Top Banner
LAPORAN ANALISIS RESEP DISENTRI Disusun Guna Memenuhi Sebagai Syarat Untuk Mengikuti Ujian Ilmu Farmasi Kedokteran Oleh : M. Rifqi Farizan A. I1A008003 Pembimbing Dra. Sulistiyaningtyas
68

Analisa Resep r

Aug 07, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Analisa Resep r

LAPORAN ANALISIS RESEP

DISENTRI

Disusun Guna Memenuhi Sebagai Syarat Untuk Mengikuti Ujian

Ilmu Farmasi Kedokteran

Oleh :

M. Rifqi Farizan A.

I1A008003

Pembimbing

Dra. Sulistiyaningtyas

Universitas Lambung Mangkurat

Fakultas Kedokteran

Bagian Farmakologi

Banjarbaru

2013

Page 2: Analisa Resep r

BAB I

PENDAHULUAN

Obat berperan penting dalam pelayanan kesehatan. Penanganan dan

pencegahan berbagai penyakit tidak dapat dilepaskan dari tindakan terapi dengan

obat atau farmakoterapi. Berbagai pilihan obat saat ini tersedia, sehingga

diperlukan pertimbangan yang cermat dalam pemilihan obat untuk suatu penyakit,

dengan mempertimbangkan efektivitas, keamanan, efek samping, interaksi antar

obat dan dari segi ekonomi.1

Prosedur penatalaksanaan seorang pasien dilakukan secara simultan mulai

dari anamnesa, pemeriksaan fisik hingga pemeriksaan penunjang bila diperlukan.

Setelah melalui prosedur tersebut, seorang dokter sebagai praktisi medis akan

menentukan diagnosis yang tepat berdasarkan keluhan utama dan gejala penyerta

lainnya. Selanjutnya akan dilakukan upaya penyembuhan terhadap diagnosis yang

telah ditegakkan dengan berbagai cara misalnya melalui upaya pembedahan,

fisioterapi, penyinaran, dengan obat dan lain-lain. Namun secara umum, terapi

awal dilakukan dengan menggunakan obat.1

Obat yang diberikan kepada penderita harus dipesankan dengan

menggunakan resep. Satu resep umumnya hanya diperuntukkan bagi satu

penderita. Resep selain permintaan tertulis kepada apoteker juga merupakan

perwujudan akhir dari kompetensi, pengetahuan keahlian dokter dalam

menerapkan pengetahuannya dalam bidang farmakologi dan terapi. Selain sifat-

sifat obat yang diberikan dan dikaitkan dengan variabel dari penderita, maka

1

Page 3: Analisa Resep r

dokter yang menulis resep idealnya perlu pula mengetahui penyerapan dan nasib

obat dalam tubuh, ekskresi obat, toksikologi serta penentuan dosis regimen yang

rasional bagi setiap penderita secara individual. Resep juga perwujudan hubungan

profesi antara dokter, apoteker dan penderita.1,2

Pemberian obat lebih dari satu macam yang lebih dikenal dengan

polifarmasi, disamping dapat memperkuat kerja obat (potensiasi) juga dapat

berlawanan (antagonis), mengganggu absorbsi, mempengaruhi distribusi,

mempengaruhi metabolisme, dan mengganggu ekskresi obat yang disebabkan

oleh terjadinya interaksi obat.3

Untuk dapat menuliskan resep yang tepat dan rasional seorang dokter

harus memiliki cukup pengetahuan dasar mengenai ilmu-ilmu farmakologi yaitu

tentang farmakodinamik, farmakokinetik, dan sifat-sifat fisiko-kimia obat yang

diberikan. Oleh karena itu dokter memainkan peranan penting dalam proses

pelayanan kesehatan khususnya dalam melaksanakan pengobatan melalui

pemberian obat kepada pasien. Kejadian penulisan resep yang tidak rasional dapat

disebabkan oleh penulisan resep yang tidak esensial, dalam suatu survey

mengenai polifarmasi pada pasien di rumah sakit dilaporkan terjadi insidens efek

samping, karena adanya kemungkinan interaksi obat.3

Medication error adalah suatu kesalahan dalam proses pengobatan yang

masih berada dalam pengawasan dan tanggung jawab profesi kesehatan, pasien

atau konsumen, dan seharusnya dapat dicegah. Dalam Surat Keputusan Menteri

Kesehatan RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 disebutkan bahwa pengertian

medication error adalah kejadian yang merugikan. pasien, akibat pemakaian obat

2

Page 4: Analisa Resep r

selama dalam penanganan tenaga kesehatan, yang sebetulnya dapat dicegah.

Kejadian medication error dibagi dalam 4 fase, yaitu fase prescribing, fase

transcribing, fase dispensing dan fase administration oleh pasien. Medication

error pada fase prescribing adalah error yang terjadi pada fase penulisan resep.

Fase ini meliputi: obat yang diresepkan tidak tepat indikasi, tidak tepat pasien atau

kontraindikasi, tidak tepat obat atau ada obat yang tidak ada indikasinya, tidak

tepat dosis dan aturan pakai. Pada fase transcribing, error terjadi pada saat

pembacaan resep untuk proses dispensing, antara lain salah membaca resep karena

tulisan yang tidak jelas. Error pada fase dispensing terjadi pada saat penyiapan

hingga penyerahan resep oleh petugas apotek. Sedangkan error pada fase

administration adalah error yang terjadi pada proses penggunaan obat.

Medication error yang terjadi pada fase apapun tentu merugikan pasien dan dapat

menyebabkan kegagalan terapi, bahkan dapat timbul efek obat yang tidak

diharapkan. Berdasarkan laporan dari USP Medication Error Reporting Program,

hal yang dapat dilakukan ketika dokter menulis resep untuk mencegah salah

interpretasi terhadap penulisan resep adalah menulis resep dengan benar dan

rasional.4

1.1. Definisi Resep

Resep dalam arti yang sempit ialah suatu permintaan tertulis dari dokter,

dokter gigi, atau dokter hewan kepada apoteker untuk membuatkan obat dalam

bentuk tertentu dan menyerahkannya kepada penderita.2

Menurut Permenkes RI No.244 menyebutkan bahwa resep adalah

permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, atau dokter hewan kepada Apoteker

3

Page 5: Analisa Resep r

Pengelola Apotek (APA) untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi

penderita sesuai peraturan perundangan yang berlaku.1

1.2. Arti Resep1

1. Dari definisi tersebut

maka resep bisa diartikan/merupakan sarana komunikasi profesional antara

dokter (penulis resep), APA (apoteker penyedia/pembuat obat), dan penderita

(yang menggunakan obat).

2. Resep ditulis dalam

rangka memesan obat untuk pengobatan penderita, maka isi resep merupakan

refleksi/pengejawantahan proses pengobatan. Agar pengobatan berhasil,

resepnya harus benar dan rasional.

1.3. Fungsi Resep

Berdasarkan pengertian diatas, dapat diketahui bahwa sebuah resep

mempunyai beberapa fungsi, diantaranya:5

1. Sebagai perwujudan cara terapi

Dari sebuah resep dapat dinilai apakah seorang dokter rasional atau tidak

dalam memberikan terapi kepada pasiennya. Dari obat-obat yang dberikan

akan memberrikan gambaran terhadap terapi yang diberikan seorang dokter

tersebut.

2. Merupakan dokumen legal

Sebuah resep merupakan sebuah dokumen yang diakui keabsahannya untuk

mendapatkan obat-obat yang diinginkan seorang dokter. Baik obat bebas,

obat bebas terbatas, obat keras maupun obat narkotik dan psikotropik. Jadi

4

Page 6: Analisa Resep r

seorang pasien akan dengan mudah mendapatkan obat keras bahkan narkotik

dan psikotropika dengan sebuah resep, karena obat-obat tersebut tidak bisa di

dapatkan tanpa adanya resep yang menyatakan bahwa pasien tersebut harus

mendapatkan terapi dengan obat tersebut.

3. Merupakan media komunikasi

Sebuah resep merupakan sarana komunikasi antara dokter-apoteker-pasien.

Apoteker akan tahu seorang pasien akan diberi obat apa saja, berapa

jumlahnya, apa bentuk sediannnya, berapa kali sehari digunakan dan kapan

penggunaannya dari tulisan seorang dokter yang diwujudkan dalam sebuah

resep.

4. Sebagai catatan terapi

Idealnya, seorang dokter seharusnya menuliskan resep dua rangkap, dimana

yang pertama diberikan kepada pasien untuk menebus obat diapotik,

sedangkan yang kedua sebagai arsip dan catatan bahwa pasien tersebut sudah

mendapatkan terapi dengan obat-obatn tertentu tersebut. Sehingga

memudahkan bila pasien tersebut mendapatkan terapi lanjutan, kontrol, atau

ada obat yang tidak cocok bagi pasien tersebut.

