ANALISIS HUKUM PIDANA DALAM PENERAPAN PASAL 359 KUHP TERHADAP PERKARA PENEMBAKAN OLEH APARAT KEPOLISIAN (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Sukoharjo) Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh Mauliatun Ni’mah NIM : E. 1103101 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008
95
Embed
ANALISIS HUKUM PIDANA DALAM PENERAPAN PASAL 359 KUHP .../Analisis... · ANALISIS HUKUM PIDANA DALAM PENERAPAN PASAL 359 KUHP TERHADAP ... SH berdasar surat kuasa khusus ... BIN SARIJO
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ANALISIS HUKUM PIDANA DALAM PENERAPAN
PASAL 359 KUHP TERHADAP PERKARA PENEMBAKAN
OLEH APARAT KEPOLISIAN
(Studi Kasus di Pengadilan Negeri Sukoharjo)
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh
Mauliatun Ni’mah
NIM : E. 1103101
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2008
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
ANALISIS HUKUM PIDANA DALAM PENERAPAN
PASAL 359 KUHP TERHADAP PERKARA PENEMBAKAN
OLEH APARAT KEPOLISIAN
(Studi Kasus di Pengadilan Negeri Sukoharjo)
Disusun oleh :
MAULIATUN NI’MAH
NIM : E.1103101
Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
makasih udah ngasih semangat buat aku.. Mia dan Abi (makasih dah temeni aku
begadang nih…)
Akhirnya penulis berharap semoga penulisan hukum ini dapat memberikan
sumbangan dan manfaat bagi kalangan akademis, praktisi, dan kalangan luas yang
berminat dalam bidang Hukum Pidana.
Surakarta, Maret 2008
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul i
Halaman Persetujuan Pembimbing ii
Halaman Pengesahan Penguji iii
Motto iv
Halaman Persembahan v
Kata Pengantar vi
Daftar Isi viii
Abstrak x
BAB I : PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH 1
B. PERUMUSAN MASALAH 3
C. TUJUAN PENELITIAN 3
D. MANFAAT PENELITIAN 4
E. METODOLOGI PENELITIAN 5
F. SISTEMATIKA PENULISAN HUKUM 8
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
A. KERANGKA TEORI 10
1. Tinjauan Umum Tentang Hukum Pidana 10
a. Pengertian Hukum Pidana 10
b. Kedudukan Hukum Pidana Dalam Hukum 11
2. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana 12
a. Pengertian Tindak Pidana 12
b. Unsur-unsur Tindak Pidana 15
3. Tinjauan Umum Tentang Kealpaan 17
a. Pengertian Kealpaan 17
b. Syarat-syarat Kealpaan 19
c. Istilah dan Jenis-jenis Alpa 20
4. Tinjauan Umum Tentang Kepolisian Sebagai
Aparat Penegak Hukum 22
a. Sejarah Kepolisian Negara Republik Indonesia 22
b. Susunan Organisasi Kepolisian Negara
Republik Indonesia 23
c. Pengertian Kepolisian Negara
Republik Indonesia 24
d. Tugas dan Wewenang Polisi 26
e. Fungsi Kepolisian 28
B. KERANGKA PEMIKIRAN 29
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Penyajian Hasil Penelitian 31
B. Pembahasan Hasil Penelitian 43
1. Analisis Hukum Pidana Terhadap
Penerapan Pasal 359 KUHP Oleh Hakim Dalam
Kasus Penembakan Yang Dilakukan Oleh
Aparat Kepolisian 43
2. Faktor-faktor Yang Menjadi Pertimbangan Hakim
Dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap
Kasus Penembakan Yang Dilakukan Oleh
Aparat Kepolisian Tersebut 51
BAB IV : SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN 56
B. SARAN 57
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Cita hukum adalah keadilan dalam konteks perkembangan abad ini dan
memasuki era globalisasi telah berubah. Abad nasionalisme modern yang
mengutamakan daya nalar hampir tidak pernah memuaskan pemikiran manusia
tentang arti dan makna keadilan di dalam irama gerak hukum dalam masyarakat.
Rasionalisme hukum yang telah diciptakannya selalu mengagungkan keadilan
sebagai satu-satunya cita hukum dengan simbol dewi keadilan yang memegang
timbangan di tangan kiri dan pedang di tangan kanan. Simbol hukum dan keadilan
tersebut merupakan refleksi dari rasionalisme manusia tentang hukum dan sudah
barang tentu rasionalisme manusia itu sangat rentan terhadap ruang dan waktu.
Hukum yang menjadi rambu pengendali dapat diwujudkan dalam banyak
bentuk seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, atau Keputusan Presiden dan
sudah menjadi asas umum dalam sistem hukum yang dianut di Indonesia, bahwa
Undang-Undang memiliki kedudukan yang sentral dalam hierarki peraturan
perundang-undangan dibandingkan dengan peraturan lainnya, sehingga merupakan
rambu pengendali yang terkuat dalam mengatur kehidupan berbangsa dan
bernegara. Kenyataan sering menunjukkan lain atau bertentangan dengan asas
umum tersebut tiada lain disebabkan banyak faktor, antara lain faktor kurangnya
pemahaman penyelenggara negara tentang hukum dan sistem hukum nasional yang
telah melembaga sampai saat ini. Disamping faktor tersebut, kurangnya pemahaman
masyarakat tentang hukum dan sistem hukum yang berlaku (kesadaran hukum)
sering menjadi faktor pencetus keadaan penyelenggaraan negara tanpa hukum
(chaos hukum). Penafsiran dan perbedaan pendapat para pakar hukum, bahkan
mereka yang bukan pakar hukum sering menambahkan “chaostic hukum” menjadi
“krisis
hukum” yang berakhir pada ujung ketidakpercayaan masyarakat terhadap
hukum (Romli Atmasasmita, 2001).
1
Ketidakpercayaaan masyarakat pada hukum semakin dalam lagi disebabkan
penegakan hukum (law enforcement) tersendat-sendat atau bahkan tampak stagnan,
terutama dalam perkara pidana (kriminal), baik sejak penyidikan, penahanan,
penuntutan, maupun pada pemeriksaan pengadilan.
Dari perkara-perkara yang terjadi di Indonesia dan diperiksa oleh
pengadilan, salah satunya mengenai perkara penembakan yang mengakibatkan
matinya seseorang. Tembakan salah sasaran ataupun karena kealpaannya
menyebabkan matinya seseorang yang dilakukan oleh aparat Kepolisian. Perkara
tersebut dapat terjadi antar masyarakat sipil, antar aparat penegak hukum, maupun
antara masyarakat sipil dengan aparat penegak hukum. Seharusnya, aparat
Kepolisian mengerti benar akan tugas dan wewenangannya sebagai abdi
masyarakat. Dalam Tap MPR Nomor VII/ MPR/ 2000, telah diatur bahwa peran
Polri adalah sebagai alat negara yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, menegakkan hukum, memberi pengayoman dan pelayanan bagi
masyarakat (Arif Yulianto. 2002: 570). Penembakan yang dilakukan aparat penegak
hukum khususnya aparat Kepolisian harus mempunyai alasan dan tujuan yang kuat
sebelum mereka melepaskan tembakan. Untuk menyimpan dan menggunakan
senjata api, aparat Kepolisian juga harus lulus dalam serentetan tes dan memenuhi
kriteria tertentu, sehingga penggunaan dari senjata api tidak bisa sembarangan.
Penembakan yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang masuk dalam
kejahatan terhadap nyawa, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana Pasal 338, 339, 340, 344, dan 359. Penembakan yang terjadi di Indonesia
tidak jarang dilakukan oleh aparat Kepolisian, dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana Pasal 338 dinyatakan dengan jelas bahwa barangsiapa sengaja merampas
nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama
lima belas tahun, dalam Pasal 359 juga dinyatakan dengan jelas bahwa barangsiapa
karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun. Sehingga
siapapun yang melakukan pembunuhan dalam hal ini penembakan baik yang
dilakukan oleh aparat penengak hukum maupun warga sipil, baik secara sengaja
maupun tidak sengaja dapat diancam dengan sanksi pidana penjara maupun
kurungan.
Berdasarkan uraian di atas penulis berpendapat bahwa hal-hal tersebut di
atas merupakan latar belakang permasalahan yang penulis kemukakan. Oleh karena
itu penulis ingin mengupas lebih dalam mengenai hal tersebut dalam sebuah
penulisan hukum yang berjudul :
ANALISIS HUKUM PIDANA DALAM PENERAPAN PASAL 359 KUHP
TERHADAP PERKARA PENEMBAKAN OLEH APARAT KEPOLISIAN
(STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SUKOHARJO)
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian ini dimaksudkan untuk dijadikan
pedoman bagi penulis untuk melakukan penelitian secara cermat dan tepat sesuai
dengan prinsip-prinsip penelitian ilmiah.
Untuk mempermudah pemahaman terhadap permasalahan yang penulis
ajukan serta untuk lebih mengarahkan pembahasan, maka perumusan masalah yang
diajukan adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana penerapan Pasal 359 KUHP dalam penyelesaian kasus penembakan
yang dilakukan oleh aparat Kepolisian?
2. Apakah faktor-faktor yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
putusan terhadap kasus penembakan yang dilakukan oleh aparat Kepolisian
tersebut?
C. Tujuan Penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang
hendak dicapai oleh penulis dalam penelitian yang terarah dan tidak terlepas dari
permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya.
Adapun tujuan dari penelitian yang hendak penulis lakukan adalah sebagai
berikut:
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui alasan apa yang melatarbelakangi sehingga anggota Polri
melakukan penembakan terhadap warga sipil.
b. Untuk mengetahui bagaimana penanganan hakim di Pengadilan Negeri
Sukoharjo jika dilihat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal
359.
c. Untuk mengetahui bagaimana analisis hukum pidana terhadap perkara
penembakan yang dilakukan anggota Polri tersebut.
2. Tinjauan Subyektif
a. Untuk menambah wawasan, pengetahuan, serta pemahaman penulis terhadap
penerapan teori yang telah diterima selama mengikuti kuliah, khususnya
dibidang hukum pidana dan untuk mengetahui dan mengatasi permasalah
hukum yang terjadi di dalam masyarakat.
b. Untuk memperoleh data dan informasi sebagai bahan utama dalam
penyusunan penulisan hukum guna melengkapi persyaratan yang diwajibkan
dalam meraih gelar kesarjanaan dibidang ilmu hukum di Fakulatas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
c. Untuk mendorong penulis dalam berpikir kritis dan kreatif terhadap
perkembangan hukum di Indonesia.
