ANALISIS PRODUKSI, KONSUMSI, DAN HARGA CENGKEH INDONESIA Oleh: Tati Herlina Situmeang A14303036 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
ANALISIS PRODUKSI, KONSUMSI, DAN HARGA CENGKEH INDONESIA
Oleh: Tati Herlina Situmeang
A14303036
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN TATI HERLINA SITUMEANG. Analisis Produksi, Konsumsi, dan Harga Cengkeh Indonesia (dibawah bimbingan BONAR M. SINAGA).
Cengkeh merupakan salah satu komoditi perkebunan yang cukup memberi harapan bagi penerimaan negara melalui cukai rokok dan kegiatan ekspornya. Peran lain agribisnis cengkeh dalam perekonomian adalah dalam penyerapan tenaga kerja, penyumbang pendapatan petani, mendukung berkembangnya industri, dan potensial untuk menjadi sarana pengembangan dan pemerataan pembangunan wilayah (Siregar dan Suhendi, 2006).
Indonesia merupakan negara produsen dan konsumen cengkeh terbesar di dunia. Hal ini selain dikarenakan cengkeh merupakan tanaman asli Indonesia, juga didukung oleh kondisi alam, iklim dan topografi yang mendukung dilakukannya agribisnis cengkeh di Indonesia (www.deptan.go.id). Produksi cengkeh Indonesia selain diekspor, juga diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi cengkeh domestik khususnya pada industri rokok kretek, karena berdasarkan penggunaannya sebanyak 85 persen sampai 95 persen konsumsi cengkeh nasional digunakan untuk industri rokok kretek. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan domestik, Indonesia juga pada saat-saat tertentu melakukan impor terhadap komoditas cengkeh.
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis produksi, konsumsi, dan harga cengkeh Indonesia. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk menganalisis (1) perkembangan produksi cengkeh, luas areal cengkeh, produktivitas cengkeh, volume impor dan harga cengkeh impor, volume ekspor dan harga cengkeh ekspor, konsumsi cengkeh industri rokok kretek dan produksi rokok kretek, dan harga cengkeh domestik Indonesia, (2) faktor-faktor yang mempengaruhi produksi, konsumsi, dan harga cengkeh Indonesia, dan (3) dampak perubahan faktor ekonomi terhadap produksi, konsumsi, dan harga cengkeh Indonesia tahun 1999-2006. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data time series selama 27 tahun (tahun 1980-2006). Jawaban untuk tujuan pertama digunakan analisis deskriptif dengan menggunakan tabulasi dan untuk menjawab tujuan kedua digunakan analisis model ekonometrika dengan persamaan simultan melalui metode pendugaan OLS (Ordinary Least Squares), sedangkan untuk menjawab tujuan penelitian ketiga dianalisis menggunakan simulasi dengan metode Newton. Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan software Microsoft Excel dan Statistical Analysis System (SAS 9.1).
Perkembangan produksi cengkeh dan luas areal cengkeh Indonesia pada periode 1980-2006 berfluktuasi dengan kecenderungan meningkat tiap tahunnya. Perkembangan produktivitas cengkeh Indonesia pada periode 1980-2006 berfluktuasi dengan kecenderungan meningkat tiap tahunnya namun produktivitas tanaman cengkeh di Indonesia umumnya masih rendah khususnya pada perkebunan rakyat. Periode tahun 1980 hingga tahun 2006 volume serta harga cengkeh impor dan ekspor Indonesia berfluktuasi dan secara rata-rata mengalami peningkatan tiap tahunnya. Perkembangan konsumsi cengkeh untuk industri rokok kretek periode tahun 1980-2006 rata-rata mengalami peningkatan tiap tahunnya dan sejalan dengan pertumbuhan produksi rokok kretek nasional pada periode yang sama. Periode tahun 1980-2006 perkembangan harga cengkeh
domestik mengalami fluktuasi dan secara rata-rata mengalami peningkatan tiap tahunnya.
Model produksi, konsumsi, dan harga cengkeh Indonesia terdiri dari 11 persamaan, yaitu 9 persamaan struktural dan 2 persamaan identitas. Produktivitas cengkeh dipengaruhi oleh pertumbuhan harga pupuk, suku bunga, trend waktu, dan kebijakan tataniaga berdasarkan BPPC. Luas areal tanam cengkeh dipengaruhi oleh harga pupuk, trend waktu, kebijakan tataniaga berdasarkan BPPC, dan luas areal tanam cengkeh tahun lalu. Impor cengkeh dipengaruhi oleh produksi cengkeh dan konsumsi cengkeh industri rokok kretek. Impor cengkeh dalam jangka pendek maupun jangka panjang responsif terhadap perubahan produksi cengkeh dan konsumsi cengkeh industri rokok kretek. Ekspor cengkeh dipengaruhi oleh suku bunga dan trend waktu. Konsumsi cengkeh industri rokok kretek dipengaruhi oleh variabel rasio harga cengkeh domestik tahun lalu dengan harga cengkeh domestik tahun yang sama, produksi rokok kretek, dan trend waktu. Produksi rokok kretek dipengaruhi oleh harga cengkeh domestik, trend waktu, dan produksi rokok kretek tahun lalu. Harga cengkeh domestik dipengaruhi oleh konsumsi cengkeh industri rokok kretek dan harga cengkeh domestik tahun lalu. Harga cengkeh domestik dalam jangka panjang responsif terhadap perubahan produksi cengkeh. Harga cengkeh domestik dalam jangka pendek maupun jangka panjang responsif terhadap perubahan konsumsi cengkeh industri rokok kretek. Harga cengkeh impor dipengaruhi oleh variabel harga cengkeh impor tahun lalu. Harga cengkeh ekspor dipengaruhi oleh harga cengkeh ekspor tahun lalu.
Peningkatan harga cengkeh domestik sebesar 20 persen menyebabkan produktivitas cengkeh, luas areal cengkeh, produksi cengkeh, ekspor cengkeh, dan penawaran cengkeh mengalami peningkatan, sedangkan impor cengkeh, konsumsi cengkeh industri rokok kretek, produksi rokok kretek, harga cengkeh impor, dan harga cengkeh ekspor menurun. Peningkatan harga pupuk sebesar 20 persen mampu meningkatkan impor cengkeh, harga cengkeh domestik, harga cengkeh impor, dan harga cengkeh ekspor. Sedangkan produktivitas cengkeh, luas areal cengkeh, produksi cengkeh, ekspor cengkeh, penawaran cengkeh, konsumsi cengkeh industri rokok kretek, dan produksi rokok kretek mengalami penurunan. Peningkatan suku bunga sebesar 20 persen menyebabkan impor cengkeh, harga cengkeh domestik, harga cengkeh impor, dan harga cengkeh ekspor meningkat. Sedangkan produktivitas cengkeh, luas areal cengkeh, produksi cengkeh, ekspor cengkeh, penawaran cengkeh, konsumsi cengkeh industri rokok kretek, dan produksi rokok kretek mengalami penurunan. Peningkatan harga jual rokok kretek sebesar 20 persen menyebabkan produktivitas cengkeh, luas areal cengkeh, produksi cengkeh, impor cengkeh, ekspor cengkeh, penawaran cengkeh, konsumsi cengkeh industri rokok kretek, produksi rokok kretek, harga cengkeh domestik, dan harga cengkeh impor meningkat. Sedangkan harga cengkeh ekspor mengalami penurunan. Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika sebesar 20 persen mampu meningkatkan ekspor cengkeh, konsumsi cengkeh industri rokok kretek, dan produksi rokok kretek. Sedangkan produktivitas cengkeh, luas areal cengkeh, produksi cengkeh, impor cengkeh, penawaran cengkeh, harga cengkeh domestik, harga cengkeh impor, dan harga cengkeh ekspor mengalami penurunan.
ANALISIS PRODUKSI, KONSUMSI, DAN HARGA CENGKEH INDONESIA
Oleh:
Tati Herlina Situmeang
A14303036
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA
FAKULTAS PERTANIAAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL
“ANALISIS PRODUKSI, KONSUMSI, DAN HARGA CENGKEH
INDONESIA” BELUM PERNAH DIAJUKAN OLEH PERGURUAN TINGGI
MANAPUN UNTUK MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU.
SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR
HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-
BAHAN YANG PERNAH DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI
SEBAGAI BAHAN RUJUKAN.
Bogor, Agustus 2008
Tati Herlina Situmeang A14303036
Judul : Analisis Produksi, Konsumsi, dan Harga Cengkeh Indonesia
Nama : Tati Herlina Situmeang
NRP : A14303036
Menyetujui:
Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA
NIP 130 517 561
Mengetahui:
Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr
NIP 131 124 019
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 27 Maret 1985 di Purwajaya, Kabupaten
Tulang Bawang, Propinsi Lampung. Penulis adalah anak ketiga dari empat
bersaudara keluarga Bapak C. G. Situmeang dan Ibu Siti Barimbing.
Penulis menyelesaikan pendidikan di SD Negeri 02 Purwajaya pada tahun
1997, kemudian melanjutkan pendidikan ke SLTP Swasta Xaverius Kotabumi dan
lulus pada tahun 2000. Kemudian pada tahun yang sama, penulis melanjutkan
pendidikan ke SMU Negeri 09 Bandar Lampung dan lulus pada tahun 2003.
Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2003 melalui
jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Program Studi Ekonomi
Pertanian dan Sumberdaya, Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian,
Fakultas Pertanian.
UCAPAN TERIMA KASIH
1. Kepada Tuhan Yesus Kristus, atas segala kasih, karunia, dan berkat yang
selalu melimpah dalam hidupku.
2. Kepada orang tua, saudara, dan keluarga besar tercinta, terima kasih atas
dukungan doa, kasih sayang, pengorbanan, dan perhatiannya kepadaku.
3. Kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku dosen
pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan
perhatiannya kepada penulis.
4. Kepada dosen penguji utama Bapak Farobi Falatehan, SP., ME dan
penguji wakil departemen Bapak Adi Hadianto, SP.
5. Kepada my best friends (Jofan & ‘Bu’) atas dukungan doa dan semangat
yang selalu untukku.
6. Kepada keluarga besar EPS’40 (Silvia, Christine, dan Marissa) untuk
kebersamaan, kerjasama, semangat yang pernah ada.
7. Kepada Mbak Ruby, Mbak Yani, Mbak Aam, Ajeng, Atika, Sanggam,
Mbak Oci, Mbak Utin terimakasih untuk bantuan informasi dan semangat
yang diberikan selama penyusunan skripsi ini.
8. Kepada keluarga besar kost-an ‘Karona’ dan yang lainnya, terimakasih
untuk bantuan dan kebersamaan yang pernah ada.
9. Kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu,
terima kasih atas bantuan dan dukungannya.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan kasih
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Analisis Produksi, Konsumsi, dan Harga Cengkeh Indonesia”. Skripsi ini ditulis
untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program
Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Skripsi ini membahas tentang perkembangan produksi cengkeh, luas areal
cengkeh, produktivitas cengkeh, volume impor dan harga cengkeh impor, volume
ekspor dan harga cengkeh ekspor, konsumsi cengkeh industri rokok kretek dan
produksi rokok kretek, dan harga cengkeh domestik Indonesia. Skripsi ini juga
membahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi, konsumsi, dan
harga cengkeh Indonesia serta membahas mengenai dampak perubahan faktor
ekonomi terhadap produksi, konsumsi, dan harga cengkeh Indonesia tahun 1999-
2006.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat keterbatasan dan penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Akhir kata, semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2008
Tati Herlina Situmeang A14303036
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL................................................................................ v
DAFTAR GAMBAR ........................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................ viii
I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2. Perumusan Masalah ...................................................................... 8
1.3. Tujuan Penelitian .......................................................................... 10
1.4. Kegunaan Penelitian ..................................................................... 11
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ................................ 11
II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 12
2.1. Gambaran Umum Komoditi Cengkeh .......................................... 12
2.1.1. Sejarah dan Penyebaran Tanaman Cengkeh....................... 12
2.1.2. Taksonomi dan Morfologi Tanaman Cengkeh ................... 12
2.1.3. Budidaya Tanaman Cengkeh .............................................. 14
2.1.4. Manfaat Cengkeh................................................................ 15
2.2. Standar Mutu Cengkeh Indonesia ................................................. 15
2.3. Tinjauan Kebijakan Tataniaga Cengkeh Indonesia....................... 17
2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu ...................................................... 18
2.4.1. Penelitian Mengenai Cengkeh ............................................ 18
2.4.2. Penelitian Mengenai Produksi dan Ekspor Produk Pertanian.............................................................................. 21
2.5. Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu ....................................... 22
III. KERANGKA PEMIKIRAN ................................................................ 23
3.1. Konsep dan Teori .......................................................................... 23
3.1.1. Fungsi Produksi .................................................................. 23
3.1.2. Permintaan Faktor Produksi dan Produksi Cengkeh .......... 27
3.1.3. Permintaan Cengkeh dan Produksi Rokok Kretek ............. 29
ii
3.1.4. Teori Perdagangan Internasional ........................................ 31
3.1.5. Persamaan Simultan............................................................ 36
3.1.6. Persamaan Produktivitas Cengkeh, Luas Areal Cengkeh, Produksi Cengkeh, Impor Cengkeh, Ekspor Cengkeh, Penawaran Cengkeh, Konsumsi Cengkeh Industri Rokok Kretek, Produksi Rokok Kretek, Harga Cengkeh Domestik, Harga Cengkeh Impor, dan Harga Cengkeh Ekspor................................................................................. 36
3.1.6.1. Produktivitas Cengkeh....................................... 36
3.1.6.2. Luas Areal Cengkeh .......................................... 37
3.1.6.3. Produksi Cengkeh.............................................. 37
3.1.6.4. Impor Cengkeh .................................................. 37
3.1.6.5. Ekspor Cengkeh................................................. 38
3.1.6.6. Penawaran Cengkeh .......................................... 38
3.1.6.7. Konsumsi Cengkeh Industri Rokok Kretek....... 39
3.1.6.8. Produksi Rokok Kretek ..................................... 39
3.1.6.9. Harga Cengkeh Domestik.................................. 40
3.1.6.10. Harga Cengkeh Impor ....................................... 40
3.1.6.11. Harga Cengkeh Ekspor...................................... 40
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ................................................. 41
IV. METODE PENELITIAN..................................................................... 44
4.1. Metode Analisis ............................................................................ 44
4.2. Perumusan Model Produksi, Konsumsi, dan Harga Cengkeh Indonesia ...................................................................................... 44
4.2.1. Produktivitas Cengkeh .................................................... 49
4.2.2. Luas Areal cengkeh......................................................... 49
4.2.3. Produksi Cengkeh ........................................................... 50
4.2.4. Impor Cengkeh................................................................ 50
4.2.5. Ekspor Cengkeh .............................................................. 51
4.2.6. Penawaran Cengkeh........................................................ 52
4.2.7. Konsumsi Cengkeh Industri Rokok Kretek .................... 52
4.2.8. Produksi Rokok Kretek................................................... 53
4.2.9. Harga Cengkeh Domestik ............................................... 53
iii
4.2.10. Harga Cengkeh Impor ..................................................... 54
4.2.11. Harga Cengkeh Ekspor ................................................... 54
4.3. Evaluasi Model ............................................................................. 55
4.3.1. Koefisien Determinasi..................................................... 55
4.3.2. Uji-F ................................................................................ 56
4.3.3. Uji-t ................................................................................. 57
4.4. Pengukuran Elastisitas .................................................................. 58
4.5. Validasi Model .............................................................................. 60
4.6. Simulasi Model ............................................................................. 61
4.7. Jenis dan Sumber Data .................................................................. 62
4.8. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................ 63
4.9. Definisi Operasional...................................................................... 63
V. HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................ 67
5.1. Perkembangan Produksi Cengkeh, Luas Areal Cengkeh, Produktivitas Cengkeh, Volume Impor dan Harga Cengkeh Impor, Volume Ekspor dan Harga Cengkeh Ekspor, Konsumsi Cengkeh Industri Rokok Kretek dan Produksi Rokok Kretek, dan Harga Cengkeh Domestik Indonesia Tahun 1980-2006........ 67
5.1.1. Produksi Cengkeh............................................................. 67
5.1.2. Luas Areal Cengkeh ......................................................... 70
5.1.3. Produktivitas Cengkeh...................................................... 73
5.1.4. Volume Impor dan Harga Cengkeh Impor ....................... 76
5.1.5. Volume Ekspor dan Harga Cengkeh Ekspor.................... 79
5.1.6. Konsumsi Cengkeh Industri Rokok Kretek dan Produksi Rokok Kretek.................................................................... 81
5.1.7. Harga Cengkeh Domestik................................................. 83
5.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi, Konsumsi, dan Harga Cengkeh Indonesia Tahun 1980-2006 ............................... 86
5.2.1. Produktivitas Cengkeh...................................................... 88
5.2.2. Luas Areal Cengkeh ......................................................... 91
5.2.3. Produksi Cengkeh............................................................. 95
5.2.4. Impor Cengkeh ................................................................. 95
5.2.5. Ekspor Cengkeh................................................................ 98
5.2.6. Penawaran Cengkeh ......................................................... 102
iv
5.2.7. Konsumsi Cengkeh Industri Rokok Kretek...................... 102
5.2.8. Produksi Rokok Kretek .................................................... 105
5.2.9. Harga Cengkeh Domestik................................................. 109
5.2.10. Harga Cengkeh Impor ...................................................... 112
5.2.11. Harga Cengkeh Ekspor..................................................... 115
5.3. Dampak Perubahan Faktor Ekonomi terhadap Produksi, Konsumsi, dan Harga Cengkeh Indonesia Tahun 1999-2006 ...... 118
5.3.1. Hasil Validasi Model ........................................................ 118
5.3.2. Peningkatan Harga Cengkeh Domestik 20 Persen ........... 119
5.3.3. Peningkatan Harga Pupuk 20 Persen................................ 120
5.3.4. Peningkatan Suku Bunga 20 Persen ................................. 121
5.3.5. Peningkatan Harga Jual Rokok Kretek 20 Persen ............ 121
5.3.6. Depresiasi Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Sebesar 20 Persen ............................................................. 122
VI. KESIMPULAN DAN SARAN............................................................ 123
6.1. Kesimpulan ................................................................................... 123
6.2. Saran Kebijakan ............................................................................ 125
6.3. Saran Penelitian............................................................................. 125
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 126
LAMPIRAN......................................................................................... 130
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor-Impor Cengkeh Indonesia Tahun 2001-2006 ................................................................................ 4
2. Perkembangan Harga Cengkeh Domestik dan Harga Cengkeh Dunia
Tahun 2001-2005 ................................................................................ 6 3. Perkembangan Produksi, Produktivitas, dan Luas Areal Cengkeh
Indonesia Tahun 2002-2006 ................................................................ 7 4. Perkembangan Produksi Cengkeh Indonesia Tahun 1980-2006 ......... 68 5. Perkembangan Luas Areal Cengkeh Indonesia Tahun 1980-2006...... 71 6. Perkembangan Produktivitas Cengkeh Indonesia Menurut Status
Pengusahaan Tahun 1980-2006 ........................................................... 73 7. Perkembangan Volume, Nilai dan Harga Cengkeh Impor Indonesia
Tahun 1980-2006 ................................................................................. 77 8. Perkembangan Volume, Nilai dan Harga Cengkeh Ekspor Indonesia
Tahun 1980-2006 ................................................................................. 80 9. Kandungan Cengkeh dalam Rokok Kretek yang Digunakan Pabrik
Rokok Kretek ....................................................................................... 81 10. Perkembangan Konsumsi Cengkeh Industri Rokok Kretek dan
Produksi Rokok Kretek Indonesia Tahun 1980-2006.......................... 83 11. Perkembangan Harga Cengkeh Domestik Tahun 1980-2006.............. 84 12. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Produktivitas Cengkeh
(YCDt).................................................................................................. 88 13. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Luas Areal Cengkeh (ATCt) ...... 92 14. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Impor Cengkeh (ICDt) ............... 95 15. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Ekspor Cengkeh (XCDt)............ 99 16. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Konsumsi Cengkeh Industri
Rokok Kretek (CCRt)........................................................................... 103 17. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Produksi Rokok Kretek
(QRKt).................................................................................................. 105
vi
18. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Harga Cengkeh Domestik
(HCDt).................................................................................................. 109 19. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Harga Cengkeh Impor (HCIt) .... 113 20. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Harga Cengkeh Ekspor
(HCXt).................................................................................................. 116 21. Validasi Model Produksi, Konsumsi, dan Harga Cengkeh Indonesia
Tahun 1999-2006................................................................................ 118 22. Dampak Perubahan Faktor Ekonomi terhadap Produksi, Konsumsi,
dan Harga Cengkeh Indonesia Tahun 1999-2006................................ 119
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Kurva Fungsi Produksi ........................................................................ 25
2. Kurva Terjadinya Perdagangan Internasional ..................................... 33
3. Mekanisme Pengaruh Kurs terhadap Volume Ekspor ........................ 35
4. Bagan Kerangka Berpikir Operasional ............................................... 42
5. Bagan Kerangka Model Ekonometrika................................................ 48
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Kebijakan Pemerintah pada Industri Cengkeh di Indonesia ............... 130
2. Pohon Industri Cengkeh ...................................................................... 132
3. Luas Areal Perkebunan Cengkeh Indonesia Menurut Provinsi dan Status Pengusahaan Tahun 2006.......................................................... 133
4. Data yang Digunakan dalam Model..................................................... 134
5. Program Komputer Pendugaan Model Produksi, Konsumsi, dan Harga Cengkeh Indonesia Menggunakan SAS Version 9.1 Prosedur SYSLIN................................................................................................ 138
6. Hasil Pendugaan Model Produksi, Konsumsi, dan Harga Cengkeh
Indonesia .............................................................................................. 140 7. Hasil Dugaan Variabel Penjelas yang Berpengaruh Nyata terhadap
Variabel Endogen dalam Model Produksi, Konsumsi, dan Harga Cengkeh Indonesia ............................................................................... 149
8. Program Komputer Validasi Model Produksi, Konsumsi, dan Harga
Cengkeh Indonesia Tahun 1999-2006 Menggunakan SAS Version 9.1 Prosedur SIMNLIN........................................................................ 150
9. Hasil Validasi Model Produksi, Konsumsi, dan Harga Cengkeh
Indonesia Tahun 1999-2006................................................................. 153 10. Program Komputer Simulasi Model Produksi, Konsumsi, dan Harga
Cengkeh Indonesia Tahun 1999-2006 Menggunakan SAS Version 9.1 Prosedur SIMNLIN........................................................................ 157
11. Hasil Simulasi Model Produksi, Konsumsi, dan Harga Cengkeh
Indonesia Tahun 1999-2006................................................................. 160
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sektor pertanian cukup strategis dalam pertumbuhan Produk Domestik
Bruto (PDB). Pada tahun 2006 peranan sektor pertanian terhadap PDB
menunjukkan pertumbuhan yang sangat baik yaitu mencapai 3.41 persen atau
setara dengan Rp 204.2 triliun bahkan melebihi target Departemen Pertanian
(Deptan) sebesar 2.9 persen, dimana pada sub sektor tanaman pangan mencapai
Rp 77.3 triliun, hortikultura sebesar Rp 47.1 triliun, perkebunan Rp 50.5 triliun
dan peternakan Rp 29.4 triliun (M. Fauzi, 2007). Selain dituntut mampu
menciptakan swasembada pangan, sektor ini juga diharapkan mampu
menyediakan lapangan dan kesempatan kerja serta pengadaan bahan baku bagi
industri hasil pertanian (www.deptan.go.id).
Sektor pertanian merupakan salah satu sektor non-migas yang menjadi
andalan untuk memperoleh devisa bagi Indonesia. Sektor ini juga dituntut untuk
meningkatkan perolehan devisa negara dengan jalan meningkatkan volume ekspor
hasil pertaniannya. Penerimaan devisa negara dari ekspor produk pertanian yang
sempat turun di masa krisis ekonomi tahun 1998-1999, kembali mengalami masa
pemulihan di tahun 2000-2005. Pada masa sebelum krisis (1995-1997) nilai
ekspor sebesar 5 miliar US$/tahun. Di masa krisis mengalami penurunan menjadi
4.6 miliar US$/tahun, namun setelah masa krisis nilai ekspor kembali meningkat
menjadi 6.5 miliar US$/tahun (www.deptan.go.id).
Melihat arti penting sektor pertanian tersebut diharapkan kebijakan-
kebijakan ekonomi negara berupa kebijakan fiskal, kebijakan moneter, dan
2
kebijakan perdagangan tidak mengabaikan sektor pertanian, dalam arti kebijakan-
kebijakan tersebut tidak bias kota, yaitu memprioritaskan aktivitas ekonomi kota
yang biasanya digeluti para pelaku ekonomi skala besar. Demikian juga tidak bias
modal, dalam arti kebijakan yang berorientasi mendukung para pemilik modal
besar, padahal sektor pertanian umumnya digeluti oleh mereka yang dikategorikan
sebagai pemodal kecil dan sedang (Irawan, 2006).
Salah satu sub sektor di sektor pertanian adalah sub sektor perkebunan.
Sub sektor ini semakin penting dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian
nasional, mengingat makin terbatasnya peranan minyak bumi yang selama ini
merupakan sumber utama devisa negara. Pada sub sektor perkebunan terdapat
banyak komoditas yang ditawarkan dan menjadi pilihan ekspor ke negara-negara
lain, baik negara-negara maju maupun negara-negara berkembang.
Cengkeh adalah salah satu komoditi perkebunan yang cukup memberi
harapan bagi penerimaan negara melalui cukai rokok dan kegiatan ekspornya.
Cukai merupakan penyumbang yang signifikan terhadap penerimaan negara dari
beberapa sumber penerimaan negara. Pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) tahun 2005 porsi penerimaan cukai dari total penerimaan, di luar
hutang dan hibah, adalah sebesar 7.2 persen (Rp 31.439 triliun dari Rp 438.024
triliun). Cengkeh yang digunakan sebagai bahan baku rokok kretek memberikan
kontribusi terbesar terhadap penerimaan dari cukai, yaitu rata-rata sebesar 98
persen dari penerimaan total cukai tahun 2005 (Siregar dan Suhendi, 2006) dan
menurut data dari Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI)
pada tahun 2007 penggunaan pita cukai rokok kretek tahun 2006 mencapai
sebesar Rp 35.073 triliun. Selain dari cukai rokok, Indonesia juga melakukan
3
ekspor cengkeh yang memberikan penerimaan negara melalui devisa negara
walaupun pada saat-saat tertentu Indonesia juga melakukan impor (Tabel 1).
Negara utama tujuan ekspor cengkeh Indonesia adalah India dan Singapura.
Peran lain agribisnis cengkeh dalam perekonomian adalah dalam
penyerapan tenaga kerja. Jumlah tenaga kerja yang terkait langsung maupun tidak
langsung berkisar 6 juta orang, apabila satu tenaga kerja menghidupi istri dan
anak maka industri rokok akan menghidupi sekitar 10 persen dari jumlah
penduduk Indonesia (GAPPRI, 2006). Selain itu, cengkeh juga berperan sebagai
penyumbang pendapatan petani, mendukung berkembangnya industri, dan
potensial untuk menjadi sarana pengembangan dan pemerataan pembangunan
wilayah (Siregar dan Suhendi, 2006).
Saat ini Indonesia merupakan negara penghasil cengkeh terbesar di dunia,
hal ini selain dikarenakan cengkeh merupakan tanaman asli Indonesia, juga
didukung oleh kondisi alam, iklim dan topografi yang mendukung dilakukannya
agribisnis cengkeh di Indonesia (www.deptan.go.id). Indonesia masih tetap
menempati posisi pertama di dunia untuk produksi cengkeh. Pada tahun 2004
produksi cengkeh Indonesia mencapai sebesar 73 837 ton, sedangkan produksi
cengkeh dunia pada tahun yang sama mencapai sekitar 124.4 ribu ton. Tahun
2004 Indonesia memberikan kontribusi produksi cengkeh rata-rata sebesar 60
persen terhadap total produksi dunia, sedangkan untuk Asia, Indonesia
memberikan kontribusi rata-rata sebesar 95 persen. Dua negara lain yang cukup
potensial sebagai penghasil cengkeh adalah Madagaskar dan Zanzibar (Tanzania)
yang seluruh produksinya mencapai berkisar antara 20 000-27 000 ton per tahun
(www.fao.org).
4
Kontribusi ekspor cengkeh sebagai salah satu komoditi sub sektor
perkebunan di Indonesia selama enam tahun terakhir yaitu dari tahun 2001 hingga
tahun 2006 cenderung fluktuatif seperti terlihat pada Tabel 1. Pada tahun 2002
volume ekspor cengkeh Indonesia sebesar 9 399 918 kg dengan nilai 25 973 204
US$. Volume ekspor cengkeh pada tahun 2003 adalah yang terbesar, dimana
volume tersebut mampu mencapai 15 688 150 kg dengan nilai ekspor sebesar
24 929 372 US$. Peningkatan produksi yang besar ini disebabkan karena pada
tahun 2003 terjadi panen raya. Pada tahun 2005 volume dan nilai ekspor cengkeh
kembali menurun masing-masing sebesar 1 377 144 kg dan 1 120 682 US$
dibandingkan tahun 2004, akan tetapi pada tahun 2006 volume ekspor cengkeh
kembali meningkat menjadi 11 269 811 kg dengan nilai sebesar 23 532 773 US$.
Tabel 1. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor-Impor Cengkeh Indonesia Tahun 2001-2006
Ekspor Impor Tahun Volume (kg) Nilai (US$) Volume (kg) Nilai (US$)
2001 6 323 785 10 669 320 16 899 532 17 365 0622002 9 399 918 25 973 204 796 416 653 4722003 15 688 150 24 929 372 172 610 151 9672004 9 059 802 16 037 068 8 669 7 8642005 7 682 658 14 916 386 512 7272006 11 269 811 23 532 773 1 337 823
Sumber: http://comtrade.un.org/db/dqBasicQueryResults.aspx? Diakses pada tanggal 28 Agustus 2007
Indonesia merupakan negara produsen dan konsumen cengkeh terbesar di
dunia. Produksi cengkeh Indonesia selain diekspor, juga diorientasikan untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi cengkeh domestik khususnya pada industri rokok
kretek, karena berdasarkan penggunaannya sebanyak 85 persen sampai 95 persen
konsumsi cengkeh nasional digunakan untuk industri rokok kretek. Menurut
GAPPRI (2005) kebutuhan bahan baku cengkeh oleh industri rokok kretek selama
5
tahun 2000-2004 berkisar antara 85 000 ton sampai 96 000 ton, dengan rata-rata
penyerapan sekitar 92 133 ton/tahun (Husodo, 2006). Sehingga untuk memenuhi
kebutuhan domestik, Indonesia melakukan impor terhadap komoditas cengkeh.
Pada tahun 2001 volume impor cengkeh sebesar 16 899 532 kg dengan nilai
17 365 062 US$. Menurut Husodo (2006) peningkatan jumlah impor tersebut
dikarenakan terjadinya panen kecil di dalam negeri dan diduga impor tersebut
merupakan cengkeh Indonesia yang di reekspor oleh negara pengimpor, karena
selain Indonesia hanya sedikit produksi dan penggunaan cengkeh oleh negara lain.
Pada tahun 2002 pemerintah memandang perlu untuk menetapkan
ketentuan impor cengkeh dalam rangka mengantisipasi lonjakan impor cengkeh
yang mengakibatkan terjadinya penurunan harga cengkeh dan pendapatan petani
di dalam negeri, yang diatur melalui Surat Keputusan Menperindag
No.528/MPP/Kep/7/2002 tertanggal 5 Juli 2002 tentang pengendalian impor
cengkeh. Kebijakan ini ditetapkan untuk meningkatkan kesejahteraan petani
cengkeh dengan tetap memperhatikan kepentingan industri pengguna cengkeh.
Pada tahap awal, impor baru akan diizinkan apabila harga cengkeh produksi
dalam negeri sudah naik hingga mencapai titik harga tertentu. Ketentuan impor
cengkeh ini mengakibatkan terjadinya penurunan volume impor cengkeh yang
sangat signifikan pada tahun 2002-2006, yaitu berkisar antara 512 kg pada tahun
2005 hingga 796 416 kg pada tahun 2002.
Indonesia merupakan “negara besar” dalam perdagangan internasional
cengkeh, sehingga fluktuasi produksi dan konsumsi, yang bisa terjadi karena
faktor alam, aspek perilaku industri, maupun aspek kebijakan domestik, dapat
mempengaruhi tatanan perdagangan tersebut. Berdasarkan Tabel 2, pada periode
6
tahun 2001-2005 harga cengkeh dunia mengalami fluktuasi berkisar antara
1 803.69 US$/ton dan 7 107.29 US$/ton. Harga cengkeh dunia terendah terjadi
pada tahun 2003 yaitu 1 803.69 US$/ton. Hal ini dikarenakan sejak tahun 2002
Indonesia mengurangi impor cengkeh yang pada awalnya Indonesia mengimpor
cengkeh sekitar 70 persen dari volume perdagangan dunia. Penurunan impor ini
diakibatkan oleh adanya Surat Keputusan Menperindag No.528/MPP/Kep/7/2002
tentang pengendalian impor cengkeh, sehingga menyebabkan impor cengkeh
Indonesia menurun drastis yang berdampak pada penurunan harga cengkeh dunia
(Siregar dan Suhendi, 2006). Demikian pula dengan harga cengkeh domestik
mengalami fluktuasi berkisar antara 23 018 866 Rp/ton pada tahun 2003 dan
41 050 475 Rp/ton pada tahun 2001.
Tabel 2. Perkembangan Harga Cengkeh Domestik dan Harga Cengkeh Dunia Tahun 2001-2005
Tahun Harga Domestik (Rp/ton) Harga Dunia (US$/ton) 2001 41 050 475 7 107.292002 37 332 564 5 406.252003 23 018 866 1 803.692004 23 345 387 2 725.002005 28 958 048 2 600.00
Sumber: http://faostat.fao.org/site/570/DesktopDefault.aspx?PageID=570 diakses pada tanggal 30 Agustus 2007
Volume ekspor dan impor yang terjadi dipengaruhi oleh jumlah produksi
yang mampu dihasilkan pada tiap-tiap tahunnya. Selama periode tahun 2002
hingga tahun 2006, produksi cengkeh berfluktuasi dan cenderung mengalami
peningkatan (Tabel 3). Pada tahun 2003 produksi cengkeh Indonesia adalah yang
terbesar yaitu 116 415 ton atau meningkat sebesar 37 405 ton dibandingkan tahun
2002 yang jumlah produksinya hanya 79 010 ton. Hal ini disebabkan karena pada
tahun 2003 terjadi panen raya di dalam negeri yang menyebabkan produksi
7
cengkeh meningkat (Husodo, 2006). Pada tahun 2004 produksi cengkeh kembali
mengalami penurunan menjadi 73 837 ton, akan tetapi sejak tahun 2005 hingga
tahun 2006 produksi cengkeh kembali meningkat yaitu dari 78 350 ton menjadi
83 782 ton.
Tabel 3. Perkembangan Produksi, Produktivitas dan Luas Areal Cengkeh Indonesia Tahun 2002-2006
Tahun Produksi (ton) Produktivitas (kg/ha) Luas Areal (ha) 2002 79 010 246.05 430 2122003 116 415 285.56 442 3312004 73 837 236.32 438 2532005 78 350 247.59 448 8582006* 83 782 260.49 455 392
Sumber: http://www.deptan.go.id/infoeksekutif/bun/2006 diakses pada tanggal 20 Agustus 2007
*): Data Sementara
Fluktuasi volume dan nilai ekspor-impor cengkeh juga dipengaruhi oleh
produktivitas dan ketersediaan luas areal yang dapat diolah untuk melakukan
agribisnis cengkeh. Pada tahun 2003 produktivitas cengkeh Indonesia adalah yang
terbesar, yaitu 285.56 kg/ha atau meningkat sebesar 39.51 kg/ha dibandingkan
pada tahun 2002 yang jumlah produktivitasnya hanya 246.05 kg/ha, sedangkan
pada tahun 2004 produktivitas cengkeh mengalami penurunan menjadi
236.32 kg/ha. Sejak tahun 2004 hingga tahun 2006 produktivitas cengkeh kembali
meningkat dari 236.32 kg/ha pada tahun 2004 menjadi 260.49 kg/ha pada tahun
2006.
Luas areal tersebut menjadi salah satu faktor penentu dalam hal produksi
yang mampu dicapai. Perkebunan cengkeh di Indonesia dikelola dalam tiga
bentuk pengusahaan, yaitu Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar Negara
(PBN), dan Perkebunan Besar Swasta (PBS). Tanaman cengkeh merupakan
tanaman rakyat, dimana 97 persen dari rata-rata total pemilikan perkebunan
8
cengkeh dimiliki oleh rakyat (Lampiran 3). Pada periode tahun 2002 hingga tahun
2006 luas areal cenderung berfluktuasi dan mengalami peningkatan. Pada tahun
2004 luas areal cengkeh berkurang menjadi 438 253 hektar dibandingkan dengan
tahun sebelumnya, hal ini dikarenakan banyak petani yang mengkonversikan
lahan cengkeh dengan komoditi lain yang dianggap lebih menguntungkan seperti
kakao, kopi, dan berbagai jenis tanaman hortikultura (www.deptan.go.id). Pada
tahun berikutnya yaitu pada tahun 2006 luas areal cengkeh kembali meningkat
menjadi 455 392 hektar.
1.2. Perumusan Masalah
Indonesia merupakan negara konsumen sekaligus produsen cengkeh
terbesar di dunia. Cengkeh merupakan salah satu komponen utama bahan baku
rokok kretek. Besarnya pendapatan cukai dan kemampuannya menyediakan
lapangan kerja berskala besar, menempatkan industri rokok sebagai salah satu
bagian penting dalam ekonomi nasional. Tercapainya swasembada bahkan
kelebihan produksi cengkeh, mengakibatkan peran komoditas dan nasib petani
terpuruk selama dekade 90-an, akibatnya produksi terus menurun sejak tahun
2000, sehingga dikhawatirkan pada tahun 2009 Indonesia hanya mampu
menyediakan separuh dari kebutuhan industri rokok kretek. Industri rokok kretek
sendiri, berkembang sejak akhir abad ke-19. Tingginya kebutuhan devisa untuk
memenuhi kebutuhan mengakibatkan ditetapkannya program swasembada
cengkeh pada tahun 1970, antara lain melalui perluasan areal.
Hasil dari pelaksanaan program swasembada cengkeh adalah terjadinya
perkembangan luas areal yang sangat mencolok dari 82 387 hektar pada tahun
9
1970 menjadi 724 986 hektar pada tahun 1990. Swasembada dinyatakan tercapai
pada tahun 1991, bahkan terlampaui, tetapi bersamaan dengan itu terjadi
penurunan harga cengkeh. Pemerintah campur tangan untuk membantu petani
mengatasi hal tersebut dengan: (1) mengatur tataniaga melalui pembentukan
Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC), (2) mendiversifikasi hasil,
dan (3) mengkonversi sebagian areal. Upaya-upaya tersebut tidak berhasil yang
diindikasikan harga tetap tidak membaik, sehingga petani menelantarkan
pertanamannya.
Luas areal cengkeh berkurang drastis karena ditelantarkan petani, sehingga
pada tahun 2002 luas areal cengkeh hanya sebesar 430 212 hektar. Diperkirakan
untuk tahun 2006 luas areal tanaman cengkeh hanya meningkat menjadi 455 392
hektar dengan tingkat produksi sebesar 83 782 ton. Penurunan ini akibat dari
ketidakpastian harga. Dampak dari harga jual yang tidak menentu menyebabkan
keengganan petani untuk memelihara tanaman cengkehnya. Menurut GAPPRI,
produksi juga turun sejak tahun 2000, sehingga diperkirakan tanpa upaya
penyelamatan, tahun 2009 produksi cengkeh Indonesia hanya akan mampu
menyediakan sekitar 50 persen dari kebutuhan pabrik rokok kretek yang rata-rata
empat tahun terakhir mencapai 92 133 ton (www.deptan.go.id).
Mengantisipasi hal tersebut, maka pemerintah melalui program
Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) yang dicanangkan oleh
Presiden RI pada tanggal 11 Juni 2005 di Jatiluhur, Jawa Barat memasukkan
komoditi cengkeh sebagai salah satu dari 17 komoditi pertanian yang perlu
dikembangkan, karena vitalitas sektor pertanian saat ini sedang mengalami
10
degradasi yang ditunjukkan dengan terjadinya penurunan (levelling off) produksi
beberapa komoditas pertanian, antara lain komoditi cengkeh (www.deptan.go.id).