1.4. Kertas Resep

Resep dituliskan di atas suatu kertas resep. Ukuran yang ideal ialah lebar

10-12 cm dan panjang 15-18 cm. Untuk dokumentasi, pemberian obat kepada

penderita memang seharusnya dengan resep; permintaan obat melalui telepon

hendaknya dihindarkan.2

5

Page 7: Analisa Resep r

Blanko kertas resep hendaknya oleh dokter disimpan di tempat yang aman

untuk menghindarkan dicuri atau disalahgunakan oleh orang yang tidak

bertanggung jawab, antara lain dengan menuliskan resep palsu meminta obat

bius.2

Kertas resep harus disimpan, diatur menurut urutan tanggal dan nomor

urut pembuatan serta disimpan sekurang-kurangnya selama tiga tahun. Setelah

lewat tiga tahun, resep-resep oleh apotek boleh dimusnahkan dengan membuat

berita acara pemusnahan seperti diatur dalam SK.Menkes RI

no.270/MenKes/SK/V/1981 mengenai penyimpanan resep di apotek.2

1.5. Model Resep yang Lengkap

Resep harus ditulis dengan lengkap, supaya dapat memenuhi syarat untuk

dibuatkan obatnya di Apotek. Resep yang lengkap terdiri atas:2

Nama dan alamat dokter serta nomor surat izin praktek, dan dapat

pula dilengkapi dengan nomor telepon, jam, dan hari praktek.

Nama kota serta tanggal resep itu ditulis oleh dokter.

Tanda R/, singkatan dari recipe yang berarti “harap diambil”

(superscriptio).

Nama setiap jenis atau bahan obat yang diberikan serta jumlahnya

(inscriptio)

a) Jenis/bahan obat dalam resep terdiri dari :

1) Remedium cardinale atau obat pokok yang mutlak

harus ada. Obat pokok ini dapat berupa bahan tunggal, tetapi juga dapat

terdiri dari beberapa bahan.

6

Page 8: Analisa Resep r

2) Remedium adjuvans, yaitu bahan yang membantu

kerja obat pokok; adjuvans tidak mutlak perlu ada dalam tiap resep.

3) Corrigens, hanya kalau diperlukan untuk

memperbaiki rasa, warna atau bau obat (corrigens saporis, coloris dan

odoris)

4) Constituens atau vehikulum, seringkali perlu,

terutama kalau resep berupa komposisi dokter sendiri dan bukan obat jadi.

Misalnya konstituens obat minum air.

b) Jumlah bahan obat dalam resep dinyatakan dalam suatu

berat untuk bahan padat (mikrogram, miligram, gram) dan satuan isi untuk

cairan (tetes, milimeter, liter). Perlu diingat bahwa dengan menuliskan angka

tanpa keterangan lain, yang dimaksud ialah “gram”.

Cara pembuatan atau bentuk sediaan yang dikehendaki

(subscriptio) misalnya f.l.a. pulv = fac lege artis pulveres = buatlah sesuai

aturan obat berupa puyer.

Aturan pemakaian obat oleh penderita umumnya ditulis dengan

singkatan bahasa Latin. Aturan pakai ditandai dengan signatura, biasanya

disingkat S.

Nama penderita di belakang kata Pro : merupakan identifikasi

penderita, dan sebaiknya dilengkapi dengan alamatnya yang akan

memudahkan penelusuran bila terjadi sesuatu dengan obat pada penderita.

Tanda tangan atau paraf dari dokter/dokter gigi/dokter hewan yang

menuliskan resep tersebut yang menjadikan resep tersebut otentik. Resep

7

Page 9: Analisa Resep r

obat suntik dari golongan narkotika harus dibubuhi tanda tangan lengkap

oleh dokter/dokter gigi/dokter hewan yang menulis resep, dan tidak cukup

dengan paraf saja.

1.6. Seni & Keahlian Menulis Resep yang Tepat dan Rasional

Penulisan resep yang tepat dan rasional merupakan penerapan berbagai

ilmu, karena begitu banyak variabel-variabel yang harus diperhatikan, maupun

variabel unsur obat dan kemungkinan kombinasi obat, ataupun variabel

penderitanya secara individual.1,2

Resep yang tepat, aman, dan rasional adalah resep yang memenuhi lima

tepat, ialah sebagai berikut :

1. Tepat obat; obat dipilih dengan mempertimbangkan manfaat dan

risiko, rasio antara manfaat dan harga, dan rasio terapi.

2. Tepat dosis; dosis ditentukan oleh faktor obat (sifat kimia, fisika, dan

toksisitas), cara pemberian obat (oral, parenteral, rektal, lokal), faktor penderita

(umur, berat badan, jenis kelamin, ras, toleransi, obesitas, sensitivitas individu

dan patofisiologi).

3. Tepat bentuk sediaan obat; menetukan bentuk sediaan berdasarkan

efek terapi maksimal, efek samping minimal, aman dan cocok, mudah, praktis,

dan harga murah.

8

Page 10: Analisa Resep r

4. Tepat cara dan waktu penggunaan obat; obat dipilih berdasarkan

daya kerja obat, bioavaibilitas, serta pola hidup pasien (pola makan, tidur,

defekasi, dan lain-lain).

5. Tepat penderita; obat disesuaikan dengam keadaan penderita yaitu

bayi, anak-anak, dewasa dan orang tua, ibu menyusui, obesitas, dan malnutrisi.

Kekurangan pengetahuan dari ilmu mengenai obat dapat mengakibatkan

hal-hal sebagai berikut: 2

1. Bertambahnya toksisitas obat yang diberikan,

2. Terjadi interaksi antara obat satu dengan obat lain,

3. Terjadi interaksi antara obat dengan makanan atau minuman tertentu,

4. Tidak tercapai efektivitas obat yang dikehendaki, dan

5. Meningkatnya ongkos pengobatan bagi penderita yang sebetulnya dapat

dihindarkan.

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penulisan resep adalah:1

1. Resep harus ditulis dengan tinta

2. Penulisan nama obat, jumlah, cara pemakain harus terbaca oleh apoteker

atau asisten apoteker.

3. Menulis nama obat harus dengan huruf latin untuk zat kimianya atau nama

generiknya.

4. Hindarkan penulisan singkatan yang meragukan.

5. Dalam pemilihan obat perlu juga memperhatikan tingkat ekonomi

penderita.

9

Page 11: Analisa Resep r

Resep dikatakan sah bila mencantumkan hal-hal berikut:

1. Untuk resep dokter swasta terdapat nama, izin kerja, alamat praktek dan

rumah, serta paraf dokter pada setiap signatura.

2. Resep dokter rumah sakit/klinik/poli klinik terdapat nama dan alamat

rumah sakit/klinik/poliklinik, nama dan tanda tangan/paraf dokter penulis resep

tersebut serta bagian/unit di rumah sakit.

3. Pemberian tanda tangan untuk golongan narkotik dan psikotropik.

4. Pemakaian singkatan bahasa latin dalam penulisan resep harus baku.

Cara penulisan resep ada 3 macam, yaitu:1

1. Formula magistralis dimana obat ini merupakan racikan, sesuai dengan

formula yang ditulis oleh dokter yang membuat resep tersebut.

2. Formula officinalis dimana obat ini merupakan racikan yang formulanya

sudah standar dan dibakukan dalam formularium Indonesia dan diracik oleh

apotek apabila diminta oleh dokter pembuat resep.

3. Formula spesialistis dimana obat ini sudah jadi, diracik oleh pembuatnya,

dikemas dan diberi nama oleh pabrik pembuatnya serta bentuk sediaannya

lebih kompleks.

Beberapa kebiasaan peresepan yang tidak rasional akan mempengaruhi

mutu pengobatan dan pelayanan secara langsung atau tidak langsung. Secara luas

mempunyai pengaruh terhadap upaya penurunan mortalitas dan morbiditas

penyakit-penyakit tertentu, misalnya kebiasaan selalu memberikan antibiotik akan

meningkatkan mortalitas dan morbiditas dari setiap kasus diare dengan

penanganan tersebut.6

10

Page 12: Analisa Resep r

Pemakaian obat-obatan tanpa indikasi yang jelas merupakan pemborosan

dipandang dari sisi pasien maupun sistem pelayanan. Penulis resep mungkin

kurang memperhatikan dampak ekonomi ini, tetapi hal ini akan menimbulkan

kerugian dari segi ekonomi dan psikososial pasien.6

Apa yang dapat dijadikan alat untuk mengukur apakah pemberian resep

secara umum dalam sebuah lingkungan kesehatan sudah rasional atau belum? Tim

inti WHO yang mengurus soal obat-obatan (WHO Core Drug) menggunakan

beberapa indikator untuk menyelidikan penggunaan obat-obatan pada berbagai

fasilitas kesehatan. WHO telah membuat seperangkat parameter sebagai berikut

yaitu indikator pemberian resep:7

1. Jumlah rata-rata kunjungan tanpa pemberian obat (yang direkomendasikan

adalah kurang dari dua kali kunjungan tanpa pemberian obat.

