcome

yang cepat seperti pada trauma kepala. Monitoring ICP harus juga

dipertimbangkan pada pasien-pasien yang memberikan tanda hipertensi

intrakranial yang akan dilakukan tindakan non-neurologikal prosedur.

2.3.1 Pengelolaan Perioperatif

Anestetik care pada pasien-pasien dengan cedera kepala berat idealnya sudah

dimulai pada bagian emergenci. Menjaga jalan napas tetap utuh, ventilasi dan

oksigenasi yang adekuat, mengoreksi peningkatan tekanan darah sistemik

haruslah dikerjakan simultan bersama dengan penilaian neurologiknya. Sumbatan

Page 16: Anestesi pada Head Injury

18

jalan napas dan hipoventilasi adalah penyulit yang umum terjadi. Lebih dari 70%

terjadi hipoksemia, dapat terjadi komplikasi contusio paru, emboli lemak, atau

neurogenik pulmoneri udem. Yang lebih lanjut dapat menyebabkan hipertensi

sistemik atau pulmoner oleh karena penekanan aktifitas simpatik nervus sistem.

Suplemen oksigen haruslah diberikan pada semua pasien dalam evaluasi jalan

napas dan ventilasi. Semua pasien haruslah dianggap mendapat trauma spinal

servical( lebih dari 10%), sampai terbukti secara radiologis. In line posisi haruslah

dikerjakan selama manipulasi jalan napas, untuk menjaga kepala dalam posisi

netral. Pasien dengan hipoventilasi, dan reflex gag yang tidak ada, atau pada

persisten GCS dibawah 8 harus dilakukan intubasi endotrakeal dan hiperventilasi.

Semua pasien harus di observasi secara hati-hati dari perburukan yang dapat

terjadi.

1. Intubasi

Semua pasien harus dianggap dalam keadaan lambung yang terisi penuh,

dan harus dilakukan penekanan crikoid selama tindakan ventilasi dan trakeal

intubasi. Bersamaan dengan melakukan preoksigenasi dan ventilasi dengan

sungkup, pemberian thiopental 2-5 mg/kgBB atau propofol 1,5- 3mg/kgBB, dan

pemberian NMBA yang onsetnya cepat, dapat menumpulkan efek intubasi yang

dapat meningkatkan TIK. Jika pasien dalam keadaan hipotensi(tekanan sistole<

100 mmHg) baik thiopental atau propofol dosis kecil dapat diberikan atau

etomidat. Penggunaan succinilcollins pada trauma tertutup kepala masih

contraversial, oleh karena potensialnya menimbulkan peningkatan tekanan

intrakranial dan peningkatan kadar kalium darah, rocuronium atau mivacurium

menjadi pilihan alternativ yang disukai. Jika kesulitan intubasi terantisipasi,

awake intubasi, tehnik fiberoptik atau trakeostomi mungkin berguna. Nasal blind

intubasi di kontra indikasikan pada pasien yang mengalami fraktur dasar

tengkorak, yang memberikan tanda adanya rinnorhoe atau otorhoe,

hemotympanum, atau adanya ekimosis jaringan periorbital (raccon sign) atau pada

kedua telinga ( battle sign).

Page 17: Anestesi pada Head Injury

19

2. Hipotensi

Hipotensi yang terjadi pada trauma kepala selalu dekat berhubungan

dengan injuri ditempat lain (biasanya intra abdoment). Perdarahan dari kulit

kepala biasanya terjadi pada laserasi kulit yang terjadi pada anak. Hipotensi

mungkin dapat terlihat pada trauma pada medula spinal karena terjadinya

simpatectomi dan dihubungkan dengan spinal shock yang terjadi. Pada pasien

dengan cedera kepala, mengkoreksi hipotensi dan mengontrol perdarahan yang

terjadi lebih bermakna dari penilaian radiologis dan tindakan definitif neurologik,