Produksi cengkeh dometik umumnya diorientasikan untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri, yaitu sebagai bahan baku industri rokok kretek. Peluang
ekspor cengkeh di pasar internasional juga memiliki prospek yang cukup baik,
dimana selama periode tahun 2001-2006 volume dan nilai ekspor cengkeh
cenderung mengalami peningkatan. Indonesia yang merupakan negara produsen
maupun konsumen cengkeh diharapkan mampu meningkatkan penerimaan devisa
negara melalui perkembangan produksi dan kegiatan ekspornya.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah
antara lain:
1. Bagaimana perkembangan produksi cengkeh, luas areal cengkeh,
produktivitas cengkeh, volume impor dan harga cengkeh impor, volume
ekspor dan harga cengkeh ekspor, konsumsi cengkeh industri rokok kretek
dan produksi rokok kretek, dan harga cengkeh domestik Indonesia?
2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi produksi, konsumsi, dan harga
cengkeh Indonesia?
3. Bagaimana dampak perubahan faktor ekonomi terhadap produksi,
konsumsi, dan harga cengkeh Indonesia tahun 1999-2006?
1.3. Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini
bertujuan untuk:
1. Menganalisis perkembangan produksi cengkeh, luas areal cengkeh,
produktivitas cengkeh, volume impor dan harga cengkeh impor, volume
11
ekspor dan harga cengkeh ekspor, konsumsi cengkeh industri rokok kretek
dan produksi rokok kretek, dan harga cengkeh domestik Indonesia.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi, konsumsi, dan
harga cengkeh Indonesia.
3. Menganalisis dampak perubahan faktor ekonomi terhadap produksi,
konsumsi, dan harga cengkeh Indonesia tahun 1999-2006.
1.4. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan bahan
masukan bagi individu atau instansi-instansi yang terkait seperti petani/produsen,
eksportir, maupun pemerintah dalam mengambil keputusan dan menerapkan
kebijakan-kebijakan dalam kaitannya dengan produksi, konsumsi, dan harga
cengkeh Indonesia. Hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai bahan
informasi dan referensi untuk penelitian selanjutnya.
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis produksi, konsumsi, dan harga
cengkeh Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian yang membahas mengenai
produksi, konsumsi, dan harga cengkeh Indonesia secara umum, baik impor
maupun ekspor cengkeh yang dianalisis tidak berdasarkan negara asal impor dan
negara tujuan ekspor. Model penelitian ini belum menganalisis kebutuhan
cengkeh untuk industri lain dan rumahtangga. Penelitian ini juga belum mencakup
masing-masing produksi cengkeh perkebunan rakyat, perkebunan besar negara,
dan perkebunan besar swasta. Data yang digunakan adalah data time series selama
periode 27 tahun yaitu dari tahun 1980-2006.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gambaran Umum Komoditi Cengkeh
2.1.1. Sejarah dan Penyebaran Tanaman Cengkeh
Daerah asal tanaman cengkeh sempat mengundang perdebatan dalam
ruang lingkup internasional. Wiesner mengatakan cengkeh berasal dari Pulau
Makian di Maluku Utara, sedangkan Toxopeus berpendapat, selain dari Maluku
cengkeh juga berasal dari Irian (Hadiwijaya, 1986). Nicola Ponti dari Venesia
mengungkapkan bahwa daerah asal cengkeh adalah Banda. Di daerah kepulauan
Maluku ditemukan tanaman cengkeh tertua di dunia dan daerah ini merupakan
satu-satunya produsen cengkeh terbesar di dunia (Bintoro, 1986).
Penyebaran tanaman cengkeh keluar Pulau Maluku dimulai sejak tahun
1769. Bibit tanaman ini mula-mula diselundupkan oleh seorang kapten dari
Perancis ke Rumania, selanjutnya disebarkan ke Zanzibar dan Madagaskar.
Penyebaran tanaman cengkeh ke wilayah Indonesia seperti Jawa, Sumatera, dan
Kalimantan baru dimulai pada tahun 1870. Sampai saat ini tanaman cengkeh telah
tersebar ke seluruh dunia. Cengkeh ditanam terutama di Indonesia (Kepulauan
Banda) dan Madagaskar, juga tumbuh subur di Zanzibar, India, dan Sri Lanka
(Hadiwijaya, 1986).
2.1.2. Taksonomi dan Morfologi Tanaman Cengkeh
Cengkeh (Syzygium aromaticum), dalam bahasa Inggris disebut cloves,
adalah tangkai bunga kering beraroma dari keluarga pohon Myrtaceae.
Taksonomi tanaman cengkeh menurut beberapa ahli botani adalah sebagai berikut
(http://id.wikipedia.org/wiki/Cengkeh):
13
Kingdom : Plantae
Filum : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Myrtales
Famili : Myrtaceae
Genus : Syzygium
Spesies : S. Aromaticum (L.) Merr. & Perry.
Cengkeh termasuk jenis tumbuhan perdu yang memiliki batang pohon
besar dan berkayu keras, cengkeh mampu bertahan hidup puluhan bahkan sampai
ratusan tahun, tingginya dapat mencapai 20m-30m dan cabang-cabangnya cukup
lebat. Cabang-cabang dari tumbuhan cengkeh tersebut pada umumnya panjang
dan dipenuhi oleh ranting-ranting kecil yang mudah patah. Mahkota atau juga
lazim disebut tajuk pohon cengkeh berbentuk kerucut. Daun cengkeh berwarna
hijau berbentuk bulat telur memanjang dengan bagian ujung dan pangkalnya
menyudut, rata-rata mempunyai ukuran lebar berkisar 2cm-3cm dan panjang daun
tanpa tangkai berkisar 7.5cm-12.5cm. Bunga dan buah cengkeh akan muncul pada
ujung ranting daun dengan tangkai pendek serta bertandan. Pada saat masih muda
bunga cengkeh berwarna keungu-unguan, kemudian berubah menjadi kuning
kehijau-hijauan dan berubah lagi menjadi merah muda apabila sudah tua. Sedang
bunga cengkeh kering akan berwarna coklat kehitaman dan berasa pedas sebab
mengandung minyak atsiri. Umumnya cengkeh pertama kali berbuah pada umur
4-7 tahun (Najiyati, S. dan Danarti, 1992)
14
Menurut Hadiwidjaja (1986) varietas-varietas unggul cengkeh yang
ditanam antara lain:
1. Cengkeh Siputih: (1) helai daun besar dan berwarna kuning atau hijau
muda, (2) cabang kurang rimbun, dan (3) bunga besar, warna kuning, dan
berjumlah belasan per rumpun.
2. Cengkeh Sikotok: (1) helai daun kecil, warna hijau sampai hijau tua
kehitam-hitaman, dan lebih mengkilap, (2) cabang rimbun dan rendah,
semua ranting tertutup daun, dan (3) bunga kuning kemerahan, tiap
rumpun 20-50 bunga.
3. Cengkeh Zanzibar: (1) bentuk daun panjang ramping dan berwarna hijau
gelap, (2) bunga berwarna lebih merah dengan produksi tinggi, dan (3)
merupakan jenis terbaik.
2.1.3. Budidaya Tanaman Cengkeh
Di Indonesia, budidaya tanaman cengkeh cocok pada ketinggian
0-900 m dpl (paling optimum pada 300-600 m dpl) atau terletak pada ketinggian
lebih dari 900 m dpl, dengan hamparan lahan yang menghadap laut. Tumbuhan
cengkeh akan tumbuh dengan baik apabila cukup air dan mendapat sinar matahari
langsung. Cengkeh menghendaki iklim yang panas dengan curah hujan cukup
merata, karena tanaman ini tidak tahan kemarau panjang. Angin yang terlalu
kencang dapat merusak tajuk tanaman. Untuk pertumbuhannya, curah hujan
optimal bagi pertumbuhan tanaman cengkeh antara 1500-4500 mm/tahun.
Cengkeh menghendaki sinar matahari minimal 8 jam per hari. Suhu yang optimal
untuk tanaman ini adalah 22°C -30°C, dengan kelembaban udara antara 60 persen
sampai 80 persen. Tanaman cengkeh juga menghendaki tanah yang subur, gembur
15
tidak berbatu, berdrainase baik, dan kedalaman air tanah pada musim hujan tidak
lebih dangkal dari 3m dari permukaan tanah dan pada musim kemarau tidak lebih
dari 8m (Hadiwijaya, 1986).
2.1.4. Manfaat Cengkeh
Cengkeh banyak digunakan sebagai bumbu masakan pedas di negara-
negara Asia dan Eropa, dan sebagai bahan utama rokok kretek khas Indonesia.
Bagian utama dari tanaman cengkeh yang bernilai komersial adalah bunganya,
yang sebagian besar digunakan dalam industri rokok, yaitu hingga sekitar
90 persen. Selain digunakan sebagai bahan baku rokok kretek, cengkeh juga
digunakan untuk industri farmasi dan industri makanan (Lampiran 2). Minyak
cengkeh yang berasal dari bunga cengkeh, gagang/tangkai dan daun cengkeh
mengandung eugenol dan bersifat anestetik dan antimikrobial. Eugenol tersebut
dapat digunakan untuk aromaterapi, mengobati sakit gigi, menghilangkan bau
nafas, dan dapat mengendalikan beberapa jamur patogen pada tanaman. Bunga
cengkeh dalam bentuk tepung digunakan dalam proses pembuatan makanan yang
dimasak dengan suhu tinggi (www.deptan.go.id). Cengkeh juga digunakan
sebagai bahan dupa di Tiongkok dan Jepang. Minyak cengkeh juga digunakan
dalam campuran tradisional choji (1 persen minyak cengkeh dalam minyak
mineral) dan digunakan oleh orang Jepang untuk merawat permukaan pedang
mereka (http://id.wikipedia.org/wiki/Cengkeh).
2.2. Standar Mutu Cengkeh Indonesia
Penentuan standar mutu cengkeh ruang lingkupnya mencakup ukuran,
warna, bau, bahan asing, gagang cengkeh, cengkeh inferior, cengkeh rusak, kadar
air, dan kadar minyak atsiri. Bahan asing yang dimaksud yaitu semua bahan yang
16
bukan berasal dari bunga cengkeh. Cengkeh inferior yaitu cengkeh keriput, patah,
dan cengkeh yang telah dibuahi. Cengkeh rusak adalah cengkeh yang telah
berjamur dan telah diekstraksi.
Standar mutu cengkeh di Indonesia tercantum di dalam Standar Nasional
Indonesia SNI 01-3392-1994 yang ditetapkan oleh Dewan Standardisasi Nasional
(DSN) dari Standar Perdagangan SP-48-1976 (http://warintek.progressio.or.id).
Standar mutu cengkeh Indonesia adalah:
1. Ukuran: sama rata
2. Warna: coklat kehitaman
3. Bau: tidak apek
4. Bahan asing maksimum: 0.5-1.0 persen
5. Gagang maksimum: 1.0-5.0 persen
6. Cengkeh rusak maksimum: 0 persen
7. Kadar air maksimum: 14.0 persen
8. Cengkeh inferior maksimum: 2.0-5.0 persen
9. Kadar Atsiri maksimum: 16.0-20.0 persen
Beberapa upaya perbaikan untuk menanggulangi permasalahan mutu
cengkeh di Indonesia antara lain dapat dilakukan dengan perwilayahan cengkeh
sehingga penanaman dilakukan pada daerah yang sangat sesuai, penggunaan
varietas unggul, serta perbaikan dan standardisasi cara pengolahan. Perbaikan cara
pengolahan antara lain dengan waktu panen yang tepat sehingga rendemen
cengkeh kering dan kadar minyak meningkat serta cengkeh inferior dan menir
berkurang. Mengurangi kadar bahan asing pada cengkeh sebaiknya dilakukan
pengeringan pada lantai jemur yang bersih atau di atas para-para menggunakan
17
tampah atau pengering buatan. Selain itu, kadar bahan asing dan persentase
gagang cengkeh dapat dikurangi dengan melakukan sortasi sebelum cengkeh
disimpan atau dipasarkan (Hidayat dan Nurdjannah, 1997).
2.3. Tinjauan Kebijakan Tataniaga Cengkeh Indonesia
Kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia pada
industri cengkeh tidak hanya dari sisi peningkatan produksi namun juga mengenai
pengaturan tataniaga cengkeh. Kebijakan ini telah dilakukan sejak tahun 1969
hingga tahun 2002 seperti terdapat pada Lampiran 1 dan terakhir adalah peraturan
mengenai pengendalian impor cengkeh tahun 2002. Pada tahun 1990 berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Perdagangan RI Nomor 306/KP/XII/1990 dibentuk
badan sebagai pelaksana tataniaga cengkeh atau BPPC (Badan Penyangga dan
Pemasaran Cengkeh) untuk melakukan kegiatan pembelian, penyanggaan,
penjualan cengkeh, dan stabilisasi harga cengkeh di tingkat petani. Sehingga
dalam penelitian ini mencoba menggunakan variabel dummy kebijakan tataniaga
berdasarkan BPPC. Kinerja tataniaga cengkeh nasional dapat digambarkan dalam
tiga dekade yaitu (Wahyuni, dalam Sinaga dan Pakasi, 1999):
1. Dekade 70-an, diwarnai dengan adanya kekurangan produksi dalam
negeri, harga cengkeh yang cenderung tinggi dan terus meningkat,
sehingga impor dilakukan untuk memenuhi permintaan tersebut.
2. Dekade 80-an, tercapai swasembada cengkeh nasional tahun 1988. Selama
dekade ini, produksi cengkeh masih terus meningkat akibat dari adanya
perluasan areal tanaman cengkeh di berbagai lokasi. Perluasan areal dan
pertanaman baru terutama disebabkan oleh tingkat harga yang tinggi dan
18
merangsang serta memotivasi petani secara kuat dalam mengembangkan
usahatani cengkeh.
3. Dekade 90-an, terjadi kelebihan produksi pada awal dekade, produksi
berlebih secara nasional merupakan akibat pertambahan areal pada dekade
80-an. Akibatnya harga cengkeh menurun bahkan menjadi rendah,
seterusnya stok nasional meningkat pesat. Selain itu, tidak ada keinginan
produsen untuk mengkonversi tanaman cengkehnya dengan tanaman lain.
2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu
2.4.1. Penelitian Mengenai Cengkeh
Hasil penelitian Rumondor (1993) yang menganalisis perkembangan
tataniaga cengkeh di Sulawesi Utara menyatakan bahwa adanya mekanisme
tataniaga baru ternyata tidak memberi harapan bagi petani untuk dapat menikmati
harga yang layak melalui peningkatan pendapatan, karena sejak periode tahun
1982-1987 harga cengkeh mulai menurun di bawah harga dasar yang ditetapkan
pemerintah. Keterbatasan modal dan rendahnya manajemen KUD menyebabkan
tetap berkembangnya sistem ijon di tingkat petani. Disamping itu, faktor-faktor
yang mempengaruhi penawaran cengkeh oleh petani adalah harga, modal, dan
biaya tataniaga. Namun kontribusi variabel ini dalam mempengaruhi penawaran
cengkeh oleh petani tidak besar yaitu hanya 56.72 persen. Kondisi ini
menunjukkan bahwa selain faktor-faktor tersebut maka penawaran cengkeh oleh
petani dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti kebutuhan rumah tangga.
Sedangkan pada lembaga tataniaga (pedagang/penyangga), suplai cengkeh
dipengaruhi oleh tingkat harga. Hal ini disebabkan karena lembaga-lembaga
19
tataniaga dapat menahan untuk tidak langsung menjual cengkeh yang dibeli dari
petani, sampai pada tingkat harga yang dianggap menguntungkan.
Sinaga dan Pakasi (1999) melakukan penelitian mengenai dampak
perubahan faktor ekonomi terhadap permintaan dan penawaran cengkeh di
Indonesia dengan menggunakan data time series periode 29 tahun yaitu dari tahun
1970-1998 yang dianalisis secara simultan. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keragaan produksi, permintaan dan
penawaran cengkeh di Indonesia adalah harga pupuk, suku bunga, luas areal
penanaman baik swasta, rakyat dan negara, kebijakan tataniaga cengkeh, upah
tenaga kerja, harga ekspor, harga impor, harga di tingkat petani, harga di tingkat
pabrik rokok, konsumsi industri pabrik rokok, total produksi cengkeh, impor
cengkeh, ekspor cengkeh, ekspor rokok kretek, jumlah stok cengkeh, permintaan
cengkeh, harga jual rokok kretek mesin, dan harga jual rokok kretek tangan.
Produksi, permintaan dan penawaran cengkeh Indonesia respon terhadap harga
ekspor dan impor cengkeh, total produksi cengkeh, peningkatan jumlah penduduk,
jumlah stok cengkeh, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, harga cengkeh di
tingkat petani, total konsumsi cengkeh, harga cengkeh di tingkat pabrik rokok,
dan konsumsi industri rokok kretek.
Berdasarkan hasil analisis, ada keterkaitan antara luas areal, jumlah
produksi, yang selanjutnya berkaitan dengan jumlah permintaan, penawaran, dan
total konsumsi cengkeh serta jumlah ekspor dan impor cengkeh. Faktor-faktor
tersebut juga terkait dengan harga-harga di berbagai pasar cengkeh seperti di
tingkat petani, di tingkat pabrik rokok, di tingkat ekspor dan impor. Keterkaitan
ini menunjukkan apabila terjadi perubahan terhadap salah satu faktor tersebut,
20
akan berpengaruh dan merubah faktor-faktor lainnya. Dampak dari simulasi ke
enam skenario menunjukkan terjadinya peningkatan luas areal, jumlah produksi,
peningkatan permintaan dan penawaran cengkeh serta total konsumsi cengkeh.
Ada perbedaan antara kebijakan tataniaga cengkeh dengan BPPC dan tanpa
BPPC. Dengan BPPC memberikan dampak menurunnya luas areal. Selain itu,
dengan adanya BPPC berdampak pada terjadinya penurunan jumlah penawaran
dan permintaan cengkeh Indonesia, demikian juga dengan penurunan ekspor dan
impor, serta terhadap pembentukan harga tingkat petani, harga ekspor, dan impor
berpengaruh negatif.
Taruli (2002) mencoba menganalisis peluang ekspor agribisnis cengkeh
Indonesia dengan menggunakan data periode waktu 18 tahun, yaitu dari tahun
1983-2000. Perkembangan volume ekspor cengkeh Indonesia dipengaruhi oleh
harga domestik, harga ekspor, volume ekspor tahun sebelumnya, volume stok
akhir tahun sebelumnya, jumlah penduduk negara India, nilai tukar rupiah
terhadap dollar Amerika, variabel dummy pertama (panen kecil atau sedang dan
panen besar), dan variabel dummy kedua (terbentuknya BPPC dan tidak ada).
Volume stok akhir tahun sebelumnya dan nilai tukar rupiah terhadap dollar
Amerika berpengaruh positif terhadap volume ekspor cengkeh Indonesia.
Sedangkan harga domestik, harga ekspor, volume ekspor tahun sebelumnya,
jumlah penduduk negara India, serta variabel dummy pertama dan kedua
berpengaruh negatif. Dilihat dari peluang ekspor cengkeh Indonesia di pasar
cengkeh domestik, pasar cengkeh internasional, sumberdaya Indonesia dan
perkembangan produk mempunyai peluang cukup baik.
21
2.4.2. Penelitian Mengenai Produksi dan Ekspor Produk Pertanian
Sihotang (1996) dalam penelitiannya mengenai analisis penawaran dan
permintaan kopi Indonesia di pasar domestik dan internasional dengan periode
1969-1993. Penelitian ini menggunakan model ekonometrika persamaan simultan
dengan metode Three Stage Least Square (3SLS). Hasil dari penelitian ini bahwa
produksi kopi Indonesia tidak responsif terhadap harga kopi dan komoditas
subtitusi di pasar domestik, harga ekspor, luas areal dan tingkat upah, kecuali kopi
jenis robusta yang responsif terhadap luas areal dalam jangka panjang. Permintaan
kopi di pasar domestik tidak responsif terhadap harga kopi, harga komoditi
subtitusi dan komplementer serta pendapatan per kapita, namun sangat responsif
terhadap pasokan ekspor.
Penelitian yang dilakukan oleh Pitaningrum (2005) menganalisis mengenai
penawaran dan permintaan udang di pasar Internasional menggunakan data
sekunder dalam deret waktu periode 1983-2002 dan diduga dengan metode (Two
Stage Least squares) 2SLS dengan menggunakan program Statistical Analysis
System (SAS). Hasil dugaan penawaran udang Indonesia ke Jepang dan Amerika
menunjukkan bahwa tidak semua variabel penjelas berpengaruh nyata. Faktor-
faktor yang mempengaruhi perkembangan volume ekspor udang Thailand ke
Jepang antara lain harga riil ekspor udang Thailand, nilai tukar riil bath terhadap
dollar Amerika, dan variabel bedakala setahun. Faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan volume ekspor udang Cina ke Jepang maupun Amerika Serikat
antara lain produksi udang Cina, harga riil ekspor udang Cina, nilai tukar riil yuan
terhadap dollar Amerika, dan variabel bedakala setahun. Perkembangan volume
impor udang di dunia dapat diwakili oleh perkembangan volume impor udang di
22
pasar Jepang dan Amerika Serikat. Harga udang dunia disamakan dengan harga
impor udang Jepang dan hasil estimasi menunjukkan bahwa perkembangan harga
udang dunia tidak dipengaruhi oleh variabel ekspor udang dunia dan impor udang
dunia. Sedangkan harga riil ekspor udang Indonesia dipengaruhi oleh semua
variabel penjelas.
2.5. Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu
Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu tersebut, khususnya tentang
komoditi cengkeh dilakukan dengan beragam analisis dan penggunaan data
terakhir tahun 2000. Model yang digunakan dalam penelitian ini
memperhitungkan time lag, sehingga dalam setiap persamaan memasukkan
variabel lag endogen. Penelitian ini menganalisis produksi, konsumsi, dan harga
cengkeh Indonesia menggunakan data time series pada periode 1980-2006 dengan
persamaan simultan melalui metode pendugaan Ordinary Least Squares (OLS)
dan pengolahan data dilakukan menggunakan Statistical Analysis System
(SAS 9.1). Selain itu, penelitian ini juga mencoba menganalisis mengenai dampak
perubahan faktor ekonomi terhadap produksi, konsumsi, dan harga cengkeh
Indonesia tahun 1999-2006 menggunakan simulasi dengan metode Newton.
Penelitian ini menarik untuk dilakukan karena merupakan penelitian yang
membahas mengenai komoditi cengkeh dikarenakan produksi cengkeh, konsumsi
cengkeh industri rokok kretek, dan harga cengkeh domestik cenderung
berfluktuasi sedangkan volume ekspor dan harga ekspor cengkeh Indonesia
cenderung meningkat, tetapi impor cengkeh cenderung menurun sejak
ditetapkannya Surat Keputusan Menperindag No.528/MPP/Kep/7/2002 pada
tanggal 5 Juli 2002 mengenai pembatasan impor cengkeh.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Konsep dan Teori
Pada bagian ini akan dijelaskan konsep dan teori yang berhubungan
dengan penelitian antara lain mengenai fungsi produksi, permintaan faktor
produksi dan produksi cengkeh, permintaan cengkeh dan produksi rokok kretek,
teori perdagangan internasional, dan persamaan simultan.
3.1.1. Fungsi Produksi
Produksi adalah tindakan dalam membuat komoditi, baik barang maupun
jasa (Lipsey, 1993). Suatu proses produksi melibatkan suatu hubungan yang erat
antara faktor produksi yang digunakan dengan produk yang dihasilkan. Tidak ada
produk yang dihasilkan hanya dengan menggunakan satu faktor produksi saja.
Dalam pertanian, proses produksi begitu kompleks dan terus-menerus berubah
seiring dengan kemajuan teknologi. Menurut Doll and Orazem (1984), fungsi
produksi selain menggambarkan hubungan antara faktor produksi dan hasil
produksi, juga menggambarkan tingkat dimana sumberdaya diubah menjadi
produk. Ada banyak hubungan faktor produksi dan hasil produksi dalam pertanian
karena faktor produksi yang diubah menjadi hasil produksi akan berbeda-beda
diantara tipe tanah, hewan, teknologi, curah hujan, dan faktor lainnya. Tiap
hubungan faktor produksi-hasil produksi menggambarkan kuantitas dan kualitas
yang berbeda dari sumberdaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk
tertentu. Lipsey (1993) juga mengatakan bahwa fungsi produksi adalah hubungan
fungsi yang memperlihatkan hasil produksi maksimum yang dapat diproduksi
oleh setiap faktor produksi dan oleh kombinasi berbagai faktor produksi. Sebuah
24
fungsi produksi dapat digambarkan dalam bentuk persamaan aljabar. Secara
matematis fungsi produksi dapat ditulis sebagai berikut (Doll and Orazem, 1984):
Y = f (X1, X2, ..., Xn) ................................................................................ (1)
dimana Y adalah hasil produksi dan X1, X2, ..., Xn adalah faktor produksi-faktor
produksi yang berbeda yang terlibat dan ambil bagian dalam produksi Y. Simbol f
menggambarkan bentuk hubungan dari faktor produksi menjadi hasil produksi.
Dalam melihat perubahan dari produk yang dihasilkan sebagai akibat adanya
perubahan penggunaan faktor produksi dalam fungsi produksi, dinyatakan dalam
konsep elastisitas produksi.
Elastisitas produksi = dY/dX . X/Y, atau ................................................. (2)
Elastisitas produksi = Produk Marginal/Produk Rata-rata ....................... (3)
Suatu fungsi produksi dapat dibagi ke dalam tiga daerah produksi
(Gambar 1). Daerah tersebut dapat dibedakan berdasarkan elastisitas produksi
yang lebih besar dari satu (daerah I), antara nol dan satu (daerah II), dan lebih
kecil dari nol (daerah III). Daerah produksi I mempunyai nilai elastisitas produksi
lebih dari satu, yang berarti bahwa penambahan faktor produksi sebesar satu
persen akan menyebabkan penambahan produksi yang selalu lebih besar dari satu
persen atau pada saat PM lebih besar dari PR. Keuntungan maksimum belum
tercapai karena produksi masih dapat diperbesar dengan pemakaian faktor
produksi yang lebih banyak. Karena itu, daerah I disebut sebagai daerah irrasional
(Irrational Region atau Irrational Stage of Production). Syarat keharusan untuk
tercapainya keuntungan maksimum adalah tingkat produksi yang terjadi harus
berada pada daerah II dalam kurva fungsi produksi. Pada daerah ini elastisitas
produksi bernilai antara nol dan satu atau pada saat PR lebih besar dari PM yang
25
kurang dari nol. Artinya setiap penambahan faktor produksi sebesar satu persen
akan menyebabkan penambahan produksi paling tinggi satu persen dan paling
rendah nol. Daerah ini dicirikan oleh penambahan hasil produksi yang
peningkatannya makin berkurang (diminishing/decreasing return). Pada tingkat
tertentu dari penggunaan faktor produksi di daerah ini akan memberikan
keuntungan maksimum. Hal ini berarti bahwa penggunaan faktor produksi sudah
optimal. Oleh karena itu, daerah II disebut sebagai daerah rasional (Rational
Region atau Rational Stage of Production).
Gambar 1. Kurva Fungsi Produksi
A
B
C
Y (produk)
X3 X2 X1 X (faktor produksi)
X (faktor produksi) X2 X3X1
PT
PR PM
I II III
PM, PR
Sumber: Doll and Orazem, 1984 dimana:
Titik A = Titik belok produksi
Titik B = Titik perpotongan antara PM dan PR pada saat PR maksimum
26
Titik C = Titik produksi marjinal
PT = Produksi Total
PR = Produksi Rata-rata
PM = Produksi Marjinal
Daerah III mempunyai elastisitas produksi lebih kecil dari nol atau PM
sudah negatif, artinya setiap penambahan faktor produksi akan menyebabkan
penurunan jumlah produksi yang dihasilkan. Daerah produksi ini mencerminkan
bahwa pemakaian faktor produksi yang tidak efisien, sehingga daerah ini disebut
juga sebagai daerah irrasional (Irrational Region atau Irrational Stage of
Production).
Doll and Orazem (1984) juga menyatakan bahwa di dalam teori ekonomi
produksi terdapat asumsi yaitu semua produsen berusaha untuk memaksimalkan
keuntungan yang ingin diperolehnya. Hal ini dapat dilihat pada persamaan:
π = Hy . Y – Hx . X .................................................................................. (4)
Keuntungan maksimum dapat tercapai pada saat turunan pertama dari fungsi
keuntungan di atas terhadap faktor produksinya sama dengan nol.
Hy . dY/dX – Hx = 0 ................................................................................ (5)
Hy . PMx = Hx ......................................................................................... (6)
dimana:
Hy . PMx= NPMx
Hx = BKMx
Y = Hasil produksi
X = Faktor Produksi
Hy = Harga Hasil Produksi
27
Hx = Harga Faktor Produksi
PMx = Produksi Marjinal
NPMx = Nilai Produk Marjinal
BKMx = Biaya Korbanan Marjinal
Sehingga persamaan tersebut dapat ditulis menjadi:
NPMx = BKMx ........................................................................................ (7)
Dalam proses produksi, keuntungan maksimal dapat tercapai saat Biaya
Korbanan Marjinal (BKMx) sama dengan Nilai Produk Marjinal (NPMx). Artinya
dengan menambah biaya sebesar satu persen akan meningkatkan penerimaan
sebesar satu persen juga. Jika perbandingan NPMx dan BKMx sama dengan satu
maka proses produksi sudah mencapai kombinasi optimal. Saat NPMx lebih kecil
dari BKMx menunjukkan bahwa dalam proses produksi, kombinasi penggunaan
faktor produksi sudah melewati batas. Sedangkan jika nilai perbandingan NPMx
dan BKMx lebih besar dari satu maka kombinasi pemakaian faktor produksi
masih kurang.
3.1.2. Permintaan Faktor Produksi dan Produksi Cengkeh
Pada pasar produk dan pasar faktor produksi yang bersaing sempurna,
fungsi penawaran mencerminkan kuantitas produk yang ditawarkan sebagai
fungsi dari harga produk dan harga faktor produksi. Suatu fungsi penawaran
perusahaan yang memaksimumkan keuntungan dapat diturunkan dari fungsi
keuntungan yang dicapai melaui dua syarat yaitu syarat order pertama (first order
condition) dan syarat order kedua (second order condition). Menurut syarat order
pertama, fungsi keuntungan akan maksimum jika turunan pertama dari fungsi
tersebut terhadap faktor produksi sama dengan nol, berarti nilai produk marginal
28
harus sama dengan harga masing-masing faktor produksi yang digunakan. Syarat
order kedua terpenuhi jika turunan kedua dari fungsi tersebut terhadap faktor
produksi lebih kecil dari nol, berarti fungsi produksi cembung ke arah titik asal
atau berada pada daerah rasional (Rational Stage of Production) (Beattie and
Taylor, 1995; Henderson and Quandt, 1980; Koutsoyiannis, 1975 dalam
Lifianthi, 1999).
Selanjutnya materi pokok teori produksi bertumpu pada fungsi produksi,
yaitu suatu fungsi yang menggambarkan hubungan teknis antara faktor produksi
dan hasil produksinya. Faktor produksi dapat dibedakan menjadi faktor produksi
tetap dan tidak tetap tergantung pada sisi produsen dalam jangka waktu tertentu.
Dalam jangka pendek, faktor produksi terdiri dari faktor produksi tetap dan tidak
tetap, dimana faktor teknologi belum berubah. Sedangkan dalam jangka panjang,
semua faktor produksi adalah tidak tetap dan teknologi belum berubah. Setelah
produsen berada pada posisi jangka waktu yang sangat panjang, maka faktor
produksi dan teknologi adalah tidak tetap. Dengan menyederhanakan persoalan,
maka dapat dimisalkan bahwa pada tingkat teknologi tertentu fungsi produksi
cengkeh adalah sebagai berikut:
QC = QC (PU, LA) ................................................................................... (8)
dimana:
QC = Jumlah produksi cengkeh (unit)
PU = Jumlah faktor produksi pupuk (unit)
LA = Jumlah faktor produksi lainnya (unit)
29
Jika diketahui harga cengkeh, harga faktor produksi pupuk, dan harga faktor
produksi lainnya masing-masing adalah HQC, HPU, dan HLA, maka keuntungan
produsen cengkeh dapat dirumuskan sebagai berikut:
π = HQC * QC (PU, LA) – (HPU * PU + HLA * LA) ............................ (9)
Keuntungan maksimum dapat tercapai pada saat turunan pertama dari fungsi
keuntungan di atas terhadap masing-masing faktor produksinya sama dengan nol
dan dapat dirumuskan sebagai berikut:
∂π / ∂PU = HQC * PU' – HPU = 0 atau HPU = HQC * PU'...................(10)
∂π / ∂LA = HQC * LA' – HLA = 0 atau HLA = HQC * LA' .................(11)
dimana PU' dan LA' merupakan produk marginal dari faktor produksi PU dan LA.
Dari persamaan (10) dan (11) diketahui bahwa HQC, HPU, dan HLA merupakan
variabel eksogen, sedangkah PU dan LA merupakan variabel endogen. Oleh
karena itu, fungsi permintaan faktor produksi PU dan LA dapat dirumuskan
sebagai berikut:
PUD = PUD (HPU, HLA, HQC) ..............................................................(12)
LAD = LAD (HLA, HPU, HQC)..............................................................(13)
dimana PUD dan LAD masing-masing adalah permintaan terhadap faktor produksi
pupuk dan faktor produksi lainnya. Dengan mensubstitusi persamaan (12) dan
(13) ke persamaan (8), maka fungsi produksi (penawaran) cengkeh dapat
dirumuskan sebagai berikut:
QCS = QCS (HQC, HPU, HLA) ..............................................................(14)
3.1.3. Permintaan Cengkeh dan Produksi Rokok Kretek
Faktor produksi utama dari pabrik rokok kretek adalah cengkeh, karena
cengkeh merupakan faktor produksi bagi pabrik rokok kretek atau merupakan
30
pemintaan turunan (derived demand) dari pabrik rokok kretek. Oleh sebab itu
fungsi permintaan cengkeh dapat didefinisikan sebagai fungsi dari harga cengkeh,
harga faktor produksi lain, dan harga rokok kretek. Fungsi permintaan faktor
produksi yaitu cengkeh dan produksi (penawaran) rokok kretek dapat diturunkan
dari fungsi produksi pabrik rokok kretek, yang dirumuskan sebagai berikut:
QR = QR (CE, LT)..................................................................................(15)
dimana:
QR = Jumlah produksi rokok kretek (unit)
CE = Jumlah faktor produksi cengkeh (unit)
LT = Jumlah faktor produksi lainnya (unit)
Jika diketahui harga rokok kretek, harga faktor produksi cengkeh, dan harga
faktor produksi lainnya masing-masing adalah HQR, HCE, dan HLT, maka
keuntungan produsen rokok kretek dapat dirumuskan sebagai berikut:
π = HQR * QR (CE, LT) – (HCE * CE + HLT * LT) ...........................(16)
Keuntungan maksimum dapat tercapai pada saat turunan pertama dari fungsi
keuntungan di atas terhadap masing-masing faktor produksinya sama dengan nol
dan dapat dirumuskan sebagai berikut:
∂π / ∂CE = HQR * CE' – HCE = 0 atau HCE = HQR * CE'...................(17)
∂π / ∂LT = HQR * LT' – HLT = 0 atau HLT = HQR * LT'....................(18)
dimana CE' dan LT' merupakan produk marginal dari faktor produksi CE dan LT.
Dari persamaan (17) dan (18) diketahui bahwa HQR, HCE, dan HLT merupakan
variabel eksogen, sedangkah CE dan LT merupakan variabel endogen. Oleh
karena itu, fungsi permintaan faktor produksi CE dan LT dapat dirumuskan
sebagai berikut:
31
CED = CED (HCE, HLT, HQR)...............................................................(19)
LTD = LTD (HLT, HCE, HQR) ...............................................................(20)
dimana CED dan LTD masing-masing adalah permintaan terhadap faktor produksi
cengkeh dan faktor produksi lainnya. Dengan mensubstitusi persamaan (19) dan
(20) ke persamaan (15), maka fungsi produksi (penawaran) rokok kretek dapat
dirumuskan sebagai berikut:
QRS = QRS (HQR, HCE, HLT) ..............................................................(21)
3.1.4. Teori Perdagangan Internasional
Perdagangan antar negara atau perdagangan internasional sudah ada sejak
dahulu namun masih dalam jumlah dan ruang lingkup yang terbatas. Seiring
dengan pertambahan jumlah penduduk dan meningkatnya taraf kehidupan yang
bersamaan dengan kemajuan teknologi informasi menyebabkan peningkatan
kebutuhan masyarakat. Peranan perdagangan internasional sangat penting, karena
pada saat ini tidak ada satu negara pun yang berada dalam kondisi autarki, yaitu
negara yang hidup terisolasi, tanpa mempunyai hubungan perdagangan dengan
negara lain. Terdapat beberapa hal yang mendorong terjadinya perdagangan
internasional diantaranya keterbatasan suatu negara dalam sumberdaya alam,
sumberdaya modal, tenaga kerja, teknologi dan perbedaan dalam penawaran dan
permintaan antar negara. Teori perdagangan internasional membantu menjelaskan
arah serta komposisi perdagangan antara beberapa negara serta bagaimana
efeknya terhadap struktur perekonomian suatu negara. Di samping itu, teori
perdagangan internasional juga mengkaji dasar-dasar terjadinya perdagangan
internasional serta keuntungan yang diperolehnya (gains from trade). Kebijakan
perdagangan internasional membahas masalah-masalah serta pengaruh
32
pembatasan perdagangan, serta hal-hal yang menyangkut proteksionisme baru
(new protectionism) (Salvatore, 1997).
Gambar 2 memperlihatkan proses terciptanya harga komoditi relatif
ekuilibrium dengan adanya perdagangan internasional. Kurva S dan kurva D
melambangkan kurva penawaran dan kurva permintaan terhadap komoditi
cengkeh di kedua negara. Sumbu tegak melambangkan harga-harga relatif untuk
komoditi X (Px/Py, atau jumlah komoditi Y yang harus dikorbankan oleh suatu
negara dalam rangka memproduksi satu unit tambahan komoditi X), sedangkan
sumbu mendatar melambangkan kuatitas komoditi X (cengkeh). Secara teoritis,
suatu negara (negara A) akan mengekspor komoditi cengkeh ke negara lain
(negara B) apabila harga domestik di negara A (sebelum terjadinya perdagangan)
relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan harga domestik di negara B.
Struktur harga yang relatif lebih rendah di negara A tersebut disebabkan karena
adanya kelebihan penawaran (excess supply) yaitu produksi domestik melebihi
konsumsi domestik, sebesar BE. Dalam hal ini faktor produksi di negara A dalam
memproduksi cengkeh relatif berlimpah. Dengan demikian negara A mempunyai
kesempatan menjual kelebihan produksinya ke negara lain. Negara B mengalami
kekurangan penawaran cengkeh karena konsumsi domestiknya melebihi produksi
domestik (excess demand), sebesar B’E’ sehingga harga menjadi lebih tinggi.
Pada kesempatan ini negara B berkeinginan untuk membeli komoditi cengkeh dari
negara lain yang harganya lebih murah.
Apabila kemudian terjadi komunikasi antar negara A dan negara B, maka
akan terjadi perdagangan antara kedua negara tersebut. Sebelum terjadinya
perdagangan internasional harga cengkeh di negara A adalah sebesar Pa,
33
sedangkan di negara B sebesar Pb. Penawaran di pasar internasional akan terjadi
jika harga internasional lebih besar dari Pa, sedangkan permintaan di pasar
internasional akan terjadi jika harga internasional lebih rendah dari Pb. Pada saat
harga internasional sama dengan Pw, maka di negara B terjadi kelebihan
permintaan sebesar B’E’, sedangkan di negara A terjadi kelebihan penawaran
sebesar BE. Perpaduan antara kelebihan penawaran di negara A dan kelebihan
permintaan di negara B akan menentukan harga yang terjadi di pasar
internasional, yaitu sebesar Pw. Dengan adanya perdagangan tersebut maka negara
A akan mengekspor cengkeh sebesar BE, dan negara B akan mengimpor cengkeh
sebesar B’E’.
X X
Gambar 2. Kurva Terjadinya Perdagangan Internasional
Db
0 0
Da
0
E’ A’ B’
Pb
E*A’’
Pw
A*Pa
E B
A Dw
Sb Sw Sa
Px/Py Px/Py
Impor
Ekspor
XPerdagangan Internasional Negara B Negara A
Px/Py
Sumber: Salvatore, 1997 Kondisi nilai tukar seperti terdepresiasinya rupiah terhadap dollar
merupakan faktor yang dapat menyebabkan kurva penawaran bergeser ke kanan.