D. Manfaat Penelitian
Dengan adanya suatu penelitian tentunya diharapkan memberikan manfaat,
terutama dibidang ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan penelitian tersebut.
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoretis
a. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan wawasan pengetahuan dan
sumbangan pemikiran bagi peningkatan dan pengembangan ilmu hukum
pada umumnya dan khususnya hukum pidana terkait permasalahan yang
berhubungan dengan penembakan.
b. Hasil penelitian dapat digunakan untuk menambah bahan kajian penelitian
selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir yang dinamis dan
sistematis sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam
mengimplemantasikan ilmu yang diperoleh.
b. Untuk memberikan bahan masukan dan gagasan pemikiran kepada peminat
masalah-masalah hukum khususnya hukum pidana yang berhubungan
dengan tindak pidana penembakan yang mengakibatkan hilangnya nyawa
seseorang.
c. Hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi pemikiran mengenai
penegakan hukum yang patut dan berkeadilan baik untuk warga sipil
maupun aparat penegak hukum khususnya aparat Polri.
E. Metode Penelitian
Jika melakukan suatu penelitian, metode penelitian merupakan salah satu
faktor penting yang menunjang suatu kegiatan dan proses penelitian. Metodologi
pada hakekatnya memberikan pedoman, tentang cara-cara seorang ilmuwan
mempelajari, menganalisa dan memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapinya
(Soejono Soekanto. 1986: 6 ).
Karena itu pemilihan jenis metode tertentu dalam suatu penelitian sangat
penting karena akan berpengaruh pada hasil penelitian nantinya. Adapun metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah
penelitian hukum normatif.
Penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum dengan meneliti bahan
pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tersier. Dari perspektif tujuannya, penelitian hukum
normatif ini termasuk jenis penelitian inventarisasi hukum positif (Amiruddin &
Zainal Asikin. 2003: 133). Bahan-bahan tersebut kemudian disusun secara
sisitematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan yang berhubungan dengan
masalah yang diteliti (Soerjono Soekanto & Sri Mahmudji. 2001 : 13 ).
2. Sifat Penelitian
Adapun sifat penelitian yang digunakan penulis yaitu deskriptif. Penelitian
hukum deskriptif adalah penelitian yang bersifat pemaparan dan bertujuan untuk
memperoleh gambaran (diskripsi) lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku
ditempat tertentu atau mengenai gejala yuridis yang ada, atau peristiwa hukum
yang terjadi di masyarakat (Abdulkadir Muhammad. 2004: 50 ).
3. Lokasi Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis mengambil lokasi penelitian di Pengadilan
Negeri Sukoharjo.
4. Jenis Data dan Sumber Data Penelitian
Jenis data yang penulis pergunakan dalam penelitian ini berupa data
sekunder, yaitu data atau informasi hasil telaah dokumen penelitian yang telah
ada sebelumnya, bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah,
jurnal, maupun arsip-arsip yang berkesesuaian dengan penelitian yang
dilakukan.
Sumber data merupakan tempat dimana dan kemana data dari suatu
penelitian dapat diperoleh. Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data
sekunder yang terdiri atas:
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri
dari:
1) Putusan Pengadilan Negeri Sukoharjo Nomor 184 / Pid.B. / 2006 / PN.
SKH.
2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
3) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
b. Bahan hukum sekunder
Merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai ahan
hukum primer, terdiri dari:
1) Buku-buku ilmiah di bidang hukum.
2) Makalah dan hasil-hasil ilmiah para sarjana.
3) Literatur dan hasil penelitian.
4) Pendapat para pakar hukum.
c. Bahan hukum tersier
Yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan bahan bahan hukum sekunder, seperti:
1) Bahan dari media internet yang mengupas tentang tindak pidana
penembakan karena kealpaan mengakibatkan kematian dan dokumen
publik dan catatan-catatan resmi (public documents and official records)
yaitu dokumen yang berkaitan dengan penembakan yang dilakukan
aparat Polri.
2) Majalah dan surat kabar yang mengangkat masalah penembakan.
3) Kamus ensiklopedia, dan lain-lain (Amiruddin & Zainal Asikin. 2003:
31).
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik
pengumpulan data sekunder yang dilakukan dengan studi kepustakaan. Pada
studi kepustakaan bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam
penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder tersebut
mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, meliputi surat-surat pribadi,
buku-buku harian, buku-buku, dan dokumen resmi yang dikeluarkan oleh
pemerintah (Soerjono Soekanto & Srimamudji, 1985 : 24).
6. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan langkah selanjutnya untuk mengolah hasil
penelitian menjadi suatu laporan. Teknik analisis data dalam penelitian ini
menggunakan analisis isi (content analysis) yaitu serangkaian metode untuk
menganalisa isi segala bentuk komunikasi dengan mereduksi seluruh isi
komunikasi menjadi serangkaian kategori yang mewakili hal-hal yang ingin
diteliti (Krippendorff. 1991: 31). Mengenai kegiatan analisis isi dalam
penelitian ini adalah menguraikan dan menganalisis penerapan Pasal 359
KUHP dalam putusan hakim terhadap tindak pidana karena kealpaan yang
dilakukan oleh aparat Kepolisian. Setelah analisis data selesai, maka
hasilnya akan disajikan secara deskriptif yaitu dengan jalan menuturkan dan
menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti dan
data yang diperoleh.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 4 ( empat ) bab yang tiap
bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan
pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian, dan uraiannya adalah sebagai
berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis memberikan gambaran penulisan hukum
mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini dan sistematika penulisan hukum.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini penulis menguraikan tentang tinjauan umum
tentang hukum pidana, tinjauan umum tentang tindak pidana,
tinjauan umum tentang kealpaan, tinjauan umum tentang
kepolisian sebagai aparat penegak hukum
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis akan membahas dan menjawab
permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya yang meliputi:
pertama, analisis hukum pidana terhadap penerapan Pasal 359
KUHP dalam penyelesaian kasus penembakan yang dilakukan
oleh aparat Kepolisian. Kedua, faktor-faktor yang menjadi
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap kasus
penembakan yang dilakukan oleh aparat Kepolisian tersebut.
BAB IV PENUTUP
Dalam bab ini berisi kesimpulan dari jawaban-jawaban
permasalahan yang menjadi objek penelitian dan saran yang
didasarkan pada kesimpulan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Hukum Pidana
1) Pengertian Hukum Pidana
Pengertian hukum pidana diperoleh dari pendapat W.L.G. Lemaire
yaitu hukum pidana itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-
keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang)
telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu
penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan,
bahwa hukuman pidana itu merupakan suatu sistem norma-norma yang
menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu
atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan untuk
melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan bagaimana hukuman itu
dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi
tindakan-tindakan tersebut (Lamintang, 1997 : 2).
Menurut Prof. Simons, hukum pidana dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Hukum pidana dalam arti objektif (strafrecht in objective zin)
Hukum pidana dalam arti objektif adalah keseluruhan dari
larangan-larangan dan keharusan-keharusan, yang atas pelanggarannya
oleh negara atau oleh suatu masyarakat hukum umum lainnya telah
dikaitkan dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa suatu
hukuman, dan keseluruhan dari peraturan-peraturan yang mengatur
masalah penjatuhan dan pelaksanaan dari hukumannya itu sendiri.
2) Hukum pidana dalam arti subjektif (strafrecht in subjective zin)
Hukum pidana dalam arti subyektif mempunyai dua
pengertian, yaitu:
a) Hak dari negara dan alat-alat
kekuasaannya untuk menghukum, yakni hak yang telah mereka
peroleh dari peraturan-peraturan yang telah ditentukan oleh hukum
pidana dalam arti objektif;
b) Hak dari negara untuk mengaitkan pelanggaran terhadap peraturan-
peraturannya dengan hukuman (Lamintang. 1997: 3).
2) Kedudukan Hukum Pidana Dalam Hukum
Hukum pidana yang merupakan bagian dari hukum pada umumnya
mengatur secara spesifik, yaitu bahwa semua hukum memuat sejumlah
ketentuan-ketentuan untuk menjamin agar norma-norma yang diakui di
dalam hukum itu benar-benar akan ditaati orang.
Perbedaan hukum pidana dengan hukum-hukum yang lain adalah
di dalamnya orang mengenal adanya suatu kesengajaan untuk
memberikan suatu akibat hukum berupa suatu penderitaan yang bersifat
khusus dalam bentuk suatu hukuman kepada mereka yang telah
melakukan suatu pelanggaran terhadap keharusan-keharusan atau
larangan-larangan yang telah ditentukan di dalamnya. Penderitaan yang
ada dalam hukum pidanapun berbeda dengan hukuman yang ada dalam
hukum-hukum yang lain, karena dalam hukum pidana mengenal lembaga
perampasan kemerdekaan yang dapat dikenakan oleh hakim terhadap
orang-orang yang telah melanggar norma-norma yang telah diatur dalam
hukum pidana. Bahkan di dalamnya dikenal lembaga perampasan nyawa
dalam bentuk hukuman mati, yang secara nyata tidak dikenal dalam
hukum-hukum yang lain pada umumnya.
Adanya penderitaan yang bersifat khusus dalam bentuk hukuman-
hukuman tersebut di atas, menjadikan hukum pidana mendapatkan
tempat tersendiri diantara hukum-hukum yang lain.
Menurut pendapat para sarjana, hukum pidana hendaknya
dipandang sebagai suatu ultimum remidium atau sebagai upaya
terakhir untuk memperbaiki kelakuan manusia (Lamintang. 1997:
17).
2. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana
a. Pengertian Tindak Pidana
Berbagai macam pendapat dikemukakan para sarjana mengenai
pengertian tindak pidana, diantaranya :
1) Menurut Pompe
Tindak pidana atau strafbaar Feit sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum (Lamintang. 1997 : 182).
2) Menurut Van Hattum
Tindak pidana atau strafbaar feit diartikan sebagai suatu tindakan
yang karena telah melakukan tindakan semacam itu membuat
seseorang menjadi dapat dihukum (Lamintang. 1997 : 184).
3) Menurut Simons
Tindak pidana atau strafbaar feit sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum (Lamintang. 1997 : 185).