karena tekanan darah arteri kurang dari 80 mmHg berhubungan atas outcome

yang jelek. Banyak anestesiologist percaya bahwa cairan primer resusitasi dengan

menggunakan coloid atau darah lebih banyak menguntungkan dibandingkan

cairan kristaloid dalam mencegah odem otak. Infus sementara dengan vasopresor

sering berguna dalam hipotensi berat yang terjadi. Cairan hipotonik atau yang

yang mengandung glukosa sebaiknya tidak digunakan (lihat diatas). Hemarokrit

harus dijaga tetap diatas 30%. Monitoring invasif dalam tekanan intra arteri,

tekanan vena sentral atau tekanan arteri paru dan tekanan intrra kranial, sangatlah

bermakana tetapi janganlah menunda diagnosis dan penatalaksanaanya. Gambaran

aritmia dan EKG abnormal pada gel T, gelombang U, St segmen, atau QT interval

, umum terjadi pada trauma kepala dan tidaklah penting menghubungkannya

dengan kelainan jantung, melainkan oleh karena gangguan fungsi autonomik yang

terjadi.

Pemilihan antara operasi dan pemberian obat pada trauma kepala

didasarkan pada gambaran radiologis sebaik sebagaimana dengan gambaran

klinisnya. Pasien- pasien sebaiknya dalam keadaan stabil terlebih dahulu sebelum

dilakukan studi CT atau angiografi, keadaan-keadaan yang mengancam selama

penilaian harus diawasi ketat. Pada pasien yang gelisah atau tak kooperative dapat

diberikan general anestesia. Sedasi yang diberikan tanpa mengontrol jalan napas

secara umum sebaiknya dihindari karena beresiko meningkatkan TIK, dari

hipercapni dan hipoksia yang terjadi. Keadan yang memburuk sebelum penilaian

diagnostik ini, pemberian intra vena manitol dapat dipertimbangkan.

Page 18: Anestesi pada Head Injury

20

2.3.2 Pengelolaan Intraoperatif

Pengelolaan anestesi secara umum sama pada lessi massa yang

dihubungkan dengan peningkatan tekanan intracerebral. Management jalan napas

telah dibicarakan diatas. Monitoring intra arteri, vena central( tekanan dalam arteri

pulmonalis) harus dalam keadaan stabil dan bila alat ini tak tersedia janganlah

menunda tindakan decompresi bila pasien jatuh dalam perburukan.

Pemberian barbiturat-opioid-N2O-dan NMBA adalah tehnik yang umum

digunakan. N2O sebaiknya dihindari pemakaiannya ketika terjadi emboli udara

dan hipotensi. Hipotensi dapat terjadi setelah induksi anestesi oleh karena efek

kombinasi dari vasodilatasi yang terjadi dan hipovolemi dan harus dikelola

dengan pemberian agonis ά-adrenergik dan penambahan volume infus bila

diperlukan. Hipertensi yang kemudian terjadi sebagai respon pembedahan akan

meningkatkan ICP secara akut, yang kemudian dihubungkan dengan bradikardi

yang terjadi (penomena chusing).

Hipertensi dapat dikelola dengan menambahkan dosis obat induksi,

dengan meningkatkan konsentrasi anestetik inhalasi, atau dengan anti hipertensi.

Hiperventilasi dengan PaCO2 < 30, harus dihindari pada pasien trauma guna

menghindari penurunan yang sangat pada CBF. Blokade ά-adrenergik biasanya

efektif dalam mengontrol hipertensi yang berhubungan dengan takikardi. CPP

harus terjaga dalam tekanan antara 70-110mmHg. Pemberian Vasodilator

hendaknya dihindari sampai durameter dibuka. Adanya vagal dapat dikelola

dengan pemberian Atropin atau glycopirolat.

DIC dapat terlihat pada trauma kepala berat. Seperti pada trauma lainya,

terjadi pelepasan dalam jumlah besar tromboplastin otak, dan dapat pula

dihubungkan dengan kejadian akut distres sindrome (lihat Bab 49). DIC dapat

didiagnosis dengan test koagulasi dan diobati dengan pemberian platelet darah,

FFP, dan cryopresifitat, dan ARDS dapat ditangani dengan pemakaian ventilator.

Aspirrasi pulmonal dan neurogenik pulmonal udem dapat pula bertanggung jawab

atas perburukan fungsi paru. Penggunaan PEEP hanya dapat dipakai pada

ventilator bila ICP dimonitor dengan baik, atau setelah durameter dibuka.