Nilai tukar menggambarkan daya saing suatu negara dalam perdagangan
internasional. Terdepresiasinya rupiah terhadap dollar membuat harga cengkeh
34
Indonesia menjadi relatif lebih murah sehingga mendorong terjadinya peningkatan
jumlah penawaran ekspor (Mankiw, 2000). Mekanisme pengaruh perubahan kurs
terhadap volume ekspor dapat dilihat pada Gambar 3. Seandainya di negara A
terjadi depresiasi kurs seperti yang terlihat pada penurunan kurs dari e1 menjadi e2
akan meningkatkan ekspor bersih dari NX1 ke NX2. Peningkatan dalam ekspor
bersih ini akan menggeser kurva pengeluaran yang direncanakan ke atas dan
meningkatkan pendapatan dari Y1 ke Y2. Peningkatan hasil produksi ini terjadi
karena adanya peningkatan ekspor bersih sebagaimana ditunjukkan pada gambar
perpotongan Keynesian. Penurunan kurs yang terjadi ini menyebabkan terjadinya
peningkatan hasil produksi pada kurva investasi dan tabungan (IS). Kurva IS
meringkas hubungan antara kurs dan pendapatan, semakin rendah kurs maka
semakin tinggi tingkat pendapatan. Oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa
penurunan kurs (depresiasi) menyebabkan terjadinya peningkatan volume ekspor.
Selanjutnya dapat dijelaskan pula bagaimana mekanisme peningkatan volume
ekspor yang disebabkan penurunan kurs pada gambar perdagangan internasional.
Semula sebelum terjadinya penurunan kurs, besarnya nilai excess supply di negara
A sebesar BE. Setelah terjadinya penurunan kurs menyebabkan terjadinya
peningkatan excess supply menjadi FG. Kondisi ini mengakibatkan kurva
penawaran dunia mengalami pergeseran dengan titik awal yang sama. Pergeseran
kurva penawaran dunia dari Sw menjadi Sw1 menyebabkan tingkat harga dunia
yang terjadi lebih rendah dan volume perdagangan internasional meningkat dari
0Q1 menjadi 0Q2. Negara pengimpor merespon perubahan harga ini dengan
meningkatkan jumlah impornya. Besarnya volume ekspor negara A setelah
depresiasi kurs (FG) sama dengan besarnya volume impor negara B (F’G’).
35
Kurs Rp/$ (e)
b). Kurva Perpotongan Keynesian
NX1 NX2 Ekspor bersih (NX)
Pengeluaran aktual Y = E
Produk (Y)
Produk (Y) Y2
c). Kurva IS a). Kurva Ekspor Bersih Negara A
Pw
Pw1
Sa
Pengeluaran direncanakan E = C + I + G + NX
Q1 Q2 X
Px/Py Px/Py Px/Py
ΔNX
Kurs Rp/$ (e)
e1
e2e2
e1
Y1
SbDb
Da
Sw
Sw1
Dw
0 E’ G’ XF’ B’ E G X F B
Pengeluaran (E)
Negara A Perdagangan Internasional Negara B
Gambar 3. Mekanisme Pengaruh Kurs terhadap Volume Ekspor Sumber: Mankiw, 2000
36
3.1.5. Persamaan Simultan
Menurut Gujarati (1997), persamaan simultan adalah model yang terdapat
lebih dari satu variabel tak bebas dan lebih dari satu persamaan. Persamaan
simultan berbeda dengan persamaan tunggal di mana hanya terdapat satu
persamaan yang menghubungkan satu variabel tak bebas tunggal dengan sejumlah
variabel yang menjelaskan baik nonstokastik atau jika stokastik, (diasumsikan)
didistribusikan secara bebas dari unsur gangguan stokastik. Suatu ciri unik dari
persamaan simultan adalah bahwa variabel tak bebas dalam satu persamaan
mungkin muncul sebagai variabel yang menjelaskan dalam persamaan lain dari
sistem. Bentuk umum dari persamaan simultan tersebut dapat dihipotesiskan
sebagai berikut:
Y1i = β10 + β12 Y2i + γ11X1i + u1i ..............................................................(22)
Y2i = β20 + β21 Y1i + γ21X1i + u2i ..............................................................(23)
dimana Y1 dan Y2 merupakan variabel yang saling bergantung, atau bersifat
endogen, dan X1 merupakan variabel yang bersifat eksogen dan dimana u1 dan u2
unsur gangguan stokastik (Gujarati, 1997).
3.1.6. Persamaan Produktivitas Cengkeh, Luas Areal Cengkeh, Produksi Cengkeh, Impor Cengkeh, Ekspor Cengkeh, Penawaran Cengkeh, Konsumsi Cengkeh Industri Rokok Kretek, Produksi Rokok Kretek, Harga Cengkeh Domestik, Harga Cengkeh Impor, dan Harga Cengkeh Ekspor
3.1.6.1. Produktivitas Cengkeh
Penggunaan teknologi dalam produksi cengkeh dapat dilihat dari
produktivitas cengkeh Indonesia. Nilai produktivitas diperoleh dengan membagi
produksi dengan luas areal cengkeh sehingga dalam hal ini produksi merupakan
perkalian antara produktivitas dengan luas areal cengkeh. Produktivitas cengkeh
37
(YCDt) diduga dipengaruhi oleh harga riil cengkeh domestik (HCDt), luas areal
cengkeh (ATCt), harga riil faktor produksi pupuk (HPUt), suku bunga (SBIt),
trend waktu (Tt), dummy kebijakan tataniaga berdasarkan BPPC (DBPPCt), dan
tingkat produktivitas cengkeh tahun lalu (YCDt-1). Berdasarkan uraian di atas,
maka fungsi produktivitas cengkeh dapat dirumuskan sebagai berikut:
YCDt = f (HCDt, ATCt, HPUt, SBIt, Tt, DBPPCt, YCDt-1) ....................(24)
3.1.6.2. Luas Areal Cengkeh
Luas areal cengkeh (ATCt) dipengaruhi oleh harga riil cengkeh domestik
(HCDt), harga riil faktor produksi pupuk (HPUt), suku bunga (SBIt), trend waktu
(Tt), dummy kebijakan tataniaga berdasarkan BPPC (DBPPCt), dan luas areal
cengkeh tahun lalu (ATCt-1) karena pada saat itu terjadi kelebihan pasokan
cengkeh dalam negeri dan disarankan untuk menebang tanaman cengkehnya
sehingga terjadi penurunan luas areal (Rumagit, 2007). Berdasarkan uraian di atas,
maka fungsi luas areal cengkeh dapat dinyatakan sebagai berikut:
ATCt = (HCDt, HPUt, SBIt, Tt, DBPPCt, ATCt-1) ..................................(25)
3.1.6.3. Produksi Cengkeh
Jumlah produksi cengkeh pada tahun ke-t (QCDt) merupakan hasil
perkalian antara variabel teknologi atau produktivitas cengkeh (YCDt) dengan
luas areal cengkeh (ATCt). Sehingga fungsi identitas produksi adalah sebagai
berikut:
QCDt = YCDt x ATCt ............................................................................(26)
3.1.6.4. Impor Cengkeh
Impor cengkeh (ICDt) diduga dipengaruhi oleh harga riil cengkeh impor
(HCIt), nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika (NTKt), produksi cengkeh
38
(QCDt), konsumsi cengkeh industri rokok kretek (CCRt), trend waktu (Tt),
dummy kebijakan tataniaga berdasarkan BPPC (DBPPCt), dan impor cengkeh
tahun lalu (ICDt-1). Pada tahun 1990-1998 yang berhak melakukan impor cengkeh
hanyalah BPPC, sehingga impor cengkeh pada saat beroperasinya BPPC lebih
kecil dibandingkan dengan tidak adanya BPPC. Persamaannya dapat ditulis
sebagai berikut:
ICDt = f (HCIt, NTKt, QCDt, CCRt, Tt, DBPPCt, ICDt-1) .......................(27)
3.1.6.5. Ekspor Cengkeh
Ekspor cengkeh adalah jumlah kelebihan produksi cengkeh yang tidak
dikonsumsi dalam negeri, namun tidak selamanya kondisinya demikian, karena
ada juga pengusaha yang mengekspor cengkeh tanpa mempedulikan kebutuhan
cengkeh dalam negeri (Sinaga dan Pakasi, 1999). Karena keterbatasan data, maka
stok cengkeh tahun sebelumnya tidak dimasukkan dalam persamaan ekspor
cengkeh Indonesia. Ekspor cengkeh Indonesia (XCDt) diduga dipengaruhi oleh
harga riil cengkeh ekspor (HCXt), nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika
(NTKt), produksi cengkeh (QCDt), suku bunga (SBIt), trend waktu (Tt), dan
ekspor cengkeh tahun lalu (XCDt-1). Persamaannya dapat ditulis sebagai berikut:
XCDt = f (HCXt, NTKt, QCDt, SBIt, Tt, XCDt-1) ...................................(28)
3.1.6.6. Penawaran Cengkeh
Penawaran cengkeh (SCDt) merupakan jumlah cengkeh yang tersedia di
dalam negeri, yang merupakan penjumlahan antara produksi cengkeh, stok
cengkeh domestik tahun sebelumnya dan impor cengkeh dikurangi ekspor
cengkeh Indonesia ke pasar internasional (Sihotang, 1996). Karena keterbatasan
data, maka stok cengkeh domestik tahun sebelumnya tidak dimasukkan dalam
39
persamaan penawaran cengkeh Indonesia. Dalam penelitian ini penawaran
cengkeh Indonesia (SCDt) merupakan penjumlahan antara produksi cengkeh
(QCDt) dan impor cengkeh (ICDt) dikurangi ekspor cengkeh Indonesia ke pasar
internasional (XCDt). Persamaan penawaran cengkeh dapat ditulis sebagai
berikut:
SCDt = QCDt + ICDt - XCDt .................................................................(29)
3.1.6.7. Konsumsi Cengkeh Industri Rokok Kretek
Produksi cengkeh yang dihasilkan sebagian dikonsumsi di dalam negeri
baik sebagai bahan baku industri rokok kretek maupun untuk industri lain dan
konsumsi rumahtangga. Namun berdasarkan penggunaannya sebanyak 85-95%
konsumsi cengkeh di Indonesia digunakan untuk industri rokok kretek dan karena
konsumsi cengkeh di luar industri pabrik rokok kretek di Indonesia seperti
rumahtangga umumnya relatif kecil dan stabil yaitu sebesa 0.001
ons/kapita/minggu (BPS, 2006) sehingga diasumsikan cengkeh hanya digunakan
sebagai bahan baku pabrik rokok kretek domestik yang fungsi konsumsi cengkeh
rumahtangga dan industri lain dapat diabaikan. Konsumsi cengkeh industri rokok
kretek (CCRt) diduga dipengaruhi oleh harga riil cengkeh domestik (HCDt),
produksi rokok kretek (QRKt), trend waktu (Tt), dan konsumsi cengkeh industri
rokok kretek tahun lalu (CCRt-1). Dengan demikian persamaan konsumsi cengkeh
industri rokok kretek dapat dinyatakan sebagai berikut:
CCRt= f (HCDt, QRKt, Tt, CCRt-1) ........................................................(30)
3.1.6.8. Produksi Rokok Kretek
Produksi rokok kretek (QRKt) diduga dipengaruhi oleh harga riil cengkeh
domestik (HCDt), harga riil jual rokok kretek (HJRKt), harga riil ekspor rokok
40
kretek (HXRKt), trend waktu (Tt), dan produksi rokok kretek tahun lalu (QRKt-1).
Persamaannya dapat ditulis sebagai berikut:
QRKt= f (HCDt, HJRKt, HXRKt, Tt, QRKt-1) ........................................(31)
3.1.6.9. Harga Cengkeh Domestik
Harga cengkeh domestik (HCDt) diduga dipengaruhi oleh harga riil
cengkeh impor (HCIt), produksi cengkeh (QCDt), konsumsi cengkeh industri
rokok kretek (CCRt), trend waktu (Tt), dummy kebijakan tataniaga berdasarkan
BPPC (DBPPCt), dan harga riil cengkeh domestik tahun lalu (HCDt-1). Persamaan
harga cengkeh domestik dirumuskan sebagai berikut:
HCDt= f (HCIt, QCDt, CCRt, Tt, DBPPCt, HCDt-1) ...............................(32)
3.1.6.10. Harga Cengkeh Impor
Harga cengkeh impor Indonesia (HCIt) dipengaruhi oleh volume cengkeh
impor (ICDt), nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika (NTKt), trend waktu (Tt),
dan harga riil cengkeh impor tahun lalu (HCIt-1). Persamaan harga cengkeh impor
dirumuskan sebagai berikut:
HCIt= f (ICDt, NTKt, Tt, HCIt-1) ............................................................(33)
3.1.6.11. Harga Cengkeh Ekspor
Harga cengkeh ekspor Indonesia (HCXt) dipengaruhi oleh volume
cengkeh ekspor (XCDt), nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika (NTKt), trend
waktu (Tt), dan harga riil cengkeh ekspor tahun lalu (HCXt-1). Persamaan harga
cengkeh ekspor adalah sebagai berikut:
HCXt= f (XCDt, NTKt, Tt, HCXt-1) ........................................................(34)
41
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional
Indonesia merupakan negara konsumen sekaligus produsen cengkeh
terbesar di dunia (Gambar 4). Produksi cengkeh Indonesia selain diekspor, juga
diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi cengkeh domestik
khususnya pada industri rokok kretek. Indonesia merupakan “negara besar” dalam
perdagangan internasional cengkeh, sehingga fluktuasi produksi dan konsumsi,
yang bisa terjadi karena faktor alam, aspek perilaku industri, maupun aspek
kebijakan domestik, dapat mempengaruhi tatanan perdagangan tersebut (Siregar
dan Suhendi, 2006).
Pada tahun 2002 pemerintah memandang perlu untuk menetapkan
ketentuan impor cengkeh dalam rangka mengantisipasi lonjakan impor cengkeh
yang mengakibatkan terjadinya penurunan harga cengkeh dan pendapatan petani
di dalam negeri, yang diatur melalui Surat Keputusan Menperindag
No.528/MPP/Kep/7/2002 tertanggal 5 Juli 2002 tentang pengendalian impor
cengkeh. Kebijakan ini ditetapkan untuk meningkatkan kesejahteraan petani
cengkeh dengan tetap memperhatikan kepentingan industri pengguna cengkeh.
Pada tahap awal, impor baru akan diizinkan apabila harga cengkeh produksi
dalam negeri sudah naik hingga mencapai titik harga tertentu. Ketentuan impor
cengkeh ini mengakibatkan terjadinya penurunan volume impor cengkeh yang
sangat signifikan pada tahun 2002-2006. Berdasarkan penggunaannya, sebanyak
85 persen hingga 95 persen konsumsi cengkeh nasional digunakan dalam industri
rokok kretek sebagai bahan baku rokok kretek. Sehingga untuk memenuhi
kebutuhan domestik, Indonesia melakukan impor terhadap komoditas cengkeh.
42
Gambar 4. Bagan Kerangka Berpikir Operasional
43
Selama periode tahun 2002 hingga tahun 2006, produksi dan produktivitas
cengkeh cenderung berfluktuasi, sehingga untuk mengantisipasi hal tersebut maka
pemerintah melalui program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan
(RPPK) yang dicanangkan oleh Presiden RI pada tanggal 11 Juni 2005 di
Jatiluhur, Jawa Barat memasukkan komoditi cengkeh sebagai salah satu dari 17
komoditi pertanian yang perlu dikembangkan, karena vitalitas sektor pertanian
saat ini sedang mengalami degradasi yang ditunjukkan dengan terjadinya
penurunan (levelling off) produksi beberapa komoditas pertanian, antara lain
komoditi cengkeh. Sehingga dengan adanya program tersebut diharapkan
Indonesia sebagai negara produsen cengkeh mampu meningkatkan penerimaan
devisa negara melalui perkembangan produksi dan kegiatan ekspor cengkeh.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis (1) perkembangan produksi
cengkeh, luas areal cengkeh, produktivitas cengkeh, volume dan harga cengkeh
impor, volume dan harga cengkeh ekspor, konsumsi cengkeh industri rokok
kretek dan produksi rokok kretek, dan harga cengkeh domestik Indonesia, (2)
faktor-faktor yang mempengaruhi produksi, konsumsi, dan harga cengkeh
Indonesia, dan (3) dampak perubahan faktor ekonomi terhadap produksi,
konsumsi, dan harga cengkeh Indonesia tahun 1999-2006. Jawaban untuk tujuan
pertama digunakan analisis deskriptif dengan tabulasi dan tujuan kedua digunakan
analisis model ekonometrika dengan persamaan simultan melalui metode
pendugaan OLS (Ordinary Least Squares), sedangkan untuk menjawab tujuan
penelitian ketiga menggunakan simulasi dengan metode Newton. Hasil penelitian
ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi individu atau instansi yang
terkait dan dapat sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Metode Analisis
Perkembangan produksi cengkeh, luas areal cengkeh, produktivitas
cengkeh, volume impor dan harga cengkeh impor, volume ekspor dan harga
cengkeh ekspor, konsumsi cengkeh industri rokok kretek dan produksi rokok
kretek, dan harga cengkeh domestik Indonesia dianalisis secara deskriptif dengan
tabulasi serta pengolahan data menggunakan software Microsoft Excel. Analisis
deskriptif dalam penulisan digunakan untuk memberikan penjelasan serta
interpretasi atas informasi dan data hasil penelitian. Tujuan penelitian kedua yaitu
faktor-faktor yang mempengaruhi produksi, konsumsi, dan harga cengkeh
Indonesia dianalisis menggunakan persamaan simultan dengan metode pendugaan
OLS (Ordinary Least Squares) serta pengolahan data menggunakan Statistical
Analysis System (SAS 9.1). Pada dasarnya dampak penggunaan metode OLS pada
persamaan simultan akan menghasilkan bias estimasi (biased) dan tidak konsisten
(inconsistent) (Koutsoyiannis, 1977), akan tetapi dalam penelitian ini dihasilkan
bahwa validasi pendugaan model produksi, konsumsi, dan harga cengkeh
Indonesia cukup baik untuk dilakukan simulasi. Tujuan penelitian ketiga yaitu
dampak perubahan faktor ekonomi terhadap produksi, konsumsi, dan harga
cengkeh Indonesia tahun 1999-2006 dianalisis dengan simulasi model
menggunakan metode Newton.
4.2. Perumusan Model Produksi, Konsumsi, dan Harga Cengkeh
Indonesia Model adalah abstraksi dari fenomena aktual sebagai suatu sistem atau
proses (Koutsoyiannis, 1977). Penyederhanaan suatu fenomena dilakukan agar
45
dapat dilakukan pendugaan yang akurat atas perilaku dan fenomena yang ada
dengan tingkat yang mendekati kenyataan atau seakurat mungkin. Salah satu
model pendekatan yang dapat dipakai dalam menganalisis suatu fenomena
ekonomi adalah dengan menggunakan model ekonometrika. Model ekonometrika
merupakan suatu pola khusus dari model aljabar yang bersifat stokastik,
mencakup satu atau lebih variabel pengganggu yang memperhitungkan unsur-
unsur yang sifatnya random.
Dalam membangun model ekonometrika ada empat tahap utama yang
harus dilalui yaitu: (1) spesifikasi, (2) pendugaan, (3) validasi, dan (4) penerapan
model (Koutsoyiannis, 1977). Spesifikasi model merupakan tahap yang paling
penting, karena pada tahap ini peneliti harus menspesifikasi model yang akan
digunakan dalam penelitian atas dasar gambaran ekonomi, teknis, dan
kelembagaan dari fenomena ekonomi yang dipelajari ke dalam hubungan
matematik dan statistik.
Tahap spesifikasi menurut Koutsoyiannis (1977) meliputi penentuan
(1) variabel dependen (dependent variables) dan variabel penjelas (explanatory
variables) yang akan dimasukkan dalam model, (2) harapan teoritis apriori
mengenai tanda dan besaran parameter dari setiap persamaan. Dasar definisi
apriori adalah pengetahuan mengenai teori, logika, dan fakta empiris yang ada
dari hubungan ekonomi antar variabel dependen dan penjelas yang dipelajari, dan
(3) bentuk matematis dari model (linier atau non linier, jumlah persamaan).
Berkaitan dengan penerapan metode pendugaan model ekonometrika terdapat dua
pendekatan yang dikembangkan yaitu pendekatan ortodoks dan pendekatan
eksperimental (Koutsoyiannis, 1977).
46
Pendekatan ortodoks merupakan pendekatan yang memformulasikan suatu
model matematis atas dasar teori secara apriori, dan berupaya mengukur
parameter-parameter model tersebut berdasarkan data tersedia yang terbaik.
Kelemahan data hanya mendorong sedikit modifikasi model sebelum diuji secara
statistik, namun umumnya penganut pendekatan ortodoks cenderung kaku
terhadap model yang telah dibangunnya, meskipun terdapat hasil statistik yang
tidak diinginkan (tanda dan besaran parameter). Ketidaksesuaian tanda dan
besaran parameter dengan harapan teori akan ditimpakan kepada kelemahan atau
kekurangan data sebagai penyebabnya. Sementara parameter yang mempunyai
tanda dan besaran yang salah meskipun nyata secara statistik, tidak mempunyai
arti apa-apa dilihat dari kriteria ekonomi secara apriori.
Sebagian besar penelitian dengan model ekonometrika saat ini dilakukan
dengan pendekatan eksperimental, namun tetap bertitik tolak dari model yang
sederhana terlebih dahulu seperti pada pendekatan ortodoks. Namun model yang
dibangun tersebut tidak kaku, melainkan dimodifikasi secara bertahap berdasarkan
bukti statistik yang diperoleh dari setiap hasil pendugaan. Modifikasi model dapat
berupa penambahan variabel, penyusunan bentuk matematis yang lebih kompleks
(non linier dan lain-lain), penambahan persamaan, dan penggunaan beragam
metode pendugaan.
Tanda atau besaran parameter dugaan yang sesuai dengan teori ekonomi
secara apriori mendapat prioritas utama dalam pendekatan eksperimental. Karena
itu bentuk non tunggal (rasio, perkalian, selisih, dan penjumlahan) dari variabel
yang digunakan juga harus tetap berpegang pada teori dan logika ekonomi. Tanda
(sign) dan besaran (magnitude) dari variabel penjelas dalam model penelitian ini
47
telah sesuai dengan teori ekonomi dan yang diharapkan. Untuk variabel harga
output bertanda positif, harga input bertanda negatif, dan lag endogen berada
diantara nol dan satu, ini berarti bahwa koefisien penyesuaian mendekati satu
berarti lambat dalam menyesuaikan berbagai perubahan situasi ekonomi yang
mempengaruhinya sementara bila mendekati nol maka cepat dalam menyesuaikan
berbagai perubahan situasi ekonomi yang mempengaruhi.
Dalam penelitian ini ditekankan bahwa teori ekonomi dapat atau tidak
dapat mengindikasikan bentuk matematis yang tepat mengenai hubungan antar
variabel dependen dan penjelas baik dalam bentuk linier maupun non linier.
Setelah dilakukan evaluasi hasil pendugaan maka dilakukan respesifikasi model
untuk memperoleh bentuk matematis yang relevan dengan fenomena dan tidak
menyimpang dari teori ekonomi.
Pada Gambar 5 dirumuskan persamaan-persamaan struktural yang
menggambarkan hubungan antara variabel eksogen dengan variabel endogen
ataupun antara variabel endogen itu sendiri. Akan dikemukakan pula tanda
besaran parameter yang diperkirakan secara apriori berdasarkan pemahaman teori
ekonomi dan hasil analisis empiris yang telah dilakukan peneliti terdahulu.
Persamaan produktivitas cengkeh, luas areal cengkeh, impor cengkeh, ekspor
cengkeh, konsumsi cengkeh industri rokok kretek, produksi rokok kretek, harga
cengkeh domestik, harga cengkeh impor, dan harga cengkeh ekspor Indonesia
yang disajikan adalah persamaan operasional yang telah mengalami respesifikasi
dan menghasilkan tanda parameter dugaan yang sesuai dengan harapan.
48
Gambar 5. Bagan Kerangka Model Ekonometrika
49
4.2.1. Produktivitas Cengkeh
Perilaku produksi cengkeh dapat dianalisis melalui respon areal dan
produktivitasnya. Respon produktivitas cengkeh dapat dirumuskan sebagai
berikut:
YCDt = ao + a1HCDt + a2ATCt + a3{(HPUt-HPUt-1)/HPUt-1}*100 + a4SBIt + a5Tt + a6DBPPCt + a7YCDt-1 + u1 ............................................... (1)
Koefisien yang diharapkan:
a1, a2, a6 > 0 ; a3, a4 < 0 ; a5 ≠ 0 ; 0 < a7 < 1
dimana:
YCDt = tingkat produktivitas cengkeh tahun ke-t (kg/ha)
HCDt = harga riil cengkeh domestik tahun ke-t (Rp/kg)
ATCt = luas areal cengkeh tahun ke-t (ha)
HPUt = harga riil pupuk tahun ke-t (Rp/kg)
SBIt = suku bunga tahun ke-t (%)
Tt = trend waktu
DBPPCt = dummy kebijakan tataniaga berdasarkan BPPC: 1=BPPC, 0=tanpa BPPC
YCDt-1 = tingkat produktivitas cengkeh tahun ke-(t-1)
ao = intersep
ai = koefisien regresi (i = 1, 2, 3, ...)
u1 = error
4.2.2. Luas Areal Cengkeh
Sementara itu fungsi luas areal cengkeh dapat dinyatakan sebagai berikut:
ATCt = bo + b1HCDt + b2HPUt + b3SBIt + b4Tt + b5DBPPCt + b6ATCt-1 + u2 .......................................................................... (2)
50
Koefisien yang diharapkan:
b1 > 0 ; b2, b3, b5 < 0 ; b4 ≠ 0 ; 0 < b6 < 1
dimana:
ATCt = luas areal cengkeh tahun ke-t (ha)
HCDt = harga riil cengkeh domestik tahun ke-t (Rp/kg)
HPUt = harga riil pupuk tahun ke-t (Rp/kg)
SBIt = suku bunga tahun ke-t (%)
Tt = trend waktu
DBPPCt = dummy kebijakan tataniaga berdasarkan BPPC: 1=BPPC, 0=tanpa BPPC
ATCt-1 = luas areal cengkeh tahun ke-(t-1)
4.2.3. Produksi Cengkeh
Selanjutnya produksi cengkeh diperoleh dari hasil perkalian antara
produktivitas cengkeh dengan luas areal cengkeh. Sehingga fungsi identitas
produksi cengkeh adalah sebagai berikut:
QCDt = YCDt x ATCt .............................................................................. (3)
dimana:
QCDt = produksi cengkeh tahun ke-t (kg)
YCDt = tingkat produktivitas cengkeh tahun ke-t (kg/ha)
ATCt = luas areal cengkeh tahun ke-t (ha)
4.2.4. Impor Cengkeh
Persamaan impor cengkeh Indonesia dapat ditulis sebagai berikut:
ICDt = co + c1HCIt + c2NTKt + c3QCDt + c4CCRt + c5Tt + c6DBPPCt + c7ICDt-1 + u3 ............................................................................ (4)
51
Koefisien yang diharapkan:
c4 > 0 ; c1, c2, c3, c6 < 0 ; c5 ≠ 0 ; 0 < c7 < 1
dimana:
ICDt = volume cengkeh impor tahun ke-t (ton)
HCIt = harga riil cengkeh impor tahun ke-t (US$/kg)
NTKt = nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika tahun ke-t (Rp/US$)
QCDt = produksi cengkeh tahun ke-t (kg)
CCRt = konsumsi cengkeh industri rokok kretek tahun ke-t (ton)
Tt = trend waktu
DBPPCt = dummy kebijakan tataniaga berdasarkan BPPC: 1=BPPC, 0=tanpa BPPC
ICDt-1 = volume cengkeh impor tahun ke-(t-1)
4.2.5. Ekspor Cengkeh
Persamaan ekspor cengkeh Indonesia dapat ditulis sebagai berikut:
XCDt = do + d1HCXt + d2NTKt + d3QCDt + d4SBIt + d5Tt + d6XCDt-1 + u4 ......................................................................... (5)
Koefisien yang diharapkan:
d1, d2, d3 > 0 ; d4 < 0 ; d5 ≠ 0 ; 0 < d6 < 1
dimana: XCDt = volume cengkeh ekspor tahun ke-t (ton)
HCXt = harga riil cengkeh ekspor tahun ke-t (US$/kg)
NTKt = nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika tahun ke-t (Rp/US$)
QCDt = produksi cengkeh tahun ke-t (kg)
SBIt = suku bunga tahun ke-t (%)
Tt = trend waktu
XCDt-1 = volume cengkeh ekspor tahun ke-(t-1)
52
4.2.6. Penawaran Cengkeh
Penawaran cengkeh Indonesia dalam penelitian ini merupakan jumlah
cengkeh yang tersedia di dalam negeri, yang merupakan penjumlahan antara
produksi cengkeh dan impor cengkeh dikurangi ekspor cengkeh Indonesia ke
pasar internasional. Persamaan identitas penawaran cengkeh dapat ditulis sebagai
berikut:
SCDt = QCDt + ICDt - XCDt ................................................................... (6)
dimana:
SCDt = penawaran cengkeh Indonesia tahun ke-t (ton)
QCDt = produksi cengkeh tahun ke-t (ton)
ICDt = volume cengkeh impor tahun ke-t (ton)
XCDt = volume cengkeh ekspor tahun ke-t (ton)
4.2.7. Konsumsi Cengkeh Industri Rokok Kretek
Persamaan konsumsi cengkeh industri rokok kretek dapat dinyatakan
sebagai berikut:
CCRt = eo + e1HCDt-1/ HCDt + e2QRKt + e3Tt + e4CCRt-1 + u5 ............... (7)
Koefisien yang diharapkan:
e2 > 0 ; e1 < 0 ; e3 ≠ 0 ; 0 < e4 < 1
dimana:
CCRt = konsumsi cengkeh industri rokok kretek tahun ke-t (ton)
HCDt = harga riil cengkeh domestik tahun ke-t (Rp/kg)
QRKt = produksi rokok kretek tahun ke-t (juta batang)
Tt = trend waktu
CCRt-1 = konsumsi cengkeh industri rokok kretek tahun ke-(t-1)
53
4.2.8. Produksi Rokok Kretek
Persamaan produksi rokok kretek dapat dinyatakan sebagai berikut:
QRKt = f0 + f1HCDt + f2(HJRKt - HJRKt-1) + f3{(HXRKt - HXRKt-1)/
HXRKt-1}*100 + f4Tt + f5QRKt-1 + u6 ...................................... (8)
Koefisien yang diharapkan:
f2, f3 > 0 ; f1 < 0 ; f4 ≠ 0 ; 0 < f5 < 1
dimana:
QRKt = produksi rokok kretek tahun ke-t (juta batang)
HCDt = harga riil cengkeh domestik tahun ke-t (Rp/kg)
HJRKt = harga riil jual rokok kretek tahun ke-t (Rp/bungkus)
HXRKt = harga riil ekspor rokok kretek tahun ke-t (US$/kg)
Tt = trend waktu
QRKt-1 = produksi rokok kretek tahun ke-(t-1)
4.2.9. Harga Cengkeh Domestik
Persamaan harga cengkeh domestik dapat dinyatakan sebagai berikut:
HCDt = go + g1HCIt + g2QCDt + g3CCRt + g4Tt + g5DBPPCt + g6HCDt-1 + u7 ...................................................................... (9)
Koefisien yang diharapkan:
g1, g3 > 0 ; g2, g5 < 0 ; g4 ≠ 0 ; 0 < g6 < 1
dimana:
HCDt = harga riil cengkeh domestik tahun ke-t (Rp/kg)
HCIt = harga riil cengkeh impor tahun ke-t (US$/kg)
QCDt = produksi cengkeh tahun ke-t (kg)
CCRt = konsumsi cengkeh industri rokok kretek tahun ke-t (ton)
Tt = trend waktu
54
DBPPCt = dummy kebijakan tataniaga berdasarkan BPPC: 1=BPPC, 0=tanpa BPPC
HCDt-1 = harga riil cengkeh domestik tahun ke-(t-1)
4.2.10. Harga Cengkeh Impor
Persamaan harga cengkeh impor dirumuskan sebagai berikut:
HCIt = ho + h1ICDt-1 + h2(NTKt - NTKt-1) + h3HCIt-1 + u8 ....................(10)
Koefisien yang diharapkan:
h1, h2 > 0 ; 0 < h3 < 1
dimana:
HCIt = harga riil cengkeh impor tahun ke-t (US$/kg)
ICDt-1 = volume cengkeh impor tahun ke-(t-1) (ton)
NTKt = nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika tahun ke-t (Rp/US$)
HCIt-1 = harga riil cengkeh impor tahun ke-(t-1)
4.2.11. Harga Cengkeh Ekspor
Persamaan harga cengkeh ekspor dapat dinyatakan sebagai berikut:
HCXt = io + i1XCDt + i2NTKt/NTKt-1 + i3HCXt-1 + u9 ..........................(11)
Koefisien yang diharapkan:
i2 > 0 ; i1 < 0 ; 0 < i3 < 1
dimana:
HCXt = harga riil cengkeh ekspor tahun ke-t (US$/kg)
XCDt = volume cengkeh ekspor tahun ke-t (ton)
NTKt = nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika tahun ke-t (Rp/US$)
HCXt-1 = harga riil cengkeh ekspor tahun ke-(t-1)
55
4.3. Evaluasi Model
Terdapat tiga kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi model
ekonometrika yaitu: (1) kriteria ekonomi, (2) kriteria statistik, dan kriteria
ekonometrika (Koutsoyiannis, 1977). Berdasarkan kriteria ekonomi, model
dievaluasi dengan melihat apakah tanda dan besarnya parameter dugaan variabel-
variabel penjelas dalam persamaan sesuai dengan hipotesis. Berdasarkan kriteria
statistik, akan dilihat besarnya nilai koefisien determinasi (R2) dan nilai uji F.
Pada kriteria ekonometrik lebih diutamakan untuk melihat apakah terdapat
hubungan multikolinear pada variabel-variabel penjelas dalam setiap persamaan.
Berikut serangkaian evaluasi model yang dilakukan:
4.3.1 Koefisien Determinasi
Kesesuaian model (goodness of fit) dihitung dengan nilai koefisien
determinasi (R2) (Gujarati, 1997). Koefisien determinasi (R2) bertujuan untuk
mengukur keragaman variabel dependen yang dapat diterangkan oleh keragaman
variabel independen. R2 menunjukkan besarnya keragaman semua variabel
independen yang dapat menjelaskan keragaman variabel dependen. Koefisien
determinasi dapat dirumuskan sebagai berikut:
R2 = TotalKuadrat Jumlah GalatKuadrat Jumlah 1
talKuadrat toJumlah regresiKuadrat Jumlah
−=
Selang R2 yang digunakan adalah 0< R2 >1. Jika R2 = 1 maka semua
variasi respon dari variabel dependen dapat dijelaskan oleh fungsi regresi,
sedangkan jika R2 = 0 berarti tidak satupun variasi pada variabel dependen dapat
dijelaskan oleh fungsi regresi. Dalam kenyataannya nilai R2 berada dalam selang
antara 0 sampai 1. Nilai koefisien determinasi semakin mendekati 1, maka model
tersebut akan semakin baik.
56
4.3.2. Uji-F
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah semua variabel
independen dalam model secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel
dependen (Gujarati, 1997). Pengujian yang dilakukan menggunakan distribusi F
dengan membandingkan antara nilai kritis F dengan nilai F-hitung yang terdapat
pada hasil analisis.
Langkah-langkah analisis dalam pengujian hipotesis terhadap variasi nilai
variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh variasi nilai variabel independen
adalah sebagai berikut:
1. Perumusan hipotesis
H0 : β1 = β2 = β3 = βk = 0 atau variasi perubahan nilai variabel independen
tidak dapat menjelaskan variasi perubahan nilai variabel dependen.
H1 : Minimal ada satu nilai β yang tidak sama dengan nol atau variasi
perubahan nilai variabel independen dapat menjelaskan variasi
perubahan nilai variabel dependen.
2. Perhitungan nilai kritis F-tabel dan F-hitung
Fhitung = ( )1-k-n
sisakuadrat Jumlah k
regresikuadrat Jumlah
dimana:
n = jumlah pengamatan (j = 1, 2, 3, ..., n)
k = jumlah variabel bebas (i = 1, 2, 3, ..., k)
3. Penentuan penerimaan atau penolakan H0
F hitung < F tabel : terima H0
F hitung > F tabel : tolak H0
57
4. Apabila keputusan yang diperoleh adalah tolak H0 maka dapat
disimpulkan bahwa variasi perubahan nilai variabel dependen dapat
dijelaskan oleh variasi perubahan nilai semua variabel independen.
Artinya, semua variabel independen secara bersama-sama dapat
berpengaruh terhadap variabel dependen.
4.3.3. Uji-t
Setelah melakukan uji koefisien regresi secara keseluruhan, maka langkah
selanjutnya adalah menghitung koefisien regresi secara individu yaitu pengujian
hipotesis dari koefisien regresi masing-masing variabel secara parsial atau
terpisah. Pengujian ini dikenal dengan sebutan Uji-t. Nilai t-hitung digunakan
untuk menguji apakah koefisien regresi dari masing-masing variabel bebas secara
individu berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel tidak bebasnya (Gujarati,
1997). Adapun analisis pengujiannya sebagai berikut:
1. Perumusan hipotesis
H0 : βi = 0
H1 : βi < 0 atau βi > 0; i = 0, 1, 2, ..., k
k = koefisien slope
Dari hipotesis tersebut dapat terlihat arti dari pengujian yang dilakukan,
yaitu berdasarkan data yang tersedia, akan dilakukan pengujian terhadap
βi, apakah sama dengan nol yang berarti variabel bebas tidak mempunyai
pengaruh signifikan terhadap variabel terikat, atau tidak sama dengan nol
yang berarti variabel bebas mempunyai pengaruh signifikan terhadap
variabel terikat.
58
2. Penentuan nilai kritis
Dalam pengujian hipotesis terhadap koefisien regresi, nilai kritis dapat
ditentukan dengan menggunakan tabel distribusi normal dan dengan
memperhatikan tingkat signifikansi (α) dan banyaknya sampel (n) yang
digunakan.
t tabel = t (α / 2), (n-k-1)
3. Menghitung nilai t-hitung koefisien variabel independen
thitung = ⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ ∧
∧
i
i-i
se β
ββ
dengan:
i∧
β = nilai koefisien regresi
βi = nilai koefisien regresi yang sesuai hipotesis (H0 : βi = 0)
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ ∧
ise β = simpangan baku untuk atau standar kesalahan dugaan
parameter
i∧
β
4. Penerimaan atau penolakan H0
Jika t hitung < t tabel maka terima H0
Jika t hitung > t tabel maka tolak H0
5. Apabila keputusan yang diperoleh adalah tolak H0 maka koefisien βi tidak
sama dengan nol yang menunjukkan bahwa βi nyata atau memiliki nilai
yang dapat mempengaruhi nilai dari variabel dependen.
4.4. Pengukuran Elastisitas
Pengukuran elastisitas dilakukan untuk melihat seberapa besar derajat
kepekaan (respon) variabel dependen terhadap perubahan yang terjadi pada
variabel independen yang mempengaruhinya. Nilai elastisitas yang digunakan
59
adalah nilai elastisitas jangka pendek dan jangka panjang. Apabila suatu
persamaan:
Yt = a0 + a1X1t + a2X2t + a3X3t + ... + aiXit , maka
1. Nilai elastisitas jangka pendek dapat diperoleh dari perhitungan berikut:
E (Xi)sr = ⎟⎠⎞
⎜⎝⎛∂∂XtYt
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
tYitX = ( )ia ⎟⎟
⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
tYitX
dimana:
E (Yt Xit) = elastisitas variabel Yt terhadap variabel Xit dalam
jangka pendek
ai = koefisien regresi variabel independen Xi
itX = rata-rata variabel independen Xi
tY = rata-rata variabel dependen (Yt)
2. Nilai elastisitas jangka panjang dapat diperoleh dari perhitungan sebagai
berikut:
E (Xi)lr = an-1
E(Xi)sr
dimana:
E (Xi)lr = elastisitas dalam jangka panjang
an = nilai koefisien regresi dugaan variabel lag
Apabila nilai elastisitas lebih besar dari satu (E > 1) dikatakan bahwa
variabel endogen elastis (responsif) terhadap perubahan variabel penjelas, karena
perubahan satu persen variabel penjelas mengakibatkan perubahan variabel
endogen lebih dari satu persen. Jika nilai elastisitas antara nol dan satu (0 < E < 1)
berarti variabel endogen inelastis (tidak responsif) terhadap perubahan variabel
penjelas karena perubahan satu persen variabel penjelas akan mengakibatkan
60
perubahan variabel endogen kurang dari satu persen. Sedangkan nilai elastisitas
sama dengan nol (E = 0) artinya inelastis sempurna, nilai elastisitas tak hingga
(E = ~) artinya elastis sempurna, dan jika nilai elastisitas sama dengan satu (E = 1)
disebut elastis uniter.