2. Presentase obat generik yang diresepkan.

3. Presentase kunjungan dengan pemberian resep yang di dalamnya terdapat satu

jenis antibiotik.

4. Presentase kunjungan dengan pemberian suntikan.

5. Presentasi obat yang ada di dalam daftar obat-obatan atau formula dasar yang

diresepkan.

Indikator pasien:7

1. Waktu Rata-rata untuk konsultasi.

2. Waktu yang diperlukan untuk memberikan obat.

3. Presentase obat yang akhirnya diberikan.

4. Presentase obat yang diberikan label secara memadai

11

Page 13: Analisa Resep r

5. Pengetahuan pasien akan dosis obat yang tepat.

Indikator fasilitas:7

1. Ketersediaan kopi resep

2. Ketersediaan obat-obatan

BAB II

ANALISA RESEP

2.1. Resep

Contoh Resep dari Poliklinik Penyakit Dalam

12

Page 14: Analisa Resep r

Keterangan Resep

Klinik : Poli Penyakit Dalam

Tanggal : 06 November 2012

Nama Pasien : Tn. Tatang

Umur : 34 tahun

13

Page 15: Analisa Resep r

Jenis Kelamin : Laki-laki

Berat badan : 66 kg

No. RMK : 1-01-93-36

Agama : Islam

Alamat : Jl. Veteran No. 54 Banjarmasin

Pendidikan : SLTA

Pekerjaan : Pegawai Negeri

Status : Menikah

Keluhan : demam, sejak 2 hari ini, menggigil, perut sakit, pusing,

BAB cair 4 kali, ampas (+), lendir (+), darah (-), BAK

normal

Tekanan Darah : 120/80 mmHg

Diagnosa : Disentri

2.2. Analisa Resep

1. Penulisan Resep

a. Resep pada penulisan sudah ditulis dengan menggunakan tinta; resep

jika ditulis dengan pensil, ada kemungkinan satu dua tahun tidak dapat

terbaca lagi, padahal kertas resep harus disimpan di apotek selama

minimal 3 tahun, sesuai peraturan pemerintah. Secara umum resep

cukup jelas terbaca, suatu resep harus jelas dibaca sehingga tidak

menimbulkan kesalahan dalam pemberian obat-obatan.

b. Pada resep ini ukuran kertas yang digunakan panjangnya 21 cm dan

lebarnya 28 cm. Ukuran kertas resep yang ideal adalah panjang 10-

14

Page 16: Analisa Resep r

12 cm dan lebar 15-18 cm. Berdasarkan ketentuan tersebut, ukuran

kertas yang digunakan pada resep ini masih belum ideal.

c. Penulisan nama obat sudah menggunakan penulisan nama baku,

sehingga dapat dibaca oleh semua apotek, dan tidak hanya apotek

tertentu saja yang dapat membacanya. Ada satu nama obat yang

disingkat dengan PCT (paracetamol), singkatan tersebut sudah banyak

digunakan dan ditemukan dalam jurnal ilmiah sehingga dianggap

sudah baku dan tidak menimbulkan salah persepsi.

2. Kelengkapan Resep

Resep kali ini kurang lengkap karena :

1. Identitas Dokter

Pada resep ini identitas dokter berupa nama, spesialisasi, NIP dan

Instansi Rumah Sakit sudah dicantumkan. Sehingga apabila apoteker

ingin menanyakan sesuatu seperti tulisan yang tidak jelas, atau hal-hal

lain yang tidak jelas, apoteker akan mudah menghubungi dokter

tersebut.

2. Nama kota dan tanggal resep dibuat

Nama kota dan tanggal penulisan resep telah tertulis. Hal ini

memudahkan untuk mengetahui dimana resep ini ditulis.

3. Superscriptio

15

Page 17: Analisa Resep r

Tanda R/ sudah dicantumkan di setiap menuliskan nama atau jenis

obat. Pada resep ini jumlah tanda R/ adalah empat buah.

4. Inscriptio

Jenis/bahan obat dalam resep terdiri dari Remedium Cardinale, yaitu;

Metronidazol dan Sanprima F (Kotrimoksazol) sebagai obat pokok.

Remedium Adjuvans pada resep ini yaitu Paracetamol dan Ranitidin.

Untuk resep yang rasional, obat-obat yang tergolong remedium

cardinale disusun lebih dahulu dari remedium adjuvan. Pada resep ini

pengurutannya belum tepat, karena seharusnya Metronidazol dan

Sanprima F ditulis terlebih dahulu kemudian dilanjutkan penulisan

Paracetamol dan Ranitidin.

Inscriptio dalam resep ini dinilai kurang lengkap karena:

a. Bentuk sediaan obat tidak dituliskan,

b. Satuan kekuatan obat yang diminta ada yang dituliskan ada yang

tidak dituliskan sehingga dapat mengakibatkan salah penafsiran

resep.

5. Subscriptio

Resep ini tidak memiliki bagian subscriptio karena resep di atas bukan

merupakan formula magistralis.

6. Signatura/Transcriptio

a. Aturan pemakaian obat oleh penderita umumnya ditulis dengan

singkatan bahasa latin. Aturan pakai ditandai dengan signatura,

disingkat dengan S, namun pada resep ini tidak jelas dituliskan.

16

Page 18: Analisa Resep r

b. Pada resep ini frekuensi pemberian obat telah dituliskan, namun

tidak menggunakan angka romawi.

c. Penulisan aturan pakai pada resep ini belum lengkap, karena pada

pemberian semua obat tidak dicantumkannya waktu pemakaian.

Seharusnya tetap dicantumkan keterangan waktu pemakaian

misalnya sebelum makan (ac), sesudah makan (pc), sehingga

memperoleh efek obat yang optimal.

d. Untuk obat simptomatis seharusnya menggunakan “p.r.n” (kalau

perlu).

e. Untuk obat antibiotik seharusnya dituliskan tiap berapa jam harus

diminum, agar kepatuhan pasien dalam meminum antibiotik baik.

7. Identitas Pasien

Pada resep ini hanya dicantumkannya nama penderita sedangkan umur,

berat badan dan alamat penderita tidak dicantumkan. Penulisan

identifikasi penderita harus dilengkapi dengan alamatnya, untuk

memudahkan penelusuran bila terjadi kesalahan dengan obat penderita.

Selain itu resep akan mudah diberikan pada penderita tanpa khawatir

tertukar dengan resep penderita lainnya. Tetapi pada resep ini telah

dituliskan nomor telepon pasien.

8. Tidak terdapat tanda penutup resep, walaupun tempat untuk

penulisannya tidak cukup luas.

3. Keabsahan Resep

17

Page 19: Analisa Resep r

Pada resep tersebut sudah tercantum nama jelas dokter, tanda tangan

dokter yang menulis resep, instansi dan alamat, nama kota serta propinsi Rumah

Sakit/klinik/poliklinik yang mengeluarkan resep tersebut.

4. Dosis, frekuensi, lama dan waktu pemberian

a. Metronidazole

Metronidazol terutama digunakan untuk amubiasis dan giardiasis

intestinal, abses hati amebik, trichomoniasis simptomatik setelah dipastikan oleh

pemeriksaan laboratorium, trichomoniasis asimptomatik disertai endoservisitis,

servisitis, atau erosi servikal; dan infeksi bakteri anaerob.8

Metronidazol efektif untuk amubiasis intestinal maupun ekstraintestinal.

Namun efeknya lebih jelas pada jaringan, sebab sebagian besar metronidazol

mengalami penyerapan di usus halus. Pada abses hati dosis yang digunakan sama

besar dengan dosis yang digunakan untuk disentri amuba. Untuk pembawa

(carrier) amuba, efektivitasnya paling rendah.8,9

Selain untuk amubiasis dan trikomoniasis, metronidazol juga diindikasikan

untuk drakunkuliasis sebagai alternatif niridazol dan untuk giardiasis.