Namun dari segi materi strafbaar feit terdapat dua pendapat, ada
pendapat yang menyatukan unsur perbuatan dan unsur tanggung jawab
strafbaar feit dalam satu golongan, dan pendapat lain yang memisahkan
unsur perbuatan dan unsur tanggung jawab strafbaar feit dalam dua
golongan atau dengan kata lain ada beda pandangan mengenai materi
strafbaar feit sehingga ada dua garis pemisah antara dua aliran, yaitu
aliran monisme dan aliran dualisme, yang perbedaannya dapat dilihat
dalam skema berikut:
Aliran Monisme Aliran Dualisme
1) Golongan obyektif
a) Melawan hukum
b) Tidak alasan
pembenar
1) Melawan hukum
2) Mampu bertanggung
jawab
3) Kesalahan: sengaja/alpa
Unsur Delik
Dari skema tersebut di atas, dijelaskan bahwa:
(1) Dari aliran Monisme dapat dianggap, bahwa semua unsur delik
merupakan syarat bagi pemberian pidana, dari aliran Dualisme dapat
dianggap ada dua golongan, yakni golongan obyektif dan golongan
subyektif merupakan syarat dari pemberian pidana.
(2) Konsekuensi pandangan kedua aliran tersebut dalam amar putusan
secara teori berbeda bunyi:
(a) Dalam aliran Monisme, maka bila salah satu unsur tidak terbukti,
maka si pembuat harus dibebaskan (vrijspraak). Jadi apakah yang
terbukti itu unsur subyektif: mampu bertanggung jawab atau
unsur obyektif: perbuatan melawan hukum, tidak menjadi soal
dan putusan harus berbunyi: bebas. Jika semua unsur terbukti,
maka si pelaku dipidana.
(b) Dalam pandangan Dualisme, karena pemisahan unsur perbuatan
dan unsur si pembuat, maka konsekuensinya, jika yang tidak
2) Golongan subyektif
a) Mampu bertanggung
jawab
b) Kesalahan: sengaja/
alpa
c) Tidak ada alasan
pemaaf
Syarat pemberian pidana
terbukti unsur obyektif, maka bunyi amar putusan ialah bebas
(vrijspraak). Namun jika yang tidak terbukti unsur subyektif,
maka amar putusan berbunyi: dilepas dari tuntutan (ontslag van
rechtsvervologing). Jika semua unsur terbukti, maka si pelaku
dipidana. Jadi hal itu, apabila yang terbukti itu unsur obyektif
yaitu unsur melawan hukum, namun jika si pelaku tidak mampu
dipertanggungjawabkan, maka ia harus dilepaskan dari tututan
(Martiman Prodjohamidjojo. 1997: 17-20).
Dari uraian di atas penulis berpendapat, bahwa dalam aliran
monisme syarat agar si pembuat atau si pelaku dapat dipidana maka
unsur subyektif: mampu bertanggung jawab, kesalahan; kesengajaan/
alpa, tidak ada alasan pemaaf atau unsur obyektif: perbuatan melawan
hukum, tidak ada alasan pembenar, semua unsur tersebut harus terbukti,
jika salah satu tidak terbukti maka sipembuat atau si pelaku tidak dapat
diancam dengan pidana. Sedangkan dalam aliran dualisme si pembuat
atau si pelaku belum tentu dipidana atau dapat dipidana, karena dalam
aliran ini memisahkan antara perbuatan pidana dengan
pertanggungjawaban pidana, sehingga jika yang tidak terbukti unsur
obyektif, maka si pelaku dibebaskan. Namun jika yang tidak terbukti
unsur subyektif, si pelaku dilepas dari tuntutan.
b. Unsur-unsur Tindak Pidana
Dari pengertian-pengertian strafbaar feit yang dilakukan oleh para
pakar hukum pidana, diperoleh makna, bahwa strafbaar feit sama dengan
delik, sama dengan perbuatan pidana, tindak pidana dan istilah lain
salinannya.
Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur
yang pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua macam unsure, yakni:
1) Unsur subjektif dari tindak pidana adalah unsur-unsur yang melekat
pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan
termasuk di dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkansung di dalam
hatinya. Unsur tersebut yaitu:
a) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).
b) Maksud atau niat (sesuai Pasal 53 ayat (1) KUHP).
c) Macam-macam maksud.
d) Merencanakan lebih dahulu.
e) Perasaan takut seperti yang terdapat dalam Pasal 308 KUHP.
2) Unsur Objektif dari tindak pidana adalah unsur-unsur yang ada
hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-
keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.
Unsur tersebut adalah:
a) Sifat melanggar hukum.
b) Kualitas dari si pelaku.
c) Kasualitas, yaitu hubungan antara suatu tindakan sebagai
penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat. (P.A.F.
Lamintang, 1996 : 192)
Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana
Asas dalam pertanggungjawaban hukum pidana adalah tidak
dipidana jika tidak ada kesalahan (Geen straf zonder schuld, Actus non,
facit reum nisi mens sir rea). Asas ini tidak tersebut dalam hukum
tertulis tapi dalam hukum yang tidak tertulis yang juga berlaku di
Indonesia.
Orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada waktu
melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat dicela
karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan
masyarakat padahal mampu untuk mengetahui makna perbuatan tersebut
dan dapat menghindari perbuatan tersebut. Hal tersebut menyimpulkan
bahwa perbuatan tersebut memang sengaja dilakukan.
Kesalahan adalah adanya syarat-syarat yang mendasarkan celaan
persoonlijke terhadap orang yang melakukan perbuatan (mezger).
Menurut Simons kesalahan adalah adanya keadaan psikis yang tertentu
pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan
antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang
sedemikian rupa, sampai orang itu dapat dicela karena melakukan
perbuatan tersebut.
Berdasarkan hal diatas, terdapat dua unsur yang ada dalam
kesalahan, yaitu :
a) Adanya keadaan psikis atau keadaan batin tertentu.
b) Hubungan antara perbuatan dengan keadaan yang dilakukan.
Tidak dimungkinkan pemisahan antara keadaan batin dengan
hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan, karena kesengajaan
tidak dapat dipikirkan kalau tidak ada kemampuan bertanggung jawab.
Tidak mungkin ada alasan pemaaf, jika orang tidak mampu bertanggung
jawab atau tidak mempunyai salah satu bentuk kesalahan.
Dapat disimpulkan bahwa kesalahan mempunyai unsur-unsur
sebagai berikut :
a) Adanya perbuatan pidana
b) Adanya kemampuan bertanggung jawab
c) Adanya kesalahan yang berupa kesengajaan dan kealpaan
d) Tidak ada alasan pemaaf (Moeljatno 2002 : 153).
3. Tinjauan Umum Tentang Kealpaan
a. Pengertian Kealpaan
Mengenai kealpaan, keterangan resmi dari pihak pembentuk
memorie van toelichting (MvT) adalah sebagai berikut:
“Pada umumnya bagi kejahatan Undang-undang mengharuskan
bahwa kehendak terdakwa ditujukan pada perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana. Kecuali itu keadaan yang dilarang itu mungkin
begitu besar bahayanya terhadap keamanan umum, terhadap orang atau
benda dan jika terjadi menimbulkan banyak kerugian, sehingga undang-
undang harus bertindak pula terhadap mereka yang tidak berhati-hati.
Secara singkat, yang menimbulkan keadaan itu kerena kealpaannya. Di
sini sikap batin orang yang menimbulkan keadaan yang dilarang itu
bukanlah menentang larangan-larangan tersebut, dia tidak menghendaki
atau menyetujui timbulnya hal yang terlarang, tetapi kesalahannya,
kekeliruannya dalam batin sewaktu ia berbuat sehingga menimbulkan hal
yang dilarang ialah bahwa ia kurang mengindahkan larangan itu. Jadi
bukanlah semata-mata menentang larangan tersebut dengan melakukan
yang dilarang itu, tetapi dia tidak begitu mengindahkan larangan. Ini
ternyata dari perbuatannya, dia alpa, lalai dalam melakukan perbuatan
tersebut, sebab jika dia cukup mengindahkan adanya larangan waktu
melakuakan perbuatan yang secara obyektif kausal menimbulkan hal
yang dilarang, tentu dia tidak alpa atau kurang berhati-hati agar jangan
sampai mengakibatkan hal yang dilarang tadi. Oleh karena bentuk
kesalahan ini juga disebut dalam rumusan delik, maka harus juga
dibuktikan” (Smidt I:85 dalam Moeljatno. 2000:198).
Bab XXI Buku Kedua KUHP tentang menyebabkan mati atau luka-
luka karena kealpaan, diantaranya memuat dua tindak pidana yaitu yang
pertama dari Pasal 359 berupa “karena kesalahannya (culpa)
menyebabkan matinya orang”, dengan hukuman penjara selama-lamanya
lima tahun atau hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun;
sedangkan yang kedua dari Pasal 360 ayat (1) melarang “karena
kesalahannya (culpa) menyebabakan orang luka berat atau luka
demikian, sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak bisa
menjalankan jabatan atau pekerjaannya sementara”. Perbuatan itu kalau
ada luka berat, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya lima
tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun, Pasal 360 ayat (2) kalau
ada luka tidak berat, seperti luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul
penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian
selama waktu tertentu, diancam dengan hukuman penjara selama-
lamanya sembilan bulan, atau hukuman kurungan selama-lamanya enam
bulan, atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah.
Kedua pasal ini bermaksud untuk mendampingi Pasal 338 KUHP
tentang pembunuhan dan Pasal 351 KUHP dan seterusnya tentang
penganiayaan dalam arti bahwa yang dikenakan hukuman pidana tidak
hanya perbuatan menyebabakan mati atau luka orang lain dengan
sengaja, tetapi juga dengan culpa atau kesalahan yang tidak merupakan
kesengajaan. Tetapi tidak semua perbuatan melukai orang dengan
kesalahan culpa dijadikan tindak pidana, yaitu hanya apabila ada luka
berat yang artinya ditentukan dalam Pasal 90 KUHP, atau jika yang
menyebabkan seseorang menjadi sakit atau sementara tidak dapat bekerja
(Wirjono Prodjodikoro. 2002 :77).
b. Syarat-Syarat Kealpaan
Van Hamel (cetakan ke-4 kaca 313) mengatakan bahwa kealpaan
mengandung dua syarat yaitu :
1) Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan
oleh hukum.