4.5. Validasi Model
Sebelum model diaplikasi terlebih dahulu divalidasi untuk memeriksa
apakah model yang diduga dapat merefleksikan dengan baik realitas dan
memenuhi syarat-syarat yang diperlukan untuk memunuhi tujuan aplikasi model
terutama untuk melakukan simulasi (Sitepu dan Sinaga, 2006). Model divalidasi
pada periode tahun 1999-2006. Kriteria statistik yang digunakan untuk validasi
model ekonometrika adalah Root Mean Squares Percent Error (RMSPE) dan
Theil’s Inequality Coefficient adalah sebagai berikut:
RMSPE = ∑=
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛×
−T
ta
t
at
st
YYY
T 1
2
1001
U = ( )
( ) ( )∑∑
∑
==
=
+
−
T
t
at
T
t
st
T
t
at
st
YT
YT
YYT
1
2
1
2
1
2
11
1
dimana:
RMSPE = Akar tengah kuadrat persen galat
U = Koefisien ketidaksamaan Theil
Yts = Nilai simulasi
Yta = Nilai aktual
T = Jumlah pengamatan simulasi
61
Nilai dari koefisien ketidaksamaan Theil (U) bernilai antara 0 dan 1. Jika
U = 0 maka pendugaan model adalah sempurna, dan jika U = 1 maka pendugaan
model adalah naif. Semakin kecil nilai RMSPE dan U semakin baik pendugaan
model.
4.6. Simulasi Model
Analisis simulasi dilakukan untuk mengetahui dampak perubahan faktor
ekonomi terhadap variabel-variabel endogennya. Analisis simulasi diterapkan
pada periode tahun 1999-2006, yang sesuai dengan periode validasi model.
Alternatif perubahan faktor ekonomi yang disimulasi adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan harga cengkeh domestik 20 persen.
Simulasi dalam penelitian ini diasumsikan peningkatan harga cengkeh
domestik sebesar 20 persen. Peningkatan harga cengkeh domestik sebesar
20 persen merupakan rata-rata peningkatan harga cengkeh domestik yang
terjadi di dalam negeri dengan melihat perkembangan tahunan (trend)
harga cengkeh domestik yang berfluktuasi.
2. Peningkatan harga pupuk 20 persen.
Peningkatan harga pupuk dalam kondisi ekonomi normal sebelum adanya
penghapusan subsidi pupuk berkisar antara 15-25 persen. Nilai 20 persen
adalah nilai tengah dari rentang peningkatan harga pupuk tersebut.
3. Peningkatan suku bunga 20 persen.
Sesuai dengan perkembangan inflasi, maka dalam penelitian ini
diasumsikan terjadi peningkatan suku bunga sebesar 20 persen.
Peningkatan suku bunga sebesar 20 persen merupakan rata-rata
62
peningkatan suku bunga yang terjadi di dalam negeri dengan melihat
perkembangan tahunan (trend) suku bunga yang berfluktuasi.
4. Peningkatan harga jual rokok kretek 20 persen.
Peningkatan harga jual rokok kretek sebesar 20 persen merupakan rata-rata
peningkatan harga jual rokok kretek yang terjadi di dalam negeri dengan
melihat perkembangan tahunan (trend) harga jual rokok kretek yang
berfluktuasi.
5. Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika 20 persen.
Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika sebesar 20 persen
mewakili rata-rata depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika
yang terjadi di dalam negeri, sebagai upaya pemerintah untuk
memperbaiki kinerja ekspor dan memperoleh tambahan penerimaan
devisa. Hal ini biasanya dilakukan dengan kebijakan devaluasi, yang
dalam penelitian ini diasumsikan sebesar 20 persen.
4.7. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
berupa data time series. Data time series meliputi data tahunan selama 27 tahun
(tahun 1980-2006). Semua data yang diperlukan diperoleh dari Direktorat
Jenderal Perkebunan, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Pertanian, Badan Pengembangan Ekspor Nasional, Badan Pusat Statistik,
Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia, Bank Indonesia, Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat, dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
Ekonomi, serta literatur-literatur dan situs-situs yang terkait dengan penelitian ini.
Adapun data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data-data yang
63
digunakan dalam analisis model produksi, konsumsi, dan harga cengkeh Indonesia
yang disajikan pada Lampiran 4.
4.8. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di daerah Jakarta dan Bogor. Lokasi penelitian ini
ditentukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa di Jakarta dan
Bogor terdapat instansi-instansi terkait seperti Direktorat Jenderal Perkebunan,
Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Badan
Pengembangan Ekspor Nasional, Badan Pusat Statistik, Gabungan Perserikatan
Pabrik Rokok Indonesia, Bank Indonesia, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan
Obat, dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi yang menyediakan
kebutuhan data yang diperlukan dalam penelitian. Pengumpulan data dilakukan
selama bulan Oktober sampai Desember 2007.
4.9. Definisi Operasional
1. Volume produksi cengkeh merupakan jumlah total produksi cengkeh yang
dihasilkan dari seluruh pola pengusahaan yang ada di seluruh Indonesia
baik perkebunan rakyat, perkebunan besar swasta, dan perkebunan besar
negara yang dinyatakan dalam satuan kg. Periode waktu yang digunakan
adalah 1980-2006.
2. Luas areal cengkeh merupakan luas lahan yang digunakan untuk usahatani
cengkeh yang meliputi semua pola pengusahaan baik perkebunan rakyat,
swasta dan negara yang dinyatakan dalam satuan ha. Periode waktu yang
digunakan adalah 1980-2006.
64
3. Produktivitas cengkeh merupakan pembagian antara produksi cengkeh
dengan luas areal cengkeh yang dinyatakan dalam kg/ha. Periode waktu
yang digunakan adalah 1980-2006.
4. Volume impor cengkeh didefinisikan sebagai total volume cengkeh yang
diimpor dari pasar internasional tiap tahunnya dan dinyatakan dalam
satuan ton. Periode waktu yang digunakan adalah 1980-2006.
5. Volume ekspor cengkeh didefinisikan sebagai total volume cengkeh yang
diekspor ke pasar internasional tiap tahunnya dan dinyatakan dalam satuan
ton. Periode waktu yang digunakan adalah 1980-2006.
6. Penawaran cengkeh merupakan hasil penjumlahan dari produksi cengkeh
dan impor cengkeh yang kemudian dikurangi dengan ekspor cengkeh
Indonesia ke pasar internasional. Periode waktu yang digunakan adalah
1980-2006.
7. Konsumsi cengkeh industri rokok kretek adalah jumlah cengkeh yang
dikonsumsi/diminta oleh industri rokok kretek dalam satu tahun yang
dinyatakan dalam satuan ton. Periode waktu yang digunakan adalah 1980-
2006.
8. Produksi rokok kretek merupakan jumlah total produksi rokok kretek yang
dihasilkan oleh pabrik rokok kretek yang dinyatakan dalam satuan juta
batang. Periode waktu yang digunakan adalah 1980-2006.
9. Harga riil cengkeh domestik adalah harga ditingkat produsen cengkeh
setelah dideflasi dengan Indeks Harga Konsumen Indonesia (tahun
2002=100) dan dinyatakan dalam satuan Rp/kg. Periode waktu yang
digunakan adalah 1980-2006.
65
10. Harga riil cengkeh impor merupakan harga cengkeh impor Indonesia
setelah dideflasi dengan Indeks Harga Konsumen Indonesia (tahun
2002=100) yang merupakan hasil bagi antara total nilai impor dengan
volume impor yang dinyatakan dengan satuan US$/kg. Periode waktu
yang digunakan adalah 1980-2006.
11. Harga riil cengkeh ekspor merupakan harga FOB cengkeh Indonesia
setelah dideflasi dengan Indeks Harga Konsumen Indonesia (tahun
2002=100) yang merupakan hasil bagi antara total nilai ekspor dengan
volume ekspor yang dinyatakan dengan satuan US$/kg. Periode waktu
yang digunakan adalah 1980-2006.
12. Harga riil pupuk yang digunakan merupakan harga rata-rata pupuk
bersubsidi yang telah dideflasi dengan Indeks Harga Konsumen Indonesia
(tahun 2002=100) yang dinyatakan dalam Rp/kg. Periode waktu yang
digunakan adalah 1980-2006.
13. Harga riil jual rokok kretek adalah harga yang diterima konsumen rokok
kretek domestik setelah dideflasi dengan Indeks Harga Konsumen
Indonesia (tahun 2002=100), dan dinyatakan dalam satuan Rp/bungkus.
Periode waktu yang digunakan adalah 1980-2006.
14. Harga riil ekspor rokok kretek merupakan harga FOB rokok kretek
Indonesia setelah dideflasi dengan Indeks Harga Konsumen Indonesia
(tahun 2002=100) yang merupakan hasil bagi antara total nilai ekspor
dengan volume ekspor yang dinyatakan dengan satuan US$/kg. Periode
waktu yang digunakan adalah 1980-2006.
66
15. Ukuran nilai tukar rupiah merupakan nilai tukar rupiah terhadap dollar
Amerika Serikat yang telah dideflasi dengan Indeks Harga Konsumen
Indonesia (tahun 2002=100) serta dinyatakan dalam Rp/US$. Periode
waktu yang digunakan adalah 1980-2006.
16. Suku bunga diperoleh dari hasil perhitungan suku bunga nominal
dikurangi laju inflasi dan dinyatakan dalam satuan persen (%). Periode
waktu yang digunakan adalah 1980-2006.
17. Trend waktu merupakan variabel yang mewakili teknologi yang terdiri
dari tahun 1980-2006.
18. Dummy kebijakan tataniaga BPPC (Badan Penyangga dan Pemasaran
Cengkeh) tahun 1990-1998 merupakan badan yang ditunjuk pemerintah
untuk melakukan kegiatan pembelian, penyanggaan, penjualan cengkeh,
dan stabilisasi harga cengkeh di tingkat petani.
19. Pada komoditas pertanian umumnya dibutuhkan jangka waktu tertentu
dalam rangka penyesuaian terhadap perubahan faktor yang
mempengaruhinya, sehingga pada penelitan ini setiap persamaan
menggunakan variabel lag endogen.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Perkembangan Produksi Cengkeh, Luas Areal Cengkeh, Produktivitas Cengkeh, Volume Impor dan Harga Cengkeh Impor, Volume Ekspor dan Harga Cengkeh Ekspor, Konsumsi Cengkeh Industri Rokok Kretek dan Produksi Rokok Kretek, dan Harga Cengkeh Domestik Indonesia Tahun 1980-2006
5.1.1. Produksi Cengkeh
Seperti yang terlihat pada Tabel 4, produksi cengkeh Indonesia dari tahun
1980-2006 terlihat adanya fluktuasi dari tahun ke tahun dengan kecenderungan
meningkat tiap tahunnya baik perkebunan rakyat, perkebunan besar negara,
maupun perkebunan besar swasta. Sebagai tanaman tahunan, produksi dan
produktivitas tanaman cengkeh terus meningkat menurut umur hingga batas waktu
tertentu. Hal ini terkait dengan sifat tanaman cengkeh yang termasuk berbunga
terminal dalam arti mengenal siklus produksi dimana setiap tiga sampai empat
tahun terjadi satu kali berbunga lebat, satu kali berbunga sedang dan satu kali
berbunga sedikit. Di sisi lain tanaman cengkeh mengenal kesesuaian lahan dan
agroklimat dimana tiap daerah dapat berbeda satu sama lain sehingga jatuh tempo
dari siklus produksi dapat bervariasi bagi seluruh wilayah produsen cengkeh di
Indonesia. Pengaruh simultan dari faktor tersebut dapat menyebabkan fluktuasi
produksi cengkeh nasional (Wahid dalam Yuhono, 1997).
Periode tahun 1980 hingga tahun 1989 produksi cengkeh menunjukkan
perkembangan yang cenderung meningkat yaitu dengan rata-rata pertumbuhan
sebesar 16.04 persen, hal ini terutama karena adanya peningkatan luas areal
cengkeh di berbagai lokasi. Pada periode tersebut produksi cengkeh perkebunan
rakyat rata-rata sebesar 47 277 900 kg dengan pertumbuhan rata-rata 15.35
persen, perkebunan besar negara rata-rata 524 900 kg dengan pertumbuhan
68
rata-rata sebesar 301.14 persen, sedangkan perkebunan besar swasta rata-rata
1 030 900 kg dan pertumbuhan rata-rata sebesar 226 persen.
Tabel 4. Perkembangan Produksi Cengkeh Indonesia Tahun 1980-2006
PR PBN PBS Total Tahun
(kg) (%) (kg) (%) (kg) (%) (kg) (%) 1980 33 453 000 - 367 000 - 398 000 - 34 218 000 - 1981 28 775 000 -13.98 176 000 -52.04 401 000 0.75 29 352 000 -14.22 1982 32 412 000 12.64 217 000 23.30 180 000 -55.11 32 809 000 11.78 1983 40 401 000 24.65 824 000 279.72 603 000 235 41 828 000 27.49 1984 47 751 000 18.19 283 000 -65.66 854 000 41.63 48 888 000 16.88 1985 40 652 000 -14.87 301 000 6.36 1 037 000 21.43 41 990 000 -14.11 1986 48 681 000 19.75 598 000 98.67 1 349 000 30.09 50 628 000 20.57 1987 69 679 000 43.13 312 000 -47.83 1 011 000 -25.06 71 002 000 40.24 1988 77 909 000 11.81 1 082 000 246.80 2 233 000 120.87 81 224 000 14.40 1989 53 066 000 -31.89 1 089 000 0.65 2 243 000 0.45 56 398 000 -30.57
1980-1989 47 277 900 15.35 524 900 301.14 1 030 900 226.00 48 833 700 16.04 1990 64 423 000 21.40 837 000 -23.14 1 652 000 -26.35 66 912 000 18.64 1991 77 642 000 20.52 422 000 -49.58 2 189 000 32.51 80 253 000 19.94 1992 70 278 000 -9.49 462 000 9.48 2 384 000 8.91 73 124 000 -8.88 1993 65 669 000 -6.56 218 000 -52.81 1 479 000 -37.96 67 366 000 -7.87 1994 75 812 000 15.45 192 000 -11.93 2 375 000 60.58 78 379 000 16.35 1995 87 889 000 15.93 148 000 -22.92 1 970 000 -17.01 90 007 000 14.84 1996 57 396 000 -34.70 320 000 116.22 1 763 000 -10.51 59 479 000 -33.92 1997 57 492 000 0.17 316 000 -1.25 1 384 000 -21.50 59 192 000 -0.48 1998 64 835 000 12.77 343 000 8.54 1 999 000 44.44 67 177 000 13.49 1999 51 345 000 -20.81 364 000 6.12 1 194 000 -40.27 52 903 000 -21.25
1990-1999 67 278 100 1.47 362 200 -2.13 1 838 900 -0.72 69 479 200 1.08 2000 57 926 000 12.82 343 000 -5.77 1 609 000 34.76 59 878 000 13.19 2001 70 782 000 22.19 346 000 0.88 1 557 000 -3.23 72 685 000 21.39 2002 77 241 000 9.13 351 000 1.45 1 417 000 -8.99 79 009 000 8.70 2003 74 518 000 -3.53 354 000 0.86 1 599 000 12.84 76 471 000 -3.21 2004 71 794 000 -3.66 355 000 0.28 1 688 000 5.57 73 837 000 -3.44 2005 76 201 000 6.14 372 000 4.79 1 777 000 5.27 78 350 000 6.11 2006* 81 630 000 7.13 372 000 0 1 780 000 0.17 83 782 000 6.93
2000-2006 72 870 290 7.17 356 143 0.35 1 632 429 6.63 74 858 857 7.10 Rata-rata 61 320 440 8.09 420 890 110.84 1 486 110 85.16 63 227 440 8.18
Sumber:Direktorat Jenderal Perkebunan, 2006 (diolah) *): Data Sementara
Keterangan:
PR = Perkebunan Rakyat PBN = Perkebunan Besar Negara PBS = Perkebunan Besar Swasta Peningkatan produksi cengkeh pada periode tahun 1980-1989 disebabkan
oleh relatif tingginya harga cengkeh di pasar dalam negeri pada saat itu,
disamping adanya dorongan dari pemerintah melalui beberapa paket kebijakan
69
yang diterapkan melalui program intensifikasi dan ekstensifikasi (Rumagit, 2007).
Untuk mengurangi dampak kelebihan produksi, maka pada tahun 1992
pemerintah melakukan upaya diversifikasi tanaman melalui Keppres RI No. 20
Tahun 1992 dan menetapkan sepuluh propinsi yaitu D. I. Aceh, Lampung, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Utara, dan Maluku sebagai daerah utama pemasok cengkeh untuk pabrik
rokok kretek.
Upaya diversifikasi tampaknya belum mampu mengurangi laju
peningkatan produksi, sehingga dilakukan lagi upaya konversi melalui Inpres
No. 14 tahun 1996. Akibatnya terjadi pengurangan jumlah tanaman, luas areal,
dan penurunan produksi yang cukup tajam. Keadaan yang makin memperparah
kondisi tanaman cengkeh adalah akibat harga jual di tingkat petani yang jauh
lebih rendah dari ongkos panen, sehingga petani tidak memanennya dan
berlangsung cukup lama. Dampak lebih lanjut adalah kerusakan dan kematian
tanaman cengkeh dalam jumlah yang cukup banyak seperti yang terjadi dari tahun
1990-1999 (Kemala, Et. al, 2001). Sehingga periode 1990-1999 produksi cengkeh
Indonesia menurun menjadi 1.08 persen dibandingkan periode sebelumnya yaitu
tahun 1980-1989 yang mampu mengalami laju pertumbuhan sebesar 16.04 persen.
Produksi cengkeh dalam negeri tahun 2000-2006 kembali meningkat
dengan rata-rata nilai sebesar 74 858 857 kg, dikarenakan mulai membaiknya
harga cengkeh di dalam negeri, terutama sejak dibubarkannya BPPC pada tahun
1998. Meskipun harga cengkeh relatif cukup baik, akan tetapi petani kurang dapat
menikmati kenaikan harga cengkeh tersebut karena produksi yang diperoleh
umumnya rendah yaitu hanya sebesar 7.10 persen (Dirjen Perkebunan, 2006).
70
Secara keseluruhan, pada periode tahun 1980-2006 produksi cengkeh Indonesia
mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 8.18 persen dengan pertumbuhan
produksi cengkeh tertinggi dicapai oleh perkebunan besar negara sebesar 110.84
persen kemudian diikuti oleh perkebunan besar swasta sebesar 85.16 persen dan
perkebunan rakyat 8.90 persen. Fluktuasi perkembangan produksi cengkeh ini
diakibatkan karena terjadinya peningkatan luas areal cengkeh yang menghasilkan
dan adanya siklus produksi, dimana setiap tiga sampai empat tahun terjadi satu
kali berbunga lebat, satu kali berbunga sedang dan satu kali berbunga sedikit
(Taruli, 2002).
5.1.2. Luas Areal Cengkeh
Perkembangan luas areal cengkeh Indonesia pada periode 1980-2006
berfluktuasi dengan kecenderungan meningkat meskipun dengan laju
pertumbuhan rata-rata hanya sebesar 1.22 persen (Tabel 5). Pada periode tahun
1980-1989 rata-rata luas areal perkebunan Indonesia sebesar 611 684.2 hektar
dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 7.45 persen. Pada periode tersebut luas
areal perkebunan rakyat rata-rata sebesar 591 265.6 hektar dengan pertumbuhan
rata-rata 7.55 persen, perkebunan besar negara rata-rata 5 100 hektar dengan
pertumbuhan rata-rata sebesar -0.99 persen, sedangkan perkebunan besar swasta
rata-rata 15 318.6 hektar dan pertumbuhan rata-rata sebesar 8.48 persen. Sejak
tahun 1980 luas areal cengkeh terus meningkat hingga tahun 1987 yang mencapai
luas sekitar 742 269 hektar.
Selanjutnya dari tahun 1988 kecenderungan luas areal cengkeh terus
menurun hingga tahun 2000 luas areal cengkeh hanya sekitar 415 598 hektar atau
mengalami penurunan sebesar 4.32 persen. Hal ini disebabkan karena luas areal
71
cengkeh untuk mencapai swasembada sejak tahun 1981 dirasa sudah cukup,
sehingga peningkatan luas areal hanya oleh sebagian petani cengkeh dalam skala
kecil. Swasembada cengkeh dinyatakan tercapai pada tahun 1983, bahkan
terlampaui. Akan tetapi bersamaan dengan itu terjadi penurunan harga dan
penurunan luas areal perkebunan cengkeh Indonesia sampai dengan tahun 1999.
Tabel 5. Perkembangan Luas Areal Cengkeh Indonesia Tahun 1980-2006
PR PBN PBS Total Tahun
(ha) (%) (ha) (%) (ha) (%) (ha) (%) 1980 391 445 - 5 481 - 11 176 - 408 102 - 1981 494 815 26.41 5 333 -2.70 16 986 51.99 517 134 26.72 1982 511 216 3.32 5 236 -1.82 14 417 -15.12 530 869 2.66 1983 551 717 7.92 4 754 -9.21 16 174 12.19 572 645 7.87 1984 587 774 6.54 4 996 5.09 15 512 -4.09 608 282 6.22 1985 642 664 9.34 4 781 -4.30 16 030 3.34 663 475 9.07 1986 656 414 2.14 5 823 21.80 17 072 6.50 679 309 2.39 1987 722 689 10.10 5 195 -10.79 14 385 -15.74 742 269 9.27 1988 672 398 -6.96 4 659 -10.32 15 708 9.20 692 765 -6.67 1989 681 524 1.36 4 742 1.78 15 726 0.12 701 992 1.33
1980-1989 591 265.6 7.55 5 100 -1.00 15 318.6 8.48 611 684.2 7.44 1990 672 607 -1.31 3 968 -16.32 16 107 2.42 692 682 -1.33 1991 650 407 -3.30 3 298 -16.89 14 499 -9.98 668 204 -3.53 1992 592 446 -8.91 3 086 -6.43 12 818 -11.60 608 350 -8.96 1993 556 496 -6.07 2 307 -25.24 12 244 -4.48 571 047 -6.13 1994 520 012 -6.56 2 221 -3.73 12 143 -0.83 534 376 -6.42 1995 491 563 -5.47 504 -77.31 9 756 -19.66 501 823 -6.09 1996 479 379 -2.48 1 914 279.76 10 420 6.81 491 713 -2.02 1997 447 549 -6.64 1 928 0.73 8 065 -22.60 457 542 -6.95 1998 419 827 -6.19 1 860 -3.53 7 048 -12.61 428 735 -6.30 1999 407 149 -3.02 1 860 0 6 850 -2.81 415 859 -3.00
1990-1999 523 743.5 -5.00 2 294.6 13.11 10 995 -7.53 537 033.1 -5.07 2000 407 010 -0.03 1 860 0 6 728 -1.78 415 598 -0.06 2001 420 341 3.28 1 860 0 7 099 5.51 429 300 3.30 2002 421 589 2.30 1 865 0.27 6 758 -4.80 430 212 0.21 2003 433 885 2.92 1 865 0 6 583 -2.59 442 333 2.82 2004 429 728 -0.96 1 865 0 6 660 1.17 438 253 -0.92 2005 438 771 2.10 1 865 0 8 221 23.44 448 858 2.42
2006* 445 307 1.49 1 865 0 8 221 0 455 393 1.46 2000-2006 428 090.1 1.30 1 863.6 0.04 7 181.4 2.99 437 135.3 1.32 Rata-rata 509 900.8 1.28 3 221.9 4.50 11 607.6 1.13 538 782.2 1.22
Sumber:Direktorat Jenderal Perkebunan, 2006 (diolah) *): Data Sementara Periode 1990-1999 perkembangan luas areal perkebunan cengkeh
Indonesia terus menurun dengan laju penurunan sebesar 5.07 persen. Hal ini
72
dikarenakan pada tahun 1991 pemerintah membentuk Badan Penyangga dan
Pemasaran Cengkeh (BPPC) untuk mengatur tataniaga cengkeh, namun usaha
pemerintah tidak berhasil, yang diindikasikan oleh harga yang tidak kunjung
membaik, sehingga petani menelantarkan tanamannya bahkan menebang
tanamannya dan menggantikannya dengan tanaman perkebunan lain yang
dianggap lebih menguntungkan. Hal ini merupakan salah satu penyebab
berkurangnya luas areal cengkeh secara drastis (Siregar dan Suhendi, 2006).
Penyebab lain berkurangnya luas areal cengkeh adalah meluasnya areal
tanaman cengkeh yang rusak akibat serangan hama dan penyakit serta kemarau
panjang (GAPPRI, 2006). Selain itu, akibat adanya kelebihan produksi pada tahun
1990-an dan harga cengkeh terus menurun, maka pemerintah mengeluarkan
kebijakan untuk mengurangi luas areal cengkeh tahun 1992 yang diatur dalam
Keppres RI No 20 Tahun 1992 dan terus berlanjut hingga tahun 2000 (Sinaga dan
Pakasi, 1999). Mulai tahun 2000 dengan membaiknya harga, telah terjadi
pertumbuhan luas areal dari tahun 2001 (429 300 hektar) hingga tahun 2006
menjadi 455 393 hektar meskipun dengan jumlah yang kecil yaitu rata-rata
sebesar 1.55 persen. Pengusahaan cengkeh sebagian besar tersebar di 14 propinsi
sentra penghasil cengkeh (Lampiran 3). Data pada tahun 2006 menunjukkan
bahwa 419 115 hektar (94 persen) menyebar di 14 propinsi dan 6 persen
menyebar di propinsi lainnya. Usaha budidaya tanaman cengkeh mayoritas
dikelola oleh perkebunan rakyat. Data pada tahun 2006 menunjukkan bahwa dari
areal perkebunan cengkeh Indonesia seluas 455 393 hektar, 98 persen (445 308
hektar) dikelola oleh perkebunan rakyat dan sisanya 2 persen (10 085 hektar)
dikelola oleh perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta.
73
5.1.3. Produktivitas Cengkeh
Pada periode 1980-1989 produktivitas cengkeh perkebunan rakyat
rata-rata sebesar 78.905 kg/ha dengan pertumbuhan rata-rata 7.56 persen,
perkebunan besar negara rata-rata 105.898 kg/ha dengan pertumbuhan rata-rata
sebesar 305.26 persen, sedangkan perkebunan besar swasta rata-rata 66.282 kg/ha
dan pertumbuhan rata-rata sebesar 165.53 persen (Tabel 6).
Tabel 6. Perkembangan Produktivitas Cengkeh Indonesia Menurut Status Pengusahaan Tahun 1980-2006
PR PBN PBS
Tahun (kg/ha) (%) (kg/ha) (%) (kg/ha) (%)
1980 85.460 - 66.959 - 35.612 - 1981 58.153 -31.95 33.002 -50.71 23.608 -33.71 1982 63.402 9.03 41.444 25.58 12.485 -47.11 1983 73.228 15.50 173.328 318.22 37.282 198.61 1984 81.240 10.94 56.645 -67.32 55.054 47.67 1985 63.255 -22.14 62.958 11.14 64.691 17.51 1986 74.162 17.24 102.696 63.12 79.018 22.15 1987 96.416 30.01 60.058 -41.52 70.282 -11.06 1988 115.867 20.17 232.239 286.70 142.157 102.27 1989 77.864 -32.80 229.650 -1.12 142.630 0.33
1980-1989 78.905 7.56 105.898 305.26 66.282 165.53 1990 95.781 23.01 210.938 -8.15 102.564 -28.09 1991 119.374 24.63 127.956 -39.34 150.976 47.20 1992 118.623 -0.63 149.708 17.00 185.988 23.19 1993 118.004 -0.52 94.495 -36.88 120.794 -35.05 1994 145.789 23.55 86.448 -8.52 195.586 61.92 1995 178.795 22.64 293.651 239.69 201.927 3.24 1996 119.730 -33.04 167.189 -43.07 169.194 -16.21 1997 128.460 7.29 163.900 -1.97 171.606 1.43 1998 154.433 20.22 184.409 12.51 283.627 65.28 1999 126.109 -18.34 195.699 6.12 174.307 -38.54
1990-1999 130.510 6.88 167.439 13.74 175.657 8.42 2000 142.321 12.86 184.409 -5.77 239.150 37.20 2001 168.392 18.32 186.022 0.88 219.327 -8.29 2002 183.214 8.80 188.204 1.17 209.677 -4.40 2003 171.746 -6.26 189.812 0.86 242.898 15.84 2004 0.167 -99.90 190.349 0.28 253.453 4.35 2005 0.174 3.95 199.464 4.79 216.154 -14.72
2006* 0.183 5.55 199.464 0 216.519 0.17 2000-2006 95.171 8.10 191.103 0.32 228.168 4.31 Rata-rata 102.235 3.25 150.781 118.23 148.762 65.55
Sumber:Direktorat Jenderal Perkebunan, 2006 (diolah) *): Data Sementara
74
Tahun 1979 terjadi panen kecil terburuk dimana produktivitas cengkeh
perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta masing-masing hanya
2.567 kg/ha dan 2.441 kg/ha yang kemudian meningkat kembali pada tahun 1980
dengan laju pertumbuhan masing-masing sebesar 2 508.52 persen dan 1 358.67
persen. Sedangkan pada perkebunan rakyat produktivitas cengkeh hanya
meningkat sebesar 59.61 persen, hal ini dikarenakan adanya peningkatan luas
areal perkebunan cengkeh sebesar 15.33 persen tetapi tidak diiringi dengan
peningkatan jumlah produksi seperti yang terjadi pada perkebunan besar negara
dan perkebunan besar swasta.
Indonesia dinyatakan berhasil mencapai swasembada cengkeh pada tahun
1983 dengan produktivitas terbesar dicapai oleh perkebunan besar negara sebesar
173.328 kg/ha dengan laju pertumbuhan 318.22 persen kemudian diikuti oleh
perkebunan besar swasta sebesar 37.282 kg/ha dan laju pertumbuhan 198.61
persen sedangkan perkebunan rakyat sebesar 73.228 kg/ha tetapi dengan laju
pertumbuhan hanya 15.5 persen dari tahun sebelumnya. Peningkatan produktivitas
cengkeh ini terus berlanjut hingga tahun 1988, namun pada tahun 1989
produktivitas cengkeh kembali menurun dengan penurunan terbesar terjadi pada
perkebunan rakyat mencapai 32.80 persen. Produktivitas cengkeh perkebunan
rakyat ini rendah disebabkan karena keterbatasan modal yang dimiliki petani
sehingga mereka tidak mampu mengelola usahatani cengkeh dengan baik (Kemala
dalam Taruli, 2002).
Periode 1990-1999 perkembangan produktivitas cengkeh Indonesia
menurun dibandingkan periode 1980-1989 yaitu perkebunan rakyat hanya
mengalami pertumbuhan rata-rata 6.88 persen dengan rata-rata jumlah sebesar
75
130.510 kg/ha, perkebunan besar negara 13.74 persen dengan rata-rata jumlah
sebesar 167.439 kg/ha dan perkebunan besar swasta 8.42 persen dengan rata-rata
jumlah sebesar 175.657 kg/ha. Produktivitas cengkeh tertinggi dicapai pada tahun
1995 atau meningkat dibandingkan tahun sebelumnya dengan total luas areal
cengkeh sebesar 501 823 hektar dan total produksi cengkeh sebesar 90 007 000
kg. Hal ini diakibatkan pada tahun 1995 terjadi panen besar/raya dan luas areal
cengkeh menurun (-6.09 persen) sedangkan pertumbuhan produksi cengkeh
meningkat (14.84 persen) (Taruli, 2002).
Selanjutnya produktivitas cengkeh terus menurun hingga tahun 1999
dengan perkebunan rakyat mengalami pertumbuhan yang negatif yaitu rata-rata
18.34 persen dengan rata-rata jumlah sebesar 126.109 kg/ha, perkebunan besar
negara 6.12 persen dengan rata-rata jumlah sebesar 195.699 kg/ha dan perkebunan
besar swasta -38.54 persen dengan rata-rata jumlah sebesar 174.307 kg/ha. Hal ini
terkait dengan siklus 2 - 4 tahunan tanaman cengkeh, dimana produksi yang tinggi
pada satu tahun tertentu diikuti dengan penurunan produksi pada 1 – 2 tahun
berikutnya (Husodo, 2006).
Tahun 2004 perkebunan rakyat mengalami penurunan produktivitas
menjadi 0.167 kg/ha atau dengan laju penurunan sebesar 99.90 persen
dibandingkan dengan tahun 2003 yang jumlah produktivitasnya mampu mencapai
171.746 kg/ha. Secara keseluruhan yaitu pada periode tahun 2000-2006
produktivitas cengkeh Indonesia terus menurun dengan perkebunan rakyat hanya
mengalami pertumbuhan rata-rata 8.10 persen dengan rata-rata jumlah sebesar
95.171 kg/ha, perkebunan besar negara 0.32 persen dengan rata-rata jumlah
sebesar 191.103 kg/ha dan perkebunan besar swasta 4.31 persen dengan rata-rata
76
jumlah sebesar 228.168 kg/ha. Produktivitas tanaman cengkeh di Indonesia
umumnya masih rendah, yaitu berkisar antara 125-250 kg/ha, sedangkan
potensinya dapat mencapai 500-800 kg/ha.
Rendahnya produktivitas tersebut dikarenakan permodalan petani yang
kurang, sehingga petani tidak dapat melakukan pemeliharaan dengan baik, antara
lain tidak melakukan pemupukan, pengendalian hama dan penyakit tanaman. Oleh
karena itu, meskipun harga cengkeh pada akhir-akhir ini (tahun 2001-2006) relatif
cukup baik, akan tetapi petani kurang dapat menikmati kenaikan harga cengkeh
tersebut karena produksi yang diperoleh umumnya rendah dan pemeliharan yang
kurang memenuhi anjuran (Dirjen Perkebunan, 2006). Secara keseluruhan, pada
periode tahun 1980-2006 pertumbuhan produktivitas cengkeh Indonesia tertinggi
dicapai oleh perkebunan besar negara sebesar 118.23 persen kemudian diikuti
oleh perkebunan besar swasta dan perkebunan rakyat masing-masing sebesar
65.55 persen dan 3.25 persen.
5.1.4. Volume Impor dan Harga Cengkeh Impor
Fluktuasi nilai impor cengkeh ditentukan oleh volume dan harga cengkeh
impor. Perkembangan volume dan harga cengkeh impor Indonesia pada periode
1980-2006 cenderung berfluktuasi dengan kecenderungan meningkat meskipun
secara keseluruhan rata-rata impor cengkeh Indonesia sebesar 4 123.111 ton
dengan laju pertumbuhan 109 122.78 persen dan rata-rata harga cengkeh impor
Indonesia sebesar 8.307 US$/kg dengan laju pertumbuhan hanya 12.98 persen
(Tabel 7).
77
Tabel 7. Perkembangan Volume, Nilai dan Harga Cengkeh Impor Indonesia Tahun 1980-2006
Impor Pertumbuhan (%)
Tahun Volume (ton)
Nilai (000US$)
Harga (US$/kg)
Volume Nilai Harga
1980 9 510 60 921 6.406 - - - 1981 14 492 120 014 8.282 52.39 96.99 29.28 1982 7 998 70 156 8.772 -44.81 -41.54 5.92 1983 3 69 23.000 -99.96 -99.90 162.21 1984 2 56 28.000 -33.33 -18.84 21.74 1985 13 725 47 401 3.454 686 150 84 544.64 -87.67 1986 2 189 7 829 3.577 -84.05 -83.48 3.56 1987 1 996 14 003 7.016 -8.82 78.86 96.16 1988 6 113 18.833 -99.70 -99.19 168.45 1989 12 217 18.083 100 92.04 -3.98
1980-1989 4 993.3 32 077.9 12.540 68 591.82 8 445.91 39.92 1990 8 144 18.000 -33.33 -33.64 -0.46 1991 3 34 11.333 -62.50 -76.39 -37.04 1992 6 72 12.000 100 111.77 5.88 1993 5 89 17.800 -16.67 23.61 48.33 1994 3 46 15.333 -40 -48.32 -13.86 1995 4 54 13.500 33.33 17.39 -11.96 1996 0 0 0 -100 -100 -100.00 1997 0 1 0 0 0 0 1998 1 1 1.000 0 0 0 1999 22 610 40 067 1.772 2 260 900 4 006 600 77.21
1990-1999 2 264 4 050.8 9.070 226 078.08 400 649.44 -3.19 2000 20 873 52 390 2.510 -7.68 30.76 41.64 2001 16 899 17 365 1.028 -19.04 -66.85 -59.06 2002 796 653 0.820 -95.29 -96.24 -20.17 2003 172 151 0.878 -78.39 -76.88 7.02 2004 9 8 0.889 -94.77 -94.70 1.25 2005 1 1 1.000 -88.89 -87.50 12.50 2006 1 1 1.000 0 0 0
2000-2006 5 535.857 10 081.3 1.160 -54.87 -55.92 -2.40 Rata-rata 4 123.111 15 994.670 8.307 109 122.78 151 502.30 12.98
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2006
Periode 1980-1989 rata-rata impor cengkeh mencapai 4 993.3 ton dengan
laju pertumbuhan sebesar 68 591.82 persen. Rata-rata laju pertumbuhan dan harga
cengkeh impor pada periode yang sama sebesar 39.92 persen dan 12.54 US$/kg.
Sebelum mencapai swasembada, Indonesia banyak melakukan impor cengkeh
seperti yang terjadi pada tahun 1981 sebesar 14 492 ton. Setelah swasembada
cengkeh tercapai, impor cengkeh kembali menurun meskipun pada tahun 1985
impor cengkeh kembali meningkat menjadi 13 725 ton dikarenakan pada saat itu
78
terjadi panen kecil, sehingga untuk memenuhi kebutuhan cengkeh dalam negeri
yaitu sebagai bahan baku industri rokok kretek, maka Indonesia kembali
melakukan impor cengkeh.
Periode 1990-1999 rata-rata impor cengkeh Indonesia sebesar 2 264 ton
dan laju pertumbuhan sebesar 226 078.08 persen tetapi dengan harga cengkeh
impor yang mengalami penurunan sebesar 3.19 persen dan rata-rata harga impor
hanya 9.07 US$/kg, dikarenakan pada periode tersebut terdapat kelebihan
penawaran cengkeh di pasar domestik, juga sekaligus periode beroperasinya
BPPC. Pada tahun 1996-1997 Indonesia tidak melakukan impor cengkeh. Impor
cengkeh kembali meningkat pada tahun 1999 karena rendahnya produksi dalam
negeri yang tidak mampu memenuhi permintaan cengkeh khususnya sebagai
bahan baku industri rokok kretek.
Periode tahun 2000-2006 volume impor cengkeh Indonesia hanya sebesar
5 535.857 ton dengan laju pertumbuhan sebesar -54.87 persen. Rata-rata harga
cengkeh impor adalah 1.16 US$/kg dan laju pertumbuhan harga cengkeh impor
yang negatif yaitu 2.4 persen. Pada saat panen kecil pada tahun 1999-2001, impor
cengkeh kembali meningkat. Namun sejak tahun 2002 impor cengkeh Indonesia
mengalami penurunan sebesar 95.29 persen dibandingkan tahun sebelumnya
karena adanya Surat Keputusan Menperindag No.528/MPP/Kep/7/2002 tentang
pengendalian impor cengkeh yang mengatur bahwa importir cengkeh adalah
industri pengguna cengkeh yang memiliki Angka Pengenal Impor Produsen
(API-P) atau Angka Pengenal Impor Terbatas (API-T) yang disetujui untuk
mengimpor cengkeh yang diperlukan semata-mata untuk proses produksinya. Hal
79
ini terus berlanjut hingga tahun 2006, sehingga impor cengkeh Indonesia hanya
sebesar satu ton.