Metronidazol digunakan untuk profilaksis infeksi anaerob pascabedah daerah

abdomen, infeksi pelvik dan pengobatan endokarditis yang disebabkan oleh B.

fragilis. Untuk maksud ini metronidazol merupakan pilihan utama.10

Metronidazol juga dapat digunakan untuk kolitis pseudomembranosa yang

disebabkan Clostridium difficile. Penelitian baru-baru ini memperlihatkan

metronidazol bermanfaat bagi beberapa pasien ulkus peptikum yang terinfeksi

Helicobacter pylori.10

18

Page 20: Analisa Resep r

Metronidazol memperlihatkan daya amubisid langsung. Pada biakan E.

histolytica dengan kadar metronidazol 1-2 µg/ml, semua parasit musnah dalam 24

jam. Pada biakan Trichomonas vaginalis, kadar metronidazol 2,5 µg/ml dapat

menghancurkan 99% parasit dalam waktu 24 jam. Trofozoit Giardia lamblia juga

dipengaruhi langsung pada kadar antara 1-50 µg/ml.8,10

Absorpsi metronidazol berlangsung dengan baik sesudah pemberian oral.

Satu jam setelah pemberian dosis tunggal 500 mg per oral diperoleh kadar plasma

kira-kira 10 µg/ml. umumnya untuk kebanyakan protozoa dan bakteri yang

sensitif, rata-rata diperlukan kadar tidak lebih dari 8 µg/ml. Pada absorbsi topikal,

konsentrasi yang dicapai secara sistemik setelah penggunaan 1 g secara topikal 10

kali lebih kecil dari pada penggunaan dengan 250 mg peroral.10

Setelah berdifusi ke dalam organisme, di dalam sel atau mikroorganisme

metronidazole mengalami reduksi menjadi produk polar. Hasil reduksi ini

menyebabkan hilangnya struktur helix DNA dan kerusakan untaian DNA. Hal ini

lebih jauh menyebabkan hambatan pada sintesis protein dan kematian sel

organisme.11

Untuk amubiasis intestinal dan abses hati, dosis oral yang digunakan untuk

dewasa adalah 3 x 750 mg/hari selama 5-10 hari. Sedangkan untuk anak ialah 30-

50 mg/kgBB/hari terbagi dalam tiga dosis selama 10 hari.12

Efek Samping obat ini adalah:13,14

No. Sistem Efek samping1. Susunan saraf pusat

dan neurologi sakit kepala, pusing, vertigo, inkoordinasi, ataxia, serangan kejang, kebingungan, emosional, depresi, kelemahan, insomnia, neuropati perifer,  transient epilepsi-form seizure

2. Dermatologi erupsi eritematik, urtikaria, flushing, pruritus,

19

Page 21: Analisa Resep r

angioedema, anafilaksis

3. Hematologi leukopenia (reversible), abnormalitas tes fungsi hati, hepatitis, jaundice, trombositopenia, anemia aplastic

4. Saluran kencing disuria, sistitis, dispareunia, poliuria, inkontinensia, penurunan libido, piuria, warna kencing gelap, kering vagina dan vulva, panggul rasa berat

5. Saluran pencernaan mual, anorexia, muntah, diare, keluhan epigastrik, kejang abdominal, konstipasi, rasa seperti logam, lidah tebal, glossitis, stomatitis, mulut kering

6. Lain-lain nyeri sendi, penymbatan hidung, demam, proktitis, pendatran gelombang T pada EKG

b. Kotrimoksazol

Kotrimoksazol adalah bakterisid yang merupakan kombinasi

sulfametoksazol dan trimetoprim dengan perbandingan 5:1. Sebagai contoh,

kotrimoksazol 480 mg berarti terdiri atas 400 mg sulfametoksazol dan 80 mg

trimetroprim dan kotrimoksazol 960 mg berarti terdiri atas 800 mg

sulfametoksazol dan 160 mg trimetoprim. Kombinasi ini merupakan golongan

antibiotik broad sprectum dan penghambat sintesis asam folat.15

Sulfametoksazol dan trimetoprim sangat baik diabsorbsi di dalam saluran

gastrointestinal. Tanpa adanya makanan dan obat lain, sekitar 85% obat dapat

diserap dan mencapai konsentrasi puncak dalam darah dalam 2-4 jam setelah

pemberian secara oral. Keseimbangan akan tercapai pada hari ketiga terapi.

Konsentrasi puncak dalam darah juga dicapai 1-2 jam setelah pemberian secara

intravena.15

Selama 3 dekade terakhir, kombinasi sulfametoksazol dan trimetoprim

memiliki peranaan penting dalam penatalaksanaan infeksi yang umum dan

20

Page 22: Analisa Resep r

keadaan kondisi klinik spesifik. Penggunaan kombinasi sulfametoksazol dan

trimetoprim berdasarkan konsep kombinasi keduanya dapat menghambat reaksi

enzimatik obligat dalam pembentukan asam folat pada mikroba, sehingga

memberikan efek yang sinergis.16

Kuman memerlukan PABA (p-aminobenzoic acid) untuk membentuk

asam folat yang digunakan untuk sintesis purin dan asam-asam nukleat. Pada

bakteri asam folat berguna untuk metabolisme sel. Berbeda dengan sel-sel

mamalia yang mendapatkan asam folat dari asupan makanan, bakteri patogen

harus mensisntesis sendiri asam folat untuk kebutuhan hidupnya. Tetrahidrofolat

penting untuk reaksi pemindahan satu atom C seperti pembentukan basa purin

(adenin, guanin dan timidin) dan beberapa asam amino (metionin, glisisn).17

Aktivitas antibakteri kotrimoksazol (gambar 1) berdasarkan atas kerjanya

pada dua tahap yang berurutan dalam reaksi enzimatik untuk membentuk asam

tetrahidrofolat. Sulfonamid menghambat masuknya PABA ke dalam molekul

asam folat dan trimetoprim menghambat trejadinya reaksi reduksi dari dihidroflat

menjadi tetrahidrofolat. Trimetoprim bekerja sebagai inhibitor kompetitif

dihydrofolate reduktase yang berperan dalam pembentukan tetrahydrofolic acid

(ganiswara, master Philip). Trimetropim menghambat enzim Dihidrofolat

reduktase mikroba secara sangat selektif. Hal ini penting, karena enzim tersebut

juga terdapat pada sel manusia.15

21

Page 23: Analisa Resep r

Gambar 1. Mekanisme Kerja Kotrimoksazol15

Spektrum antibakteri trimetoprim sama dengan sulfametoksazol, meskipun

daya antibakterinya 20-100 kali lebih kuat dari pada sulfametoksazol. Mikroba

yang peka terhadap kombinasi trimetoprim-sulfametoksazol ialah: Str.

Pneumoniae, C. diphtheriae dan N. meningitis, 50-95% strain S. aureus, S.

epidermidis, Str. Pyogenes, Str. Viridans, Str. Faecalis, E. coli, Pr. Mirabilis, Pr.

Morganii, Pr. Rettgerl, Enterobakter, Aerobcter spesies, Salmonella, Shigella,

Serratia dan Alcaligenes spesies dan Klebsiella spesies. Juga beberapa strain

stafilokokus yang resisten terhadap metisilin, trimetoprim atau sulfametoksazol

sendiri, peka terhadap kombinasi tersebut. Kedua komponen memperlihatkan

interaksi sinergistik. Kombinasi ini mungkin efektif walaupun mikroba telah

resisiten terhadap sulfametoksazol dan agak resisten terhadap trimetoprim.

22

Page 24: Analisa Resep r

Sinergisme maksimum akan terjadi bila mikroba peka terhadap kedua

komponen.18

Frekuensi terjadinya resistensi terhadap kotrimoksazol lebih rendah dari

pada terhadap masing-masing obat, karena mikroba yang resisten terhadap salah

satu komponen masih peka terhadap kompenen yang lainnya. Resistensi yang

terjadi pada gram negatif disebabkan oleh adanya plasmid yang membawa sifat

menghambat kerja obat terhadap enzim dihidrofolat reduktase. Resistensi S.

Aureus terhadap trimetoprim ditentukan oleh gen kromosom, bukan oleh plasmid.