Mengenai ini ada dua kemungkinan yaitu:
a) atau terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi karena
perbuatannya, padahal pandanga itu kemudian ternyata tidak
benar.
b) atau terdakwa sama sekali tidak mempunyai pikiran bahwa akibat
yang dilarang mungkin timbul karena pebuatannya.
2) Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh
hukum.
Menurut Van Hamel diterangkan, syarat ini antara lain ialah
tidak mengadakan penelitian, kebijaksanaan, kemahiran atau usaha
pencegah yang ternyata dalam keadaan-keadaan yang tertentu atau
dalam caranya melakukan perbuatan.
Menurut istilah Langemayer, apakah tingkah laku terdakwa
dalam keadaan-keadaan tertentu itu ataupun dengan cara yang telah
dilakukan itu, menurut ukuran-ukuran yang berlaku sudah cocok
dengan suatu standart tertentu mengenai penghati-hati yang lahir.
Dan ini tidak diadakan untuk orang pada umumnya, tetapi untuk
orang dalam keadaan-keadaan khusus seperti terdakwa.
Syarat yang kedua inilah yang menurut praktek penting guna
menentukan adanya kealpaan, kalau syarat ini sudah ada maka pada
umumnya syarat yang pertama juga sudah ada (Moeljatno.2000:
201).
c. Istilah dan Jenis-Jenis Kealpaan
Di dalam undang-undang kealpaan digunakan bermacam-macam
istilah, yaitu:
1) aan wien schuld, atau karena salahnya, dipakai dalam Pasal 359, 360
KUHP;
2) onachtzaam heid, atau kurang berhati-hati, dipakai dalam Pasal 231
ayat (4), 232 ayat (3) KUHP;
3) weet of ernstige reden heeft om te vermoeden, atau diketahui atau ada
alasan kuat untuk menduga, dipakai dalam Pasal 111 bis ke-3 KUHP;
4) redelijkerswijs moet vermoeden, atau diketahui atau ada sepatutnya
harus diduga, dipakai dalam Pasal 283, 287, 288, 290, 292, 293, 418,
dan 480 KUHP;
5) wist of moest verwachten, atau mengerti atau seharusnya menduga,
dipakai dalam Pasal 483 ayat (2), Pasal 484 (2) dan didalam doktrin
dipakai istilah culpa (Martiman Prodjohamidjojo. 1997: 52).
Jenis-jenis culpa yang yang dikenal dalam hukum pidana, yaitu:
1) culpa lata
Culpa lata adalah culpa yang hebat, alpa berat. Istilah lain untuk
culpa lata adalah merkelijke schuld, grove schuld. Menurut para
pakar adanya culpa lata dapat disimpulkan di dalam rumusan
kejahatan karena alpa. Misalnya Pasal 359, Pasal 360 KUHP.
a) Pasal 359 KUHP
Barang siapa karena kealpaannnya menyebabkan matinya orang
lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tuhun atau
kurungan paling lama satu tahun.
b) Pasal 360 KUHP
(1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain
mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun
(2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain
luka-luka sedemikian rupa sehingga menimbulkan penyakit
atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian
selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling
lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan
atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
2) culpa levisima atau lichte culpa
Culpa levisima atau lichte culpa adalah alpa ringan. Culpa ringan
itu adanya dalam pelanggaran. Misalnya Pasal 490 sub (1) dan (4)
KUHP (Martiman Prodjohamidjojo. 1997: 53).
a) Pasal 490 KUHP
Diancam dengan kurungan paling lama enam hari, atau denda
paling banyak dua puluh rupiah:
sub (1) barangsiapa menghasut binatang terhadap orang atau
hewan yang sedang dinaiki atau dimuati barang
sub(4) barangsiapa memelihara binatang buas yang berbahaya
tanpa melaporkan kepada polisi atau pejabat lain yang
ditunjuk untuk itu, atau tidak menaati peraturan yang
diberikan oleh pejabat tersebut tentang hal itu.
Berdasarkan Pasal 359, Pasal 360 KUHP tentang kejahatan selalu
dengan nyata-nyata atau implisit mempunyai unsur kealpaan, dan dalam
pelanggaran seperti dicontohkan Pasal 490 sub (1) dan (4) KUHP, tidak
disebutkan unsur kealpaan, kecuali dalam pelanggaran berat yang tegas-
tegas harus dibuktikan.
4. Tinjauan Umum Tentang Kepolisian Sebagai Aparat Penegak Hukum
a. Sejarah Kepolisian Negara Republik Indonesia
Polisi di Indonesia sudah ada pada masa sebelum zaman penjajahan
Belanda. Pada saat itu tugas polisi dilaksanakan oleh masyarakat adat
dengan dipimpin oleh kepala adat untuk melaksanakan tindakan terhadap
pelanggaran norma yang berlaku dalam masyarakat.
Pada zaman Hindia Belanda polisi terbagi dalam 2 organ, yaitu:
1) Organ polisi yang dibentuk oleh masyarakat adat dengan dipimpin
oleh kepala adat dengan tugas menegakkan hukum adat yang berlaku
dalam masyrakat adat.
2) Organ polisi yang dibentuk oleh pemerintah penjajah Belanda dengan
tugas untuk kepentingan penjajah.
Sedangkan pada zaman Jepang, struktur organisasi kepolisian hampir
sama dengan pada zaman Belanda (Warsito Hadi Utomo, 2005:76-79).
Setelah Indonesia merdeka, Polri telah mengalami perubahan
sebagai berikut:
1) Dengan ketetapan MPRS Nomor : 11/ MPRS/ 1960 No. 54,
Kepolisian Republik Indonesia dinyatakan sebagai Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Pernyataan tersebut
tercantum dalam Paragraf 404 Sub 1 ayat (c) TAP MPRS No. 11/
1960 yakni sebagai berikut: Polisi ikut serta dalam pertahanan.
2) Dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor: 290/ 1964
tanggal 12 November 1964 kemudian diubah menjadi Keppres
Nomor 290 tahun 1965 tanggal 23 Agustus 1965, Kepolisian
Republik Indonesia diintegrasikan masuk menjadi jajaran Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia, yaitu Angkatan Kepolisian Republik
Indonesia, sejajar, sederajat dengan Angkatan Laut dan Angkatan
Udara.
3) Dengan Keppres RI Nomor: 52/ 1969 tanggal 27 Juni 1969, sebutan
Angkatan Kepolisian Republik Indonesia ditiadakan. Dengan
demikian Kepolisian bukan angkatan perang, dan sebutan Angkatan
Kepolisian diganti menjadi Kepala Kepolisian Republik Indonesia
atau disingkat Kapolri.
4) Dengan Keputusan Presiden RI Nomor 79 tahun 1969, Kepolisian
Indonesia dimasukkan ke dalam jajaran Departemen Pertahanan
Keamanan (Dept. Hankam).
5) Keputusan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
nomor: KEP/ 11/ P/ III/ 1984 tentang pokok-pokok organisasi dan
prosedur Kepolisian Negara Republik Indonesia, disingkat Polri
adalah suatu bagian integral ABRI yang berkedudukan langsung di
bawah Pangab (Warsito Hadi Utomo. 2005:82-83).
6) Pemisahan Polri dari ABRI pada tanggal 1 April 1999, dengan
dikeluarkannya Instruksi Presiden RI Nomor 2 tahun 1999 tentang
langkah kebijakan dalam rangka pemisahan Polri dari ABRI yang
selanjutnya menjadi landasan formal bagi reformasi Polri (Warsito
Hadi Utomo. 2005:140).
b. Susunan Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia
Dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun
2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik
Indonesia Pasal 4, menyatakan bahwa Markas Besar Polri terdiri dari:
1) Unsur Pimpinan:
a) Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b) Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
2) Unsur Pembantu Pimpinan dan Pelaksana Staf:
a) Inspektorat Pengawasan Umum;
b) Deputi Kapolri Bidang Perencanaan Umum dan Pengembangan;
c) Deputi Kapolri Bidang Operasi;
d) Deputi Kapolri Bidang Sumber Daya Manusia;
e) Deputi Kapolri Bidang Logistik;
f) Staf Ahli Kapolri.
3) Unsur Pelaksana Pendidikan dan/ atau Pelaksana Staf Khusus:
a) Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian;
b) Sekolah Staf dan Pimpinan Kepolisian;
c) Akademi Kepolisian;
d) Lembaga Pendidikan dan Pelatihan;
e) Divisi Hubungan Masyarakat;
f) Divisi Pembinaan Hukum;
g) Divisi Pertanggungjawaban Profesi dan Pengamanan Internal;
h) Divisi Telekomunikasi dan Informatika.
4) Unsur Pelaksana Utama Pusat:
a) Badan Intelijen Keamanan;
b) Badan Reserse Kriminal;
c) Badan Pembinaan Keamanan;
d) Korps Brigade Mobil.
5) Satuan Organisasi Penunjang lainnya
c. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia
Charles Reith dalam bukunya The Blind Eye of History yang
dikutip oleh Warsito Hadi Utomo mengemukakan pengertian polisi yaitu
sebagai tiap-tiap usaha untuk memperbaiki atau menertibkan susunan
kehidupan masyarakat. Pengertian ini bertolak dari pemikiran bahwa
manusia adalah makhluk sosial yang hidup berkelompok, membuat
aturan-aturan yang disepakati bersama.ternyata dalam kelompok itu
terdapat anggota yang tidak mau mematuhi aturan bersama, sehingga
timbul siapa yang berkewajiban untuk memperbaiki dan menertibkan
kembali anggota kelompok tersebut. Dari pemikiran ini maka kemudian
diperlukan polisi baik organnya maupun tugasnya untuk memperbaiki
dan menertibkan tata susunan kehidupan masyarakat tersebut.
Di dalam Enciclopedia and Social Science dikemukakan bahwa
pengertian polisi meliputi bidang fungsi, tugas yang luas, yang
digunakan untuk menjelaskan berbagai aspek daripada pengawasan
keseharian umum. Kemudian dalam arti yang sangat khusus dipakai
dalam hubungannya dengan penindasan pelanggaran-pelanggaran politik,
yang selanjutnya meliputi semua bentuk pengertian dan ketertiban
umum. Dengan kata lain polisi diberi pengertian sebagai hal-hal yang
berhubungan dengan pemeliharaan ketertiban umum dan perlindungan
orang-orang serta harta bendanya dari tindakan-tindakan yang melanggar
hukum (Warsito Hadi Utomo. 2005:6).