5.1.5. Volume Ekspor dan Harga Cengkeh Ekspor
Volume dan harga cengkeh ekspor Indonesia selalu berfluktuasi setiap
tahunnya. Secara keseluruhan pada periode tahun 1980-2006 pertumbuhan rata-
rata volume ekspor cengkeh Indonesia sebesar 244.28 persen dan pertumbuhan
rata-rata harga cengkeh ekspor sebesar 15.31 persen (Tabel 8). Periode tahun
1980-1989 rata-rata volume ekspor sebesar 1 064.4 ton dengan rata-rata
pertumbuhan sebesar 93.16 persen. Pada tahun 1984 volume ekspor cengkeh
meningkat menjadi 1 584 ton dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya
sebesar 341 ton atau mengalami pertumbuhan sebesar 364.52 persen. Peningkatan
volume ekspor tahun 1984 dikarenakan tercapainya swasebada cengkeh serta
terjadinya peningkatan harga cengkeh dari 2.886 US$/kg tahun 1983 menjadi
4.073 US$/kg pada tahun 1984.
Periode tahun 1990-1999 rata-rata volume ekspor cengkeh Indonesia
adalah 2739.6 ton dengan laju pertumbuhan sebesar 538.99 persen. Harga ekspor
cengkeh pada periode yang sama mengalami peningkatan sebesar 26.08 persen
dibandingkan periode sebelumnya yaitu tahun 1980-1989 yang hanya mampu
mengalami laju pertumbuhan sebesar 2.3 persen. Pada periode ini yaitu pada
tahun 1996 terjadi penurunan volume ekspor terbesar yaitu menjadi 230 ton
dengan laju penurunan 53.06 persen. Tetapi pada periode yang sama yaitu pada
tahun 1998 terjadi volume ekspor tertinggi yang mencapai 20 157 ton dengan laju
pertumbuhan dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 5 562.08 persen. Hal ini
80
disebabkan karena pada saat itu terjadi panen besar/raya di dalam negeri dan
didukung dengan besarnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika.
Tabel 8. Perkembangan Volume, Nilai dan Harga Cengkeh Ekspor Indonesia Tahun 1980-2006
Ekspor Pertumbuhan (%)
Tahun Volume (ton)
Nilai (000US$)
Harga (US$/kg)
Volume Nilai Harga
1980 39 121 3.103 - - - 1981 51 102 2.000 30.77 -15.70 -35.54 1982 81 257 3.173 58.82 151.96 58.64 1983 341 984 2.886 320.99 282.88 -9.05 1984 1 584 6 452 4.073 364.52 555.69 41.16 1985 1 071 2 977 2.780 -32.39 -53.86 -31.76 1986 1 818 3 822 2.102 69.75 28.38 -24.37 1987 1 836 3 044 1.658 0.99 -20.36 -21.14 1988 2 568 4 267 1.662 39.87 40.18 0.22 1989 1 255 1 963 1.564 -51.13 -54.00 -5.87
1980-1989 1 064.4 2 398.9 2.500 93.16 116.09 2.30 1990 1 105 2 035 1.842 -11.95 3.67 17.74 1991 1 118 2 312 2.068 1.18 13.61 12.29 1992 794 1 157 1.457 -28.98 -49.96 -29.54 1993 700 1 109 1.584 -11.84 -4.15 8.72 1994 670 1 917 2.861 -4.29 72.86 80.60 1995 490 1 728 3.527 -26.87 -9.86 23.25 1996 230 48 0.209 -53.06 -97.22 -94.08 1997 356 221 0.621 54.78 360.42 197.46 1998 20 157 14 115 0.700 5 562.08 628.88 12.80 1999 1 776 1 636 0.921 -91.19 -88.41 31.55
1990-1999 2 739.6 2 627.8 1.580 538.99 648.78 26.08 2000 4 655 8 281 1.779 162.11 406.17 93.12 2001 6 324 10 670 1.687 35.85 28.85 -5.16 2002 9 399 25 973 2.763 48.62 143.42 63.78 2003 15 688 24 929 1.589 66.91 -4.02 -42.50 2004 9 060 16 037 1.770 -42.25 -35.67 11.39 2005 7 680 14 916 1.942 -15.23 -6.99 9.72 2006 9 059 17 455 1.927 17.96 17.02 -0.79
2000-2006 8 837.86 16 894.43 1.920 39.14 78.40 18.51 Rata-rata 3 700.185 6 241.778 2.009 244.28 303.61 15.31
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2006
Periode tahun 2000-2006 rata-rata volume ekspor dan harga cengkeh
ekspor meningkat dibandingkan dengan periode sebelumnya. Rata-rata volume
ekspor sebesar 8 837.86 ton dengan laju pertumbuhan rata-rata 39.14 persen.
Rata-rata harga cengkeh ekspor sebesar 1.92 US$/kg dan laju pertumbuhan yaitu
18.51 persen. Pada periode tersebut juga terjadi peningkatan ekspor pada tahun
81
2003 sebesar 15 688 ton yang dikarenakan adanya panen besar/raya di dalam
negeri.
5.1.6. Konsumsi Cengkeh Industri Rokok Kretek dan Produksi Rokok Kretek
Berdasarkan penggunaannya sebanyak 85-95 persen konsumsi cengkeh di
Indonesia digunakan untuk industri rokok kretek sedangkan sisanya diserap oleh
industri farmasi, makanan, maupun rumahtangga. Konsumsi cengkeh oleh
rumahtangga umumnya relatif stabil yaitu sebesar 0.001 ons/kapita/minggu
(BPS, 2006). Sehingga yang dimaksud dengan konsumsi cengkeh dalam
penelitian ini adalah jumlah konsumsi cengkeh yang digunakan sebagai bahan
baku industri rokok kretek domestik. Kebutuhan cengkeh oleh pabrik rokok kretek
tergantung pada besarnya kandungan cengkeh jenis-jenis rokok kretek yang
diproduksi, dapat dilihat pada Tabel 9. Kemala (2004), menyatakan bahwa
kandungan cengkeh oleh LPEM-UI lebih mendekati kebenaran, sehingga dalam
penelitian ini menggunakan data yang diperoleh dari LPEM-UI.
Tabel 9. Kandungan Cengkeh dalam Rokok Kretek yang Digunakan Pabrik Rokok Kretek
(mg/batang) Jenis Rokok Kretek
Lembaga Sigaret Kretek Tangan (SKT)
Sigaret Kretek Mesin (SKM) Klobot (KLB)
LPEM-UI 636 422 880 GAPPRI 800 600 1000
Sumber: Kemala, 2004
Konsumsi cengkeh pabrik rokok kretek dipengaruhi oleh besarnya
kandungan cengkeh dalam setiap jenis rokok kretek yang diproduksinya. Pada
dasarnya, besarnya kandungan cengkeh dalam sebatang rokok, tergantung pada
beberapa faktor, berikut ini: (1) jenis, (2) ukuran batang, (3) merek rokok kretek,
dan (4) harga cengkeh. Pada rokok jenis SKM, kadar kandungan cengkehnya
82
paling rendah, diikuti rokok jenis SKT, dan yang paling tinggi adalah rokok jenis
klobot. Ukuran yang meliputi besar kecil dan panjang pendek batang rokok kretek
akan mempengaruhi bobot rokok kretek serta kandungan cengkehnya. Umumnya
rokok jenis SKM paling ringan, kemudian rokok jenis SKT dan klobot yang
paling berat.
Keragaman kandungan cengkeh antar berbagai jenis merek rokok kretek
bertujuan untuk mengakomodasi perbedaan selera dan preferensi konsumen.
Tingkat harga cengkeh dapat mempengaruhi besarnya kandungan cengkeh dalam
rokok kretek. Selanjutnya, kandungan cengkeh yang terdapat pada rokok kretek
jenis SKT dan KLB, lebih tinggi dibandingkan rokok jenis SKM. Bahwa
rentangan campuran (blending) cengkeh-tembakau dalam rokok kretek ada
batasnya. Kurang dari batas terendah, dikhawatirkan kekhasan aroma cengkeh
akan hilang dari rokok kretek. Dengan demikian kekhawatiran akan terus
menurunnya kadar kandungan cengkeh dalam rokok kretek kurang tampak
beralasan, ini berarti konsumsi cengkeh pun akan terus meningkat sejalan dengan
meningkatnya volume produksi rokok kretek (Gonarsyah dalam Rumagit, 2007).
Pada Tabel 10 terlihat bahwa secara rataan dari tahun 1980-2006,
pertumbuhan konsumsi cengkeh untuk industri rokok kretek menunjukkan
peningkatan dari tahun ke tahun sebesar 4.83 persen per tahun, hal ini sejalan
dengan pertumbuhan produksi rokok kretek nasional pada periode yang sama
yaitu sebesar 5.52 persen. Periode 1980-1989 konsumsi cengkeh untuk industri
rokok kretek meningkat rata-rata sebesar 8.45 persen dengan peningkatan
produksi rokok kretek sebesar 10.65 persen. Tahun 1990-1999 rata-rata konsumsi
cengkeh untuk industri rokok kretek mengalami pertumbuhan sebesar 3.38 persen
83
dan produksi rokok kretek hanya mengalami pertumbuhan sebesar 2.96 persen.
Sedangkan tahun 2000-2006 laju pertumbuhan konsumsi cengkeh untuk industri
rokok kretek meningkat sebesar 2.24 persen dimana produksi rokok kretek juga
meningkat sebesar 2.57 persen.
Tabel 10. Perkembangan Konsumsi Cengkeh Industri Rokok Kretek dan Produksi Rokok Kretek Indonesia Tahun 1980-2006
Konsumsi Cengkeh Industri Rokok Kretek Produksi Rokok Kretek
Tahun (ton) (%) (juta batang) (%)
1980 30 927.832 - 52 766 - 1981 36 158.578 0.17 64 255 0.22 1982 35 136.410 -0.03 61 673 -0.04 1983 38 297.632 0.09 67 979 0.10 1984 42 075.802 0.10 76 423 0.12 1985 45 951.786 0.09 86 588 0.13 1986 51 310.656 0.12 99 303 0.15 1987 57 183.432 0.12 113 015 0.14 1988 61 906.330 0.08 124 221 0.10 1989 63 492.854 0.03 128 819 0.04
1980-1989 46 244.131 8.45 87 504.2 10.65 1990 68 358.564 0.08 140 159 0.09 1991 66 659.056 -0.03 134 520 -0.04 1992 68 067.216 0.02 138 879 0.03 1993 70 252.826 0.03 143 886 0.04 1994 70 215.693 -0.01 143 230 -0.01 1995 78 598.399 0.12 160 366 0.12 1996 83 552.410 0.06 170 435 0.06 1997 87 609.592 0.05 180 428 0.06 1998 83 075.142 -0.05 165 424 -0.08 1999 87 609.502 0.06 169 762 0.03
1990-1999 76 399.840 3.38 154 708.9 2.96 2000 96 643.692 0.10 185 548 0.09 2001 97 508.100 0.01 187 332 0.01 2002 90 675.786 -0.07 173 909 -0.07 2003 87 343.456 -0.04 170 597 -0.02 2004 95 343.976 0.09 188 292 0.10 2005 106 124.556 0.11 211 249 0.12 2006 100 502.438 -0.05 199 132 -0.06
2000-2006 96 306.001 2.24 188 008.4 2.57 Rata-rata 70 391.915 4.83 138 451.5 5.52
Sumber: Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Kretek Indonesia, 2006 (diolah) 5.1.7. Harga Cengkeh Domestik
Harga cengkeh domestik selalu berfluktuasi setiap tahunnya, seperti
terlihat pada Tabel 11. Fluktuasi harga cengkeh domestik ini tidak terlepas dari
84
berbagai kebijakan yang pernah dilakukan oleh pemerintah dalam rangka
mengatur kegiatan produksi maupun tataniaga cengkeh. Kebijakan ini telah
dilakukan sejak tahun 1969 hingga tahun 2002 seperti terdapat pada Lampiran 1
dan terakhir adalah peraturan mengenai pengendalian impor cengkeh tahun 2002.
Tabel 11. Perkembangan Harga Cengkeh Domestik Tahun 1980-2006
Tahun Harga Domestik (Rp/kg) Pertumbuhan (%) 1980 10 000 - 1981 9 150 -8.50 1982 9 750 6.56 1983 7 600 -22.05 1984 9 100 19.74 1985 11 000 20.88 1986 7 000 -36.36 1987 6 440 -8.00 1988 5 720 -11.18 1989 5 010 -12.41
1980-1989 8 077 -5.70 1990 6 280 25.35 1991 6 150 -2.07 1992 3 650 -40.65 1993 2 570 -29.59 1994 2 680 4.28 1995 2 720 1.49 1996 2 820 3.68 1997 3 800 34.75 1998 7 420 95.26 1999 20 000 169.54
1990-1999 5 809 26.21 2000 30 875 54.38 2001 57 698 86.88 2002 64 320 11.48 2003 20 990 -67.37 2004 26 570 26.59 2005 31 791 19.65 2006 35 871 12.83
2000-2006 38 302.14 20.63 Rata-rata 15 073.15 13.66
Sumber: Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, 2006
Periode tahun 1980-1989 rata-rata harga cengkeh domestik sebesar 8 077
Rp/kg dengan rata-rata pertumbuhan yang menurun yaitu sebesar 5.7 persen.
Periode selanjutnya yaitu tahun 1990-1999 rata-rata pertumbuhan dan harga
cengkeh domestik masing-masing sebesar 26.21 persen dan 5 809 Rp/kg. Pada
85
periode ini adalah periode beroperasinya BPPC yang mengatur tataniaga cengkeh,
sehingga harga dasar cengkeh telah ditetapkan. Namun setelah BPPC dibubarkan
pada tahun 1998, harga cengkeh domestik mengalami peningkatan yaitu dari
7 420 Rp/kg pada tahun 1998 menjadi 20 000 Rp/kg pada tahun 1999 atau
meningkat sebesar 169.54 persen.
Periode tahun 2000 hingga tahun 2006 rata-rata harga cengkeh domestik
sebesar 38 302.14 Rp/kg atau meningkat sebesar 20.63 persen dibandingkan
dengan periode sebelumnya. Namun pada tahun 2003 harga cengkeh kembali
menurun. Fenomena turunnya harga cengkeh secara drastis pada tahun 2003 yang
dimulai pada akhir bulan Juni 2002 hingga harga sempat mencapai 20 000 Rp/kg.
Indonesia merupakan “negara besar” dalam perdagangan internasional cengkeh,
sehingga fluktuasi produksi dan konsumsi, yang bisa terjadi karena faktor alam,
aspek perilaku industri, maupun aspek kebijakan domestik, dapat mempengaruhi
tatanan perdagangan tersebut. Sejak tahun 2002 Indonesia mengurangi impor
cengkeh yang pada awalnya Indonesia mengimpor cengkeh sekitar 70 persen dari
volume perdagangan dunia. Penurunan impor ini diakibatkan oleh adanya Surat
Keputusan Menperindag No.528/MPP/Kep/7/2002 tentang pengendalian impor
cengkeh yang menyebabkan impor cengkeh indonesia menurun drastis dan
berdampak pada penurunan harga cengkeh dunia (Siregar dan Suhendi, 2006).
Sedangkan menurut Wahyudi (2002) hal ini dikarenakan adanya penundaan
pembelian cengkeh oleh konsumen utama cengkeh yaitu pabrik rokok kretek,
terutama tiga pabrik rokok kretek besar yaitu Gudang Garam, HM Sampoerna dan
Djarum yang menyerap ± 80 persen kebutuhan cengkeh untuk pabrik rokok
kretek.
86
Secara keseluruhan yaitu tahun 1980-2006 rata-rata harga cengkeh
domestik sebesar 15 073.1481 Rp/kg dengan laju pertumbuhan sebesar 13.66
persen. Fluktuasi harga cengkeh dapat disebabkan oleh fluktuasi hasil yang cukup
tinggi yaitu produksi yang tinggi pada tahun-tahun tertentu dan diikuti dengan
penurunan produksi tahun berikutnya. Dalam hal ini dikenal adanya siklus empat
tahunan tanaman cengkeh, yaitu produksi yang tinggi pada satu tahun tertentu
diikuti dengan penurunan produksi tiga tahun berikutnya. Kondisis ini
menyebabkan pada tahun-tahun tertentu komoditas tersebut mengalami
over-supply dan di saat lain mengalami defisit. Selain itu, tidak terkontrolnya
impor baik yang terkait dengan komoditas cengkeh itu sendiri maupun dengan
rokok dapat menyebabkan ketidakpastian harga (Siregar dan Suhendi, 2006).
5.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi, Konsumsi, dan Harga
Cengkeh Indonesia Tahun 1980-2006
Model produksi, konsumsi, dan harga cengkeh Indonesia terdiri dari 11
persamaan, yaitu 9 persamaan struktural dan 2 persamaan identitas. Persamaan
struktural terdiri dari persamaan produktivitas cengkeh, luas areal cengkeh, impor
cengkeh, ekspor cengkeh, konsumsi cengkeh industri rokok kretek, produksi
rokok kretek, harga cengkeh domestik, harga cengkeh impor, dan harga cengkeh
ekspor Indonesia. Sedangkan persamaan identitas terdiri dari persamaan produksi
cengkeh dan penawaran cengkeh. Program komputer serta hasil pendugaan model
produksi, konsumsi, dan harga cengkeh Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 5
dan Lampiran 6.
Nilai dugaan statistik uji-F menunjukkan bahwa secara bersama-sama
semua peranan keragaman variabel penjelas nyata terhadap peranan keragaman
87
variabel endogen, sedangkan uji-t menunjukkan tidak semua variabel eksogen
berpengaruh nyata terhadap variabel endogennya. Nilai uji-F berkisar antara 3.38
hingga 1278.75 sedangkan pengujian terhadap parameter dugaan menggunakan
taraf α yaitu 20 persen untuk menunjukkan bahwa variabel tersebut berpengaruh
nyata terhadap variabel endogennya.
Berdasarkan uji statistik, nilai koefisien determinasi R2 berkisar antara
0.43780 pada persamaan harga cengkeh impor sampai dengan 0.99591 pada
persamaan konsumsi cengkeh industri rokok kretek. Nilai koefisien determinasi
pada persamaan konsumsi cengkeh industri rokok kretek sebesar 0.99591
menunjukkan bahwa keragaman konsumsi cengkeh industri rokok kretek sebesar
99.591 persen dapat dijelaskan oleh keragaman variabel penjelasnya yaitu rasio
HCDt-1 dengan HCDt, produksi rokok kretek, trend waktu, dan konsumsi cengkeh
industri rokok kretek tahun lalu, sedangkan sisanya yaitu 0.409 persen dijelaskan
oleh faktor-faktor lain yang tidak dimasukkan dalam persamaan. Berbagai
variabel penjelas yang berpengaruh secara nyata terhadap variabel endogen pada
model produksi, konsumsi, dan harga cengkeh Indonesia dapat dilihat pada
Lampiran 7.
Nilai elastisitas dihitung untuk melihat respon variabel endogen terhadap
variabel penjelas dari masing-masing persamaan atau untuk mengetahui
persentase perubahan (peningkatan atau penurunan) variabel endogen bila
variabel penjelasnya berubah satu persen. Variabel endogen dikatakan responsif
terhadap perubahan variabel penjelas apabila nilai elastisitasnya lebih besar dari
satu (> 1) dan tidak responsif apabila nilai elastisitasnya lebih kecil dari satu (< 1).
88
5.2.1. Produktivitas Cengkeh
Hasil dugaan persamaan produktivitas cengkeh Indonesia menunjukkan
bahwa semua tanda parameter dugaan telah sesuai dengan hipotesis yang
diharapkan dan dapat dilihat pada Tabel 12. Koefisien determinasi menunjukkan
nilai 0.8963 yang berarti bahwa keragaman produktivitas cengkeh sebesar 89.63
persen dapat dijelaskan oleh keragaman variabel harga cengkeh domestik, luas
areal cengkeh, pertumbuhan harga pupuk, suku bunga, trend waktu, dummy
kebijakan tataniaga berdasarkan BPPC, dan produktivitas cengkeh tahun lalu
sedangkan sisanya 10.37 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak
dimasukkan dalam persamaan.
Tabel 12. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Produktivitas Cengkeh (YCDt)
Variabel Notasi Parameter Dugaan
Taraf Nyata
Elastisitas Jangka Pendek
Elastisitas Jangka Panjang
Intersep Intersep 20.594320 0.7081 - - Harga cengkeh domestik HCDt 0.000119 0.6714 0.0348 0.0400 Areal tanam cengkeh ATCt 0.000033 0.5649 0.1456 0.1671 Pertumbuhan harga pupuk
{ (HPUt - HPUt-1)/ HPUt-1}*100
-0.586340 0.0851* -0.0089 -0.0102
Suku bunga SBIt -0.860520 0.1056* -0.0209 -0.0240 Trend waktu Tt 4.474710 0.0014* - - Dummy BPPC DBPPCt 13.484320 0.1953* - - Produktivitas cengkeh tahun lalu
YCDt-1 0.128549 0.5580 - -
R2 = 0.8963 F statistik = 22.22 Adj-R2 = 0.8560 P value = 0.000
Keterangan : * = nyata pada taraf 20%
Keragaman harga cengkeh domestik, luas areal cengkeh, pertumbuhan
harga pupuk, suku bunga, trend waktu, dummy kebijakan tataniaga berdasarkan
BPPC, dan produktivitas cengkeh tahun lalu secara bersama-sama dapat
menjelaskan keragaman produktivitas cengkeh dan secara statistik nyata pada
level 0.000. Secara sendiri-sendiri produktivitas cengkeh dipengaruhi secara nyata
oleh pertumbuhan harga pupuk, suku bunga, trend waktu, dan dummy kebijakan
89
tataniaga berdasarkan BPPC. Sedangkan variabel harga cengkeh domestik, luas
areal cengkeh, dan produktivitas cengkeh tahun lalu tidak berpengaruh nyata.
Harga cengkeh domestik berhubungan positif dan berpengaruh tidak nyata
terhadap produktivitas cengkeh. Nilai parameter dugaan 0.000119 yang berarti
jika harga cengkeh domestik meningkat satu Rp/kg, maka produktivitas cengkeh
meningkat sebesar 0.000119 kg/ha. Nilai elastisitas jangka pendek produktivitas
cengkeh terhadap harga cengkeh domestik sebesar 0.0348, berarti produktivitas
cengkeh tidak responsif terhadap perubahan harga cengkeh domestik. Apabila
harga cengkeh domestik meningkat satu persen maka produktivitas cengkeh hanya
akan meningkat 0.0348 persen, cateris paribus. Sedangkan nilai elastisitas jangka
panjang produktivitas cengkeh terhadap harga cengkeh domestik sebesar 0.04,
yang berarti produktivitas cengkeh dalam jangka panjang tidak responsif terhadap
perubahan harga cengkeh domestik yaitu apabila harga cengkeh domestik
meningkat satu persen maka produktivitas cengkeh akan meningkat sebesar 0.04
persen, cateris paribus.
Variabel luas areal cengkeh berhubungan positif dan tidak berpengaruh
nyata terhadap produktivitas cengkeh. Nilai parameter dugaan 0.000033 yang
berarti jika luas areal cengkeh meningkat satu hektar, maka produktivitas cengkeh
meningkat sebesar 0.000033 kg/ha. Nilai elastisitas jangka pendek produktivitas
cengkeh terhadap luas areal cengkeh sebesar 0.1456, berarti produktivitas cengkeh
tidak responsif terhadap perubahan luas areal cengkeh. Apabila luas areal cengkeh
meningkat satu persen maka produktivitas cengkeh hanya akan meningkat 0.1456
persen, cateris paribus. Sedangkan nilai elastisitas jangka panjang produktivitas
cengkeh terhadap luas areal cengkeh sebesar 0.1671, yang berarti produktivitas
90
cengkeh dalam jangka panjang tidak responsif terhadap perubahan luas areal
cengkeh yaitu apabila luas areal cengkeh meningkat satu persen maka
produktivitas cengkeh akan meningkat sebesar 0.1671 persen, cateris paribus.
Pertumbuhan harga pupuk berhubungan negatif dan berpengaruh nyata
pada taraf 20 persen terhadap produktivitas cengkeh. Nilai parameter dugaan
-0.58634 yang berarti jika pertumbuhan harga pupuk menurun satu persen, maka
produktivitas cengkeh meningkat sebesar 0.58634 kg/ha. Nilai elastisitas jangka
pendek produktivitas cengkeh terhadap pertumbuhan harga pupuk sebesar
-0.0089, berarti produktivitas cengkeh tidak responsif terhadap perubahan
pertumbuhan harga pupuk. Apabila pertumbuhan harga pupuk menurun satu
persen, cateris paribus maka produktivitas cengkeh hanya akan meningkat
0.0089 persen, begitu juga dengan nilai elastisitas jangka panjang produktivitas
cengkeh yang tidak responsif terhadap perubahan pertumbuhan harga pupuk yaitu
-0.0102 yang berarti apabila pertumbuhan harga pupuk menurun satu persen maka
hanya akan meningkatkan produktivitas cengkeh dalam jangka panjang 0.0102
persen, cateris paribus.
Suku bunga berhubungan negatif dan berpengaruh nyata pada taraf 20
persen terhadap produktivitas cengkeh. Nilai parameter dugaan -0.86052 yang
berarti jika suku bunga menurun satu persen, maka produktivitas cengkeh
meningkat sebesar 0.86052 kg/ha. Nilai elastisitas produktivitas cengkeh terhadap
suku bunga dalam jangka pendek maupun jangka panjang masing-masing sebesar
-0.0209 dan -0.0240 menunjukkan bahwa produktivitas cengkeh tidak responsif
terhadap perubahan suku bunga. Apabila suku bunga menurun satu persen maka
hanya akan meningkatkan produktivitas cengkeh dalam jangka pendek maupun
91
jangka panjang masing-masing sebesar 0.0209 persen dan 0.0240 persen, cateris
paribus.
Terdapat pengaruh positif perkembangan teknologi yang diwakili oleh
variabel trend terhadap produktivitas cengkeh yang berpengaruh nyata pada taraf
20 persen yaitu dengan parameter dugaan sebesar 4.47471. Variabel dummy
kebijakan tataniaga berdasarkan BPPC berhubungan positif dan berpengaruh
nyata pada taraf 20 persen terhadap produktivitas cengkeh. Artinya selama BPPC
beroperasi (tahun 1990-1998) rata-rata produktivitas cengkeh lebih tinggi sebesar
13.48 kg/ha dibandingkan dengan tidak adanya kebijakan tataniaga berdasarkan
BPPC. Hal ini dikarenakan adanya harga dasar dari pemerintah, sehingga dapat
menjadi insentif bagi petani dalam meningkatkan produktivitasnya. Nilai
parameter dugaan produktivitas cengkeh tahun lalu terletak di antara nol dan satu
tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap produktivitas cengkeh.
5.2.2. Luas Areal Cengkeh
Hasil dugaan persamaan luas areal cengkeh Indonesia menunjukkan
bahwa semua tanda parameter dugaan telah sesuai dengan hipotesis yang
diharapkan dan disajikan pada Tabel 13. Dari hasil regresi persamaan luas areal
cengkeh diperoleh koefisien determinasi 0.9652 yang berarti bahwa keragaman
luas areal cengkeh sebesar 96.52 persen dapat dijelaskan oleh keragaman variabel
harga cengkeh domestik, harga pupuk, suku bunga, trend waktu, dummy kebijakan
tataniaga berdasarkan BPPC, dan luas areal cengkeh tahun lalu sedangkan sisanya
3.48 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak dimasukkan dalam
persamaan.
92
Keragaman harga cengkeh domestik, harga pupuk, suku bunga, trend
waktu, dummy kebijakan tataniaga berdasarkan BPPC, dan luas areal cengkeh
tahun lalu secara bersama-sama dapat menjelaskan keragaman luas areal cengkeh
dan secara statistik nyata pada level 0.000. Secara sendiri-sendiri luas areal
cengkeh dipengaruhi secara nyata oleh harga pupuk, trend waktu, dummy
kebijakan tataniaga berdasarkan BPPC, dan luas areal cengkeh tahun lalu.
Sedangkan variabel harga cengkeh domestik dan suku bunga tidak berpengaruh
nyata.
Tabel 13. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Luas Areal Cengkeh (ATCt) Variabel Notasi Parameter
Dugaan Taraf Nyata
Elastisitas Jangka Pendek
Elastisitas Jangka Panjang
Intersep Intersep 150658.6 0.0298 - - Harga cengkeh domestik HCDt 0.259961 0.5205 0.0173 0.1195 Harga pupuk HPUt -44.67480 0.0879* -0.0763 -0.5279 Suku bunga SBIt -344.1560 0.5421 -0.0020 -0.0131 Trend waktu Tt -1775.110 0.1655* - - Dummy BPPC DBPPCt -31117.50 0.0386* - - Areal tanam cengkeh tahun lalu
ATCt-1 0.855379 0.0000* - -
R2 = 0.9652 F statistik = 87.82 Adj-R2 = 0.9542 P value = 0.000
Keterangan : * = nyata pada taraf 20%
Harga cengkeh domestik berhubungan positif dan berpengaruh tidak nyata
terhadap luas areal cengkeh. Nilai parameter dugaan 0.259961 yang berarti jika
harga cengkeh domestik meningkat satu Rp/kg, menyebabkan luas areal cengkeh
meningkat sebesar 0.259961 hektar. Nilai elastisitas jangka pendek luas areal
cengkeh terhadap harga cengkeh domestik sebesar 0.0173, berarti luas areal
cengkeh tidak responsif terhadap perubahan harga cengkeh domestik. Apabila
harga cengkeh domestik meningkat satu persen maka luas areal cengkeh hanya
akan meningkat 0.0173 persen, cateris paribus. Sedangkan nilai elastisitas jangka
panjang luas areal cengkeh terhadap harga cengkeh domestik sebesar 0.1195,
93
yang berarti luas areal cengkeh dalam jangka panjang tidak responsif terhadap
perubahan harga cengkeh domestik yaitu apabila harga cengkeh domestik
meningkat satu persen maka hanya akan meningkatkan luas areal cengkeh 0.1195
persen, cateris paribus.
Harga pupuk berhubungan negatif dan berpengaruh nyata pada taraf 20
persen terhadap luas areal cengkeh. Nilai parameter dugaan -44.6748 yang berarti
jika harga pupuk menurun satu Rp/kg, menyebabkan luas areal cengkeh
meningkat sebesar 44.6748 hektar. Nilai elastisitas jangka pendek luas areal
cengkeh terhadap harga pupuk sebesar -0.0763, berarti luas areal cengkeh tidak
responsif terhadap perubahan harga pupuk. Apabila harga pupuk menurun satu
persen maka luas areal cengkeh hanya akan meningkat 0.0763 persen, cateris
paribus. Sedangkan nilai elastisitas jangka panjang luas areal cengkeh terhadap
harga pupuk sebesar -0.5279, yang berarti luas areal cengkeh dalam jangka
panjang tidak responsif terhadap perubahan harga pupuk yaitu apabila harga
pupuk menurun satu persen maka hanya akan meningkatkan luas areal cengkeh
0.5279 persen, cateris paribus.
Suku bunga berhubungan negatif dan berpengaruh tidak nyata terhadap
luas areal cengkeh. Nilai parameter dugaan -344.156 yang berarti jika suku bunga
menurun satu persen, menyebabkan luas areal cengkeh meningkat sebesar
344.156 hektar. Nilai elastisitas jangka pendek luas areal cengkeh terhadap suku
bunga sebesar -0.002, berarti luas areal cengkeh tidak responsif terhadap
perubahan suku bunga. Apabila suku bunga menurun satu persen maka luas areal
cengkeh hanya akan meningkat 0.002 persen, cateris paribus. Sedangkan nilai
elastisitas jangka panjang luas areal cengkeh terhadap suku bunga sebesar
94
-0.0131, yang berarti luas areal cengkeh dalam jangka panjang tidak responsif
terhadap perubahan suku bunga yaitu apabila suku bunga menurun satu persen
maka hanya akan meningkatkan luas areal cengkeh 0.0131 persen, cateris paribus.
Terdapat pengaruh negatif perkembangan teknologi yang diwakili oleh
variabel trend terhadap luas areal cengkeh yang berpengaruh nyata pada taraf 20
persen yaitu dengan parameter dugaan sebesar -1775.11. Variabel dummy
kebijakan tataniaga berdasarkan BPPC berhubungan negatif dan berpengaruh
nyata pada taraf 20 persen terhadap luas areal cengkeh. Artinya selama BPPC
beroperasi rata-rata luas areal cengkeh lebih rendah sebesar 31117.5 hektar
dibandingkan dengan tidak adanya kebijakan tataniaga berdasarkan BPPC. Karena
pada tahun 1990 hingga tahun1998 beroperasinya BPPC terjadi kelebihan
penawaran cengkeh sehingga petani disarankan untuk menebang tanaman
cengkehnya.
Nilai parameter dugaan luas areal cengkeh tahun lalu mendekati satu dan
berpengaruh nyata pada taraf 20 persen mengindikasikan bahwa luas areal
cengkeh cenderung lambat dalam merespon berbagai perubahan situasi ekonomi
yang mempengaruhinya. Inilah yang menjadi salah satu ciri perilaku tanaman
tahunan yang tidak bisa disesuaikan luas arealnya secara cepat pada saat terjadi
perubahan berbagai faktor ekonomi seperti perubahan harga cengkeh domestik
maupun harga faktor produksinya. Karena itu wajar apabila variabel harga
cengkeh domestik tidak berpengaruh nyata terhadap luas areal cengkeh.
95
5.2.3. Produksi Cengkeh
Produksi cengkeh merupakan hasil perkalian antara produktivitas cengkeh
dengan luas areal cengkeh, yang dicirikan dengan persamaan identitas. Sehingga
persamaan produksi cengkeh adalah sebagai berikut:
QCDt = YCDt x ATCt
5.2.4. Impor Cengkeh
Hasil pendugaan faktor-faktor yang mempengaruhi impor cengkeh
Indonesia disajikan pada Tabel 14. Hasil regresi persamaan impor cengkeh
diperoleh koefisien determinasi 0.5678 yang berarti bahwa keragaman impor
cengkeh sebesar 56.78 persen dapat dijelaskan oleh keragaman variabel harga
cengkeh impor, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, produksi cengkeh,
konsumsi cengkeh industri rokok kretek, trend waktu, dummy kebijakan tataniaga
berdasarkan BPPC, dan impor cengkeh tahun lalu sedangkan sisanya 43.22 persen
dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak dimasukkan dalam persamaan.
Tabel 14. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Impor Cengkeh (ICDt)
Variabel Notasi Parameter Dugaan
Taraf Nyata
Elastisitas Jangka Pendek
Elastisitas Jangka Panjang
Intersep Intersep 5680.138 0.5871 - - Harga cengkeh impor HCIt -41.82520 0.2490 -0.4286 -0.5575 Nilai tukar Rp/US$ NTKt -0.037740 0.9670 -0.0747 -0.0972 Produksi cengkeh QCDt -0.000240 0.0344* -3.7349 -4.8579 Konsumsi cengkeh industri rokok kretek
CCRt 0.435373 0.1900* 7.4329 9.6680
Trend waktu Tt -1040.190 0.2292 - - Dummy BPPC DBPPCt -3634.280 0.2267 - - Impor cengkeh tahun lalu ICDt-1 0.231185 0.2445 - - R2 = 0.5678 F statistik = 3.38 Adj-R2 = 0.3997 P value = 0.0176
Keterangan : * = nyata pada taraf 20%
Pada Tabel 14 terlihat bahwa keragaman impor cengkeh secara bersama-
sama dapat dijelaskan oleh keragaman harga cengkeh impor, nilai tukar rupiah
96
terhadap dollar Amerika, produksi cengkeh, konsumsi cengkeh industri rokok
kretek, trend waktu, dummy kebijakan tataniaga berdasarkan BPPC, dan impor
cengkeh tahun lalu yang secara statistik nyata pada level 0.0176. Secara sendiri-
sendiri impor cengkeh dipengaruhi secara nyata oleh produksi cengkeh dan
konsumsi cengkeh industri rokok kretek. Sedangkan variabel harga cengkeh
impor, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, trend waktu, dummy kebijakan
tataniaga BPPC, dan impor cengkeh tahun lalu tidak berpengaruh nyata.
Harga cengkeh impor berhubungan negatif dan berpengaruh tidak nyata
terhadap impor cengkeh. Nilai parameter dugaan -41.8252 yang berarti jika harga
cengkeh impor meningkat satu US$/kg, maka impor cengkeh akan menurun
sebesar 41.8252 ton. Elastisitas jangka pendek impor cengkeh terhadap harga
cengkeh impor sebesar -0.4286, berarti impor cengkeh tidak responsif terhadap
perubahan harga cengkeh impor. Apabila harga cengkeh impor meningkat satu
persen maka impor cengkeh akan menurun sebesar 0.4286 persen, cateris paribus.
Sedangkan nilai elastisitas jangka panjang impor cengkeh terhadap harga cengkeh
impor sebesar -0.5575, yang berarti impor cengkeh dalam jangka panjang tidak
responsif terhadap perubahan harga cengkeh impor yaitu apabila harga cengkeh
impor meningkat satu persen maka akan menurunkan impor cengkeh sebesar
0.5575 persen, cateris paribus.
Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika berhubungan negatif dan
berpengaruh tidak nyata terhadap impor cengkeh. Nilai parameter dugaan
-0.03774 yang berarti jika nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika meningkat
(depresiasi) satu Rp/US$, maka impor cengkeh akan menurun sebesar 0.03774
ton. Elastisitas jangka pendek impor cengkeh terhadap nilai tukar rupiah terhadap
97
dollar Amerika sebesar -0.0747, berarti impor cengkeh tidak responsif terhadap
perubahan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Apabila nilai tukar rupiah
terhadap dollar Amerika meningkat satu persen maka impor cengkeh akan
menurun sebesar 0.0747 persen, cateris paribus. Sedangkan nilai elastisitas jangka
panjang impor cengkeh terhadap nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika
sebesar -0.0972, yang berarti impor cengkeh dalam jangka panjang tidak responsif
terhadap perubahan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika yaitu apabila nilai
tukar rupiah terhadap dollar Amerika meningkat satu persen maka akan
menurunkan impor cengkeh sebesar 0.0972 persen, cateris paribus.
Produksi cengkeh berhubungan negatif dan berpengaruh nyata pada taraf
20 persen terhadap impor cengkeh. Nilai parameter dugaan -0.00024 yang berarti
jika produksi cengkeh meningkat satu kilogram, maka impor cengkeh akan
menurun sebesar 0.00024 ton. Elastisitas jangka pendek impor cengkeh terhadap
produksi cengkeh sebesar -3.74, berarti impor cengkeh responsif terhadap
perubahan produksi cengkeh. Apabila produksi cengkeh meningkat satu persen
maka impor cengkeh akan menurun sebesar 3.74 persen, cateris paribus.
Sedangkan nilai elastisitas jangka panjang impor cengkeh terhadap produksi
cengkeh sebesar -4.86, yang berarti impor cengkeh dalam jangka panjang
responsif terhadap perubahan produksi cengkeh yaitu apabila produksi cengkeh
meningkat satu persen maka akan menurunkan impor cengkeh sebesar 4.86
persen, cateris paribus.
Konsumsi cengkeh industri rokok kretek berhubungan positif dan
berpengaruh nyata pada taraf 20 persen terhadap impor cengkeh. Nilai parameter
dugaan 0.435373 yang berarti jika konsumsi cengkeh industri rokok kretek
98
meningkat satu ton, maka impor cengkeh juga akan meningkat sebesar 0.435373
ton. Elastisitas impor cengkeh terhadap konsumsi cengkeh industri rokok kretek
dalam jangka pendek maupun jangka panjang masing-masing sebesar 7.43 dan
9.67 menunjukkan bahwa impor cengkeh responsif terhadap perubahan konsumsi
cengkeh industri rokok kretek. Apabila konsumsi cengkeh industri rokok kretek
meningkat satu persen maka akan meningkatkan impor cengkeh dalam jangka
pendek maupun jangka panjang masing-masing sebesar 7.43 persen dan 9.67
persen, cateris paribus. Hal ini mengindikasikan bahwa impor cengkeh dilakukan
untuk memenuhi peningkatan permintaan cengkeh dalam negeri terutama untuk
kebutuhan pabrik rokok kretek, sebagaimana hasil penelitian Wahjutomo (1996).
Trend waktu yang mewakili perkembangan teknologi berhubungan negatif
dan berpengaruh tidak nyata terhadap impor cengkeh. Variabel dummy kebijakan
tataniaga berdasarkan BPPC berhubungan negatif dan berpengaruh tidak nyata
terhadap impor cengkeh. Nilai parameter dugaan impor cengkeh tahun lalu
terletak di antara nol dan satu tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap impor
cengkeh.