Resistensi terhadap bentuk kombinasi juga terjadi in vivo. Prevalensi resistensi E.

coli dan S. aureus meningkat dari 0,4% menjadi 12,6%. Dilaporkan pula

terjadinya resistensi pada beberapa jenis mikroba gram negatif.15

Sedian kombinasi berguna untuk pengobatan Shigellosis karena beberapa

strain mikroba penyebabnya telah resisten terhadap ampisilin. Namun demikian

akhir-akhir ini dilaporkan terjadinya resistensi mikroba terhadap kotrimoksazol.17

Dosis yang dianjurkan pada infeksi saluran cerna adalah Dosis dewasa :

960 mg (160 mg trimetroprim dan 800mg sulfametoksazol) setiap 12 jam selama

tiga bulan, tetapi dengan dosis ini masih dapat kambuh.19

23

Page 25: Analisa Resep r

Tabel 1. Indikasi Penggunaan Kotrimoksazol dalam Beberapa Penyakit20

Efek samping kotrimoksazol adalah sebagai berikut:19

Hematologi

Pada dosis yang dianjurkan tidak terbukti bahwa kotrimoksazol

menimbulkan defisiensi folat pada orang normal. Pada keadaan sel tubuh

mengalami mengalami defisiensi asam folat, batas antara toksisitas untuk

bakteri dan untuk manusia relatif sempit sehingga dapat menimbulkan

megaloblastosis, leukopenia, atau trombositopenia. Reaksi hematologik

berupa berbagai macam anemia (aplastik, hemolitik dan makrositik),

24

Page 26: Analisa Resep r

gangguan koagulasi, granulositopenia, agranulositosis, purpura Henoch-

Schonlein dan sulfhemoglobinemi juga dapat terjadi. Pemberian diuretik

sebelumnya atau bersamaan dengan kotrimoksazol dapat mempermudah

timbulnya trombositopenia terutama pada penderita usia lanjut dengan

payah jantung; kematian dapat terjadi. Pada penderita AIDS (acquired

immuno deficiency syndrome) yang diberi pengobatan kotrimoksazol

untuk infeksi oleh Pneumocystis carinii, sering terjadi efek samping

demam, lemah, erupsi kulit dan/atau pansitopenia.

Dermatologi

Reaksi kulit terjadi pada 3-4% populasi yang mendapatkan pengobtan

kortimoksazol. Efek samping yang terjadi berupa dermatitis eksfoliatif,

rash makulopapular, urtikaria, eritema difus, purpura dan fotosensitivitas.

Selain itu, juga dapat menyebabkan Sindrom Stevens-Johnson dan toxic

epidermal necrolysis, tetapi jarang terjadi. Erupsi juga dapat terjadi pada

penderita AIDS yang diberi pengobatan kotrimoksazol untuk infeksi oleh

Pneumocystis carinii. Kombinasi trimetoprim dan sulfametoksazol

dilaporkan dapat menimbulkan reaksi kulit sampai tiga kali lebih sering

dibandingkan dengan sulfisoksazol pada pemberian tunggal (5,9% vs 1,7

%).

Gastrointestinal

Efek samping gastrointestinal terjadi pada 3-8% pada pasien yang

menggunakan kotrimoksazol. Efek samping yang muncul antara lain mual

muntah dan anoreksia. Selain itu, dapat menyebabkan diare, glositis dan

25

Page 27: Analisa Resep r

stomatitis, tetapi sangat jarang terjadi. Ikterus juga dapat terjadi terutama

pada penderita yang sebelumnya mengalami hepatitis kolestatik alergik.

Susunan Saraf Pusat

Sulfonamid dapat menyebabkan reaksi sususnan saraf pusat berupa sakit

kepala, depresi dan halusinasi.

Ginjal

Pada ginjal biasanya berefek menurunkan sekresi kreatini sehingga serum

kreatinin akan sedikit meningkat.

c. Paracetamol

Parasetamol adalah derivat p-aminofenol yang mempunyai sifat antipiretik

/ analgesik. Paracetamol utamanya digunakan untuk menurunkan panas badan

yang disebabkan oleh karena infeksi atau sebab yang lainnya. Disamping itu,

paracetamol juga dapat digunakan untuk meringankan gejala nyeri dengan

intensitas ringan sampai sedang. Ia aman dalam dosis standar, tetapi karena

mudah didapati, overdosis obat baik sengaja atau tidak sengaja sering terjadi.8

Sifat antipiretik yang dimiliki parasetamol disebabkan oleh gugus

aminobenzen dan mekanismenya diduga berdasarkan efek sentral. Parasetamol

memiliki sebuah cincin benzena, tersubstitusi oleh satu gugus hidroksil dan atom

nitrogen dari gugus amida pada posisi para. Senyawa ini dapat disintesis dari

senyawa asal fenol yang dinitrasikan menggunakan asam sulfat dan natrium nitrat.

Parasetamol dapat pula terbentuk apabila senyawa 4-aminofenol direaksikan

dengan senyawa asetat anhidrat.18

26

Page 28: Analisa Resep r

Parasetamol termasuk ke dalam kategori NSAID sebagai obat anti demam,

anti pegel linu dan anti-inflammatory. Inflamasi adalah kondisi pada darah pada

saat luka pada bagian tubuh (luar atau dalam) terinfeksi, sebuah imun yang

bekerja pada darah putih (leukosit). Contoh pada bagian luar tubuh jika kita

terluka hingga timbul nanah itu tandanya leukosit sedang bekerja, gejala inflamasi

lainnya adalah iritasi kulit.9

Mekanisme aksi utama dari parasetamol adalah hambatan terhadap enzim

siklooksigenase (COX:cyclooxigenase), dan penelitian terbaru menunjukkan

bahwa obat ini lebih selektif menghambat COX-2. Meskipun mempunyai aktivitas

antipiretik dan analgesik, tetapi aktivitas antiinflamasinya sangat lemah karena

dibatasi beberapa faktor, salah satunya adalah tingginya kadar peroksida dapat

lokasi inflamasi. Hal lain, karena selektivitas hambatannya pada COX-2, sehingga

obat ini tidak menghambat aktivitas tromboksan yang merupakan zat pembekuan

darah.18

Pada dosis yang direkomendasikan, parasetamol tidak mengiritasi

lambung, memengaruhi koagulasi darah, atau memengaruhi fungsi ginjal. Namun,

pada dosis besar (lebih dari 2000 mg per hari) dapat meningkatkan risiko

gangguan pencernaan bagian atas. Hingga tahun 2010, parasetamol dipercaya

aman untuk digunakan selama masa kehamilan.8

Untuk indikasi demam dosis paracetamol adalah PO/Rectal 0.5-1 gram,

tiap 4-6 jam bila perlu. Dosis maximal: 4 gram/hari. IV >50 kg: 1 gram tiap 4-6

jam (Max: 4 g/hari); <50 kg: 15 mg/kg tiap 4-6 jam (Max: 60 mg/kg/hari). Dapat

diberikan disertai makanan ataupun tidak.8

27

Page 29: Analisa Resep r

d. Ranitidin

Ranitidin diunakan secara oral dalam terapi ulkus duodenum dan ulkus

lambung yang aktif, gasthroesophageal reflux desease (GERD), esofagitis erosif

dengan endoskopi, dan sebagai terapi pemeliharaan pada ulkus duodenum dan

ulkus lambung. Ranitidin oral juga digunakan dalam manajemen kondisi

hipersekresi gastrointestinal (GI) patologis dan sebagai terapi pemeliharaan untuk

mencegah kambuhnya esofagitis erosif. Ranitidin juga dapat digunakan secara

parenteral pada pasien rawat inap dengan kondisi hipersekresi patologis pada

saluran GI, atau sebagai terapi jangka pendek jika terapi oral belum memberikan

respon yang optimum.8

Ranitidine menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversible.

Reseptor H2 akan merangsang sekresi cairan lambung srhingga pada pemberian

Cimetidin dan ranitidine sekresi cairan lambung dihambat. Pengaruh fisiologi

cimetidin dan ranitidine terhadap reseptor H2 lainnya, tidak begitu

penting.walaupun tidak lengkap cimetidin dan ranitidine dapat menghambat

sekresi cairan lembung akibat rangsangan obat muskarinik atau gastrin. Cimetidin

dan ranitidine mengurangi volume dan kadar ion hydrogen cairan lambung.

Penurunan sekresi asam lambung mengakibatkan perubahan pepsinogen menjadi

pepsin menurun.18

Dosis ranitidin untuk dispepsia yang digunakan adalah 150mg, 2 kali

sehari. Dosis penunjang dapat diberikan 150mg pada malam hari.11

2.2.5. Bentuk Sediaan Obat

28

Page 30: Analisa Resep r

Bentuk sediaan yang diberikan dalam bentuk tablet, sudah sesuai karena

pasien dewasa dan tidak ada gangguan menelan. Pada resep ini, tidak ditulis

bentuk sediaan dari obat yang digunakan. Seharusnya ditulis agar memperjelas

informasi resep itu sendiri.