Dalam Kamus Bahasa Indonesia W.J.S. Poerwodarmita
dikemukakan bahwa istilah polisi mengandung pengertian badan
pemerintah (sekelompok pegawai negeri) yang bertugas memelihara
keamanan dan ketertiban umum.
Dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia Pasal 1 menyatakan, bahwa Kepolisian
adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga Polisi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan
(http://www.tempointeraktif.com).
d. Tugas dan Wewenang Polisi
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, tugas dan wewenang polisi adalah sebagai
berikut:
1) Menerima pengaduan;
2) Memeriksa tanda pengenal;
3) Mengambil sidik jari dan memeriksa seseorang;
4) Menangkap orang;
5) Menggeledah badan;
6) Menahan orang sementara;
7) Penggeledahan halaman, rumah, gedung, alat pengangkutan darat,
laut, dan udara memanggil orang untuk didengar atau diperiksa;
8) Mendatangkan ahli;
9) Menyita barang untuk dijadikan bukti;
10) Mengenai tindakan-tindakan lain.
Menurut Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia Pasal 13, tugas Kepolisian Negara Republik
Indonesia adalah :
1) Selaku alat negara penegak hukum memelihara serta meningkatkan
tertib hukum;
2) Melaksanakan tugas kepolisian selaku pengayom dalam memberikan
perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat bagi tegaknya
ketentuan peraturan perundang-undangan;
3) Bersama-sama dengan segenap komponen kekuatan pertahanan
keamanan negara lainnya membina ketentraman masyarakat dalam
wilayah negara guna mewujudkan keamanan dan ketertiban
masyarakat;
4) Membimbing masyarakat bagi terciptanya kondisi yang menunjang
terselenggaranya usaha dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada
huruf a, huruf b, dan huruf c;
5) Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Menurut Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia Pasal 15 dinyatakan bahwa wewenang
kepolisian ada dua, yaitu:
1) Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang :
a) menerima laporan dan pengaduan;
b) melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
c) mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret
seseorang;
d) mencari keterangan dan barang bukti;
e) menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
f) membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang
dapat mengganggu ketertiban umum;
g) mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
h) mengawasi aliran kepercayaan yang dapat menimbulkan
perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
i) memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan
putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan
masyarakat;
j) melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan
kepolisian dalam rangka pencegahan;
k) menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara
waktu;
l) mengeluarkan surat izin dan/ atau surat keterangan yang
diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;
m) mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan
administratif kepolisian yang mengikat warga masyarakat.
2) Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan lainnya berwenang:
a) memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan
kegiatan masyarakat lainnya;
b) menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;
c) memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan
peledak, dan senjata tajam;
d) menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan
bermotor;
e) memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;
f) memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat Kepolisian
khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis
kepolisian;
g) melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam
menyidik dan memberantas kejahatan internasional;
h) melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup
tugas kepolisian.
e. Fungsi Kepolisian
Dalam Pangab Nomor: Kep/ 11/ P/III/1984, fungsi kepolisian
dibagi menjadi :
1) Fungsi Utama Kepolisian
Yaitu fungsi-fungsi dalam organisasi yang menjadi pokok untuk
menentukan batas-batas ruang lingkup dari organisasi.
2) Fungsi Organik Polri
Adalah fungsi yang esensial vital yang bersifat menentukan bagi
kelangsungan hidup organisasi.
3) Fungsi Organik Pembinaan
Adalah pelaksaan dari fungsi organik Polri tersebut, yang dilakukan
untuk kelangsungan dan kemajuan dari Polri.
4) Fungsi Khusus
Adalah fungsi-fungsi yang sipil (non militer) sebagai kelengkapan-
kelengkapan dari fungsi-fungsi lainnya dari kesatuan.
5) Fungsi Teknis
Adalah fungsi sebagai perincian dari fungsi organik yang didasarkan
pada keahlian (Warsito Hadi Utomo. 2005:84).
Dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Repiblik Indonesia, fungsi Kepolisian diatur dalam Pasal 3 yang
berbunyi:
“Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang penegakan hukum, perlindungan dan pelayanan masyarakat, serta pembimbingan masyarakat dalam rangka terjaminnya tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketentraman masyarakat guna terwujudnya keamanan dan ketertiban masyarakat”.
Maksudnya adalah, fungsi kepolisian harus memperhatikan
semangat penegakan hak asaasi manusia, hukum, dan keadilan.
(Penjelasan Pasal 3 UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia).
B. Kerangka Pemikiran
Dalam setiap kejahatan berupa kesengajaan maupun kealpaan yang dilakukan
oleh masyarakat, baik adanya delik aduan atau delik biasa, perkara tersebut awalnya
akan dilakukan penyidikan, pihak yang bertugas dan berwenang untuk mencari dan
menjadikan perkara tersebut sebagai perkara pidana adalah kepolisian, setelah itu
kasus tersebut dilimpahkan ke kejaksaan, oleh jaksa penuntut umum perkara
tersebut diajukan ke badan peradilan secara bertingkat yaitu Pengadilan Negeri,
Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, untuk diperiksa dan diadili serta
dilesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya. Dan dalam hal ini hakim
berwenang untuk memutuskan apakah terdakwa dibebaskan, didenda, dikurung,
maupun dipenjara. Sehingga jika terdakwa diputuskan untuk dipenjara, maka jika
kelak kembali ke masyarakat, terdakwa tidak mengulangi perbuatannya lagi.
Kepolisian merupakan bagian dari masyarakat, sehingga apabila ada anggota
kepolisian melakukan pelanggaran maupun kejahatan baik itu bersifat sengaja
maupun karena kealpaannya maka proses peradilannya juga sama dengan
masyarakat sipil lainnya, demikian juga jika aparat Kepolisian tersebut melakukan
tindak pidana karena kealpaan menyebabkan matinya orang lain, maka tindak
pidana tersebut diatur dalam Pasal 359, Pasal 360, dan Pasal 361 KUHP.
Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara yang ditanganinya
tersebut harus mempertimbangkan barmacam-macam faktor, baik itu faktor intern
maupun faktor ekstern dari terdakwa. Faktor-faktor tesebut merupakan faktor
sekunder yang menjadi tolak ukur hakim dalam mengambil keputusan, sedangkan
faktor pimernya peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP). Sehingga dengan adanya faktor tersebut,
diharapkan hakim dapat menjatuhkan putusan secara adil dan tidak memihak,
tercapai penghukuman yang tepat dan serasi (consistency of sentences).
Berdasarkan hal tersebut penulis mencoba untuk mengetahui penerapan Pasal
359 KUHP oleh majelis hakim dalam menangani kasus penembakan yang diakukan
aparat Kepolisian serta apakah faktor yang menjadi pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusan terhadap kasus penembakan yang dilakukan oleh aparat
Kepolisian.
31
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Penyajian Hasil Penelitian
Kejahatan maupun pelanggaran yang terjadi di negara Indonesia semakin
membuat aparat penegak hukum untuk bekerja keras dalam manangani perkara-
perkara tersebut. Selain penerapan pasal-pasal dalam KUHP, hakim dalam
memutuskan suatu perkara juga harus mempertimbangkan berbagai faktor yang
dapat mempengaruhi dalam membuat putusan terhadap terdakwa. Proses pidana
adalah proses penyelesaian perkara yang bertujuan agar pelanggar peraturan hukum
pidana atau pelaku tindak pidana oleh badan peradilan dijatuhi pidana yang setimpal
dengan kesalahannya.
Proses penyelesaian perkara pidana dimaksudkan untuk menunjukkan
rangkaian tindakan-tindakan atau perbuatan-perbuatan dalam rangka penanganan
suatu perkara pidana. Dan sasaran proses tersebut adalah mencari atau
mengumpulkan bukti dan menentukan terdakwa (Laden Marpaung. 1992: 152).