5.2.5. Ekspor Cengkeh
Hasil dugaan persamaan ekspor cengkeh Indonesia menunjukkan bahwa
semua tanda parameter dugaan telah sesuai dengan hipotesis yang diharapkan dan
disajikan pada Tabel 15. Dari hasil regresi persamaan ekspor cengkeh diperoleh
koefisien determinasi 0.7594 yang berarti bahwa keragaman ekspor cengkeh
sebesar 75.94 persen dapat dijelaskan oleh keragaman variabel harga cengkeh
ekspor, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, produksi cengkeh, suku bunga,
99
trend waktu, dan ekspor cengkeh tahun lalu sedangkan sisanya 24.06 persen
dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak dimasukkan dalam persamaan.
Keragaman harga cengkeh ekspor, nilai tukar rupiah terhadap dollar
Amerika, produksi cengkeh, suku bunga, trend waktu, dan ekspor cengkeh tahun
lalu secara bersama-sama dapat menjelaskan keragaman ekspor cengkeh yang
secara statistik nyata pada level 0.000. Secara sendiri-sendiri ekspor cengkeh
dipengaruhi secara nyata oleh suku bunga dan trend waktu. Sedangkan variabel
harga cengkeh ekspor, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, produksi
cengkeh, dan ekspor cengkeh tahun lalu tidak berpengaruh nyata.
Tabel 15. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Ekspor Cengkeh (XCDt) Variabel Notasi Parameter
Dugaan Taraf Nyata
Elastisitas Jangka Pendek
Elastisitas Jangka Panjang
Intersep Intersep -6674.940 0.3166 - - Harga cengkeh ekspor HCXt 191.7693 0.2613 0.4551 0.5699 Nilai tukar Rp/US$ NTKt 0.296799 0.4840 0.6548 0.8201 Produksi cengkeh QCDt 0.000031 0.5703 0.5286 0.6620 Suku bunga SBIt -328.2380 0.0000* -0.2637 -0.3303 Trend waktu Tt 336.7863 0.0905* - - Ekspor cengkeh tahun lalu XCDt-1 0.201511 0.2311 - - R2 = 0.7594 F statistik = 10.00 Adj-R2 = 0.6835 P value = 0.000
Keterangan : * = nyata pada taraf 20%
Harga cengkeh ekspor berhubungan positif dan berpengaruh tidak nyata
terhadap ekspor cengkeh. Nilai parameter dugaan 191.7693 yaitu jika harga
cengkeh ekspor meningkat satu US$/kg, maka ekspor cengkeh akan meningkat
sebesar 191.7693 ton. Nilai elastisitas jangka pendek ekspor cengkeh terhadap
harga cengkeh ekspor sebesar 0.4551, berarti ekspor cengkeh tidak responsif
terhadap perubahan harga cengkeh ekspor. Apabila harga cengkeh ekspor
meningkat satu persen maka ekspor cengkeh hanya akan meningkat 0.4551
persen, cateris paribus. Sedangkan nilai elastisitas jangka panjang ekspor cengkeh
100
terhadap harga cengkeh ekspor sebesar 0.5699, yang berarti ekspor cengkeh tidak
responsif terhadap perubahan harga cengkeh ekspor yaitu apabila harga cengkeh
ekspor meningkat satu persen maka hanya akan meningkatkan ekspor cengkeh
dalam jangka panjang sebesar 0.5699 persen, cateris paribus.
Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika berhubungan positif dan
berpengaruh tidak nyata terhadap ekspor cengkeh. Nilai parameter dugaan
0.296799 yaitu jika nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika meningkat
(depresiasi) satu Rp/US$, maka ekspor cengkeh akan meningkat sebesar
0.296799 ton. Nilai elastisitas jangka pendek ekspor cengkeh terhadap nilai tukar
rupiah terhadap dollar Amerika sebesar 0.6548, berarti ekspor cengkeh tidak
responsif terhadap perubahan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Apabila
nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika meningkat satu persen maka ekspor
cengkeh hanya akan meningkat 0.6548 persen, cateris paribus. Sedangkan nilai
elastisitas jangka panjang ekspor cengkeh terhadap nilai tukar rupiah terhadap
dollar Amerika sebesar 0.8201, yang berarti ekspor cengkeh tidak responsif
terhadap perubahan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika yaitu apabila nilai
tukar rupiah terhadap dollar Amerika meningkat satu persen maka hanya akan
meningkatkan ekspor cengkeh dalam jangka panjang sebesar 0.8201 persen,
cateris paribus.
Produksi cengkeh berhubungan positif dan berpengaruh tidak nyata
terhadap ekspor cengkeh. Nilai parameter dugaan 0.000031 yaitu jika produksi
cengkeh meningkat satu kg, maka ekspor cengkeh akan meningkat sebesar
0.000031 ton. Nilai elastisitas jangka pendek ekspor cengkeh terhadap produksi
cengkeh sebesar 0.5286, berarti ekspor cengkeh tidak responsif terhadap
101
perubahan produksi cengkeh. Apabila produksi cengkeh meningkat satu persen
maka ekspor cengkeh hanya akan meningkat 0.5286 persen, cateris paribus.
Sedangkan nilai elastisitas jangka panjang ekspor cengkeh terhadap produksi
cengkeh sebesar 0.662, yang berarti ekspor cengkeh tidak responsif terhadap
perubahan produksi cengkeh yaitu apabila produksi cengkeh meningkat satu
persen maka hanya akan meningkatkan ekspor cengkeh dalam jangka panjang
sebesar 0.662 persen, cateris paribus.
Suku bunga berhubungan negatif dan berpengaruh nyata pada taraf 20
persen terhadap ekspor cengkeh. Artinya jika suku bunga menurun maka ekspor
cengkeh akan meningkat. Nilai parameter dugaan -328.238 yaitu jika suku bunga
menurun satu persen, maka ekspor cengkeh akan meningkat sebesar 328.238 ton.
Nilai elastisitas jangka pendek ekspor cengkeh terhadap suku bunga sebesar
-0.2637, berarti ekspor cengkeh tidak responsif terhadap perubahan suku bunga.
Apabila suku bunga menurun satu persen maka ekspor cengkeh hanya akan
meningkat 0.2637 persen, cateris paribus. Sedangkan nilai elastisitas jangka
panjang ekspor cengkeh terhadap suku bunga sebesar -0.3303, yang berarti ekspor
cengkeh tidak responsif terhadap perubahan suku bunga yaitu apabila suku bunga
menurun satu persen maka hanya akan meningkatkan ekspor cengkeh dalam
jangka panjang 0.3303 persen, cateris paribus.
Terdapat pengaruh positif perkembangan teknologi yang diwakili oleh
variabel trend terhadap ekspor cengkeh yang berpengaruh nyata pada taraf 20
persen yaitu dengan parameter dugaan sebesar 336.7863. Nilai parameter dugaan
ekspor cengkeh tahun lalu terletak di antara nol dan satu tetapi tidak berpengaruh
nyata terhadap ekspor cengkeh.
102
5.2.6. Penawaran Cengkeh
Penawaran cengkeh Indonesia dalam penelitian ini merupakan jumlah
cengkeh yang tersedia di dalam negeri, yang merupakan penjumlahan antara
produksi cengkeh dan impor cengkeh dikurangi ekspor cengkeh Indonesia ke
pasar internasional yang dicirikan dengan persamaan identitas. Persamaan
penawaran cengkeh dapat ditulis sebagai berikut:
SCDt = QCDt + ICDt - XCDt
5.2.7. Konsumsi Cengkeh Industri Rokok Kretek
Hasil dugaan persamaan konsumsi cengkeh industri rokok kretek
Indonesia menunjukkan bahwa semua tanda parameter dugaan telah sesuai dengan
hipotesis yang diharapkan dan disajikan pada Tabel 16. Dari hasil regresi
persamaan konsumsi cengkeh industri rokok kretek diperoleh koefisien
determinasi 0.9959 yang berarti bahwa keragaman konsumsi cengkeh industri
rokok kretek sebesar 99.59 persen dapat dijelaskan oleh keragaman variabel rasio
harga cengkeh domestik tahun lalu dengan harga cengkeh domestik tahun yang
sama, produksi rokok kretek, trend waktu, dan konsumsi cengkeh industri rokok
kretek tahun lalu sedangkan sisanya 0.41 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain
yang tidak dimasukkan dalam persamaan.
Keragaman variabel rasio harga cengkeh domestik tahun lalu dengan harga
cengkeh domestik tahun yang sama, produksi rokok kretek, trend waktu, dan
konsumsi cengkeh industri rokok kretek tahun lalu secara bersama-sama dapat
menjelaskan keragaman konsumsi cengkeh industri rokok kretek yang secara
statistik nyata pada level 0.000. Secara sendiri-sendiri konsumsi cengkeh industri
rokok kretek dipengaruhi secara nyata oleh variabel rasio harga cengkeh domestik
103
tahun lalu dengan harga cengkeh domestik tahun yang sama, produksi rokok
kretek, dan trend waktu. Sedangkan variabel konsumsi cengkeh industri rokok
kretek tahun lalu tidak berpengaruh nyata.
Tabel 16. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Konsumsi Cengkeh Industri Rokok Kretek (CCRt)
Variabel Notasi Parameter
Dugaan Taraf Nyata
Elastisitas Jangka Pendek
Elastisitas Jangka Panjang
Intersep Intersep 13057.16 0.0000 - - Rasio HCDt-1 dengan HCDt HCDt-1/HCDt -1564.280 0.0166* -0.0253 -0.0259 Produksi rokok kretek QRKt 0.334210 0.0000* 0.6574 0.6738 Trend waktu Tt 797.5481 0.0009* - - Konsumsi cengkeh industri rokok kretek tahun lalu
CCRt-1 0.024460 0.7580 - -
R2 = 0.9959 F statistik = 1278.75 Adj-R2 = 0.9951 P value = 0.000
Keterangan : * = nyata pada taraf 20%
Variabel rasio harga cengkeh domestik tahun lalu dengan harga cengkeh
domestik tahun yang sama berhubungan negatif dan berpengaruh nyata pada taraf
20 persen terhadap konsumsi cengkeh industri rokok kretek. Nilai parameter
dugaan -1564.28 yang berarti jika rasio harga cengkeh domestik tahun lalu dengan
harga cengkeh domestik tahun yang sama menurun satu Rp/kg, menyebabkan
konsumsi cengkeh industri rokok kretek meningkat sebesar 1564.28 ton. Nilai
elastisitas jangka pendek konsumsi cengkeh industri rokok kretek terhadap rasio
harga cengkeh domestik tahun lalu dengan harga cengkeh domestik tahun yang
sama sebesar -0.0253, berarti konsumsi cengkeh industri rokok kretek tidak
responsif terhadap perubahan rasio harga cengkeh domestik tahun lalu dengan
harga cengkeh domestik tahun yang sama. Apabila rasio harga cengkeh domestik
tahun lalu dengan harga cengkeh domestik pada tahun yang sama meningkat satu
persen maka konsumsi cengkeh industri rokok kretek hanya akan menurun 0.0253
persen, cateris paribus.
104
Elastisitas jangka panjang konsumsi cengkeh industri rokok kretek
terhadap rasio harga cengkeh domestik tahun lalu dengan harga cengkeh domestik
tahun yang sama sebesar -0.0259, yang berarti konsumsi cengkeh industri rokok
kretek dalam jangka panjang tidak responsif terhadap perubahan rasio harga
cengkeh domestik tahun lalu dengan harga cengkeh domestik tahun yang sama.
Apabila rasio harga cengkeh domestik tahun lalu dengan harga cengkeh domestik
tahun yang sama meningkat satu persen maka hanya akan menurunkan konsumsi
cengkeh industri rokok kretek 0.0259 persen, cateris paribus. Hal ini dikarenakan
berapapun perubahan harga cengkeh domestik, industri rokok kretek tetap
membutuhkan cengkeh sebagai bahan baku dalam memproduksi rokok kretek.
Produksi rokok kretek berhubungan positif dan berpengaruh nyata pada
taraf 20 persen terhadap konsumsi cengkeh industri rokok kretek. Nilai parameter
dugaan 0.33421 yang berarti jika produksi rokok kretek meningkat satu juta
batang, menyebabkan konsumsi cengkeh industri rokok kretek akan meningkat
sebesar 0.33421 ton. Elastisitas konsumsi cengkeh industri rokok kretek terhadap
produksi rokok kretek dalam jangka pendek maupun jangka panjang masing-
masing sebesar 0.6574 dan 0.6738 menunjukkan bahwa konsumsi cengkeh
industri rokok kretek tidak responsif terhadap perubahan produksi rokok kretek.
Apabila produksi rokok kretek meningkat satu persen maka akan meningkatkan
konsumsi cengkeh industri rokok kretek dalam jangka pendek maupun jangka
panjang masing-masing sebesar 0.6574 persen dan 0.6738 persen, cateris paribus.
Terdapat pengaruh positif perkembangan teknologi yang diwakili oleh variabel
trend terhadap konsumsi cengkeh industri rokok kretek yang berpengaruh nyata
pada taraf 20 persen yaitu dengan parameter dugaan sebesar 797.5481. Nilai
105
parameter dugaan konsumsi cengkeh industri rokok kretek tahun lalu terletak di
antara nol dan satu tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi cengkeh
industri rokok kretek.
5.2.8. Produksi Rokok Kretek
Hasil dugaan persamaan produksi rokok kretek Indonesia menunjukkan
bahwa semua tanda parameter dugaan telah sesuai dengan hipotesis yang
diharapkan dan dapat dilihat pada Tabel 17. Koefisien determinasi menunjukkan
nilai 0.9668 yang berarti bahwa keragaman produksi rokok kretek sebesar 96.68
persen dapat dijelaskan oleh keragaman variabel harga cengkeh domestik, selisih
harga jual rokok kretek tahun yang sama dengan harga jual rokok kretek tahun
lalu, pertumbuhan harga ekspor rokok kretek, trend waktu, dan produksi rokok
kretek tahun lalu sedangkan sisanya 3.32 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain
yang tidak dimasukkan dalam persamaan.
Tabel 17. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Produksi Rokok Kretek (QRKt) Variabel Notasi Parameter
Dugaan Taraf Nyata
Elastisitas Jangka Pendek
Elastisitas Jangka Panjang
Intersep Intersep 46268.62 0.0029 - - Harga cengkeh domestik HCDt -0.219760 0.0945* -0.0569 -0.1146 Selisih HJRKt dengan HJRKt-1
(HJRKt - HJRKt-1) 2.089508 0.8283 0.0014 0.0027
Pertumbuhan harga ekspor rokok kretek
{(HXRKt - HXRKt-1)/ HXRKt-1}*100
21.12576 0.7226 -0.0010 -0.0019
Trend waktu Tt 2360.414 0.0252* - - Produksi rokok kretek tahun lalu
QRKt-1 0.503855 0.0094* - -
R2 = 0.9668 F statistik = 116.60 Adj-R2 = 0.9585 P value = 0.000
Keterangan : * = nyata pada taraf 20%
Keragaman harga cengkeh domestik, selisih harga jual rokok kretek tahun
yang sama dengan harga jual rokok kretek tahun lalu, pertumbuhan harga ekspor
rokok kretek, trend waktu, dan produksi rokok kretek tahun lalu secara bersama-
106
sama dapat menjelaskan keragaman produksi rokok kretek yang secara statistik
nyata pada level 0.000. Secara sendiri-sendiri produksi rokok kretek dipengaruhi
secara nyata oleh harga cengkeh domestik, trend waktu, dan produksi rokok
kretek tahun lalu. Sedangkan variabel selisih harga jual rokok kretek tahun yang
sama dengan harga jual rokok kretek tahun lalu dan variabel pertumbuhan harga
ekspor rokok kretek tidak berpengaruh nyata.
Variabel harga cengkeh domestik berhubungan negatif dan berpengaruh
nyata pada taraf 20 persen terhadap produksi rokok kretek. Nilai parameter
dugaan -0.21976 yang berarti jika harga cengkeh domestik menurun satu Rp/kg,
menyebabkan produksi rokok kretek meningkat sebesar 0.21976 juta batang. Nilai
elastisitas jangka pendek produksi rokok kretek terhadap harga cengkeh domestik
sebesar -0.0569, berarti produksi rokok kretek tidak responsif terhadap perubahan
harga cengkeh domestik. Apabila harga cengkeh domestik meningkat satu persen
maka produksi rokok kretek hanya akan menurun 0.0569 persen, cateris paribus.
Elastisitas jangka panjang produksi rokok kretek terhadap harga cengkeh
domestik sebesar -0.1146, yang berarti produksi rokok kretek dalam jangka
panjang tidak responsif terhadap perubahan harga cengkeh domestik. Apabila
harga cengkeh domestik meningkat satu persen maka hanya akan menurunkan
produksi rokok kretek 0.1146 persen, cateris paribus. Hasil serupa seperti yang
terdapat pada persamaan konsumsi cengkeh industri rokok kretek, yaitu
berapapun perubahan harga cengkeh domestik, industri rokok kretek tetap akan
membutuhkan cengkeh sebagai bahan baku dalam memproduksi rokok kretek
yang berarti bahwa konsumsi cengkeh industri rokok kretek dan produksi rokok
kretek tidak responsif terhadap perubahan harga cengkeh domestik.
107
Variabel selisih harga jual rokok kretek tahun yang sama dengan harga
jual rokok kretek tahun lalu berhubungan positif dan berpengaruh tidak nyata
terhadap produksi rokok kretek. Nilai parameter dugaan 2.089508 yaitu jika
variabel selisih harga jual rokok kretek tahun yang sama dengan harga jual rokok
kretek tahun lalu meningkat satu Rp/bungkus, maka produksi rokok kretek akan
meningkat sebesar 2.089508 juta batang. Nilai elastisitas jangka pendek produksi
rokok kretek terhadap variabel selisih harga jual rokok kretek tahun yang sama
dengan harga jual rokok kretek tahun lalu sebesar 0.0014, berarti produksi rokok
kretek tidak responsif terhadap perubahan variabel selisih harga jual rokok kretek
tahun yang sama dengan harga jual rokok kretek tahun lalu. Apabila variabel
selisih harga jual rokok kretek tahun yang sama dengan harga jual rokok kretek
tahun lalu meningkat satu persen maka produksi rokok kretek hanya akan
meningkat 0.0014 persen, cateris paribus. Sedangkan nilai elastisitas jangka
panjang produksi rokok kretek terhadap variabel selisih harga jual rokok kretek
tahun yang sama dengan harga jual rokok kretek tahun lalu sebesar 0.0027, yang
berarti produksi rokok kretek tidak responsif terhadap perubahan variabel selisih
harga jual rokok kretek tahun yang sama dengan harga jual rokok kretek tahun
lalu yaitu apabila variabel selisih harga jual rokok kretek tahun yang sama dengan
harga jual rokok kretek tahun lalu meningkat satu persen maka hanya akan
meningkatkan produksi rokok kretek dalam jangka panjang sebesar 0.0027 persen,
cateris paribus.
Pertumbuhan harga ekspor rokok kretek berhubungan positif dan
berpengaruh tidak nyata terhadap produksi rokok kretek. Nilai parameter dugaan
21.12576 yaitu jika pertumbuhan harga ekspor rokok kretek meningkat satu
108
persen, maka produksi rokok kretek akan meningkat sebesar 21.12576 juta batang.
Nilai elastisitas jangka pendek produksi rokok kretek terhadap pertumbuhan harga
ekspor rokok kretek sebesar -0.001, berarti produksi rokok kretek tidak responsif
terhadap perubahan pertumbuhan harga ekspor rokok kretek. Apabila
pertumbuhan harga ekspor rokok kretek meningkat satu persen maka produksi
rokok kretek hanya akan meningkat 0.001 persen, cateris paribus. Sedangkan nilai
elastisitas jangka panjang produksi rokok kretek terhadap pertumbuhan harga
ekspor rokok kretek sebesar -0.0019, yang berarti produksi rokok kretek tidak
responsif terhadap perubahan pertumbuhan harga ekspor rokok kretek yaitu
apabila pertumbuhan harga ekspor rokok kretek meningkat satu persen maka
hanya akan meningkatkan produksi rokok kretek dalam jangka panjang sebesar
0.0019 persen, cateris paribus.
Terdapat pengaruh positif perkembangan teknologi yang diwakili oleh
variabel trend terhadap produksi rokok kretek yang berpengaruh nyata pada taraf
20 persen yaitu dengan parameter dugaan sebesar 2360.414. Nilai parameter
dugaan produksi rokok kretek tahun lalu yang mendekati satu dan berpengaruh
nyata pada taraf 20 persen mengindikasikan bahwa produksi rokok kretek
cenderung lambat dalam merespon berbagai perubahan situasi ekonomi yang
mempengaruhinya. Hal ini dikarenakan pengusaha membutuhkan waktu untuk
bisa menyesuaikan produksi rokok kreteknya secara cepat pada saat terjadi
perubahan berbagai faktor ekonomi seperti perubahan harga cengkeh domestik.
Karena itu wajar apabila produksi rokok kretek tidak responsif terhadap
perubahan harga cengkeh domestik.
109
5.2.9. Harga Cengkeh Domestik
Hasil dugaan persamaan harga cengkeh domestik Indonesia menunjukkan
bahwa semua tanda parameter dugaan telah sesuai dengan hipotesis yang
diharapkan dan disajikan pada Tabel 18. Hasil regresi persamaan harga cengkeh
domestik diperoleh koefisien determinasi 0.7903 yang berarti bahwa keragaman
harga cengkeh domestik sebesar 79.03 persen dapat dijelaskan oleh keragaman
variabel harga cengkeh impor, produksi cengkeh, konsumsi cengkeh industri
rokok kretek, trend waktu, dummy kebijakan tataniaga berdasarkan BPPC, dan
harga cengkeh domestik tahun lalu sedangkan sisanya 20.97 persen dijelaskan
oleh faktor-faktor lain yang tidak dimasukkan dalam persamaan.
Tabel 18. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Harga Cengkeh Domestik (HCDt) Variabel Notasi Parameter
Dugaan Taraf Nyata
Elastisitas Jangka Pendek
Elastisitas Jangka Panjang
Intersep Intersep -3955.370 0.9156 - - Harga cengkeh impor HCIt 16.68620 0.8301 0.0197 0.0577 Produksi cengkeh QCDt -0.000290 0.2106 -0.5167 -1.5139 Konsumsi cengkeh industri rokok kretek
CCRt 0.931464 0.1964* 1.8299 5.3614
Trend waktu Tt -2202.820 0.2143 - - Dummy BPPC DBPPCt -9235.360 0.2361 - - Harga cengkeh domestik tahun lalu
HCDt-1 0.658692 0.0034* - -
R2 = 0.7903 F statistik = 11.94 Adj-R2 = 0.7241 P value = 0.000
Keterangan : * = nyata pada taraf 20%
Keragaman harga cengkeh impor, produksi cengkeh, konsumsi cengkeh
industri rokok kretek, trend waktu, dummy kebijakan tataniaga berdasarkan
BPPC, dan harga cengkeh domestik tahun lalu secara bersama-sama dapat
menjelaskan keragaman harga cengkeh domestik yang secara statistik nyata pada
level 0.000. Secara sendiri-sendiri harga cengkeh domestik dipengaruhi secara
nyata oleh konsumsi cengkeh industri rokok kretek dan harga cengkeh domestik
110
tahun lalu. Sedangkan variabel harga cengkeh impor, produksi cengkeh, trend
waktu, dan dummy kebijakan tataniaga berdasarkan BPPC tidak berpengaruh
nyata.
Harga cengkeh impor berhubungan positif dan berpengaruh tidak nyata
terhadap harga cengkeh domestik. Nilai parameter dugaan 16.6862 yaitu jika
harga cengkeh impor meningkat satu US$/kg, maka harga cengkeh domestik akan
meningkat sebesar 16.6862 Rp/kg. Nilai elastisitas jangka pendek harga cengkeh
domestik terhadap harga cengkeh impor sebesar 0.0197, berarti harga cengkeh
domestik tidak responsif terhadap perubahan harga cengkeh impor. Apabila harga
cengkeh impor meningkat satu persen maka harga cengkeh domestik hanya akan
meningkat 0.0197 persen, cateris paribus. Sedangkan nilai elastisitas jangka
panjang harga cengkeh domestik terhadap harga cengkeh impor sebesar 0.0577,
yang berarti harga cengkeh domestik tidak responsif terhadap perubahan harga
cengkeh impor yaitu apabila harga cengkeh impor meningkat satu persen maka
hanya akan meningkatkan harga cengkeh domestik dalam jangka panjang sebesar
0.0577 persen, cateris paribus.
Produksi cengkeh berhubungan negatif dan berpengaruh tidak nyata
terhadap harga cengkeh domestik. Nilai parameter dugaan -0.00029 yang berarti
jika produksi cengkeh meningkat satu kilogram, maka harga cengkeh domestik
akan menurun sebesar 0.00029 Rp/kg. Elastisitas jangka pendek harga cengkeh
domestik terhadap produksi cengkeh sebesar -0.5167, berarti harga cengkeh
domestik dalam jangka pendek tidak responsif terhadap perubahan produksi
cengkeh. Apabila produksi cengkeh meningkat satu persen maka harga cengkeh
domestik akan menurun sebesar 0.5167 persen, cateris paribus. Sedangkan nilai
111
elastisitas jangka panjang harga cengkeh domestik terhadap produksi cengkeh
sebesar -1.5139, yang berarti harga cengkeh domestik dalam jangka panjang
responsif terhadap perubahan produksi cengkeh yaitu apabila produksi cengkeh
meningkat satu persen maka akan menurunkan harga cengkeh domestik sebesar
1.5139 persen, cateris paribus.
Variabel konsumsi cengkeh industri rokok kretek berhubungan positif dan
berpengaruh nyata pada taraf 20 persen terhadap harga cengkeh domestik. Nilai
parameter dugaan 0.931464 yang berarti jika konsumsi cengkeh industri rokok
kretek meningkat satu ton, menyebabkan harga cengkeh domestik meningkat
sebesar 0.931464 Rp/kg. Nilai elastisitas jangka pendek harga cengkeh domestik
terhadap konsumsi cengkeh industri rokok kretek sebesar 1.8299, berarti harga
cengkeh domestik responsif terhadap perubahan konsumsi cengkeh industri rokok
kretek. Apabila konsumsi cengkeh industri rokok kretek meningkat satu persen
maka harga cengkeh domestik meningkat sebesar 1.8299 persen, cateris paribus.
Elastisitas jangka panjang harga cengkeh domestik terhadap konsumsi cengkeh
industri rokok kretek sebesar 5.3614, yang berarti harga cengkeh domestik dalam
jangka panjang responsif terhadap perubahan konsumsi cengkeh industri rokok
kretek. Apabila konsumsi cengkeh industri rokok kretek meningkat satu persen
maka akan meningkatkan harga cengkeh domestik sebesar 5.3614 persen, cateris
paribus. Industri rokok kretek merupakan konsumen utama cengkeh sehingga
dengan adanya perubahan pembelian cengkeh oleh pabrik rokok kretek besar
seperti Gudang Garam, HM Sampoerna dan Djarum yang menyerap ± 80 persen
kebutuhan cengkeh untuk pabrik rokok kretek (Wahyudi, 2002), menyebabkan
112
harga cengkeh domestik responsif terhadap perubahan konsumsi cengkeh industri
rokok kretek.
Trend waktu yang mewakili perkembangan teknologi berhubungan negatif
dan berpengaruh tidak nyata terhadap harga cengkeh domestik. Variabel dummy
kebijakan tataniaga berdasarkan BPPC berhubungan negatif dan berpengaruh
tidak nyata terhadap harga cengkeh domestik. Harga cengkeh domestik
dipengaruhi pula oleh harga cengkeh domestik tahun sebelumnya dengan nilai
parameter dugaan yang mendekati satu dan berpengaruh nyata pada taraf 20
persen mengindikasikan bahwa harga cengkeh domestik cenderung lambat dalam
merespon berbagai perubahan situasi ekonomi yang mempengaruhinya. Hal ini
dikarenakan meskipun informasi mudah diperoleh pada masing-masing negara
dan fluktuasi harga pada suatu pasar dapat tertangkap oleh pasar lain, namun
dibutuhkan waktu untuk bisa menyesuaikan harga cengkeh domestik secara cepat
pada saat terjadi perubahan berbagai faktor ekonomi agar hal ini dapat dijadikan
signal dalam mengambil berbagai keputusan bagi pelaku-pelaku ekonomi yang
terlibat di dalamnya.
5.2.10. Harga Cengkeh Impor
Hasil dugaan persamaan harga cengkeh impor Indonesia menunjukkan
bahwa semua tanda parameter dugaan telah sesuai dengan hipotesis yang
diharapkan dan disajikan pada Tabel 19. Kemampuan menjelaskan variabel impor
cengkeh tahun lalu, selisih nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika tahun yang
sama dengan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika tahun lalu, dan variabel
harga cengkeh impor tahun lalu dalam persamaan harga cengkeh impor masih
113
relatif rendah yaitu hanya 43.78 persen sedangkan sisanya 56.22 persen dijelaskan
oleh faktor-faktor lain yang tidak dimasukkan dalam persamaan.
Tabel 19. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Harga Cengkeh Impor (HCIt)
Variabel Notasi Parameter Dugaan
Taraf Nyata
Elastisitas Jangka Pendek
Elastisitas Jangka Panjang
Intersep Intersep 10.48215 0.4102 - - Impor cengkeh tahun lalu ICDt-1 0.000319 0.7835 0.0323 0.1000 Selisih NTKt dengan NTKt-1 NTKt - NTKt-1 0.002300 0.6883 0.0011 0.0035 Harga cengkeh impor tahun lalu
HCIt-1 0.676709 0.0005* - -
R2 = 0.4378 F statistik = 5.71 Adj-R2 = 0.3611 P value = 0.0048
Keterangan : * = nyata pada taraf 20%
Keragaman variabel impor cengkeh tahun lalu, selisih nilai tukar rupiah
terhadap dollar Amerika tahun yang sama dengan nilai tukar rupiah terhadap
dollar Amerika tahun lalu, dan variabel harga cengkeh impor tahun lalu secara
bersama-sama dapat menjelaskan keragaman harga cengkeh impor yang secara
statistik nyata pada level 0.0048. Secara sendiri-sendiri harga cengkeh impor
dipengaruhi secara nyata oleh variabel harga cengkeh impor tahun lalu.
Sedangkan variabel impor cengkeh tahun lalu dan variabel selisih nilai tukar
rupiah terhadap dollar Amerika tahun yang sama dengan nilai tukar rupiah
terhadap dollar Amerika tahun lalu tidak berpengaruh nyata.
Variabel impor cengkeh tahun lalu berhubungan positif dan berpengaruh
tidak nyata terhadap harga cengkeh impor. Nilai parameter dugaan 0.000319 yaitu
jika impor cengkeh tahun lalu meningkat satu ton, maka harga cengkeh impor
akan meningkat sebesar 0.000319 US$/kg. Nilai elastisitas jangka pendek harga
cengkeh impor terhadap impor cengkeh tahun lalu sebesar 0.0323, berarti harga
cengkeh impor tidak responsif terhadap perubahan impor cengkeh tahun lalu.
Apabila impor cengkeh tahun lalu meningkat satu persen maka harga cengkeh
114
impor hanya akan meningkat 0.0323 persen, cateris paribus. Sedangkan nilai
elastisitas jangka panjang harga cengkeh impor terhadap impor cengkeh tahun lalu
sebesar 0.1, yang berarti harga cengkeh impor tidak responsif terhadap perubahan
impor cengkeh tahun lalu yaitu apabila impor cengkeh tahun lalu meningkat satu
persen maka hanya akan meningkatkan harga cengkeh impor dalam jangka
panjang sebesar 0.1 persen, cateris paribus.
Variabel selisih nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika tahun yang
sama dengan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika tahun lalu berhubungan
positif dan berpengaruh tidak nyata terhadap harga cengkeh impor. Nilai
parameter dugaan 0.0023 yaitu jika selisih nilai tukar rupiah terhadap dollar
Amerika tahun yang sama dengan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika
tahun lalu meningkat satu Rp/US$, maka harga cengkeh impor akan meningkat
sebesar 0.0023 US$/kg.
Nilai elastisitas jangka pendek harga cengkeh impor terhadap selisih nilai
tukar rupiah terhadap dollar Amerika tahun yang sama dengan nilai tukar rupiah
terhadap dollar Amerika tahun lalu sebesar 0.0011, berarti harga cengkeh impor
tidak responsif terhadap perubahan selisih nilai tukar rupiah terhadap dollar
Amerika tahun yang sama dengan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika
tahun lalu. Apabila selisih nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika tahun yang
sama dengan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika tahun lalu meningkat satu
persen maka harga cengkeh impor hanya akan meningkat 0.0011 persen, cateris
paribus. Sedangkan nilai elastisitas jangka panjang harga cengkeh impor terhadap
selisih nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika tahun yang sama dengan nilai
tukar rupiah terhadap dollar Amerika tahun lalu sebesar 0.0035, yang berarti harga
115
cengkeh impor tidak responsif terhadap perubahan selisih nilai tukar rupiah
terhadap dollar Amerika tahun yang sama dengan nilai tukar rupiah terhadap
dollar Amerika tahun lalu yaitu apabila selisih nilai tukar rupiah terhadap dollar
Amerika tahun yang sama dengan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika
tahun lalu meningkat satu persen maka hanya akan meningkatkan harga cengkeh
impor dalam jangka panjang sebesar 0.0035 persen, cateris paribus.
Nilai parameter dugaan harga cengkeh impor tahun lalu yang mendekati
satu dan berpengaruh nyata pada taraf 20 persen mengindikasikan bahwa harga
cengkeh impor cenderung lambat dalam merespon berbagai perubahan situasi
ekonomi yang mempengaruhinya seperti perubahan nilai tukar rupiah terhadap
dollar Amerika. Sehingga wajar apabila variabel selisih nilai tukar rupiah terhadap
dollar Amerika tahun yang sama dengan nilai tukar rupiah terhadap dollar
Amerika tahun lalu tidak berpengaruh nyata terhadap harga cengkeh impor.
5.2.11. Harga Cengkeh Ekspor
Hasil pendugaan faktor-faktor yang mempengaruhi harga cengkeh ekspor
Indonesia disajikan pada Tabel 20. Hasil regresi persamaan harga cengkeh ekspor
diperoleh koefisien determinasi 0.7524 yang berarti bahwa keragaman harga
cengkeh ekspor sebesar 75.24 persen dapat dijelaskan oleh keragaman variabel
ekspor cengkeh, rasio nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika tahun lalu
dengan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika tahun yang sama, dan harga
cengkeh ekspor tahun lalu sedangkan sisanya 24.76 persen dijelaskan oleh faktor-
faktor lain yang tidak dimasukkan dalam persamaan.
Pada Tabel 20 terlihat bahwa keragaman harga cengkeh ekspor secara
bersama-sama mampu dijelaskan oleh keragaman variabel ekspor cengkeh, rasio
116
nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika tahun lalu dengan nilai tukar rupiah
terhadap dollar Amerika tahun yang sama, dan harga cengkeh ekspor tahun lalu
yang secara statistik nyata pada level 0.000. Secara sendiri-sendiri, hanya variabel
harga cengkeh ekspor tahun lalu yang mempengaruhi harga cengkeh ekspor
secara nyata sementara variabel ekspor cengkeh dan variabel rasio nilai tukar
rupiah terhadap dollar Amerika tahun lalu dengan nilai tukar rupiah terhadap
dollar Amerika tahun yang sama tidak berpengaruh nyata.
Tabel 20. Hasil Dugaan Parameter Persamaan Harga Cengkeh Ekspor (HCXt)
Variabel Notasi Parameter Dugaan
Taraf Nyata
Elastisitas Jangka Pendek
Elastisitas Jangka Panjang
Intersep Intersep 0.884444 0.8854 - - Ekspor cengkeh XCDt -0.000130 0.5086 -0.0532 -0.2038 Rasio NTKt-1 dengan NTKt NTKt-1/NTKt 0.894839 0.8808 0.1028 0.3937 Harga cengkeh ekspor tahun lalu
HCXt-1 0.738924 0.000* - -
R2 = 0.7524 F statistik = 22.28 Adj-R2 = 0.7186 P value = 0.000
Keterangan : * = nyata pada taraf 20%
Variabel ekspor cengkeh berhubungan negatif dan berpengaruh tidak nyata
terhadap harga cengkeh ekspor. Nilai parameter dugaan -0.00013 yaitu jika ekspor
cengkeh meningkat satu ton, maka harga cengkeh ekspor akan menurun sebesar
0.00013 US$/kg. Nilai elastisitas jangka pendek harga cengkeh ekspor terhadap
ekspor cengkeh sebesar -0.0532, berarti harga cengkeh ekspor tidak responsif
terhadap perubahan ekspor cengkeh. Apabila ekspor cengkeh meningkat satu
persen maka harga cengkeh ekspor akan menurun 0.0532 persen, cateris paribus.
Sedangkan nilai elastisitas jangka panjang harga cengkeh ekspor terhadap ekspor
cengkeh sebesar -0.2038, yang berarti harga cengkeh ekspor tidak responsif
terhadap perubahan ekspor cengkeh yaitu apabila ekspor cengkeh meningkat satu
117
persen maka akan menurunkan harga cengkeh ekspor dalam jangka panjang
sebesar 0.2038 persen, cateris paribus.
Variabel rasio nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika tahun lalu
dengan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika tahun yang sama berhubungan
positif dan berpengaruh tidak nyata terhadap harga cengkeh ekspor. Nilai
parameter dugaan 0.894839 yaitu jika rasio nilai tukar rupiah terhadap dollar
Amerika tahun lalu dengan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika tahun yang
sama meningkat satu Rp/US$, maka harga cengkeh ekspor akan meningkat
sebesar 0.894839 US$/kg. Nilai elastisitas jangka pendek harga cengkeh ekspor
terhadap rasio nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika tahun lalu dengan nilai
tukar rupiah terhadap dollar Amerika tahun yang sama sebesar 0.1028, berarti
harga cengkeh ekspor tidak responsif terhadap perubahan rasio nilai tukar rupiah
terhadap dollar Amerika tahun lalu dengan nilai tukar rupiah terhadap dollar
Amerika tahun yang sama. Apabila rasio nilai tukar rupiah terhadap dollar
Amerika tahun lalu dengan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika tahun yang
sama meningkat satu persen maka harga cengkeh ekspor hanya akan meningkat
0.1028 persen, cateris paribus. Sedangkan nilai elastisitas jangka panjang harga
cengkeh ekspor terhadap rasio nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika tahun
lalu dengan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika tahun yang sama sebesar
0.3937, yang berarti harga cengkeh ekspor tidak responsif terhadap perubahan
rasio nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika tahun lalu dengan nilai tukar
rupiah terhadap dollar Amerika tahun yang sama yaitu apabila rasio nilai tukar
rupiah terhadap dollar Amerika tahun lalu dengan nilai tukar rupiah terhadap
dollar Amerika tahun yang sama meningkat satu persen maka hanya akan
118
meningkatkan harga cengkeh ekspor dalam jangka panjang sebesar 0.3937 persen,
cateris paribus.
Nilai parameter dugaan harga cengkeh ekspor tahun lalu yang mendekati
satu dan berpengaruh nyata pada taraf 20 persen mengindikasikan bahwa harga
cengkeh ekspor cenderung lambat dalam merespon berbagai perubahan situasi
ekonomi yang mempengaruhinya seperti perubahan nilai tukar rupiah terhadap
dollar Amerika yang juga tidak berpengaruh nyata terhadap harga cengkeh ekspor.