Metronidazol Tersedia dalam bentuk tablet 250 dan 500 mg; suspensi

125mg/5 ml, dan supositoria 500 mg dan 1 g, larutan infuse 0,5% 100 ml.8

Kotrimoksazol tersedia dalam beberapa bentuk, antara lain:

- Sediaan oral:

1. Tablet 960 mg (800 mg sulfametoksazol dan 160 mg trimetoprim)

2. Tablet 480 mg (400 mg sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim)

3. Tablet pediatrik 120 mg (100mg sulfametoksazol dan 20 mg

trimetoprim)

4. Kaptabs 960 mg (800 mg sulfametoksazol dan 160 mg trimetoprim)

5. Suspensi oral mengandung 200 mg sulfametoksazol dan 40 mg

trimetoprim/5 ml

- Sediaan intravena atau injeksi

1. Infus yang mengandung 400mg sulfametoksazol dan 80 mg

trimetoprim dalam 5 ml.

2. Cairan injeksi intravena 96 mg/ml

3. Cairan injeksi intramuscular 320 mg/ml

Paracetamol tersedia dalam bentuk tablet 100mg dan 500mg; oral solution

120mg/5ml. Ranitidin tersedia dalam bentuk Kapsul 75, 150 dan 300 mg; Tablet

150 dan 300 mg; Sirup 15 mg/mL; Injeksi 25 mg/mL.8

29

Page 31: Analisa Resep r

2.2.6. Interaksi Obat

Paracetamol dan metronidazol memiliki interaksi berupa: metronidazol

akan meningkatkan efek dari paracetamol dengan mempengaruhi metabolismi

enzim hepar CYP2E1. Ini merupakan efek minor atau interaksi yang tidak

signifikan.19

Ranitidin dan kotrimoksazol (sulfamethoxazole + trimethoprim) memiliki

interaksi berupa: sulfamethoxazole dan trimethoprim akan meningkatkan jumlah

atau efek dari ranitidin sebagai kompetisi cationic obat pada tubular clearance

ginjal. Ini merupakan efek minor atau interaksi yang tidak signifikan.19

Metronidazol dan sulfamethoxazole memiliki interaksi berupa mengurangi

metabolisme masing-masing, sehingga pengawasan harus lebih ketat. Jika serius

akan terjadi “Disulfiram like reaction”. Reaksi ini ditandai dengan mual, muntah,

pusing, muka merah, napas pendek, sakit kepala hebat, gangguan penglihatan,

palpitasi jantung, dan mungkin juga pingsan.19

2.2.8. Analisa Diagnosis

Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik pasien tanggal 06

November 2012, didapatkan hasil pemeriksaan tanda vital yaitu tekanan darah

120/80 mmHg, dengan berat badan 66 kg. dan didapatkan anamnesa: demam,

sejak 2 hari ini, menggigil, perut sakit, pusing, BAB cair 4 kali, ampas (+), lendir

(+), darah (-), BAK normal. Penelusuran riwayat penyakit dahulu pasien baru

pertama kali berobat. Hasil pemeriksaan laboratorium tidak ada. Diagnosa yang

ditegakkan pada kasus ini adalah Disentri.

30

Page 32: Analisa Resep r

Disentri merupakan tipe diare yang berbahaya dan seringkali

menyebabkan kematian dibandingkan dengan tipe diare akut yang lain. Penyakit

ini dapat disebabkan oleh bakteri (disentri basiler) dan amoeba (disentri amoeba).

Disentri merupakan peradangan pada usus besar yang ditandai dengan sakit perut

dan buang air besar yang encer secara terus menerus (diare) yang bercampur

lendir dan darah.11

Disentri merupakan suatu infeksi yang menimbulkan luka yang

menyebabkan tukak terbatas di colon yang ditandai dengan gejala khas yang

disebut sebagai sindroma disentri, yakni: 1) sakit di perut yang sering disertai

dengan tenesmus, 2) berak-berak, dan 3) tinja mengandung darah dan lendir.9

I. Etiologi dari disentri ada 2, yaitu :21,22

1. Disentri basiler, disebabkan oleh Shigella,sp.

Shigella adalah basil non motil, gram negatif, famili enterobacteriaceae.

Ada 4 spesies Shigella, yaitu S.dysentriae, S.flexneri, S.bondii dan S.sonnei.

Terdapat 43 serotipe O dari shigella. S.sonnei adalah satu-satunya yang

mempunyai serotipe tunggal. Karena kekebalan tubuh yang didapat bersifat

serotipe spesifik, maka seseorang dapat terinfeksi beberapa kali oleh tipe yang

berbeda. Genus ini memiliki kemampuan menginvasi sel epitel intestinal dan

menyebabkan infeksi dalam jumlah 102-103 organisme. Penyakit ini kadang-

kadang bersifat ringan dan kadang-kadang berat. Suatu keadaan lingkungan yang

jelek akan menyebabkan mudahnya penularan penyakit. Secara klinis mempunyai

tanda-tanda berupa diare, adanya lendir dan darah dalam tinja, perut terasa sakit

dan tenesmus.

31

Page 33: Analisa Resep r

2. Amoeba (Disentri amoeba)

Disebabkan Entamoeba hystolitica. E.histolytica merupakan

protozoacusus, sering hidup sebagai mikroorganisme komensal (apatogen) di usus

besar manusia. Apabila kondisi mengijinkan dapat berubah menjadi patogen

dengan cara membentuk koloni di dinding usus dan menembus dinding usus

sehingga menimbulkan ulserasi. Siklus hidup amoeba ada 2 bentuk, yaitu bentuk

trofozoit yang dapat bergerak dan bentuk kista.

Bentuk trofozoit ada 2 macam, yaitu

1. trofozoit komensal (berukuran < 10 mm) dan trofozoit patogen

(berukuran > 10 mm). Trofozoit komensal dapat dijumpai di lumen

usus tanpa menyebabkan gejala penyakit. Bila pasien mengalami

diare, maka trofozoit akan keluar bersama tinja.

2. trofozoit patogen yang dapat dijumpai di lumen dan dinding usus

(intraintestinal) maupun luar usus (ekstraintestinal) dapat

mengakibatkan gejala disentri. Diameternya lebih besar dari

trofozoit komensal (dapat sampai 50mm) dan mengandung

beberapa eritrosit di dalamnya. Hal ini dikarenakan trofozoit

patogen sering menelan eritrosit (haematophagous trophozoite).

Bentuk trofozoit ini bertanggung jawab terhadap terjadinya gejala

penyakit namun cepat mati apabila berada di luar tubuh manusia.

Bentuk kista juga ada 2 macam, yaitu kista muda dan kista dewasa.

Bentuk kista hanya dijumpai di lumen usus. Bentuk kista

bertanggung jawab terhadap terjadinya penularan penyakit dan

32

Page 34: Analisa Resep r

dapat hidup lama di luar tubuh manusia serta tahan terhadap asam

lambung dan kadar klor standard di dalam sistem air minum.

Diduga kekeringan akibat penyerapan air di sepanjang usus besar

menyebabkan trofozoit berubah menjadi kista.

II. Patogenesis dan Patofisiologi:11,21

a. Disentri basiler

Semua strain kuman Shigella menyebabkan disentri, yaitu suatu keadaan yang

ditandai dengan diare, dengan konsistensi tinja biasanya lunak, disertai eksudat

inflamasi yang mengandung leukosit polymorfonuclear (PMN) dan darah. Kuman

Shigella secara genetik bertahan terhadap pH yang rendah, maka dapat melewati

barrier asam lambung. Ditularkan secara oral melalui air, makanan, dan lalat yang

tercemar oleh ekskreta pasien. Setelah melewati lambung dan usus halus, kuman

ini menginvasi sel epitel mukosa kolon dan berkembang biak didalamnya.

Kolon merupakan tempat utama yang diserang Shigella namun ileum

terminalis dapat juga terserang. Kelainan yang terberat biasanya di daerah

sigmoid, sedang pada ilium hanya hiperemik saja. Pada keadaan akut dan fatal

ditemukan mukosa usus hiperemik, lebam dan tebal, nekrosis superfisial, tapi

biasanya tanpa ulkus. Pada keadaan subakut terbentuk ulkus pada daerah folikel

limfoid, dan pada selaput lendir lipatan transversum didapatkan ulkus yang

dangkal dan kecil, tepi ulkus menebal dan infiltrat tetapi tidak berbentuk ulkus

bergaung.

S.dysentriae, S.flexeneri, dan S.sonei menghasilkan eksotoksin antara lain

ShET1, ShET2, dan toksin Shiga, yang mempunyai sifat enterotoksik, sitotoksik,

33

Page 35: Analisa Resep r

dan neurotoksik. Enterotoksin tersebut merupakan salah satu faktor virulen

sehingga kuman lebih mampu menginvasi sel eptitel mukosa kolon dan

menyebabkan kelainan pada selaput lendir yang mempunyai warna hijau yang

khas. Pada infeksi yang menahun akan terbentuk selaput yang tebalnya sampai

1,5cm sehingga dinding usus menjadi kaku, tidak rata dan lumen usus mengecil.