Berdasarkan hasil penelitian, selanjutnya akan dibahas satu putusan
Pengadilan Negeri Sukoharjo, yaitu Putusan Nomor : 184 / PID.B. / 2006 / PN SKH
1. Kasus Posisi
Dalam perkara ini identitas Terdakwa adalah sebagai berikut :
Nama : SUTRISNO BIN SARIJO
Tempat Lahir : Trenggalek
Umur/ Tanggal Lahir : 36 Tahun/ 02 Juni 1970
Jenis Kelamin : Laki-laki
Kebangsaan/ Warganegara : Indonesia
Tempat tinggal : Aspol Manahan Surakarta
Agama : Islam
Pekerjaan : Polri
Pada hari Jumat tanggal 20 Oktober 2006 sekitar jam 02.00 WIB
atau pada pukul lain dalam bulan Oktober 2006 Sutrisno Bin Sarijo (sebagai
terdakwa) bertempat di Dk. Pasekan, Rt 01, Rw 03, Kel Combongan Kecamatan
Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo atau setidak-tidaknya di tempat lain yang masih
termasuk daerah hukum Pengadilan Negeri Sukoharjo yang berwenang
memeriksa dan mengadili perkara ini, karena kealpaannya menyebabkan
matinya orang lain yaitu MARINO, perbuatan tersebut dilakukan oleh terdakwa
dengan cara-cara sebagai berikut :
Berdasarkan Surat Perintah No. Pol.Sprint/ 288/ VII/ 2006 tanggal 10
Agustus 2006 Team dari Resmob Kompi Brimob BS Polwil Surakarta yang
dipimpin oleh saksi Brigadir Mulyono dengan tiga orang anggota yaitu saksi
Brigadir Priyanto, Briptu Tupono dan terdakwa Sutrisno mengadakan patroli di
wilayah Sukoharjo dan pada saat sampai di wilayah Dukuh Pasekan Desa
Combongan Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo, selanjutnya team
Patroli melihat segerombolan orang kurang lebih 10 (sepuluh) orang tengah
bermain judi domino di tepi jalan pertigaan dekat penjual Hik, kemudian
terdakwa dengan saksi Brigadir Priyanto dan Briptu Tupono dengan
mengendarai sepeda motor mendekati para penjudi tersebut dan langsung
melakukan penangkapan, pada saat itu terdakwa dapat menangkap satu orang
sedangkan Briptu Tupono juga berhasil menangkap satu orang sedangkan
Brigadir Priyanto mengamankan barang bukti sedangkan saksi Brigadir
Mulyono masih di belakang (menunggu dalam mobil APV), setelah memberi
tahu saksi Mulyono agar mendekatkan mobil ke TKP untuk mengamankan
tersangka dan barang bukti selanjutnya terdakwa bersama dengan saksi Tupono
melakukan pengejaran pemain judi yang melarikan diri ke arah kampung, dan
pada saat sampai kira-kira sepuluh meter dari perempatan desa bertanya pada
salah seorang yaitu saksi Widodo apakah termasuk pemain judi tapi belum
sempat dijawab karena saksi Widodo langsung jongkok dan menutup wajahnya
dengan kedua tangan, tiba-tiba terdakwa didekap dari belakang oleh korban
Marino, dan terdakwa selanjutnya merasa kaget selanjutnya berusaha
melepaskan dekapan sambil mengatakan bahwa ia anggota Polisi, Namun entah
mengapa korban Marino tidak melepaskan dekapan tetapi malah semakin kuat
dekapannya, selanjutnya dalam posisi masih didekap dari belakang oleh korban
Marino, tangan kanan terdakwa berusaha mengambil senjata jenis Revolver
kaliber 38 Nomor : 012920 yang terletak di pinggang sebelah kiri kemudian
melakukan usaha tembakan peringatan, terdakwa melakukan tembakan
peringatan pada posisi samping pinggang kiri arah depan, dengan adanya
tembakan peringatan tersebut korban tetap tidak melepaskan dekapan bahkan
korban Marino berteriak “Maling…. Maling…!!” dan karena mendengar suara
tembakan beberapa saat kemudian Briptu Tupono datang serta berusaha
membantu terdakwa melepaskan dari dekapan korban Marino. Namun belum
sempat saksi Tupono berhasil melepaskan pegangan tangan kiri korban yang
saat itu memegang tangan kanan terdakwa yang memegang senjata, saksi
Tupono sudah berusaha menghalau dua laki-laki yaitu saksi Sarman dan saksi
Sariman yang datang berusaha mendekati terdakwa dengan mengatakan “Kami
Polisi, harap tenang… mundur”, selanjutnya terdakwa merasa panik karena
khawatir akan banyak anggota masyarakat yang datang dan mengeroyok dirinya
karena dikira “maling” maka dalam keadaan yang tidak tenang atau panik
tersebut terdakwa dengan tergesa-gesa dan kuat menarik tangan kanannya yang
memegang senjata yang masih dipegang oleh korban, karena tarikan yang kuat
tersebut tanpa sengaja terdakwa juga menarik picu senjata sehingga meletus
mengeluarkan bunyi ledakan dan mengenai perut sebelah kiri korban Marino,
mengetahui senjatanya meledak dan mengenai perut korban terdakwa merasa
kaget dan segera berusaha membawa korban ke rumah sakit dan mengemudikan
mobil APV, namun korban ternyata meninggal saat dilarikan ke Rumah Sakit
Dr. OEN Solo Baru Sukoharjo.
2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
Terdakwa oleh Jaksa Penuntut Umum telah didakwa dengan dakwaan
tunggal Pasal 359 KUHP unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:
4. Barang Siapa
a. Bahwa yang dimaksud dengan unsur barang siapa dalam hal ini
menunujuk pada seseorang (persoon) yang didakwa melakukan suatu
tindak pidana sebagaimana dalam Dakwaan Jaksa Penuntut Umum.
b. Bahwa di persidangan Terdakwa SUTRISNO Bin SARIJO telah
membenarkan identitasnya dalam Dakwaan Jaksa Penuntut Umum dan
ternyata terdakwa tersebut adalah orang yang sehat jasmani maupun
rohaninya sehingga mampu mempertanggungjawabkan segala
perbuatannya, maka unsur barang siapa dalam hal ini adalah terdakwa
SUTRISNO Bin SARIJO itu sendiri dan bukan orang lain.
5. Karena Kealpaannya / Kelalaiannya
1) Bahwa perbuatan pidana karena kealpaannya/ kelalaiannya adalah
sebagai perbuatan yang akibatnya tidak dikehendaki oleh pelaku.
2) Bahwa dari fakta yang terungkap di persidangan apa yang dilakukan oleh
terdakwa adalah bukan merupakan kesengajaan tetapi merupakan
kelalaian hal ini antara ditandai dengan tidak adanya niat untuk
membunuh korban Marino demikian pula adanya penyesalan yang
mendalam dari terdakwa dengan semaksimal mungkin berusaha mebawa
koban Marino ke rumah sakit agar nyawanya dapat tertolong. Bahwa dari
fakta-fakta yang terungkap di persidangan pada malam kejadian telah
terjadi pergumulan antara saksi korban Marino dan terdakwa
SUTRISNO dikarenakan SUTRISNO dikira bukan polisi tetapi seorang
pencuri karena ada teriakan maling-maling. Bahwa dari keterangan
saksi-saksi di depan persidangan bahwa pada saat korban Marino di
dekat tempat kejadian perkara memang bersamaan ada pengejaran
terhadap orang-orang yang bermain judi dan memasuki kampung dimana
pada saat itu saksi korban tidak termasuk orang yang ikut main judi.
Bahwa berdasar pertimbangan di muka maka Jaksa Penuntu Umum
berpendapat bahwa unsur karena kekhilafannya/ kelalaiannya telah
terbukti.
6. Menyebabkan Orang Lain Mati
Bahwa dari fakta yang terungkap di persidangan dan dibenarkan oleh
terdakwa bahwa tembakan kedua dari terdakwa SUTRISNO mengakibatkan
korban roboh untuk selanjutnya oleh saksi Mulyono, Priyanto, Tupono dan
SUTRISNO dibawa ke Rumah Sakit Dr. Oen untuk mendapat perawatan.
Bahwa pada saat sudah sampai di rumah sakit Dr. OEN kurang lebih jam
02.30 WIB korban Marino meninggal dunia. Bahwa meninggalnya korban
Marino berdasarkan Visum Et Repertum RS Dr. Oen Solo Baru Sukoharjo
Nomor 73.IKF & ML/ LT/ X/ 2006 tanggal 20 Oktober 2006 yang dibuat
dan ditandatangani oleh dr. Rorry Hartono, SPf menerangkan bahwa saat
kematian korban Marino diperkirakan 6-8 jam sebelum dilakukan
pemeriksaan dan sebab kematian korban karena adanya pendarahan akibat
robek dan putusnya pembuluh darah besar yang disebabkan anak peluru dari
luka tembak jarak dekat. Bahwa di depan persidangan saksi-saksi maupun
terdakwa membenarkan bahwa barang bukti berupa pistol revolver 38
Nomor 012920 adalah senjata inventaris Brimob BS Polwil Surakarta yang
diijinkan dipegang oleh terdakwa untuk menjalankan tugas sebagai seorang
polisi dan akhirnya mengakibatkan korban Marino tertembak dan meninggal
dunia. Berdasarkan pertimbangan di atas maka Jaksa Penuntut Umum
berpendapat bahwa unsur menyebabkan orang lain mati telah terbukti.
3. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
Tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum pada pokoknya adalah menuntut supaya
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo yang memeriksa dan mengadili
perkara ini memutuskan :
a. Menyatakan terdakwa SUTRISNO Bin SARIJO bersalah melakukan tindak
pidana Karena Kealpaannya Menyebabkan Orang Lain Mati sebagaimana
diatur dalam Pasal 359 KUHP
b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa SUTRISNO Bin SARIJO dengan
pidana penjara selama 1 (satu) tahun dikurangi selama terdakwa ditahan dan
dengan perintah terdakwa tetap ditahan
c. Menetapkan barang bukti berupa :
- 1(satu) pucuk senjata api genggam jenis Rev, 38 Spesial No. AE.S
012920 beserta surat pemegang senpi An. BRIBDA SUTRISNO
- 2 (dua) butir peluru dan 3 (tiga) butir peluru aktif, dikembalikan kepada
saksi Supadi selaku Baur Logistik Kompi Brimob BS Polwil Surakarta
- 1 (satu) butir proyektil yang ditemukan di dalam tubuh korban dirampas
untuk dimusnahkan
- 1 (satu) kaos lengan panjang warna merah milik korban yang terdapat
jelaga (serbuk mesiu) dikembalikan kepada ahli waris dari Marino
d. Menetapkan agar terdakwa SUTRISNO Bin SARIJO dibebani membayar
biaya perkara sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah)
4. Pembelaan Terdakwa
Pledoi atau pembelaan terdakwa melalui Penasihat Hukumnya tanggal 8
Maret 2007 yang diajukan di depan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo
pada pokoknya :
a. Menyatakan atau memutuskan tindak pidana yang didakwakan kepada
saudara terdakwa, tidak memenuhi unsur secara meyakinkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 359 KUHP
b. Menyatakan atau memutuskan membebaskan terdakwa dari segala tuntutan
hukum yang berlaku
c. Menyatakan atau memutuskan membebankan seluruh biaya yang timbul
dibebankan kepada negara, atau
d. Apabila hakim berkesimpulan lain, mohon keputusan yang seadil-adilnya.
5. Pertimbangan Hakim
a. Bahwa meninggalnya korban Marino berdasarkan Visum Et Repertum RS
Dr. Oen Solo Baru Sukoharjo Nomor 73.IKF & ML/ LT/ X/ 2006 tanggal 20
Oktober 2006 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Rorry Hartono, SPf
menerangkan bahwa saat kematian korban Marino diperkiran 6-8 jam
sebelum dilakukan pemeriksaan dan sebab kematian korban karena adanya
pendarahan akibat robek dan putusnya pembuluh darah besar yang
disebabkan anak peluru dari luka tembak jarak dekat.
b. Bahwa di depan persidangan telah ditunjukkan barang bukti berupa pistol
revolver 38 Nomor 012920 adalah senjata inventaris Brimob BS Polwil
Surakarta yang diijinkan dipegang oleh terdakwa untuk menjalankan tugas
sebagai seorang polisi dan akhirnya mengakibatkan korban Marino
tertembak dan meninggal dunia.
c. Menimbang, bahwa di persidangan telah didengar keterangan saksi-saksi
yang telah bersumpah menurut tata cara agamanya, yaitu :
1) Saksi ke 1, Brigadir Mulyono
2) Saksi ke 2, Brigadir Priyanto
3) Saksi ke 3, Briptu Tupono
4) Saksi ke 4, Sarman
5) Saksi ke 5, Sariman
6) Saksi ke 6, Widodo
7) Saksi ke 7, Widodo Bin Pono Sumarto
8) Saksi ke 8, Supadi
9) Saksi ke 9, Andi Rifai. SIK
10) Saksi ke 10, Dr. H. Rorry Hartono, Spf
d. Menimbang, bahwa di muka persidangan terdakwa telah memberikan
keterangan sebagai berikut :
1) Bahwa terdakwa terlibat dalam perkara ini telah melakukan
penembakan terhadap korban yang bernama Marino.