5.3. Dampak Perubahan Faktor Ekonomi terhadap Produksi, Konsumsi,
dan Harga Cengkeh Indonesia Tahun 1999-2006 5.3.1. Hasil Validasi Model
Tabel 21. Validasi Model Produksi, Konsumsi, dan Harga Cengkeh Indonesia Tahun 1999-2006
Variabel Notasi RMSPE (%) U-Theil
YCDt Produktivitas cengkeh 6.2430 0.0311 ATCt Luas areal cengkeh 1.9426 0.0098 QCDt Produksi cengkeh 7.1396 0.0361 ICDt Impor cengkeh 67107.4 0.4328 XCDt Ekspor cengkeh 85.6408 0.2281 SCDt Penawaran cengkeh 7.1316 0.0361 CCRt Konsumsi cengkeh industri rokok kretek 5.4461 0.0270 QRKt Produksi rokok kretek 5.4233 0.0266 HCDt Harga cengkeh domestik 40.8618 0.2227 HCIt Harga cengkeh impor 3042.0 0.9065 HCXt Harga cengkeh ekspor 76.5089 0.2492
Kriteria validasi dalam penelitian ini adalah RMSPE dan U-Theil
(Tabel 21). Dari 11 variabel endogen terdapat empat variabel yang memiliki nilai
RMSPE lebih besar dari 50 persen yaitu variabel impor cengkeh, ekspor cengkeh,
harga cengkeh impor, dan harga cengkeh ekspor. Sedangkan nilai-nilai U relatif
kecil yaitu mendekati nol, sehingga model produksi, konsumsi, dan harga cengkeh
Indonesia cukup valid untuk proses simulasi. Program komputer serta hasil
119
validasi model produksi, konsumsi, dan harga cengkeh Indonesia tahun 1999-
2006 dapat dilihat pada Lampiran 8 dan Lampiran 9.
5.3.2. Peningkatan Harga Cengkeh Domestik 20 Persen
Dampak peningkatan harga cengkeh domestik 20 persen terhadap
produksi, konsumsi, dan harga cengkeh Indonesia disajikan pada Tabel 22.
Program komputer serta hasil simulasi model produksi, konsumsi, dan harga
cengkeh Indonesia tahun 1999-2006 dapat dilihat pada Lampiran 10 dan
Lampiran 11.
Tabel 22. Dampak Perubahan Faktor Ekonomi terhadap Produksi, Konsumsi, dan Harga Cengkeh Indonesia Tahun 1999-2006
Perubahan (%)
Variabel Notasi Nilai Dasar Simulasi
1 Simulasi
2 Simulasi
3 Simulasi
4 Simulasi
5
YCDt Produktivitas cengkeh 165.9 1.145 -0.543 -0.422 0.06 -0.12
ATCt Luas areal cengkeh 427796 2.886 -7.993 -0.179 0.021 -0.002
QCDt Produksi cengkeh 71159037 4.127 -8.652 -0.555 0.032 -0.004
ICDt Impor Cengkeh 5242.1 -36.381 30.402 1.887 0.313 -1.051
XCDt Ekspor Cengkeh 7343.2 1.405 -2.914 -3.513 0.011 8.285
SCDt Penawaran cengkeh 71156936 4.125 -8.65 -0.555 0.032 -0.005
CCRt
Konsumsi cengkeh industri rokok kretek
94943.5 -2.021 -0.374 -0.033 0.044 0.002
QRKt Produksi rokok kretek 186432 -2.570 -0.602 -0.049 0.065 0.003
HCDt Harga cengkeh domestik 32130.4 20.00 9.687 0.698 0.298 -0.047
HCIt Harga cengkeh impor 26.0067 -5.156 3.296 0.301 0.064 -2.247
HCXt Harga cengkeh ekspor 2.7434 -1.301 2.373 3.908 -0.011 -7.819
Keterangan: Simulasi 1: Peningkatan harga cengkeh domestik 20 persen Simulasi 2: Peningkatan harga pupuk 20 persen Simulasi 3: Peningkatan suku bunga 20 persen Simulasi 4: Peningkatan harga jual rokok kretek 20 persen
Simulasi 5: Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika 20 persen
120
Peningkatan harga cengkeh domestik 20 persen menyebabkan
produktivitas cengkeh dan luas areal cengkeh mengalami peningkatan masing-
masing 1.15 persen dan 2.89 persen. Produksi cengkeh juga meningkat 4.13
persen dikarenakan produktivitas dan luas areal cengkeh meningkat. Peningkatan
produksi cengkeh akan berdampak pada penurunan impor cengkeh 36.38 persen
dan peningkatan ekspor cengkeh 1.41 persen sedangkan harga cengkeh impor dan
harga cengkeh ekspor masing-masing mengalami penurunan 5.16 persen dan 1.3
persen. Peningkatan produksi cengkeh juga akan menyebabkan penawaran
cengkeh meningkat 4.12 persen. Peningkatan harga cengkeh domestik 20 persen
akan berdampak pada penurunan konsumsi cengkeh industri rokok kretek dan
produksi rokok kretek masing-masing 2.02 persen dan 2.57 persen.
5.3.3. Peningkatan Harga Pupuk 20 Persen
Dampak peningkatan harga pupuk 20 persen terhadap produksi, konsumsi,
dan harga cengkeh Indonesia disajikan pada Tabel 22. Peningkatan harga pupuk
20 persen menyebabkan produktivitas cengkeh dan luas areal cengkeh menurun
masing-masing 0.54 persen dan 7.99 persen, sehingga produksi cengkeh juga
mengalami penurunan 8.65 persen. Secara bersamaan akan berdampak pada
peningkatan impor cengkeh 30.4 persen dan penurunan ekspor cengkeh 2.91
persen dengan harga cengkeh impor dan harga cengkeh ekspor masing-masing
mengalami peningkatan 3.3 persen dan 2.37 persen. Hal ini menyebabkan
penawaran cengkeh mengalami penurunan 8.65 persen. Penurunan produksi
cengkeh akan menyebabkan harga cengkeh domestik meningkat 9.69 persen.
Akibat peningkatan harga cengkeh domestik ini maka konsumsi cengkeh industri
121
rokok kretek dan produksi rokok kretek mengalami penurunan masing-masing
0.37 persen dan 0.60 persen.
5.3.4. Peningkatan Suku Bunga 20 Persen
Dampak peningkatan suku bunga 20 persen terhadap produksi, konsumsi,
dan harga cengkeh Indonesia disajikan pada Tabel 22. Peningkatan suku bunga
20 persen menyebabkan produktivitas cengkeh dan luas areal cengkeh menurun
masing-masing 0.42 persen dan 0.18 persen, sehingga produksi cengkeh juga
mengalami penurunan 0.56 persen. Penurunan produksi cengkeh akan berdampak
pada peningkatan impor cengkeh 1.89 persen dan penurunan ekspor cengkeh 3.51
persen dengan harga cengkeh impor dan harga cengkeh ekspor masing-masing
mengalami peningkatan 0.30 persen dan 3.91 persen. Hal ini menyebabkan
penawaran cengkeh mengalami penurunan 0.56 persen. Penurunan produksi
cengkeh akan menyebabkan harga cengkeh domestik meningkat 0.70 persen.
Akibat peningkatan harga cengkeh domestik ini maka konsumsi cengkeh industri
rokok kretek dan produksi rokok kretek mengalami penurunan masing-masing
0.03 persen dan 0.05 persen.
5.3.5. Peningkatan Harga Jual Rokok Kretek 20 Persen
Dampak peningkatan harga jual rokok kretek 20 persen terhadap produksi,
konsumsi, dan harga cengkeh Indonesia disajikan pada Tabel 22. Peningkatan
harga jual rokok kretek 20 persen menyebabkan produksi rokok kretek mengalami
peningkatan 0.07 persen, sehingga konsumsi cengkeh industri rokok kretek juga
mengalami peningkatan 0.04 persen. Peningkatan konsumsi cengkeh industri
rokok kretek menyebabkan impor cengkeh meningkat 0.31 persen yang akhirnya
akan berdampak terhadap peningkatan harga cengkeh impor 0.06 persen.
122
Peningkatan harga cengkeh impor ini menyebabkan harga cengkeh domestik
meningkat 0.30 persen. Peningkatan harga cengkeh domestik akan menyebabkan
produktivitas dan luas areal cengkeh meningkat masing-masing 0.06 persen dan
0.02 persen, sehingga produksi cengkeh juga akan mengalami peningkatan 0.03
persen. Secara bersamaan akan berdampak pada peningkatan ekspor cengkeh 0.01
persen dengan harga cengkeh ekspor mengalami penurunan 0.01 persen. Hal ini
menyebabkan penawaran cengkeh mengalami peningkatan 0.03 persen.
5.3.6. Depresiasi Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika 20 Persen
Dampak depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika 20 persen
terhadap produksi, konsumsi, dan harga cengkeh Indonesia disajikan pada
Tabel 22. Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika 20 persen
berdampak meningkatkan ekspor cengkeh Indonesia 8.29 persen, selanjutnya
menyebabkan harga cengkeh ekspor turun 7.82 persen. Selain itu, depresiasi nilai
tukar rupiah menyebabkan menurunnya impor cengkeh Indonesia 1.05 persen
dengan harga cengkeh impor yang juga mengalami penurunan 2.25 persen.
Penurunan harga cengkeh impor ini menyebabkan harga cengkeh domestik
menurun 0.05 persen. Penurunan harga cengkeh domestik akan menyebabkan
produktivitas dan luas areal cengkeh menurun masing-masing 0.12 persen dan
0.002 persen, sehingga produksi cengkeh juga akan mengalami penurunan 0.004
persen. Secara bersamaan penurunan produksi cengkeh menyebabkan penawaran
cengkeh mengalami penurunan 0.005 persen. Akibat penurunan harga cengkeh
domestik maka konsumsi cengkeh industri rokok kretek dan produksi rokok
kretek mengalami peningkatan masing-masing 0.002 persen dan 0.003 persen.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
1. Perkembangan produksi cengkeh dan luas areal cengkeh Indonesia
masing-masing pada tahun 1980-2006 berfluktuasi dan cenderung
meningkat tiap tahunnya dengan rata-rata pertumbuhan pada periode tahun
1980-1989 lebih tinggi dibandingkan periode tahun 1990-1999 dan tahun
2000-2006. Perkembangan produktivitas cengkeh Indonesia pada tahun
1980-2006 berfluktuasi dan cenderung meningkat namun dengan
produktivitas yang umumnya masih rendah terutama perkebunan rakyat
yang mengalami pertumbuhan lebih kecil dibandingkan perkebunan besar
negara dan perkebunan besar swasta.
2. Volume impor serta harga cengkeh impor Indonesia tahun 1980-2006
berfluktuasi dan cenderung meningkat. Rata-rata pertumbuhan volume
impor cengkeh pada periode tahun 1990-1999 lebih tinggi dibandingkan
tahun 1980-1989 dan tahun 2000-2006. Sedangkan harga cengkeh impor
Indonesia periode tahun 1980-1989 lebih tinggi dibandingkan tahun 1990-
1999 dan tahun 2000-2006. Tahun 1980 hingga tahun 2006 volume ekspor
serta harga cengkeh ekspor Indonesia berfluktuasi dan secara rata-rata
mengalami peningkatan tiap tahunnya. Periode tahun 1990-1999
pertumbuhan volume ekspor dan harga cengkeh ekspor lebih tinggi
dibandingkan periode tahun 1980-1989 dan tahun 2000-2006.
3. Perkembangan konsumsi cengkeh untuk industri rokok kretek tahun 1980-
2006 rata-rata mengalami peningkatan tiap tahunnya dan sejalan dengan
124
perkembangan produksi rokok kretek nasional pada periode yang sama.
Rata-rata pertumbuhan konsumsi cengkeh untuk industri rokok kretek dan
produksi rokok kretek nasional pada periode tahun 1980-1989 lebih tinggi
dibandingkan periode tahun 1990-1999 dan tahun 2000-2006. Periode
tahun 1980-2006 perkembangan harga cengkeh domestik mengalami
fluktuasi dan secara rata-rata meningkat tiap tahunnya dengan rata-rata
pertumbuhan pada periode tahun 1990-1999 lebih tinggi dibandingkan
tahun 1980-1989 dan tahun 2000-2006.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi, konsumsi, dan harga cengkeh
Indonesia adalah variabel harga pupuk, suku bunga, trend waktu,
kebijakan tataniaga berdasarkan BPPC, produksi cengkeh, konsumsi
cengkeh industri rokok kretek, harga cengkeh domestik, produksi rokok
kretek, produksi rokok kretek tahun lalu, luas areal tanam cengkeh tahun
lalu, harga cengkeh domestik tahun lalu, harga cengkeh impor tahun lalu,
dan harga cengkeh ekspor tahun lalu. Produksi, konsumsi, dan harga
cengkeh Indonesia dalam jangka pendek maupun jangka panjang responsif
terhadap perubahan produksi cengkeh dan konsumsi cengkeh industri
rokok kretek.
5. Peningkatan harga cengkeh di tingkat petani dapat meningkatkan produksi
cengkeh melalui peningkatan produktivitas dan luas areal cengkeh, akan
tetapi berdampak terhadap penurunan produksi rokok kretek. Sedangkan
peningkatan harga jual rokok kretek dapat meningkatkan produksi rokok
kretek dan juga meningkatkan produksi cengkeh petani.
125
6.2. Saran Kebijakan
1. Untuk meningkatkan produksi cengkeh melalui peningkatan produktivitas
dan luas areal cengkeh, maka disarankan untuk meningkatkan harga
cengkeh domestik dengan menetapkan harga dasar cengkeh di tingkat
petani.
2. Untuk meningkatkan produksi rokok kretek dan juga meningkatkan
produksi cengkeh petani, maka disarankan untuk meningkatkan harga jual
rokok kretek dengan melakukan efisiensi produksi dan pemasaran rokok
kretek.
6.3. Saran Penelitian
1. Penelitian selanjutnya disarankan untuk menganalisis impor dan ekspor
cengkeh Indonesia yang berkaitan dengan negara asal impor dan negara
tujuan ekspor cengkeh Indonesia.
2. Pada penelitian selanjutnya disarankan untuk menganalisis kebutuhan
cengkeh untuk industri lain, kebutuhan cengkeh untuk rumahtangga, dan
produksi cengkeh yang mencakup masing-masing perkebunan rakyat,
perkebunan besar negara, dan perkebunan besar swasta.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, M. 2004. Dampak Kebijakan Ekonomi terhadap Produksi dan Ekspor Kakao Sulawesi Selatan. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2006. Statistik Cengkeh Indonesia Tahun 1980-
2006. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2006. Statistik Ekspor dan Impor Indonesia Tahun 1980-
2006. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Bintoro, M. H. 1986. Budidaya Cengkeh: Teori dan Praktek. Lembaga Swadaya
Informasi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Departemen Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis
Cengkeh. http://www.deptan.go.id. Diakses pada tanggal 20 Agustus 2007. . 2006. Kebijakan Produksi Cengkeh di Indonesia. Makalah
yang disampaikan pada Semiloka Nasional Penanganan Permasalahan Percengkehan di Indonesia, 9 Februari 2006, Jakarta.
Doll, J. P. and F. Orazem. 1984. Production Economics Theory with Application.
Second Edition. John Wiley and Sons Inc., New York. Fauzi, M. 2007. PDB Pertanian 2006 Lebihi Target. http://media-indonesia.com.
Diakses pada tanggal 30 Agustus 2007. Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Kretek Indonesia. 2006. Prospek
Kebutuhan Cengkeh untuk Pabrik Rokok Kretek. Makalah yang disampaikan pada Semiloka Nasional Penanganan Permasalahan Percengkehan di Indonesia, 9 Februari 2006, Jakarta.
Gujarati, D. 1997. Ekonometrika Dasar. Terjemahan. Erlangga, Jakarta.
Hadiwijaya, T. 1986. Cengkeh: Data dan Petunjuk ke Arah Swa Sembada. PT. Gunung Agung, Jakarta.
Hidayat, T. dan N. Nurdjannah. 1997. Masalah dan Standar Mutu Cengkeh.
Monograf Tanaman Cengkeh Vol. 2. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor.
http://id.wikipedia.org//wiki/Cengkeh.htm. Diakses pada tanggal 21 Agustus
2007. http://warintek.progressio.or.id/perkebunan/cengkeh.htm. Diakses pada tanggal 21
Agustus 2007.
127
http://www.depdag.go.id. Diakses pada tanggal 30 Agustus 2007.
http://www.fao.org. Diakses pada tanggal 30 Agustus 2007.
Husodo, S. Y. 2006. Revitalisasi Petani dan Perkebunan Cengkeh yang Berkelanjutan. Makalah yang disampaikan pada Semiloka Nasional Penanganan Permasalahan Percengkehan di Indonesia, 9 Februari 2006, Jakarta.
Irawan, A. 2006. Analisis Perilaku Instabilitas, Pergerakan Harga, Kesempatan
Kerja, dan Investasi di Sektor Pertanian Indonesia. Aplikasi Vector Error Correction Model. Jurnal Agro Ekonomi (JAE), 24(1):59-94. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
Kemala, S. 1990. Tinjauan Penyebab Turunnya Harga Cengkeh. Prosiding
Simposium I Hasil Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, 8:394-403. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor.
. 2004. Status Tanaman, Produksi, dan Penggunaan Cengkeh. Jurnal
Hasil Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, 10(2):59-65. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor.
, R. Pribadi, dan I. Candra. 2001. Upaya Rehabilitasi untuk
Menyeimbangkan Tingkat Penawaran dan Permintaan Cengkeh dalam Negeri. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, 8(3):1-4. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor.
Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of
Econometrics Methods. Second Edition. Harper Row Publisher Inc., New York.
Lifianthi. 1999. Dampak Kebijakan Ekonomi terhadap Produksi dan Ekspor Kopi
Sumatera Selatan. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Lipsey, R. 1993. Pengantar Mikroekonomi. Terjemahan. Binarupa Akasara,
Jakarta. Malau, M. P. 1998. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Ekspor
Lada Indonesia. Skripsi Sarjana. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Mankiw, N. G. 2000. Teori Makroekonomi. Terjemahan. Erlangga, Jakarta.
Najiyati, S. dan Danarti. 1992. Budidaya dan Penanganan Pasca Panen Cengkeh. Penebar Swadaya, Jakarta.
128
Pitaningrum, D. 2005. Analisis Penawaran dan Permintaan Udang di Pasar Internasional. Skripsi Sarjana. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rumagit, G. A. J. 2007. Kajian Ekonomi Keterkaitan antara Perkembangan
Industri Cengkeh dan Industri Rokok Kretek Nasional. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rumondor, C. L. 1993. Analisis Perkembangan Tataniaga Cengkeh di Sulawesi
Utara. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi kelima. Terjemahan. Erlangga,
Jakarta. Sambudi, S. 2005. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi dan
Ekspor Kopi Arabika Indonesia. Skripsi Sarjana. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sihotang, J. 1996. Analisis Penawaran dan Permintaan Kopi Indonesia di Pasar
Domestik dan Internasional. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sinaga, B. M. dan C. B. D. Pakasi, 1999. Dampak Perubahan Faktor Ekonomi
Terhadap Permintaan dan Penawaran Cengkeh di Indonesia. Laporan Penelitian Staf Jurusan Sosial Ekonomi. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sinuraya, J. F. 2000. Respon Produksi dan Ekspor Karet Sumatera Utara. Tesis
Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Siregar, H. dan Suhendi, 2006. Usahatani Cengkeh, Industri Rokok, dan
Kebijakan Kenaikan Harga Jual Eceran Rokok. Makalah yang disampaikan pada Semiloka Nasional Penanganan Permasalahan Percengkehan di Indonesia, 9 Februari 2006, Jakarta.
Sitepu, R. K. dan Sinaga, B. M. 2006. Aplikasi Model Ekonometrika: Estimasi,
Simulasi, dan Peramalan Menggunakan Program SAS. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Taruli. 2002. Analisis Peluang Ekspor Agribisnis Cengkeh Indonesia. Skripsi
Sarjana. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Wachjutomo, A. 1996. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap
Penawaran dan Permintaan Cengkeh di Indonesia. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
129
Wahyudi, A. 2002. Fenomena Turunnya Harga Cengkeh secara Drastis. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, 8(2):17-19. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor.
Yuhono, J. T. 1997. Peran dan Prospek Cengkeh dalam Perekonomian Nasional.
Monograf Balai Penelitian dan Pengembangan Tanaman Rempah dan Obat, 9(1):39-44. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor.
Zakiah. 2000. Model Respon Produksi dan Ekspor Minyak Nilam Indonesia:
Suatu Analisis Simulasi. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
LAMPIRAN
130
Lampiran 1. Kebijakan Pemerintah pada Industri Cengkeh di Indonesia
Tanggal Surat Keputusan Tentang
28 Desember 1969 Keppres RI tahun 1969 Impor cengkeh
25 Juli 1970 SK Menperdag No. 167 tahun 1970
Pelaksanaan Keppres RI tanggal 28 Desember 1969 dengan menetapkan Badan Pengadaan Cengkeh (BPC) sebagai badan tunggal yang dapat melakukan pengadaan dan penyaluran cengkeh di dalam negeri.
Tahun 1980 Keppres No. 8 tahun 1980 Tataniaga cengkeh hasil produksi dalam negeri yang mengatur harga dasar dan tataniaga cengkeh dalam negeri.
Tahun 1990 SK Menperdag No.306 tahun 1990
Pembentukan Badan Peyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC).
Tahun 1990 SK Menperdag No. 307 tahun 1990
Pembentukan Badan Cengkeh Nasional (BCN).
23 Januari 1991 SK Menperdag No. 23/KP/I/1991 Struktur harga pembelian cengkeh dari petani, harga pembelian dari KUD dan harga penyerahan ke BPPC.
30 Januari 1991 SKB Dirjen Perdagangan Dalam Negeri dan Dirjen Bina Usaha Koperasi No. 1 tahun 1991
Harga pasti menurut tingkat kadar kotoran dan kandungan air.
15 Mei 1991 SK Menperdag No. 125 tahun 1991
Menentukan bahwa cengkeh adalah barang yang diawasi, penyimpanan, pemindahan dan pengangkutan harus dengan ijin resmi.
131
Lampiran 1. Lanjutan
28 November 1991 SKB Menkeu dan Menperdag No. 307 tahun 1991
Menetapkan keharusan industri sigaret kretek untuk menyertakan tanda bukti pembelian cengkeh dari BPPC dalam pemesanan pita cukai sigaret kratek.
Tahun1992 Inpres No. 1 tahun 1992 Penetapan harga dasar bagi pembelian cengkeh oleh KUD.
11 April 1992 Keppres No. 20 tahun 1992 Tataniaga cengkeh hasil produksi dalam negeri.
22 April 1992 SK Menperdag No. 91/IV/1992 Petunjuk pelaksanaan Keppres No. 20 tahun 1992.
29 April 1992 SKB Dirjen Perdagangan Dalam Negeri dan Dirjen Koperasi No. 03/DAGRI/KPB/IV/1992 dan No. 05/BUK/SKB/IV/1992
Petunjuk pelaksanaan Keppres No. 20 tahun 1992.
Tahun 1996 Inpres No. 4 tahun 1996 Tataniaga cengkeh hasil produksi dalam negeri.
Tahun 1996 SK Menperindag No.114 tahun 1996
Pengaturan kembali mengenai tataniaga cengkeh hasil produksi dalam negeri.
Tahun 1996 SK Menkop /PPK No. 335 tahun 1996
Pengaturan kembali mengenai tataniaga cengkeh hasil produksi dalam negeri.
Tahun 1998* Keppres No. 21 tahun 1998 BPPC resmi dibubarkan dan Keppres No. 20 tahun 1992 tidak berlaku lagi.
5 Juli 2002** Surat Keputusan Menperindag No.528/MPP/Kep/7/2002
Pengendalian Impor Cengkeh.
Sumber: Wachjutomo, 1996 * Sinaga dan Pakasi, 1999 ** http://www.depdag.go.id/ diakses pada tanggal 20 Agustus 2007
132
Lampiran 2. Pohon Industri Cengkeh
Sumber: http://www.deptan.go.id/ diakses pada tanggal 20 Agustus 2007
133
Lampiran 3. Luas Areal Perkebunan Cengkeh Indonesia Menurut Provinsi dan Status Pengusahaan Tahun 2006
No. Provinsi PR
(ha) PBN (ha)
PBS (ha)
Jumlah (ha)
1. Nanggroe Aceh 23 167 - - 23 167 2. Sumatera Utara 3 087 - - 3 087 3. Sumatera Barat 6 601 - - 6 601 4. Riau 18 - - 18 5. Kepulauan Riau 15 042 - - 15 042 6. Jambi 318 - - 318 7. Sumatera Selatan 412 - - 412 8. Bangka Belitung 59 - - 59 9. Bengkulu 1 047 - - 1 047
10. Lampung 7 707 - - 7 707 Sumatera 57 458 - - 57 458 11. DKI. Jakarta - - - - 12. Jawa Barat 32 838 - 1 607 34 445 13. Banten 15 955 - - 15 955 14. Jawa Tengah 40 222 - 1 306 41 528 15. D.I. Yogyakarta 3 089 - - 3 089 16. Jawa Timur 34 280 1 865 3 771 39 916 Jawa 126 384 1 865 6 684 134 934 17. Bali 16 234 - 37 16 271 18. Nusa Tenggara Barat 1 598 - - 1 598 19. Nusa Tenggara Timur 12 647 - - 12 647 Nusa Tenggara 30 480 - 37 30 517 20. Kalimantan Barat 1 597 - - 1 597 21. Kalimantan Tengah 228 - - 228 22. Kalimantan Selatan 1773 - - 1 773 23. Kalimantan Timur 234 - - 234 Kalimantan 3 832 - - 3 832 24. Sulawesi Utara 65 940 - 1 500 67 440 25. Gorontalo 3 071 - - 3 071 26. Sulawesi Tengah 43 058 - - 43 058 27. Sulawesi Selatan 49 960 - - 49 960 28. Sulawesi Barat 2 054 - - 2 054 29. Sulawesi Tenggara 7 757 - - 7 757 Sulawesi 171 840 - 1 500 173 340 30. Maluku 36 458 - - 36 458 31. Maluku Utara 15 869 - - 15 869 32. Irian Jaya Barat 767 - - 767 33. Papua 2 219 - - 2 219 Maluku + Papua 55 314 - - 55 314
Total Indonesia* 445 308 1 865 8 220 455 393 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2006
*): Data Sementara Keterangan:
PR = Perkebunan Rakyat PBN = Perkebunan Besar Negara PBS = Perkebunan Besar Swasta
Lampiran 4. Data yang Digunakan dalam Model
Tahun YCDt ATCt QCDt ICDt XCDt SCDt CCRt QRKt Tt DBPPCt SBIt 1980 83.847 408 102 34 218 000 9 510 39 34227471 30 927.832 52 766 1 0 -2.47 1981 56.759 517 134 29 352 000 14 492 51 29366441 36 158.578 64 255 2 0 6.41 1982 61.802 530 869 32 809 000 7 998 81 32816917 35 136.410 61 673 3 0 3.81 1983 73.044 572 645 41 828 000 3 341 41827662 38 297.632 67 979 4 0 0.54 1984 80.371 608 282 48 888 000 2 1 584 48886418 42 075.802 76 423 5 0 6.99 1985 63.288 663 475 41 990 000 13 725 1 071 42002654 45 951.786 86 588 6 0 10.69 1986 74.529 679 309 50 628 000 2 189 1 818 50628371 51 310.656 99 303 7 0 5.17 1987 95.655 742 269 71 002 000 1 996 1 836 71002160 57 183.432 113 015 8 0 4.87 1988 117.246 692 765 81 224 000 6 2 568 81221438 61 906.330 124 221 9 0 9.83 1989 80.340 701 992 56 398 000 12 1 255 56396757 63 492.854 128 819 10 0 5.67 1990 96.598 692 682 66 912 000 8 1 105 66910903 68 358.564 140 159 11 1 8.34 1991 120.103 668 204 80 253 000 3 1 118 80251885 66 659.056 134 520 12 1 8.51 1992 120.201 608 350 73 124 000 6 794 73123212 68 067.216 138 879 13 1 8.86 1993 117.969 571 047 67 366 000 5 700 67365305 70 252.826 143 886 14 1 -0.69 1994 146.674 534 376 78 379 000 3 670 78378333 70 215.693 143 230 15 1 2.35 1995 179.360 501 823 90 007 000 4 490 90006514 78 598.399 160 366 16 1 4.7 1996 120.963 491 713 59 479 000 0 230 59478770 83 552.410 170 435 17 1 5.79 1997 129.370 457 542 59 192 000 0 356 59191644 87 609.592 180 428 18 1 6.33 1998 156.687 428 735 67 177 000 1 20 157 67156844 83 075.142 165 424 19 1 -42.11 1999 127.214 415 859 52 903 000 22 610 1 776 52923834 87 609.502 169 762 20 0 9.92 2000 144.077 415 598 59 878 000 20 873 4 655 59894218 96 643.692 185 548 21 0 5.18 2001 169.311 429 300 72 685 000 16 899 6 324 72695575 97 508.100 187 332 22 0 5.07 2002 183.651 430 212 79 009 000 796 9 399 79000397 90 675.786 173 909 23 0 2.9 2003 172.881 442 333 76 471 000 172 15 688 76455484 87 343.456 170 597 24 0 3.25 2004 168.480 438 253 73 837 000 9 9 060 73827949 95 343.976 188 292 25 0 1.03 2005 174.554 448 858 78 350 000 1 7 680 78342321 106 124.556 211 249 26 0 -4.36 2006 183.977 455 393 83 782 000 1 9 059 83772942 100 502.438 199 132 27 0 3.69
134
Lampiran 4. Lanjutan
Tahun IHK HCDt HCIt HCXt HPUt HJRKt HXRKt NTKt HCDt-1 HCIt-1 HCXt-1 1980 10.68 93 632.96 59.98 29.05 655.43 1 132.77 102.72 5 936.33 - - - 1981 11.44 79 982.52 72.4 17.48 611.89 1 296.24 104.05 5 620.629 93 632.96 59.98 29.05 1982 12.55 77 689.24 69.9 25.28 717.13 1 714.66 98.024 5 513.944 79 982.52 72.4 17.48 1983 13.99 54 324.52 164.4 20.63 643.32 1 774.48 100.12 7 105.075 77 689.24 69.9 25.28 1984 15.21 59 829.06 184.1 26.78 591.72 2 076.79 90.00 7 074.293 54 324.52 164.4 20.63 1985 15.87 69 313.17 21.76 17.52 630.12 2 206.49 203.76 7 126.654 59 829.06 184.1 26.78 1986 17.27 40 532.72 20.71 12.17 723.8 2 288.01 81.228 9 583.092 69 313.17 21.76 17.52 1987 18.81 34 237.11 37.3 8.814 717.7 2 157.15 53.344 8 782.562 40 532.72 20.71 12.17 1988 19.84 28 830.65 94.92 8.377 831.65 2 121.77 50.882 8 714.718 34 237.11 37.3 8.814 1989 21.02 23 834.44 86.03 7.441 880.11 2 106.85 38.221 8 587.06 28 830.65 94.92 8.377 1990 23.02 27 280.63 78.19 8.002 912.25 2 218.85 38.818 8 258.036 23 834.44 86.03 7.441 1991 25.22 24 385.41 44.94 8.2 872.32 2 284.66 42.891 7 898.493 27 280.63 78.19 8.002 1992 26.46 13 794.41 45.35 5.506 907.03 2 537.53 41.878 7 792.895 24 385.41 44.94 8.2 1993 29.04 8 849.862 61.29 5.455 895.32 2 312.09 36.284 7 265.84 13 794.41 45.35 5.506 1994 31.73 8 446.265 48.32 9.017 819.41 2 389.63 39.471 6 933.501 8 849.862 61.29 5.455 1995 34.47 7 890.92 39.16 10.23 754.28 2 427.91 37.514 6 695.677 8 446.265 48.32 9.017 1996 36.70 7 683.924 0 0.569 899.18 2 423.13 39.131 6 493.188 7 890.92 39.16 10.23 1997 40.75 9 325.153 0 1.524 981.6 2 321.06 35.563 11 411.04 7 683.924 0 0.569 1998 72.39 10 250.03 1.381 0.967 1 540.3 2 026.07 17.069 11 085.79 9 325.153 0 1.524 1999 73.85 27 081.92 2.399 1.247 1 557.2 2 617.91 12.359 9 614.083 10 250.03 1.381 0.967 2000 80.75 38 235.29 3.108 2.203 1 424.1 2 703.81 13.734 11 882.35 27 081.92 2.399 1.247 2001 90.88 63 488.12 1.131 1.856 1 265.4 3 147.67 12.212 11 443.66 38 235.29 3.108 2.203 2002 100.00 64 320.00 0.82 2.763 1 150 3 777.21 11.768 8 940.00 63 488.12 1.131 1.856 2003 105.06 19 979.06 0.836 1.512 1 094.6 3 807.35 11.174 8 057.301 64 320.00 0.82 2.763 2004 113.25 23 461.37 0.785 1.563 1 015.5 3 642.38 9.8949 8 203.091 19 979.06 0.836 1.512 2005 125.09 25 414.5 0.799 1.552 919.34 3 730.65 6.9542 7 914.302 23 461.37 0.785 1.563 2006 141.48 25 354.11 0.707 1.362 848.18 3 461.59 5.6361 6 479.361 25 414.5 0.799 1.552
135
136
Lampiran 4. Lanjutan
Tahun YCDt-1 ATCt-1 ICDt-1 XCDt-1 CCRt-1 QRKt-1 HPUt-1 HJRKt-1 HXRKt-1 NTKt-1 1980 - - - - - - - - - - 1981 83.847 408 102 9 510 39 30 927.832 52 766 655.43 1 132.77 102.72 5 936.33 1982 56.759 517 134 14 492 51 36 158.578 64 255 611.89 1 296.24 104.05 5 620.629 1983 61.802 530 869 7 998 81 35 136.410 61 673 717.13 1 714.66 98.024 5 513.944 1984 73.044 572 645 3 341 38 297.632 67 979 643.32 1 774.48 100.12 7 105.075 1985 80.371 608 282 2 1 584 42 075.802 76 423 591.72 2 076.79 90.00 7 074.293 1986 63.288 663 475 13 725 1 071 45 951.786 86 588 630.12 2 206.49 203.76 7 126.654 1987 74.529 679 309 2 189 1 818 51 310.656 99 303 723.8 2 288.01 81.228 9 583.092 1988 95.655 742 269 1 996 1 836 57 183.432 113 015 717.7 2 157.15 53.344 8 782.562 1989 117.246 692 765 6 2 568 61 906.330 124 221 831.65 2 121.77 50.882 8 714.718 1990 80.340 701 992 12 1 255 63 492.854 128 819 880.11 2 106.85 38.221 8 587.06 1991 96.598 692 682 8 1 105 68 358.564 140 159 912.25 2 218.85 38.818 8 258.036 1992 120.103 668 204 3 1 118 66 659.056 134 520 872.32 2 284.66 42.891 7 898.493 1993 120.201 608 350 6 794 68 067.216 138 879 907.03 2 537.53 41.878 7 792.895 1994 117.969 571 047 5 700 70 252.826 143 886 895.32 2 312.09 36.284 7 265.84 1995 146.674 534 376 3 670 70 215.693 143 230 819.41 2 389.63 39.471 6 933.501 1996 179.360 501 823 4 490 78 598.399 160 366 754.28 2 427.91 37.514 6 695.677 1997 120.963 491 713 0 230 83 552.410 170 435 899.18 2 423.13 39.131 6 493.188 1998 129.370 457 542 0 356 87 609.592 180 428 981.6 2 321.06 35.563 1 1411.04 1999 156.687 428 735 1 20 157 83 075.142 165 424 1 540.3 2 026.07 17.069 1 1085.79 2000 127.214 415 859 22 610 1 776 87 609.502 169 762 1 557.2 2 617.91 12.359 9 614.083 2001 144.077 415 598 20 873 4 655 96 643.692 185 548 1 424.1 2 703.81 13.734 1 1882.35 2002 169.311 429 300 16 899 6 324 97 508.100 187 332 1 265.4 3 147.67 12.212 1 1443.66 2003 183.651 430 212 796 9 399 90 675.786 173 909 1 150.0 3 777.21 11.768 8 940.00 2004 172.881 442 333 172 15 688 87 343.456 170 597 1 094.6 3 807.35 11.174 8 057.301 2005 168.480 438 253 9 9 060 95 343.976 188 292 1 015.5 3 642.38 9.8949 8 203.091 2006 174.554 448 858 1 7 680 106 124.556 211 249 919.34 3 730.65 6.9542 7 914.302
137
Lampiran 4. Lanjutan Keterangan:
YCDt = tingkat produktivitas cengkeh tahun ke-t (kg/ha) ATCt = luas areal cengkeh tahun ke-t (ha) QCDt = produksi cengkeh tahun ke-t (kg) ICDt = volume cengkeh impor tahun ke-t (ton) XCDt = volume cengkeh ekspor tahun ke-t (ton) SCDt = penawaran cengkeh tahun ke-t (ton) CCRt = konsumsi cengkeh industri rokok kretek tahun ke-t (ton) QRKt = produksi rokok kretek tahun ke-t (juta batang) Tt = trend waktu DBPPCt = dummy kebijakan tataniaga berdasarkan BPPC: 1=BPPC,
0=tanpa BPPC SBIt = suku bunga tahun ke-t (%) IHK = indeks harga konsumen Indonesia (2002=100) HCDt = harga cengkeh domestik tahun ke-t (Rp/kg) HCIt = harga cengkeh impor tahun ke-t (US$/kg) HCXt = harga cengkeh ekspor tahun ke-t (US$/kg) HPUt = harga pupuk tahun ke-t (Rp/kg) HJRKt = harga jual rokok kretek tahun ke-t (Rp/bungkus) HXRKt = harga ekspor rokok kretek tahun ke-t (US$/kg) NTKt = nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika tahun ke-t
(Rp/US$) HCDt-1 = harga cengkeh domestik tahun ke-(t-1) HCIt-1 = harga cengkeh impor tahun ke-(t-1) HCXt-1 = harga cengkeh ekspor tahun ke-(t-1) YCDt-1 = tingkat produktivitas cengkeh tahun ke-(t-1) ATCt-1 = luas areal tanam cengkeh tahun ke-(t-1) ICDt-1 = volume cengkeh impor tahun ke-(t-1) XCDt-1 = volume cengkeh ekspor tahun ke-(t-1) CCRt-1 = konsumsi cengkeh industri rokok kretek tahun ke-(t-1) QRKt-1 = produksi rokok kretek tahun ke-(t-1) HPUt-1 = harga pupuk tahun ke-(t-1) HJRKt-1 = harga jual rokok kretek tahun ke-(t-1) HXRKt-1 = harga ekspor rokok kretek tahun ke-(t-1) NTKt-1 = nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika tahun ke-(t-1)
138
Lampiran 5. Program Komputer Pendugaan Model Produksi, Konsumsi, dan Harga Cengkeh Indonesia Menggunakan SAS Version 9.1 Prosedur SYSLIN
OPTIONS NODATE NONUMBER; DATA CENGKEH; SET work. Data22; /* create data */ YCDt =(QCDt/ATCt); SCDt =(QCDt+ICDt-XCDt); /* create variabel dummy */ if 1990 =< thn <= 1998 then DBPPCt=1; else DBPPCt=0; /* merilkan data nominal */ HCDt =(HDt/IHKt)*100; HCXt =(HXt/IHKt)*100; HCIt =(HIt/IHKt)*100; HPUt =(HPt/IHKt)*100; NTKt =(NTt/IHKt)*100 ;HJRKt =(HJKt/IHKt)*100; HXRKt =(HXKt/IHKt)*100; /* create variabel lag */ HCDt1 = lag(HCDt); HCXt1 = lag(HCXt); HCIt1 = lag(HCIt); YCDt1 = lag(YCDt); ATCt1 = lag(ATCt); CCRt1 = lag(CCRt); QRKt1 = lag(QRKt); ICDt1 = lag(ICDt); XCDt1 = lag(XCDt); HPUt1 = lag(HPUt); NTKt1 = lag(NTKt); HJRKt1= lag(HJRKt); HXRKt1= lag(HXRKt); /* create data baru */ HCDtf = HCDt1/HCDt; HPUtd = ((HPUt-HPUt1)/HPUt1)*100; HJRKta= HJRKt-HJRKt1; HXRKtd= ((HXRKt-HXRKt1)/HXRKt1)*100; NTKta = NTKt-NTKt1; NTKtc = NTKt1/NTKt; /* create deskripsi variabel */ LABEL THN ='TAHUN' HCDt ='HARGA CENGKEH DOMESTIK' HCDtf ='RASIO HCDt1 DENGAN HCDt' HCXt ='HARGA CENGKEH EKSPOR' HCIt ='HARGA CENGKEH IMPOR' NTKt ='NILAI TUKAR Rp/US$' NTKta ='SELISIH NTKt DENGAN NTKt1' NTKtc ='RASIO NTKt1 DENGAN NTKt'
139
Lampiran 5. Lanjutan HJRKt ='HARGA JUAL ROKOK KRETEK' HJRKta ='SELISIH HJRKt DENGAN HJRKt1' HXRKt ='HARGA EKSPOR ROKOK KRETEK' HXRKtd ='RASIO (HXRKt-HXRKt1) DENGAN HXRKt1' QCDt ='PRODUKSI CENGKEH' ATCt ='AREAL TANAM CENGKEH' YCDt ='PRODUKTIVITAS CENGKEH' XCDt ='EKSPOR CENGKEH' ICDt ='IMPOR CENGKEH' SCDt ='PENAWARAN CENGKEH' CCRt ='KONSUMSI CENGKEH' QRKt ='PRODUKSI ROKOK KRETEK' HPUt ='HARGA PUPUK' HPUtd ='RASIO (HPUt-HPUt1) DENGAN HPUt1' SBIt ='SUKU BUNGA’ DBPPCt ='DUMMY KEBIJAKAN TATANIAGA
CENGKEH:1=BPPC,0=TANPA BPPC' Tt ='TREND WAKTU' HCDt1 ='LAG DARI HCDt' HCXt1 ='LAG DARI HCXt' HCIt1 ='LAG DARI HCIt' YCDt1 ='LAG DARI YCDt' ATCt1 ='LAG DARI ATCt' CCRt1 ='LAG DARI CCRt' QRKt1 ='LAG DARI QRKt' ICDt1 ='LAG DARI ICDt' XCDt1 ='LAG DARI XCDt' HXRKt1 ='LAG DARI HXRKt' HJRKt1 ='LAG DARI HJRKt'; RUN; PROC SYSLIN OLS DATA=CENGKEH OUTEST=HASIL; ENDOGENOUS YCDt ATCt QCDt ICDt XCDt SCDt CCRt QRKt HCDt HCIt
HCXt; INSTRUMENTS NTKt HJRKt HXRKt SBIt HPUt DBPPCt Tt HCDt1 HCXt1
HCIt1 YCDt1 ATCt1 CCRt1 QRKt1 ICDt1 XCDt1; /* persamaan struktural */ MODEL YCDt = HCDt ATCt HPUtd SBIt Tt DBPPCt YCDt1/DW; MODEL ATCt = HCDt HPUt SBIt Tt DBPPCt ATCt1/DW; MODEL ICDt = HCIt NTKt QCDt CCRt Tt DBPPCt ICDt1/DW; MODEL XCDt = HCXt NTKt QCDt SBIt Tt XCDt1/DW; MODEL CCRt = HCDtf QRKt Tt CCRt1/DW; MODEL QRKt = HCDt HJRKta HXRKtd Tt QRKt1/DW; MODEL HCDt = HCIt QCDt CCRt Tt DBPPCt HCDt1/DW; MODEL HCIt = ICDt1 NTKta HCIt1/DW; MODEL HCXt = XCDt NTKtc HCXt1/DW; /* persamaan identitas */ IDENTITY QCDt = QCDt + 0; I DENTITY SCDt = QCDt + ICDt - XCDt;
RUN;
140
Lampiran 6. Hasil Pendugaan Model Produksi, Konsumsi, dan Harga Cengkeh Indonesia Tahun 1999-2006
The SAS System The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation Model YCDt Dependent Variable YCDt Label PRODUKTIVITAS CENGKEH Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 7 39278.07 5611.152 22.22 <.0001 Error 18 4545.189 252.5105 Corrected Total 25 43823.25 Root MSE 15.89058 R-Square 0.89628 Dependent Mean 123.65779 Adj R-Sq 0.85595 Coeff Var 12.85045 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 20.59432 54.13842 0.38 0.7081 Intercept HCDt 1 0.000119 0.000275 0.43 0.6714 HARGA CENGKEH DOMESTIK ATCt 1 0.000033 0.000056 0.59 0.5649 AREAL TANAM CENGKEH HPUtd 1 -0.58634 0.321841 -1.82 0.0851 RASIO (HPUt-HPUt1) DENGAN HPUt1 SBIt 1 -0.86052 0.504978 -1.70 0.1056 SUKU BUNGA Tt 1 4.474771 1.185594 3.77 0.0014 TREND WAKTU DBPPCt 1 13.48432 10.02484 1.35 0.1953 DUMMY KEBIJAKAN TATANIAGA CENGKEH:1=BPPC, 0=TANPA BPPC YCDt1 1 0.128549 0.215373 0.60 0.5580 LAG DARI YCDt Durbin-Watson 2.156306 Number of Observations 26 First-Order Autocorrelation -0.08616
Lampiran 6. Lanjutan
141
The SAS System The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation Model ATCt Dependent Variable ATCt Label AREAL TANAM CENGKEH Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 6 2.799E11 4.666E10 87.82 <.0001 Error 19 1.009E10 5.3128E8 Corrected Total 25 2.9E11 Root MSE 23049.5526 R-Square 0.96520 Dependent Mean 543808.385 Adj R-Sq 0.95421 Coeff Var 4.23854 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 150658.6 64140.96 2.35 0.0298 Intercept HCDt 1 0.259961 0.397084 0.65 0.5205 HARGA CENGKEH DOMESTIK HPUt 1 -44.6748 24.82704 -1.80 0.0879 HARGA PUPUK SBIt 1 -344.156 554.3488 -0.62 0.5421 SUKU BUNGA Tt 1 -1775.11 1230.835 -1.44 0.1655 TREND WAKTU DBPPCt 1 -31117.5 14005.16 -2.22 0.0386 DUMMY KEBIJAKAN TATANIAGA CENGKEH:1=BPPC, 0=TANPA BPPC ATCt1 1 0.855379 0.069739 12.27 <.0001 LAG DARI ATCt Durbin-Watson 2.609366 Number of Observations 26 First-Order Autocorrelation -0.34844
Lampiran 6. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation Model ICDt
142
Dependent Variable ICDt Label IMPOR CENGKEH Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 7 7.4129E8 1.059E8 3.38 0.0176 Error 18 5.6428E8 31348990 Corrected Total 25 1.3056E9 Root MSE 5599.01685 R-Square 0.56779 Dependent Mean 3915.92308 Adj R-Sq 0.39971 Coeff Var 142.98077 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 5680.138 10271.15 0.55 0.5871 Intercept HCIt 1 -41.8252 35.10517 -1.19 0.2490 HARGA CENGKEH IMPOR NTKt 1 -0.03774 0.900922 -0.04 0.9670 NILAI TUKAR Rp/US$ QCDt 1 -0.00024 0.000106 -2.29 0.0344 PRODUKSI CENGKEH CCRt 1 0.435373 0.319646 1.36 0.1900 KONSUMSI CENGKEH Tt 1 -1040.19 835.6195 -1.24 0.2292 TREND WAKTU DBPPCt 1 -3634.28 2903.286 -1.25 0.2267 DUMMY KEBIJAKAN TATANIAGA CENGKEH:1=BPPC, 0=TANPA BPPC ICDt1 1 0.231185 0.192164 1.20 0.2445 LAG DARI ICDt Durbin-Watson 1.679382 Number of Observations 26 First-Order Autocorrelation 0.150026
Lampiran 6. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation Model XCDt Dependent Variable XCDt Label EKSPOR CENGKEH
143
Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 6 5.0746E8 84576672 10.00 <.0001 Error 19 1.6075E8 8460460 Corrected Total 25 6.6821E8 Root MSE 2908.68705 R-Square 0.75943 Dependent Mean 3841.00000 Adj R-Sq 0.68346 Coeff Var 75.72734 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 -6674.94 6490.103 -1.03 0.3166 Intercept HCXt 1 191.7693 165.6288 1.16 0.2613 HARGA CENGKEH EKSPOR NTKt 1 0.296799 0.415823 0.71 0.4840 NILAI TUKAR Rp/US$ QCDt 1 0.000031 0.000054 0.58 0.5703 PRODUKSI CENGKEH SBIt 1 -328.238 65.21059 -5.03 <.0001 SUKU BUNGA Tt 1 336.7863 188.8210 1.78 0.0905 TREND WAKTU XCDt1 1 0.201511 0.162895 1.24 0.2311 LAG DARI XCDt Durbin-Watson 1.476486 Number of Observations 26 First-Order Autocorrelation 0.239165
Lampiran 6. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation Model CCRt Dependent Variable CCRt Label KONSUMSI CENGKEH Analysis of Variance
144
Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 1.134E10 2.8357E9 1278.75 <.0001 Error 21 46568872 2217565 Corrected Total 25 1.139E10 Root MSE 1489.14920 R-Square 0.99591 Dependent Mean 71909.7648 Adj R-Sq 0.99513 Coeff Var 2.07086 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 13057.16 2498.037 5.23 <.0001 Intercept HCDtf 1 -1564.28 600.7550 -2.60 0.0166 RASIO HCDt1 DENGAN HCDt QRKt 1 0.334210 0.030577 10.93 <.0001 PRODUKSI ROKOK KRETEK Tt 1 797.5481 206.3757 3.86 0.0009 TREND WAKTU CCRt1 1 0.024460 0.078367 0.31 0.7580 LAG DARI CCRt Durbin-Watson 1.114601 Number of Observations 26 First-Order Autocorrelation 0.399674
Lampiran 6. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation Model QRKt Dependent Variable QRKt Label PRODUKSI ROKOK KRETEK Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F
145
Model 5 4.69E10 9.379E9 116.60 <.0001 Error 20 1.6087E9 80437014 Corrected Total 25 4.85E10 Root MSE 8968.66846 R-Square 0.96683 Dependent Mean 141747.077 Adj R-Sq 0.95854 Coeff Var 6.32723 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 46268.62 13661.76 3.39 0.0029 Intercept HCDt 1 -0.21976 0.125210 -1.76 0.0945 HARGA CENGKEH DOMESTIK HJRKta 1 2.089508 9.509508 0.22 0.8283 SELISIH HJRKt DENGAN HJRKt1 HXRKtd 1 21.12576 58.68568 0.36 0.7226 RASIO (HXRKt-HXRKt1) DENGAN HXRKt1 Tt 1 2360.414 976.0139 2.42 0.0252 TREND WAKTU QRKt1 1 0.503855 0.175278 2.87 0.0094 LAG DARI QRKt Durbin-Watson 1.855126 Number of Observations 26 First-Order Autocorrelation 0.031674
Lampiran 6. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation Model HCDt Dependent Variable HCDt Label HARGA CENGKEH DOMESTIK Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 6 1.044E10 1.7398E9 11.94 <.0001 Error 19 2.7696E9 1.4577E8 Corrected Total 25 1.321E10
146
Root MSE 12073.4889 R-Square 0.79032 Dependent Mean 33608.2460 Adj R-Sq 0.72410 Coeff Var 35.92419 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 -3955.37 36835.10 -0.11 0.9156 Intercept HCIt 1 16.68620 76.71464 0.22 0.8301 HARGA CENGKEH IMPOR QCDt 1 -0.00029 0.000226 -1.30 0.2106 PRODUKSI CENGKEH CCRt 1 0.931464 0.695650 1.34 0.1964 KONSUMSI CENGKEH Tt 1 -2202.82 1714.607 -1.28 0.2143 TREND WAKTU DBPPCt 1 -9235.36 7548.849 -1.22 0.2361 DUMMY KEBIJAKAN TATANIAGA CENGKEH:1=BPPC, 0=TANPA BPPC HCDt1 1 0.658692 0.196657 3.35 0.0034 LAG DARI HCDt Durbin-Watson 2.26586 Number of Observations 26 First-Order Autocorrelation -0.13453
Lampiran 6. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation Model HCIt Dependent Variable HCIt Label HARGA CENGKEH IMPOR Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 27434.27 9144.757 5.71 0.0048 Error 22 35229.60 1601.345 Corrected Total 25 62663.87 Root MSE 40.01681 R-Square 0.43780 Dependent Mean 41.56703 Adj R-Sq 0.36114
147
Coeff Var 96.27056 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 10.48215 12.48567 0.84 0.4102 Intercept ICDt1 1 0.000319 0.001146 0.28 0.7835 LAG DARI ICDt NTKta 1 0.002300 0.005657 0.41 0.6883 SELISIH NTKt DENGAN NTKt1 HCIt1 1 0.676709 0.166573 4.06 0.0005 LAG DARI HCIt Durbin-Watson 1.709384 Number of Observations 26 First-Order Autocorrelation 0.139477
Lampiran 6. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation Model HCXt Dependent Variable HCXt Label HARGA CENGKEH EKSPOR Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 1120.133 373.3778 22.28 <.0001 Error 22 368.6053 16.75479 Corrected Total 25 1488.739 Root MSE 4.09326 R-Square 0.75240 Dependent Mean 8.00095 Adj R-Sq 0.71864 Coeff Var 51.15968 Parameter Estimates Parameter Standard Variable
148
Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 0.884444 6.065744 0.15 0.8854 Intercept XCDt 1 -0.00013 0.000188 -0.67 0.5086 EKSPOR CENGKEH NTKtc 1 0.894839 5.900776 0.15 0.8808 RASIO NTKt1 DENGAN NTKt HCXt1 1 0.738924 0.109588 6.74 <.0001 LAG DARI HCXt Durbin-Watson 2.405645 Number of Observations 26 First-Order Autocorrelation -0.24912
Lampiran 7. Hasil Dugaan Variabel Penjelas yang Berpengaruh Nyata terhadap Variabel Endogen dalam Model Produksi, Konsumsi, dan Harga Cengkeh Indonesia
Variabel Endogen Variabel
Penjelas YCDt ATCt ICDt XCDt CCRt QRKt HCDt HCIt HCXt QCDt √ ATCt ICDt XCDt CCRt √ √ QRKt √ HCDt √ √ HCIt HCXt HPUt √ √ SBIt √ √ Tt √ √ √ √ √
DBPPCt √ √ HJRKt HXRKt NTKt Lag
Endogen √ √ √ √ √
149
150
Lampiran 8. Program Komputer Validasi Model Produksi, Konsumsi, dan Harga Cengkeh Indonesia Tahun 1999-2006 Menggunakan SAS Version 9.1 Prosedur SIMNLIN
OPTIONS NODATE NONUMBER; DATA CENGKEH; SET work. Data22; /* create data */ YCDt =(QCDt/ATCt); SCDt =(QCDt+ICDt-XCDt); /* create variabel dummy */ if 1990 =< thn <= 1998 then DBPPCt=1; else DBPPCt=0; /* merilkan data nominal */ HCDt =(HDt/IHKt)*100; HCXt =(HXt/IHKt)*100; HCIt =(HIt/IHKt)*100; HPUt =(HPt/IHKt)*100; NTKt =(NTt/IHKt)*100; HJRKt =(HJKt/IHKt)*100; HXRKt =(HXKt/IHKt)*100; /* create variabel lag */ HCDt1 = lag(HCDt); HCXt1 = lag(HCXt); HCIt1 = lag(HCIt); YCDt1 = lag(YCDt); ATCt1 = lag(ATCt); CCRt1 = lag(CCRt); QRKt1 = lag(QRKt); ICDt1 = lag(ICDt); XCDt1 = lag(XCDt); HPUt1 = lag(HPUt); NTKt1 = lag(NTKt); HJRKt1= lag(HJRKt); HXRKt1= lag(HXRKt); /* create data baru */ HCDtf = HCDt1/HCDt; HPUtd = ((HPUt-HPUt1)/HPUt1)*100; HJRKta= HJRKt-HJRKt1; HXRKtd= ((HXRKt-HXRKt1)/HXRKt1)*100; NTKta = NTKt-NTKt1; NTKtc = NTKt1/NTKt; /* create deskripsi variabel */ LABEL THN ='TAHUN' HCDt ='HARGA CENGKEH DOMESTIK' HCDtf ='RASIO HCDt1 DENGAN HCDt' HCXt ='HARGA CENGKEH EKSPOR' HCIt ='HARGA CENGKEH IMPOR' NTKt ='NILAI TUKAR Rp/US$' NTKta ='SELISIH NTKt DENGAN NTKt1'
151
Lampiran 8. Lanjutan NTKtc ='RASIO NTKt1 DENGAN NTKt' HJRKt ='HARGA JUAL ROKOK KRETEK' HJRKta ='SELISIH HJRKt DENGAN HJRKt1' HXRKt ='HARGA EKSPOR ROKOK KRETEK' HXRKtd ='RASIO (HXRKt-HXRKt1) DENGAN HXRKt1' QCDt ='PRODUKSI CENGKEH' ATCt ='AREAL TANAM CENGKEH' YCDt ='PRODUKTIVITAS CENGKEH' XCDt ='EKSPOR CENGKEH' ICDt ='IMPOR CENGKEH' SCDt ='PENAWARAN CENGKEH' CCRt ='KONSUMSI CENGKEH' QRKt ='PRODUKSI ROKOK KRETEK' HPUt ='HARGA PUPUK' HPUtd ='RASIO (HPUt-HPUt1) DENGAN HPUt1' SBIt ='SUKU BUNGA' DBPPCt ='DUMMY KEBIJAKAN TATANIAGA CENGKEH:1=BPPC,
0=TANPA BPPC' Tt ='TREND WAKTU' HCDt1 ='LAG DARI HCDt' HCXt1 ='LAG DARI HCXt' HCIt1 ='LAG DARI HCIt' YCDt1 ='LAG DARI YCDt' ATCt1 ='LAG DARI ATCt' CCRt1 ='LAG DARI CCRt' QRKt1 ='LAG DARI QRKt' ICDt1 ='LAG DARI ICDt' XCDt1 ='LAG DARI XCDt' HXRKt1 ='LAG DARI HXRKt' HJRKt1 ='LAG DARI HJRKt';
RUN; PROC SIMNLIN DATA=CENGKEH SIMULATE STATS OUTPREDICT THEIL; ENDOGENOUS YCDt ATCt QCDt ICDt XCDt SCDt CCRt QRKt HCDt HCIt
HCXt; INSTRUMENTS NTKt HJRKt HXRKt SBIt HPUt DBPPCt Tt HCDt1 HCXt1
HCIt1 YCDt1 ATCt1 CCRt1 QRKt1 ICDt1 XCDt1; PARM A0 20.59432 A1 0.000119 A2 0.000033 A3 -0.58634 A4 -0.86052
A5 4.474771 A6 13.48432 A7 0.128549 B0 150658.6 B1 0.259961 B2 -44.6748 B3 -344.156 B4 -1775.11 B5 -31117.5 B6 0.855379 C0 5680.138 C1 -41.8252 C2 -0.03774 C3 -0.00024 C4 0.435373 C5 -1040.19 C6 3634.28 C7 0.231185 -D0 -6674.94 D1 191.7693 D2 0.296799 D3 0.000031 D4 -328.238 D5 336.7863 D6 0.201511 E0 13057.16 E1 -1564.28 E2 0.334210 E3 797.5481 E4 0.024460 F0 46268.62 F1 -0.21976 F2 2.089508 F3 21.12576 F4 2360.414 F5 0.503855 G0 -3955.37 G1 16.68620 G2 -0.00029 G3 0.931464 G4 -2202.82 G5 -9235.36 G6 0.658692 H0 10.48215 H1 0.000319 H2 0.002300 H3 0.676709 I0 0.884444 I1 -0.00013 I2 0.894839 I3 0.738924;
152
Lampiran 8. Lanjutan YCDt = A0 + A1*HCDt + A2*ATCt + A3*(((HPUt-HPUt1)/HPUt1)*100) +
A4*SBIt + A5*Tt + A6*DBPPCt + A7*YCDt1; ATCt = B0 + B1*HCDt + B2*HPUt + B3*SBIt + B4*Tt + B5*DBPPCt +
B6*ATCt1; ICDt = C0 + C1*HCIt + C2*NTKt + C3*QCDt + C4*CCRt + C5*Tt +
C6*DBPPCt + C7*ICDt1; XCDt = D0 + D1*HCXt + D2*NTKt + D3*QCDt + D4*SBIt + D5*Tt +
D6*XCDt1; CCRt = E0 + E1*(HCDt1/HCDt) + E2*QRKt + E3*Tt + E4*CCRt1; QRKt = F0 + F1*HCDt + F2*(HJRKt-HJRKt1) + F3*(((HXRKt-
HXRKt1)/HXRKt1)*100) + F4*Tt + F5*QRKt1; HCDt = G0 + G1*HCIt + G2*QCDt + G3*CCRt + G4*Tt + G5*DBPPCt +
G6*HCDt1; HCIt = H0 + H1*ICDt1 + H2*(NTKt-NTKt1) + H3*HCIt1; HCXt = I0 + I1*XCDt + I2*(NTKt1/NTKt) + I3*HCXt1; QCDt = YCDt*ATCt; SCDt = QCDt + ICDt - XCDt; HCDt1 = lag(HCDt); HCXt1 = lag(HCXt); HCIt1 = lag(HCIt); YCDt1 = lag(YCDt); ATCt1 = lag(ATCt); CCRt1 = lag(CCRt); QRKt1 = lag(QRKt); ICDt1 = lag(ICDt); XCDt1 = lag(XCDt); HPUt1 = lag(HPUt); NTKt1 = lag(NTKt); HJRKt1= lag(HJRKt); HXRKt1= lag(HXRKt); RANGE THN=1999 TO 2006; RUN;
153
Lampiran 9. Hasil Validasi Model Produksi, Konsumsi, dan Harga Cengkeh Indonesia Tahun 1999-2006
The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables 11 Endogenous 11 Parameters 56 Range Variable THN Equations 11 Number of Statements 24 Program Lag Length 1 The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Data Set Options DATA= CENGKEH Solution Summary Variables Solved 11 Simulation Lag Length 1 Solution Range THN First 1999 Last 2006 Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E-8 Maximum CC 5.839E-9 Maximum Iterations 4 Total Iterations 27 Average Iterations 3.375 Observations Processed Read 9 Lagged 1 Solved 8 First 20 Last 27 Variables YCDt ATCt QCDt ICDt XCDt SCDt CCRt QRKt HCDt HCIt HCXt Solved For
Lampiran 9. Lanjutan The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation
154
Solution Range THN = 1999 To 2006 Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev YCDt 8 8 165.5 19.8405 165.9 17.0417 ATCt 8 8 434476 14483.0 427796 15126.6 QCDt 8 8 72114375 10444625 71159037 9665507 ICDt 8 8 7670.1 10436.8 5242.1 2988.5 XCDt 8 8 7955.1 4073.1 7343.2 1661.8 SCDt 8 8 72114090 10432472 71156936 9661047 CCRt 8 8 95218.9 6488.5 94943.5 5237.7 QRKt 8 8 185728 14460.4 186432 10316.4 HCDt 8 8 35916.8 18053.0 32130.4 4079.9 HCIt 8 8 1.3232 0.9116 26.0067 7.7413 HCXt 8 8 1.7574 0.5037 2.7434 0.4809 Statistics of fit Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS % Variable N Error Error Error % Error Error Error YCDt 8 0.3421 0.6184 9.0810 5.5479 10.3622 6.2430 ATCt 8 -6679.7 -1.5356 6679.7 1.5356 8446.1 1.9426 QCDt 8 -955338 -0.8683 4409390 6.1655 5216612 7.1396 ICDt 8 -2428.0 37843.6 6522.0 37887.9 7944.7 67107.4 XCDt 8 -611.9 23.5902 2640.0 49.2158 3723.7 85.6408 SCDt 8 -957154 -0.8733 4404081 6.1567 5212499 7.1316 CCRt 8 -275.4 -0.0726 4436.6 4.6555 5137.2 5.4461 QRKt 8 703.9 0.6490 8489.3 4.6029 9917.0 5.4233 HCDt 8 -3786.3 5.5841 12716.2 34.6722 16042.3 40.8618 HCIt 8 24.6835 2701.3 24.6835 2701.3 25.8981 3042.0 HCXt 8 0.9859 64.3318 0.9859 64.3318 1.1464 76.5089 Statistics of fit Variable R-Square Label YCDt 0.6883 PRODUKTIVITAS CENGKEH ATCt 0.6113 AREAL TANAM CENGKEH
155
QCDt 0.7149 PRODUKSI CENGKEH ICDt 0.3378 IMPOR CENGKEH XCDt 0.0448 EKSPOR CENGKEH SCDt 0.7147 SUPLAI CENGKEH CCRt 0.2836 KONSUMSI CENGKEH QRKt 0.4625 PRODUKSI ROKOK KRETEK HCDt 0.0975 HARGA CENGKEH DOMESTIK HCIt -921.4 HARGA CENGKEH IMPOR HCXt -4.919 HARGA CENGKEH EKSPOR
Lampiran 9. Lanjutan The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range THN = 1999 To 2006 Theil Forecast Error Statistics MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) YCDt 8 107.4 0.83 0.00 0.00 1.00 0.06 0.94 ATCt 8 71336848 0.93 0.63 0.03 0.34 0.01 0.37 QCDt 8 2.721E13 0.85 0.03 0.02 0.95 0.02 0.95 ICDt 8 63117827 0.84 0.09 0.46 0.44 0.77 0.14 XCDt 8 13865778 0.29 0.03 0.01 0.96 0.37 0.61 SCDt 8 2.717E13 0.85 0.03 0.02 0.95 0.02 0.95 CCRt 8 26391321 0.58 0.00 0.07 0.93 0.05 0.95 QRKt 8 98346552 0.68 0.01 0.00 0.99 0.15 0.84 HCDt 8 2.5736E8 0.44 0.06 0.05 0.89 0.66 0.28 HCIt 8 670.7 -0.67 0.91 0.09 0.00 0.06 0.03 HCXt 8 1.3142 0.19 0.74 0.10 0.16 0.00 0.26 Theil Forecast Error Statistics Inequality Coef Variable U1 U Label YCDt 0.0622 0.0311 PRODUKTIVITAS CENGKEH ATCt 0.0194 0.0098 AREAL TANAM CENGKEH QCDt 0.0717 0.0361 PRODUKSI CENGKEH ICDt 0.6399 0.4328 IMPOR CENGKEH XCDt 0.4222 0.2281 EKSPOR CENGKEH SCDt 0.0716 0.0361 PENAWARAN CENGKEH CCRt 0.0538 0.0270 KONSUMSI CENGKEH QRKt 0.0533 0.0266 PRODUKSI ROKOK KRETEK HCDt 0.4042 0.2227 HARGA CENGKEH DOMESTIK HCIt 16.4517 0.9065 HARGA CENGKEH IMPOR HCXt 0.6301 0.2492 HARGA CENGKEH EKSPOR
156
Lampiran 9. Lanjutan The SAS System The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range THN = 1999 To 2006 Theil Relative Change Forecast Error Statistics Relative Change MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) YCDt 8 0.00413 0.81 0.00 0.02 0.98 0.03 0.97 ATCt 8 0.000396 0.79 0.62 0.01 0.37 0.09 0.29 QCDt 8 0.00574 0.79 0.03 0.02 0.95 0.04 0.92 ICDt 8 24216456 0.99 0.10 0.86 0.04 0.88 0.01 XCDt 8 0.1967 0.85 0.01 0.28 0.71 0.08 0.91 SCDt 8 0.00573 0.79 0.03 0.02 0.95 0.04 0.92 CCRt 8 0.00311 0.62 0.00 0.05 0.94 0.06 0.94 QRKt 8 0.00305 0.63 0.01 0.04 0.96 0.08 0.92 HCDt 8 0.1632 0.78 0.03 0.03 0.94 0.03 0.94 HCIt 8 755.1 -0.24 0.75 0.25 0.00 0.23 0.02 HCXt 8 0.4526 0.50 0.75 0.03 0.22 0.01 0.24 Theil Relative Change Forecast Error Statistics Inequality Coef Variable U1 U Label YCDt 0.5772 0.3024 PRODUKTIVITAS CENGKEH ATCt 0.9292 0.5304 AREAL TANAM CENGKEH QCDt 0.6023 0.3255 PRODUKSI CENGKEH ICDt 0.6156 0.4429 IMPOR CENGKEH XCDt 0.5910 0.2750 EKSPOR CENGKEH
157
SCDt 0.6027 0.3258 PENAWARAN CENGKEH CCRt 0.7530 0.4142 KONSUMSI CENGKEH QRKt 0.7461 0.4070 PRODUKSI ROKOK KRETEK HCDt 0.5849 0.3128 HARGA CENGKEH DOMESTIK HCIt 73.1629 0.9882 HARGA CENGKEH IMPOR HCXt 1.7698 0.5950 HARGA CENGKEH EKSPOR
Lampiran 10. Program Komputer Simulasi Model Produksi, Konsumsi, dan Harga Cengkeh Indonesia Tahun 1999-2006 Menggunakan SAS Version 9.1 Prosedur SIMNLIN
OPTIONS NODATE NONUMBER; DATA CENGKEH; SET work. Data22; /* create data */ YCDt =(QCDt/ATCt); SCDt =(QCDt+ICDt-XCDt); /* create variabel dummy */ if 1990 =< thn <= 1998 then DBPPCt=1; else DBPPCt=0; /* merilkan data nominal */ HCDt =(HDt/IHKt)*100; HCXt =(HXt/IHKt)*100; HCIt =(HIt/IHKt)*100; HPUt =(HPt/IHKt)*100; NTKt =(NTt/IHKt)*100 ;HJRKt =(HJKt/IHKt)*100; HXRKt =(HXKt/IHKt)*100; /* create variabel lag */ HCDt1 = lag(HCDt); HCXt1 = lag(HCXt); HCIt1 = lag(HCIt); YCDt1 = lag(YCDt); ATCt1 = lag(ATCt); CCRt1 = lag(CCRt); QRKt1 = lag(QRKt); ICDt1 = lag(ICDt);
158
XCDt1 = lag(XCDt); HPUt1 = lag(HPUt); NTKt1 = lag(NTKt); HJRKt1= lag(HJRKt); HXRKt1= lag(HXRKt); /* create data baru */ HCDtf = HCDt1/HCDt; HPUtd = ((HPUt-HPUt1)/HPUt1)*100; HJRKta= HJRKt-HJRKt1; HXRKtd= ((HXRKt-HXRKt1)/HXRKt1)*100; NTKta = NTKt-NTKt1; NTKtc = NTKt1/NTKt; /* create deskripsi variabel */ LABEL THN ='TAHUN' HCDt ='HARGA CENGKEH DOMESTIK' HCDtf ='RASIO HCDt1 DENGAN HCDt' HCXt ='HARGA CENGKEH EKSPOR' HCIt ='HARGA CENGKEH IMPOR' NTKt ='NILAI TUKAR Rp/US$' NTKta ='SELISIH NTKt DENGAN NTKt1' Lampiran 10. Lanjutan NTKtc ='RASIO NTKt1 DENGAN NTKt' HJRKt ='HARGA JUAL ROKOK KRETEK' HJRKta ='SELISIH HJRKt DENGAN HJRKt1' HXRKt ='HARGA EKSPOR ROKOK KRETEK' HXRKtd ='RASIO (HXRKt-HXRKt1) DENGAN HXRKt1' QCDt ='PRODUKSI CENGKEH' ATCt ='AREAL TANAM CENGKEH' YCDt ='PRODUKTIVITAS CENGKEH' XCDt ='EKSPOR CENGKEH' ICDt ='IMPOR CENGKEH' SCDt ='PENAWARAN CENGKEH' CCRt ='KONSUMSI CENGKEH' QRKt ='PRODUKSI ROKOK KRETEK' HPUt ='HARGA PUPUK' HPUtd ='RASIO (HPUt-HPUt1) DENGAN HPUt1' SBIt ='SUKU BUNGA' DBPPCt ='DUMMY KEBIJAKAN TATANIAGA CENGKEH:1=BPPC,
0=TANPA BPPC' Tt ='TREND WAKTU' HCDt1 ='LAG DARI HCDt' HCXt1 ='LAG DARI HCXt' HCIt1 ='LAG DARI HCIt' YCDt1 ='LAG DARI YCDt' ATCt1 ='LAG DARI ATCt' CCRt1 ='LAG DARI CCRt' QRKt1 ='LAG DARI QRKt' ICDt1 ='LAG DARI ICDt' XCDt1 ='LAG DARI XCDt' HXRKt1 ='LAG DARI HXRKt' HJRKt1 ='LAG DARI HJRKt'; /* HCDt = HCDt*1.20; */ /* HJRKt = HJRKt*1.20; */
159
/* NTKt = NTKt*1.20; */ /* HPUt = HPUt*1.20; */ /* SBIt = SBIt*1.20; */ RUN; /*TITLE SIMULASI KENAIKAN HARGA CENGKEH DOMESTIK (HCDt) 20% THN
1999-2006;*/ /*TITLE SIMULASI KENAIKAN HARGA JUAL ROKOK KRETEK (HJRKt) 20% THN
1999-2006;*/ /*TITLE SIMULASI DEPRESIASI NILAI TUKAR RUPIAH (NTKt) 20% THN
1999-2006;*/ /*TITLE SIMULASI KENAIKAN HARGA PUPUK (HPUt) 20% THN 1999-2006;*/ /*TITLE SIMULASI KENAIKAN SUKU BUNGA (SBIt) 20% THN 1999-2006;*/ PROC SIMNLIN DATA=CENGKEH SIMULATE STATS; ENDOGENOUS YCDt ATCt QCDt ICDt XCDt SCDt CCRt QRKt HCDt HCIt
HCXt; INSTRUMENTS NTKt HJRKt HXRKt SBIt HPUt DBPPCt Tt HCDt1 HCXt1
HCIt1 YCDt1 ATCt1 CCRt1 QRKt1 ICDt1 XCDt1; Lampiran 10. Lanjutan PARM A0 20.59432 A1 0.000119 A2 0.000033 A3 -0.58634 A4 -0.86052
A5 4.474771 A6 13.48432 A7 0.128549 B0 150658.6 B1 0.259961 B2 -44.6748 B3 -344.156 B4 -1775.11 B5 -31117.5 B6 0.855379 C0 5680.138 C1 -41.8252 C2 -0.03774 C3 -0.00024 C4 0.435373 C5 -1040.19 C6 3634.28 C7 0.231185 -D0 -6674.94 D1 191.7693 D2 0.296799 D3 0.000031 D4 -328.238 D5 336.7863 D6 0.201511 E0 13057.16 E1 -1564.28 E2 0.334210 E3 797.5481 E4 0.024460 F0 46268.62 F1 -0.21976 F2 2.089508 F3 21.12576 F4 2360.414 F5 0.503855 G0 -3955.37 G1 16.68620 G2 -0.00029 G3 0.931464 G4 -2202.82 G5 -9235.36 G6 0.658692 H0 10.48215 H1 0.000319 H2 0.002300 H3 0.676709 I0 0.884444 I1 -0.00013 I2 0.894839 I3 0.738924;
YCDt = A0 + A1*HCDt + A2*ATCt + A3*(((HPUt-HPUt1)/HPUt1)*100) +
A4*SBIt + A5*Tt + A6*DBPPCt + A7*YCDt1; ATCt = B0 + B1*HCDt + B2*HPUt + B3*SBIt + B4*Tt + B5*DBPPCt +
B6*ATCt1; ICDt = C0 + C1*HCIt + C2*NTKt + C3*QCDt + C4*CCRt + C5*Tt +
C6*DBPPCt + C7*ICDt1; XCDt = D0 + D1*HCXt + D2*NTKt + D3*QCDt + D4*SBIt + D5*Tt +
D6*XCDt1; CCRt = E0 + E1*(HCDt1/HCDt) + E2*QRKt + E3*Tt + E4*CCRt1; QRKt = F0 + F1*HCDt + F2*(HJRKt-HJRKt1) + F3*(((HXRKt-
HXRKt1)/HXRKt1)*100) + F4*Tt + F5*QRKt1; HCDt = G0 + G1*HCIt + G2*QCDt + G3*CCRt + G4*Tt + G5*DBPPCt +
G6*HCDt1; HCIt = H0 + H1*ICDt1 + H2*(NTKt-NTKt1) + H3*HCIt1; HCXt = I0 + I1*XCDt + I2*(NTKt1/NTKt) + I3*HCXt1; QCDt = YCDt*ATCt;
160
SCDt = QCDt + ICDt - XCDt; HCDt1 = lag(HCDt); HCXt1 = lag(HCXt); HCIt1 = lag(HCIt); YCDt1 = lag(YCDt); ATCt1 = lag(ATCt); CCRt1 = lag(CCRt); QRKt1 = lag(QRKt); ICDt1 = lag(ICDt); XCDt1 = lag(XCDt); HPUt1 = lag(HPUt); NTKt1 = lag(NTKt); HJRKt1= lag(HJRKt); HXRKt1= lag(HXRKt); RANGE THN=1999 TO 2006; RUN;
Lampiran 11. Hasil Simulasi Model Produksi, Konsumsi, dan Harga Cengkeh Indonesia Tahun 1999-2006
SIMULASI KENAIKAN HARGA CENGKEH DOMESTIK (HCDt) 20% TAHUN 1999-2006 The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range THN = 1999 To 2006 Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev YCDt 8 8 165.5 19.8405 167.8 16.4233 ATCt 8 8 434476 14483.0 440144 17037.8 QCDt 8 8 72114375 10444625 74096028 9894738 ICDt 8 8 7670.1 10436.8 3335.0 3088.9 XCDt 8 8 7955.1 4073.1 7446.4 1655.9 SCDt 8 8 72114090 10432472 74091917 9890375 CCRt 8 8 95218.9 6488.5 93024.6 6246.0 QRKt 8 8 185728 14460.4 181640 13237.0 HCIt 8 8 1.3232 0.9116 24.6657 7.0177 HCXt 8 8 1.7574 0.5037 2.7077 0.4617 SIMULASI KENAIKAN HARGA PUPUK (HPUt) 20% TAHUN 1999-2006 The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range THN = 1999 To 2006 Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev
161
YCDt 8 8 165.5 19.8405 165.0 16.8524 ATCt 8 8 434476 14483.0 393602 9526.0 QCDt 8 8 72114375 10444625 65002222 7500569 ICDt 8 8 7670.1 10436.8 6835.8 2451.1 XCDt 8 8 7955.1 4073.1 7129.2 1594.2 SCDt 8 8 72114090 10432472 65001928 7496710 CCRt 8 8 95218.9 6488.5 94588.9 5008.4 QRKt 8 8 185728 14460.4 185309 9631.7 HCDt 8 8 35916.8 18053.0 35242.9 4844.1 HCIt 8 8 1.3232 0.9116 26.8638 8.2259 HCXt 8 8 1.7574 0.5037 2.8085 0.5097 SIMULASI KENAIKAN SUKU BUNGA (SBIt) 20% TAHUN 1999-2006 The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range THN = 1999 To 2006 Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev YCDt 8 8 165.5 19.8405 165.2 17.6681 ATCt 8 8 434476 14483.0 427031 15256.7 QCDt 8 8 72114375 10444625 70763839 9922013 ICDt 8 8 7670.1 10436.8 5341.0 3058.8 XCDt 8 8 7955.1 4073.1 7085.2 1930.4 SCDt 8 8 72114090 10432472 70762095 9917224 CCRt 8 8 95218.9 6488.5 94911.9 5236.6 QRKt 8 8 185728 14460.4 186340 10318.3 HCDt 8 8 35916.8 18053.0 32354.7 4126.0 HCIt 8 8 1.3232 0.9116 26.0850 7.7732 HCXt 8 8 1.7574 0.5037 2.8506 0.4919
162
Lampiran 11. Lanjutan SIMULASI KENAIKAN HARGA JUAL ROKOK KRETEK (HJRKt) 20% TAHUN 1999-2006 The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range THN = 1999 To 2006 Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev YCDt 8 8 165.5 19.8405 166.0 17.0415 ATCt 8 8 434476 14483.0 427887 15159.3 QCDt 8 8 72114375 10444625 71181751 9672778 ICDt 8 8 7670.1 10436.8 5258.5 3009.9 XCDt 8 8 7955.1 4073.1 7344.0 1662.0 SCDt 8 8 72114090 10432472 71179666 9668298 CCRt 8 8 95218.9 6488.5 94984.9 5198.0 QRKt 8 8 185728 14460.4 186553 10205.0 HCDt 8 8 35916.8 18053.0 32226.1 4122.5 HCIt 8 8 1.3232 0.9116 26.0233 7.7484 HCXt 8 8 1.7574 0.5037 2.7431 0.4808 SIMULASI DEPRESIASI NILAI TUKAR RUPIAH (NTKt) 20% TAHUN 1999-2006 The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range THN = 1999 To 2006 Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev YCDt 8 8 165.5 19.8405 165.7 17.0401 ATCt 8 8 434476 14483.0 427786 15117.8 QCDt 8 8 72114375 10444625 71156317 9663214 ICDt 8 8 7670.1 10436.8 5187.0 2959.5 XCDt 8 8 7955.1 4073.1 7951.6 1586.1 SCDt 8 8 72114090 10432472 71153552 9658861 CCRt 8 8 95218.9 6488.5 94945.1 5239.0 QRKt 8 8 185728 14460.4 186437 10320.5 HCDt 8 8 35916.8 18053.0 32115.4 4080.0 HCIt 8 8 1.3232 0.9116 25.4224 7.7065
163
HCXt 8 8 1.7574 0.5037 2.5289 0.4198