Dapat terjadi perlekatan dengan peritoneum.

b. Disentri Amuba

Trofozoit yang mula-mula hidup sebagai komensal di lumen usus besar dapat

berubah menjadi patogen sehingga dapat menembus mukosa usus dan

menimbulkan ulkus. Akan tetapi faktor yang menyebabkan perubahan ini sampai

saat ini belum diketahui secara pasti. Diduga baik faktor kerentanan tubuh pasien,

sifat keganasan (virulensi) amoeba, maupun lingkungannya mempunyai peran.

Amoeba yang ganas dapat memproduksi enzim fosfoglukomutase dan lisozim

yang dapat mengakibatkan kerusakan dan nekrosis jaringan dinding usus. Bentuk

ulkus amoeba sangat khas yaitu di lapisan mukosa berbentuk kecil, tetapi di

lapisan submukosa dan muskularis melebar (menggaung). Akibatnya terjadi ulkus

di permukaan mukosa usus menonjol dan hanya terjadi reaksi radang yang

minimal. Mukosa usus antara ulkus-ulkus tampak normal. Ulkus dapat terjadi di

semua bagian usus besar, tetapi berdasarkan frekuensi dan urut-urutan tempatnya

adalah sekum, kolon asenden, rektum, sigmoid, apendiks dan ileum terminalis.

III. Gejala Klinis:

a. Disentri Basiler22

34

Page 36: Analisa Resep r

Masa tunas berkisar antara 7 jam sampai 7 hari. Lama gejala rerata 7 hari

sampai 4 minggu. Pada fase awal pasien mengeluh nyeri perut bawah, diare

disertai demam yang mencapai 400C. Selanjutnya diare berkurang tetapi tinja

masih mengandung darah dan lendir, tenesmus, dan nafsu makan menurun.

Bentuk klinis dapat bermacam-macam dari yang ringan, sedang sampai yang

berat. Sakit perut terutama di bagian sebelah kiri, terasa melilit diikuti

pengeluaran tinja sehingga mengakibatkan perut menjadi cekung. Bentuk yang

berat (fulminating cases) biasanya disebabkan oleh S. dysentriae. Gejalanya

timbul mendadak dan berat, berjangkitnya cepat, berak-berak seperti air dengan

lendir dan darah, muntah-muntah, suhu badan subnormal, cepat terjadi dehidrasi,

renjatan septik dan dapat meninggal bila tidak cepat ditolong. Akibatnya timbul

rasa haus, kulit kering dan dingin, turgor kulit berkurang karena dehidrasi. Muka

menjadi berwarna kebiruan, ekstremitas dingin dan viskositas darah meningkat

(hemokonsentrasi). Kadang-kadang gejalanya tidak khas, dapat berupa seperti

gejala kolera atau keracunan makanan.

Kematian biasanya terjadi karena gangguan sirkulasi perifer, anuria dan koma

uremik. Angka kematian bergantung pada keadaan dan tindakan pengobatan.

Angka ini bertambah pada keadaan malnutrisi dan keadaan darurat misalnya

kelaparan. Perkembangan penyakit ini selanjutnya dapat membaik secara

perlahan-lahan tetapi memerlukan waktu penyembuhan yang lama. Pada kasus

yang sedang keluhan dan gejalanya bervariasi, tinja biasanya lebih berbentuk,

mungkin dapat mengandung sedikit darah/lendir. Sedangkan pada kasus yang

ringan, keluhan/gejala tersebut di atas lebih ringan. Berbeda dengan kasus yang

35

Page 37: Analisa Resep r

menahun, terdapat serangan seperti kasus akut secara menahun. Kejadian ini

jarang sekali bila mendapat pengobatan yang baik.

b. Disentri Amuba21

Carrier (Cyst Passer)

Pasien ini tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali. Hal ini disebabkan

karena amoeba yang berada dalam lumen usus besar tidak mengadakan invasi ke

dinding usus.

Disentri amoeba ringan

Timbulnya penyakit (onset penyakit) perlahan-lahan. Penderita biasanya

mengeluh perut kembung, kadang nyeri perut ringan yang bersifat kejang. Dapat

timbul diare ringan, 4-5 kali sehari, dengan tinja berbau busuk. Kadang juga tinja

bercampur darah dan lendir. Terdapat sedikit nyeri tekan di daerah sigmoid,

jarang nyeri di daerah epigastrium. Keadaan tersebut bergantung pada lokasi

ulkusnya. Keadaan umum pasien biasanya baik, tanpa atau sedikit demam ringan

(subfebris). Kadang dijumpai hepatomegali yang tidak atau sedikit nyeri tekan.

Disentri amoeba sedang

Keluhan pasien dan gejala klinis lebih berat dibanding disentri ringan, tetapi

pasien masih mampu melakukan aktivitas sehari-hari. Tinja biasanya disertai

lendir dan darah. Pasien mengeluh perut kram, demam dan lemah badan disertai

hepatomegali yang nyeri ringan.

Disentri amoeba berat

36

Page 38: Analisa Resep r

Keluhan dan gejala klinis lebih berta lagi. Penderita mengalami diare disertai

darah yang banyak, lebih dari 15 kali sehari. Demam tinggi (400C-40,50C) disertai

mual dan anemia.

Disentri amoeba kronik

Gejalanya menyerupai disentri amoeba ringan, serangan-serangan diare

diselingi dengan periode normal atau tanpa gejala. Keadaan ini dapat berjalan

berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Pasien biasanya menunjukkan gejala

neurastenia. Serangan diare yang terjadi biasanya dikarenakan kelelahan, demam

atau makanan yang sulit dicerna.

IV. Diagnosis11,21,22

a. Disentri basiler

Perlu dicurigai adanya Shigellosis pada pasien yang datang dengan keluhan

nyeri abdomen bawah, dan diare. Pemeriksaan mikroskopik tinja menunjukkan

adanya eritrosit dan leukosit PMN. Untuk memastikan diagnosis dilakukan kultur

dari bahan tinja segar atau hapus rektal. Pada fase akut infeksi Shigella, tes

serologi tidak bermanfaat. Pada disentri subakut gejala klinisnya serupa dengan

kolitis ulserosa. Perbedaan utama adalah kultur Shigella yang positif dan

perbaikan klinis yang bermakna setelah pengobatan dengan antibiotik yang

adekuat.

b. Disentri amuba

Pemeriksaan tinja sangat penting di mana tinja penderita amebiasis tidak

banyak mengandung leukosit tetapi banyak mengandung bakteri. Diagnosis pasti

37

Page 39: Analisa Resep r

baru dapat ditegakkan bila ditemukan amoeba (trofozoit). Akan tetapi

ditemukannya amoeba bukan berarti meyingkirkan kemungkinan penyakit lain

karena amebiasis dapat terjadi bersamaan dengan penyakit lain. Oleh karena itu,

apabila penderita amebiasis yang telah menjalani pengobatan spesifik masih tetap

mengeluh nyeri perut, perlu dilakukan pemeriksaan lain, misalnya endoskopi, foto

kolon dengan barium enema atau biakan tinja.

Abses hati ameba sukar dibedakan dengan abses piogenik dan neoplasma.

Pemeriksaan ultrasonografi dapat membedakannya dengan neoplasma, sedang

ditemukannya echinococcus dapat membedakannya dengan abses piogenik. Salah

satu caranya yaitu dengan dilakukannya pungsi abses.

V. Pengobatan

a. Disentri basiler

Prinsip dalam melakukan tindakan pengobatan adalah istirahat, mencegah atau

memperbaiki dehidrasi dan pada kasus yang berat diberikan antibiotika.22

Cairan dan elektrolit

Dehidrasi ringan sampai sedang dapat dikoreksi dengan cairan rehidrasi

oral. Jika frekuensi buang air besar terlalu sering, dehidrasi akan terjadi dan

berat badan penderita turun. Dalam keadaan ini perlu diberikan cairan

melalui infus untuk menggantikan cairan yang hilang. Akan tetapi jika

penderita tidak muntah, cairan dapat diberikan melalui minuman atau

pemberian air kaldu atau oralit. Bila penderita berangsur sembuh, susu tanpa

gula mulai dapat diberikan.21

Diet

38

Page 40: Analisa Resep r

Diberikan makanan lunak sampai frekuensi berak kurang dari 5 kali/hari,

kemudian diberikan makanan ringan biasa bila ada kemajuan. Pengobatan

spesifik.21

Menurut pedoman WHO, bila telah terdiagnosis shigelosis pasien diobati

dengan antibiotika. Jika setelah 2 hari pengobatan menunjukkan perbaikan, terapi

diteruskan selama 5 hari. Bila tidak ada perbaikan, antibiotika diganti dengan jenis

yang lain.23

b. Disentri amuba11,21

Asimtomatik atau carrier : Iodoquinol (diidohydroxiquin) 650 mg tiga kali

perhari selama 20 hari.