Page 19: Anestesi pada Head Injury

21

Diabetes insipidus dengan karakteristik pengeluaran urin yang banyak, kerap kali

mengikuti gejala yang terjadi pada injuri pituitari. Seperti pada penyebab lainnya

harus dilakukan pemeriksaan urin dan test osmolaritas serum sebelum dilakukan

pengobatan pemberian cairan dan vasopresin (lihat Bab 28). Perdarahan

gastrointestinal dapat terjadi sebagai komplikasi penatalaksanaan setelah beberapa

hari, hal ini karena terjadinya strees ulcer.

Pertimbangan dilakukannya ekstubasi, tergantung beratnya injuri yang

terjadi, dengan atau tanpa trauma abdoment atau trauma thorak, penyakit dasarnya

dan tingkat kesadaran pada pemeriksaan sebelum operasi. Pada pasien-pasien

muda dan sadar sebelumnya, dilakukan ekstubasi setelah pengangkatan lesi,

sedangkan pada pasien dengan injuri otak yang diffuse harus tetap terintubasi.

Terlebih pada pasien dengan hipertensi intrakranial yang persisten post operatif

tetap diberikan continu obat paralisis, sedasi, hiperventilasi dan mungkin saja

infus pentobarbital diberikan.

2.4 Anestesi Pada Cedera Kepala Akut

Ada tiga sasaran anestesiologi selain memfasilitasi dapat dilakukan

pembedahan untuk membantu ahli bedah dalam operasi bedah saraf yaitu:

1. Mengendalikan TIK dan volume otak

2. Melindungi jaringan saraf dari iskemia dan cedera

3. Mengurangi perdarahan

Prinsip pengelolaan anestesi pada operasi bedah saraf adalah mengatur

Airway, Breating, Circulation, Drugs dan Environment yang disebut sebagai

ABCDE neuroanestesi. Airway berarti jalan nafas selalu bebas sepanjang waktu,

Breathing berarti ventilasi kendali untuk mendapatkan oksigenasi adekuat dan

sedikit hipokarbia pada operasi tumor otak atau normokarbi pada cedera kepala,

Circulation berarti hindari lonjakan tekanan darah bisa memperberat edema

serebral dan kenaikan ICP, hindali faktor-faktor mekanis yang meningkatkan

Page 20: Anestesi pada Head Injury

22

tekanan vena serebral, Drugs berarti hindari obat-obat dan teknik anestesi yang

meningkatkan tekanan intrakranial, Environtmen berarti suhu mild hipotermia.

Pengelolaan anestesi pada cidera kepala, secara prinsip sama dengan

pasien-pasien peningkatan TIK yang lain. Obat-obatan dan teknik anestesi yang

merupakan kontraindikasi pada pasien dengan cidera kepala berat adalah:

premedikasi dengan narkotik, napas spontan, neuroleptik analgesia, ketamin, N2O

bila ada aerosel, halotan, spinal anestesi. Hal ini karena narkotik analgesi

mendepresi napas, ketamin meningkatkan TIK, CMRO2 mempresipitasi kejang.

Keterbatasan ini bisa dipertimbangkan bila anestesi dilakukan setelah autoregulasi

kembali (dimulai hari kelima, dan maksimal pada hari kesembilan setelah cedera

kepala).

Prinsip dasar pengelolaan anestesi pada cedera kepala adalah:

1. Mengoptimalkan perfusi otak dengan rumatan hemodinamik sistemik MAP,

CPP.

2. Menghindari iskemia serebral dengan melihat DO2, PaO2, CPP dan CBF

3. Menghindari teknik dan obat yang meningkatkan TIK

2.4.1 Pemeliharaan Hemodinamik Sistemik

Hipotensi sistemik (tekanan sistolik <90 mmHg selama 30 menit) memberi

outcome yang negatif pada pasien dengan cedera kepala berat. Pneyebab hipotensi

pada umumnya banyak faktor. Anak-anak kemungkinan bisa menderita hipotensi

dan hipovolemia karena perdarahan intrakranial atau luka pada SCALP, tetapi hal

ini tidak mungkin terjadi pada dewasa, dan adanya hipotensi pada dewasa harus

dicari adanya kehilangan darah ditempat lain.