2) Bahwa terdakwa anggota Polisi dan terdakwa bertugas di Brimob BS
Grogol Sukoharjo.
3) Bahwa terdakwa punya isteri, dan punya anak 2 (dua) orang.
4) Bahwa terdakwa menjadi Polisi sudah 16 tahun.
5) Bahwa terdakwa tugas sebagai Brimob sudah 14 tahun.
6) Bahwa terdakwa pernah ditugaskan di Timor Timur, di Srondol,
selama dua tahun, di Polda 3 tahun, jadi polisi biasa, di Aceh 1 tahun,
lalu kembali ditugaskan di Kompi Grogol selama ± 4 tahun hingga
sekarang.
7) Bahwa terdakwa pernah di BKO da di Polwil tahun 2003, 1 bulan terus
di BKO di Aceh Timur, 1 tahun, di BKO kan di Polres Sukoharjo ± 8
bulan.
8) Bahwa tugas di BKO kan di Polres Sukoharjo membantu, mengungkap
kasus kejadian yang menonjol, dan pernah mengungkap kasus
penjambretan, pencurian, dan pemerkosaan.
9) Bahwa terdakwa dan anggota lainnya pada saat patroli ada menemukan
orang yang sedang bermain judi sekitar 10 orang, pada waktu itu ada
yang tertangkap dua orang, yang lainnya melarikan diri masuk
kampung sekitar 6 orang.
10) Bahwa terdakwa dan anggota lainnya menemukan orang yang sedang
bermain judi yaitu pada hari Jumat sekitar jam 01.45 WIB, ditepi jalan
pertigaan dekat penjual Hik, terdakwa dapat menangkap 1 orang, dan
Briptu Topono dapat menangkap 1 orang, sedangkan Brigadir Priyanto
mengamankan barang bukti yang ditemukan ditempat kejadian
tersebut.
11) Bahwa terdakwa dan Tupono kemudian mengejar para pelaku lainnya
yang melarikan diri ke arah kampung (masuk kampung).
12) Bahwa setelah terdakwa masuk kampung di teras sebuah rumah
terdakwa melihat ada dua orang, selanjutnya terdakwa menanyai salah
satunya bernama Widodo, apakah ikut main judi, belum sempat
pertanyaan dijawab terdakwa didekap dari belakang oleh seseorang.
13) Bahwa terdakwa berusaha melepaskan dekapan tersebut tetapi karena
sangat kuat tidak berhasil dilepaskan.
14) Bahwa saat berusaha melepaskan dekapan, terdakwa sambil berkata
lepaskan saya polisi....saya polisi, tetapi korban Marino tetap tidak
melepaskan.
15) Bahwa saat terdakwa masih didekap oleh korban Marino, malah ia
berteriak ”maling-maling”, terdakwa kemudian meraih pistolnya dan
kemudian mengeluarkan tembakan peringatan dengan arah pistol ke
arah pinggang sebelah kiri.
16) Bahwa pada saat itu Marino tetap tidak melepaskan dekapannya,
datang anggota lainnya Briptu Tupono berusaha melepaskan dekapan
Marino dan berhasil melepaskan dekapan tangan kanan korban pada
tangan kiri terdakwa lalu berbalik, saat terdakwa menarik tangannya
posisi jari telunjuk masih di dalam/ pada picu karena sangat kuat
tarikan tangan terdakwa sehingga tanpa disadari pistol meletus dan
mengenai pinggang sebelah kiri korban Marino.
17) Bahwa letusan tersebut terjadi karena terdakwa kurang hati-hati dan
tidak memperkirakan akan meletus mengenai korban Marino.
18) Bahwa terdakwa setelah mengetahui korban Marino terluka, dan
berusaha mengambil mobil yang sedang dibawa oleh Brigadir
Mulyono, lalu terdakwa berusaha menolong korban dengan menyopir
sendiri mobil tersebut dan membawa korban ke Rumah sakit Dr. Oen
Solo Baru.
19) Bahwa terdakwa sangat menyesal atas kejadian tersebut, baru pertama
kali hal ini terjadi selama terdakwa menjalankan tugas.
20) Bahwa keluarga terdakwa ada datang ke rumah keluarga korban untuk
memberikan santunan untuk membantu keluarga korban, dan benar
terdakwa berniat sanggup mambantu biaya sekolah anak-anak korban.
e. Menimbang, bahwa pada saat tersebut korban MARINO tertembak hingga
meninggal dunia terdakwa SUTRISNO dalam keadaan sehat lahir dan batin
tidak ada alasan pembenar maupun pemaaf hal ini ditandai dengan
pengenaan hukuman disiplin oleh Tim Disiplin Kepolisian yang menghukum
terdakwa dengan penjara 21 hari dan penundaan kenaikan pangkat selama
dua periode sehingga pembelaan terdakwa melalui Penasihat Hukumnya
untuk membebaskan terdakwa dengan alasan penggunaan Pasal 212 KUHP
dan Pasal 216 ayat (1) KUHP dipandang tidak beralasan.
f. Menimbang, penyekapan yang dilakukan oleh korban MARINO terhadap
terdakwa hemat Majelis tidak harus dilakukan tembakan peringatan yang
dapat menyebabkan kematian korban, semestinya terdakwa selaku seorang
anggota kepolisian dapat melumpuhkan korban dengan ilmu bela diri yang
dimiliki, setelah bela diri tersebut tidak berhasil baru diperingatkan dengan
lisan, apabila tidak berhasil baru dengan tembakan peringatan dua kali ke
atas, apabila tidak berhasil baru tembakan ke arah fisik yang tidak
membahayakan jiwa dan seterusnya.
g. Menimbang, bahwa disamping itu hemat Majelis Hakim penyekapan yang
dilakukan oleh korban MARINO adalah bukan penyekapan yang
membahayakan jiwa terdakwa sebab fisik terdakwa lebih besar dari pada
fisik korban MARINO dan dengan dibawanya pistol oleh terdakwa hemat
Majelis tidak harus secara tergesa-gesa digunakan sehingga menyebabkan
kematian dari korban ;
h. Menimbang, bahwa Majelis Hakim sependapat dengan Jaksa Penuntut
Umum bahwa pada saat terjadi penyekapan oleh korban MARINO terdakwa
tidak dapat menahan emosinya sehingga dia panik dan terlalu tergesa-gesa
mengeluarkan senjata pistol sehingga akhirnya menyebabkan korban
tertembak akhirnya meninggal dunia.
i. Menimbang, bahwa untuk itu Majelis Hakim sependapat dengan Tuntutan
Jaksa Penuntut Umum yang berpendapat bahwa Pasal 359 KUHP bisa
diterapkan terhadap terdakwa dan Majelis Hakim tidak sependapat dengan
pembelaan terdakwa melalui Penasihat Hukumnya yang memohon agar
terdakwa dibabaskan karena unsur-unsur Pasal 359 KUHP tidak terpenuhi.
j. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di muka maka Majelis Hakim
berpendapat bahwa terhadap terdakwa harus dinyatakan telah terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan pidana karena
kelalaiannya sehngga menyebabkan matinya orang lain.
k. Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan pidana terhadap diri terdakwa,
terlebih dahulu akan dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
Hal-hal yang memberatkan :
4. Terdakwa selaku seorang anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
seharusnya menjadi pelayan, pengayom dan pelindung masyarakat dan
ternyata hal ini tidak dilakukan secara optimal.
5. Perbuatan terdakwa telah mengurangi citra Polisi Indonesia yang sedang
dan selalu dibangun oleh Kepolisian Negara republik Indonesia.
6. Perbuatan terdakwa telah menimbulkan korban jiwa dan meresahkan
masyarakat.
Hal-hal yang meringankan :
3. Terdakwa berterus terang dalam memberikan keterangan sehingga
memperlancar persidangan.
4. Terdakwa menyesali atas perbuatannya dan berjanji tidak akan
mengulangi perbuatan serta berjanji secara lesan di depan persidangan
akan memperhatikan anak-anak korban.
l. Menimbang, bahwa tujuan umum dari politik kriminal adalah ”perlindungan
masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”. Bertolak dari
konsepsi yang demikianlah kiranya, Seminar Kriminologi ketiga tahun 1976
dalam kesimpulannya (Keputusan Seminar Kriminologi ketiga 26 dan 27
tahun 1976) Hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu
sarana untuk social defence dalam arti melindungi masyarakat terhadap
kejahatan dengan memperbaiki atau memulihkan kembali (rehabilitatie) si
pembuat tanpa mengurangi keseimbangan kepentingan perorangan
(pembuat) dan masyarakat.
6. Amar Putusan
a. Menyatakan terdakwa SUTRISNO Bin SARIJO sebagaiman identitas di atas
telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan
pidana karena kealpaannya sehingga mengakibatkan orang lain mati.
b. Memidana oleh karenaya dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun,
c. Menetapkan bahwa lamanya pidana yang dijatuhkan akan dikurangkan
seluruhnya dari masa tahanan yang sudah dijalani..
d. Memerintahkan terdakwa tetap berada dalam tahanan.
e. Memerintahkan agar barang bukti berupa :
- 1 (satu) pucuk senjata api genggam jenis Revolver 38 Spesial No.
AE.S.012920 beserta surat pemegang senpi atas nama BRIPDA
SUTRISNO, 2 (dua) butir kelongsongan peluru dan 3 (tiga) peluru aktif
dikembalikan kepada saksi SUPADI selaku Baur Logistik Kompi Brimob
BS Polwil Surakarta.
- 1 (satu) butir proyektil yang ditemukan di dalam tubuh korban dirampas
untuk dimusnahkan.
- 1 (satu) kaos lengan panjang warna merah milik korban dikembalikan ahli
waris korban MARINO.
f. Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp. 2500,- (dua ribu
lima ratus rupiah).