39

Page 41: Analisa Resep r

Amebiasis intestinal ringan atau sedang : tetrasiklin 500 mg empat kali

selama 5 hari. atau Metonidazol 3 x 750 mg/hari selama 5-10 hari.

Sedangkan untuk anak ialah 30-50 mg/kgBB/hari terbagi dalam tiga dosis

selama 10 hari.

Amebiasis intestinal berat, menggunakan 3 obat : Metronidazol 750 mg

tiga kali sehari selama 5-10 hari, tetrasiklin 500 mg empat kali selama 5

hari, dan emetin 1 mg/kgBB/hari/IM selama 10 hari.

Amebiasis ektraintestinal, menggunakan 3 obat : Metonidazol 750 mg tiga

kali sehari selama 5-10 hari, kloroquin fosfat 1 gram perhari selama 2 hari

dilanjutkan 500 mg/hari selama 4 minggu, dan emetin 1 mg/kgBB/hari/IM

selama 10 hari

2.3. Usulan Penulisan Resep

PROPINSI PEMERINTAH DAERAH TINGKAT I

40

Page 42: Analisa Resep r

KALIMANTAN SELATAN RUMAH SAKIT UMUM “ULIN”

BANJARMASIN

Nama Dokter: dr. M. Rifqi Farizan A. NIP : 123 456 789UPF/Bagian : Penyakit Dalam

Tanda Tangan

Kelas I/II/III/Utama Banjarmasin, 06 November 2012

R/ Metronidazole tab 500 mg No. XXIII S t.d.d. tab 11/2 d.c. (0.8.h) R/ Paracetamol tab 500 mg No. X S p.r.n. t.d.d. tab I a.c. (febris)

Pro : Tn. Tatang (66 kg) 1-01-93-36Umur : 34 tahun Alamat : Jl. Veteran No. 54 Banjarmasin

BAB III

KESIMPULAN

41

Page 43: Analisa Resep r

Berdasarkan analisa resep diatas dapat diambil kesimpulan bahwa resep

yang dibuat belum rasional, dan berdasarkan 5 tepat pada resep rasional, maka :

1. Tepat obat

Pemberian dua jenis antibiotika pada pasien ini kurang tepat. Untuk pasien

yang pertama kali datang dengan keluhan tersebut, sebaiknya ditentukan

diagnosis yang lebih lengkap apakah disentri basiler ataukah disentri amuba

atau mendakati keduanya. Sehingga dalam pemilihan obat antibiotika akan

lebih tepat. Kombinasi antara metronidazol dan kotrimoksazol ternyata

memiliki interaksi obat yang cukup merugikan. Pemberian ranitidin pada

pasien ini juga tidak tepat karena sakit perut yang pasien keluhkan bukan lah

berasal dari peningkatan asam lambung, tetapi merupkan gejala dari disentri

yang dengan ranitidin tidak dapat membantu. Pemberian paracetamol telah

tepat, karena pasien mengeluhkan demam.

2. Tepat dosis

Pada resep ini pemberian metronidazol kurang tepat dosis sesuai ketentuan

untuk diagnosis pasien. Pemberian paracetamol sudah tepat dosis, frekuensi,

dan jumlah obat yang diberikan.

3. Tepat bentuk sediaan

Bentuk sediaan yang diberikan sudah tepat sesuai dengan keadaan pasien yaitu

berupa tablet.

4. Tepat waktu penggunaan obat

Pada resep ini sudah dituliskan kapan obat seharusnya diminum tetapi kurang

lengkap.

42

Page 44: Analisa Resep r

5. Tepat penderita

Penggunaan obat kurang sesuai dengan keadaan penderita. Kelengkapan lain

yang perlu ditulis adalah identitas pasien seperti umur, berat badan dan alamat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Lestari, CS. Seni Menulis Resep Teori dan Praktek. PT Pertja. Jakarta, 2001

43

Page 45: Analisa Resep r

2. Joenoes, Nanizar Zaman. Ars Prescribendi–Penulisan Resep yang Rasional 1. Airlangga University Press. Surabaya, 1995.

3. Harianto, Kurnia Ridwan, Siregar. Hubungan antara kualifikasi dokter dengan kerasionalan penulisan resep obat oral kardiovaskuler pasien dewasa ditinjau dari sudut interaksi obat (studi kasus di apotek “x” jakarta timur). Majalah Ilmu Kefarmasian. 2006: 3; 66 – 77.

4. Th. B. Titien Siwi Hartayu, Aris Widayati. Kajian kelengkapan resep pediatri yang berpotensi menimbulkan medication error di 2 rumah sakit dan 10 apotek di Yogyakarta. Yogyakarta: Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, 2005.

5. Bagian Farmakologi FK UNLAM. Diktat Kuliah Farmasi Buku 3. Banjarbaru: Laboratorium Farmasi Fakultas Kedokteran Unlam, 2009.

6. Azril Kimin. 2009. Dampak Negatif Pengobatan Tidak Rasional. Diunduh dari www. Apotekputer.com.

7. P. Vandana. 2007. Rational Prescription In Children; Ethics And Economics. Diunduh dari: http://phm-india. org/issues/ drugpolicy/ children_ prescription. Html.

8. S.L. Purwanto Hardjosaputra, Listyawati P, Tresni K, Loecke Kunardi, Indriyantoro, Nawanti Indriyani. Data Obat di Indonesia Ed.ke-11. Jakarta: PT. Muliapurna Jayaterbit, 2008.

9. Dorland, WA Newman. Kamus Kedokteran Dorland Ed.ke-29. Jakarta: EGC, 2002.

10. Tjay, Tan Hoan, Kirana Raharja. Obat-Obat Amebiasis dan Trichomoniasis dalam Obat-Obat Penting: Khasiat, Penggunaan dan Efek-efek Sampingnya Ed.ke-5. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2002.

11. Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II Ed.ke-3. Jakarta: Media Aesculapius, 2000.

12. Junita A, H Widita, S Soemohardjo Beberapa kasus abses hati Amuba. JPenyDalam 2006;7(2):121-8.

13. Eppy. Diare Akut. MEDICINUS 2009; 22(3):91-8.

14. Sacher RA, Richard AMcP. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium Ed.ke-11. Jakarta, EGC,2004.

44

Page 46: Analisa Resep r

15. Masters Philip, O’Bryan Thomas, Zurlo John, Miller Debra, Joshi Nirmal. Trimethoprim-sulfamethoxazole revisited. Arch Intern Med. 2003; 163: 402-410

16. Ganiswarna SG, Setiabudy R, Suyatna FD, Purwantyastuti, Nafrialdi. Farmakologi dan terapi. Edisi 4. Jakarta: Bagian Farmakologi FKUI, 1995

17. Ka¨rpa¨noja Pauliina, Nyberg Solja T, Bergman Miika,Voipio Tinna, Paakkari Pirkko, Huovinen Pentti et all. Connection between Trimethoprim-Sulfamethoxazole Use and Resistance in Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, and Moraxella catarrhalis. American Society for Microbiology . 2008;2480–2485 Vol. 52, No. 7

18. Katzung BG. Farmakologi dasar dan klinik buku 3. Edisi 8. Jakarta: Penerbit Salemba Medika, 2004.

19. Pocket companion, Stockley’s drug interaction. 2010. Editor: Karen Baxter.

20. Hamel M J, Greene C, Chiller T, et al. Does Cotrimoxazole Prophylaxis for the Prevention of HIV-Associated Opportunistic Infections Select for Resistant Pathogens in Kenyan Adults. Am.J.Trop.Med.Hyg. 79(3), 2008, pp.320–330

21. Oesman, Nizam. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi III. Jakarta: Fakultas kedokteran UI. 2006.

22. Sya’roni A. Hoesadha Y. Disentri Basiler. Buku Ajar Penyakit Dalam. Jakarta: Fakultas kedokteran UI. 2006.

23. World Health Organization (WHO). Guidelines for the control of shigellosis, including epidemics due to Shigella dysenteriae. Geneva (Switzerland): World Health Organization (WHO); 2005.

45