Disebebkan karena pda cedera kepala terjadi stimulasi simpatis yang kuat,

kebanyakan pasien berada dalam keadaan hipertensi dan takikardi. Kebanyakan

pasien dewasa yang hanya menderita cedera kepala dan terjadi kenaikan ICP yang

nyata, terdapat hipertensi dan bila ada kompresi batang otak terjadi bradikardi

(Cushing refleks). Disebabkan karena kenaikan tekanan darah adalah mekanisme

Page 21: Anestesi pada Head Injury

23

kompensasi untuk mempertahankan perfusi otak, maka peningkatan tekanan darah

yang sedang (Moderate) tidak perlu di terapi. Kenaikan tekanan darah yang

ekstrim (melebihi batas atau autoregulasi) harus diterapi sebab akan meningkatkan

CBF dan mungkin akan memperbesar kenaikan TIK. Tidak adanya hipertensi dan

bradikardi tidak menyingkirkan kemungkinan adanya kompensasi batang otak,

sebab adanya hipotensi sistemika kan mencegah terjadinya hipertensi dan

stimulasi simpatis akan mencegah terjadinya bradikardi. Urin output yang adekuat

adalah indikator yang jelek untuk status volume, terutama jika baru diberikan

manitol.

2.4.2 Pemeliharaan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat

Pasien dengan cedera kepala berat sering mengalami hipoksia dan

hiperkapnia, yang keduanya dapat menyebabkan vasodilatasi serebral dan

kenaikan TIK. Walaupun ventilasi sudah dikendalikan dan hiperkapnia di koreksi,

oksigensi pasien masih merupakan masalah pada pasien dengan kontusio paru,

aspirasi, neurogenik pulmonari edema. Untuk terapi hipoksemia mungkin

diperlukan dengan O2 konsentrasi tinggi dan PEEP

2.4.3 Pemeliharaan Perfusi Serebral

CBF menurun bila dilakukan hiperventilasi. Reaktivitas CO2 umumnya

tetap tidak selalu, tetap dipertahankan. Pada pasien dengan reaktivitas CO2

normal dan CBF yang rendah setelah trauma, hiperventilasi bisa menyebabkan

penurunan regional CBF ke level di bawah level yang menimbulkan. CPP akan

diperburuk dengan adanya hipotensi sistemik.

2.4.4 Penggunaan obat anestesi yang optimal

Pada umumnya pemilihan obat anestesi berdasarkan efeknya pada sistem

kardiovaskuler, tetapi pada pasien bedah saraf harus dipikirkan efeknya terhadap

CBF, CBV, ICP, CSF, autoregulasi dan lain-lain. Antara anestetika volatik

(halotan, enfluran, isofluran sevofluran, desfluran) semuanya menurunkan tekanan

Page 22: Anestesi pada Head Injury

24

darah tetapi mekanismenya yang berbeda. Halotan lebih bersifat depresi

miokardium, sedikit menurun resisitensi perifer, sebaliknya isofluran terutama

karena penurunan resisitensi vaskular sistemik. Enfluran merupakan tekanan

darah karena depresi miokard dan menurunkan resistensi perifer. Efek pemurunan

tekanan darah pada MAC yang sama, sama antara halotan, isofluran dan enfluran

dan hanya sentengahnya pada sevofluaran.

Obat-obat yang menurunkan ICP dan CBF dari golongan obat induksi

intravena adalah pentotal lalu etomidat, propofol, midazolam. Jadi pilihan utama

dalah pentotal. Pelemas otot, semuanya meningkatkan CBF, tetapi yang paling

sedikit menaikkan CBF adalah vekuronium, sehingga vekuronium merupakan

obat relaksan pilihan untuk bedah saraf.

Obat anestesi yang tidak mempengaruhi CBF dan metabolisme serebral

mungkin menguntungkan atau merugikan pada pasien cedera kepala. Hasil akhir

bukan saja dari pengaruh obat anestesi terhadap CBF dan metabolisme serebral,

tetapi juga interaksi hemodinamik sistemik, ICP, reaktivitas CO2, produksi atau

absorbsi CSF dan stimulasi bedah.