B. Pembahasan Hasil Penelitian
3. Analisis Hukum Pidana Terhadap Penerapan Pasal 359 KUHP Oleh Hakim
Dalam Kasus Penembakan Yang Dilakukan Oleh Aparat Kepolisian
Kepolisian Negara Kesatuan Republik Indonesia, mempunyai tugas dan
wewenang yang harus dilaksanakan. Hal ini juga berlaku bagi anggota
Kepolisian, dimana tugasnya sebagai pelayan, pengayom dan pelindung
masyarakat serta harus dapat menjaga citra Polisi Indonesia yang sedang dan
selalu dibangun oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. Aparat Kepolisian
dalam menjalankan tugasnya harus selalu berhati-hati dan waspada terhadap
bahaya yang mungkin saja menghadang, aparat Kepolisian seharusnya juga tidak
melakukan kealpaan dalam menjalankan tugasnya dan dapat berpikir dan
bertindak bijaksana dalam mengambil keputusan demi menyelamatkan jiwa diri
sendiri maupun orang lain.
Dari Putusan Pengadilan Negeri Sukoharjo atas terdakwa SUTRISNO BIN
SARIJO tersebut, maka penulis dapat mengenalisa kasus kealpaan yang
menyebabkan matinya orang lain tersebut sebagai berikut :
- Terdakwa diajukan ke Pengadilan Negeri Sukoharjo dengan Acara
Pemeriksaan Biasa.
- Terdakwa telah ditahan sejak tanggal 21 Oktober 2006 sampai dengan 9
Nopember 2006 oleh penyidik, yang telah sesuai dengan Pasal 7 KUHAP ayat
(1) butir (d) yang mengatur tentang kewenangan penyidik, yaitu : ”melakukan
penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan”.
- Perpanjangan tanggal 10 Nopember 2006 sampai dengan 19 Desember 2006.
- Perpanjangan oleh Penuntut Umum sejak tanggal 20 Desember 2006 s/d 08
Januari 2007, sesuai dengan Pasal 14 KUHAP butir (c), yang berbunyi :
”Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan, atau
penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya
dilimpahkan oleh penyidik”.
- Kemudian dilakukan perpanjangan penahanan oleh hakim sejak tanggal 28
Desember 2006 sampai dengan 26 Januari 2007, dan terakhir perpanjangan
Ketua Pengadilan Negeri Sukoharjo, sejak tanggal 27 Januari 2007 sampai
dengan 27 Maret 2007.
Berdasarkan alat bukti dan keterangan saksi-saksi tersebut, terdakwa
SUTRISNO BIN SARIJO didakwa dengan dakwaan tunggal yaitu telah
melanggar Pasal 359 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :
“Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu
tahun”.
Pasal tersebut didakwaan kepada terdakwa, karena unsur-unsur pidana
yang disangkakan telah terpenuhi. Unsur pidana tersebut adalah sebagai berikut :
a. Unsur barang siapa
b. Unsur karena kealpaannya / kelalaiannya
c. Unsur menyebabkan orang lain mati
Unsur barang siapa
Bahwa unsur barang siapa, adalah unsur harus terpenuhinya subyek
hukum dalam suatu perkara. Berdasarkan keterangan saksi dan alat bukti yang
ada, yang terkait dengan perkara ini adalah untuk menentukan jawaban siapa
subyek hukumnya, maka dapat dipahami bahwa subyek hukum dalam perkara
ini adalah Sutrisno Bin Sarijo, terdakwa merupakan anggota aparat penegak
hukum yaitu sebagai anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam
kesatuan Brigadir Mobil wilayah Surakarta.
Berdasarkan Putusan Pengadilan atas terdakwa Sutrisno tersebut telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan pidana,
karena kealpaannya sehingga mengakibatkan orang lain mati.
Dalam hal ini, Sutrisno juga sudah dikatagorikan sebagai orang yang
mempunyai kemampuan bertanggung jawab, yaitu dengan ciri-ciri :
1) Sutrisno mempunyai kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan
yang baik dan yang buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan hukum,
karena mengingat pekerjaannya adalah sebagai aparat penegak hukum.
Sesuai dengan kasus posisi di dalam putusan majelis hakim, Sutrisno
seharusnya menggunakan tangan kosong atau ilmu bela diri yang
dimilikinya untuk melawan korban Marino, sehingga tidak perlu
mengeluarkan senjata api yang dapat melukai korban.
2) Sutrisno mempunyai kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut
keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi, karena sebagai seorang
aparat penegak hukum, seharusnya Sutrisno tahu benar mengenai waktu
yang tepat tembakan dapat dikeluarkan dan pada bagian tubuh kaki
tembakan tersebut di arahkan, karena hal ini telah ada dalam kode etik
profesi kepolisian.
Perlawanan Sutrisno terhadap korban Marino dilakukan dengan
menggunakan senjata api (pistol), tembakan peringatan hanya dilakukan satu
kali, dan tembakan kedua langsung mengenai perut sebelah kiri yang
mengakibatkan korban roboh kemudian meninggal dunia dalam perjalanan
ke rumah sakit. Sesuai keterangan tersebut, dapat dilihat bahwa Sutrisno
tidak menggunakan kemampuannya untuk menentukan perbuatan yang akan
dilakukan akan berakibat baik atau buruk.
Unsur karena kealpaannya / kelalaiannya
Bahwa di dalam hukum pidana perbuatan pidana (delik) antara lain dibagi
atas perbuatan yang disengaja (dolus) dan perbuatan karena kealpaannya
/kelalaiannya (culpos). Perbuatan dengan sengaja adalah pelaku dalam
perkara tersebut memang sengaja melakukan perbuatan tersebut dan ia
menghendaki akibat dari perbuatannya dan mempunyai kesempatan pula untuk
melihat alat apa yang akan dipergunakannya, perbuatan dengan sengaja ada
kesempatan waktu yang cukup bagi seorang untuk meneruskan atau
mengurungkan perbuatannya.
Perbuatan pidana karena kealpaannya/ kelalaiannya adalah sebagai
perbuatan yang akibatnya tidak dikehendaki oleh pelaku. Untuk terpenuhinya
unsur karena kealpaannya atau kelalaiannya, menurut Van Hamel
(cetakan ke-4 kaca 313) harus mengandung dua syarat yaitu :
3) Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum.
Mengenai ini ada dua kemungkinan yaitu:
c) atau terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi karena
perbuatannya, padahal pandangan itu kemudian ternyata tidak benar.
d) atau terdakwa sama sekali tidak mempunyai pikiran bahwa akibat yang
dilarang mungkin timbul karena pebuatannya.
4) Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum
(Moeljatno.2000: 201).
Di sini yang menjadi obyek perhatian adalah tingkah laku terdakwa
(Sutrisno) dan juga korban (Marino) yaitu apakah yang dilakukan, apakah dalam
keadaan tertentu itu tingkah laku terdakwa sudah memenuhi aturan-aturan
sebagai aparat Kepolisian, apakah dalam keadaan tertentu itu tingkah laku
korban telah memenuhi ukuran-ukuran yang berlaku dalam pergaulan
masyarakat kita.
Syarat mengenai kealpaan, dihubungkan dengan sikap batin terdakwa dan
akibat yang timbul karena perbuatannya atau keadaan yang menyertainya.
Perbuatan yang dilakukan terdakwa itu seharusnya dapat dihindarkan apabila ia
tidak lalai atau lupa atau kurang hati-hati dan juga harus patut menduga bahwa
perbuatannya akan menimbulkan akibat yang terlarang oleh hukum.
Sebaiknya harus ada hubungan kausal artinya harus ada hubungan lahir
antara fakta yang terungkap di persidangan dengan fakta yang ada di tempat
kejadian perkara, yaitu:
- Bahwa pada waktu terdakwa mengatakan bahwa ia adalah seorang polisi tetapi
dekapan dari korban Marino terhadap terdakwa Sutrisno masih tetap kuat
karena diperkirakan Sutrisno bukan seorang polisi karena pada kejadian
terdakwa tidak menggunakan atribut baju polisi tetapi terdakwa memakai baju
preman dan rambutnya panjang.
- Bahwa terdakwa Sutrisno berusaha semaksimal mungkin untuk melepaskan
pegangan tangan kiri dari korban Marino tetapi tidak berhasil maka pada saat
bersamaan terdakwa mengeluarkan tembakan peringatan yang pertama tidak
mengenai korban sedangkan tembakan yang kedua mengenai korban sehingga
korban roboh.
- Bahwa menurut terdakwa dekapan dari korban sangat kuat sehingga ia sulit
untuk melepaskan maka antara tangan terdakwa dan tangan korban sempat
terjadi tarik menarik sehingga akhirnya terdakwa mengeluarkan pistol yang
ada dipinggangnya untuk memberi tembakan peringatan.
- Bahwa setelah korban Marino roboh maka selanjutnya oleh terdakwa beserta
Tupono dan polisi lainnya korban dibawa ke Rumah Sakit Dr. Oen Sukoharjo
untuk mendapatkan perawatan.
- Bahwa saksi AKP Andi Rifa’i Komandan Kompi Brimob BS Polwil Surakarta
(atasan terdakwa) di depan pesidangan mengemukakan bahwa benar terdakwa
sebelum menggunakan senjata api harus memberikan peringatan lesan,
selanjutnya tembakan peringatan dua kali dan selanjutnya baru tembakan yang
melumpuhkan.
- Bahwa dalam perkara terdakwa Sutrisno dari fakta yang terungkap di
persidangan peringatan lesan sudah dilakukan, tembakan peringatan sudah
dilakukan sedangkan tembakan yang melumpuhkan tidak dilakukan oleh
terdakwa hal ini terbukti tembakan yang kedua telah mengenai perut korban
Marino.
- Bahwa menurut Majelis Hakim bahwa tembakan kedua yang dilakukan oleh
terdakwa merupakan salah prosedur pengunaan senjata hal ini ditandai dengan
jatuhnya korban Marino demikian pula berdasar tindakan disiplin yang
dilakukan oleh Tim Disiplin Polisi yang telah menjatuhkan hukuman disiplin
kepada terdakwa dengan hukuman 21 hari di sel khusus dan penundaan
kenaikan pangkat selama 2 (dua) periode. Hukuman ini sesuai dengan
Peraturan Pemerintah No 2 tahun 2003 Pasal 9 yang menyatakan, bahwa
hukuman disiplin berupa:
a. teguran tertulis
b. penundaan mengikuti pendidikan paling lama 1 (satu) tahun
c. penundaan kenaikan gaji berkala
d. penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama satu tahun
e. mutasi yang bersifat demosi
f. pembebasan dari jabatan
g. penempatan dalam tempat khusus paling lama 21 (dua puluh satu) hari